Disusun Oleh :
Muhammad Taufik Nurwansyah
Pendidikan Sejarah B
4415155270
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya akhirnya karya ilmiah yang berjudul Sejarah Perundingan Linggarjati telah
selesai.
penulis ingin mengucap banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan karya ilmiah ini, baik secara langsung ataupun tidak. Serta rasa terima kasih
kepada dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah menularkan banyak ilmunya kepada
penulis sehingga bisa menyusun karya ilmiah ini dengan baik.
Penulis sadar makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan guna perbaikan pada tulisan
selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Tujuan
1.3
Rumusan Masalah
1.4
1.5
Sistematika Uraian
BAB II PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang terletak di Asia Tenggara, yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan Ir.Soekarno sebagai presidennya. Pasca Proklamasi kemerdekaan negara
ini diuji oleh banyaknya persoalan dari dasar negara sampai kembali datangnya Belanda yang
tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia. Masa Revolusi di Indonesia dimulai dengan masuknya
Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan
Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember
1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet,
Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
1.2
Tujuan
Karya ilmiah ini disusun dengan tujuan diantaranya agar lebih mengetahui dan
1.3
Rumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini dapat penulis rumuskan yaitu Perundingan Linggarjati sebagai
simbol Pengakuan Kedaulatan Negara Indonesia . Untuk Membatasi topik pembahasan dalam
karya ilmiah ini, penulis membatasinya dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.
2.
3.
1.4
sumber yang digunakan merupakan sumber-sumber tertulis seperti buku. Metode kajian pustaka
dipilih karena metode ini lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.5
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Tujuan
1.3
1.4
Rumusan Masalah
1.5
Sistematika Uraian
BAB II PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3
BAB II
LINGGARJATI : LANGKAH PERTAMA MENUJU DEKOLONISASI INDONESIA
DARI BELANDA
Pada awal Oktober 1945, kesatuan kecil sipil Belanda tiba. Langkah pertama mereka
adalah membuka kegiatan organisasi Netherlands Indies Civil Administrations (NICA) di
Jakarta. Pada 2 Oktober 1945, pemimpin NICA, Letnan Gubernur Jenderal Dr. Van Mook, tiba
dari Camp Columbia, Brisbane, Australia.3
Di lain kesempatan, Mountbatten telah menentukan garis kebijakan awal di Indonesia,
yakni diantaranya mendesak Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Desakan itu juga
ditujukan, antara lain, agar Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mengusahakan dirinya berada
di luar konflik serta mau bertemu dan berbicara dengan pemimpin Indonesia, khususnya dengan
Sukarno. Lalu Mountbatten memerintahkan kepada tentara Inggris yang berada di Indonesia agar
tidak ikut campur tangan dalam perselisihan politik RI dan Belanda (seperti dituntut oleh
Belanda). Tugas tentara Inggris terbatas pada pembebasan tahanan-tahanan sekutu, sipil dan
militer, serta memerintahkan penyerahan tentara Jepang, melucuti dan mengembalikan mereka
ke Jepang.tentara Inggris tidak bertugas menegakkan kembali pemerintah Hindia-Belanda, tetapi
bersedia membantu supaya pihak Belanda dan pihak Indonesia mencapai persetujuan politik.
Lalu bagaimana dengan keadaan tentara Inggris yang sudah mendarat di
Indonesia? Berikut ini dikemukakan penjelasan dari Ali Budiardjo.
Pendaratan satuan-satuan tentara Inggris pada awalnya jarang menimbulkan bentrokan
dengan pemuda-pemuda dari Indonesia, sekalipun mereka sudah panas karena menyangka
Inggris datang untuk menegakkan kembali pemerintah Belanda. Pertempuran baru terjadi di
Surabaya pada saat tentara Inggris mendarat. Ini disebabkan karena tindakan komandannya yang
tidak bijaksana, yaitu dengan menyebarkan selebaran-selebaran, yang berisi perintah untuk
menyerahkan semua senjata yang berada ditangan orang sipil kepada tentara Inggris. Dari
peristiwa tersebut telah menyulut amarah pemuda dan rakyat Indonesia sehingga pertempuran
2 Rushdy Hoesein, Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), h. 101.
3 Ibid.
pada tanggal 10 November 1945 pun tidak terelakkan lagi. Meskipun menghadapi kekuatan
berpengalaman dan bersenjata lengkap, serta dibantu dari laut dan udara, pemuda dan rakyat
Indonesia tetap dapat mempertahankan kota Surabaya selama empat hari.4
Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya
merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahannya. Maka diputuskan
bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan kabinet mengirim satu delegasi ke Negeri
Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan pringgodigdo. Perundingan diadakan
tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai deadlock,
karena bentuk perjanjian internasional (treaty) tidak dapat diterima oleh Kabinet Belanda.
Perjanjian internasional akan berarti bahwa RI mempunyai kedudukan yang sama dengan
Belanda di dunia internasional. Padahal, Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara
pemegang kedaulatan atas Indonesia.
Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi pengalaman yang
diperoleh dari perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati. Dalam
hal ini, Ali Budiardjo pernah berpandangan tentang perundingan pertama tersebut, bahwa sejak
awal terdapat dua tujuan utama dalam perundingan pertama di Hoge Voluwe, yakni : (1)
berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara di dunia, sehingga
perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap sebagai gerakan nasional dalam suatu negara
jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh; (2) mempertahankan kekuatan fisik yang
telah dibangun.5
Setelah intermeso yang disebabkan terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan Kabinet
Sjahrir II menyerahkan kekuasaannya kepada presiden Soekarno, maka pada bulan Agustus,
presiden menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kabinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946,
Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya, kabinet Sjahrir III. Kabinet membentuk delegasi untuk
berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir Sjarifudin, Moh. Roem, A.K.
Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono dan Arif Budiardjo sebagai sekretaris.
5 Ibid., h. 12.
Sementara itu negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian kabinet. Perdana menteri
Schermerhorn (Partai Buruh, Partij van den Arbeid) diganti oleh I.J.M. Beel (Partai Rakyat
Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat Suatu komisi dengan undangundang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas Schermerhorn
(mantan menteri), Van Poll, De Boer dan F. Sanders sebagai sekjennya, komisi jenderal diberi
wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan diberi tugas mempersiapkan
pembentukan orde politik baru di Hindia Belanda.
Pemerintah Inggris mengangkat Lord Killearn, wakil (Commisioner) khusus Inggris
untuk Asia Tenggara, menggantikan Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk
mencapai penyelesaian politik baik dari pihak Belanda maupun Inggris.
Pada tanggal 18 September komisi jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September
Killearn mengadakan makan siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (wakil Killearn).
Setelah makan siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal
itu, Scermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan komisi jenderal dan dibicarakan pula
beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir mengemukakan pendapatnya
bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh dwitunggal Soekarno-Hatta.
Ternyata saran ini pada prinsipnya disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan
perubahan besar dalam pandangan politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge
Voluwe, pemerintah Belanda menolak bentuk perjanjian internasional, karena dalam
preambulenya dinyatakan : pemerintah Indonesia yang diwakili oleh presidennya,
Ir.Soekarno berdasarkan alasan bahwa presiden Soekarno dianggap sebagai kolaborator
Jepang. Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno seperti itu.
Ternyata pemerintah Belanda melepaskan pandangan yang salah itu. Dengan disetujuinya
Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih dipersoalkan oleh
Schermerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak dapat menerima Yogya, sedang
Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat berunding.
Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara istana Rijswijk (sekarang
istana negara) tempat penginapan anggota komisi jenderal dengan tempat kediaman resmi
Sjahrir, Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) 56. Perundingan di tempat
kediaman Sjahrir dipimpin oleh Schermerhorn, sedangkan perundingan di Istana Rijswijk
dipimpin oleh Sjahrir.
mempunyai perwakilan di negara-negara itu dan hal itu akan ditafsirkan bahwa Indonesia
tetap bergantung pada negara penjajahnya.6
Malam itu atas undangan presiden, delegasi Belanda berkunjung pada presiden di
Kuningan. Dalam kesempatan itu hadir wakil presiden, A.K. Gani, dan Amir Syarifuddin. Sjahrir
tidak hadir karena sangat lelah dan mengira kunjungan Belanda hanya sebagai kunjungan
kehormatan.
Atas pertanyaan presiden mengenai jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa
tercapai kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul delegasi Indonesia untuk mengubah kata
merdeka di belakang kata berdaulat artinya, yang diusulkan oleh delegasi Indonesia adalah
agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut Ia menerangkan bahwa selama
perundingan delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan antara
mereka sendiri, mereka akhirnya dapat menyetujui usul pihak Indonesia.
Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum dipecahkan, yakni
perwakilan Republk Indonesia di luar negeri. Tetapi Ia kemudian segera menanyakan kepada
presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan merdeka menjadi
berdaulat presiden dapat menyetujui rancangan perjanjian seluruhnya. Atas pertanyaan itu
presiden menjawab dengan nada antusias bahwa Ia dapat menyetujuinya. Pertemuan tersebut
kemudian berakhir.
A.K. Gani dan Amir Sjarifuddin segera melaporkan kepada Sjahrir. Ia sangat
menyesalkan bahwa presiden sudah menyetujui rancangan perjanjian Linggarjati, padahal soal
perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan
presiden. Maka waktu Schermerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan
diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya. Rapat pleno diadakan pada pukul 10.30 malam
dengan Killearn sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya
kesepakatan kedua delegasi.
6 Ali Budiardjo, Loc.cit.
Hari berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua delegasi. Sebelumnya
Sjahrir telah bertemu dengan presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar
dimasukkan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenai arbitrase, yang diterima
oleh Schermerhorn. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa
Republik Indonesia dan negeri Belanda sederajat. Komisi jenderal kemudian berangkat ke
Jakarta.
Pagi tanggal 15 November diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana Rijswijk.
Dalam rapat itu dimasukkan pasal 17 mengenai arbitrase. Sorenya naskah dalam Bahasa Belanda
diparaf di rumah Sjahrir dan pada tanggal 18 diparaf naskah Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
2.3 Indonesia pasca perundingan Linggarjati
Setelah naskah diparaf, timbul pelbagai macam tanggapan dari masyarakat Indonesia, ada
yang pro dan ada pula yang kontra. Mengenai masalah ini, Sutan Sjahrir menyatakan harapannya
agar naskah persetujuan dapat diterima, sehingga tenaga 75 juta rakyat dapat digunakan dengan
lebih rasional.7
Beberapa partai politik menyatakan menentang yaitu Masyumi, partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa
Barat, Partai Rakyat Jelata, sedangkan yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI, Lasykar
Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katholik. Dewan pusat
kongres pemuda menyatakan tidak menentukan sikap terhadap naskah persetujuan demi menjaga
persatuan di kalangan organisasi mereka yang berbentuk federasi. Golongan yang menolak
Linggarjati bergabung di dalam Benteng Republik Indonesia, yang terdiri dari partai serta
organisasi tersebut di atas.
Pertentangan pendapat mengenai pro dan kontra naskah berlangsung terus. Untuk
mendobrak jalan buntu pemerintah bertindak untuk mengubah perimbangan kekuatan di dalam
KNIP supaya cenderung kepada sikap pro Linggarjati. Pada bulan Desember dikeluarkan
peraturan Presiden No.6/1946, yang bertujuan untuk menambah anggota Komite Nasional
7 R.P. Soejono dan R.Z. Leirisa, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), h. 212.
Indonesia Pusat. Peraturan Presiden No. 6 ini menggariskan pembebasan para pejabat negara
yang aktif sebagai anggota KNIP, seruan kepada partai-partai politik besar untuk memilih caloncalonnya sejumlah dua kali lipat jumlah hak perwakilan mereka dalam KNIP, serta penambahan
wakil-wakil dari daerah di luar Jawa dan Madura.
Peraturan Presiden ini juga mendapat tantangan keras dari partai-partai yang anti
Linggarjati termasuk PNI dan Masyumi. Kedua partai besar itu berpendapat bahwa Peraturan
Presiden tersebut tidak sah, karena setelah ada kabinet, Presiden tidak boleh melakukan tindakan
yang bersifat legislatif. Mereka juga menggugat bahwa dalam membuat peraturan itu Badan
Pekerja KNIP tidak diajak berunding. Hal ini mereka anggap pemerkosaan terhadap hak-hak
rakyat. Namun, partai-partai pemerintah, khususnya Partai Sosialis, menyatakan bahwa
Peraturan Presiden tersebut adalah sah berdasarkan hak prerogatif Presiden, meskipun Badan
Pekerja KNIP juga menentang keras peraturan tersebut. Oleh karena BP KNIP menolak untuk
mengesahkan PP tersebut, pemerintah berusaha meminta pengesahan dalam sidang pleno KNIP.
Sidang diadakan di Malang dari tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947. Dari pidato-pidato
yang disampaikan oleh anggota KNIP pemerintah menyimpulkan bahwa PP itu akan ditolak.
Untuk menyelamatkannya, wakil presiden Hatta menyampaikan pidato yang memberikan kepada
KNIP hanya dua pilihan: menerima PP atau mencari presiden dan wakil presiden baru. Hatta
mengancam bahwa Ia dan presiden Soekarno akan mengundurkan diri kalau PP itu ditolak.8
Akhirnya sidang menerima Peraturan Presiden tersebut, dan pada tanggal 28 Februari
1947 dilantik sejumlah 232 anggota baru KNIP. Dengan penambahan suara itu pemerintah
8 Ibid., h.213.
berhasil memperoleh dukungan dari KNIP utuk meratifikasi persetujuan Linggarjati. Akhirnya,
pada tanggal 25 Maret 1947 naskah Persetujuan itu ditandatangani oleh kedua delegasi yang
mewakili pemerintah masing-masing.
sebagainya;
Mengadakan pembicaraan bersama mengenai pertahanan negara. untuk membangun
pertahanan yang modern, sebagian Angkatan darat, laut, dan udara Belanda akan tetap
tinggal di Indonesia;
4. Membentuk alat kepolisian yang dapat melindungi kepentingan dalam dan luar
negeri;
5. Mengawasi secara bersama hasil-hasil perkebunan dan devisa.
Pada tanggal 8 Juni 1947 pemerintah RI menyampaikan nota balasan yang terdiri atas
empat pokok, meliputi pemerintahan peralihan/politik, masalah militer, masalah ekonomi, dan
masalah-masalah lainnya.
Dalam masalah politik pemerintah menyatakan bersedia mengakui Negara Indonesia
Timur sekalipun pembentukannya tidak selaras dengan Linggarjati. Status Borneo harus
dibicarakan bersama oleh RI-Belanda. RI tetap diakui sebagaimana termaktub dalam persetujuan
Linggarjati. Dalam bidang militer pemerintah RI menyetujui demiliterisasi daerah demarkasi
antara kedua pihak dengan menyerahkan penjagaan zona bebas militer itu kepada polisi. Peta
demarkasi dikembalikan pada situasi 24 Januari 1947. Ternyata kedua belah pihak harus
diundurkan dari daerah demarkasi ke kota garnisun masing-masing, penyelenggaraan pasal 16
tentang pertahanan Indonesia Serikat, adalah urusan Negara Indonesia Serikat sebagai kewajiban
nasional dan pada dasarnya harus dilakukan oleh tentara nasional sendiri. Gendarmerie bersama
ditolak.
Sementara itu, terjadi lagi krisis politik. Pada tanggal 27 Juni 1947 Sjahrir mengundurkan
diri sebagai Perdana Menteri. Kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Menteri Amir
Sjarifuddin, terbentuk pada tanggal 3 Juli 1947. Seperti Sjahrir, Amir pun berusaha mendekati
tuntutan Belanda. Namun, Belanda tetap tidak puas. Pada tanggal 15 Juli mereka menyampaikan
nota yang bersifat ultimatif. Selain mengulang tuntutan untuk membentuk Gendarmerie bersama.
Belanda menuntut pula agar paling lambat tanggal 16 Juli RI harus mengehentikan semua bentuk
permusuhan dan TNI harus mengundurkan diri sejauh sepuluh kilometer dari batas daerah yang
diduduki Belanda. Pengunduran itu sudah harus selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Juli
1947. Nota yang bersifat ultimatif itu tidak pernah dijawab oleh Kabinet Amir Sjarifuddin. Pada
tanggal 21 Juli 1947 Belanda akhirnya melancarkan agresi militer pertama.
Demikianlah, meskipun pihak Belanda mengatakan saat melaksanakan agresinya bahwa
persetujuan Linggarjati masih berlaku, tetapi persetujuan Linggarjati yang mana?, seperti yang
dijelaskan oleh Rushdy Hoesein bahwa, sejak muncul istilah Linggarjati yang disandangi,
timbul pendapat bahwa sesungguhnya ada dua Linggarjati. Pertama, Linggarjati yang disetujui
dan diparaf bersama oleh delegasi Indonesia dan Belanda pada 15 November 1946 dan kedua,
Linggarjati yang diberi interpretasi sendiri oleh Belanda dan ditambah keterangan pidato menteri
seberang lautan Jonkman di muka parlemennya pada 10 dan 19 Desember 1946. Naskah ini
dikenal sebagai Aangeklede Linggarjati atau linggarjati yang disandangi.9
BAB III
KESIMPULAN
Perundingan Indonesia-Belanda yang berlangsung dari 22 Oktober 1946 sampai 16
November 1946 dikenal sebagai Perundingan Linggarjati. Perundingan yang menghasilkan
Persetujuan Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret
1947 itu penting dan menentukan.
Sebelum perundingan, Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebagai ketua delegasi Indonesia
pernah memberitahukan delegasi Belanda, kalau perundingan gagal, ia akan meletakkan jabatan.
Prof. Ir. W. Schermerhorn selaku ketua delegasi Belanda juga menyatakan, jika perundingan
gagal, ia akan kembali ke negeri Belanda. Dengan perkataan lain, kalau perundingan IndonesiaBelanda pada akhir tahun 1946 tersebut terhenti atau menemui jalan buntu, persetujuannya akan
mengalami kegagalan.
Karena perundingan di Jakarta ternyata berjalan alot dan banyak soal yang mengganjal,
pada perundingan informal 5 November 1946, atas kesepakatan kedua delegasi, Indonesia9 Rushdy Hoesein, Op.cit., h. 284.
Belanda, dan penengah Inggris, Lord Killearn, diusahakan untuk melibatkan Sukarno-Hatta
bertempat di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.
Perundingan selanjutnya di Linggarjati berlangsung mulai 11 November 1946 sampai dengan 13
November 1946. Kedua delegasi membahas konsep persetujuan yang dibuat delegasi Belanda
dan diserahkan pada 3 November 1946. Hasilnya, antara lain, disetujui ditetapkannya dengan
pasti status dan kedaulatan RI secara de facto atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera.
Selanjutnya, pihak RI dan Belanda setuju akan dibentuknya negara dengan sistem pemerintahan
federal bernama Negara Indonesia Serikat (NIS). Mereka kemudian juga setuju dibentuknya
perserikatan Indonesia-Belanda bernama Uni Indonesia-Belanda. Disetujui pula NIS yang akan
dibentuk itu memiliki wilayah di bekas Hindia Belanda dan sebagaimana usul Sjahrir untuk
menggantikan kata vrije staat (negara merdeka) pada konsep Belanda dengan kata souvereigne
staat (negara berdaulat) pada naskah persetujuan yang disepakati. Padahal, istilah awalnya
ditolak Belanda.
kekuasaan, dan martabat mereka untuk mengegolkan hasil perundingan Linggarjati guna
ratifikasi di siding paripurna parlemen RI (KNIP) menggambarkan bahwa Sukarno-Hatta
merupakan tokoh-tokoh Republik Indonesia, pendukung utama dan telah melakukan terobosan
dalam perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati, Kuningan, pada November 1946, sehingga
pada akhirnya Naskah Linggarjati dapat disetujui dan diterima pihak Indonesia.
Tampaknya hal itu berkaitan dengan keputusan tentara Inggris untuk meninggalkan Jawa
dan Sumatera paling lambat 30 November 1946. Padahal, tentara Belanda sejak minggu pertama
Oktober 1946 sudah mengeluarkan pernyataan, jika sampai 30 November 1946 belum tercapai
kesepakatan politik, tentara Belanda akan menyerbu Yogyakarta.
Memang sejal awal tahun 1946 tentara Belanda dalam jumlah besar secara berangsurangsur telah diizinkan Inggris memasuki luar Jawa dan Sumatera. Di samping itu, masih banyak
lagi yang menunggu di Irian Jaya, Malaka, dan Australia. Itu artinya akan terjadi perang besar
antara Indonesia dan Belanda. Disadari oleh pemerintah RI bahwa secara fisik amat berat bagi
TRI (kemudian menjadi TNI) untuk melawan tentara Belanda. Kalau terjadi perang, ini akan
menelan korban yang tidak sedikit di pihak rakyat. Kemungkinan besar karena baying-bayang
perang yang tidak seimbang itulah yang mendorong Sukarno-Hatta mengambil keputusan
penting di Kuningan untuk menerima naskah persetujuan. Sebaliknya, kalau perundingan
diplomasi Indonesia-Belanda bisa berakhir sukses, kedudukan RI menjadi lebih kuat, terutama
karena campur tangan kekuatan politik internasional dalam proses dekolonisasi di Indonesia.
Sejarah membuktikan, perjuangan diplomasi Indonesia merupakan ujung tombak
penyelesaian dekolonisasi sekaligus menggambarkan bahwa bangsa Indonesia yang bersatu
mampu mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Penyerahan kedaulatan
pada 27 Desember 1949 hanya sekedar kenyataan politik bahwa pernyataan kemerdekaan itu
telah diakui dunia internasional.