Anda di halaman 1dari 4

Banyak anak kecil yang suka mie instan.

Kadang selain tiap hari, bisa jadi mereka makan mie instan 2 kali atau
bahkan selalu makan mie instan. Ini karena rasa mie instan yang gurih sekali karena memakai berbagai bumbu yang
tak jarang berbahaya bagi kesehatan seperti MSG, perasa buatan sehingga rasanya jadi seperti rasa ayam, sapi,
bakso, dsb, pengawet buatan, dan sebagainya.

Di tabloid Nova dikisahkan seorang anak yang bernama Hilal ususnya harus dipotong karena kebanyakan makan
mie instan.
Sebaiknya jangan biarkan anak makan mie instan. Jika pun harus, masaklah air yang banyak. Sisihkan sebagian air
untuk kuah dan masukan ke piring. Setelah itu baru masukan mie. Buang air rebusan mie (jangan dimakan). Bumbu
cukup separuh dan perbanyak airnya hingga penuh agar bumbunya jadi hambar.
Memang jadinya kurang begitu enak. Tapi itu lebih baik ketimbang usus harus dipotong seperti kasus anak di bawah
ini.
Di Kompas.com diberitakan Petugas Departemen Kesehatan dan Makanan Taiwan melakukan razia mendadak ke
beberapa toko dan menyita mi instan Indomie produksi Indonesia. Mereka menyatakan, mi instan buatan Indofood
tersebut mengandung dua bahan yang tidak diperkenankan untuk digunakan dalam makanan dan dilarang
diperjualbelikan.

Menurut tes yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Taiwan, Indomie memiliki 2 bahan pengawet yang tidak
lolos dalam klasifikasi barang impor, yaitu bahan pengawet hydroxy methyl benzoate pada minyak dan bahan
pengawet benzoic acid pada bumbunya.
Kepala administrasi bagian medicine food Wang Shu Fen menyatakan, hydroxy methyl benzoate biasanya dipakai
untuk bahan kosmetik. Taiwan sendiri melarang memakai bahan pengawet ini di dalam makanan. Adapun benzoic

acid dipakai untuk bahan pengawet makanan, tetapi dilarang dipakai di mi instan. Bahan pengawet ini jika
dikonsumsi berkepanjangan akan merusak kinerja liver, sakit maag, muntah, dan keracunan asidosis metabolik.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/11/09130294/Indomie.Dirazia.Depkes.Taiwan
Sementara Pemerintah Singapura mengadakan investigasi pada produk Indomie untuk memastikan apakah Indomie
mengandung kedua bahan berbahaya tersebut. Menurut AVA (Agri-Food and Veterinary Authority), Singapura juga
tidak mengizinkan pemakaian zat pengawet itu pada produk mi instan.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/12/10260648/Singapura.Investigasi.Indomie
Ada pun pemerintah Indonesia menyatakan Indomie aman karena kedua bahan berbahaya tersebut masih dibawah
ambang batas pemakaian.
Dari DetikFinance diberitakan bahwa Sofyan Wanandi menyatakan kasus Indomie itu sekedar salah kirim. Indomie
yang seharusnya untuk pasar Indonesia, ternyata terkirim ke Taiwan. Akibatnya, pemerintah Taiwan melarangnya
karena mengandung Nipagin yang dilarang dipakai sebagai pengawet makanan di sana.
http://us.detikfinance.com/read/2010/10/13/132304/1463698/4/sofjan-wanandi-kasus-indomie-bukan-perang-dagang
Usus Dipotong akibat Kebanyakan Mi Instan

Jumat, 21 Agustus 2009 | 12:38 WIB


Laporan wartawan NOVA Ester Sondang
MAKSUD hati membantu suami menambah penghasilan, apa daya anak jadi korban. Akibat kerap meninggalkan
buah hatinya, Hilal Aljajira (6), Erna Sutika (32) kini harus menelan pil pahit. Usus Hilal bocor dan membusuk hingga
harus dipotong. Rupanya tiap hari Hilal hanya menyantap mi instan karena di rumah tak ada orang yang
memasakkan makanan untuknya. Berikut cerita Erna.

Saat usia Hilal menginjak 2 tahun, aku memutuskan bekerja, membantu keuangan keluarga mengingat
penghasilan suamiku, Saripudin (39), kurang mencukupi kebutuhan keluarga.

Aku bekerja di perusahaan pembuat bulu mata palsu, tak jauh dari rumah kami di Garut. Setiap berangkat kerja, Hilal
kutitipkan kepada ibuku. Di situ, ibuku kerap memberinya mi instan. Bukan salah ibuku, sih, karena sebelumnya, aku
juga suka memberinya makanan itu jika sedang tidak masak.

Ternyata, Hilal jadi tergila-gila makanan itu. Ia akan mengamuk dan mogok makan jika tak diberi mi instan. Ya,
daripada cucunya kelaparan, ibuku akhirnya hanya mengalah dan menuruti kemauan Hilal. Lagi pula, kalau tidak
diberi, Hilal pasti akan membeli sendiri mi instan di warung dekat rumah dengan uang jajan yang kuberikan. Praktis,
sehari dua kali ia makan mi instan.

Dua
kali
dipotong
Kamis, 20 November 2008, Hilal mengeluh sakit perut. Kupikir sakit biasa. Anehnya, setelah tiga hari, sakitnya tak
kunjung hilang dan ditambah ia tidak bisa buang air besar. Gara-gara itulah perutnya membesar.
Khawatir, kubawa Hilal ke mantri dekat rumah. Karena tetap tidak ada perubahan, kami kemudian membawanya ke
RSU Dr Slamet, Garut. Ternyata hasil pemeriksaan dokter lebih menyeramkan dari yang kuduga. Kupikir, cukup
dengan obat pencahar perut, sakit Hilal bisa segera sembuh. Rupanya tak segampang itu.
Hasil tes darah dan rontgen memperlihatkan, Hilal harus segera dioperasi karena beberapa bagian di ususnya bocor
dan membusuk. Ketika kutanyakan apa penyebabnya, dokter menjawab, akibat dari kandungan makanan yang Hilal
konsumsi selama ini tidak sehat dan membuat ususnya rusak. Saat itulah kutahu Hilal terlalu sering menyantap mi
instan. Astagfirullah.
Atas rujukan dokter, kami kemudian membawa Hilal ke RS Hasan Sadikin, Bandung, dengan alasan peralatan medis
di RS itu lebih lengkap. Sejak awal, tim dokter sudah pesimistis dengan kondisi Hilal yang begitu memprihatinkan
dengan berat badan yang tidak sampai 11 kg. Dokter juga bilang, dari puluhan kasus serupa, hanya tiga orang yang
bertahan hidup. Aku hanya bisa berserah pada Allah SWT.
Baru pada 25 November 2008 operasi dilakukan di RS Immanuel, Bandung. Saat itu aku sedang hamil tiga bulan.
Dokter mengamputasi usus Hilal sekitar 10 cm. Untuk menyatukan bagian usus yang terputus itu, dokter

menyambungnya dengan usus sintetis. Selain itu, dokter juga membuat lubang anus sementara (kolostomi) di
dinding perut sebelah kanan.
Utang
belum
lunas
Ternyata cobaan kami belum berakhir sampai di situ. Tiga hari kemudian, dokter menemukan masih ada bagian usus
yang bocor. Mau tidak mau, Hilal harus kembali naik ke meja operasi dan merelakan sebagian ususnya lagi.
Jelas, aku dan suami sangat ingin Hilal sembuh. Namun, di sisi lain, penghasilanku sebagai buruh tidaklah seberapa.
Setiap bulan, aku hanya bisa membawa pulang uang Rp 250.000 atau Rp 300.000 kalau lembur. Adapun suamiku
penghasilannya tidak pernah menentu. Maklum, ia hanya kuli kasar di pabrik tahu di Bandung.
Sejak Hilal jatuh sakit, aku memutuskan berhenti bekerja. Alhasil, suamiku harus banting tulang mengerjakan
pekerjaan apa pun asal menghasilkan uang. Kendati sudah bekerja begitu keras, rasanya sia-sia saja. Biaya operasi
Hilal yang mencapai Rp 16 juta terasa begitu besar dan entah kapan bisa dilunasi. Apalagi, kami hanya punya waktu
10 hari untuk melunasinya. Untung pihak rumah sakit berbaik hati memberi kelonggaran waktu dua hari sehingga
kami masih sempat meminjam uang ke beberapa keluarga dan tetangga.
Demi kesembuhan Hilal pula, kami harus lebih berhemat. Rumah kontrakan kami tinggalkan dan kami menumpang
di rumah orangtuaku. Sebenarnya uang kontrakan rumah itu tidak terlalu besar, hanya Rp 300.000 per tahun, tapi
tetap saja uang sebesar itu sangat berarti untuk biaya pengobatan Hilal.
Kata dokter, kolostomi di perut Hilal sudah bisa ditutup setelah tiga bulan. Namun, baru setelah delapan bulan
kemudian, tepatnya 23 Juli 2009, operasi penutupan dilakukan. Apalagi kalau bukan masalah biaya. Itu pun bisa
dilakukan karena kami dapat bantuan dari sebuah stasiun televisi swasta sebesar Rp 14 juta.

Anda mungkin juga menyukai