Anda di halaman 1dari 11

COVER

DAFTAR ISI
1

Daftar Isi .......................................................................................................................2


BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................3
BAB. II PEMBAHASAN...............................................................................................6
I.
II.

Kronologi Kasus......................................................................................................6
Analisis. ..........................................................................................................7

BAB. III PENUTUP .....................................................................................................10


I.
Kesimpulan. ....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................11

BAB I PENDAHULUAN

Adanya kehendak bebas/memilih dan intelektualitas/kedewasaan seseorang tidak


cukup untuk perkara pidana, akan tetapi mesti adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan. Kesalahan merupakan esensi pilar immaterial dalam delik/tindak kejahatan yang
tanpanya tidak ada tempat untuk perkara pidana. Kesalahan adalah perbuatan melawan
hukum,
dimana
seseorang dipertanggungjawabkan
secara
hukum
pidana atas
perbuatannya. Ada dua bentuk kesalahan yaitu kesalahan disengaja dan kesalahan tidak
disengaja
Kesalahan dalam arti yang luas meliputi :
1. Kesengajaan.
2. Kelalaian/ kealpaan (culpa).
3. Dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan. Dibawah ini akan dibahas
mengenai masalah kesenggajaan dan kealpaan.
1. Kesenggajaan
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah
merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan ( culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan
daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan
kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia
merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak
barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
Lalu apa itu yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi
mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas
ditentukan: Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya,
maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja.
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T.
(Memorie van Toelichting), yaitu Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Dalam
pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : menghendaki dan
mengetahui (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan
sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi
dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.
Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping
itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul
daripadanya.

a. Teori-Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi
menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat
disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:
3

1). Teori kehendak (wilstheorie)


Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang (Simons dan Zevenbergen).
2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang
tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini
menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan
terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada menunjukkan
perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk
berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah
hanya dalam peristilahannya saja.
b. Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
1. Kesengajaan sebagai maksud ( opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan
(dolus directus).
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak
diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijkopzet).
2. Kealpaan (culpa)
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat
pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana
dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat
memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan
antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti
sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah
satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga
bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld
(kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak
pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang pendugaduga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak
orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai
referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam
memahami tentang kealpaan ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh seperti tidak
memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga
membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga
ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada
diri pelaku terdapat:
a. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
b. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
c. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1). Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan
tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan
timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat
dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan
kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum
mengatakan, bahwa kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk
bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus
eventualis. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian
yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip).
Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi
tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

BAB II PEMBAHASAN
I.

Kronologi Kasus
Pada hari Jumat tanggal 28 Oktober 2011 sekitar pukul 01.30 WIB, Eko
Ristanto bersama dengan rekan- rekan satu teamnya dari Reskrim Polres Sidoarjo,
yaitu Iwan Kristiawan, Sis Sudarwanto, Dominggus Dacosta, Agus Sukwan
Handoyo, dan Widianto, melakukan pengamanan wilayah di areal monument Ponti
5

tepatnya di depan GOR Sidoarjo. Kemudian Widianto mengeluh sakit dan kemudian
pulang. Saat perjalanan pulang di tikungan depan Caf Ponti, sepeda motor yang
dikendarai Widianto bertabrakan dengan mobil Suzuki Carry dengan No. Pol. W1499-NW warna hijau yang dikendarai oleh Riadis Solikhin, sehingga Widianto
terpelanting dan terluka sampai tidak sadarkan diri.
Melihat kejadian tersebut, Eko Ristanto dan rekan- rekannya yang lain
memberikan pertolongan kepada Widianto yang terluka dan sebagian mengejar
Riadis Solikhin yang terus melanjutkan perjalanan ke arah Perumahan Taman Pinang
Kabupaten Sidoarjo. Yang melakukan pengejaran terhadap Riadis Solikhin adalah
Eko Ristanto, Iwan Kristiawan, Dominggus Dacosta, dan Agus Sukwan Handoyo
yang mengendarai mobil Xenia, sedangkan Sis Sudarwanto menolong Widianto yang
terluka dan tidak sadarkan diri.
Saat pengejaran tersebut ketika sampai di Perumahan Taman Pinang, Eko
Ristanto sempat mengeluarkan tembakan peringatan ke udara sebanyak 1 kali dengan
harapan Riadis Solikhin menghentikan mobilnya, namun Riadis Solikhin tetap tidak
mau berhenti. Dan sesampainya di bundaran ketiga atau perempatan arah Sidokare,
Eko Ristanto melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk kedua kalinya akan
tetapi Riadis Solikhin tetap tidak mau berhenti, sehingga Eko Ristanto menyalip
mobil Riadis Solikhin dari sebelah kanan dan memotong laju mobil tersebut yang
memutar dimana saat itu Eko Ristanto tersenggol mobil tersebut sehingga terjatuh
dan terluka tangannya. Melihat Eko Ristanto terjatuh, Iwan Kristiawan yang ikut
melakukan pengejaran melepaskan tembakan peringatan ke udara agar Riadis
Solikhin menghentikan laju mobilnya.
Setelah bangun dari jatuhnya, Eko Ristanto mempercepat laju sepeda
motornya mengejar mobil Riadis Solikhi. Sesampainya di tikungan Desa Sepande
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo, Eko Ristanto mengeluarkan tembakan ke arah
mobil Riadis Solikhin yang mengenai bemper belakang mobil tersebut, akan tetapi
Riadis Solikhin tidak mau berhenti, maka Eko Ristanto mempercepat laju sepeda
motornya dan ketika Eko Ristanto dalam posisi berdampingan dengan mobil maka ia
melepaskan tembakan ke arah lengan Riadis Solikhin yang sedang menyetir mobil
dengan menggunakan senjata kepolisian jenis Revolver merk Colt Caliber 38 dengan
nomor seri 07168R yang dimiliki oleh Eko Ristanto tersebut sehingga mengenai kaca
pintu depan sebelah kanan mobil Riadis Solikhin dan menembus lengannya serta
paru- paru.
Setelah ditembak oleh Eko Ristanto, Riadis Solikhin dalam keadaan diam
dan mengeluarkan darah dari lengan kanan atas, dada, maupun hidungnya. Melihat
hal tersebut, Eko Ristanto dibantu Agus Sukwan Handoyo kemudian membopong
Riadis Solikhin ke dalam mobil milik Agus Sukwan Handoyo dan dibawa ke RSU
Sidoarjo untuk mendapatkan pertolongan medis. Untuk menghilangkan jejak
penembakan tersebut, Eko Ristanto kemudian memecahkan kaca depan mobil milik
Riadis Solikhin tersebut dengan alibi seolah- olah Riadis Solikhin berhenti karena
menabrak tembok rumah di daerah Desa Sepande Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo tersebut. Lalu pada saat Riadis Solikhin dibawa ke RSU Sidoarjo, sudah
dalam keadaan meninggal akibat luka tembak yang dilepaskan oleh Eko Ristanto.
II.

Analisis
Pasal- pasal alternatif yang didakwakan oleh Penuntut Umum terhadap Eko
Ristanto adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 354 ayat (2) KUHP
tentang melukai berat orang lain, dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang
penganiayaan. Kemudian oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo, Eko Ristanto dinyatakan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pembunuhan dan dijatuhkan hukuman pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun.
Dan setelah melalui kasasi pun dinyatakan bahwa alasan- alasan kasasi terdakwa
tidak dapat dibenarkan dan terdakwa tetap terbukti melakukan perbuatan terlingkup
dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum, yaitu Pasal 338 KUHP.
Kasus di atas merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh Eko Ristanto
terhadap Riadis Solikhin. Dalam kasus tersebut, tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh terdakwa adalah karena ketidaksengajaan dan juga dilakukan tanpa
ada niat maupun rencana untuk membunuh. Berdasarkan diskusi kelompok kami,
pasal yang paling tepat untuk dijatuhkan terhadap Eko Ristanto adalah Pasal 359
KUHP, yang berbunyi Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Unsur pertama yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP adalah Barangsiapa.
Dalam kasus ini yang menjadi subjek hukum adalah terdakwa alias Eko Ristanto.
Lalu unsur kedua yaitu Karena kesalahannya (kealpaannya). Dalam kasus tersebut,
perbuatan terdakwa menghilangkan nyawa korban didasari oleh ketidaksengajaan
atau kealpaan. Rencana awal terdakwa saat menembakkan senjata adalah untuk
melumpuhkan tangan korban agar ia menghentikan mobil yang dikendarainya,
terdakwa tidak memiliki niat untuk membunuh korban. Kemudian unsur ketiga yaitu
Menyebabkan orang lain mati. Karena kealpaannya, perbuatan yang dilakukan oleh
Eko Ristanto menyebabkan matinya Riadis Solikhin. Maka dapat disimpulkan bahwa
ketiga unsur dalam Pasal 359 KUHP terpenuhi.
Kami tidak memilih pasal- pasal lain yang menjadi alternatif dakwaan
Penuntut Umum karena: Pertama, Pasal 338 KUHP yang berbunyi Barangsiapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun. Tindakan merampas nyawa Riadis
Solikhin yang dilakukan oleh Eko Ristanto merupakan ketidaksengajaan atau
kealpaan, sehingga tidak sesuai dengan unsur- unsur yang terdapat dalam Pasal 338
KUHP. Kedua, Pasal 354 ayat (2) KUHP yang dalam ayat (1) berbunyi Barangsiapa
sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Kemudian ayat (2) yang berbunyi
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun. Seperti penjelasan yang dipaparkan atas pasal
sebelumnya, tindakan yang dilakukan oleh Eko Ristanto didasari oleh

ketidaksengajaan, sehingga tidak sesuai dengan unsur yang terdapat di dalam pasal
ini. Ketiga, Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dalam ayat (1) berbunyi Penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian ayat (3) berbunyi
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, atau sengaja
merusak kesehatan orang.1 Menurut R. Soesilo, tindakan- tindakan tersebut harus
dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud yang patut atau melewati batas yang
diizinkan. Sementara itu, tindakan yang dilakukan oleh Eko Ristanto tidak dengan
maksud untuk melewati batas yang diinginkan, karena rencana awalnya hanya untuk
melumpuhkan korban dengan tujuan agar ia menghentikan mobilnya, namun yang
terjadi adalah peluru yang ditembakkannya menyebabkan korban meninggal dunia.
Bentuk kesalahan dalam kasus ini menurut kelompok kami adalah kesalahan
dalam bentuk kelalaian atau kealpaan dikarenakan meninggalnya korban yang
dimaksud disini tidak dimaksud atau dikehendaki sama sekali oleh pelaku, akan
tetapi kematian tersebut merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya
pelaku tersebut, kelalaian pelaku yang pada awalnya ingin melumpuhkan korban
namun menyebabkan meninggalnya korban. Hal tersebut ditujukkan bahwa pelaku
pada saat itu menembakkan senjata api nya ke udara dan terhadap mobil korban lalu
karena hal tersebut tidak diindahkan korban, pelaku menembakkan senjata api nya ke
lengan tangan korban dengan maksud untuk melumpuhkan bukan membunuh kalau
memang pelaku sengaja menghendaki korban terbunuh seharusnya ia dapat
menembakkan peluru tersebut ke bagian vital korban namun dalam peristiwa ini
pelaku menembakan peluru nya ke lengan kanan korban namun terpeleset sehingga
menembus paru-paru korban yang mengakibatkan korban meninggal. Dikatakan
kelalaian karena tidak ada unsur willens (menghendaki) dalam kasus ini maka
dengan demikian unsur kelalaian terpenuhi.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, 1991

Menurut kelompok kami terhadap putusan mahkamah agung, kelompok


kami tidak sependapat dengan putusan mahkamah agung yang menjatuhkan pasal
338 KUHP terhadap pelaku karena unsur kesengajaan nya tidak terpenuhi dimana
kesengajaan memiliki unsur menghendaki dan mengetahui (willens en wetens) dan
pelaku tidak mengehendaki terbunuhnya korban. Pada pasal 338 KUHP unsur
sengaja harus diwujudkan dengan adanya niat dan kehendak untuk membunuh
korban namun pada kasus ini terbunuhnya korban terjadi karena kelalaian, ketidak

hati-hatian, kurangnya kewaspadaan atau kurangnya pendugaan dari pelaku terhadap


tindakannya yang menyebabkan korban meninggal. Dalam kasus ini pelaku
memenuhi unsur kelalaian karena berfikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar dan ia sama
sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena
perbuatannya. Seperti menurut Sianturi (1986: 193) mengemukakan bahwa sesuatu
akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku walaupun dalam perkiraan,
sedangkan pada kesengajaan justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan
keinsyafannya. Dengan demikian menurut kelompok kami pasal yang tepat untuk
digunakan dan dijatuhkan terhadap pelaku adalah pasal 359 KUHP yang berbunyi
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun..

BAB III PENUTUP


I.

Kesimpulan
1. Tembakan peringatan yang dilakukan oleh terdakwa sebelum menembak kearah
korban sudah sesuai dengan prosedur SOP dari kepolisian yaitu:

Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri
1/2009): c. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka
yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. 1.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa anggota polri sedang mencegah larinya sang
pelaku yang kabur dengan mobil dengan kecepatan tinggi dan memungkinkan
mencelakakan masyarakat atau anggota polri.
2. Setelah melakukan tembakan peringatan ketiga, terdakwa yang sebagai anggota polri
melakukan langkah-langkah untuk melumpuhkan sang korban dengan cara
menembakkan senjata apinya ke arah tangan korban (hal ini sama seperti tersangka
yang kabur dengan berlari, maka yang ditembak adalah kaki tersangka). Penggunaan
senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009): b.
anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk
menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; 2
3. Namun yang terjadi adalah tembakan kearah tangan ke korban menembus tangannya
dan mengarah ke paru-paru korban dan mengakibatkan kematian. Dalam keadaan
tersebut tentunya anggota polisi tersebut menyadari dan mengetahui bahwa dengan
sengaja ingin melumpuhkan korban dengan menembakkan pistol jenis Revolver nya
ke arah tangan. Maka dapat dikatakan bahwa terdakwa melaukan delik dengan
kesengajaan tujuan utama yaitu melumpuhkan korban yang kabur ini. Namun
terdakwa tidak menghendaki terjadinya kematian terhadap korban. Karena,
penmebakan peringatan telah sesuai prosedur dan tembakan melumpuhkan sudah
sesuai dengan Perkapolri yang berlaku maka seharusnya terdakwa tidak dapat
dikenai pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
4. Kelompok kami setuju menggunakan pasal 359 KUHP karena kematian terdakwa
tidak dikehendaki oleh terdakwa dan merupakan tugasnya untuk mengamankan
korban dengan cara-cara tertentu seperti yang dilakukan oleh terdakwa. Namun
terjadinya kealpaan yang menyebabkan kematian tersebut merupakan konsekuensi
dari prosedur terdakwa sebagai anggota polri dan konsekuensi pula terhadap korban
yang telah di peringatkan dengan tembakan sebanyak 3 kali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1987.
2. Chazawi, Adam, 2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta:
Rajawali Press.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt504f0c7565691/prosedurpenggunaan-senjata-api-oleh-polisi. Diakses 27 September 2015.


2
Ibid.

10

3. Lamintang. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.


4. Moeljatno.1985. Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara.
5. Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Aheam.
6. Soesilo. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (serta komentarkomentar Pasal demi Pasal).Bogor: Politea.
7. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt504f0c7565691/prosedurpenggunaan-senjata-api-oleh-polisi. Diakses 27 September 2015.

11

Anda mungkin juga menyukai