bertugas mengendalikan di bidang pangan yang sangat penting pada pemerintahan Orde
Baru.
Selanjutnya Jepang mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Pada
masa pemerintahan Jepang kebutuhan dibidang pertanian ditujukan pada pemenuhan
kebutuhan militer. Bersamaan dengan kebijakan Jepang dan ditambahkan dengan
kebijakan pemerintahan Belanda sebelumya maka akan meninggalkan berbagai
kebijakan beras pada pemerintahan Indonesia selama 20 tahun setelahnya, dimana
ekspor hasil pertanian dan perkebunan merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir
tahun 1960an sehingga struktur perekonomian seperti hal tersebut memerlukan
kebijakan harga beras rendah dan tingkat upah yang rendah.
II
mewariskan satu contoh organisasi BUUD (Badan Usaha Unit Desa), KUD (Koperasi
Unit Desa) & BRI unit desa dalam fungsinya sebagai penyedia dana kredit. Pelajaran
lain dari Program Padi Sentra selain pembelajaran mengenai bahayanya penetapan
harga padi yang oleh petani terlalu rendah adalah pentingnya peranan saluran
pengkreditan yang baik serta perkembangan staf yang kompeten.
Pada tahun 1963 presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras
dengan jagung. Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri sipil & Militer
yang semula memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini
mengalami banyak kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari
masyarakat sehingga dihentikan, dari program tersebut dapat mendapat pembelajaran
dimana setiap penyedia jagung atau bahan makanan lainnya selain beras, dimana untuk
memenuhi kekurangan beras, perlu direncanakan dengan lebih matang agar dapat
berjalan dengan baik.
Pada tahun 1963, program penyuluhan yang di lakukan para mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor,
merupakan sumber inspirasi
tahun 1960 dan harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hamper sama
dengan harga beras. Karena menciutnya cadangan devisa impor beras menurun menjadi
200.000 ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah
adanya kemungkinan menaikan produksi beras melalui program Bimas.
III
baru
diambil
untuk
mempermudah
pembiayaan
sarana
dengan sangat dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen
yang berlimpah itu ternyata agak terlantar. timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok
baru agar cengkeh rakyat tertampung , juga gagasan mendirikan badan penyangga
harga untuk komoditas tertentu. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC
(badan penyangga pemasaran cengkeh). namun oleh karena masalah keuangan dan
teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani
masalah pemasaran cengkeh. Akhirya kepada para petani disarankan untuk menebang
pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar harga tetap stabil.
Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan
cara yang dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya,
produksi kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi
rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan
di Negara maju Eropa dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi
pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli
potensial maka disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal dan
melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain
merupakan sumbangan Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di Negara maju,
stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara
6
3.
4.
5.
B.
Perubahan Struktur
Besarnya sumbangan dari berbagai macam sektor perekonomian terhadap
penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto akan mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur perekonomian. Misalnya, negara agraris yang
perekonomiannya lebih besar di dukung oleh sektor pertanian. Begitupun dengan
negara yang mendapat sebutan negara industri tentunya sumbangan sektor
industri yang menonjol di negara tersebut. Contohnya negara Singapura yang
melakukan perubahan terhadap struktur perekonomiannya dari negara agraris ke
negara jasa. Hal demikian juga terjadi di Bali, yang dari sektor agraris ke sektor
jasa.
Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)
1960
57,6
8,4
34,0
1977
46,9
11,9
53,2
2007 (Agustus)
22,5
27,4
50,1
100
100
100
8
Sumber: 1960 dan 1977 dari A.Booth dan P.Mc Cawley, Tabel 1.2, hal 6 (diolah) 2007
(Agustus) BPS seperti pada BI LPI 2007, Tabel 2.7 (diolah).
Data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri pengolahan,
dan jasa) dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun 1960,
1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari
57,6% pada tahun 1960 menjadi 46,9% pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi
22,5% pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus
mengalami kenaikan dari 8,4% pada tahun 1960, telah menjadi 11,9% pada tahun 1977,
dan sekarang ini telah mencapai lebih dari 27% sektor industri yang paling menonjol
adalah pada masa akhir pemerintahan Soeharto sampai sekarang, yakni setelah tahun
1980an. Jika di perhatikan tabel diatas, peran sektor jasa tertinggi pada tahun 1977
yaitu sebesar 53,2%. Angka ini tidaklah negara Indonesia adalah negara jasa sejak
1977. Jadi, kesimpulannya Indonesia sudah memasuki masa negara industri.
Ada alternatif lain untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu negara yaitu
dengan melihat jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor.
Namun alternatif ini sering membingungkan penggunanya, karena serapan sektor
industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena teknologi yang dipakai adalah
teknologi padat modal.