Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1
.
kolonial di Indonesia. Gaya yang lahir di Eropa dan tumbuh cepat mendunia, masuk ke
Indonesia melalui karya-karya arsitek Belanda yang berpraktek profesional di akhir masa
penjajahan Belanda. Sebagai bagian dari wajah arsitektur kolonial, gaya ini memiliki
pengaruh dan tinggalan yang cukup banyak.
Penggal masa kolonial sangat mewarnai sejarah perkembangan arsitektur di
Indonesia. Jika dilihat bentangnya, sejarah panjang arsitektur di Indonesia dapat dibagi
dalam 3 periode utama, yaitu periode sebelum Penjajahan Belanda, periode selama masa
Penjahahan Belanda dan periode pasca Penjajahan Belanda. Periodisasi ini menempatkan
masa kehadiran dan penjajahan Belanda selama kurang lebih 3 abad sebagai penggal
arsitektur di Indonesia. Periode selama masa penjajahan Belanda banyak dikenal dengan
sebutan masa Kolonial, yang berlangsung dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 (di
tahun 1940-an). Handinoto (1986 dalam Wiyatiningsih, 2000) membagi secara garis besar
perkembangan arsitektur kolonial Belanda ini dalam tiga kurun waktu:
a

b
.

c
.

kuat dan dapat dirasakan dalam karya-karya pasca kemerdekaan. Berbeda dengan
arsitektur tradisional yang sangat beragam dan mengkespresikan identitas masing-masing

budaya, arsitektur kolonial hadir dengan bentukan arsitektur yang baru secara seragam,
sehingga memberi warna baru dalam dunia arsitektur di Indonesia. Penjajahan Belanda
adalah satu kekuatan politik yang mengikat seluruh keragaman budaya di Indonesia di
bawah satu ikatan kekuasaan, sehingga arsitektur yang dibawanya diterapkan di seluruh
wilayah Indonesia. Passchier (2009) memberi gambaran tentang keseragaman tersebut
sebagai berikut:
Sekitar tahun 1930an, penampilan rumah-rumah kolonial ini tampaknya merujuk ke
sebuah konsep arsitektur universal yang dapat dijumpai di seluruh kepulauan
Indonesia: sering berupa sebuah rumah tunggal dengan atap genting, dinding
berplester pada lapisan batu tras, jendela dari kayu jati, dan kadang-kadang terdiri
atas dua lantai dengan sebuah garasi dan sebuah paviliun. (Passchier, 2009:133)

Art Deco hadir di Indonesia pada periode ini, periode yang membawa ikatan baru
dalam arsitektur Indonesia. Dibawa bersamaan dengan gaya-gaya arsitektur yang lain oleh
para arstitek muda Belanda, seperti Thomas Karsten, C.P. Wolff Schoemaker, A.F. Falbers
dan lain-lain. Kusno (2009) melihat ada tiga gaya arsitektur yang hidup selama masa
kolonial, yaitu gaya Imperium1 , Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen.
Gaya Imperium, Arsitektur Indish dan gaya modern Nieuwe Bouwen telah menemukan
tempat ideologis dalam historiografi arsitektur Indonesia dan meninggalkan jejak
dalam bentuk Arsitektur Indonesia Kontemporer. (Kusno, 2009: 170)

Gaya Imperium digunakan oleh Belanda untuk menegaskan kehadiran pemerintahan


dan menandai pembentukan negara kolonial di Hindia Belanda. Penggunaannya diatur
dengan Peraturan Gubernur Jenderal Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811)
(Kusno, 2009: 172), dan diterapkan di seluruh wilayah jajahan. Salah satu tampilan yang
dapat dikenali adalah penggunaan dominasi kolom-kolom tinggi pada bagian muka
bangunan, yang memberi kesan meneguhkan simbol kekuasaan yang ingin ditunjukkan
oleh pemerintah baru.
Gaya Imperium surut penggunaannya dan akhirnya tersingkir pada akhir abad 19,
sejalan dengan diperkenalkannya politik etis di Eropa. Kehadiran pemerintah kolonial di
memperhatikan kepentingan rakyat banyak ditentang. Gerakan politik etik mendorong agar
pemerintah kolonial melakukan upaya-upaya yang sepadan untuk mensejahterakan rakyat
dan negara jajahan. Pemerintah penjajahan dirasa sudah sangat banyak mengambil
keuntungan dari kekayaan alam negeri jajahan, dan sudah saatnya untuk memberikan
perhatian yang lebih seimbang kepada kesejahteraan penduduk aseli. Kusno (2009: 174)
Istilah gaya imperium sama dengan istilah gaya kolonial. Passchier (2009:127) menyebutkan bahwa Colonial Style (gaya kolonial)
adalah istilah yang sering dipakai oleh pengarang Amerika, sementara orang Inggris lebih suka menggunakan istilah Imperial Style
(gaya imperium).

mengemansipasikan rakyat jajahan, membutuhkan sebuah tampilan arsitektur yang


berbeda. Sekelompok arsitek Belanda yang didatangkan ke Hindia Belanda pada awal
abad kedua puluh dimaksudkan untuk perubahan itu
Perubahan politik kolonial tersebut mendorong bangkitnya dua gerakan arsitektur
yang berbeda: Arsitektur Indiesch dan Nieuwe Bouwen. Dua gerakan ini secara perlahan
sama-sama menyingkirkan Gaya Imperium sisa-sisa simbolis dunia feodal kolonial abad
kesembilan belas dan menggantikannya dengan tampilan arsitektur baru (Kusno, 2009:
180). Bangunan-bangunan tidak lagi diorientasikan sebagai simbol kekuasaan pemerintah
mengadopsi pengaruh gaya-gaya arsitektur modern yang berkembang di Eropa, dan
menghasilkan bangunan-bangunan yang tampil lebih estetis.
Arsitektur Indish secara umum diartikan sebagai arsitektur Eropa yang dibawa oleh
para arsitek Belanda ke Indonesia- yang beradaptasi dengan kondisi dan budaya lokal
Indonesia. Sedyawati (1997 dalam Suryasari 2003:11-13) menyebutkan bahwa tercakup
dalam pengertian bangunan Indisch adalah adanya penekanan pada pengaruh lokal atau
corak lokal. Secara fisik, arsitektur Indisch banyak beradaptasi dengan iklim tropis
Indonesia, sehingga bentuk arsitektur Eropa dimodifikasi untuk mengatasi panas dan
lembab. Secara kultural, Arsitektur Indish juga mengadopsi bentukan arsitektur lokal yang
mewadahi adat kebiasaan setempat. Keberadaan beranda misalnya, tidak semata menjadi
ruang antara yang memisahkan ruang luar dan ruang dalam, tetapi juga merupakan ruang
tempat aktifitas yang menghubungkan secara sosial penghuni dan lingkungannya. Ronald
(1997 dalam Suryasari 2003:11-13) menyebutkan bahwa pengertian Arsitektur Indisch
mengindikasikan adanya pengaruh bentuk arsitektur lokal, bentuk arsitektur tradisional dari
suku-suku yang ada di Indonesia, khususnya Jawa. Plafond/langit-langit ruang yang tinggi,
overstek/teritisan yang cukup lebar dan keberadaan beranda baik di depan maupun di
belakang bangunan adalah beberapa hasil adaptasi dengan kondisi dan budaya lokal.
Gabungan antara arsitektur Eropa dan ungkapan lokal serta tradisional di Indonesia
menghasilkan bentukan-bentukan arsitektur yang khas (di) Indonesia.
Berkembangnya arsitektur Indish dibarengai dengan hadirnya arsitektur Nieuwe
Bouwen. Akihary (1988 dalam Suryokusumo, 2005: 58) secara sederhana menyebut
arsitektur Nieuwe Bouwen sebagai istilah arsitektur bangunan sesudah tahun 1920-an yang
merupakan penganut dari International Style. Gaya Nieuwe Bouwen berjalan seiring
pengaruh gaya arsitektur modern yang sedang trend pada masa itu, yaitu Amsterdamse
School, Bauhaus dan De Stijl, yang berkembang di Indonesia karena praktek arsitek
Belanda di Indonesia. Karya-karya arsitek Belanda tersebut disambut hangat di Indonesia

pada umumnya, karena menerapkan gaya arsitektur modern dengan penyesuaian terhadap
iklim setempat (Handinoto, 1996:237 dalam Suryokusumo, 2005: 58).
Arsitektur Indish yang banyak digunakan pada bangunan-bangunan pemerintahan
dan lembaga-lembaga publik, Nieuwe Bouwen jauh lebih populer dan lebih tersebar di
kalangan kelas menengah. Nieuwe Bouwen digunakan pada banyak bangunan
yang berkaitan dengan modal (perusahaan, toko, restoran, bioskop dan permukiman
kelas menengah). Pada kota-kota di Hindia Belanda versi paling populer dari gaya ini
adalah Art Deco. (Kusno, 2009 :180)

2. Art Deco di Era Kolonial


Art Deco adalah salah satu gaya yang muncul setelah era berakhirnya gaya
imperium, dan menjadi gaya yang paling populer pada era tahun 19201940an. Demikian
populernya gaya Art Deco ini mengakibatkan banyak bangunan-bangunan yang sudah ada
diubah penampilannya dengan gaya Art Deco. Stasiun Tugu di Yogyakarta diubah fasadnya
menjadi bergaya Art Deco pada tahun 1920-an, yang dilakukan senyampang dengan
perluasan ruang di bagian depan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
Dalam gambar tersebut terlihat perbedaan antara Stasiun Tugu tahun 1890 yang bergaya
Imperium dan tahun 1925 yang bergaya Art Deco. Hotel Preanger di Bandung dan
Javanesche Bank di Semarang mengubah fasade bangunan dengan balutan Art Deco
untuk menghias diri, menghapus muka bangunan awalnya yang bergaya Imperium (Kusno,
2009: 180). Hotel Preanger ditata ulang oleh Wolff Schoemaker pada tahun 1929, dan
Javanesche Bank cabang Semarang dirancang oleh firma arsitektur Fermont-Cuypers yang
berkantor di Batavia tahun 1935.

Gambar 1: Stasiun Tugu dalam Gaya Imperium tahun 1890


Sumber : www.KITLV.nl, diakses tanggal 15 Juni 2013

Gambar 2 : Stasiun Tugu dalam Gaya Art Deco 1925


Sumber: Ikaputra, 2005: 57

Perubahan penampilan tidak hanya terjadi pada bangunan-bangunan kolonial yang


dikuasai oleh pemerintah Belanda, tetapi juga pada bangunan yang dimiliki oleh
masyarakat kota pada umumnya. Dikken (2002 dalam Kusno 2009 :181) menceritakan
bahwa kantor-kantor baru pengusaha beretnis Cina terkemuka pada jamannya, Oei Tiong
Ham, di Semarang, juga mengikuti semangat zaman yang sama. Berkat rancangan Liem
Bwan Tjie 2 , bangunan Art Deco barunya sangat berbeda dari penampilan awal, dan diduga
menjadi prototipe bangunan toko Cina-Indonesia. (Lihat Gambar 3)
Di Jakarta, pada tahun 1930-an perubahan fasad juga terjadi pada rumah-rumah
toko di Pasar Baru dan Pancoran, yang diubah dari gaya Cina menjadi Art Nouveau dan Art
Deco Eropa (Pratiwo, 2009:94). Perubahan yang dilakukan pada rumah toko sebatas pada
dinding fasad bangunan tanpa mengubah tata ruang bagian dalam bangunan. Perubahanperubahan semacam itu sangat mungkin terjadi pula di kota-kota lain, dengan tingkat
perubahan yang berbeda-beda. Beberapa fasad rumah toko di Ketandan dan Jalan
Malioboro Yogyakarta meninggalkan jejak perubahan dari rumah bargaya Cina ke
dengan gaya Art Deco di bagian fasadnya. Bagian atap berarsitektur tradisional Cina yang
berada di balik dinding fasad tidak dirubah, seperti terlihat di Gambar 4.

Gambar 3 : Perubahan fasad bangunan milik Oei Tiong Ham, hasil rancangan Liem Bwan Tije tahun 1930.
Sumber : Kusno (2009:187)

Gambar 4: Jejak Perubahan fasad bangunan berars itektur Cina di Malioboro Yogyakarta (1930)
Sumber: www.KITLV;nl, diaskes tanggal 12 Juni 2013.

3. Arsitektur Era Pasca


Setelah sangat disemarakkan dengan banyak hadirnya berbagai aliran arsitektur
modern di Indonesia, perkembangan arsitektur di Indonesia melambat pada era tahun

1930-an hinggga 1950-an. Pada penggal tersebut dunia menghadapi depresi ekonomi dan
resesi besar-besaran yang diikuti dengan perang di kawasan Eropa dan Asia Pasifik
(Perang Dunia II). Pemerintahan kolonial Belanda banyak menghentikan kegiatan pembangunan fisik dan membatalkan rencana-rencana besar pengembangan kota. Menurut
Widodo (2009:23), tidak saja pada kegiatan pembangunan yang berhenti, pada periode
tersebut debat-debat akademik yang hangat serta eksperimen-eksperimen arsitektur besar
yang sempat berkembang dengan subur di Indonesia sebelum perang, juga terhenti. Berakhirnya perang Dunia yang membawa berkah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di
tahun 1945 tidak serta merta menghidupkan kehidupan berarsitektur. Masa perang
Kemerdekaan sampai denga tahun 1950 adalah masa yang tidak aman dan tidak stabil
secara politik. Bangsa Indonesia berkonsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan
memantapkan seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pascakolonialisme sampai dengan
tahun 1950-an ini dapat dikatakan berhenti. Tidak ada bentuk baru, tidak ada gaya dan
aliran baru dan tidak ada karya-karya baru yang unggul, karena memang tidak ada kegiatan
pembangunan baru. Situasi ini mulai berubah pada tahun 1950-an yang disebut sebagai
sebuah masa renaisans 3 dalam pendidikan arsitektur dan dalam pembangunan kembali
profesi arsitektur di Indonesia. Setelah tahun 1960, arsitektur Indonesia tumbuh berkembang kembali. Era tahun 1960 1965 didominasi oleh politik pembangunan karakter
bangsa di bawah komando Soekarno, yang salah satunya dilakukan dengan pelaksanaan
pembangunan proyek-proyek mercusuar berupa hotel, toko serba ada, jembatan layang,
monumen, masjid dan perkantoran. Era ini dilanjutkan dengan Orde Baru Soeharto (mulai
tahun 1966), yang juga melakukan pembangunan secara besar-besaran didukung dengan
kekuatan ekonomi yang ditopang oleh limpahan produksi minyak (Widodo, 2009:23).
Gaya arsitektur apa yang berkembang pada era pascakolonialisme? Gaya
Internasionalisme banyak mewarnai bangunan-bangunan yang dibangun pada era
pascakolonialisme. Proyek-proyek besar yang dibangun pada masa itu menjadi simbol dari
kekuatan dan dijadikan mercusuar yang membangkitkan semangat kebangsaan. Bangunan
pada era Soekarno banyak menampilkan gaya internasionalisme pascaperang dan gaya
sosialis, yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek yang belajar di luar negeri (terutama dari
Eropa Timur). Megah, monumental dan modern adalah ciri yang terlihat pada karya-karya
tersebut. Contoh bangunan penting era ini antara lain adalah Stadion Utama Gelora
Senayan dan Masjid Istiqlal.

Pada skala bangunan yang lebih kecil, terutama pada rumah-rumah tinggal, muncul
salah satu gaya arsitektur yang populer di Indonesia, yaitu gaya jengki. Prijotomo
berpendapat bahwa arsitektur yang ditandai dengan penggunaan atap pelana yang digeser
puncaknya, tampilan dominan garis dan bidang miring, serta penggunaan material lokal ini
adalah arsitektur khas dan aseli Indonesia. Lahirnya gaya ini setidaknya dilatarbelakangi
dua hal. Pertama adalah terbatasnya tenaga ahli asing dan arsitek yang berpraktek di
Indonesia setelah kembalinya para arsitek Belanda pada kemerdekaan. Pekerjaanpekerjaan arsitektur yang ada ditangani oleh arsitek lokal yang terbatas dan para pekerja
bidang konstruksi yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa pendudukan.
Kedua, dalam rasa nasionalisme yang tinggi ada semangat untuk pembebasan diri dari
segala hal yang berbau kolonialisme, termasuk gaya bangunan era sebelumnya yang
sangat mewarnai arsitektur di Indonesia.

Gambar 5: Contoh rumah jengki di Blora dan Semarang, Jawa Tengah


Sumber (gambar kanan) : http://fariable.blogspot.com/2010/07/rumah-gaya-jengki-berbeda-dengan.html

pengaruhnya. Menarik pendapat yang disampaikan oleh Kusno (2009 :184) bahwa
berbagai ragam bentuk dan tampilan bangunan masa kolonial masih menjadi sumber
kreativitas yang bernilai. Tidak hanya pada masa sampai dengan tahun 1960-an, tetapi
bahkan sampai pada arsitektur kontemporer saat ini. Dapat dikatakan bahwa arsitektur
kolonial dengan berbagai gaya yang hidup di dalamnya mewarnai gaya arsitektur dalam
waktu yang cukup lama, yaitu pada masa kolonialisme itu sendiri dan pada masa
sesudahnya akibat kosongnya pengembangan dunia arsitektur pada masa awal pasca
kemerdekaan.

4
.
2005:vi). Di luar arsitektur yang telah dibahas sebelumnya, pengaruh Art Deco sangat luas
pada dunia seni dan desain. Garis-garis dan tampilan bergaya Art Deco dapat dijumpai
dengan mudah di berbagai dunia seni. Art Deco telah merasuki semua jeluk dan lubuk gaya
hidup. Alastair Duncan, misalnya, dalam buku standarnya tentang dan yang berjudul Art
Deco, membahas sembilan bidang (di samping arsitektur) yang sempat sangat kuat gaya
art deconya, yakni furniture, textiles, iron works and lighting, silver-lacquer & metalware,
glass, ceramics, sculpture, painting-graphics-posters & bookbinding, dan jewelry. (Saliya,
2005:12). Pengaruh art deco juga sangat mewarnai desain kendaraan di tahun 1950-an
dan 1960-an, terutama di Amerika. Pada desain kendaraan, garis-garis aerodinamis
menghasilkan bentuk-bentuk streamline.
Yang menarik, gaya Art Deco dapat diterima tidak semata karena estetika visualnya,
tetapi juga karena semangat kebebasan dan optimisme yang diusungnya. Di dunia fashion,
dengan daya tarik estetika visualnya, fashion gaya Art Deco juga menyiratkan gerakan
emansipasi perempuan melalui perubahan silhouette pakaian 4 , penggunaan bahan dan
perubahan tata rias wajah. Prihutomo (2005:21) menggambarkan bahwa Art Deco berbagi
semangat yang sama dengan emansipasi perempuan di dunia. Berbagi kebebasan yang
sama dalam bentuk dan karakter yang sederhana.
Pengaruh yang luas pada dunia desain (di luar arsitektur) juga terjadi di Indonesia. Di
seni grafis Hindia Belanda, muncul Hindia Molek yang menampilkan eksotisme dan
keindahan Timur seperti sawah, kerbau, perempuan berkebaya dan berkonde, lelaki
bersarung dan berkopiah serta berbagai simbol komunitas feodal Belanda dan komunitas
masyarakat tradisional pribumi, dalam alam tropis yang indah (Sunarto, 2005: 32). Damais
(2005:vi) menyebutkan juga bahwa garis-garis pengaruh Art Deco ditemukan juga pada
becak di Tegal dan dokar di Sukabumi. Ini berarti bahwa Art Deco tidak saja diadopsi oleh
kalangan pekerja seni dan parancang, tetapi juga oleh masyarakat kebanyakan.
Demikian luasnya pengaruh dan terapan Art Deco di masyarakat dilatarbelakangi
setidaknya tiga hal. Pertama, secara visual gaya ini menawarkan citra estetika yang baru,
menarik dan berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Kedua, gaya ini mengusung
semangat pembaharuan, kebebasan, optimisme dan mencitrakan gaya hidup yang mewah
dan mapan. Ketiga, kemudahan untuk mengadopsi, meniru dan menciptakan bentukan
baru bergaya Art Deco.

10

Art Deco mudah diterapkan, sangat menarik, mudah dimengerti, tidak terlalu
berat dan sederhana. Kesederhanaan ini dilengkapi dengan elemen dekorasi.
Hiasan yang memperjelas bentuk tetapi tidak mempunyai arti khusus
(Suryokusumo, 2005: 60).

Terkait dengan kemudahan mengadopsi dan menerapkan Art Deco ini, Saliya
(2005:13) memiliki hipotesis bahwa Art Deco hanya menyentuh benda-benda yang
kritikalitas formalnya 5 rendah seperti ambang pintu atau jendela, pegangan pintu, teko,
cawan, perwajahan tapestry, wajah perapian, permukaan dinding, dll. Art Deco tidak pernah
membahas elemen-elemen dengan kritikalitas tinggi, seperti stuktur dan ruang, misalnya.
Dan oleh karenanya Art Deco menjadi sangat terbuka untuk tafsir perseorangan dan
ketrampilan individual. Siapapun bisa mengapresiasi keindahan art deco secara subyektif
dan menciptakan bentuk-bentuk baru berbau art deco.

5. Jejak-jejak Gaya Art Deco di Indonesia


Gaya Art Deco sangat mewarnai wajah kota Hindia Belanda seperti Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya dan Malang di tahun 1930-an. Perubahan-perubahan gaya
bangunan kolonial sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menjadikan Art Deco
menjadi dominan di wajah-wajah kota terutama di pulau Jawa. Area pusat kota yang hidup
bersamaan dengan tumbuhnya sebuah kota sebagai kawasan perdagangan/komersial,
menjadi kawasan yang banyak mangadopsi gaya Art Deco. Budi Lim 6 (dalam Kusno, 2009:
182) memberi kesaksian bahwa jejak yang paling jelas terlihat di kota Hindia Belanda
tahun 1930-an adalah bangunan-bangunan Art Deco. Kesaksian itu diberikan setelah Budi
Lim menyusuri kota-kota di Pulau Jawa, mengumpulkan dan menyusun tipologi bangunan
tahun 1930-an dan 1940-an kota-kota Hindia Belanda yang masih tersisa di jalan-jalan
utama pada tahun 1980-an.
Bandung sangat kaya dengan bangunan-bangunan bergaya Art Deco. Bangunanbangunan Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann, Villa Isola adalah beberapa contoh
bangunan yang sangat menonjol gaya Art Deconya dan menjadi titik-titik penting kajian
bangunan Art Deco di Indonesia. Di Jakarta gedung Bioscoop Metropoole yang dibangun
pada tahun 1932 adalah bangunan Art Deco yang cukup menonjol. Tidak hanya pada
bagian eksterior, bangunan yang pada tahun 1960 diubah menjadi Bioskop Megaria
memiliki banyak ornamen interior bergaya art deco. Sesuai dengan fungsi dan kegiatan
yang ada di dalamnya, bioskop banyak menggunakan gaya ini untuk mendapatkan citra
5

11

kemewahan dan keceriaan. Beberapa contoh gedung bioskop dapat dilihat dalam Gambar
6 dan Gambar 7.

Gambar 6 : Bioskop Capitol Theater Surabaya


Sumber: http://rajaagam.wordpress.com/2010/03/14/bioskop-dulu-primadona-di-surabaya/, diakses tanggal 16 Juni 2013

Gambar 7 : Bioskop Metropoe th 1955, sebelum berubah menjadi Megaria tahun 1960an.
Sumber: http://koleksitempodoeloe.blogspot.com/2012/08/intermezzo-bubaran-bioskop-metropole.html, diakses tanggal 16 Juni 2013

12

Di Malang, bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat antara lain pada Gedung Bank ANK,
supermarket Avia, Gedung PLN Cekalet, showroom mobil bekas di Jalan Jaksa Agung
Suprapto, serta beberapa ruko di kawasan Jalan Patimura (Klodjen) dan Jalan Basuki
Rachmat (Santoso, 2005:42). Beberapa kota memiliki kantor pusat pemerintahan tinggalan
Belanda yang memiliki gaya Art Deco, seperti Cirebon (lihat Gambar 8).

Gambar 8: Kantor Balaikota Cirebon


Sumber: http://alunkota.blogspot.com/2012/07/balai-kota.html, , diakses tanggal 16 Juni 2013

Di luar kota-kota Hindia Belanda tersebut, jejak-jejak bangunan kolonial pada


umumnya dapat dilihat juga pada kota-kota seperti Pasuruan, Magelang, Salatiga, Tegal dll.
Kota-kota tersebut memiliki hubungan dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi Hindia
Belanda berupa pabrik gula dan perkebunan. Survey lapangan di kota-kota yang lebih kecil
(setingkat kecamatan) juga menunjukkan adanya pengaruh Art Deco pada bangunanbangunan lamanya. Sebagai contoh adalah dapat dijumpainya beberapa bangunan yang
memiliki ekspresi Art Deco di Kartosuro, Sukoharjo dan Delanggu Klaten, sebagaimana
terlihat dalam Gambar 9 dan Gambar 10. Bangunan-banguan tersebut berada di jalan-jalan
utama pusat kota kecamatan, dan memiliki fungsi komersial. Beberapa gapura jalan atau
lorong juga terlihat memiliki jejak pengaruh Art Deco, seperti terlihat dalam Gambar 11 dan
Gambar 12. Adanya pengaruh gaya ini pada bangun-bangunan skala kecil, memperkuat
asumsi bahwa gaya ini cukup luas diterima oleh khalayak. Gapura adalah bangunan yang
memiliki nilai komunal cukup tinggi, dan di sisi lain memiliki nilai penting yang tidak setinggi

13

bangunan gedung lainnya. Pada obyek yang demikian, gaya art deco tetap muncul dalam
benak proses pembuatannya.

Gambar 9 : Toko di Kartosuro, Sukoharjo


Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

Gambar 11 : Gapura Dusun Ambarukmo


Yogyakarta
Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

Area-area peristirahatan seperti Kawasan Puncak, Batu Malang, Tawangmangu Solo,


Kaliurang Yogyakarta, patut diduga juga menyimpan kekayaan ragam arsitektur bergaya Art
Deco. Belum banyak data dan penelitian yang mengungkap hal tersebut, terutama fokus
pada keragaman gaya ini.

14

Gambar 12: Gapura terpengaruh gaya Art Deco di Karangwuni, Klaten


Sumber: Rekaman Peneliti, November 2003

B. Batasan Penelitian
Analisis dan kajian dalam penelitian ini dibatasi pada fasad dan elemen visual pada fasad
yang akan diamati dan beragamnya kadar/intensitas gaya pada bangunan. Pembahasan
aspek arsitektural bangunan lain, semisal tata ruang dan sistem struktur bangunan akan
dilakukan dalam kaitan dengan tampilan fasad. Batasan ini selaras dengan karakter gaya
art deco menurut Saliya hanya berkaitan dengan permukaan dan kulit bangunan saja,
sehingga hal yang paling menonjol yang dapat ditangkap dari gaya ini adaah aspek visual
saja (Saliya, 2005).

C. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian


Dari uraian di atas, dapat digarisbawahi beberapa hal sebagai berikut:
1

2
.

15

3
.
a
l
k
kota, dengan berbagai intensitas kuat/lemah ekspresi yang dapat ditangkap. Dengan
mempertimbangkan tiga hal penting sebagimana tersebut di atas dan kondisi bangunanbangunan obyek penelitian, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1
2
.

Untuk menjawab pertanyan peneltian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1
2

arsitektur era kolonial, yang berdasarkan obyek penelitiannya dapat dikelompokkan dalam
3 kategori, yaitu; 1) penelitian dengan obyek bangunan atau kawasan yang dibangun pada
era kolonial; 2) penelitian terhadap karya arsitek tertentu era kolonial; dan 3) penelitian
terhadap gaya bangunan era kolonial.
1

2
.

3
.

16

Penelitian tentang gaya arsitektur di era kolonial antara lain dilakukan oleh Hariyadi
Salenda di tahun 2009 dengan judul Eksistensi Faham Aliran De Stijl pada Komposisi
Fasade Bangunan Kolonial Belanda dan Rumah Kontemporer.
Penelitian gaya Art Deco dalam arsitektur termasuk dalam penelitian tentang gaya
arsitektur di era kolonial, dan belum banyak dilakukan. Dalam banyak penelitian yang sudah
ada, Art Deco biasanya dilihat sebagai bagian dari penelitian arsitektur kolonial secara lebih
luas dan tidak dibahas secara khusus. Satu kajian tentang Art Deco dilakukan oleh Beta
Suryokusuma dan Noviani Suryasari yang menulis Transformasi Arsitektur Indis ke Dalam
Elemen dan Ragam Hias Art Deco. Salah satu hasil kajian tersebut menyebutkan adanya 3
periodisasi Art Deco dalam masa Nieuwe Bouwen Architecture di Indonesia, yaitu; 1)
periode Art Deco dan Amsterdamse School yang bergaya Indisch modern, 2) periode
decorative arts, dan 3) periode Streamline. Art Deco berperan sebagai sumber seni
dekoratif dan seni pembentukan pada massa bangunan.
Dari penelitian Art Deco yang tidak banyak tersebut dapat dilihat beberapa hal:
a

b
.

Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan penelitian gaya
bangunan kolonial lain. Pertama, dilakukan untuk melihat pengarauh dan jejak Art Deco
pada bangunan-bangunan di Yogyakarta, dengan skala bangunan yang beragam dari kecil
sampai besar. Kedua, tidak ada batasan tahun pendirian atas bangunan yang diteliti,
sehingga kaitan gaya yang mungkin terlihat tidak semata karena ada kesamaan waktu,
tetapi mungkin dapat dilihat sebagai kaitan pengaruh.

17

Tabel 1: Perbandingan penelitian sejenis yang pernah.


Tahun
1996

Penelitian/Studi

Kajian dan Fokus Penelitian

Keterangan

Pola Spasial Permukiman Mlaten

Semarang: Studi Spasial


Permukiman yang Direncanakan
dan Pemakainnya,
oleh Antonius
Meneliti perubahan (fisik dan
Ardiyanto
spasial) rumah dan lingkungan
permukiman karya
Arsitek Karsten
200 Karakter Formal Bangunan Karya
3
C.P Wolff Schoemaker di Bandung
Periode 1920-1940,
oleh Noviani
Karakter Bangunan dan kaitannya
Suryasari
dengan setting berasrsitektur.
Fokus pada Karakter formal
bangunan karya CP Wolff
Schoemaker.
Metode : analisis grafis terhadap
kualitas formal bangunan.
200 Eksistensi Faham Aliran De Stijl
9
pada Komposisi Fasade Bangunan
Kolonial Belanda dan Rumah
Kontemporer, oleh Hariyadi
Salenda
Meneliti keberadaan aliran faham
de Stijl pada beberapa bangunan

E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis keilmuan dan
manfaat praktis arsitektur. Dalam manfaat teoritis keilmuan, ada tiga hal yang terkait dengan
dengan penelitian ini, yaitu:
1
2
.

3
.

18

Manfaat praktis arsitektur yang diharapkan adalah:


1

2
.

Penulisan penelitian ini akan dituangkan dalam 6 bab, yang secara garis besar isinya
adalah sebagai berikut :
1
.

2
.

3
.

4
.

19

uraian untuk masing-masing obyek, dan secara khusus menggambarkan karakter Art
Deco yang dimiliki, yang menjadi dasar dalam pemilihan obyek penelitian.
5
.

6
.

Anda mungkin juga menyukai