Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen
mata yang berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas
iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi
yang terjadi pada uvea. Meskipun demikian sekarang istilah uveitis
digunakan

untuk

menggambarkan

berbagai

bentuk

inflamasi

intraokular yang tidak hanya pada uvea tetapi juga struktur yang ada
didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma, neoplasma, maupun
autoimun.1)
Secara anatomis uvea merupakan lapisan vaskular tengah
mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, juga merupakan lapisan
yang memasok darah ke retina. Perdarahan uvea dibagi antara bagian
anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus
yang masuk menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat
masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior yang terdapat 2
pada setiap otot superior, medial, inferior serta pada otot rektus
lateral. Arteri siliar anterior posterior ini bergabung menjadi satu
membentuk arteri sirkulari mayor pada badan siliar. Uvea posterior
mendapat perdarahan dari 15 20 arteri siliar posterior brevis yang
menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik.

2)

BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI UVEA :
Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam
bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.

1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari
badan siliar ke depan (anterior). Di bagian tengah iris terdapat
lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk mengatur
besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan iris warnanya
sangat

bervariasi

dan

mempunyai

lekukan-lekukan

kecil

terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada iris terdapat 2


macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus
dilatator pupil yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan
Musculus sfingter pupil yang berfungsi untuk mengecilkan
pupil.

Kedua

otot

tersebut

memelihara

ketegangan

iris

sehingga tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil


kanan dan kiri kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut
isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar,

keadaan

ini

disebut

anisokoria.

Iris

menipis

di

dekat

perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di dekat pupil.


Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor
dan yang berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris
dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari saraf cranial III
yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk
miosis.

2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan
mempunyai sistem eksresi dibelakang limbus. Badan siliar
dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri atas
otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi
untuk akomodasi.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah
dalam dari tempat tepi kornea melekat di sklera. Badan siliar
merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan koroid.
Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini
sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokular =
TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera okuli posterior ke
kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus
iridokornealis,

kemudian

melewait

trabekulum

meshwork

menuju canalis Schlemm, selanjutnya menuju kanalis kolektor


masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung.

3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak
antara retina (di sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar).
Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya berada di cincin
badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas
anyaman

pembuluh

(overlapping)

seluruh

darah.

Retina

koroid,

tetapi

tidak
berhenti

menempati
beberapa

millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak


terselubungi retina disebut pars plana.
Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar,
sedang, dan kecil. Pada bagian interna koroid dibatasi oleh
membran

Bruch,

suprakoroidal

sedangkan

di

bagian

luar

terdapat

Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan


posterior yang berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris
dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang
terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri
siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi
koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,
Imunologi (bagian yang berperan dalam hal ini adalah khoroid),
Produksi akuos humor oleh korpus siliaris, dan sebagai nutrisi.

DEFINISI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada
lapisan traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus
siliaris dan koroid yang disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia,
atau proses autoimun.
Istilah uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iris,
iridosiklitis), corpus ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis
perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun, dalam
praktiknya istilah ini turut mencakup peradangan pada retina
(retinitis),

pembuluh-pembuluh

retina

(vaskulitis

retinal),

dan

nervus opticus intraocular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi


sekunder akibat radang kornea (keratitis), radang sclera (skleritis),
atau keduanya (sklerokeratitis).
Uveitis merupakan suatu radang uvea dapat mengenai hanya
bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan
ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka
keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai
dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior. Uveitis
anterior atau biasa disebut juga dengan iridosiklitis merupakan
penyakit yang mendadak yang biasanya berjalan selama 6-8
minggu, dan pada stadium dini biasanya dapat sembuh dengan
tetes mata saja. Bila mengenai selaput hitam bagian belakang
mata maka disebut koroiditis.

KLASIFIKASI

5)

Klasifikasi uveitis berdasarkan :


1. Lokasi utama dari bercak peradangan :

Uveitis anterior

meliputi iris, iridosiklitis, dan uveitis

intermedia.

Uveitis intermediet

merupakan

inflamasi

dominan

pada pars plana dan retina perifer yang disertai dengan


peradangan

vitreous.

Uveitis posterior : koroiditis, koriorenitis (bila peradangan


koroid

lebih

menonjol),

retinokoroiditis

(bila

peradangan

retina

lebih

uveitis

diseminata.

menonjol),

retinitis

dan

Uveitis difus atau pan uveitis : merupakan inflamasi yang


mengenai

seluruh lapisan uvea.

2. Klasifikasi berdasarkan Klinis


Uveitis akut : Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu,

onsetnya cepat dan bersifat simptomatik.


Uveitis kronik
: Uveitis yang berlangsung selama > 6
minggu bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.

3. Patologinya

Non granulomatosa: Infiltrat dominan limfosit pada koroid.


Granulomatosa
: Infiltrat dominan sel epiteloid dan
sel-sel raksasa

multinukleus.

Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa


Onset

Non- Granulomatosa
Akut

Granulomatosa
Tersembunyi

Nyeri

Nyata

Tidak ada atau ringan

Fotofobia

Nyata

Ringan

Penglihatan Kabur

Sedang

Nyata

Merah Sirkumkorneal

Nyata

Ringan

Keratic precipitates

Putih halus

Kelabu besar (mutton fat)

Pupil

Kecil dan tak teratur

Kecil dan tak teratur (bervariasi)

Sinekia posterior

Kadang-kadang

Kadang-kadang

Noduli iris

Tidak ada

Kadang-kadang

Lokasi

Uvea anterior

Uvea anterior, posterior, difus

Perjalanan penyakit

Akut

Kronik

Kekambuhan
Sering
Kadang-kadang
4. Demografi, lateralisasi dan faktor penyerta :

distribusi menurut umur

distribusi menurut kelamin

distribusi menurut suku bangsa dan ras

unilateral dan bilateral

penyakit yang menyertai atau mendasari

5. Penyebab yang diketahui :

bakteri : tuberkulosis , sifilis

virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus

jamur : candida

parasit : toksoplasma, toksokara

imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagiharada,

oftalmia

simpatika,

poliarteritis

nodosa,

granulomatosis wegener

penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid,


multipel skerosis, sarkoidosis, penyakit vaskular.

Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell


sarcoma

lain lain : AIDS.

6. Berdasarkan anatomisnya :

Inflamasi

iris

bersamaan

dengan

peningkatan

permeabilitas vaskular dinamakan iritis / uveitis anterior.


Sel darah putih yang bersirkulasi dalam humor akous bilik
mata anterior dapat dilihat dengan slitlamp. Protein yang
juga bocor dari pembuluh darah terlihat dengan sifat
penyebaran cahaya pada sinar slitlamp sebagai flare.

Inflamasi pars plana ( badan siliaris posterior) dinamakan


siklitis atau uveitis intermedia. Inflamasi segmen posterior
( uveitis posterior) menghasilkan sel sel inflamasi dicairan
vitreus. Selain itu juga terdapat inflamasi koroid atau retina
terkait ( masing masing adalah koroiditis dan retinitis).
Panuveitis terjadi ketika uveitis anterior dan posterior
terjadi bersamaan.
Uveitis merupakan penyakit yang mudah mengalami
kekambuhan, bersifat merusak, menyerang pada usia
produktif dan kebanyakan berakhir dengan kebutaan.
Hubungan yang baik antara dokter dengan penderita
uveitis

sangat

dibutuhkan

penanganan yang optimal.


EPIDEMIOLOGI

untuk

mendapatkan

hasil

3)

3)

Insiden sekitar 15 per 100.000 orang, sekitar 75 % merupakan


uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit
sistemik terkait.
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia
70 tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita
berusia tua umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes
zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia
simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya

berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis (Schlaegel,


1980).
Uveitis anterior
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah
yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal
atau pericorneal vascular injection).
Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke
dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein
dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini
tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan
proses keradangan akut.
Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai
penumpukan sel-sel radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang
disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal
dengan hifema.

Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang,


maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut

sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate,


yaitu :

mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmenpigmen

yang

difagositirnya,

biasanya

dijumpai

pada

jenis

granulomatosa.

punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma,
terdapat pada jenis non granulomatosa.

Apabila

tidak

mendapatkan

terapi

yang

adekuat,

proses

keradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi.


Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan
antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia
posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang
disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut

oklusio

pupil.

Perlekatan-perlekatan

tersebut,

ditambah

dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat

aliran aquos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan
sehingga aquos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan
mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan
akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa,
yang

menyebabkan

komplikata.

Apabila

lensa

menjadi

keradangan

keruh

menyebar

dan
luas,

terjadi
dapat

katarak
timbul

endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan


struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun
panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya
tidak segera ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada
mata sebelahnya yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan
pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus, terutama
yang mengenai badan silier.
Uveitis intermediet
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis
adalah

peradangan

intraokular

terbanyak

kedua.

Tanda

uveitis

intermediet yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis


intermediet biasanya bilateral dan cenderung mengenai pasien remaja
akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan
wanita. Gejala- gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan
kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya
sedikit. Temuan pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis seringkali
disertai dengan kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola
salju (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan corpus ciliare
seperti gundukan salju (snow-banking). Peradangan bilik mata depan
minimal tetapi jika sangat jelas peradangan ini lebih tepat disebut

panuveitis.

Penyebab

uveitis

intermediate

tidak

diketahui

pada

sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan multipel sklerosis


berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi uveitis intermediate yang
tersering

adalah

edema

makula

kistoid,

vaskulitis

retina

dan

neovaskularisasi pada diskus optikus.


Uveitis intermediet terutama mengenai mata bagian tengah
corpus ciliare, khususnya pars plana, retina perifer dan vitreus.
Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun
kadang-kadang penderita mengeluhkan gangguan penglihatan akibat
edema makular sistoid kronik. Tanda dari uveitis intermediet adalah
infiltrasi seluler pada vitreus (vitritis) dengan beberapa sel di COA dan
tanpa lesi inflamasi fundus.

Uveitis posterior
Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen
posterior uvea, yaitu pada koroid, dan disebut juga koroiditis. 3) Karena
dekatnya koroid pada retina, maka penyakit koroid hampir selalu
melibatkan retina ( korioretinitis ).2) Uveitis posterior biasanya lebih
serius dibandingkan uveitis anterior.6)
Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut
tapi biasanya berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut (akut
dan kronik) dapat menyebabkan pembuluh darah diretina saling
tumpang tindih dengan proses peradangan di uvea posterior.

Penyebab utama uvea posterior tidak berpengaruh pada faktor


eksternal

dari

uvea

bagian

posterior.

Dengan

pemeriksaan

oftalmoskopi standar dan lamanya peradangan penyakit secara


lengkap dengan perubahan pada koroid sudah dapat dilihat kelainan.
Terjadinya perubahan elevasi yang memberi warna kuning atau abu
abu yang dapat menutup koroid sehingga pada pemeriksaan koroid
tidak jelas.
Perdarahan diretina akan menutup semua area, pada beberapa
kasus terdapat lesi yang kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah
beberapa minggu atau bulan akan ditemukan infiltrat dan edema
hilang sehingga menyebabkan koroid dan retina atrofi dan saling
melekat. Daerah yang atrofi akan memberikan kelainan bermacam
macam dalam bentuk dan ukuran. Perubahan ini akan menyebabkan
perubahan warna koroid menjadi putih, kadang pembuluh darah koroid
akan tampak disertai karakteristik dari deposit irregular yang banyak
atau berkurangnya pigmen hitam terutama pada daerah marginal.
Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang berkurang di
koroid dan retina. Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan
penglihatan kabur disertai dengan melihat lalat berterbangan (
floaters). Penurunan tajam penglihatan dapat

dimulai dari ringan

sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah makula atau


papilomakula.

Kerusakan bisa terjadi perlahan lahan atau cepat pada humor


vitreus yang dapat dilihat jelas dengan fundus yang mengalami
obstruksi. Pada korioretinitis yang lama biasanya disertai floaters
dengan penurunan jumlah produksi air mata pada trabekula anterior
yang

dapat

ditentukan

dengan

pemeriksaan

fenomena

Tyndall.

Penyebab floaters adalah terdapatnya substansi di posterior kornea


dan agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea bagian dalam.
Mata merah merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau
putih yang disertai penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini
biasanya sudah didapatkan atropi pada koroid, sering kali uveitis
posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya kabur.
Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang
menurun, floating spot dan skotoma. Karena terdapat banyak kelainan
pada badan vitreus sel yang disebabkan fokal atau multifokal retina
dan koroid gambaran klinis bisa juga secara bersamaan. Diagnosis
banding tergantung dari lama dan penyebab infeksi atau bukan infeksi.
Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan cacing
non infeksi, bisa juga disebabkan oleh penurunan imunologik atau
alergi organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah timbul
endoftalmitis dan neoplasma.
2.1. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Penyakit Virus

Penyakit Herpes

2)

Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah


keratitis. Lesi kulit vesikuler juga dapat muncul di kulit dan tepi
kelopak. Herpes simpleks dapat menyebabkan iridosiklitis.
Virus herpes simpleks tipe I, virus varicela zoster, dan CMV
pernah dilaporkan sebagai penyebab sindrom nekrosis retina
akut.

Sindrom Nekrosis Retina Akut (ARN)

2)

ARN merupakan suatu proses nekrosis pada retina yang


disebabkan oleh infeksi. Biasanya mengenai kedua mata
( pada 33 % pasien), paling banyak berusia 26 tahun .
Penyebab penyakit ini yang paling sering adalah virus varisela
zoster, herpes simpleks tipe 2 dan cytomegalovirus. Kadang
penyakit ini tanpa gejala sehingga pasien tampak sehat
meskipun mengenai pasien dengan AIDS. ARN merupakan
diagnosis dari gejala klinik, pasien sering datang dengan
keluhan penglihatan kabur secara akut. Terdapat inflamasi
segmen anterior yang memberi rongga pada beberapa bagian
disertai eksudat pada badan vitreus. Masa inkubasi 2 minggu
sampai terbentuknya sumbatan yang akan menyebabkan
arteriolitis retinal, vitritis dan bercak kuning putih di posterior
retina.

AIDS dan Retinitis Cytomegalovirus

2)

Penyakit mata merupakan manifestasi umum dari AIDS,


pasien mengalami beberapa kondisi penyakit mata :
o Oklusi

mikrovaskular

menyebabkan

perdarahan

retina dan cotton wool spot (daerah infark pada


lapisan serabut saraf retina).
o Deposit endotel kornea.
o Neoplasma pada mata dan orbita.
o Gangguan

neurooftalmika

termasuk

palsy

okulomotorik.
Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis
CMV. Awalnya ditemukan lebih dari 1/3 pasien AIDS, namun

populasi beresiko telah berkurang secara bermakna sejak


berkembangnya terapi antivirus yang sangat aktif dalam terapi
AIDS. Khas terjadi pada pasien dengan hitung sel CD4 + dan
leukosit 5/ l. Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur
atau

floaters.

Diagnosis

penyakit

AIDS

biasanya

telah

ditegakkan dan sering ditemukan tampilan AIDS lainnya


seperti retinopati CMV yang terdiri dari area retina keputihan
berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi hingga
terlihat seperti keju softage. Lesi itu dapat mengancam makula
atau lempeng optik dan biasanya terdapat sedikit inflamasi
pada vitreus.
Retina yang terkena Cytomegalovirus

Penyakit Jamur

Histoplasmosis
Merupakan

3)

kelainan

multifaktor

korioretinitis,

epidemiologinya berhubungan dengan Histoplasma capsulatum,


yang merupakan jamur dimorfik yang dalam perkembangannya
dapat bertahan 2 tahun dalam bentuk filamennya. Spora jamur
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit sistemik dan

penyakit mata. Beberapa daerah di Amerika Serikat yang


endemis

histoplasmosis

yaitu

Ohio

dan

lembah

sungai

Missisippi. Diagnosis koroiditis yang diduga disebabkan oleh


histoplasmosis sering ditegakkan. Infeksi primer pada mata
terjadi setelah kontak spora jamur yang berasal dari paru
paru. Jamur ini dapat menyebar ke limpa, hati, dan koroid
mengikuti infeksi yang berasal dari paru paru. Histoplasmosis
didapat kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat dari
keadaan sakit yang tidak berbahaya dan biasanya ditemukan
pada anak anak.
Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap
histoplasmosis dan menunjukkan bercak bercak khas pada
perifer fundus. Bercak bercak ini berbentuk daerah daerah
kecil, bulat atau lonjong tidak teratur, tanpa pigmen kadang
kadang

dengan

batas

berpigmen

halus.

Kadang

dapat

ditemukan atrofi peripapiler dan hiperpigmentasi.


Bercak histo muncul pertama kali pada mata selama
masa remaja, tetapi makulopati baru berkembang pada usia 20
-50 tahun, rata-rata pada usia 41 tahun. Secara patologi, lesi
pertama muncul dalam bentuk granuloma di koroid. Koroiditis
akan menyebabkan penglihatan menurun dan terbentuk sikatrik
disertai pigmentasi pada pigmen epitelium, atau memberi
gambaran

rusaknya

membran

pigmen

epitelium

yang

disebabkan peningkatan kadar limfosit. Pada daerah pusat


koroiditis akan terbentuk pembuluh darah baru subretinal yang
baru, yang akan menyebabkan peningkatan cairan, lipid dan
darah

yang

dapat

menyebabkan

kerusakan

pada

fungsi

makular.
Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai
pembentukan bercak kecil yang menyebar, perubahan papil
papil di pigmen dan pembentukan cincin pigmen dimakula

sehingga menyebabkan saraf sensorik retina saling tumpang


tindih, kadang disertai perdarahan. Pada permulaan histo akan
terbentuk bercak dimakula dan badan vitreus yang tidak terlihat
pada histoplasmosis, jarang didapat gejala yang menyertai
bentuk atrofi. Sel vitreus tidak terlihat pada OHS, dan gejala
sering bersamaan dengan perifer dan atropi bercak histo.
Bercak tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched out
yang disebabkan oleh jumlah yang bervariasi dari luka yang
terdapat pada koroid dan yang berlengketan pada retina lapisan
luar. Gangguan penglihatan pada pusat penglihatan karena
keterlibatan makula sehingga pasien harus dirujuk ke dokter
mata.
Pada daerah koroiditis dapat diobati dengan kortikosteroid
oral dan lokal. Pada tahap awal dari angiogram fluoresein,
koroid aktif akan menghambat zat tersebut dan akan tampak
hipofluoresein. Selanjutnya, lesi koroid akan berwarna dan
menjadi hiperfluoresein. Dengan kontras, area pada membran
neovaskular subretina aktif akan menjadi hiperfluoresein yang
terjadi awal pada angiogram.
Membran neovaskular penting jika hanya terdapat pada
daerah

diskus-makula.

Jika

di

luar

superotemporal

dan

inferotemporal vascular arcades, hal tersebut tidak mengurangi


penglihatan

dan

tidak

membutuhkan

terapi.

Namun

jika

membran tersebut terletak di 1-200 m dari tengah, laser


fotokoagulasi

diindikasikan

untuk

mencegah

hilangnya

penglihatan.
Macular

Photocoagulation

Study

Group

bekerjasama

dengan Multicenter Study menunjukan efek yang berguna


dengan fotokoagulasi argon biru-hijau. Pasien yang tidak diobati
menunjukkan

persentase

yang

tinggi

(50%)

kehilangan

penglihatan dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan

terapi laser (22%) selama 24 tahun. Krypton merah atau Argon


hijau gelombang tinggi dapat memberi hasil penglihatan yang
lebih baik dengan luka retina yang lebih sedikit dibandingkan
dengan fotokoagulasi argon biru-hijau. 3)

Kandidiasis ( Candida albicans)

3)

Meskipun tidak umum, insiden penyakit inflamasi bola


mata

yang

disebabkan

oleh

Candida

albican

meningkat

khususnya sebagai akibat dari penggunaan imunosupresan dan


obat-obat intravena. Retinitis kandida dapat terlihat pada
penderita AIDS akibat penggunaan obat intravena meskipun hal
tersebut jarang terjadi. Candida endoftalmitis terjadi pada 1037% pasien dengan kandidemia yang tidak mendapat terapi
anti jamur. Pada pasien yang mendapat terapi anti jamur
kemungkinan mengenai mata terjadi penurunan. Organisme
menyebar

secara

mempengaruhi

metastasis

vitreus

dan

ke
retina

koroid.

Replikasi

sekunder.

Gejala

jamur
dari

kandidiasis mata adalah penurunan tajam penglihatan atau


floaters, tergantung pada lokasi lesi. Menyerupai koroiditis
Toxoplasma lesi pada segmen posterior tampak putih kuning
dengan batas yang halus, dengan ukuran dari spot woll yang
kecil sampai beberapa pertambahan diameter diskus. Lesi
mula-mulanya terdapat di retina dan berakibat eksudasi ke
vitreus. Lesi perifer mungkin menyerupai pars planitis.
Diagnosa kandidiasis mata dapat ditegakkan dengan
kultur darah positif yang didapat pada saat terjadi kandidemia.
Seorang dokter harus waspada pada kemungkinan diagnosis
kandidiasis pada pasien rawat inap yang menggunakan kateter
intavena atau yang mendapat terapi antibiotik sistemik, steroid
dan antimetabolit. Pasien yang dirawat karena kandidemia
harus diperiksa kemungkinan mengenai mata. Pada pasien
tersebut pada dua pemeriksaan akan ditemukan dilatasi fundus

yang dilakukan secara terpisah selama 1-2 minggu untuk


mendeteksi metastasis penyakit mata.
Pengobatan untuk kandidiasis mata meliputi intravena,
pengobatan anti jamur periokular dan intraokular seperti
amphoterisin B dan ketokonazole, Flusitosin, Fluconazole atau
Rifampin oral yang dapat diberi dengan ditambah amphoterisin
B intravena. Bila proses inflamasi mengenai retina dan sampai
ke dalam vitreus, anti jamur intravitreal dan vitrektomi dapat
dipertimbangkan. Terapi yang tepat untuk lesi perifer memiliki
prognosis yang baik. Namun, pengobatan yang cepat pada lesi
sentral jarang menyelamatkan penglihatan karena merusak
fotoreseptor

sentral.

Konsultasi

dengan

spesialis

penyakit

infeksi dapat sangat membantu.


Penyakit Protozoa
Toxoplasmosis

2)

Toxoplasma
intraselular

yang

gondii

adalah

menyebabkan

parasit
nekrosis

protozoa
retina

obligat

koroiditis.

Terdapat 3 bentuk:
+ Ookista, atau bentuk tanah (10-12m)
+ Takizoit, atau bentuk aktif infeksius ( 4-8 m)
+ Kista jaringan atau bentuk laten (10-200m),
mengandung sebanyak

3000 bradizoit

T. gondii adalah parasit usus yang ditemukan pada kucing.


Ookista ditemukan pada feses kucing yang kemudian termakan
oleh tikus dan burung yang dapat berperan sebagai reservoir
atau host intermediet bagi parasit. Vektor serangga dapat juga
menyebarkan T.gondii dari feses kucing ke sumber makanan
manusia, termasuk tumbuhan dan binatang herbivora.
Manusia terinfeksi lebih sering karena memakan daging
yang mentah dan kurang matang yang mengandung kista

jaringan.

Wanita

yang

mendapat

Toxoplasmosis

selama

kehamilan dapat mentransmisikan takizoit ke janin dengan


potensial mata yang parah, SSP dan komplikasi sistemik. Wanita
hamil nonimun tanpa bukti serologik terpapar toxoplasmosis
harus

berhati-hati

bila

memelihara

kucing

dan

harus

menghindari daging mentah. Pasien AIDS juga mudah terkena.


Toxoplasmosis tercatat pada 7-15% dari uveitis. Karena
penyakit tersebut dapat merusak penglihatan struktur mata, hal
tersebut penting bagi para ahli mata untuk mengenal lesi
tersebut dan untuk menghindari potensi kematian. Diagnosis
yang

tepat

pada

waktunya

sangat

penting

karena

toxoplasmosis memberi respon pada terapi anti mikroba dan itu


merupakan bentuk yang masih dapat diobati pada uveitis
posterior.
Tergantung pada luasnya lokasi lesi, pasien mengeluh
floating spot unilateral atau penglihatan kabur. Secara umum
segmen anterior tidak mengalami inflamasi pada awal penyakit,
dan pasien memperlihatkan mata putih dan penglihatan yang
masih nyaman. Kadang-kadang inflamasi granulomatosa dapat
terjadi

peningkatan

tekanan

bola

mata

khususnya

pada

penyakit yang berulang.


Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan
pemeriksaan mata baik dengan pemeriksaan direk maupun
indirek. Kuning keputihan, sedikit tinggi letaknya, lesi kabur
dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi sering berada dekat
dengan bekas luka korioretinal. Lesi tersebut tampak pada
bagian posterior dibandingkan pada fundus bagian lain dan
kadang-kadang

terlihat

berdekatan

dengan

papil

nervus

optikus. Sering salah dianggap sebagai papilitis optik. Pembuluh


darah retina pada sekitar lesi aktif tampak perivaskulitis dengan
sarung vena dan arterial segmental yang difus. Karakteristik lesi

adalah retinitis fokal eksudatif. Pada lapisan depan retina


merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii. Lesi ini tidak
menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal penyakit,
dan pasien tidak menyadari floating spot sampai lapisan depan
retina

dan

membran

hialoid

posterior

terkena.

Retinitis

toksoplasma dapat dimanifes oleh lesi retina perifer, kecil,


punctata, sering disebut Punctate Outer Retinal Toxoplasmosis
(PORT).

Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan:


1. Observasi

dari

karakteristik

lesi

fundus

(fokal

nekrosis retinokoroiditis)
2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada
serum pasien
3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat
menyebabkan nekrosis lesi pada

fundus, seperti

sifilis, sitomegalovirus dan jamur.


Pemeriksaan
pemeriksaan

toxoplasma

hemaglutinasi,

dye
atau

Sabin

dan

Feldman,

pemeriksaan

antibody

immunofluoresen indirek menyediakan fasilitas yang sama.


Namun ELISA dapat memberi lebih sensitifitas dan spesifisitas.
Harus di ingat bahwa titer serum pada pemeriksaan tersebut
dapat sangat rendah pada pasien dengan toksoplasmosis mata
dan tidak terdapat tanda sistemik lain pada penyakit ini. Titer

serum antibodi signifikan apabila terdapat lesi fundus yang


berhubungan dengan toksoplasmosis mata. Pemeriksaan humor
akous dapat digunakan untuk konfirmasi adanya penyakit
toksoplasma pada kasus yang masih meragukan. Pemeriksaan
tersebut lebih signifikan pada saat titer antibodi pada humor
akous lebih tinggi daripada dalam serum.
Meskipun diagnosis toksoplasmosis mata didasari dengan
pemeriksaan fisik, antibodi antitoksoplasmosis negatif perlu
dipikirkan

diagnosis

lain.

Para

dokter

dalam

hal

menginterpretasikan standar pemeriksaan antibodi IgG harus


mengingat bahwa laboratorium menampilkan pemeriksaan
pada dilusi 1 : 8 atau lebih, meskipun reaksi antibodi positif
ditemukan dilusi 1 : 4 atau kurang. Titer antibodi yang sangat
rendah ini tetap mengindikasikan terdapat toksoplasmosis yang
sebelumnya tetapi juga dapat mengarah ke positif palsu
sebagai hasil dari reaksi nonspesifik.
Penyakit non infeksi

Autoimun:Vaskulitis retina, penyakit bechet, oftalmia simpatis.

Keganasan:Leukemia,

sarcoma

sel

reticulum,

melanoma

maligna, leukemia

Etiologi tidak diketahui: Sarkoiditis, epitelopati pigmen retina,


koroiditis geografik.
Yang

sering

terjadi

mengakibatkan

uveitis

posterior adalah :
Sindrom Behcet
Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari
wanita.Penyebab diduga suatu proses imunologik tetapi virus
sebagai penyebab tidak dapat disingkirkan. 4) Walaupun memiliki
banyak gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya

perubahan mencolok kadar komplemen serum pada permulaan


serangan mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun. Barubaru ini pada pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun
berkadar tinggi dalam darah. Sebagian besar pasien dengan gejala
mata positif untuk HLA-B51, suatu subtipe HLA-B5.

9)

Behcet syndrome,hypopion
Ditandai 4 kelainan yaitu :
o Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada dasarnya
didapatkan peri arteritis dan end arteritis yang menyebabkan
vaskulitis obliteratif sehingga dapat terjadi iskemi retina,
perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat hipopion maka
hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut.
o Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang
dapat mengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum
serta palatum molle.
o Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta
hipersensitivitas kulit.
o Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria atau
wanita4).

Pengobatan

sering

berupa

pemberian

imunosupresan multipel (mis: steroid, siklosporin, azatioprin),


walaupun demikian hasil akhir penglihatan tetap buruk pada
25% kasus.7)
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)

3)

Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata


yang ditandai oleh iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan
pelepasan serosa retina. Penyakit ini biasanya diawali oleh suatu
episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-kadang
vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi
kerontokan

rambut

bebercak

atau

timbul

uban.

Walaupun

iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan


penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka
panjang

berupa

pelepasan

serosa

retina

dan

gangguan

penglihatan.
Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur yang
mengandung melanin. Tetapi virus sebagai penyebab belum dapat
disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau cedera,
infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata,
kulit

dan

rambut

sedemikian

rupa

sehingga

tercetus

hipersentivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur tersebut.


Baru-baru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari segmen luar
lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang mungkin
menjadi autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
biasanya adalah Oriental, yang mengisyaratkan adanya disposisi
imunogenetik.
Oftalmia Simpatika 4)
Yaitu pan uveitis granulomatosa pada mata yang semula
sehat (sympathetic eye) yang timbul minimal dua minggu setelah
terjadinya trauma tembus pada mata yang lain (exciting eye).
Biasanya exciting eye ini tidak pernah senbuh total dan tetap
meradang pasca trauma, baik tauma tembus akibat kecelakaan
ataupun trauma karena pembedahan mata. Tanda awal dari mata

yang

ber-simpati

adalah

hilangnya

daya

akomodasi

serta

terdapatnya sel radang di belakang lensa.


Penyebab yang pasti belum diketahui tetapi Gejala ini diikuti
oleh iridosiklitis sub akut, sebukan sel radang dalam vitreus dan
eksudat putih kekuningan pada jaringan dibawah retina. Penyakit
ini dapat disertai dengan gejala-gejala sistemik lain seperti
vitiligo, alopesia dan poliosis (uban) sehingga mirip sindrom VKH.
Bedanya

adalah

pada

sindrom

VKH

tidak

ada

riwayat

trauma.diduga kuat merupakan suatu reaksi autoimun terhadap


jaringan pigmen uvea atau pigmen epitel retina yang telah
berubah sifat menjadi antigen pasca trauma tembus mata.
Pengobatan
memberikan

pemberian

perbaikan

kortikosteroid;

dapat

ditambah

bila

tidak

pemberian

imunosupresan. Yang terpenting adalah hati-hati dan waspada


menghadapi trauma tembus mata yang disertai destruksi jaringan
uvea.
Poliarteritis Nodosa

4)

Penyakit kolagen ini mengenai arteri berukuran sedang,


terutama pada pria. Terjadi peradangan hebat pada semua lapisan
otot arteri, dengan nekrosis fibrinoid dan eosinofilia perifer.
Gambaran

klinis

utama

adalah

nefritis,

hipertensi,

asma,

neuropati perifer, nyeri dan atrofi otot dan eosinifilia perifer.


Sering terjadi kelainan jantung, walaupun kematian biasanya
disebabkan oleh disfungsi ginjal.
Kelainan mata dijumpai pada 20% kasus dan terdiri dari
episkleritis

dan

skleritis

yang

sering

tidak

nyeri.

Apabila

pembuluh-pembuluh limbus terkena, dapat terjadi pembentukan


alur-alur di kornea perifer. Sering terjadi mikrovaskulopati retina.
Hilangnya penglihatan secara mendadak mungkin disebabkan
oleh neuropati optikus iskemik yang mencerminkan keparahan
vaskulitis di pembuluh siliaris atau sumbatan arteri retina

sentralis.

Dapat

terjadi

oftalmoplegia

akibat

arteritis

vasa

nervorum. Kortikosteroid sistemik dan siklofosfamid memberi


manfaat, tetapi prognosis jangka panjang tetap buruk.
Granulomatosis Wegener

4)

Proses granulomatosa ini memiliki persamaan gambaran


klinis tertentu dengan poliarteritis nodosa. Tiga kriteria diagnosis
adalah :
- Lesi granulomatosa nekrotikans pada saluran napas
- Arteritis nekrotikans generalisata
- Kelainan ginjal berupa glomerulitis nekrotikans
Penyulit pada mata terjadi pada 50% kasus dan terjadi
proptosis

akibat

pembentukan

granuloma

orbita

disertai

keterlibatan otot mata atau saraf optikus. Apabila vaskulitis


mengenai mata dapat terjadi konjungtivitis, ulserasi kornea
perifer, skleritis, episkleritis, uveitis dan vaskulitis retina.
Antibodi sitoplasma antineutrofilik ditemukan pada sebagian
besar kasus dan memiliki nilai diagnostik sekaligus prognostik.
Kortikosteroid

yang

dikombinasikan

dengan

imunosupresan

(terutama siklofosfamid) sering memberi hasil memuaskan.


Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut (APMPPE)

3)

APMPPE biasanya menyerang individu pada usia remaja dan


dewasa

muda.

Pasien

mengeluh

penglihatannya

berkurang.

Sebagian penderita umumnya merasa sehat, tetapi ada juga yang


mempunyai gejala-gejala prodormal seperti pada penyakit infeksi
virus. Pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya banyak lesi
berupa plak berwarna putih kekuningan dan homogen, pada retina
pigmen epithelium dan koriokapilaris. Setelah 2-6 minggu, lesi ini
akan menghilang dan meninggalkan depigmentasi pada retina
pigmen epithelium.

Diagnosis APMPPE ditegakkan berdasarkan gambaran klinik,


terutama jika didahului adanya gejala sistemik seperti gejala
infeksi

virus.

Pada

stadium

akut,

fluorescein

angiografi

menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid oleh lesi plakoid


dan adanya bekas noda hiperfluoresein. Pada kebanyakan kasus,
pengobatan tidak diperlukan, ketajaman penglihatan akan kembali
normal dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Penyakit ini mirip dengan koroidopati serpiginosa (geografik),
tetapi APMPPE adalah penyakit yang bersifat akut dan biasanya
tidak rekuren, sedangkan koroidopati serpiginosa adalah penyakit
yang sangat progresif.

Retina terkena APMPPE


Epitelitis Pigmen Retina Akut (ARPE)

3)

Epitelitis Pigmen Retina Akut atau disebut juga penyakit Krill


adalah peradangan akut retina pigmen epitelium yang dapat
sembuh sendiri. Penyebabnya tidak di ketahui. Biasanya terjadi
pada umur antara 16-40 tahun. Pasien biasanya sehat dan
mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan unilateral
secara

tiba-tiba.

Pemeriksaan

fundus

menunjukkan

lesi

hiperpigmentasi halus pada bagian retina pigmen epitelium. Dua

sampai empat kelompok dari dua sampai enam titik-titik muncul


di kutub posterior. Angiografi fluoresein menunjukkan gambaran
target atau honeycomb dengan pusat hiperpigmentasi dan di
kelilingi

halo

hiperfluoresein.

Pengobatan

tidak

diperlukan.

Gangguan penglihatan dan lesi di retina akan menghilang dalam


6-12 minggu.
Retinokoroidopati Birdshot (Korioretinitis Vitiliginosa) 3)
Keadaan yang tidak umum ini biasanya terjadi pada dekade
ke-5

sampai

dibandingkan

dekade
pria.

ke-7
Gejala

kehidupan,
awalnya

wanita
berupa

lebih

sering

berkurangnya

ketajaman penglihatan, nyctalopia dan gangguan penglihatan


warna. Mungkin ada sedikit inflamasi segmen anterior. Didalam
vitreus

dapat

ditemukan

sel-sel.

Karakteristiknya

adalah

ditemukannya banyak bintik putih kekuningan atau depigmentasi


pada fundus, seolah-olah fundus mendapat pukulan birdshot
from a shotgun. Bintik-bintik juga muncul pada pigmen epitelium.
Edema diskus, atrofi N. Optikus, edema makula, pembuluh darah
retina menipis dan berkerutnya permukaan retina dapat juga
ditemukan. Pada 80-90% pasien dapat ditemukan HLA-A29
haplotipe, yang mana merupakan faktor predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakit ini. Penyakit ini adalah penyakit
yang kronik, sering mengalami eksaserbasi dan remisi.
Koroiditis Punctata

3)

Koroidotis Punctata adalah peradangan idiopatik koroid yang


biasanya terjadi pada wanita yang menderita myopia, yang
berusia antara 18-37 tahun. Pasien dengan PIC akan mengeluh
kehilangan ketajaman penglihatan sentral, biasanya bilateral.
Tidak terdapat sel pada vitreus, tetapi lesi berukuran kecil (100300 m) berbentuk punctate berwarna kuning disebelah dalam

koroid ditemukan di kutub posterior. Penyakit ini dapat sembuh


dalam 4-6 minggu.

lesi pungtata kekuningan pada RPE dan koroid


(dikutip dari www.uveitis.org/medical/article/case/wds.html)
Koroidopati Serpiginosa 3
Biasanya penyakit ini menyerang wanita pada dekade ke-4
sampai dekade ke-6 kehidupan. Keluhan utama dari pasien ialah
penglihatan menjadi kabur. Pada vitreus tidak ditemukan sel,
tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan sel dalam jumlah
yang

banyak.

Gambaran

sikatriks

seperti

serpiginosa

(pseudopodial) atau geograpik (seperti peta) terdapat di fundus


posterior. Tepi lesi ini mungkin aktif, berwarna kuning abu-abu dan
tampak edema. Daerah yang aktif akan menjadi atrofi dalam
beberapa minggu sampai beberapa bulan, kemudian lesi yang
baru dapat muncul di mana saja atau berdekatan dan memberi
gambaran seperti ular.
Diagnosis

dapat

ditegakkan

berdasarkan

karakteristik

gambaran klinik. Angiografi fluorescein menunjukkan awalnya ada


hambatan pada koroid, pada daerah dimana penyakitnya aktif.
Pada saat penyakitnya tidak aktif, daerah yang menarik zat warna
dapat menyebarkan fluorescein, tetapi tidak di tahan. Jika

penyakit ini mengenai makula, maka ketajaman penglihatan


sentral akan terganggu.
Fibrosis Subretina dan Sindrom Uveitis (SFU) 3
Panuveitis ini biasanya lebih banyak mengenai wanita yang
berusia

antara

14-34

tahun.

Penyebabnya

tidak

diketahui.

Histopatologi dari biopsi korioretinal terutama menunjukkan sel


dan sel plasma. Pasien biasanya memiliki kondisi fisik yang sehat
dan

mengeluh

adanya

penurunan

ketajaman

penglihatan,

biasanya bilateral. Pada awalnya, pasien yang menderita penyakit


ini akan menunjukkan vitritis bilateral dan multifokal koroiditis.
Kemudian, lesi pada koroid akan berkembang menjadi lesi fibrotik
subretinal berbentuk stellate yang besar. SFU memberi respons
yang kurang baik terhadap berbagai bentuk pengobatan, dan
prognosis dari tajam penglihatan juga buruk.
Koroiditis Multifokal dan Sindrom Panuveitis (MCP)
Koroiditis

Multifokal

dan

sindrom

Panuveitis

adalah

peradangan idiopatik koroid, retina dan vitreus, lebih sering terjadi


pada wanita. Penyebabnya tidak diketahui. Pasien menunjukkan
vitritis bilateral (82%) dan multifokal koroiditis. Dalam keadaan
aktif,

lesinya

berukuran

kecil

(50-350

m)

dan

berwarna

kekuningan. Lesi makula mungkin dapat dihubungkan dengan


pembuluh darah baru membran subretina.
Diagnosis penyakit ini adalah sesuatu yang penting karena
ada

berbagai

multifokal
tuberkulosis

kondisi

koroiditis
dan

yang
dan

sindrom

mungkin
panuveitis.
titik

putih

diperhatikan. Penyakit ini sering kronik.

dapat

menyebabkan

Sarkoidosis,
pada

retina

sifilis,
harus

Lesi kuning multifokal pada koroid


(dikutip dari : www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html)
2.2

4)

Diagnosis

A. Anamnesis Uveitis posterior


Umur : Pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh
sindrom

samaran,

seperti

retinoblastoma

atau

leukemia.

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun penyebab uveitis


posterior

termasuk

Toksoplasmosis,

Uveitis

intermediate,

Sitomegalovirus dan infeksi bakteri atau fungi. Dalam kelompok


umur 16 sampai 40 tahun yang termasuk diagnosa banding
adalah Toksoplasmosis, Sifilis dan Candida. Pada pasien yang
berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis
retina akut, Toksoplasmosis, Retinits dan Sarkoma sel reticulum.
Lateralisasi : Yang unilateral lebih condong untuk diagnosis
uveitis akibat toksoplasmosis, Kandidiasis dan sindrom nekrosis
retina akut.
B. Gejala

5)

Uveitis anterior
1. Pada anamnesa penderita mengeluh:

Mata terasa seperti ada pasir.

Mata merah disertai air mata.

Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri


bertambah hebat bila telah timbul glaukoma sekunder.

Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar

Blefarospasme.

Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah


terjadi katarak komplikata, penglihatan akan banyak
menurun.

2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.


Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar

sekitar limbus, dan keratic precipitate.


Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion

atau hifema bila proses sangat akut.


Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang

didapatkan iris bombans.


Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia

anterior.
Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat

sampai negatif.
Lensa keruh, terutama

komplikata.
Tekanan intra

okuler

bila

telah

meningkat,

terjadi

bila

telah

katarak
terjadi

glaukoma sekunder.
Uveitis posterior
o Penurunan

penglihatan

Penurunan

ketajaman

penglihatan dapat terjadi pada semua jenis uveitis


posterior dan karenanya tidak berguna untuk diagnosis
banding
o Injeksi mata : Kemerahan mata tidak terjadi bila hanya
segmen posterior yang terkena. Jadi gejala ini jarang pada
Toksoplasmosis dan tidak ada pada histoplasmosis. Biasa
terlihat seperti lalat yang berterbangan (floaters)

o Sakit : Rasa sakit terdapat pada pasien dengan sindrom


nekrosis retina akut, Sifilis, Infeksi bakteri endogen,
Skleritis posterior dan pada kondisi-kondisi yang megenai
N. II.
o Fotofobia.
C.

Pemeriksaan

5)

Pemeriksaan pada mata


Terdiri

dari

binokuler,

pemeriksaan

visus,

pemeriksaan

pemeriksaan

dengan

dengan

funduskopi

dan

pemeriksaan lapangan gelap.


Pemeriksaan darah
Terdiri dari pemeriksaan darah rutin dan indikator leukosit
yang akan diamati.
Pemeriksaan etiologi
Seperti

apabila

dicurigai

penyebabnya

kuman

TBC

dilakukan Mantoux test (test untuk Tuberkulosis) dan


rontgen (Thorax ).
Pada

umumnya

segmen

anterior

bola

mata

tidak

menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga seringkali


proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai
penglihatannya kabur.
Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau
koroiditis

tanpa

komplikasi.

Apabila

proses

peradangan

berlanjut akan didapatkan retinikoroiditis, hal yang sama


terjadi

pada

koroiditis

yang

akan

berkembang

menjadi

korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang


kabur dan lesi terlihat 3 dimensional dan dapat disertai

perdarahan

disekitarnya,

dilatasi

vaskuler

atau

sheating

pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali
berpigmen

rata

atau

datar

dan

disertai

hilang

atau

mengkerutnya jaringan retina atau koroid. Pada lesi yang lebih


lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan
jaringan mana yang lebih dahulu terkena. 4)
2.3 Terapi

Uveitis anterior
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk
mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila
sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan
seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya

penyakit

dan

terjadinya

komplikasi

yang

tidak

diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:

Terapi non spesifik


1. Penggunaan kacamata hitam. Kacamata hitam bertujuan untuk
mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat. Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri
akan berkurang, sekaligus untuk meningkatkan aliran darah
sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/sikloplegik. Tujuan pemberian midriatikum adalah agar
otot-otot iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi
nyeri dan mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum
sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada. Midriatikum yang biasanya
digunakan adalah:

Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes

Homatropin 2% sehari 3 kali tetes

Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes

4. Anti inflamasi. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah


kortikosteroid, dengan dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone
1 %. Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau
periokuler: dexamethasone phosphate 4 mg (1ml). prednisolone
succinate 25 mg (1 ml). triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml).
methylprednisolone acetate 20 mg. Bila belum berhasil dapat
diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per hari sampai
tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali. Pada pemberian
kortikosteroid,

perlu

diwaspadai

komplikasi-komplikasi

yang

mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal


selama

lebih

dari

dua

minggu,

dan

komplikasi

lain

pada

penggunaan sistemik.

Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari
uveitis anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering
adalah bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik.

Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan


steroid. Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid.
Per oral dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul

Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali. Walaupun


diberikan

terapi

spesifik,

tetapi

terapi

non

spesifik

seperti

disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang


terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

Uveitis posterior
Pengobatan yang diberikan tergantung pada penyebab dan
luasnya kerusakan pada mata
Konservatif
Biasanya pasien diberikan anti - radang seperti kortikosteroid,
immunosuppressive / cytotoxic agent . Bila penyebabnya
infeksi maka akan diberikan antibiotik atau anti virus.

Tindakan
Kadang-kadang vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk
membersihkan cairan dalam bola mata yang meradang atau
untuk

diagnosis

penyakit.

Terapi

fotokoagulasi

dan

kryotherapi kurang berhasil. Neovaskularisasi retina dapat


terjadi

pada

toksoplasma,

dan

fotokoagulasi

dari

lesi

neovaskular dapat mencegah kehilangan penglihatan sampai


perdarahan vitreus.
2.4 Penyulit dan komplikasi

Komplikasi uveitis anterior:


Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior
dan sinekia anterior, perlu diberikan midriatikum, seperti
yang telah diterangkan sebelumnya.
Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada uveitis anterior. Terapi yang harus
diberikan antara lain:

Terapi konservatif:
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam.
acetazolamide 250 mg tiap 6 jam.

Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi
TIO masih tetap tinggi. Glaukoma sudut tertutup:
iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior
Synechia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi.
Glaukoma sudut terbuka: bedah filtrasi.

Katarak komplikata.
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior
kronis. Terapi yang diperlukan adalah pembedahan, yang
disesuaikan

dengan

keadaan

dan

jenis

katarak

serta

kemampuan ahli bedah.

Penyulit uveitis posterior3) :


Keratopati pita
Uveitis kronik dalam beberapa tahun khususnya pada
anak akan menimbulkan pengendapan kalsium pada
membrane basalis dan lapisan bowman. Endapan
kalsium

biasanya

intrapalpebra

sering

ditimbulkan

pada

daerah

meluas

daerah

sumbu

ke

penglihatan. Terapi dilakukan dengan cara epitel kornea


sentral dilepaskan dengan 15 bard parker blade dengan
meninggalkan sel sel stem limbal secara utuh,
kemudian ditetesi EDTA 0,35% 5 menit kemudian dicuci
dengan BSS. Proses ini diulang hingga beberapa kali
sampai deposit kalsium hilang dan dipasang bandage
lensa kontak kemudian diberi antibiotik dan sikloplegik.
Katarak
Penanganan katarak pada kasus uveitis bisa dilakukan
dengan fakoemulsifikasi dengan implantasi IOL in the

bag. Pada kasus JRA terkait uveitis penanganan operasi


katarak dilakukan dengan menunggu ketenangan reaksi
dalam 3 bulan, kemudian diberi steroid pre operasi
selama 1 hingga 2 minggu. Dilakukan sinekiolisis
dengan

viskoelastik

diikuti

oleh

kapsuloresis

dan

fakoemulsifikasi serta implantasi IOL in the bag. Steroid


diberikan hingga 5 bulan. Dianjurkan menggunakan IOL
akrilik hidrofobik. Penggunaan intraoperatif tiamsinolon
asetonid 4 mg intravitreal dapat mencegah terjadinya
fibrin

pasca

bedah

katarak

dibandingkan

dengan

penggunaan steroid intravenus intraoperatif.


Glaukoma
Dapat berupa hipertensi okular, glaukoma uveitik,
glaukoma sekunder sudut sempit, glaukoma sekunder
sudut

terbuka,

glaukoma

induksi

kortikosteroid,

glaukoma uveitis mekanisme kombinasi. Pemeriksaan


pasien dengan hipertensi okuli dan uveitis dianjurkan
diperiksa foto papil. Evaluasi OCT papil nervus optikus
dan pemeriksaan lapangan pandang secara berkala.
Tindakan operasi pada uveitis adam antiades Behcet
dengan mitomisin C intraoperatif pada trabekulotomi
dapat mengontrol tekanan bola mata tanpa obat
obatan pada 83 % pasien pada akhir tahun pertama
dan 62 % pada 5 tahun pasca bedah. Beberapa penyulit
dijumpai : katarak, kebocoran bleb, dan efusi koroid.
Beberapa kasus khusus misalnya pada pseudofakik
atau afakik membutuhkan alat drainase seperti implan
monteno, implan ahmed, dan implan baerveldt. Untuk
mencegah terjadinya glaukoma steroid lebih aman
digunakan fluorometolol, loteprednol atau rimeksolon.

Ablasi retina
Ablasi retina rematogenues terjadi pada 3 % pasien
dengan uveitis, panuveitis, infeksi uveitis, pars planitis
dan uveitis posterior paling sering terjadi ablasi retina.
Lebih dari 30 % kasus uveitis dengan ablasi retina
terjadi proliferasi vitreoretina (PUR) dalam hal ini maka
sklera

buckling

dan

vitrektomi

pars

plana

perlu

dilakukan. Angka keberhasilan operasi sebesar 60 %


dengan visus akhir kurang dari 6 / 60.
Neovaskularisasi retina dan khoroid
Dapat terjadi pada setiap uveitis kronik khususnya pada
pars planitis, panuveitis sarkoidosis, beberapa variasi
kasus

vaskulitis

retina

termasuk

penyakit

ecles.

Neovaskularisasi retina terjadi pada radang kronis atau


nonperfusi kapiler. Terapi dapat dilakukan dengan
steroid atau imunodulator atau fotokoagulasi laser
scatter didaerah iskemik.
Neovaskularisasi kronik dapat berkembang pada uveitis
posterior dan panuveitis pada umumnya terjadi pada
histoplasmosis,

koroiditis

pungtata,

koroiditis

multifaktor idiopatik serta koroiditis serpiginosa. Terapi


dilakukan

dengan

fotokoagulasi

lokal

peripapiler

ditempat terjadi NUK. Beberapa imunomodulator dapat


dapat

dikombinasi

dengan

anti

VEGF

seperti

pegabtanid, bevacizumab, ranibizumad.


Endoftalmitis
Dikaitkan dengan inflamasi bola mata yang melibatkan
vitreus dan segmen depan namun kenyataan juga
dapat melibatkan koroid dan retina. Pada prinsipnya

endoftalmitis

dibagi

bentuk

yaitu

infeksi

dan

noninfeksi.
Bentuk

endoftalmitis

yang

paling

sering

dijumpai

adalah endoftalmitis infeksi yang dapat terjadi secara


eksogen maupun endogen. Endoftalmitis infeksi disebut
juga endoftalmitis steril disebabkan oleh stimulus noninfeksi misalnya sisa massa lensa pasca operasi katarak
/ atau bahan toksik yang masuk ke dalam bola mata
karena trauma.
Gejala klinik yang sering timbul adalah penurunan
tajam penglihatan, hipopion, vitritis. Penurunan tajam
penglihatan mendadak dapat berkisar mulai dari ringan
hingga

berat,

endoftalmitis,

nyeri

sering

kadang

didapat

menyertai
hiperemia

kasus
maupun

kemosis konjungtiva dan terdapat udem pada kelopak


mata dan kornea
Komplikasi uveitis posterior

8)

Hipopion
Penyakit

segmen

posterior

perubahan-perubahan
anterior

dan

disertai

penyakit

behcet,

sifilis,

yang

peradangan
hipopion

dalam

adalah

toksokariasis,

bakteri.

Gambaran hipopion
Glaukoma

menunjukan
uvea

leukemia,

dan

infeksi

Glaukoma

sekunder

mungkin

sindom

terjadi

paad

pasien

nekrosis

retina

akut,toksoplasmosis,tuberculosis,atau tuberculosis.
Vitritis
Peradangan

korpus vitreum dapa menyertai uveitis

posterior.peradangan dalam vitreum berasal dari focusfocus radang di segmen posterior mata. Peradangan
dalam vitreus tidak terjadi pada pasien koroiditis
geografik atau histoplsmosis.sedikit sel radang dalam
vitreus

dapat

terlihat

pada

pasien

sel

sarcoma

reticulum, infeksi cytomegalovirus, dan rubella, dan


rubella dan beberapa kasus toksoplasmosis dengan
fokus-fokus kecil pada retina. Sebaliknya, peradangan
berat dalam vitreus dengan banyak sel dan eksudat
terdapat pada tuberculosis, toksokariasis, sifilis.
2.5 Prognosis

7)

Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan


pemeriksaan berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan
pada matanya. Tetapi tergantung di mana letak eksudat dan dapat
menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula dapat
menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM.


Yogyakarta. 2007: 6.
2. Ilyas H Sidarta. Kelainan kelopak dan kelainan jaringan orbita.
Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Jakarta : Balai Penerbit FK
UI. 2011 : 102.
3. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang.
Universitas Diponegoro. 1993 : 75-6.
4. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John
H,editors. Optalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta. Widya Medika.
2000 : 266-78
5. PDSMI. Ilmu Penyakit Mata. PDSMI 1998 : 159-176
6. KMN. Uveitis Posterior. Diunduh dari: http://www.klinik mata
nusantara/uveitis posterior. kmn.htm. 4 Juli 2015.
7. Conrad. Uveitis Posterior. Diunduh dari: E:\uveitis
news_files\imgres.htm 5 Juli 2015.

REFERAT
UVEITIS

Oleh :
DESI KHOIRUNNISA M
2009730010
Pembimbing:
dr. Rety Sugiarti, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK STASE MATA


RUMAH SAKIT UMUM BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

Anda mungkin juga menyukai