A. Latar Belakang
1
.
kolonial di Indonesia. Gaya yang lahir di Eropa dan tumbuh cepat mendunia, masuk ke
Indonesia melalui karya-karya arsitek Belanda yang berpraktek profesional di akhir masa
penjajahan Belanda. Sebagai bagian dari wajah arsitektur kolonial, gaya ini memiliki
pengaruh dan tinggalan yang cukup banyak.
Penggal masa kolonial sangat mewarnai sejarah perkembangan arsitektur di
Indonesia. Jika dilihat bentangnya, sejarah panjang arsitektur di Indonesia dapat dibagi
dalam 3 periode utama, yaitu periode sebelum Penjajahan Belanda, periode selama masa
Penjahahan Belanda dan periode pasca Penjajahan Belanda. Periodisasi ini menempatkan
masa kehadiran dan penjajahan Belanda selama kurang lebih 3 abad sebagai penggal
arsitektur di Indonesia. Periode selama masa penjajahan Belanda banyak dikenal dengan
sebutan masa Kolonial, yang berlangsung dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 (di
tahun 1940-an). Handinoto (1986 dalam Wiyatiningsih, 2000) membagi secara garis besar
perkembangan arsitektur kolonial Belanda ini dalam tiga kurun waktu:
a
b
.
c
.
kuat dan dapat dirasakan dalam karya-karya pasca kemerdekaan. Berbeda dengan
arsitektur tradisional yang sangat beragam dan mengkespresikan identitas masing-masing
budaya, arsitektur kolonial hadir dengan bentukan arsitektur yang baru secara seragam,
sehingga memberi warna baru dalam dunia arsitektur di Indonesia. Penjajahan Belanda
adalah satu kekuatan politik yang mengikat seluruh keragaman budaya di Indonesia di
bawah satu ikatan kekuasaan, sehingga arsitektur yang dibawanya diterapkan di seluruh
wilayah Indonesia. Passchier (2009) memberi gambaran tentang keseragaman tersebut
sebagai berikut:
Sekitar tahun 1930an, penampilan rumah-rumah kolonial ini tampaknya merujuk ke
sebuah konsep arsitektur universal yang dapat dijumpai di seluruh kepulauan
Indonesia: sering berupa sebuah rumah tunggal dengan atap genting, dinding
berplester pada lapisan batu tras, jendela dari kayu jati, dan kadang-kadang terdiri
atas dua lantai dengan sebuah garasi dan sebuah paviliun. (Passchier, 2009:133)
Art Deco hadir di Indonesia pada periode ini, periode yang membawa ikatan baru
dalam arsitektur Indonesia. Dibawa bersamaan dengan gaya-gaya arsitektur yang lain oleh
para arstitek muda Belanda, seperti Thomas Karsten, C.P. Wolff Schoemaker, A.F. Falbers
dan lain-lain. Kusno (2009) melihat ada tiga gaya arsitektur yang hidup selama masa
kolonial, yaitu gaya Imperium1 , Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen.
Gaya Imperium, Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen telah menemukan
tempat ideologis dalam historiografi arsitektur Indonesia dan meninggalkan jejak
dalam bentuk Arsitektur Indonesia Kontemporer. (Kusno, 2009: 170)
pada umumnya, karena menerapkan gaya arsitektur modern dengan penyesuaian terhadap
iklim setempat (Handinoto, 1996:237 dalam Suryokusumo, 2005: 58).
Arsitektur Indish yang banyak digunakan pada bangunan-bangunan pemerintahan
dan lembaga-lembaga publik, Nieuwe Bouwen jauh lebih populer dan lebih tersebar di
kalangan kelas menengah. Nieuwe Bouwen digunakan pada banyak bangunan
yang berkaitan dengan modal (perusahaan, toko, restoran, bioskop dan permukiman
kelas menengah). Pada kota-kota di Hindia Belanda versi paling populer dari gaya ini
adalah Art Deco. (Kusno, 2009 :180)
Gambar 3 : Perubahan fasad bangunan milik Oei Tiong Ham, hasil rancangan Liem Bwan Tije tahun 1930.
Sumber : Kusno (2009:187)
Gambar 4: Jejak Perubahan fasad bangunan berars itektur Cina di Malioboro Yogyakarta (1930)
Sumber: www.KITLV;nl, diaskes tanggal 12 Juni 2013.
1930-an hinggga 1950-an. Pada penggal tersebut dunia menghadapi depresi ekonomi dan
resesi besar-besaran yang diikuti dengan perang di kawasan Eropa dan Asia Pasifik
(Perang Dunia II). Pemerintahan kolonial Belanda banyak menghentikan kegiatan pembangunan fisik dan membatalkan rencana-rencana besar pengembangan kota. Menurut
Widodo (2009:23), tidak saja pada kegiatan pembangunan yang berhenti, pada periode
tersebut debat-debat akademik yang hangat serta eksperimen-eksperimen arsitektur besar
yang sempat berkembang dengan subur di Indonesia sebelum perang, juga terhenti. Berakhirnya perang Dunia yang membawa berkah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di
tahun 1945 tidak serta merta menghidupkan kehidupan berarsitektur. Masa perang
Kemerdekaan sampai denga tahun 1950 adalah masa yang tidak aman dan tidak stabil
secara politik. Bangsa Indonesia berkonsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan
memantapkan seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pascakolonialisme sampai dengan
tahun 1950-an ini dapat dikatakan berhenti. Tidak ada bentuk baru, tidak ada gaya dan
aliran baru dan tidak ada karya-karya baru yang unggul, karena memang tidak ada kegiatan
pembangunan baru. Situasi ini mulai berubah pada tahun 1950-an yang disebut sebagai
sebuah masa renaisans 3 dalam pendidikan arsitektur dan dalam pembangunan kembali
profesi arsitektur di Indonesia. Setelah tahun 1960, arsitektur Indonesia tumbuh berkembang kembali. Era tahun 1960 1965 didominasi oleh politik pembangunan karakter
bangsa di bawah komando Soekarno, yang salah satunya dilakukan dengan pelaksanaan
pembangunan proyek-proyek mercusuar berupa hotel, toko serba ada, jembatan layang,
monumen, masjid dan perkantoran. Era ini dilanjutkan dengan Orde Baru Soeharto (mulai
tahun 1966), yang juga melakukan pembangunan secara besar-besaran didukung dengan
kekuatan ekonomi yang ditopang oleh limpahan produksi minyak (Widodo, 2009:23).
Gaya arsitektur apa yang berkembang pada era pascakolonialisme? Gaya
Internasionalisme banyak mewarnai bangunan-bangunan yang dibangun pada era
pascakolonialisme. Proyek-proyek besar yang dibangun pada masa itu menjadi simbol dari
kekuatan dan dijadikan mercusuar yang membangkitkan semangat kebangsaan. Bangunan
pada era Soekarno banyak menampilkan gaya internasionalisme pascaperang dan gaya
sosialis, yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek yang belajar di luar negeri (terutama dari
Eropa Timur). Megah, monumental dan modern adalah ciri yang terlihat pada karya-karya
tersebut. Contoh bangunan penting era ini antara lain adalah Stadion Utama Gelora
Senayan dan Masjid Istiqlal.
Pada skala bangunan yang lebih kecil, terutama pada rumah-rumah tinggal, muncul
salah satu gaya arsitektur yang populer di Indonesia, yaitu gaya jengki. Prijotomo
berpendapat bahwa arsitektur yang ditandai dengan penggunaan atap pelana yang digeser
puncaknya, tampilan dominan garis dan bidang miring, serta penggunaan material lokal ini
adalah arsitektur khas dan aseli Indonesia. Lahirnya gaya ini setidaknya dilatarbelakangi
dua hal. Pertama adalah terbatasnya tenaga ahli asing dan arsitek yang berpraktek di
Indonesia setelah kembalinya para arsitek Belanda pada kemerdekaan. Pekerjaanpekerjaan arsitektur yang ada ditangani oleh arsitek lokal yang terbatas dan para pekerja
bidang konstruksi yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa pendudukan.
Kedua, dalam rasa nasionalisme yang tinggi ada semangat untuk pembebasan diri dari
segala hal yang berbau kolonialisme, termasuk gaya bangunan era sebelumnya yang
sangat mewarnai arsitektur di Indonesia.
pengaruhnya. Menarik pendapat yang disampaikan oleh Kusno (2009 :184) bahwa
berbagai ragam bentuk dan tampilan bangunan masa kolonial masih menjadi sumber
kreativitas yang bernilai. Tidak hanya pada masa sampai dengan tahun 1960-an, tetapi
bahkan sampai pada arsitektur kontemporer saat ini. Dapat dikatakan bahwa arsitektur
kolonial dengan berbagai gaya yang hidup di dalamnya mewarnai gaya arsitektur dalam
waktu yang cukup lama, yaitu pada masa kolonialisme itu sendiri dan pada masa
sesudahnya akibat kosongnya pengembangan dunia arsitektur pada masa awal pasca
kemerdekaan.
4
.
2005:vi). Di luar arsitektur yang telah dibahas sebelumnya, pengaruh Art Deco sangat luas
pada dunia seni dan desain. Garis-garis dan tampilan bergaya Art Deco dapat dijumpai
dengan mudah di berbagai dunia seni. Art Deco telah merasuki semua jeluk dan lubuk gaya
hidup. Alastair Duncan, misalnya, dalam buku standarnya tentang dan yang berjudul Art
Deco, membahas sembilan bidang (di samping arsitektur) yang sempat sangat kuat gaya
art deconya, yakni furniture, textiles, iron works and lighting, silver-lacquer & metalware,
glass, ceramics, sculpture, painting-graphics-posters & bookbinding, dan jewelry. (Saliya,
2005:12). Pengaruh art deco juga sangat mewarnai desain kendaraan di tahun 1950-an
dan 1960-an, terutama di Amerika. Pada desain kendaraan, garis-garis aerodinamis
menghasilkan bentuk-bentuk streamline.
Yang menarik, gaya Art Deco dapat diterima tidak semata karena estetika visualnya,
tetapi juga karena semangat kebebasan dan optimisme yang diusungnya. Di dunia fashion,
dengan daya tarik estetika visualnya, fashion gaya Art Deco juga menyiratkan gerakan
emansipasi perempuan melalui perubahan silhouette pakaian 4 , penggunaan bahan dan
perubahan tata rias wajah. Prihutomo (2005:21) menggambarkan bahwa Art Deco berbagi
semangat yang sama dengan emansipasi perempuan di dunia. Berbagi kebebasan yang
sama dalam bentuk dan karakter yang sederhana.
Pengaruh yang luas pada dunia desain (di luar arsitektur) juga terjadi di Indonesia. Di
seni grafis Hindia Belanda, muncul Hindia Molek yang menampilkan eksotisme dan
keindahan Timur seperti sawah, kerbau, perempuan berkebaya dan berkonde, lelaki
bersarung dan berkopiah serta berbagai simbol komunitas feodal Belanda dan komunitas
masyarakat tradisional pribumi, dalam alam tropis yang indah (Sunarto, 2005: 32). Damais
(2005:vi) menyebutkan juga bahwa garis-garis pengaruh Art Deco ditemukan juga pada
becak di Tegal dan dokar di Sukabumi. Ini berarti bahwa Art Deco tidak saja diadopsi oleh
kalangan pekerja seni dan parancang, tetapi juga oleh masyarakat kebanyakan.
Demikian luasnya pengaruh dan terapan Art Deco di masyarakat dilatarbelakangi
setidaknya tiga hal. Pertama, secara visual gaya ini menawarkan citra estetika yang baru,
menarik dan berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Kedua, gaya ini mengusung
semangat pembaharuan, kebebasan, optimisme dan mencitrakan gaya hidup yang mewah
dan mapan. Ketiga, kemudahan untuk mengadopsi, meniru dan menciptakan bentukan
baru bergaya Art Deco.
10
Art Deco mudah diterapkan, sangat menarik, mudah dimengerti, tidak terlalu
berat dan sederhana. Kesederhanaan ini dilengkapi dengan elemen dekorasi.
Hiasan yang memperjelas bentuk tetapi tidak mempunyai arti khusus
(Suryokusumo, 2005: 60).
Terkait dengan kemudahan mengadopsi dan menerapkan Art Deco ini, Saliya
(2005:13) memiliki hipotesis bahwa Art Deco hanya menyentuh benda-benda yang
kritikalitas formalnya 5 rendah seperti ambang pintu atau jendela, pegangan pintu, teko,
cawan, perwajahan tapestry, wajah perapian, permukaan dinding, dll. Art Deco tidak pernah
membahas elemen-elemen dengan kritikalitas tinggi, seperti stuktur dan ruang, misalnya.
Dan oleh karenanya Art Deco menjadi sangat terbuka untuk tafsir perseorangan dan
ketrampilan individual. Siapapun bisa mengapresiasi keindahan art deco secara subyektif
dan menciptakan bentuk-bentuk baru berbau art deco.
11
kemewahan dan keceriaan. Beberapa contoh gedung bioskop dapat dilihat dalam Gambar
6 dan Gambar 7.
Gambar 7 : Bioskop Metropoe th 1955, sebelum berubah menjadi Megaria tahun 1960an.
Sumber: http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/2012/08/intermezzo-bubaran-bioskop-metropole.html, diakses tanggal 16 Juni 2013
12
Di Malang, bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat antara lain pada Gedung Bank ANK,
supermarket Avia, Gedung PLN Cekalet, showroom mobil bekas di Jalan Jaksa Agung
Suprapto, serta beberapa ruko di kawasan Jalan Patimura (Klodjen) dan Jalan Basuki
Rachmat (Santoso, 2005:42). Beberapa kota memiliki kantor pusat pemerintahan tinggalan
Belanda yang memiliki gaya Art Deco, seperti Cirebon (lihat Gambar 8).
13
bangunan gedung lainnya. Pada obyek yang demikian, gaya art deco tetap muncul dalam
benak proses pembuatannya.
14
B. Batasan Penelitian
Analisis dan kajian dalam penelitian ini dibatasi pada fasad dan elemen visual pada fasad
yang akan diamati dan beragamnya kadar/intensitas gaya pada bangunan. Pembahasan
aspek arsitektural bangunan lain, semisal tata ruang dan sistem struktur bangunan akan
dilakukan dalam kaitan dengan tampilan fasad. Batasan ini selaras dengan karakter gaya
art deco menurut Saliya hanya berkaitan dengan permukaan dan kulit bangunan saja,
sehingga hal yang paling menonjol yang dapat ditangkap dari gaya ini adaah aspek visual
saja (Saliya, 2005).
2
.
15
3
.
a
l
k
kota, dengan berbagai intensitas kuat/lemah ekspresi yang dapat ditangkap. Dengan
mempertimbangkan tiga hal penting sebagimana tersebut di atas dan kondisi bangunanbangunan obyek penelitian, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1
2
.
Untuk menjawab pertanyan peneltian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1
2
arsitektur era kolonial, yang berdasarkan obyek penelitiannya dapat dikelompokkan dalam
3 kategori, yaitu; 1) penelitian dengan obyek bangunan atau kawasan yang dibangun pada
era kolonial; 2) penelitian terhadap karya arsitek tertentu era kolonial; dan 3) penelitian
terhadap gaya bangunan era kolonial.
1
2
.
3
.
16
Penelitian tentang gaya arsitektur di era kolonial antara lain dilakukan oleh Hariyadi
Salenda di tahun 2009 dengan judul Eksistensi Faham Aliran De Stijl pada Komposisi
Fasade Bangunan Kolonial Belanda dan Rumah Kontemporer.
Penelitian gaya Art Deco dalam arsitektur termasuk dalam penelitian tentang gaya
arsitektur di era kolonial, dan belum banyak dilakukan. Dalam banyak penelitian yang sudah
ada, Art Deco biasanya dilihat sebagai bagian dari penelitian arsitektur kolonial secara lebih
luas dan tidak dibahas secara khusus. Satu kajian tentang Art Deco dilakukan oleh Beta
Suryokusuma dan Noviani Suryasari yang menulis Transformasi Arsitektur Indis ke Dalam
Elemen dan Ragam Hias Art Deco. Salah satu hasil kajian tersebut menyebutkan adanya 3
periodisasi Art Deco dalam masa Nieuwe Bouwen Architecture di Indonesia, yaitu; 1)
periode Art Deco dan Amsterdamse School yang bergaya Indisch modern, 2) periode
decorative arts, dan 3) periode Streamline. Art Deco berperan sebagai sumber seni
dekoratif dan seni pembentukan pada massa bangunan.
Dari penelitian Art Deco yang tidak banyak tersebut dapat dilihat beberapa hal:
a
b
.
Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan penelitian gaya
bangunan kolonial lain. Pertama, dilakukan untuk melihat pengarauh dan jejak Art Deco
pada bangunan-bangunan di Yogyakarta, dengan skala bangunan yang beragam dari kecil
sampai besar. Kedua, tidak ada batasan tahun pendirian atas bangunan yang diteliti,
sehingga kaitan gaya yang mungkin terlihat tidak semata karena ada kesamaan waktu,
tetapi mungkin dapat dilihat sebagai kaitan pengaruh.
17
Penelitian/Studi
Keterangan
E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis keilmuan dan
manfaat praktis arsitektur. Dalam manfaat teoritis keilmuan, ada tiga hal yang terkait dengan
dengan penelitian ini, yaitu:
1
2
.
3
.
18
2
.
Penulisan penelitian ini akan dituangkan dalam 6 bab, yang secara garis besar isinya
adalah sebagai berikut :
1
.
2
.
3
.
4
.
19
uraian untuk masing-masing obyek, dan secara khusus menggambarkan karakter Art
Deco yang dimiliki, yang menjadi dasar dalam pemilihan obyek penelitian.
5
.
6
.