Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Walaupun mata mempunnyai sistem pelindung yang cukup baik seperti
rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar,selain terdapatnya refleks
memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar.
Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata
serta rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau memberikan
penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata
memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih
berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah
atau menjadi gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan
mata: palpebrae, konjungtiva, cornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan
orbita. Trauma mata merupakan keadaan gawat darurat pada mata.
Trauma mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang
parah. Segala umur dapat terkena rudapaksa mata walaupun beberapa kelompok
umur tersering terkena (50 %) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA). Dewasa
muda-terutama pria-merupakan kelompok yang kemungkinan besar mengalami
cedera tembus mata. Kecelakaan dirumah, kekerasan, ledakan aki, cedera akibat
olahraga dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling
sering menyebabkan trauma mata.
Trauma pada mata sering mengalami kesukaran dalam menilai kerusakan
yang diakibatkannya. Kadang-kadang pukulan mempunyai kesan tidak keras dan
kerusakan matapun sepintas lalu tidak nampak. Tetapi ternyata membawa akibat
berat bahkan sampai timbul kebutaan. Memang keadaan ini sering mengherankan
terutama bagi para sejawat bukan dokter mata, oleh karena memang tidak
mempunyai perlengkapan atau perhatian yang cukup untuk menemukan
kerusakan yang diakibatkannya. Bahkan bagi dokter mata sendiri kadang-kadang
mengalami kesulitan atau tidak menduga adanya kelainan yang dapat membawa
kebutaan.

Untunglah bola mata mendapat perlindungan yang cukup baik oleh kelopak
mata, tulang mata, rima orbita, jaringan orbita, kedipan kelopak mata, gerakan
menghindari dari kepala, alis mata, gerakan dari bola mata ke atas.
Sebaiknya bila ada trauma mata segera dilakukan pemeriksaan dan
pertolongan karena kemungkinan fungsi penglihatan masih dapat dipertahankan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Trauma

mata

adalah

tindakan

sengaja

maupun

tidak

yang

menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat


mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau
menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
B. JENIS-JENIS TRAUMA
Trauma mata berdasarkan penyebabnya dibagi ;
1. Mekanis :
a. Tumpul
b. Tajam
2. Bahan Kimia :
a. Asam
b. Basa

3. Fisik :
a. Cahaya
b. Ledakan
c. Kebakaran
d. Blow out Fraktur

4.
C. TRAUMA MEKANIS
1. TRAUMA TUMPUL
5.
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang
keras atau benda yang tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai
mata dengan keras (kencang) ataupun lambat.
6.
Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar,
berat, energi kinetik dari obyek.
7.
Mekanisme :
8.
Gelombang tekanan

akibat

dari

rudapaksa

mata

menyebabkan :
a. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat
didalam bola mata.
b. Perubahan yang menyolok dari bola mata.
c. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang
kental dan jaringan sclera yang tidak elastis.
d. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat
dimana ada perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut
iridocorneal, ligamentum Zinii, corpus ciliare.
9.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :
a. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis lokal.
b. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang
menurun.
c. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan
perdarahan.
10.Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus
terhadap trauma maka akan dibicarakan satu-persatu.
A) PALPEBRA
11.Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang
sehingga kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak
mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian
belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan
pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan refleks
menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra.

Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh darah


yang rusak pada trauma tersebut.

12.
13.
B) KONJUNGTIVA
1) Edema Konjungtiva
14. Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir
dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula
akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan
konjungtiva

secara

langsung

kena

angin

tanpa

dapat

mengedip,maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema


pada konjungtiva.
15. Kemotik

konjungtiva

yang

berat

dapat

mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah


rangsangan terhadap konjungtiva.
16. Pada edema konjungtiva

dapat

diberikan

dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan didalam


selaput lendir konjungtiva.
17. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan
insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi
tersebut.

18.
2) Hematoma Subkonjungtiva
19. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva
dan arteri episklera.
20. Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul
maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah
jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma
subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti
perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada
setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka
sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari
kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
21. Pengobatan ini pada hematoma subkonjungtiva
ialah dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan
hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

22.
23.
C) KORNEA
1) Edema Kornea

24.

Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai

mata dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur


membran descement. Edema kornea akan memberikan keluhan
penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau
sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan
uji placido yang positif.
25. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi kedalam
jaringan stroma kornea.
26. Pengobatan

yang

diberikan

adalah

larutan

hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%,


glukose 40% dan larutan albumin.
27. Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka
diberikan azetolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa
sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak
lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi
pengurangan edema kornea.
28. Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya
kerusakan

membran

descement

yang

lama

sehingga

mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan


rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astimagtisme
ireguler.
29.
30.
31.
32.
33.
2) Erosi Kornea
34. Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya
epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada
epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran
basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat
bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
35. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat
erosi merusak kornea yang mempunnyai serat sensibel yang
banyak, mata berair, denagan kornea yang keruh.

36.

Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea

yang bila diberi perwanaan fluorescein akan berwarna hijau.


37. Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya
dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan
antibiotika spektrum luas seperti neosporin, kloramfenikol, dan
sulfasetamide tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan
spasme siliar maka diberikan siklopegik aksi pendek seperti
tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan
selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya tertutup kembali setelah
48 jam.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
D) BILIK MATA DEPAN
47.Hifema
: Perdarahan dalam bilik mata depan yang
berasal dari iris dan corpus siliare.
48.Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris
Anterior, perdarahan vena di Schlemm kanal dan adanya hipotoni,
seperti pada siklodialisis. Pada umumnya 70 % kasus penyerapan
terjadi dalam waktu 5-6 hari.
49.Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas
dimana terjadi gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan
memperlambat penyerapan ditambah lagi hambatan mekanis terhadap
outflow humor aquos disudut iridocorneal.
50.Pada beberapa produk darah menempel pada bagian
anterior pigmen membran dari iris didaerah pupil dan sudut
iridocorneal.Walaupun sepintas bilik mata depan jernih, tetapi iritis
cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan posterior. Hifema
sekunder pada umumnya nampak antara hari ke 2 dan ke 5. biasanya
diikuti dengan ancaman iritis.
51.Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder
dengan meningkatnya tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema

di trabekuler meshwork, sehingga terjadi gangguan outflow humor


aquos. Tekanan intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari setelah
trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi
perdarahan sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler 30%.
Frekuensi perdarahan sekunder dengan kenaikan tekanan intraokuler
50%.

52.
53.
54.
1) PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI
a) Tirah baring sempurna (bed rest total)
55.

Penderita

ditidurkan

dalam

keadaan

terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi alas bantal)


dengan elevasi kepala 30 - 45. Hal ini akan mengurangi
tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan
kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak
pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini
sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila
menemui kasus traumatik hifema. Bahkan Darr dan Rakusin
menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi
dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya
komplikasi perdarahan sekunder.
56.

Istirahat

total

ini

harus

dipertahankan

minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder.


Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak,
sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke
tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
b)

Bebat mata

57.

Mengenai pemakaian bebat mata, masih

belum ada persesuaian pendapat di antara para ahli. EdwardLayden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada
mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan
bola mata yang sakit. Selanjutnya dikatakan bahwa
pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan
penderita gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat
penderita (matanya) tidak istirahat Akhirnya Rakusin
mengatakan bahwa dalam pengamatannya tidak ditemukan
adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau
tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi maupun
prognosa bagi tajam penglihatannya:
c)

Pemakaian obat-obatan
58.

Pemberian

obat-obatan

pada

penderita

dengan traumatik hifema tidaklah mutlak, tapi cukup berguna


untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya
dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas
digunakan obat-obatan seperti :

Koagulansia
59.

Golongan

obat

koagulansia

ini

dapat

diberikan secara oral maupun parenteral, berguna untuk


menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil,
Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
60.

Pada hifema yang baru dan terisi darah segar

diberi obat anti fibrinolitik (Dipasaran obat ini dikenal


sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah
diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu
sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4
kali 250 mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati
satu minggu oleh karena dapat timbulkan gangguan

transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga


imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan lupa
pengukuran tekanan intra okular.
61.
62.

Midriatika Miotika
63.

Masih

banyak

perdebatan

mengenai

penggunaan obat-obat golongan midriatika atau miotika,


karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan
kerugian

sendiri-sendiri:

Miotika

memang

akan

mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan


midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos
menganjurkan pemberian midriatika bila didapatkan
komplikasi

iridiocyclitis.

Akhirnya

Rakusin

membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika


bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua
kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder
dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr
menentangnya
golongan

obat

dengan
tersebut

tanpa
pada

menggunakan

kedua

pengobatan

hifema

traumatik.

Ocular Hypotensive Drug


64.

Semua para ahli menganjurkan pemberian

acetazolamide (Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari


bilamana

ditemukan

adanya

kenaikan

tekanan

intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan


juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin
untuk

menurunkan

tekanan

intraokuler,

walaupun

ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin.


65.

Pada hifema yang penuh dengan kenaikan

tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai


selama 24 jam :

66.

Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau

turun, tetapi tetap diatas normal, lakukan parasentesa


yaitu pengeluaran darah melalui sayatan di korneaBila
tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus
diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal
tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai
hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.

Kortikosteroid dan Antibiotika


67.

Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal

akan mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan


sekunder

dibanding

dengan

antibiotika.

Yasuna

menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari secara


oral segera setelah terjadinya hifema traumatik guna
mengurangi perdarahan sekunder.

Obat-obat lain
68. Sedativa

diberikan

bilamana

penderita

gelisah. Diberikan analgetika bilamana timbul rasa nyeri.


2) PERAWATAN OPERASI
69.

Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana

ditemukan glaukoma sekunder, tanda imbibisi kornea atau


hemosiderosis cornea dan tidak ada pengurangan dari tingginya
hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari.
70.

Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan

pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama


5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari.
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila
ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea. Untuk mencegah sinekia
anterior perifer dilakukan pembedahan bila hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.

71.

Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau

setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya adalah sebagai


berikut :

Empat hari setelah onset hifema total


Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50
mmHg atau lebih selama 4 hari (untuk mencegah atrofi

optic)
Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA
selama 6 hari dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah

corneal bloodstaining)
Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih
dari 8-9 hari (untuk mencegah peripheral anterior

synechiae)
Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema
berapapun ukurannya dengan Tekanan Intra Ocular lebih
dari 35 mmHg lebih dari 24 jam.Jika Tekanan Inta Ocular
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatau studi mencatat
atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema
ketika pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining
terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra
ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.6

72.

Tindakan operasi yang dikerjakan adalah

a) Paracentesa : mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola


mata melalui lubang yang kecil di limbus. Parasentese
dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah
masih tetap terdapat dalam bilik mata depan pada hari 5-9.
73.
Cara melakukan parasentese :
1 jam sebelum operasi, penderita diberikan sedative
cocktail, terdiri dari largaktil 25 mg, petidin 50 mg,
phenergan 80mg. Mata yang sakit didisinfeksi dengan
asam pikrin 2 %. Kornea ditetesi dengan pantokain 2%

atau prokain 2 % tiap 3 menit, 3 kali. Suntikkan


retrobulbar novokain untuk blok semua otot-otot ekstra
okuler. Pasang spekulum untuk memegang kelopak mata,
supaya

jangan

menutup

kembali.

Dengan

jarum

parasentese yang steril dilakukan insisi pada kornea di jam


6 dekat limbus. Jangan dilimbus, karena banyak pembuluh
darah. Dengan beratnya sendiri, darah akan keluar melalui

luka tersebut, sesudah jarum parasentese dikeluarkan lagi.


Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan

fisiologik
Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan
membuka corneo-scleralnya sebesar 120.

E) IRIS
74.

Iridodialisis
75.
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada

pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan


melihat ganda dengan satu matanya.
76.
Pada iridosialisis akan terlihat pupil lonjong.
Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya
hifema.
77.

Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya

dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris


yang terlepas.

78.
79.
80.
81.
82.
83.

84.
85.
86.
87.
88.
F) LENSA
1) Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula
zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

89.
2) Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn
sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga
terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula
zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan
memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat
pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic
akan menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik.
Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan
sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata
menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaucoma
sekunder.
3) Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar
ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam
bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan
ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan
gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun
mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah

dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema


kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke
belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat
tinggi.
4) Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada
mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya
zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa
jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah
polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya
skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa mengganggu
kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa
atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0
dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat
menimbulkan

penyulit

akibat

degenerasi

lensa,

berupa

glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik


90.
G) TRAUMA FUNDUS OCULI
91. Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan
kelainan pada retina, koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi
dapat berupa edema retina, perdarahan retina, ablasi retina,
maupun atrofi saraf optik.
1) Edema Retina dan Koroid
92.
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan
edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan
memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya
melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda
dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina
kecuali macula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red
spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga
mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red
spot.
93.

Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah

terjadi edema macula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan

terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus


okuli berwarna abu-abu.
94.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah
beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang
akibat tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen epitel.
2) Ablasio Retina.
95.
Trauma diduga merupakan pencetus

untuk

terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina.


Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk terjadinya ablasi
retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan
proses degenerasi lainnya.
96.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya
selaput yang seperti tabir menganggu lapangan pandangannya. Bila
terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatannya
akan menurun.
97.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat
terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh
darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina
maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter
mata.

98.
3) Ruptur Koroid
99.
Pada

trauma

keras

dapat

terjadi

perdarahan

subretina yang dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini


biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik.
100. Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah
makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat.
Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat

akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat
bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung
tanpa tertutup koroid.
4) Avulsi Papil Saraf Optik
101. Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik
terlepas dari pangkalnya didalam bola mata yang disebut sebagai
avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya
tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan.
Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan
saraf optiknya.
5) Optik Neuropati Traumatik
102. Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada
saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf
optik.
103.

Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata.

Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata


pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan
penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat
normal dalam beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
104. Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah
cidera mata adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma
yang mengakibatkan kerusakan pada khiasma optik.
105. Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada
waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk
2.

setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.


TRAUMA TAJAM
106.
Trauma tajam pada mata adalah suatu trauma dimana
seluruh lapisan jaringan atau organ mengalami kerusakan.
A) ETIOLOGI
107. Trauma tajam disebabkan benda tajam atau benda asing
masuk ke dalam bola mata.
108.
109.
B) TANDA DAN GEJALA
1) Tajam penglihatan yang menurun
2) Tekanan bola mata rendah
3) Bilikmata dangkal
4) Bentuk dan letak pupil berubah
5) Terlihat adanya ruptur pada cornea atau sclera

6) Terdapat jaringan yang prolaps seperti caiaran mata iris,lensa,badan


kaca atau retina
7) Konjungtiva kemotis
C) PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Radiologi
110. Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat
membantu dalam menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda
asing . Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan letaknya,
dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada bilik
mata depan, lensa, retina.
2) Pemeriksaan Computed Tomography (CT)
111. Suatu tomogram dengan menggunakan komputer
dan dapat dibuat scanning dari organ tersebut.
D) PENATALAKSANAAN
112.
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai
adanya perforasi bola mata, maka secepatnya dilakukan pemberian
antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim kepada dokter
mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada
benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Pada
pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotik
sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan untuk kegiatan
pembedahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau
perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda
asing ke dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada
dasarnya perlu dikeluarkan dan segera dikirim ke dokter mata. Benda
asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan
magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan
vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul karena terdapatnya benda asing
intraokular

adalah

endoftalmitis,

panoftalmitis,

ablasi

retina,

perdarahan intraokular dan ptisis bulbi.


E) PATOFISIOLOGI
113.
Trauma tajam pada mata karena benda tajam maka
dapat mengenai organ mata dari yang terdepan sampai yang terdalam.
Trauma tajam bola mata bisa mengenai :
1) PALPEBRA
114. Luka terbuka palpebra
Anamnesa : Keluhan rasa nyeri, bengkak dan berdarah.

Pemeriksaan : tampak adanya luka terbuka dan perdarahan


Pengobatan : pembersihan luka, kemudian dijahit.
115.
Teknik penjahitan dilakukan sama dengan
luka pada kulit tubuh yang lain sesuai dengan arah dari M.
Orbicularis.
116.

Perhatian : Luka yang persis pada palpebra

harus khusus diperhatikan karena apabila penjahitan tidak


tepat pada kedua tepi luka akan memberi hasil kosmetik dan
fungsional yang jelek.
117.
Bila

perlu

dapat

ditambah

dengan

antibiotika, analgetik dan antiinflamasi.


2) KONJUNGTIVA
Perdarahan : Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata

mekanis tumpul.
Robekan 1 cm : Tidak dijahit, diberikan antibiotika lokal.
Robekan lebih dari 1 cm : Dijahit dengan benang cat gut atau
sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap jahitan. Beri antibiotika

lokal selama 5 hari dan bebat mata untuk 1-2 hari.


3) KORNEA
Erosi kornea : Penatalaksanaan seperti rudapaksa mata

tumpul
118.
Luka tembus kornea
119. Anamnesa : teraba nyeri, epifora, fotofobia, dan
blefarospasme.
120. Pemeriksaan : bagian yang mengalami kerusakan
epitel menunjukkan flurocein (+)
121. Pengobatan : Tanpa mengingat jarak waktu antara
kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang
masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus
diusahakan untuk dijahit.
122. Jaringan intraokular yang keluar dari luka, misal :
badan kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka
dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan kembali dalam bola
mata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk
menghindari terjadinya fistel melalui bekas jahitan.

123. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran


konjungtiva yang terdekat. Tindakan ini dapat dianggap
mempercepat epitelialisasi.
124. Antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau
subkonjungtiva 0,3-0,5 U. Garamycin tiap 2 hari sekali.
125. Atropin tetes 0,5%-1% tiap hari. Dosis dikurangi
bila pupil sudah cukup lebar.
126. Bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder dapat
diberikan tablet Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat
diberikan bila perlu.

Ulkus kornea
127. Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang
mengalami infeksi sekunder.
128. Anamnesa : teraba nyeri, epifora, fotofobia, dan
blefarospasme.
129. Pemeriksaan :

nampak kornea yang edema dan

keruh, bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan


pengecatan ( + ).
130. Terapi

: antibiotika lokal tetes, salep atau

subkonjungtiva, scraping atau pembersihan jaringan nekrotik


secara hati-hati bagian dari

ulkus yang nampak kotor.

Aplikasi panas, kauter dilakukan dengan cara memanaskan


pasak. Cryo terapi.

131.
132.
4) SCLERA
133. Luka terbuka atau tembus
134. Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga
kadang

sukar

diketahui.

Luka

tembus

sclera

harus

dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva nampak jaringan


hitam (koroid).
135. Pengobatan : sama dengan luka tembus pada
kornea.

136.
5) OFTALMIA SIMPATETIK
137.

Suatu uveitis yang diderita oleh mata kontralateral

apabila mata lainnya mengalami trauma atau trauma tembus yang


mengenai jaringan uvea. Frekuensi tertinggi terjadi 2-4 minggu
sesudah trauma.
138.

Proses berlangsung : Tahap iritasi ( Sympatetic

Iritation ) dan Tahap radang ( Sympatetic Inflamation )


139.

TAHAP IRITASI
140.

Anamnesa : keluhan nyeri, tanda-tanda radang

ringan, epifora, dan fotofobia.


141.

Pemeriksaan : tanda-tanda iritis ringan, biasanya

bersifat reversibel atau langsung tahap radang.


142.

TAHAP RADANG
143.

Dapat berlangsung akut/menahun. Stadium ini

bersifat irreversibel dan kemungkinan besar akan memburuk bila


pengobatan kurang sempurna.
144.

Terapi :

Mata traumatik : enukleasi bulbi dipertimbangkan bila visus 0

atau lebih jelek daripada mata simpatetik.


Mata yang masih mempunyai visus walaupun terbatas selalu
menjadi pertimbangan yang sangat sulit apakah akan dilakukan
enukleasi atau dipertahankan.

6) BILIK MATA DEPAN : Penatalaksanaan sama dengan trauma


tumpul.
7) IRIS
145.
146.

Iritis sering sebagai akibat dari trauma.


Anamnesa : keluhan nyeri, epifora, fotofobia, dan

blefarospasme.
147. Pemeriksaan : pupil miosis, reflek pupil menurun,
sinekia posterior.
148. Terapi : Atropin tetes 0,5%- 1 %, 1-2 x perhari
selama sinekia belum lepas. Antibiotik lokal, Diamox bila ada
komplikasi glaukoma.
8) LENSA
a) Katarak : Penatalaksanaan sama dengan trauma tumpul.
b) Dislokasi lensa :Penatalaksanaan sama dengan pada rudapaksa
mata tumpul
9) KERUSAKAN SEGMEN POSTERIOR :Penatalaksanaan sama
dengan rudapaksa mata tumpul
10) CORPUS ALIENUM (BENDA ASING)
149. Anamnesa : mengeluh ada benda asing masuk
kedalam mata
150. Pemeriksaan : benda asing tersebut harus dicari
secara teliti memakai penerangan yang cukup mulai dari palpebra,
konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan. Bila mungkin
benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca dimana perlu
pemeriksaan tambahan berupa funduskopi dan foto rontgen. Benda
asing yang masuk dalam mata dapat dibagi 2 kelompok yaitu :
Benda logam : emas, perak, platina, besi, tembaga. Benda

logam ini dapat bersifat magnet atau non magnet.


Benda bukan logam : batu, kaca, porselin, plastik, bulumata,
dll. Benda yang menimbulkan reaksi jaringan mata berupa
perubahan selular dan membran sehingga mengganggu fungsi
dari mata. Misal : besi berupa siderosis dan tembaga berupa
kalkosis. Besi biasanya merusak jaringan yang mengandung
epitel sedangkan tembaga merusak bagian membran misal
descement kornea lensa, iris, badan kaca, dll.
151.

Pengobatan : mengeluarkan benda asing. Bila

lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan

mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal. Untuk


mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul/ tajam.
Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan
magnet portable atau giant magnet. Bila benda asing pada segmen
posterior hendaknya dikirim ke pusat oleh karena memerlukan
tindakan yang lebih cermat dan perlengkapan yang khusus.
152.

Pemberian antibiotika lokal pada benda asing di

konjungtiva dan kornea. Pada kornea dapat ditambahkan atropin


0,5 %-1 %, bebat mata dan diamox bila ada tanda-tanda glaukoma
sekunder.

153.
11) OTOT EKSTRA OKULAR
154.

Kelainan Pergerakan Mata. Hal ini pada trauma

dapat disebabkan :
Kelainan pada otot mata
Kelainan pada persarafan otot mata
Kelainan pada jaringan orbita lainnya
155.

Walaupun gangguan pergerakan bola mata tidak

dapat menyebabkan kebutaan atau penurunan tajam penglihatan


namun kegiatan sehari-hari dapat terganggu dengan adanya
keluhan diplopia.
156.

Anamnesa : akibat diplopia timbul keluhan pusing,

mual, muntah. Pemeriksaan. : hambatan pergerakan bola mata


dapat akibat paralisa atau ototnya sendiri yang terjepit.
157.

Test Forced Duction : Untuk membedakan

gangguan karena kelumpuhan atau ototnya yang terjepit. Cara :

Mata ditetesi anestesi lokal, kemudian otot yang akan diperiksa


dipegang dengan pinset dan ditarik ke arah gerak otot tersebut.

158.

bila lancar berarti paralisa


bila sukar ada hambatan / otot terjepit
Pengobatan :

159.

PARALISA : anti inflamasi dan neurokopik untuk

menghindari diplopia satu mata : pada parese ringan mata sehat


ditutup supaya mata parese terlatih, pada parese berat mata
parese yang ditutup. Setelah 3-6 bulan tidak ada kemajuan berarti
tetap strabismus dan atau diplopia maka penderita perlu dirujuk
untuk tindakan operasi. Sebab setelah 6 bulan dianggap telah
mengalami penyembuhan maksimal atau sudah timbul komplikasi
kontraktur-kontraktur.
D. TRAUMA KIMIA
1. TRAUMA ASAM
160.

Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia

mata dan termasuk kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia


bersifat asam dengan pH < 7. Beberapa zat asam yang sering mengenai
mata adalah asam sulfat, asam asetat, hidroflorida, dan asam klorida. Jika
mata terkena zat kimia bersifat asam maka akan terlihat iritasi berat yang
sebenarnya akibat akhirnya tidak berat. Asam akan menyebabkan
koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini
menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung
membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan
basa yang mampu menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan
kerusakan lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi juga menyebabkan
kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam masa penyembuhan setelah
terkena zat kimia asam akan terjadi perlekatan antara konjugtiva bulbi
dengan konjungtiva tarsal yang disebut simblefaron.(Susanto, 2004;
Vaughan, 2000)
161.

Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah

irigasi dengan menggunakan salin isotonic steril dan memeriksa pH

permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas indicator di forniks.


Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7. (Vaughan, 2000).
2. TRAUMA BASA
162. Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi
ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada
bagian

dalam

mata,

trauma

basa

ini

mengakibatkan

suatu

kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi anterior,


dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada
trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan
kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai
dengan dehidrasi.
163.
164. Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan
menjadi:
Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis

pungtata
Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel

kornea
Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan

lepasnya epitel kornea


Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
165.

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya

melakukan irigasi dengan garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin


irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit setelah trauma. Penderita diberi
sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan
setelah 1 minggu trauma basa, diperlukan untuk menetralisir kolagenase
yang terbentuk pada hari ketujuh. Penyulit yang dapat terjadi adalah
simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi kornea,
katarak, disertai dengan ptisis bola mata.

166.

167.
168.
169.
170.
171.
E. TRAUMA FISIK

1. CAHAYA
172. Cahaya yang berasal dari matahari atau alat untuk las
mengandung ultraviolet yang dapat mengakibatkan konjungtivitis dan
keratitis, sedangkan cahaya dari pembikinan kaca (Glass Blomers) banyak
mengandung infra red yang dapat mengakibatkan katarak.
173. Anamnesa : Mata terasa nyeri, epifora yang timbul 6-12
jam sesudah melihat cahaya tersebut.
174. Pemeriksaan : Hiperemi konjungtiva, flurescein test positif
175. Pengobatan : Pada Konjungtiva beri antibiotika
lokal,atropine bila fluorescein luar
2. KEBAKARAN
176. Dengan adanya reflek perlindungan menutup palpebra
sering kornea dan konjungtiva terhindar dari bahaya kebakaran, sehingga
kelainan terbatas pada palpebra.
177. Pengobatan :

Tidak

berbeda

dengan

kelainan

akibat luka bakar pada kulit bagian tubuh yang lain.


3. LEDAKAN
178. Ledakan yang cukup kuat dapat menimbulkan bermacammacam kerusakan.
4. BLOW OUT FRAKTUR
179. Patah tulang dasar orbita tanpa kerusakan dari rima orbita
akibat perubahan mendadak dan ruang retrobulbar karena perubahan
tekanan yang terjadi akibat hantaman yang keras pada bulbus oculi.
180. Anamnesa : Adanya trauma, visus menurun, nyeri, diplopia,
mual, muntah
181. Pemeriksaan : Edema hypoestesi daerah saraf intraorbita,
tanda-tanda patah tulang : Gerakan terbatas,enoftalmus
182. Pengobatan :
Konservatif selama 3 minggu untuk mengevaluasi sambil menunggu

oedema dan ekhimosis berkurang


Bila enoftalmus masih tampak,keluhan diplopia sangat menganggu :
operatif.
183.

184.

185.

186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.

198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.

BAB III
PENUTUP

205.
206.

Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk antara lain

trauma mekanik (tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa), dan trauma
fisik. Pemeriksaan awal pada trauma mata antara lain meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
207.

Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan

sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan
bersifat progesif lambat atau berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda
asing intraocular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah atau ledakan.
208.

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan

ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa


proyeksi cahaya, diskriminasi dua-titik dan adanya defek pupil aferen. Periksa
motilitas mata dan sensasi kulit periorbita dan lakukan palpasi untuk mencari
defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya
enoftalmus dapat ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas alis. Apabila
tidak tersedia slit-lamp di ruang darurat, maka senter, kaca pembesar atau
oftalmoskop langsung pada + 10 ( nomor gelap ) dapat digunakan untuk
memeriksa adanya cedera dipermukaan tarsal kelopak mata dan segmen anterior.
209.

Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing,

luka dan abrasi. Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbaris untuk mencari adanya
perdarahan, benda asing atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior
dicatat. Ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan
dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di
mata yang cedera. Apabila bola mata tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva
palpebra dan forniks dapat diperiksa secara lebih teliti, termasuk inspeksi setelah
eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung dan tidak langsung digunakan
untuk mengamati lensa, korpus vitreosus, diskus optikus, dan retina. Dokumentasi

foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma


eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak cedera juga
harus diperiksa dengan teliti.

Anda mungkin juga menyukai