Referat Gangguan Autisme
Referat Gangguan Autisme
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah kesehatan jiwa perlu menjadi fokus utama dalam upaya peningkatan
sumber daya manusia, khususnya pada anak dan remaja yang merupakan generasi yang
harus dipersiapkan sebagai sumber kekuatan bangsa. Pravelensi gangguan kesehatan
jiwa pada anak dan remaja akan cenderung meningkat seiring dengan permasalahan
hidup di masyarakat yang semakin kompleks.1
Data Kebijakan Nasional Kesehatan Jiwa (National Health Policy) 2001-2005
menunjukkan bahwa ratio gangguan kesehatan jiwa atau emosional pada kelompok
anak berusia 4-15 tahun adalah 104 per 1000 anak. Dalam studi prevalensi problem
emosional dan perilaku pada anak usia sekolah dasar di dapatkan angka 27% di wilayah
Jakarta Pusat tahun 2003 dengan menggunakan instrumen Child behavior Checklist.
Prevalensi pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan
(30,5% : 22,6%). Terdapat dua problem emosional dan perilaku pada anak usia sekolah
dasar. Problem internalisasi dan ekternalisasi. Problem internalisasi (cemas, depresi,
dan isolasi diri) lebih besar jika dibandingkan dengan problem ekternalisasi (30% :
10.2%). Jenis gangguan mental yang banyak ditemukan adalah gangguan mood,
gangguan cemas, gangguan pemusatan perhatian dan atau
hiperaktivitas (GPPH),
yaitu tahun 1997, angka itu meningkat menjadi 1 berbanding 500 kelahiran. Sedangkan,
pada tahun 2000 prevalensi anak autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran
dan tahun 2001 perbandingannya berubah menjadi 1 berbanding 100 kelahiran. Secara
global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki
lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan penyandang
autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak.6
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.7
Autisme biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah
sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan
kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantil). Umumnya keluhan utama yang
disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak
acuh, atau cemas apakah anaknya tuli.7
Mengingat bahwa kasus autisme merupakan salah satu masalah gangguan
kesehatan jiwa pada anak sehingga perlu diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka
pada referat ini difokuskan membahas masalah gangguan autisme.
1.2
1.3
Tujuan
1. Mendeskripsikan tentang definisi gangguan autisme
2. Mendeskripsikan tentang etiologi gangguan autisme
3. Mendeskripsikan tentang manifestasi klinis gangguan autisme
4. Mendeskripsikan tentang patogenesis gangguan autisme
5. Mendeskripsikan tentang diagnosis gangguan autisme
6. Mendeskripsikan tentang diagnosis banding gangguan autisme
7. Mendeskripsikan tentang terapi gangguan autisme
8. Mendeskripsikan tentang prognosis gangguan autisme
Manfaat
1. Referat ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
kedokteran tentang gangguan autisme.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada
diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap
2
pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada
pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan seharihari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya
sendiri.8
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai
dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi,
ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya.8
Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi,
perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan terlambat atau
tidak normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi, biasanya sebelum
2.2
usia 3 tahun. 4
Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak
orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka. Anak tersebut
meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada dunia sehingga
menciptakan benteng kekosongan untuk melindungi dirinya dari penderitaan
dan kekecewaan. 6
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara resiko autis jika memiliki saudara kandung yang
juga autis sekitar 3%. Kelainan dari gen pembentuk metalotianin juga
berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein yang
merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi
lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan
saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungsi metalotianin akan
menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan tubuh untuk
membuang logam berat dan kelainan sistem imun yang sering ditemukan pada
orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya lakilaki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin
ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron.7
Secara genetik terdapat 80% angka persesuaian untuk kembar monozigot
dan 20% angka persesuaian untuk kembar dizigot, yang sebenarnya diwariskan
tidak sepenuhnya jelas; abnormalitas kognitif dan kemampuan berbicara lebih
3
lazim pada sanak keluarga anak autistic daripada pada populasi umum. Kelainan
kromosom, terutama sindrom X yang mudah pecah (fragile), juga lebih lazim
pada keluarga dengan autism. Kelainan temuan-temuan neurokimia telah terkait
dengan autism. Meskipun fungsi dopamine diperkirakan normal pada autism,
baru-baru ini kelainan ditunjukkan dalam jumlah jalur katekolamin. Peningkatan
kadar serotonin juga ditemukan.5
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak
dari
beberapa
penderita
autistik
pada
system
pengaktif
reticulum,
keadaan
yang
saling
tidak
Manifestasi Klinis
Diantara gejala-gejala dan tanda-tanda yang paling penting adalah kemampuan
komunikasi verbal dan non-verbal yang tidak atau kurang berkembang, kalainan pada
pola berbicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial
yang abnormal, tidak adanya empati, dan ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga
memperlihatkan gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat
yang sangat sempit, dan keasyikan dengan bagian-bagian tubuh. Anak autisme menarik
diri dan sering menghabiskan waktunya untuk bermain sendiri. Muncul perilaku yang
berulang- ulang yang mencerminkan kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan
yang tetap dan dapat diramalkan. Ledakan amarah dapat menyertai gangguan rutin.
Kontak mata minimal atau tidak ada. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan
4
2.4
Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada satupun yang
spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi bahwa faktor genetik
berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi yang melibatkan anak kembar
terlihat bahwa dua kembar monozygot (kembar identik) kemungkinan 90% akan samasama mengalami autisme; kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal)
hanya sekitar 5-10% saja.7
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi meskipun
baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen serotonin-transporter.
Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan bahwa autisme timbul dari beban
yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid
kemungkinan besar adalah eksogen dan opioid merupakan perombakan yang tidak
lengkap dari gluten dan casein makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini
menarik banyak perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier
5
yang defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk mengubah
opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan menimbulkan penyakit.7
Barrier yang defektif ini mungkin diwarisi (inherited) atau sekunder karena
suatu kelainan. Berbagai uraian tentang abnormalitas neural pada autisme telah
menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak
ada satupun, baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau
tes diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab utama
autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas jaringan otak pada
individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari abnormalitas ini belum diketahui,
demikian juga pengaruhnya terhadap perilaku. 7
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam stuktur
neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak. Dalam kaitannya
dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik
menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang berkembang yaitu
amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi,
sensory input, dan belajar. Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye
di serebelum. Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua
daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara nyata lebih
kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang
bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi empiris neurofarmakologis dan
neurokimia pada autisme, perhatian banyak dipusatkan pada neurotransmitter dan
neuromodulator, pertama sistem dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid
endogen dan oksitosin, selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan
antara autisme dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut.7
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita autistik
menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal
dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa abnormalitas serotonin ini
juga tampak pada penderita down syndrome, kelainan hiperaktivitas, dan depresi
unipoler. Juga terbukti bahwa pada individu autistik terdapat kenaikan dari betaendorphins, suatu substansi di dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya
ketidakpekaan individu autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan
2.5
A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari 1 dan satu
masing-masing dari 2 dan 3:
1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai manifestasi
paling sedikit dua dari yang berikut:
a. Hendaya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan mata ke mata,
ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi
social.
b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat
perkembangannya.
c. Kurang kespontanan dalalm membagi kesenangan, daya pikat atau
pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan
atau menunjukkan objek yang menarik.
d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.8
c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar arah jari dan
tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya.
d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip.8
B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini
dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :
1. Interaksi sosial
2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
3. Permainan simbol atau imaginatif.8
C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi
masa anak.8
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding autisme infantil, antara lain:
a.
namun setelah itu mundur. Umumnya kemunduran yang terjadi sangat parah
meliputi perkembangan bahasa, interaksi social maupun motoriknya.7
2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism namun masih
memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan bahasanya juga hanya
terganggu dalam derajat ringan. Oleh karena itu, sindroma Asperger sering
disebut sebagai high functioning autism.7
Gangguan Asperger berbeda berbeda dengan autism infantil. Onset usia
autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya lebih parah
dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme infantil menunjukkan
penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya
gangguan kognitif. Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih
baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada
autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada
gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik
yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit
membedakan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi
mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang
lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high functioning.
Batas antara gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan
berbahasa dan gangguan belajar sangat kabur. Gangguan Asperger
mempunyai verbal intelligence yang normal sedangkan autisme infantil
mempunyai verbal intelligence yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai
empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun
keduanya mengalami kesulitan berempati.7
3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang telah dicapai
setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4 tahun. Gangguan ini
sangat jarang terjadi dan paling sering mengenai anak laki-laki dibanding
perempuan.7
b.
pelajaran formal.
yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan
gangguan bahasa residual yang cukup besar.7
f. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut
sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap
bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang
berceloteh sedangkan bayi yang tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal
dan selanjutnya secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan-1
tahun.7
Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras, sedangkan anak
autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon hanya
terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial
cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli.
Tidak seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang
tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi senang digendong.7
g. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan
dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh)
dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan
bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper
selalu membaik dengan cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial
yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.7
2.7
Penatalaksanaan Autisme
Berbagai pendekatan terapeutik telah dianjurkan untuk menangani dan
menatalaksana anak-anak autistic, namun keberhasilannya terbatas. Terapi perilaku
dengan pemanfaatan keadaan yang sedang berlaku dilaporkan meningkatkan
kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresi sering dapat diubah dengan
menejemen perilaku mencelakakan diri sendiri, yang kelihatannya mengarah kepada
perilaku agresi, stereotipik, dan penarikan diri dari pergaulan social. Model
penanganan harian dengan menggunakan permainan, terapi kemampuan berbicara dan
latihan antarperorangan terstruktur juga menampakkan harapan.5
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling
penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah
12
metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavior Analysis
(ABA). Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan
menjadi enam kemampuan dasar, yaitu:9
1. Kemampuan memperhatikan
Program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan
pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan kontak
mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek yang
ada disekelilingnya.9
2. Kemampuan menirukan
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan
halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru
tindakan yang disertai bunyi-bunyian.9
3. Bahasa reseptif
Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap
seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan
nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata.9
4. Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari
komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan
ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau
berkomunikasi verbal.9
5. Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang
mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan, dan stimulusstimulus di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk
mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda
yang ada di sekitarnya.9
6. Kemampuan mengurus diri sendiri
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri. Yang kedua, anak dilatih
untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet traning. Kemudian tahap
selanjutnya melatih mengenakan pakaian, menyisir rambut, dan menggosok gigi.9
Pada sekelompk anak autis dengan gejala-gejala agresivitas, melukai diri
sendiri, hiperaktivitas dan
merupakan salah satu bagian dari program terapi yang komprehensif. Juga sering
13
dipakai untuk mengobati kondisi yang terkait seperti depresi, cemas, perilaku
obsesif kompulsif, membantu mencegah self injury dan perilaku lain yang
menimbulkan masalah.10
Pemeriksaan yang lengkap dari kondisi fisik dan laboratorium harus dilakukan
sebelum memulai pemberian obat-obatan. Periode istirahat dari obat, setiap 6 bulan,
dianjurkan untuk menilai lagi apakah obat masih diperlukan dalam terapi.10
Clomipramine antidepresan
Antipsikotik
1. Risperidone efektif untuk terapi anak autis yang disertai dangan agresivitas dan
perilaku yang membahayakan diri sendiri, iritabel. Stereotipik, hiperaktif dan
gangguan komunikasi.
Beberapa antipsikotik atipikal lainnya juga mempunyai efek positif namun
masih diperlukan penelitian lebih lanjut.10
2. Olanzapine (Zyprexa): penelitian pada anak autis 6-16 tahun dengan
menggunakan
olanzapine
menunjukkan
perbaikan
dalam
iritabilitas,
dilaporkan, namun jarang. Prognosis yang lebih baik adalah berkaitan dengan
intelegensia yang lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, dan kurangnya
gejala-gejala dan perilaku aneh. Gejala-gejala sering berubah karena anak-anak
tumbuh semakin tua. Kejang-kejang dan mencelakakan diri sendiri semakin lazim
dengan perkembangan usia.7
BAB III
KESIMPULAN
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada
diri sendiri. Autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau
dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri
daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi,
perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan terlambat
atau tidak normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi, biasanya
sebelum usia 3 tahun.
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan yang paling
penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovaas. Metode Lovaas adalah
metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavior Analysis
(ABA). Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan
menjadi enam kemampuan dasar, yaitu kemampuan memperhatikan, kemampuan
menirukan, bahasa reseptif, bahasa ekspresif, kemampuan praakademis dan
kemampuan mengurus diri sendiri.
Pada sekelompk anak autis dengan gejala-gejala agresivitas, melukai diri
sendiri, hiperaktivitas dan
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamid A.Y (2008). Ilmu Kesehatan Jiwa . Jakarta : EGC
2. Jayadi, Muhammad. 2010. Deteksi Dini Gangguan Jiwa pada Anak. Departemen
Psikiatrik FK-UI. Jurnal Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
3. King, A. Laura. 2009 . The Science of Psychology. Edisi 1. University of Missouri at
Columbia
4. Maslim, rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ III. Jakarta : Nuh Jaya
5. Behrman, Richard E, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol I. Jakarta: EGC
6. Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Diambil dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf.
7. Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal Kedokteran Trisakti,
Vol. 22 No. 1; 24-30.
8. Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School of
Medicine New York; Chapter 42.
9. Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
10. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI
17