Anda di halaman 1dari 11

JAKARTA Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan bukan hanya ditolak oleh sejumlah rakyat, namun juga oleh kalangan dokter yang menjadi ujung
tombak pelaksana program tersebut.
Dokter-dokter yang tergabung di dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) sebagai organisasi alternatif dari Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) saat ini secara serius mendiskusikan program yang dipastikan bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga
rumah sakit dan kalangan pekerja medis.
Eva Sri Diana, dokter spesialis paru yang aktif menggerakkan DIB, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan sangat
merugikan dokter dan rumah sakit, apalagi pasien.
Cuma orang aneh yang bilang BPJS nggak bikin tekor rumah sakit. Kecuali dia memang orang suruhan pejabat BPJS,
kata dia kepada tegasnya kepada SH di Jakarta, Senin (27/1).
Menurut dia, biaya pengobatan setiap pasien tidak dibayar oleh BPJS sampai sembuh. Tetapi, sudah disiapkan paket-paket
pembiayaan di dalam sistim INA CBGs.
Jadi, tidak peduli sembuh atau tidak. BPJS hanya bayar sesuai tarif yang dalam INA CBGs. BPJS tidak mau tahu rumah
sakit atau pasien punya duit untuk menutupi kekurangan atau tidak, dia menjelaskan.
Menurut dia, sangat aneh dan lucu, BPJS ingin anggota pesertanya berobat ke rumah sakit. Tapi, harga ditentukan oleh
BPJS.
BPJS tidak mau tahu itu harga bikin rugi atau nggak. Aneh, kan? Terus pake maksa dengan undang-undang dan tangan
pemerintah, menindas dokter dan rumah sakit, ia menambahkan.

Direktur Pusing
Eva Sri Diana menjelaskan, walaupun harga yang dibayar di bawah standar, rumah sakit pemerintah tetap melayani
pasien. Karena direktur dan manajemen takut dipecat jika tidak ikut program pemerintah. Walaupun dengan risiko tekor.
Kalaupun belum bangkrut, menurut dia, rumah sakit tidak memiliki dana untuk menutupi kebutuhan obat para pasien.
Karena nggak punya dana buat beli obat-obatan, akibatnya obat banyak kosong. Akhirnya, pasien terpaksa harus beli
obat sendiri di luar rumah sakit. Kan pasien juga yang rugi. Apalagi, kalau pasien miskin atau karena sakit terus miskin,
ujar dia.
Ia memastikan kalau ini terus terjadi, bisa dibayangkan berapa banyak rumah sakit yang akan bangkrut. Rakyat juga yang
rugi.
Ia mencontohkan, untuk CT scan pada setiap organ tubuh dipukul rata hanya dihargai Rp 250.000. Padahal, kebutuhan
untuk masing masing organ tubuh biayanya berbeda-beda. Misalnya biaya CT-Scan kepala dan paru, beda.
Dan yang tekor banget, obat kontras untuk CT scan ini saja sekarang Rp 400.000. Kan rumah sakit nggak bisa minta ke
pasien. Akhirnya rumah sakit yang nalangin terus nombok dan tekor dong, ujar dia.
Menurut Eva, saat ini, yang paling pusing adalah para direktur rumah sakit. Mereka tahu jatah harga dari BPJS untuk
berbagai pelayanan kesehatan tidak mungkin dijalankan, tapi mereka takut membantah BPJS.
Ada senior saya, direktur salah satu rumah sakit pemerintah Tipe A. Punya pasien pascarawat habis biaya Rp 20 jutaan,
tapi BPJS hanya bayar 2,4 juta. Sisanya? Yah, terpaksa rumah sakit nanggung sendiri. Satu atau dua pasien saja sudah
bikin rugi, gimana kalau banyak pasien. Ini sistem berlaku seluruh Tanah Air lo, ujar dia.
Calon dokter spesialis jantung, Erta Priadi Wirawijaya, menjelaskan untuk pengidap sakit jantung akan beruntung jika
pasien tinggal di sebelah rumah sakit nasional seperti Rumah Sakit Harapan Kita atau Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. Karena harapan hidup Anda akan lebih baik karena plafon pengobatan yang menjadi hak pasien dari
BPJS untuk perawatan kelas 3 adalah Rp 10,2 juta hingga Rp 23,2 juta.
Jumlah sebesar itu cukup bagi rumah sakit bisa memberikan obat yang semestinya yaitu fibrinolitik seperti Streptase

yang harganya setelah kena pajak sekitar Rp 5 jutaan, jelas dokter yang melayani di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung ini. Fibrinolitik seperti Streptase adalah obat peluruh gumpalan darah.
Namun jika pasien hidup di daerah terpencil, seperti Pangandaran, Jawa Barat, dan hanya bisa dibawa ke rumah sakit
kecil Kelas D, plafon yang menjadi haknya dari BPJS untuk perawatan kelas 3 adalah hanya Rp 2,9 juta hingga Rp 6,7
juta.
Jumlah sebesar itu bisa jadi hanya cukup untuk perawatan seminggu di ruang biasa dengan obat seadanya, dia
menjelaskan.
Artinya, menurut dia, BPJS akan membiarkan jantung pasien dari daerah terpencil rusak karena komplikasi yang
menyertai serangan jantung sangat rentan terjadi.
Diskriminasi oleh pembuat kebijakan dilakukan karena Anda tinggal di daerah dan datang ke rumah sakit yang kecil,
kata dia.
Penurunan Kualitas
Dr Erta Priadi Wirawijaya melanjutkan, telah terjadi penurunan kualitas yang cukup signifikan buat pemilik kartu ASKES
atau JAMSOSTEK. Hampir di setiap rumah sakit, jumlah obat dibatasi sehingga pasien harus kontrol kembali dalam
waktu yang relatif singkat.
Bayangkan jika hal ini dialami oleh pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan obat seumur hidupnya. Pasien
yang sudah lanjut usia, dengan keterbatasan akibat penyakit yang dideritanya terpaksa datang berulang kali untuk kontrol
dan mengambil obat. Hal ini tentunya merepotkan, mereka juga terpaksa akan mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar
untuk transportasi, kata dia.
Menurut dia, banyak tindakan medis berbiaya tinggi ditunda karena kompensasi INA-CBG yang terlalu rendah. Untuk
permasalahan jantung ada banyak sekali tindakan medis yang hanya dihargai 1/3 atau bahkan 1/4 nilai yang umumnya
diperlukan.
Contohnya, adalah tindakan operasi by pass arteri koroner. Tindakan ini hanya dihargai Rp 33-45 juta di rumah sakit

Kelas A. Padahal, tindakan ini umumnya membutuhkan biaya sekitar Rp 100-150 juta.
Saya pikir kalau memang rumah sakit dipaksa memberikan pelayanan tersebut dengan harga serendah itu, maka rumah
sakit dengan cepat akan gulung tikar. Tidak mungkinlah mereka rela nombok hingga puluhan juta untuk suatu tindakan.
Akhirnya, sisanya ya, diminta ke pasien, dia menjelaskan.
Bukan untuk Kesehatan
Beberapa orang masih berpandangan hanya perlu mengkoreksi sistim INA-DRGs yang dijalankan oleh BPJS. Padahal
INA CBG's memang dibuat untuk membatasi dana yang keluar dari BPJS agar dana yang terkumpul bisa diinvestasikan.
Karena BPJS dibentuk kumpulin duit secara cepat dan murah untuk menjalankan roda ekonomi, bukan untuk kesehatan.
Belum lagi untuk menggaji karyawan sampai direksinya, untuk operasional, administrasi dan gedung, ujar Koordinator
Komite Nasional Pengawasan BPJS Roy Pangharapan kepada SH beberapa waktu silam.
Termasuk, menurut dia, untuk membiayai kegiatan promotif dan preventif kesehatan yang biasanya berbau proyek
koruptif.
Kemungkintan kalau hanya untuk menaikkan insentif dokter mungkin akan diberikan setinggi-tingginya. Tujuannya agar
dokter tidak anti-BPJS. Tapi, untuk membiayai penuh semua pelayanan kesehatan pasien seperti Jamkesmas, pasti tidak
dikasih, ujar Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jabodetabek ini.
Menurut dia, pembebasan penuh itu akan memotong gaji direksi, manajemen sampai karyawan BPJS, operasional,
administrasi, dan gedung. Tidak mungkin mungkin lagi bikin proyek promotif dan preventif yang bisa jadi ladang korupsi.
Menurut Koordinator Front Nasional Menolak BPJS, Joko Heriyono, tetap rakyat akan dipungut iuran langsung dan
buruh/PNS dan TNI dipotong lewat gaji dan upah. Dengan begitu, walaupun tidak sakit, rakyat diperintahkan untuk
memikul beban di pundaknya atas nama gotong royong.
Kalau nggak bayar iuran maka tidak dilayani oleh BPJS dan kena sanksi lain. Pemberi kerja bahkan didenda dan bisa
dikurung penjara, ujar pimpinan Serikat Pekerja Nasional (SPN) ini.

Padahal, menurut dia, perintah UUD'45 adalah negara melindungi seluruh rakyatnya. Namun, dengan BPJS, rakyat harus
bayar dulu baru mendapatkan perlindungan.
Jadi, walau secara teknis bisa dikoreksi, tetapi menurut dia tetap saja BPJS adalah sebagai mesin komersialisasi asuransi
kesehatan. Secara teknis ditambal sulam supaya enak diterima. Tetapi, secara prinsip adalah perampasan hak rakyat atas
kesehatan.
Bagi orang yang masih mampu membayar mungkin tidak masalah. Tetapi setelah pensiun, purnawirawan, buruh, tani,
tukang cendol, ojek, dan pedagang kecil gimana?
ra.

BPJS Kesehatan Itu Bukan Gratis, Dok!


18 Juli 2014 19:16:21 Dibaca : 15,524

Sepertinya citra program pemerintah itu adalah gratis dan karenanya harap janganlah terlalu banyak menuntut karena
itu pemberian dan berterimakasihlah. Inilah konsepsi yang keliru tentang pemerintah. Seolah pemerintah itu dermawan
bila menyelenggarakan program. Padahal itu adalah tugas dan kewajibannya. Wong PNS itu digaji memang untuk bekerja
pelayanan publik. Dana program sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Sebagian dari pendapatan
yang dihasilkan oleh usaha-usaha pemerintah lain. Hutang-hutang luar negeri pemerintah pun sama saja dengan beban
rakyat Indonesia kok.

Pemerintah punya keterbatasan dana karena pajak yang dibayarkan masyarakat tidak seimbang dengan kebutuhan
anggaran program. Atau karena terlalu banyak dikorupsi? Hahahaha. Karena itu Program BPJS Kesehatan yang
digelontorkan pemerintah pun masih menarik bayaran masyarakat.
Ini seperti masyarakat bergotong-royong mengumpulkan dana untuk membiayai orang yang sakit. Jadi, ketika ada yang
sakit dan harus berobat, itu bukanlah gratis. Masyarakat bergotong-royong membayari orang sakit. Yang sehat tetap
membayar iuran setiap bulan, dan uang tersebut hangus. Tetapi kita terjamin, bila suatu saat sakit.
***
Saya baru mengurus pembuatan kartu BPJS Kesehatan pada awal Juli 2014 ini. Ternyata masih tetap mengantri. Loket
dibuka jam 07.00. orang sudah mengantri sejak subuh. Ya, ampun.
Saya pun menitipkan antrian dan pengurusan formulir kepada seorang ibu dengan bayaran Rp 100 ribu. Jam 10.00 saya
sudah bisa datang untuk mengambil kartu BPJS.
Saya menyapa seorang ibu muda yang sedang mengurus kartu bersama suami dan kedua anaknya yang masih kecil.
Ternyata mereka hanya membuat dua kartu untuk suami dan anak sulung saja. Sedang ibu dan anak yang terkecil tidak.
Kenapa tidak empat-empatnya? Tanya saya. Waduh, terlalu berat bayarnya, Kata si ibu. Biar saja yang penting si
Bapak aja
Ada tiga kelas. Kelas pertama membayar Rp 59.500 per bulan per orang. Kelas kedua Rp 49.500. Sedangkan kelas ketiga
Rp 25.000. Si ibu itu membuat kartu BPJS kelas ketiga untuk suami dan anak sulungnya itu.
Saya juga mendengar ibu-ibu yang berkata dengan suara keras Ohhh, BPJS itu ternyata bayar. Bukan gratis. Ibu itu
kemudian pergi, batal membuat kartu BPJS.
Jadi, banyak yang mengira BPJS Kesehatan itu hanya untuk warga miskin. Gratis itu kan biasanya untuk orang miskin
atau tak mampu. Padahal BPJS Kesehatan itu untuk seluruh warga negara Indonesia. Warga yang sudah memiliki asuransi
swasta pun wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Bahkan orang asing yang menetap di Indonesia lebih dari 6 bulan
wajib memiliki kartu BPJS.

Pemilik kartu Askes dari kalangan PNS dan Jamsostek dari kalangan swasta, otomatis menjadi anggota BPJS Kesehatan.
Begitu juga pemilik kartu Jamkesmas/da yang merupakan program kesehatan gratis untuk orang miskin otomatis menjadi
anggota BPJS Kesehatan.
***
Sesudah kartu BPJS itu ada di kantong, paling tidak saya tidak terlalu merasa terancam lagi soal pembiayaan yang
mencekik leher apabila harus masuk rumah sakit. Tentunya kita tidak ingin sakit. Tapi yang namanya sakit kan bukan kita
yang sepenuhnya memilih. Buktinya demam berdarah memilih anak-anak saya untuk terkena meski saya merasa sebagai
orang yang pembersih baik urusan sampah maupun rumah. Para tetangga pun mengatakan bahwa rumah saya itu bersih
sekali.
Tapi, apakah betul dengan kartu BPJS Kesehatan kita sudah memperoleh jaminan kesehatan?
Setiap kali saya ke rumah sakit, saya selalu ditanya di loket Umum atau BPJS? Kalau saya menjawab BPJS, maka loket
akan berbeda. Baik untuk mendaftar, membayar, bahkan mengambil obat di apotik pun dibedakan antara umum dan
BPJS.
Seorang ibu di rumah sakit mengatakan pada saya: Perbedaan perlakuan itu begini, pasien yang diutamakan itu yang
umum, baru kemudian pasien BPJS, sesudah itu pasien Askes, baru pasien Jamkesmas.
Ibu itu tidak lengkap. Sebenarnya ada jenis pasien lain, yaitu pasien swasta (nampaknya yang dimaksud bukan karyawan
perusahaan swasta, tapi pemilik asuransi dari perusahaan swasta?). Ada 3 jenis loket di Rumah Sakit yang biasa saya
gunakan, yaitu umum, asuransi swasta, dan BPJS. Sesungguhnya pemilik kartu Askes dan kartu Jamkesmas/da itu
termasuk BPJS. Tapi maksud si ibu, ada perbedaan perlakuan terhadap pasien umum dan asuransi swasta yang dianggap
membayar. Sedangkan pasien BPJS atau seluruh program pemerintah dianggap pasien gratis. Di antara pasien gratis, lebih
dihargai pemilik kartu BPJS. Meskipun sebenarnya pemilik kartu Askes dan Jamkesmas/da itu sekarang menjadi BPJS
juga.
Saya belum pernah menggunakan kartu BPJS saya. Tapi saya melihat bagaimana orang lain menggunakannya di rumah
sakit tempat anak saya di-opname.

Memang benar, petugas kesehatan maupun non-kesehatan, termasuk dokter, menyebutkan kata gratis untuk menyatakan
bahwa BPJS itu sebagai pelayanan kesehatan gratis yang dibayari pemerintah. Pasien yang memiliki kartu Askes masih
diperlakukan sama seperti dulu (sebelum Askes beralih menjadi BPJS), yaitu disodori ucapan bernada peringatan
Biaya yang ditanggung BPJS itu paling hanya plafon saja, paling hanya sekitar Rp3 juta. kata petugas. Keluarga
pasien itu kelihatan sangat terpukul, setiap hari harus berbelanja alat kesehatan dan obat senilai hampir Rp 2 juta padahal
pasien stroke tersebut sudah hampir seminggu dirawat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mendapatkan uang
sebanyak ini dan sampai kapan Kata adik sang pasien yang menunggui dan membantu keperluan-keperluan itu.
Hutang-hutang ke mana lagi, dan dibayar dengan apa. Nampaknya itu yang melanda benak keluarga pasien itu.
Saya heran karena membaca buku Panduan BPJS Kesehatan disebutkan bahwa seluruh biaya ditanggung kecuali hal-hal
di luar ketentuan karena keinginan (keluarga) pasien sendiri.
Dokter pun sama seperti petugas lain mengatakan bahwa obat ini yang gratis, obat itu harus beli sendiri. Sangat
mengherankan bahwa perlakuan dokter, perawat, dan rumah sakit masih seperti itu. Bahkan resep pun masih harus dibeli
keluarga pasien sendiri. Saya melihat pasien itu belanja ke apotik setiap hari, sehari 3-4 kali belanja. Saya pun harus
belanja ke apotik dan kresek belanjaan saya besar sekali karena saya harus membeli sampai 10 labu cairan infus.
Seorang pasien klinik gigi mengatakan bahwa sedang memasang gigi palsu dengan menggunakan kartu BPJS. Ada 6 gigi
yang diperlukan dan biayanya sekitar Rp 450 ribu. Saya terkejut karena pemasangan gigi saya di klinik itu jauh lebih
mahal, sekitar 5x lipat. Pembayaran tunai.
Pertanyaannya: Apakah kualitas giginya sama atau berbeda ya?
***
Rupanya masih banyak masyarakat yang belum mengerti apa itu BPJS Kesehatan. Apa hak dan kewajiban mereka.
Sebaliknya, pihak dokter, perawat, petugas non-medik, dan rumah sakit secara keseluruhan pun menganggap BPJS
Kesehatan itu sebagai pelayanan kesehatan gratis. Apakah tidak terpikir dalam benak mereka bahwa mereka tetap dibayar
dalam memberikan pelayanan kesehatannya oleh pasien yang sumber dananya berasal dari iuran gotong-royong

masyarakat se-Indonesia karena seluruh warga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan? Ataukah bayaran dari BPJS
Kesehatan ini memang murah ketimbang harga umum?
Bayangkan berapa dana yang terhimpun setiap bulan dan tahunnya bila sekitar 200 juta penduduk Indonesia menjadi
peserta BPJS Kesehatan. Ini tentunya di luar penduduk miskin yang tidak membayar iuran jalur Jamkesmas/da. Apakah
harga yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan itu kepada pemberi layanan kesehatan sama seperti harga yang berlaku
umum, itulah yang warga pembayar iuran BPJS berhak tahu.
Saya rasa hak warga untuk mengetahui bagaimana dana yang terhimpun itu digunakan untuk membayar layanan
kesehatan. Sebab, perlakuan dokter, perawat, dan petugas rumah sakit kepada pasien BPJS itu ditentukan oleh bagaimana
pembayaran dilakukan. Kalau harga terlalu rendah, bagaimana mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum dan
asuransi swasta? Apakah itu yang menyebabkan perlakuan yang berbeda seperti ungkapan si ibu berdasar pengalaman dan
pengamatannya di lapangan?
Dokter, pasien BPJS itu bayar bukan gratis. Saya akan mengatakan itu kepada dokter dan perawat yang bertanya:
Ini bayar ya? Ya, memang itu pertanyaan yang lumrah dari mereka ketika saya sedang berobat. Saya percaya ini bukan
pertanyaan diskriminatif, hanya sekedar mengecek sesuai jalurnya. Semoga tidak ada perbedaan dalam pilihan dan
kualitas pelayanan bila bayar dengan gratis.
Namanya sakit, yang diperlukan bukan pelayanan kelas VIP, I, II, atau III, melainkan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan agar kita kembali sehat. Di buku Panduan BPJS Kesehatan saya membaca bahwa perbedaan kelas itu hanya
untuk akomodasi (kamar dan fasilitasnya) sedangkan dokter, obat dan alat kesehatan (alkes) tidak berbeda. Semoga saja di
lapangan sesuai dengan itu.
BPJS Kesehatan ini bagaikan malaikat penolong dalam menghadapi monster sakit yang mengancam kehidupan kita,
fisik dan mental, moril maupun materiil. Tapi lain yang saya baca dengan praktek yang saya lihat di lapangan.
Nampaknya harus ada Komite Pemantauan BPJS Kesehatan dari kalangan masyarakat. Bukan cuma Dewan Pengawas
yang merupakan bagian dari pengurus BPJS saja. Pengawasan dari masyarakat pun perlu.
Pengawasan ini ditujukan juga untuk membela pihak BPJS dan penyedia layanan kesehatan juga bila ada 'masyarakat
pasien yang terlalu banyak menuntut' seperti yang dikeluhkan seorang dokter tentang penerapan dokter. Nadanya seperti

'sudah gratis, banyak maunya lagi....' Ini karena masyarakat/pasien juga tidak tahu ketentuan praktis layanan apa saja yang
berhak diterimanya bila menghadapi suatu kasus berobat. Saya kira ini perlu juga jadi pengetahuan masyarakat agar bisa
memahami rambu-rambunya. Tapi, saya yakin bukanlah seperti yang dipraktekkan di Rumah Sakit di atas bahwa "Ini
resep obat dan alkes yang harus Anda bayar sendiri karena tidak ada di daftar BPJS...." Saya baca berulang-ulang Panduan
BPJS Kesehatan, dinyatakan di situ bahwa pasien mendapatkan semua pelayanan yang dibutuhkan tanpa harus membayar.
Sekali lagi, itu bukan gratis, dokter.... Kami membayar pelayanan itu melalui BPJS Kesehatan secara bergotong royong
setiap bulan, setiap orang, dalam keluarga.
***

Anda mungkin juga menyukai