Anda di halaman 1dari 191
PPO Inovasi Teknologi Pascapanen ualitas ubi seyar sesual dengan standar baku ditentukan oleh penanganan panen yang mellputi penentuan umur panen, cara nen, cluring dan penyimpanan wb segaz, Uniur panen berdasarkan indikator kadar patbobot wbi keting optimal dipengaruli oleh variews, musi, danelevast. Prosedur panen yang baik adalah mencegah terjadinya ‘Kerusakan pada Jaulil ubl, karena bagian kulit yang misak merupakan media berkembangnya hama dan penyakit, Dengan demikian, curing {penyembuhan luka) tidak perlu dilakukan, Ubi segar yang tidak langsung diplah dapat disimpan dengan meminimalisas| susut bobot, kenusakan oleh hama dan penyakit, secta meningkathan kadar gla Ubi segar dari hasil panen dapat dimanfaatkan secara langsung melalui pengolahan tradisional dan komersial maupun melatul penyimpanan, Hasil olahannnya adalah produk stap santap, siap olah, dan produk antara! setengah jadi. Penggunaan produk slap santap dan siap olah untuk mendukung diversiiiiast pangan, dan produk antara untuk menyediakan bahan baky industri hilt, balk industh pangan maupun nonpangan. Indust pengolahan produk antara yang prospektif dikembangkan adalah industd tepuny dan patl, Tepung dan pall merupakan bahan baku industri pangan seperti tepung komposit, saus, kue basal dan kering, soun dar pengental berperan sebagai faktor pendorong dalam program diversifikasl pangan dan peningkatan citra ubijalar dari imperior menjadi superior, Oleh Karena ita, dicukung oleh teknologi pengolahan yang dapat menghasilkan produk yang memenuhi SNL Industri kripik juga berperan sebagai pasar lokal ubi segar yang berfungsi sebagai faktor pendorong pengembangan ubijalar, Oleh Karena itu perhi didulung oleh teknologi pengolahan dan model kemitraan antara industri dengan pelani pemasok bahan baku. Penanganan Pascapanen R. Yuliflanti, Ratnaningsth, dan LK. Tastra PENDAHULUAN Guna mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional, pemerintah melaksanakan program diversifikas! pengolahan pangan agar keter- gantungan terhadap beras secara bertahap dapat dikurangl. Salah satu komoditas pangan yang mempunyai peluang dikembangkan untuk mendukung diversifikasi tersebut adalah ubijalar, namun produksi nasional selama dasawarsa terakhir ini hanya meningkat dengan laju 1,51%. Lambatnya laju peningkatkan produksi tersebut disebabkan oleh penurunan areal panen sebesar 1,73% dan produktivitas hanya meningkat dengan laju 1,21% per tahun (BPS 2004-2009). Berkurangnya luas areal panen ubijalar di Indonesia menunjukkan bahwa petani lebih berminat untuk menanam padi, jagung dan kedelai daripada ubijalar. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kecilnya permintaan ubijalar untuk bahan baku industri. Sekitar 87,4% produksi ubijalar digunakan untuk bahan pangan, namun terbatas pada bentuk pangan tradisional, sehingga cenderung stabil tingkat konsumsinya (Ginting etal. 2004). Oleh karena itu, diperlukan upaya diversifikasi pengolahan ubi menjadi berbagai produk pangan baik dari bahan segar maupun setengah jadi (chips,tepung, pati) guna meningkatkan citra dan nilai tambah baik bagi petani produsen maupun industri hilir pengolahan ubi. Berdasarkan status gizi dan sifat fungsional ubijalar mempunyai keunggulan, dengan demikian upaya ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan ubi segar baik sebagai bahan baku industri maupun sebagai bahan pangan. Guna mendukung pengembangan agroindustri berbasis ubi segar diperlukan Ppenanganan pasca panen yang tepat, mengingat ubi segar kandungan aimya tinggi (>65%) sehingga mudah rusak bila disimpan pada suhu kamar. Implementasinya adalah penanganan ubi segar mulai dari penentuan saat panen, cara panen, curing dan penyimpanan untuk mempertahankan mutu fisiknya sebagai bahan baku industri dan pangan. Penentuan Umur Panen Salah satu kriteria penentuan waktu panen adalah daun-daun pada tajuk yang saling menutup sesamanya mulai menguning (Widodo dan Rahayuningsih 2009). Menurut Rukmana (1997), ciri lain ubi dapat dipanen apabila ubi-ubinya sudah tua (matang fisiologis). Ciri fisik ubi matang antara Ubjeter §— 205 Tabel 1. Umur panen varietas unggul ubijalar yang telah dilepas (tahun 1978-2006). Nama varietas ‘Tehun pelepasan Potansi has!) =—-‘Umur panen (Wha) (hari) Daya 1978 25 4 Prambanan 1982 28 4 Borobudur 1982 28 3,5-4,0 Mendut 1989 35 4 Kalasan 1990 35 23,5 Muara Takas 1994 35 445 ‘Cangkuang 1998 35 4-45 Sewu 1998 35 445 Sart 2001 35 35-4 Boko 2001 35 4-45 Sukuh 2001 35 445 Kidal 2001 35 4-45 Jago 2001 35 445 Papua Solossa 2006 30 6 Papua Patippi 2006 32 6 Sawentar 2006 30 6 “Elevasi > 600 m dari permukaan laut (dpl.) ‘Sumber: Balitkabi (2006). lain: bila kandungan tepungnya sudah maksimum, ditandai dengan kadar serat yang rendah dan bila direbus (dikukus) rasanya enak dan tidak berair. Umur masak ubi untuk setiap klon perlu ditentukan, karena umur masak sangat menentukan kualitas ubi maupun kualitas produk olahannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi umur panen ubijalar adalah klon (Tabel 1), kesuburan tanah, tinggi tempat penanaman dan musim (Wargiono 1980). Jenis atau varietas ubijalar berumur pendek (genjah) dipanen pada umur3-3,5 bulan, sedangkan varietas berumur medium dipanen pada umur 4-5 bulan, dan berumur dalam dipanen pada umur lebih dari 5 bulan. Umur panen juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat tumbuhnya, yaitu pada umur 3,5-5 bulan di dataran rendah hingga menengah (< 600 mpl) dan menjadi lebih panjang pada dataran tinggi (> 600 m dpl.) yaitu umur 6-8 bulan. Penentuan saat panen yang tepat sangat penting karena umur panen berpengaruh terhadap komposisi kimia ubi segar maupun tepung ubl yang dihasilkan. Panen pada umur lebih dari 120 hari, selain resiko serangan hama boleng cukup tinggi, juga tidak akan memberikan kenaikan kadar pati. Pada umur yang masih muda kualitasnya kurang baik karena kandungan patinya masih rendah, demikian pula apabila umur ubi terlalu tua, kandungan patinya telah menurun dan kandungan serat tinggi. Kualitas ubi yang baik adalah apabila kandungan patinya tinggi dan kandungan serat tendah (Antarlina 1991). Umur 120 hari merupakan umur panen optimum 206 Pengendatan Guima ‘Tabel 2. Kandungan pail, gula reduksi, dan serat tiga kion ubljalar pada berbagal ‘umur panen. Pati Pati ‘Umur panen (hari) —_segar tepung Serat_ ula reduksi (% BBO (% BB) (% BB) (% BB) 90 142 638 Ww 31 120 20,7 75,8 13 13,3 150 20,0 36,0 18 16,4 ‘Sumber: Antarlina (1991). BB = basis basah Ralavrata dari CN-1332-2, TIS-1487, dan No. 4-1/ di dataran rendah dan sedang berdasarkan indikator kadar pati tertinggi dan serat minimal (Tabel 2), demikian pula untuk tepung. Pada umur 150 hari telah terjadi penurunan kadar pati karena sebagian dari pati tersebut diubah menjadi gula reduksi (Tabel 2). Selain umur panen, kualitas ubi segar dan produk olahannya juga dipengaruhi oleh cara panen. Cara Panen Ubijalar biasanya dipanen dengan cara memangkas hijauan (batang + cabang + daun) sekitar 15-20 cm dari pangkal batang dengan parang (BPPT 2000) atau oak palogo, alat yang biasa digunakan oleh warga Lembah Baliem, Papua (Widyastuti 1994) untuk memudahkan penggalian/pemanenan ubi. Hijauan tersebut biasanya digunakan sebagai pakan temak. Selanjutnya guludan digali/dibongkar dengan cangkul atau cukup dicabut dengan tangan pada tanah yang relatif gembur dan berpasir seperti di daerah Blitar. Selain cangkul, di Kabupaten Jayawijaya, panen dilakukan dengan menggunakan sege yaitu sejenis tongkat yang ujungnya runcing dan panjangnya sekitar satu meter (Widyastuti 1994), Semua cara pemanenan tersebut diusahakan untuk tidak sampai membuat ubi terluka atau memar. Setelah itu, ubi dipisahkan dari pangkal batang lalu dikumpulkan di suatu tempat untuk dibersihkan balk tanah dan kotoran maupun akar yang menempel pada kulit ubi, sekaligus dilakukan sortasi untuk memisahkan ubi berdasarkan ukuran, wama kulit dan ubi yang rusak karena serangan hama boleng dan rusak fisik. Selanjutnya ubi dimasukkan ke dalam karung plastik atau keranjang bambu dan diangkut ke tempat penampungan atau penyimpanan. Penanganan panen pada proses ini juga harus dilakukan dengan hati-hati, agar ubi tidak memar dan terluka. Curahan tenaga untuk panen cukup besar (63 HOK/ha), kedua terbesar setelah pengolahan tanah yaitu 115 HOK/ha (Zuraida dan Galib 1994). Oleh karena itu, bila produksi ubi segar ditujukan untuk industri pengolahan Unjatar = 207 yang membuluhkan pasokan bahan bales dalam jumlah besar, maka penggunaan atal panen mekanis yang ditarik dengan traktor perl dipertimbangkan, Namun demikian, prases penanganannya perly tebth berhati-hati agar ubi lidak memar atau terluka supaya kualitas ub} segar letap baik dan tidak menurunkan harga jul ubl, Salah satu alat paner mekanis yang banyak digunakan oleh negara-negara penghasil ubijalar dengan produks! ting] adalah alat panen dengan tipe gabungan yaliumesitt penggall yang digabungkan dengan mesin pemotong dan mesin pengangkut. Mesin ini dioperasikan oleh 2 sampal dengan $ orang dant dilarik traktor dengan sistem hidrofik (Garnbar 1) Untuk keperluan penjualan dalam bentuk ubl segar, perlu adanya proses pencutian, penyortiran dan pengemasan yang menarik agar ubl tersebut bernilal jual tingg!, Pencucian dan penyortiran untuk pengemasan dapat menggunakan mesin pengayak bertingkal untuk memtsahkan ubl besar seding, dan kecil setta meniaga kualitas tetap tingg daniebib semgam (Gambar2). Dalam proses panen jumiiah ubl yang memarsering jurilahnya cukup banyak sehingga diperlukan upaya untuk memperbaikinya, yallu menyembubskan ubl yang memar (curing) agar jumiah ubl yang layak jual tidak berkurang. bor KAD pores abe Bre ghana Sumber: Sumner (1984). | _ = (Gambas 2 Mes untuk penenetat penyoriean can pengereaan Siaiber: Susnner (1984) Curing Penanganan pascapanth ubijalar sebelum dilakukan penyirmpanan adalah perlakuan curing. Tujuan utama dari curing adalah proses penyernbuhan, luka (memar) sehingga ubi tersebut tetap dalam kondisi yang balk untuk dipasarkan sctelah penyimpanan beberapa waldtu. Ubi yang telah sembuh tersebut fuga dapat digunakan sebagai bibit yang akan digunakan pada musi janam berikutnya. Prosedur curing yang ideal adalah pada subu 206C, dengan kelembaban relatif 45-95% selama 4 sampal 7 hal. Proses: curing pada ubi juga dapat dilakukan secara alamiah, yaitu dengan meletakkannya pada tempat yang teduh (naungan) sélama 8 hingga 1 hari pada temperatur rang. Setelah prosedurcuning selesai, ubi dapat disimpan: pada subu 13-1690 dengan kelembaban relatif 85-95%), Dalam kondist pengonirolan yang cermat, ubi bisa disimpan selama 12 bulan atau lebih fterganiung varietasnya (Bouwkamp 1585}, Curing pada bi segar dapat mengurangi jumiah ubi yang busuk, tetapt bobat ubtberkurang selama masa penyinpanan, namun tidak bempenganuh terhadap Komponen gizi ubi (Bouwkamp 1985). Pada perlakuan curing dan penyimpanan ubt selamnn 60 hari kandungan gulanya akan meningkat sekitar 2874 dian patinya menunan sekdtar 25%, Pati ubl ini berkurang karena dliubal menjadi mattosa dan dekstrin. Perulahan inilah yang menyebabkan ubl rasanya lebih manis setelat penyimpanan (Palmer 1982) Penyimpanan Ubi Segar Menurut Kumalaningsih (1994). ubl mengalami kerusnkar setelal 48 jam disimpan pada suhu ruang, Karena adanya serangan oleh bakteri Ervine chrysanthemi, Setain itu, juga dapat terjadi perubahan warna coklat akibat aktiviins engin polifenolase, tenitama pada ubi yang mengalam) huka, Pengaruh penyiropanan terhadap kualitas ubi segat adalah meningkainya ioe = - 209 jumlah ubi yang busuk, penyusutan bobot, kehilangan air, pertumbuhan tunas, pengerusakan oleh serangga dan tikus. Penurunan kualitas ini dapat diminimalkan dengan hanya menempatkan ubi yang bebas dari penyakit dan tidak mengalami luka pada tempat penyimpanan serta perlakuan curing setelah pemanenan. Ubi merupakan organ hidup yang metabolismenya telap aktif setelah panen. Respirasi dan kehilangan air terus terjadi. Ubi yang memar atau luka selama panen sering lebih aktif proses metabolismenya daripada ubi yang tidak terluka. Ubi yang tidak luka penurunannya cenderung hanya pada kualitas. Selain itu bagian-bagian ubl yang terluka merupakan tempat yang sesuai untuk pertumbuhan patogen dan organisme sekunder. Faktor-faktor inilah yang membatasi potensi penyimpanan ubi untuk waktu yang lama. Pada industri pengolahan yang memerlukan bahan baku ubi segar, penyimpanan dapat dilakukan di dalam ruang yang suhunya 12-15°C dengan kelembaban nisbi 85-90%. Dengan cara ini, ubi dapat disimpan sampal 10 bulan. Di tingkat petani, penyimpanan ubi segar dapat dilakukan dengan meletakkan ubi di atas lantai tanpa alas, baik dengan maupun tanpa tangkai ubi, Dengan cara ini, ubi segar dapat disimpan sampal tiga bulan. Untuk daerah yang bersuhu rendah (+ 20°C), seperti Gunung Kawi dan Pacet, Jawa Timur lama penyimpanan dapat mencapai lima bulan dengan susut bobot sebesar 10-25% (Prasetiaswati et al. 2004). Selain itu penyimpanan ubi segar juga dapat dilakukan dengan jalan menumpuk ubi di atas bambu yang ditutup dengan jerami lembab (Gambar 3). Tingkat kerusakan ubi hanya 4-8% selama 1 bulan, sementara yang disimpan di dalam gudang berlantai semen kerusakannya mencapai 15- 189. Tingkat kerusakan ini relatif lebih kecil pada musim hujan dibanding musim kemarau (Tabel 3), karena pada musim hujan kelembaban udara lebih tinggl. Penyimpanan ubi segar sebaiknya tidak dihamparkan langsung pada tanah atau lantai, tetapi di atas para-para setinggi minimal 30 cm, sehingga memunglinkan terjadi sirkulasi udara. Ubi yang bertangkai dan Gambar 3. Cara penyimpanan ubi segar: a) ditumpuk dalam gudang, b) ditumpuk di atas, ak bambu dalam gubuk penyimpanan c) di alas alas bambu dengan penutup Jerami. 210 — Pongendatien Guima ‘Tabel 3. Tingkat kerusakan ubl setelah penyimpanan 1 bulan. Kerusakan (%) MK 1991 ‘MH 1992/1993 BIS-183 Citok Citok Ceret Gudang 14,65 17,75 8,42 11,29 Gubuk 8,39 2,44 5 3,53 Tutupjerami 4,19 7,59 2,55 3,87 ‘Sumber: Setlawati et al. (1994). tidak dipisahkan dari pangkal batang mempunyai daya simpan lebih baik (Widodo dan Rahayuningsih 2009). Di rian Jaya, ubi tidak dipanen serentak, tetapi bertahap berdasarkan ukuran ubi, yaitu dengan mengambil ubi yang besar dan menimbun kembali akar dan ubi kecil. Hal ini juga ditujukan untuk penyimpanan dalam waktu singkat ubi yang belum dikonsumsi. Panen bertahap umumnya dilakukan setiap 1-3 hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harlan khususnya sumber karbohidrat yang didominasi oleh ubi (Widodo dan Rahayuningsih. 2009). Selain itu penyimpanan ubi segar di Irian Jaya dilakukan secara curah, yaitu diletakkan di tas lantai tanah di dalam ruangan. Kemudian dilanjutkan penyimpanan dengan media simpan di dalam lubang yang beratap bagian atasnya. Rata-rata susut bobot ubijalar segar selama penyimpanan tujuh hari sebesar 16,38% dan susut bobot ini makin lama makin rendah dengan rata-rata susut bobot setelah 35 hari penyimpanan sebesar 2,75% (Tabel 4). Penurunan susut bobot secara visual (kenampakan) ditunjukkan oleh adanya keriput pada permukaan kulit ubi, dan salah satu penyebabnya adalah terjadi penguapan air selama penyimpanan. Pada umumnya ubi yang mempunyai kadar air tinggi, penurunan susut bobot selama penyimpanan juga tinggi dibandingkan dengan ubi dengan kadar air rendah, Media penyimpanan hanya berpengaruh terhadap penyusutan bobot ubi selama penyimpanan setelah 15 hari. Media kum yaltu brangkasan segar tanaman setempat lebih baik dalam mempertahankan susut bobot daripada menggunakan alang-alang. Sedangkan pertumbuhan tunas tidak dipengaruhi oleh varietas dan media simpan (Tabel 5). Beberapa varietas/ klon pertumbuhan tunasnya dimulai pada tujuh hari setelah penyimpanan, kemudian meningkat pada 14 hari setelah penyimpanan. Namun setelah itu pertumbuhan tunas terhenti dan tunas mulai mengering. Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa teknik penyimpanan ubi segar dengan pasir lebih balk bila dibandingkan dengan cara penyimpanan dalam lubang tanah, karung goni atau curah/ditumpuk (Tabel 6). Upjator = 211 Tabel 4. Persentase susut bobo! enam klon/varietas ubijalar selama penyimpanan di Irian Jaya. Waktu penyimpanan (hari) Varietas/kton ubijalar 7 M4 21 28 35 ‘AB 94001-8 19,19 8,52 5,42 4,94 3,96 BO0S3-9 13,25 719 3,75 2,81 218 Mis 104-1 18,68 717 5,64 3,31 35 Cangkuang 16,06 4,94 3,62 2,04 19 Musan 15,45 8,55 3,38 3,33 3,07 Hoboak 15,66 7.65 5,83 3,54 1,89 Rata-rata 16,38 7.34 461 3,33, 2,75 ‘Sumber: Jusuf et al. (2000). Tabel S. Persentase susut bobot dan pertumbuhan tunas ubi segar selama penyimpanan ‘menggunakan media simpan di Irian Jaya. Susut bobot (%) Pertumbuhan tunas (%) Varietas Media simpan | ——————___—- )- —________ 15 hari 30 hari 15 hari 30 hari Musan 10,75 1,54 12,50 56,25 Cangkuang ——_Alang-alang 7,25 1,08 58,30 74,99 Binoras 8,25 2.74 44,05 44,05 Musan 6,20 3,60 48,61 72,92 ‘Cangkuang Kum 5,50 2.24 70,20 50,00 Binoras 4,25 5,77 58,34 50,00 Sumber: Jusuf et al. (2000). Penyimpanan dilakukan dengan cara menggunakan pasir yang diambil dari sungai, lalu dikeringkan selama tiga hari, diayak dan disebar dilantai setebal 10cm, selanjutnya ubi segar diletakkan di atasnya, lalu pasir disebarkan lagi di atasnya setebal 2,5 cm untuk mencegah masuknya tikus dan hama. Meskipun dapat memperpanjang daya simpan, penyimpanan ubi segar dalam waktu lama tidak menguntungkan bagi industri pengolahan pangan. Ubi segar yang disimpan dengan cara curah/ditumpuk selama lima hari setelah panen temyata dapat menurunkan rendemen tepung rata-rata sebesar 1,75% setiap hari (Antarlina dan Yusuf 2001). Upaya pengawetan segar ini tampaknya lebih bermanfaat bagi usaha pengolahan ubi untuk konsumsi langsung, seperti direbus/dikukus atau digoreng, maupun untuk pengolahan ubi segar seperti selai, saos ubi, dan produk olahan yang bukan dibuat dari tepung ubi. 212 Pengendatian Guima ‘abel 6. Kehilangan hasil (bobo!) pada berbagal cara penyimpanan ubl segar di india. Kehilangan hasil (%) pada penyimpanan Cara penyimpanan eee Vbutan 2 bulan Dalam lubang tanah 7 39 Dengan pasir 9 19 Dalam karung gon! 7 49 Sistem curah (¢itumpuk ) 4 66 ‘Sumber: Mehra dan Dayal (1991). DAFTAR PUSTAKA Antarlina, S.S. 1991. Pengaruh umur panen dan klon terhadap beberapa sifat sensoris, fisis dan kimlawi tepung ubijalar. Thesis S-2. Fakultas Pasca Sarjana UGM. Program KPK UGM-Unibraw (tidak diterbitkan). Bouwkamp, J.C. 1985, Sweetpotato products: a natural resource for the tropics. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. BPPT, 2000. Ubijalar/ketela rambat (Ipomoea batatas). Deputi Menristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan limu Pengetahuan dan Teknolog!. BPPT. Jakarta. www.ristek.go.id. (Tanggal akses 24 Maret 2006). BPS, 2008. Statistik Indonesia 2007. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Prospek dan peluang agribisnis ubijalar. Direktorat Kab, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan. Jakarta. p. 3. Fuglie, K.O. and C.G. Oates. 2004, Starch markets in Asia. In: Fuglie, KO. and M. Hermann (Eds.). Sweetpotato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop held in Chengdu, Sichuan, PR China on November 7-8, 2001. CIP, Bogor, Indonesia. p. 100-110. Jusuf, M., K. Hartojo, ¥. Widodo, S.S. Antarlina, dan St.A. Rahayuningsih. 2000. Peningkatan produksi dan penggunaan ubijalar dan talas pada berbagai kondisi agroekosistem di Irian Jaya. Hasil Penelitian PAATP oleh Balitkabi Malang. 84 p. Kumalaningsih, S. 1994. Peluang pengembangan agroindustri dari bahan baku industri. p. 26-33, Dalarr: Winarto, A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantoso, dan Sumarno (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Badan Litbang Pertanian. Balittan, Malang. Ubjator §— 213 Mehra, S.K. and T.R. Dayal. 1991. Comparing low-cost sweetpotato storage methods in India. in Dayal et. al. (Eds.). Sweetpotato in South Asia: Postharvest handling, processing, storage, and use. International Potato Center CIP) and Central Tuber Crops Research Institute (CTCRI). p. 125-131. Palmer, J.K. 1982. Carbohydrat in sweet potato. /n: Villareal, R.L. and T.D. Griggs (Eds.). Sweet Potato Proc. The First Int. Symp. Asian Veget. Res. Dev. Center. Shanhua Tainan, Taiwan, China: 135-144, Prasetiaswati, N., E. Ginting, Y. Widodo, dan Gatot S.A.F. 2004. Studi penyimpanan ubijalar segar di tingkat petani dan pedagang di Jawa Timur. Dalam: Makarim, A.K., Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmianna, Heriyanto, dan IK. Tastra (Eds.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Ubi-ubian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. hal. 603-610. Rukmana, R. 1997. Ubi jalar - budidaya dan pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Setiawati, J., Sudaryono, dan A. Setyono. 1994, Studi penyimpanan ubijalar segar. p. 100-109. Dalam: Winarto, A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantoso, dan Sumarno (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balittan. Malang. p. 100-109. ‘Warglono, J. 1980, Ubijalar dan cara bercocok tanamnya. Buletin Tehnik (5). 37p. Widodo, ¥. danSt.A. Rahayuningsih. 2009. Teknologi budidaya praktis ubijalar mendukung ketahanan pangan dan usaha agroindustri. Buletin Palawija No. 17, 2009. p. 21-32. Zuraida, R. dan R. Galib, 1994, Usahatani ubi Alabio untuk meningkatkan pendapatan petani dilahan rawa lebak, Kalimantan Selatan. Dalam: Winarto, A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantoso, dan Sumarno (Eds.), Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balittan. Malang. p. 374-378, 214 Pengendation Guima Pengolahan Pangan Tradisional dan Komersial S. Widowat! dan J. Wargiono PENDAHULUAN Kualitas konsumsi pangan masyarakat dapat diukur berdasarkan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Skor PPH ideal adalah 100, sedangkan saat ini baru tercapai 82,8%, Konsumsi serealia (62,2%) masyarakat Indonesia jauh melebihi anjuran PPH yaitu maksimum 50%, dan terfokus pada beras (padi). Sedangkan konsumsi umbi-umbian (3,1 %) baru mencapai setengah dari anjuran PPH (Nainggolan 2008), Oleh karena itu komoditas umbi-umbian, termasuk ubijalar, mempunyai potensi yang besar untuk ditingkatkan konsumsinya hingga mencapai nilai PPH yang ditargetkan. Di Indonesia ubijalar merupakan sumber karbohidrat utama yang menempati urutan keempat setelah padi, jagung dan ubikayu. Namun konsumsinya cenderung menurun dari tahun ke tahun (BPS 2005). Keberhasilan swasembada beras selama beberapa dasawarsa yang lalu, melalui program intensifikasi produksi padi serta dukungan kebijakan penunjangnya telah mengubah budaya pola makan harian masyarakat di beberapa daerah yaitu dari budaya konsumsi non-beras beralih untuk mengonsumsi beras. Peningkatan kebutuhan beras di Indonesia selain karena pertambahan jumlah penduduk, juga akibat adanya perubahan pola makan harian sebagian masyarakat dari mengonsumsinon-beras ke beras. (Damardjati dan Widowati 1994). Perubahan pola makan harian tersebut antara lain sebagai dampak perbaikan ekonomi yang dinikmati masyarakal. Selain itu, ada anggapan bahwa masyarakat dengan pangan pokok non- beras mempunyai status ekonomi dan sosial yang lebih rendah dibandingkan masyarakat dengan pangan pokoknya beras. Produk pertanian pada umumnya bersifat musiman, mudah rusak (perishable) dan memerlukan ruang simpan yang luas (voluminuous). Penyimpanan hasil panen umbl-umbian dalam bentuk segar mempunyai tisiko kerusakan yang tinggi, karena kadar air ubi yang tinggi yaitu sekitar 60%. Oleh karena itu, teknologi pengolahan yang mengubah produk segar menjadi produk setengah jadi seperti tepung, maupun produk olahan cepat ‘saji dan siap makan yang lebih awet dapat menjadi solusi bagi penyelamatan hasil pertanian. Selain itu, penerapan teknologi pengolahan akan memberikan nilai tambah sosial dan ekonomi. Ubijalar merupakan salah satu palawija yang potensial dikembangkan untuk penganekaragaman konsumsi pangan. Ubijalar merupakan jenis ubi yang relatif tahan disimpan dibandingkan jenis ubi yang lain, bahkan uojoler §— 215, kualitasnya meningkat, yaitu semakin lama disimpan maka rasanya semakin bertambah manis, namun akan bertunas bila tidak disimpan pada tempat yang gelap (Wargiono dan Richana 2002, Antarlina 1991). Si-fat ini berbeda dengan ubikayu yang hanya tahan disimpan segar selama dua hati, setelah itu akan mengalami kerusakan atau poyo (ubi berwama coklat kebiruan, tembek dan timbul rasa pahit). Keunggulan lain dari ubijalar ini adalah nilai gizi yang tinggi, kaya vitamin dan mineral (Damardjati dan Widowati 1994). Produk olahan yang lazim dikonsumsi masyarakat masih terbatas pada bentuk makanan tradisional, seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak, getuk, timus dan Kripik, sehingga seringkali citranya dianggap rendah. Untuk meningkatkan citra perlu dilakukan terobosan teknologi pengolahan modem dan komersial yang didukung oleh ketersediaan varietas dengan karakteristik sesuai dengan preferensi pengguna. PRODUKTIVITAS DAN KARAKTERISTIK Ubijalar karakteristiknya unik karena (a) mempunyai berbagai warna kulit maupun daging ubinya, (b) umur panen pendek yaitu antara 3-4,5 bulan, dengan produktivitas tinggi 20-40 torvhektar (Puslitbangtan 2002), (c) selain sebagai sumber karbohidrat juga kaya akan vitamin yang dapat diketahui dari warna daging ubinya, Warna kulit ubi beberapa macam yaitu putih, kuning kecoklatan, merah tua dan ungu kemerahan, sedangkan wama daging ubinya bervariasl yaitu putih, krem, kuning, merah jingga dan putih keunguan (Tabel 1). Karakteristik fisik ditinjau dari warna kulit ubi, tidak selalu berkorelasi dengan wama daging ubi. Mutu gizi dan citarasa lebih ditentukan oleh wama aging ubinya. Ada beberapa varietas harapan khusus yang dikembangkan i Papua, antara lain yaitu varietas Papua Salossa, Papua Pattipi, Sawentar usuf et al. 2007). Ketiga varietas tersebut (Gambar 1) mempunyai produktivitas dan bahan kering yang tinggi (Tabel 1). Menurut Limbongan dan Soplanit (2007) pengembangan ubijalar di Papua mempunyai prospek yang cerah, karena didukung oleh sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Ubijalar masih merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Papua, meskipun saat ini masyarakat asli Papua telah mengenal beras. Varietas-varietas yang disajikan pada Tabel 1. merupakan varietas yang banyak di tanam masyarakat, terutama di Jawa, kecuali tiga varietas khusus yang dikembangkan di Papua. Varietas tersebut umumnya memiliki potensi hasil yang tinggi, meskipun demikian petani masih terkendala untuk mencapai target hasil sesuai dengan potensi genetisnya. Hal ini antara lain karena sistem usahatani tidak dilakukan secara optimal (subsisten). 216 — Pengolahan Pangan Tradisiona!dan Komersial Tabel 1. Karakteristik beberapa varietas unggul ubljalar. Varietas Produktivitas Bahan Wama Wama Rasa (Una) kering (%) — kulit ubi daging ubi Cangkuang 30 30,7 Merah tua Kuning muda Enak manis ‘Sukuh 25-30 35 © Kuning Putlh enak Jago 25-30 33,3. Path Kuning muda enak Sewu 28-30 27,7 «== Kuningcoklat © Oranye ‘agak enak Boko 25-30 32 Merah Krem Enak manis Kidal 23-30 31 Merah Kuningtua —_Enak manis Kalasan 31-48 - Merah Kuning ‘Agak manis Prambanan 35 28 © Coklatmuda = Merah jingga_ Enak Borobudur 20 28 = Merah Merah jingga Enak-manis Sari 30-35 28 = Merah Kuning tua Enak-manis Papua Salossa* 24-30 32,8 «= Putihkemerahan Kunlngtua —Enak Papua Pattipl* 26-325 32,4. Merah tua Kuning muda Enak Sawentar* 25-30 33,5 Putlhkemerahan Kuning Enak ‘Sumber: Puslitbangtan (1999, 2002), *Jusuf er al. (2007). KEUNGGULAN GIZI Aneka umbi merupakan komoditas pertanian yang mempunyai kadar air tinggi, yaitu antara 60-70% sehingga umur simpan jauh lebih pendek dibandingkan dengan serealia dan kacang-kacangan. Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia beberapa varietas dan klon ubijalar. Komoditas ini mengandung air 59-69%, abu 0,68-1,69%(bk), protein 3,71-6,74%(bk), lemak 0,26-1,42%(bk) dan karbohidrat 91,42-93,45%(bk) (Astawan dan Widowati 2005). Kandungan protein ubijalar lebih tinggi dibandingkan umbi-umbian lain, seperti ubikayu, gembili tales, dan kentang yang mengandung protein kurang dari 2%(bk) (Direktorat Gizi Dep. Kes. 1992). Komposisi tersebut menunjukkan bahwa ubijalar merupakan sumber energi dan protein yang sangat potensial dikembangkan untuk penganekaragaman konsumsi pangan. Di samping itu, ubijalar memiliki keunggulan gizi lainnya, karena di dalam 100 g bahan edibel mengandung berbagai vitamin seperti vitamin A (7100 IU), vitamin B1 (0,08 mg), vitamin B2 (0,05 mg), vitamin B3 (0,9 mg) dan vitamin C (20mg). Bahkan ubijalar yang daging ubinya berwama kuning sampai merah mengandung beta karoten (0,3-12 mg) dan yang berwarna ungu mengandung antosianin (33-591 mg) yang berfungsi sebagai antioksidan (Balitkabi 2009). Keunikan ubi dengan keanekaragaman wama, selain menunjukkan keragaman kandungan zat gizi, juga merupakan keuntungan tersendiri dalam pengembangan produk olahannya. upjeier = 217 ‘Tabel 2. Komposisi kimiawi berbagai varietas/Idon ubijalar. Varietas/kion Air Abu Protein Lemak —_Karbohidrat (bb) (bk) (bk) (bk) (96 bk) Kidal 65,98 1,69 5,32 0,77 92,22 Suluh 59,26 6s 3,71 2,01 92,63 BB 00105.10 63,71 13 5,47 0,76 92,24 Sari 65,44 1,23 4,83 1,42 92,52 Ungu 61,64 1,62 4,40 0,75 93,23 Bo464 67,26 1,57 6,74 0,26 91,43 BB 00106.18 69,45 0,68 437 0,39 94,57 Jago 66,41 1,51 4,24 0.81 93,45 ‘Sumber: Astawan dan Widowati (2005). PRODUKSI DAN KONSUMSI Dalam program diversifikasi pangan, ubljalar dapat berperan dua arah, yaitu horizontal dan vertikal. Dari sisi diversifikasi horizontal, dapat dikembangkan sebagai tanaman baru di daerah-daerah potensial yang mempunyai kesesuaian lahan dan lingkungan yang tepat untuk budidaya. Neraca produksi dan permintaan yang tidak berimbang, yaitu laju permintaan lebih tinggi dari produksi (BPS 2000-2009) merupakan kekuatan internal yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dalam upaya mendukung diversifikasi pangan secara horizontal. Untuk mencapai target tersebut perlu dibarengi dengan pengembangan industri berbahan baku ubi segar yang berfungsi sebagai pasar lokal. Terciptanya pasar lokal tersebut harga ubi di tingkat produsen yang layak dan stabil dapat terjamin serta posisi tawar petani tidak lemah. Adanya pasar lokal yang dapat menjamin kepastian harga ubi segar tersebut akan memacu terjadinya pergeseran usahatani dari subsisten ke komersial. Salah satu ciri usahatani komersial adalah mendapatkan keuntungan optimal, sehingga target peningkatan produksi akan tercapal karena setiap petani akan berupaya meningkatkan produktivitas dan luas garapan (Wargiono 2007). Sedangkan untuk diversifikasi vertikal, lebih banyak diarahkan ke pengembangan dan penganekaragaman produk (Damardjati dan Widowati 1994). Secara urmum, hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai bahan Pangan darvatau pakan, Altematif produk yang berpeluang dikembangkan dari ubijalar, sekurang-kurangnya ada empat kelompok, yaitu: (1) pengembangan produk dari ubi segar, (2) produk siap santap atau dikenal dengan ready to eat foods, (3) produk siap masak, atau dikenal sebagai instant foods atau quick cooking foods, dan (4) produk setengah jadi atau Produk antara (intermediate product) untuk bahan baku industri/ 218 — Pengolehon Pangan Tradisionaldan Komersia! pengolahan lanjut. Dalam menentukan jenis produk yang akan dikembangkan diperlukan informasi dasar dari sifat-sifat , baik dalam bentuk segar maupun hasil prosesnya meliput sifat fisik, kimia, fisikokimia dan gizi. 1, Pengembangan produk dari ubi segar Konsumsi sebagai pangan sebagian besar (hampir 90%) dilakukan dari pemasakan ubi segar. Jenis-jenis produk makanan yang disajikan terutama melalui proses perebusan/pengukusan, penggorengan dan pemanggangary pembakaran. Ubi rebus/kukus Ubi segar paling banyak dikonsumsi dalam bentuk ubi rebus yang disantap sebagai sarapan pagi atau makanan tambahan pada siang/sore hari. Bentuk ubi rebus/kukus ini mempunyai potensi yang besar dalam program diversifikasi pangan pokok maupun peningkatan nilai tambah. Ubi rebus/ kukus sebagai pangan pokok hingga saat ini masih dilakukan di beberapa daerah, antara lain di Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Komoditas ini ditanam sepanjang tahun dan hasil panen sebagian besar dikonsumsi sebagai makanan pokok, sebagian dipasarkan ke pengolah aos, Pola makan yang unik suatu daerah perlu dilestarikan, bila mungkin diperluas ke daerah lain, sehingga program penganekaragaman pangan akan berkembang (Widowati dan Minantyorini 2004). Teknik pemasakan yang semula hanya dengan cara perebusan atau pengukusan langsung dapat diperbaiki, sehingga bentuk ubi rebus/kukus dapat diperbaiki. Teknik perebusan atau pengukusan dengan dibungkus aluminium foil mungkin dapat meningkatkan mutu atau penyajian yang lebih menarik, dengan bentuk yang divariasikan dapat memotivasi pengguna karena banyak pilihan, sehingga dapat bersaing dengan kentang. Ubi goreng Bentuk olahan sederhana yang populer yaitu cara digoreng. Ubi dikupas, diiris agak tebal diberi garam atau bumbu lain lalu digoreng. Ubi goreng biasanya disajikan untuk makanan selingan. Selain digoreng secara tradisional, ubi goreng berpotensi untuk substitusi kentang dalam bentuk french fries. Untuk mendapatkan mutu french fries dari ubi segar yang baik, perlu dikaji sifat fisiko-kimia dan sensoris sesuai yang diinginkan. Untuk produk french fries ini lebih cocok menggunakan varietas yang ‘mempur’ atau masir. Varietas yang ubinya berkadar pati tinggi seperti $Q-27, Sukuh, Sari, Kidal, Papua Pattipi, Sedangkan Cilembu tidak sesual sebagai bahan baku/rench fries, demilian juga varietas yang berkadar pati rendah (berkadar air tinggi) seperti Prambanan, Daya, Sewu, dan Sawentar (Balitkabi 2009). Variasi proses pengolahan dapat dikembangkan dari jenis ubi goreng menjadi produk lain seperti ketimus dan obi, yang juga merupakan produk olahan dari ubi segar. Pembuatan ketimus dilakukan melalui tahapan Pengupasan, pengukusan lalu penghancuran seperti pasta, ditambah bumbu, dibentuk bulat-lonjong lalu digoreng. Kombinasi pengukusan dan Penggorengan ini menghasilkan flavor dan tekstur produk yang unik. UbI panggang/bakar Ubi bakar merupakan salah satu bentuk olahan: tradisional, biasa disajikan malam hari terutama di daerah pegunungan atau dataran tinggi. Ubi bakar disantap pada saat masih panas. Ubi panggang juga sangat populer saat ini terutama yang berbahan baku varietas Cilembu. Varietas tersebut kadar aimya tinggi, sehingga perlu disimpan minimal sebulan agar kadar airnya turun dan kadar gulanya naik. Semakin lama disimpan. kualitasnya semakin tinggi karena kadar gulanya semakin tinggi dan sebaliknya kadar aimya. Ubi bakar/panggang yang baik bila prosesnya menggunakan oven. Selain Cilembu varietas lain yang karakteristiknya sama dan melalui penyimpanan Minimal sebulan juga sesuai sebagai bahan baku ubi panggang/bakar (Wargiono dan Richana 2002). Varietas Cilembu sangat cocok untuk dipanggang atau dibakar, rasa manis legit seperti berminyak. Varietas Cilembu dan varietas lain yang karakteristiknya sama bila direbus atau dikukus akan berair dan teksturnya lembek sehingga tidak disukai konsumen. Kolak Bentuk makanan lain yang cukup populer dari ubi segar adalah kolak. Kolak dibuat dari ubi segar yang dimasak dalam santan dan gula kelapa. Penyajian ubi yang terendam dalam cairan santan, maka jenis ubi yang cocok adalah yang tidak masir (mempur), bersifat kenyal dan tidak merekah. Sifat tersebut terdapat pada varietas yang mengadung amilosa rendah. Produk olahan lain yang sering dibuat di rumah tangga adalah getuk, kremes, nogosari dan keripik. Informasi karakteristik fisiko-kimia tiap varietas akan sangat membantu dalam pengembangan produk, sesuai dengan mutu dan jenis produk yang diinginkan 2. Produk Siap Santap Proses produk siap santap umumnya sudah ditujukan bukan hanya keperluan rumah tangga sendii, tetapl juga sudah mulai bersifat komersial. 220 © Pengolahan Pangan Tradistonal dan Komersia! Sifat produk olahan ini mulai dari cara olahan sederhana di tingkat rumah tangga sebagai makanan jajanan sampai bentuk hasil produksi dari proses industri, seperti kremes, saos, keripik, kue, roti, dan selai. Bentuk produk olahan rumah tangga yang diperdagangkan adalah ubi goreng, ketimus, getuk, nogosari, dengan daya simpan satu hari, dan dijajakan dalam bentuk siap santap di warung-warung, rumah makan atau penjaja keliling. Kremes Produk olah dari ubi segar ini termasuk populer dan telah dikenal dalam pasaran makanan ringan. Pembuatan kremes dilakukan dengan cara: ubi setelah dikupas dan dicuci, dipotong kecil-kecll memanjang kemudian digoreng, dicampur dengan larutan Kental gula kelapa hingga cukup kering menyatu, dipotong dan dipres. Kremes dijual dalam kantong plastik dan mempunyai pasaran yang cukup luas di Jawa ( Damardijatiet al. 1990). Rasa kremes bersifat khas, enak dan dapat diterima oleh seluruh lapisan it. Dengan peningkatan cara pengolahan yang lebih baik hingga dapat diperoleh wama, bentuk dan rasa yang lebih lezat ditambah dengan cara pembungkusan yang lebih baik, maka pangsa pasar kremes ini dapat ditingkatkan dan diperluas. Keripik/Ceriping Bentuk makanan kering siap santap ini termasuk bentuk yang populer yang dibuat dari aneka ragam bahan baku, seperti kentang, ubikayu dan ubijalar. Prinsip pembuatan keripik sangat sederhana, melalui proses pengupasan, pencucian, perajangan, penggorengan dan pengemasan. Jenis bahan baku akan mempengaruhi mutu tekstur keripik, dan bumbu menentukan rasa. Pengembangan produk kremes dan keripik ini lebih berperan untuk peningkatan nilai tambah, daripada peningkatan gizi. Dengan perbaikan teknik pengolahan, diharapkan keripik ini dapat lebih bersaing dengan keripik kentang maupun pisang. Keripik dari ubi yang wama dagingnya ungu lebih disukai konsumen dibandingkan yang berwarna putih, kuning, dan oranye/jingga. Produk Kue dan Roti Ubi segar temyata juga dapat dimanfaatkan sebagai komponen substitusi dari terigu dalam produk bakery seperti biskult, kue dan roti, Penelitian di Filipina menunjukkan bahwa pencampuran ubi dalam terigu sampai 50% untuk pembuatan kue kering (cookies) dan kue basah (cake) dapat menghasilkan produk kue yang masth disukai oleh panelis (Palomar et al. 1990). Sedangkan di Peru, bahan ubi juga dapat digunakan sebagai substitusi Upijater = 221 terigu dalam pembuatan roti. Ubi yang dicampurkan bisa dalam bentuk parutan ubi segar atau hasil pelembutan ubi yang telah dikukus /direbus. Ubi lembut tersebut diaduk dalam adonan bersama-sama terigu dan selanjutnya dilakukan proses seperti pada pembuatan kue biasa. Pengembangan produk ubi dalam bentuk kue-kue dari terigu, mempunyai potensi sebagai alternatif produk pangan murah tetapi mempunyal status sosial yang lebih tinggi. Pengembangan produk bakery dengan harga murah dapat merupakan salah satu altematif diversifikasi pangan di perdesaan. Saos Penggunaan ubi sebagai bahan pokok untuk saos telah berkembang secara komersial. Saos ubijalar memiliki sifat kekentalan yang baik, rasa yang netral, wana yang sesuai, harga yang memadai dan ketersediaan yang cukup, maka penggunaan sebagal filler dalam pembuatan saos tomat maupun aos cabe dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat menjadi alternatif mengatasi keterbatasan bahan baku saos (tomat dan cabe) dan harga yang jauh lebih mahal. Walaupun demikian, dalam pengembangan produk tersebut perlu pembinaan dan penyuluhan agar tidak menjurus pada usaha- usaha pemalsuan dan penipuan. Hasil penelitian menunjukkan indikasi yang positif. Kandungan pro- vitamin A yang tinggi dalam ubi mempunyai kontribusi dalam penyediaan vitamin A pada saos. Penelitian Syarif et al. (1992) menunjukkan bahwa aos substitusi yang disukal adalah 60% ubi yang dagingnya berwama jingga/ merah dan 40% tomat. Komposisi ini memberikan kadar B-karoten cukup tinggi yaitu 3.189.47 S.I. vitamin A, sedangkan kadar B-karoten saos dari tomat 100% hanya 1.252,87 S.l. vitamin A. Dilaporkan bahwa penggunaan tepung ubi memberikan B-karoten saos yang lebih rendah dibandingkan dengan saos yang menggunakan ubi segar. Total padatan terlarut dari saos substitusi berkisar antara 22,76-31,05%. Untuk memperpanjang umur simpan saos ubijalar dapat dilakukan dengan penambahan asam sitrat 1% (Suismono et al. 2005). Produk ub! serupa olahan buah-buahan (Fruity-products) Sifat fisik spesifik ubi menyerupai buah-buahan, apalagi kandungan vitaminnya tinggi, maka ubi mudah diolah menjadi bentuk-bentuk olahan asal buah-buahan, seperti manisan, asinan, jam, selai, sari buah, konsentrat maupun aneka minuman. Di Filipina dilaporkan bahwa dari beberapa hasil penelitian telah dapat dikembangkan bentuk minuman, manisan dan selai sampai tingkat komersial (Troung 1992) 222 Pengolahon Pangan Tradisionalden Komersial Pembuatan selai dari ubi segar, dapat dilakukan dengan cara sederhana seperti selai buah-buahan. Ubi segar rebus dilumatkan menggunakan blender dengan tambahan air 30% berat, dipanaskan dan ditambahkan gula 44% berat, lalu dibotolkan. Hasil analisis selai ubi menunjukkan kekentalan berkisar antara 42,900-49.000 cps, pH 3,3-3,6, kadar gula sekitar 62%, dan vitamin A sebesar 1.600 SI bila bahan bakunya varietas berkadar karoten tinggi. Uji organoleptik memberikan penilaian terhadap rasa, aroma dan daya oles selai dengan agak suka-suka (Syarif, et al.,1992). Hal ini menunjukkan adanya peluang pengembangan teknologi lebih lanjut. Bentuk manisan secara komersial telah berkembang di Filipina dikenal dengan nama Delicious SP yang dikembangkan oleh VISCA, Filipina. Ubi yang telah dikupas, dicuci dan diiris-iris direndam dalam larutan metabisulfit 2% kemudian dimasak dalam sirup (60°brix ) yang mengandung asam sitrat 19, kemudian dikeringkan dan dikemas (Troung, 1992). Bentuk manisan buah seperti ini juga disukai oleh masyarakat di Indonesia, sehingga teknologi ini juga memberikan peluang pengembangan. Ubi juga dapat dikembangkan sebagai bahan baku substitusi untuk pekatan (concentrate) minuman ringan. Pekatan ubi dapat dibuat dari ‘ubi kukus yang telah dihancurlembutkan, disaring dan ditambahian gula hingga kadar 65%, asam sitrat, pektin, zat wama dan rasa serta Na-benzoat sebagal pengawet. Pekatan inibila dibuat dengan rasa jeruk, dapat dicampur dengan perasan jeruk 28% (Syarif et al. 1992). Pengembangan teknologi ini memungkinkan dibuat aneka pekatan untuk minuman ringan dengan aroma buah yang berbeda-beda. Alternatif lain dari produk ubi inl adalah produk fermentasi untuk minuman beralkohol, produk olah setengah padatan (semi-solid) seperti dodol dan jenang yang lebih awet sehingga mempunyai peluang pemasaran yang lebih luas. Di Jepang ubi segar: sebagai bahan baku minuman beralkohol dengan nama dagang sochu yang sangat populer. 3. Produk Siap Masak Produk olahan ubi slap masak, merupakan baglan pangan yang membutuhkan satu tahap olahan sebelum dapat disantap. Produk umumnya termasuk instant atau quick cooking products seperti sarapan serealia (breakfast cereals). Bentuk pangan slap masak seperti beras artifisial dan ainnya adalah produk-produk ekstrusi, makanan kaleng dan makanan beku (frozen food). Rasnu dan Rasbl Rasbi merupakan produk olahan dari tepung dan pati ubi, yang dapat dikonsums! sebagai nasi, dengan lauk pauk den sayuran, Halal Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen. Pertanian mongembangkan beras artifisinl dari ubl, yaltu Rasitu (betas ub berbentuk butiran mulizta) dan ‘Rashi’ (bentuknya mitip dengan berapadi) Produk inl juga dapat diolah menjadi makanan camilan (smock). Rasmiu mengandung serat pangan yang cukup ting), yailu serat pangan yang larut dan tidak tani adalah 7,19 dan 9.97%, sedangkan beras giling 1,97 dan 3.47% (Herawall dan Widowat| 2009), Serat pagan masing-masing penting dalam membantu mencegah terjadinys penyakit degereratif yang terkait dengan saluitan pencemaan, Serat pangan yang tinggi, mempertambat laju pengosongat lambung schingga rasa kenyang Iebity lama (ikdak mudaf Jepar), Garnbar 2 menunjiakkan tampilan Rassime neentoh, setelah dimasak, dan diotah menjadi nasi Rasniu kuning dan nasi Rastiugoreny, eros nb eruutinra (Rance), BL Ravana brunt, ©. Nioed Raster eure, tate | Nest Rane porerms. 224 Pengotahon Pangan Treuiaona wan romarma! Garsbar DA Rashi {berpa bt) mental, dan 9, Nos ta Mab Bentuk butiean seperti Rasmu ini diharapkan dapat berkembang dary disukal masyarakat Indonesia yang terbiasa mengonsumsi nasiberas (padi) Untuk meningkatkan penampakan beras anifisial perlu dilakukan Pembuatan Rasbi, yang bentuknya lebih mirip dengan beras/padi, Di masa ‘yang akan datang produk ini akan lebth pepuler dengan sebutan beras non, padi, Rashi mempunyai kandungan karbohidrat dan abu yang febih tingg! dibandingkan dengan bcras giling, walaupun kadar protein lebih rendah, Rasbi selain sumber energi, juga berfungsi untuk menjaga keschatan, terutama membantu.mencegah penyakit degeneratif (Diaberes melitus) dan mencegah obesitas, Visualisasi Rasbi mentah dan matang (setelah dikukus) ditunjukkan pada Gambar 3, Makanan Sarapan Meningkatnya kesibukan penduduk golongan menengah ke atas, Thendorong dibutubkan jenis makanan yang siap masak dalam waktu yang: relatif cukup cepat. Makanan sarapan (brewtfast food) urnumnya disa}ikan. dalam bentuk ceriping kecil (fake) yang direndam dalam susu segar ditambah buah-buahan meja. Untuk dapat memenuhi selera dalam cara penyajian yang demikian, perlu ditelapkan sifat-sifat produk olaban yang dikehendaki, antara lain sifat kerenyahan (crispiess), perubahan selama perendaman, cita rasa dan termasuk kandungan gigi, khususnya seral pangan, mineral, dan vitamin. Produk tersebut di antararya adalah kubus ering dan-mie, Kubus kering Salah satu makanan yang cukup populer adalah kolak yang dibuat dari potongan kubus ubi rebus yang dimasak dengan santan dan diberi gula merah. Kombinasi ini dapat dikembangkan dalam bentuk aneka sajian es dan ice cream. Hambatan usaha ini adalah harus disediakan ubi rebus yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan apabila diperlukan dalam jumlah besar secara kontinyu seperti di rumah makan. Ubi rebus kering yang siap masak dapat dihasilkan dengan proses: pengupasan, pencucian, pemotongan bentuk kubus, pengukusan, pengeringan dan pengepakan (Troung 1992). Kubus siap pakai ini mempunyai daya simpan lebih lama, pemanfaatannya lebih sederhana dengan waktu masak yang lebih pendek. Walaupun demikian penelitian proses produksi produk ini masih perlu dilakukan secara intensif dan mendalam agar dapat diperoleh mutu dan sifat yang sama dengan ubi dalam kolak. Masalah yang dihadapi adalah mengurangi proses retrodegradasi pati setelah pemasakan yang menyebabkan pengerasan permukaan yang bersifat #rveversible, serta proses rehidrasi untuk proses pengembalian bentuk mendekati bentuk semula. Produk mi Di Indonesia bentuk mi atau bihun dari ubijalar sudah mulai dikenal masyarakat. Sedangkan di Cina, produk tersebut cukup populer (Wiersema, 1992), demikian pula di Korea. Mie ubijalar yang populer di Cina dan Korea berwarna jemih transparan seperti soun, dibuat tidak langsung dari ubi segar atau tepung tetapi dari pati. Pembuatan secara sederhana dapat dilakukan sebagai berikut: pengadukan pati ubi dalam air dingin, dipanaskan sambil diaduk dan bertahap ditambah pati dan air panas, dilakukan ekstruksi sederhana dan bentuk mi yang keluar dilewat-kan pada air mendidih, dicuci dengan air dingin, dianginkan pada sasak bambu pengering selama 1-2jam kemudian dijemur selama 8 jam, diperoleh mi kering ubijalar (Wiersema 1992). Sedangkan mie ubijalar yang ada di pasaran Indonesia, walau jumlahnya masih sangat terbatas dibuat dari tepung komposit berbasis ubi ataupun ditambahkan pasta ubi pada adonannya. 4, Produk Setengah Jadi untuk Bahan Baku Ubi segar juga dapat disiapkan menjadi bahan setengah jadi sebagal bahan baku industri selanjutnya. Bentuk produk ini umumnya bersifat kering, awet dan tahan disimpan lama, antara lain adalah irisan ubi kering (gaplek), aneka tepung dan pati. Diharapkan proses pengolahan produk setengah jadi dapat dilaksanakan di perdesaan baik di tingkat koperasi maupun swasta lokal. 226 © Pengolahan Pangan Tradislonal dan Komersiat Dengan tersedianya produk antara tersebut keberlanjutan pengolahan pangan tradisional dan komersial dapat terjamin. Tepung Pengolahan ubli segar menjadi tepung merupakan salah satu cara pengawetan dan penghematan ruang penyimpanan. Dalam bentuk tepung, ubi lebih luwes untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan dan non-pangan. Tepung ubijalar dibuat melalui tahapan pengupasan, penyawutan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Sodium bisulfat 0,03% dapat digunakan sebagai larutan perendam sawut ubi agar diperoleh warna tepung yang putih. Santosa ef al, (1994) melaporkan bahwa perendaman ubi dalam sodium bisulfat 0,3% selama | jam dapat menaikan derajat putih tepung dari 58-61% menjadi 83-90% masing-masing untuk varietas SQ-27 dan BIS-183. Tepung ubijalar ini dapat dimanfaatkan untuk substitusi terigu sampai dengan 50% dalam pembuatan aneka cake, kue kering dan bihun. Tepung ini juga bermanfaat sebagai salah satu bahan baku selai dan saos (Widowati dan Setyono 1992, Syarief et al. 1992). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian melalui kegiatan penelitian tahun 2007 telah berhasil mendapatkan teknologi untuk memperbaiki tekstur dan aroma dari tepung ubijalar melalui penambahan senyawa aktif Bio-CF. Dengan proses fermentasi pada saat perendaman sawut akan dihasilkan tepung ubi dengan tekstur yang lebih lembut, wana yang leblh putth dan tidak ada aroma khas ubi yang kurang disukai. Pati Pati ubijalar dapat dimanfaatkan sebagal bahan pelembut dalam pembuatan kue, sebagai pengganti pati jagung (maizena), bahan baku aneka kue, cake (Setyono et al. 1992, Widowati dan Setyono 1992) dan soun, serta bahan industri perekat maupun farmasi. Pati ubijalar dibuat melalui tahapan pengupasan, pencucian, pemarutan dan ekstraksi. Endapan pati hasil ekstraksi dicuci lalu dikeringkan. Ampas dari pengolahan pati dapat dimanfaatkan sebagai makanan temak. ‘Tepung komposit Penelitian mengenai beberapa formula tepung komposit yang meng- gunakan salah satu komponennya adalah tepung ubijalar. Pemanfaatan tepung komposit tersebut antara lain untuk bihun (Widowati dan Damardjati, 1993) untuk bahan pengisi dan kue kering. Evaluasi penerimaan konsumen menunjukkan bahwa tepung komposit dan produknya dapat Ubjater = 227 diterima, meskipun demikian peningkatan jumlah tepung ubi jalar akan menurunkan kecerahan wama tepung maupun produknya. Berdasarkan tinjauan alternatif pemantapan ubijalar dalam diversifikasi pangan, dapat dilihat bahwa potensi ubijalar untuk menunjang program diver-sifikasi dalam rangka melestarikan swasembada pangan cukup luas. Sasaran pengembangan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan ubijalar tidak hanya pada penganekaragaman pe-nyediaan bahan pangan secara kuantitas dan kualitas saja, tapi juga diharapkan dapat meningkatkan peluang kesempatan kerja, penambahan pendapatan ma-syarakat, peningkatan gizi masyarakat, mengembangkan sumberdaya manusia dengan inovasi teknologi di perdesasan untuk mendorong pengembangan agroindustri DAFTAR PUSTAKA Antarlina , S.S. 1991. Pengaruh umur panen dan klon terhadap beberapa sifat sensoris, fisis dan kimiawi tepung ubijalar. Thesis S-2 Fak. PS. UGM (tidak diterbitkan). Astawan, M. dan S. Widowati. 2005. Evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik ubi-jalar sebagai dasar pengembangan pangan fungsional. Lap. Hasil Peneli-tian RUSNAS Diversifika: i Pangan Pokok, IPB. Balitkabi. 2009. Teknologi produks! }acang-kacangan dan umbi-umbian. Balitkabi. Malang. BPS. 2000-2009. Neraca bahan makan an penduduk Indonesia. BPS. Jakarta. Damardjati, D.S. danS. Widowati, 1994. Pemanfaatan ubijalar dalam program dversifikasi guna mensukseskan swasembada pangan. Dalam: Winar-to, A., ¥. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantosa, dan Sumamo (Eds.). Risalah Seminar Penerap.in Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubijalar untuk Mendukung Agroindustri. Edisi Khusus Balittan Malang No 3: 1-25. Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan R.1. 1992. Daftar komposisi bahan makanan. Bhalara. Jakarta. Fardiaz, D. 2004. Regulasi dan keamanan pangan fungsional. Makalah pada Sem. Nas, Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung, 6-7 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Herawati, H. dan S. Widowati. 2009. Karakteristik beras mutiara dari ubijalar (pomea batatas). Buletin Teknolog! Pascapanen Pertanian Vol 5(1):39- 48. 228 —Pengolehan Pangan Tradisione! dan Komersial Jusuf, M.,A. Setiawan, D. Peters, C. Cargill, S. Mahalaya, J. Limbongan, dan Subandi. 2007. Memperbaiki Efisiensi Produks! Ubi Jalar-Babi di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makalah pada Sem. Nas. dan Ekspose Percepatan inovasi Teknologi pertanian Spesifik Lokasi. Jayapura, 5- 6 Juni, 2007. Limbongan, J. dan A. Soplanit, 2007. Ketersediaan teknologi dan potensi pengambangan ubijalar (/pomoea batatas L.) di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 26(4):131-138. Nainggolan, K, 2008, Meningkatkan ketersediaan dan kterjangkauan pangan. Makalah disajikan pada Pra (2) WNPG IX pada tanggal 11 - 12 Juni 2008 di Jakarta. Palomar, L.S., R.D, Lauzon, C.V, Ranches, and A.P. Dailon. 1990. Sweet potato as an ingredient in bakery product. ASEAN Food Handling Bureau, Kuala Lumpur, Malaysia. Puslitbangtan. 1999, Deskripsi varietas unggul padi dan palawija 1993-1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Puslitbangtan. 2002. Deskripsi varietas unggul padi dan palawija 2001-2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Syarief, R., J.P. Simarmata, dan S.A. Riantini, 1992. Studi karakteristik dan pengolahan ubijalar (/pomea batatas) untuk pangan dan bahan baku industri: 1. Bahan Pangan Sumber Vitamin A. Pusbangtepa, LP-IPB, Setyono, A., D.S. Damardjati, and A.H, Malian. 1992. Sweetpotato and cassava Development: Present Status and Future Prospect in Indonesia. pp: 29-40. In: G.J. Scott, S. Wiersema and PI. Ferguson (Eds.). Product Dev. For Root and Tuber Crops. Suismono, Sudaryono, dan S. Banda. 2005. Pengaruh konsentras! asam sitrat terhadap mutu saos ubljalar (Jpomea Batatas. L). Buletin Teknologi Pascapanen. Truong, V.D. 1992. Transfer of sweetpotato processing technologies: Some Ex-periense and Key Factors. pp: 195-205. in: G.J. Scott, S. Wiersema, and. Pl Ferguson (Eds.). Product Dev. for Root and Tuber Crops. Wargiono, J. danN. Richiana. 2002. Pengaruh lamanya penyimpanan ubijalar varietas lokal Cilembu terhadap perubahan kualitas. Pros. Semnas Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. Wiersema, S.G. 1992. Sweetpotato processing in the people's Republic of China with emphasis on strach. fn: Wiersema, S. and Pl. Ferguson (Eds.). Product Dev. for Root and Tuber Crops. Unites — 229 Widowaii, S. dan A. Setyono. 1992. Beberapa cara pengolahan ubijalar. Prosiding Temu Lapang Alih Teknologi Dataran Sedang. Kuningan, 19 September 1992. Widowati, S. dan D. S. Damardjati. 1993. Tepung komposit sebagai alternatif diversifikasi produk untuk mempertahankan swasembada pangan. Dalam: Syam, M., Hermanto, A. Musaddad, dan Sunihardi (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Pros. Simp. Pen. Tan. Pangan Ill. Buku: 1622-1631. ‘Widowati, S. dan Minantyorini. 2004. Pola makan masyarakat Cilawu-Garut: Budaya diversifikasi pangan yang perlu dilestarikan. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. 230 © Pengotehan Pangan Tradisional dan Komersiat Teknologi Pengolahan Produk Antara S.S. Antarlina, E. Ginting, dan J.S. Utomo PENDAHULUAN Ubi segar merupakan bahan yang mudah rusak, baik secara fisiologis maupun mikrobiologis. Oleh karena itu, ubi segar perlu segera diolah balk menjadi bahan pangan slap santap, diantaranya ubi kukus/rebus, ‘ubi goreng, keripik, saos, dan beragam jenis jajanan lainnya maupun diolah menjadi produk antara (setengah jadi) berupa tepung, kubus/granula instan dan pati yang selanjutnya dapat diolah menjadi beragam produk pangan dannon pangan. Pembuatan produk antara ini terutama bertujuan untuk mengatasi melimpahnya produksi ubi segar pada saat panen raya yang sering merugikan petani akibat merosotnya harga karena ubi segar tidak tahan lama disimpan. Selain itu, produk tepung dan pati ubijalar relatif lebih awet dan tahan lama disimpan serta memerlukan ruang lebih kecil untuk penyimpanan. Pemanfaatannya juga lebih fleksibel karena dapat digunakan sebagai bahan baku atau campuran (substitusi) 10-100% tepung terigu, beras atau ketan pada pengolahan berbagai jenis makanan, diantaranya roti, kue kering, kue basah, mie, dan lain-lain (Ginting ef al. 2006). Impor terigu saat ini telah mencapai 5,8 juta ton/tahun (Kompas 2009) dengan tingkat konsumsi 19,2 kg/kapita/tahun (Kompas 2010). Porsi penggunaan terigu terbesar adalah untuk bahan baku mie basah dan kering (30%), sedang sisanya untuk mie instan (25%), cake dan bakery (20%), snacks dan biskuit (15%), rumah tanga (5%) dan gorengan 5% (Welirang 2002 dalam Gafar 2010). Oleh karena itu perlu dikembangkan pengolahan produk antara dan produk olahannya dengan teknologi yang relatif mudah dan murah untuk diterapkan baik di tingkat petani maupun industri. Keberhasilan dan keberlanjutan industri tersebut perlu didukung oleh bahan baku yang sesual. KARAKTERISTIK UBI SEGAR UNTUK PRODUK ANTARA Untuk pengolahan tepung dan pati, sebaiknya dipilih ubi yang dagingnya berwarna putih dengan kadar bahan kering atau kadar pati tinggi agar diperoleh tepung/pati yang warnanya putih dan rendemennya tinggi. Kadar bahan kering/kadar pati ub! segar tergantung pada jenis/klon, kondisi lingkungan tumbuh (radias! sinar matahart, suhu, pemupukan, kelembaban tanah) dan umur tanaman (Bradbury dan Holloway 1988). ‘Ubjaler = 231 Antarlina (1991) melaporkan adanya korelasi negatif antara kadar alr dengan kadar bahan kering (r = -1) dan kadar pati (r = -0,64). Korelasi tersebut menggambarkan semakin tinggi kadar air, kadar bahan kering dan patinya semakin rendah. Pantastico (1986) juga menyatakan bahwa ubi segar yang kadar aimnya tinggi, umumnya memiliki daging ubi lunak dan kadar patinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan ubi yang daging ubinya kering dan kompak. Gambar | dan 2 masing-masing menunjukkan korelasi yang positif antara kadar bahan kering dengan kadar pati ubi dan kadar pati ubi dengan rendemen pati yang dihasilkan. Fakta di atas merefleksikan pentingnya pemilihan bahan baku ubi segar yang kadar bahan kering dan patinya tinggi untuk pembuatan tepung dan pati. 40 qT et Z as. 4 | i 30 | i 2s ' | ¥ 20! Me 1 1S esse ees | 4 450 50 55S Kadar Pai (% bk) Gambar 1. Hubungan antara kadar pati dengan kadar bahan kering beberapa klon ubijalar pada umur panen 4 bulan. Sumber: Antarlina (1991). Rendemen pati (%) s 20 25 30 35 40 Kadar pati umbi segar (% bk) Gambar 2. Hubungan antara kadar pat! ubi segar dengan rendemen pati yang dlhasilkan dari empat varielas ubijalar, Sumber: Ginting ef al. (2005). 232 —_Teknolog! Pengolahan Produk Antara Ubi yang warna dagingnya kuning, orange, atau ungu juga dapat diolah menjadi tepung dan pati, namun pengolahannya menjadi produk pangan harus disesuaikan dengan wama/kenampakan produk yang biasanya tidak memerlukan wama putih atau terang, seperti kue basah, dodol, dan lain- lain. Untuk kubus/granula instan, warna daging ubi putih, kuning, orange atau ungu tidak menjadi masalah. Beberapa varietas unggu! ubijalar yang dapat diolah menjadi tepung, antara lain Sukuh, Jago dan Siroyutaka (putih), Boko dan Kidal (kuning), Sari (krem) (Balitkabi 2008) dan varietas lokal, seperti IR Melati (putih). Sedangkan untuk pati, sebaiknya yang berwarna putih, seperti varietas Sukuh, Jago dan Siroyutaka. Sementara untuk kubus instan, selain varietas-varietas di atas juga dapat digunakan varietas Beta-2 (orange) dan beberapa varietas/calon varietas unggul yang daging ubinya so seperti Ayamurasaki, MSU 03028-10 dan RIS 03063-05 (Jusuf et ai. 2008). Ubi segar untuk bahan baku produk antara sebaiknya dipanen pada umur optimal sesuai dengan karakterisik varietas masing-masing (3,5-4,5 bulan) agar diperoleh kandungan bahan kering/patl yang maksimal. Selain itu, sebaiknya ubi segar langsung diolah maksimal 5 hari setelah panen untuk meminimalkan perubahan-perubahan fisiologis, kimia dan biokimiawi yang dapat terjadi pada ubi segar yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahan yang dihasilkan. PENGOLAHAN TEPUNG Pengolahan tepung dari ubi segar relatif mudah untuk dilakukan oleh petani dengan mengunakan peralatan sederhana yang tersedia di perdesaan. Pengolahan ubi segar menjadi tepung memiliki banyak kelebihan, antara Jain: (1) lebih luwes untuk pengembangan produk pangan dan nilai gizi, (2) lebih tahan lama disimpan sehingga potensial sebagai penyedia (cadangan) bahan baku industri dengan harga yang lebih stabil, (3) memberi nilai tambah pendapatan produsen, dan (4) menciptakan industri pedesaan serta meningkatkan mutu produk. Adapun tahapan pengolahan tepung disajikan pada Gambar 3. 1, Pemilihan Bahan Pada dasarnya semua jenis ubi segar dengan berbagal warna daging ubi (putih, kuning, ungu) dapat dibuat tepung. Kualitas bahan baku (ubi segar) menentukan kualitas tepung dan produk olahan yang dihasilkan. Guna memperoleh rendemen tepung yang tinggi, maka ubi harus dipanen pada saat yang tepat. Jika dipanen muda maka rendemen tepung yang diperoleh tendah dan ini akan berpengaruh terhadap pendapatan. Jika dipanen terlalu vubjair 233 rtasifpemithan + Pencudian = Pengupasan + Pengisan/Penyawutan = Pencucian + Penirisan dan pengepresan + Penjemuran/pengeringan (50°C, + 40 jam) Ubi lrisan (Sawut) Kering (Kadar air + 7%) = Penggilingan/penepungan + Pengayakan 80 mesh = Pengemasan Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung ubijalar. ‘Sumber: Antartina (1997). tua, maka kadar seratnya meningkat dan kadar patinya menurun. Ubi yang terserang hama boleng (Cyfas sp.) harus dibuang karena tepung dan produk olahannya akan berasa pahit. 2.Pencucian Pencucian ubi dimaksudkan untuk menghilangkan tanah yang menempel pada kulit ubi. Pencucian dengan cara menyikat kulit ubi dalam air yang mengalir, dapat dilakukan baik secara manual maupun menggunakan mesin pencuci, Agar tanah yang menempel pada kulit ubi mudah terlepas dapat dilakukan perendaman. 3. Pengupasan Pengupasan kulit ubi dapat dilakukan dengan menggunakan pisau biasa atau pisau khusus pengupas kentang. Apabila pengupasan menggunakan pisau, perlu diperhatikan tingkat ketebalan mengupas kulitnya, karena apabila terlalu tebal dapat mengurangl rendemen tepung. Namun apabila terlalu tipis akan meninggalkan warna gelap pada ubi atau kulit yang masih menempel, sehingga dapat mempengaruhi warna tepung. Apabila menggunakan pisau pengupas kentang, ketebalan kulit yang terkupas relatif tipis dan seragam. 234 Teknologi Pengotahan Produk Antara 4. Pengirisan/Penyawutan Pengirisan atau penyawutan dimaksudkan untuk mengecilkan ukuran, sehingga dapat mempermudah pengurangan kandungan air ubi pada saat proses pengeringan. Pengirisan ubi atau penyawutan menggunakan alat pengiris/penyawut mekanis atau manual (dengan pisau). Ubi hasil pengirlsar/penyawutan langsung ditampung/direndam di dalam baskom/ bak yang berisi air untuk mencegah terbentuknya wana coklat akibat kontak enzim polifenolase dengan oksigen (enzimatic browning). 5.Pengepresan Pengepresan sawut bertujuan untuk mengurangi kandungan air sehingga mempercepat proses pengeringan. Pengepresen dengan alat pengepres manual dilakukan dengan cara memasukkan sawut ke dalam karung kain, lalu dipress. Namun apablla alat pengepres tidak tersedia, dapat langsung dikeringkan/dijemur. 6. Pengeringan Pengeringan irisan ubi dapat dilakukan dengan penjemuran langsung di bawah sinar matakari atau di dalam rumah plastik, selama + 2 hari, atau menggunakan alat pengering mekanis pada suhu 50°C selama + 40 jam hingga kandungan air sekitar 7%, Alat pengering mekanls sangat membantu dalam pengeringan pada musim penghujan. Sawut kering dapat langsung dikemas dalam kantong plastik atau tempat ruang tertutup rapat (kaleng). 7. Penggilingan/Penepungan Setelah sawut kering dilakukan penggiling/penepungan. Ampas hasil penggilingan (bagian yang kasar) dapat digiling ulang guna mendapatkan rendemen tepung yang maksimum. Alat penggiling yang digunakan adalah alat penggiling tepung mekanis yang banyak terdapat di pasar. 8.Pengayakan Tepung hasil penggilingan diayak dengan ayakan 80 mesh. Pengayakan dilakukan agar diperoleh butiran tepung yang seragam. Makin halus ukuran lubang ayakan maka rendemen tepung yang diperoleh makin rendah, Antarlina dan Yusuf (2001) melaporkan rendemen tepung berkisar antara 18-30% dari beberapa varietas ubijalar. 9.Pengemasan Tepung bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga harus dilakukan pengemasan pada kantong plastik atau kaleng dan ditutup rapat. ‘Tepung relatif tahan lama disimpan. Pengemasan dalam kantong plastik PP atau PE tebal 0,05 mm dan ditutup rapat (seating) dapat mempertahankan mutu tepung sampai 6 bulan tanpa menimbulkan bau, perubahan wama, serangan jamur dan serangga (Setyono dan Thahir 1994). Antarlina dan Bedjo (1995) juga melaporkan penyimpanan tepung ubi (kadar air 5%) dalam kantong plastik PP (0,03 mm) yang dirangkap dua dan toples plastik, dapat bertahan sampai 6 bulan dari serangan hama gudang Sitophilus sp dan jamur Aspergillus sp. Sementara penggunaan kantong kertas dan kantong kain untuk penyimpanan tepung ubijalar hanya efektif sampai 4,5 bulan. Komposisi kimia tepung adalah 10% air, 2% protein, 0,6% lemak, 84% karbohidrat, dan 2% abu (Antarlina 1994). Oleh karena itu, tepung tersebut potensial sebagai bahan baku produk-produk pangan berbasis tepung dan mampu bersaing dari segi kualitas produk yang dihasilkan. Sebagai bahan baku kue kering (cookies) dancake, penggunaan tepung ubi dapat mencapai antara 50-100%, Varlasi resep yang digunakan tergantung pada selera pembuat sedangkan cara pembuatannya mengikuti cara pembuatan kue berbahan baku terigu. Penggunaan tepung ubi sebagai bahan baku kue juga menguntungkan karena dapat menghemat kebutuhan gula sampai dengan 20%. Sementara untuk bahan baku roti tawar dan mie kering, tepung ubi dapat mengganti/mensubstitusi terigu masing-masing sebesar 10% dan 20% (Heriyanto et ai. 1999). Selain itu, tepung ubl yang berwamna ungu dapat mensubstitusi 50% tepung ketan pada pembuatan dodol dan 15% bahan es krim pada pembuatan es krim (Ginting et al. 2008). Pada pembuatan tepung ubi di atas, dilakukan tahapan pengupasan kulit umbi. Namun dengan pertimbangan kepraktisan pengolahan, dapat Tabel 1. Komposis! kimla tepung ubl yang diolah dengan cara lkupas dan tidak dikupas kullt ubinya. ‘Tepung ubi Komposisi kimia (% bb) |§ ———__—_—____— Kulit dikupas —_Kulit tidak dikupas Air 8,12 8,22 Abu 3,01 3,2 Protein 2,73 241 Lemak 0,47 0,32 Karbohidrat 85,67 85,85 Serat kasar 1,95 2,92 Amilosa 20,53 21,26 ‘Sumber: Antarlina (1994). 236 Teknolog! Pengolahan Produk Antera juga dilakukan dengan tanpa pengupasan kullt ubi. Perbedaan signifikan pada kedua cara pengolahan tersebut tampak pada kandungan serat kasar yang lebih tinggi pada tepung ubl yang tidak dikupas kulitnya (2,92% bb) dibandingkan dengan yang dikupas (1,95% bb). Hal ini berkaitan dengan kadar serat kulit ubi, terutama sellulosa cukup tinggi (Tabel 1). ALAT/MESIN PENGOLAHAN TEPUNG Beberapa jenis peralatan yang digunakan dalam pembuatan tepung disajikan berikut ini lengkap dengan spesifikasi masing-masing alat. denis Alat/Mesin Nama Kegunaan Kapasitas Power Dimensi Bahan Namaalat Tipe Power Kapasitas Dimensi Spesifikest Mesin pencuci rimpang/ubi Mencuci rimpang/ubi 50- 100 kg/jam. 2hp, 220V Panjang: 80 cm, Lebar: 60 cm, Tinggi: 70 cm, Berat: 70 kg Stainless steel Alat perajang Resiprokal Manual tangan 25-40 kg/ jam. Panjang: 55 cm, Lebar: 20cm, Tinggi : 40 cm, Berat: 6 kg : Aluminium baja MS Alat perajang Piringan vertikal Manual tangan 30-50 kg/jam Panjang: 55 cm, Lebar: 20cm, Tinggl: 40 cm, Berat: 6 kg Aluminium/ baja MS Mesin perajang Piringan horisontal motor bensin 5 hp 400-600 kg/ jam Panjang: 60 cm, Lebar: 60. cm, Tinggi: 120 cm, Berat: 50 kg Piringan Stainless Steel, kerangka baja MS Namaalat Tipe Power Kapasitas Dimensi Bahan Mesin Pengering Model Pengepress manual Ulirvertikal * manual dengan tangan Kapasitas muat (kg) : Dimensi Panjang (cm) Lebar (cm) Tinggi (cm) Berat (kg) Daya listrik (W) Bahan bakar Pengaturan suhu Namaalat Tipe Power Kapasitas Dimensi Bahan Namaalat Tipe Power Kapasitas Dimensi Bahan Sumber: Unadi (2005). 15-20 kg/ load Panjang: 40 cm, Lebar: 35 cm, Tinggi: 100 cm, Berat: 70 kg Stainless steel, kerangka dan ulir baja ‘CIHE 20 CIHE40 CIHE60 20 40 60 124 200 240 40 50 60 60 96 100 75 110 150 50-200 250 300 LPG LPGMT LPG/MT Otomatis Otomatis Otomatis Penepung Hammer mill motor bensin Honda 6.5 hp 25-40 kg/ jam. Panjang: 55 cm, Lebar: 45cm, Tinggi : 120 cm, Berat: 70 kg Besi Tuang Penepung Hammermill motor bensin Honda 6.5 hp 25-40 kg/ jam Panjang : 55 cm, Lebar: 45 cm, Tinggi: 120 cm Berat : 70 kg Stainless steel 238 Teknologi Pengolahan Produk Antara Mutu Tepung Pengolahan tepung ubiljalar belum berkembang di Indonesia, sehingga sampai saat ini belum tersedia standar mutu (SNI) untuk tepung ubijalar seperti halnya untuk tepung ubikayu (DSN 1996). Oleh karena itu, untuk menentukan persyaratan mutu tepung ubijalar, dilakukan pendekatan beberapa kriteria mutu tepung ubikayu. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada tingkat kadar air 7%, tepung ubljalar mengandung 2,919 protein; 0,54% lemak; 1,95% serat kasar, abu 2,07% dan energi 367 kalori (Antarlina 1993, Antarlina 1994). Apabila disesuaikan dengan ketetapan mutu pada kadar air 12%, maka mutu tepung ubijalar telah memenuhi spesifikasi tersebut (Tabel 2), ‘Tepung Komposit ‘Tepung ubijalar relatif rendah kandungan proteinnya, oleh karena itu dalam pengolahan perlu diperkaya dengan penambahan bahan sumber protein, seperti tepung kacang-kacangan, serealia, konsentrat protein dan lain-lain menjadi tepung komposit (tepung campuran). Tepung ubijalar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan dapat digunakan tunggal maupun sebagai tepung komposit tergantung dari produk olahan yang akan dibuat antara lain kue-kue kering, kue-kue basah, kue lapis, mie, danlain-lain. Kue kering dapat diolah dari 100% tepung ubijalar, sedangkan kue cake dari tepung komposit 25-50% tepung ubijalar dengan terigu, untuk pembuatan kue lapis dapat diolah dari tepung komposit ubijalar dengan tepung beras. Penggunaan tepung ubijalar sebanyak 50% dalam pembuatan kue cake dapat menghemat penggunaan gula sebesar 20% dibandingkan dengan pembuatan kue dari 100% tepung terigu (Antarlina 1993, Antarlina 1995). Tepung komposit ubjjalar dengan tepung jagung dan tepung kacang tunggak juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk produk olahan. Hasil penelitian Antarlina (1994), menunjukkan bahwa tepung komposit yang terdiri atas 50% tepung ubijalar, 20% tepung jagung dan 30% tepung kacang Tabel 2. Standar mutu tepung ubikayu dan tepung ubijalar. Kriteria ‘Tepung ubikayu> ‘Tepung ubijalar? Kadar air (maks) 12% 12% Keasaman (maks) 3 ml IN NaQH/100g 4 ml IN NaOH/100g Kadar pati (min) 75% 55% Kadar serat (maks) 4% 3% Kadar abu (maks) 1,50% 2% Ubjaler 239 Tabel 3. Komposisi kimia tepung komposit ubjjalarjagung-kacang tunggak. Tepung —_Konsentrasi(%) Protein. © Lemak = Abu__—Karbohidrat Kalo U:JG: KT (bk) (HK) GK) (HK) (BK). 1 50:10:40 12,79 1,53 2,79 82,89 403,8 2 50:20:30 11,63 1,56 2,61 84,20 405,0 3 20 9,87 2,04 2,32 85,77 408,6 4 10 8,15 2,29 2,09 87,46 aut 5 00 5,53 213 1,99 90,34 4115 6 40 12,45 1,00 3,02 83,53 400,7 7 100:00:00 311 0,58 2,22 84,09 404,6 8 Terigu 10,94 1,02 0,56 87,47 41,3 bk= basis kering; UJ= tepung ubijalar, JG= tepung jagung, KT= tepung kacang tunggak ‘Sumber: Antarlina (1994). Tabel 4. Komposisi kimia tepung komposit ubijalar, jagung, kacang hijau, komak dan ‘tunggak. Tepung Konsentrasi (%) Air Abu Protein’ Lemak Karbo- —Serat Upkh:KtKmig hidrat 712 2,73 9,00 0,85 78,49 2,13, 769° 280 857 O51 78,11 2,30 690 2,89 848053 78,63 2,56 714 2,32 826 051 79,38 2,39 746 2,04 «7,59 0,72, 79,65 2,54 7,00 2,85 7,80 0,69 79,29 2,36 656 3,09 «2,890,439 84,13 2,84 Nousun Uj = tepung ubljalar, Kh = tepung kacang hijau, Kt = tepung kacang tunggak, Km = tepung kacang komak, Jg = tepung jagung Sumber: Antarlina (1994). tunggak, dapat diolah menjadi kue kering dan kue cake. Pengunaan tepung ubijalar komposit tersebut dapat meningkatkan kadar protein tepung ubijalar dari 3% bk menjadi 11% bk dan setara dengan kadar protein terigu (Tabel 3). Tepung komposit lainnya adalah campuran antara tepung ubijalar, Jagung, kacang hijau, komak dan tunggak yang menunjukkan kadar protein tertinggi (996) pada formulasi 75% tepung ubijalar dan 25% tepung kacang hijau (Tabel 4). Sementara campuran masing-masing 25% tepung kacang tunggak dan komak kadar proteinnya sedikit leblh rendah, yakni 8,57% dan 8,48%. Untuk bahan baku mie, dapat digunakan tepung komposit terigu dengan ubijalar yang komposisi kimianya disajikan pada Tabel 5. 240 Teknolog! Pengotehan Produk Antara ‘abel S. Komposisi kimia tepung komposit teriguubljalar pada berbagal konsentrasl, Komposisi (% basis basah) TTerig : Ubljalar. $$$ Air Lemak Protein Abu —_Karbohidrat Serat kasar 12,29 0,75 943 0,68 76,85 0,41 11,58 0,83 9,09 0,81 77,69 0,62 11,79 0,86 9,33, 113 76,9 0,85 11,28 0,88 116 1,56 78,52 114 0,62 077 6,66 2,08 79,87 1,38 1 10,63 0,85 495 2,05 81,52 141 ‘Sumber: Antarlina (1994). Penggunaan tepung ubijalar menurunkan kadar protein tepung komposit, namun meningkatkan kadar abu, karbohidrat dan serat kasar. Tepung komposit yang terdiri atas 50% tepung ubijalar dan 50% tepung terigu Mmengandung 4,95% protein. SNI mie kering mensyaratkan kadar protein minimal 4% untuk mie yang terbuat bukan dari terigu dan 9% untuk mie yang terbuat dari terigu (DSN 2000). Sifat Fisik Tepung Derajat putih merupakan salah satu sifat fisik penting pada produk tepung. ‘Tepung ubljalar mempunyai derajat putih lebih rendah (74,4 3%) dibanding tepung terigu (82,179), sehingga makin tinggi proporsi tepung ubijalar pada tepung komposit terigu dan ubijalar, semakin rendah derajat putihnya (Tabel 6). Kurang putihnya warna tepung ubijalar tersebut dapat disebabkan oleh terbentuknya warna coklat/gelap pada saat pengolahan tepung (pengupasan, pemotongan dan pengeringan) akibat terjadinya proses pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis. Di samping itu, tingginya kandungan gula dan serat pada ubijalar dapat pula mempengaruhi wama tepung (Winamo dan Aman 1979, Meyer 1960). Sifat Amilografi Tepung Sifat amilografi tepung ubijalar merupakan parameter yang menentukan mutu, sifat dan karakteristik berbagai tipe tepung komposit dan dapat dihubungkan dengan mutu produk yang dihasilkan. Tepung ubijalar mempunyai suhu gelatinisasi paling tinggi yaitu sebesar 78,8°C dengan waktu 32,5 menit, sedangkan tepung terigu mempunyai suhu gelatinisasi paling rendah yaitu sebesar 60,0°C dengan waktu 20,0 menit (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi tepung ubijalar, maka semakin tinggi pula suhu gelatinisasi tepung kompositnya. Suhu pecahnya Uojater 241 Tabel 6. Derajat putih dan sifat amilografl tepung komposit terigu dan ubijalar pada berbagai proporsi campuran. Gelatinisasi —_Granula pecah Viskositas puth Waktu Suhu Waktu Suhu §Puncak 50°C Balk (%) ~~ (menit) (°C) (menit) (Cc) = (BU), (BU) (BU) 82,17 40,5 470 81,20 40,0 517.5 75,50 40,5 240 76,93 42,0 325 72,28 41,3 335 74,23 41,0 182,5 74,43 39,5 +305 ‘Sumber: Antarlina dan Utomo (1997). granula untuk tepung ubijalar dan tepung terigu hampir sama. Tepung ubijalar juga menunjukkan viskositas puncak (1815 BU) lebih tinggi bila dibandingkan tepung terigu lebih rendah (1025 BU). Perbedaan perilaku gelatinisasi ini sangat berkaitan dengan karakteristik patinya, terutama kandungan amilosa, proporsi amilosa dan amilopetin serta lingkungan tumbuh tanamannya (Ginting et al, 2005). Tepung Granula/Kubus Instan ‘Tepung granula ubijalar adalah tepung ubijalar yang telah masak dan siap untuk diproses menjadi produk lain ataupun dikonsumsi langsung dengan penambahan air karena tepung tersebut bersifat instan. Tepung granula dibuat dengan cara mematangkan terlebth dahulu ubijalar dan kemudian diikuti dengan pencetakan dan pengeringan seria penepungan (Gambar 4), Sementara kubus instan tepung ubijalar dibentuk kubus terlebih dahulu setelah ubi dikupas dan dicuci, lalu dikukus dan dikeringkan. Rendemen granula yang dihasilkan antara 24, 67-31,20% dengan kadar air 6,94-8,72%, kadar gula reduksi 7,18-17,48%, dan kadar pati 20,33-29,90% (Utomo dan Antarlina 2002). Selama pengukusan terjadi hidrolisis pati menjadi gula yang lebih sederhana oleh enzim amilase, diantaranya gula reduksi dilaporkan meningkat sebesar 6,6% (Bradbury dan Holloway, 1988). Perubahan lain yang sangat menguntungkan adalah eliminasi senyawa antigizi yang terdapat pada ubijalar seperti antitripsin dan antikimotripsin, sehingga ubijalar menjadi lebih mudah dicema di dalam tubuh. 242 Teknologi Pengotehan Produk Antara UBI SEGAR Pencucian Pengupasan Pencucian dan perendaman Pengukusan (20 menit) Pencetakan granula Pengeringan (45°C , + 22 jam) . GRANULA KERING (kadar air 8%) Penggilingan Pengayakan (60 - 80 mesh) Pengemasan (kantong plastik PE/PP) TEPUNG GRANULA INSTAN Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung granula instan r. ‘Sumber: Utomo dan Antarlina (2002). Pemanfaatan tepung granula telah lama berkembang di Afrika, hal ini terutama ditujukan sebagai bahan suplementasi produk-produk yang dibuat dari terigu. Roti manis dari tepung terigu dapat diperbaild kualitasnya dengan penggunaan tepung granula ubijalar sampai 20%. Roti yang dihasilkan memiliki kualitas sangat baik, berwarna kuning mengkilat, berstruktur seragam dan bertekstur lunak (Osei-opare 1987). Sedangkan donat yang dibuat dengan substitusi tepung granula ubijalar sebanyak 25 sampai 40%, menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan dengan donat berbahan baku 100% tepung terigu (Osei-opare 1985). Tepung granula ubijalar yang diolah dari varietas Genjah Rante dapat mensubstitusi 10% terigu pada pembuatan roti tawar dan memberi pengembangan volume lebih baik dibanding tepung yang berasal dari varietas IR Melati dan disukai rasanya (Utomo dan Antarlina 2002). Pati industri pati ubijalar di Indonesia belu:n berkembang dibandingkan dengan Korea, Taiwan dan Jepang. Di negara tersebut pengolahan pati mafnpu menyerap 8,16% sampai dengan 28% dari total produksi nasionalnya. Pemanfaatan pati ubijalar diarahkan sebagai bahan pelembut pada pembuatan kue, sebagai pengganti rnaizena, bahan baku aneka kue dan cake dan soun, serta bahan baku indu:tri tekstil, perekat, kimia dan farmasi. Sirup dari pati ubijalar juga dapat diguakan sebagai bahan dasar kembang uvjater = 243, gula, es krim, jelly, saus dan lain sebagainya (Fuglie and Oates 2004). Selain itu, pati ubjjalar juga dapat digunakan untuk substitusi terigu dalam pembuatan produk roti tawar (25%) dan roti manis (40%) (Ginting dan Suprapto 2005). ‘Tahapan pengolahan pati, meliputi: pencucian ubi segar, pemarutan, perendaman dalam natriumbisulfit 0,19 (15 menit), pemerasan (2 kali), pengendapan, pencucian (2 kali), pengeringan (50-55°C, 20 jam), Ppenggilingan dan pengayakan ukuran 100 mesh (Insyia 2005). Dengan teknologi sederhana maka rendemen pati yang diperoleh bervariasi dari 14,1-19,5% (Tabel 7), tergantung pada varietas dan proses pengolahannya. Sejauh ini penelitian varietas-varietas ubijalar yang sesuai untuk pengolahan pati masih sangat terbatas, yakni pada varietas Bentul dan Ciceh (Santosa et al. 1997) serta empat varietas yang berbeda wama daging ubinya yaitu ‘Sukuh, Sari, Pakhong dan Ayamurasaki (Ginting ef af. 2005). Varietas yang sesuai untuk pembuatan pali, adalah yang kadar bahan kering atau patinya tinggi dan daging ubi berwama terang agar rendemen dan derajat putihnya tinggi. Sifat amilografi pati, terutama suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas menentukan kesesuaian penggunaan pati tersebut sebagai bahan baku untuk pengolahan pangan maupun non-pangan (Damardjati 1988). Pati ubijalar umumnya mempunyai suhu gelatinisasi 70-75°C dan mengandung amilosa sebesar 28,9% basis basah dengan konsistensi gel lunak karena nilainya > 8 cm (Tabel i). Menurut Cagampang et al, (1973), gel dengan nilai konsistensi 2,7-4 cm ergolong keras, 4,1-6 cm sedang dan 6,1-10 cm lunak. Hal ini menyebabkin pati ubijalar sesuai untuk produk- Produk yang tidak terlalu kaku dan ke as gelnya setelah dipanaskan/diolah, seperti cake, saos, selai dan lain-lain | Ginting ef al. 2005), Pati ubijalarjuga mempunyai sifat amilografi yang mirip dengan pati garut, sehingga dapat saling menggantikan (Utomo dan Anlarlina 1997). Sampa! saat ini belum ditetapk.n standar mutu untuk pati ubijalar, Namun demikian, dapat dilakukan pendekatan melalui beberapa kriteria dari standar mutu pat! ubikayu (DSN 1996). Sebagai contoh, derajat putih ‘Tabel 7. Sifat fisik pati dari empat varielas ubijalar, Rende- _Lolos_—_Derajat Kekuaian Konsis- Varielas men 100 mesh _—putlh NPA NKA gel —_tensi gel 6) (9%) 6) (%) (6) (kg) (em) ‘Sukuh 14,49 99,21 80,87 162,37 0,25 0,92 8,40 Sari 10,90 99,66 91,20 162,33 0,26 0,52 11,33 Pakhong 865 99,88 84,83 176,97 0,47 0,66 14,17 Ayamurasak! 14,20 99,61 73,73 «174,26 0,34. 0,621.60. NPA = Nilal Penyerapan Alr; NKA = Nilal Kelarutan Alr. Sumber: Ginting et af. (2005). 244 Teknologi Pengotehan Produk Antera pati ubijalar sangat tergantung pada jenis ubijalar, terutama warna daging ubi (Tabel 7) dan kualitas air yang digunakan. Bila digunakan kriteria derajat putih untuk pati ubikayu (DSN, 1996), pati ubijalar hanya dapat memenuhi kriteria mutu Ill (< 92%), karena mutu | minimal 94,5% dan mutu II antara 92-94,5%. Pati yang berasal dari ubijalar ungu, seperti Ayamurasaki derajat putibnya relatif rendah (Tabel 7), sehingga sesuai untuk bahan campuran produk-produk yang tidak berwama putih/cerah (Ginting ef al. 2005). PROSPEK PENGEMBANGAN PRODUK ANTARA Teknologi pengolahan ubi segar menjadi beragam produk pangan telah tersedia dan relatif mudah untuk diterapkan, baik oleh industri rumah tangga maupun industri besar. Di samping itu, bahan baku cukup tersedia dan relatif mudah dibudidayakan. Hal ini membuka peluang usaha, baik sebagai produsen produk antara, seperi tepung, granula instan dan pati maupun produsen produk olahan dari industri hilir. Dengan demikian, penyediaan bahan baku yang lumintu dan mutunya baik serta sesuai untuk tujuan pengolahannya perlu diperhatikan dengan cara menanam varietas- varietas yang sesuai dan mengatur jadwal tanam serta panen yang disesuaikan dengan musim dan pola tanam yang ada, terutama di daerah- daerah sentra produksi ubijalar. Juga perlu dilakukan penanganan pasca panen yang tepat untuk mempertahankan mutu fisik dan kimia ubi sebelum diolah menjadi beragam produk. Penggunaan tepung ubijalar sebagai substitusi sebagian terigu secara ekonomis menguntungkan karena dapat menekan biaya produksi sekaligus menghemat devisa karena mengurangi impor terigu. Hal ini terutama dapat dirasakan pada saat panen raya, dimana produksi ubijalar melimpah dan harga jual ubi segar merosot, sehingga pengolahan menjadi tepung merupakan alternatif yang menguntungkan. Pada tingkat harga ubi segar Rp 500/kg misalnya, harga tepungnya menjadi Rp 2.000/kg (hanya harga bahan dengan asumsi rendemen tepung 25%, tidak termasuk biaya pengolahan dan pengemasan). Heriyanto dan Winarto (1999) menyatakan, bahwa harga tepung ubijalar yang layak dipasarkan sebagai substitusi terigu adalah maksimal 25% di bawah harga tepung terigu. Harga tepung terigu saat ini sekitar Rp 7.000/kg, maka harga tepung ubijalar yang layak adalah Rp5.250/kg. Dalam prakteknya, usaha ini dapat dilaksanakan dengan sistem kemitraan antara pengusaha besar sebagai pengepul sawutirisan ubikayu/ ubijalar kering dari industri sawut berukuran kecil/rumah tangga dan menengah yang selanjutnya akan melalukan proses penepungan/ penggilingan dengan peralatan mekanis (Damardjati ef al. 1996, Heriyanto Udjalar = 245 etal, 1999), Industri kecil dan menengah dapat dilakukan oleh petani dengan peralatan manual yang sederhana, sehingga tidak diperlukan modal besar. Industri besar yang kermudian memasarkan dan menyalurkan tepung ke konsumen atau industri pengolahan pangan berbasis tepung. Dengan cara ini, kualitas sawut yang dihasilkan dapat dikendalikan mutunya sesuai dengan standar yang diperlukan oleh industri pengolahan pangan. Penggunaan tepung ubijalar sebagai substitusi sebagian terigu dalam pembuatan beragam makanan dapat dilakukan baik oleh usaha kecil, menengah maupun besar. Penyaluran langsung tepung ubljalar ke industri pengolahan pangan merupakan strategi pemasaran yang lebih efektif dibanding dengan penjualan eceran dalam bentuk tepung di pasar. Pengalaman menunjukkan, bahwa konsumen belum sepenuhnya memahami penggunaan tepung ubijalar. Oleh karena itu, bila dijual dalam bentuk tepung di pasar, kemasan sebalknya dilengkapi dengan petunjuk penggunaan sekaligus dengan beberapa resep makanan yang dapat diolah dari tepung tersebut atau kompositnya dengan tepung lain, terutama terigu. Kegiatan penyuluhan, pembinaan dan demontras! juga perlu digalakkan untuk mengubah gambaran masyarakat terhadap komoditas umbi-umbian_ yang selama ini dianggap rendah (inferior), temyata dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk makanan yang citranya baik. Membaiknya harga jual ubi segar dan relatif stabil serta dengan meningkatnya permintaan untuk bahan baku tepung dan produk olahan segar, akan memacu semangat petani untuk mengusahakan pertanaman ubijalar dengan baik sekaligus meningkatkan produktivitasnya. DAFTAR PUSTAKA Antarlina, S.S. 1991. Pengaruh umur panen dan beberapa klon terhadap sifat sensoris, fisik dan kimiawi tepung ubijalar. Thesis $2. Fakultas Pasca Sarjana, Program KPK UGM. Universitas Brawijaya, Malang. 100 p. Antarlina, S.S. dan E. Ginting. 1992, Pembuatan kue basah dari tepung Jagung komposit. Penelitian Palawija 7(1 & 2):34-45. Antarlina, $.S. 1993. Kandungan gizi, mutu tepung ubijalar serta produk olahannya. Laporan Bulanan Balittan Malang untuk Puslitbangtan (Bulan Nopember 1993) 19 p. Antarlina, S.S. 1994. Peningkatan kandungan protein tepung ubijalar serta pengaruhnya terhadap kue yang dihasilkan. Dalam: Winart, A. et al., (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubijalar untuk Mendukung Agroindustr. Balittan Malang. p. 120-135, 246 Teknologi Pengalehan Produk Antara Antarlina, S.S, and Bedjo. 1995. Sweet potato flour storage within kinds of Packaging materials. In KH. Hendroatmodjo, Y. Widodo, Sumarno dan B. Guritno (eds). Research Accomplishment of Root Crops for Agricultural Development in Indonesia. Collabortion Research Project. between RILET-Brawijaya University, Malang. p.136-142. Antarlina, S.S. 1997. Karakteristik ubijalar sebagai bahan tepung dalam pembuatan kue cake. Dalam: Budijanto, S., F. Zakaria, R. Dewanti- Hariyadi, dan B. Satiawiharja (Eds.). Prosiding Seminar Nasional ‘Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997, PATPI-Menpangan RI. p. 188-204. Antarlina, SS. dan J. S. Utomo. 1997. Subsitusi tepung ubijalar pada pembuatan mie kering. Dalam: Budijanto, S., F. Zakaria, R. Dewanti- Harlyadi, dan B, Satiawiharja (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan Denpasar 16-17 Juli 1997. PATPI-Menpangan RI. p. 333-343, Antarlina, S.S. dan M. Jusuf. 2001. Pengolahan tepung ubijalar beberapa varietas pada umur panen yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian untuk Agribisnis. Badan Litbang Pertanian - PERTETA. Jakarta. p. 227-235. Balitkabi. 2008. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi- umbian. Balitkabi Malang.171 p. Bradbury, J.H. dan W.D. Halloway. 1988. Chemistry of tropical root crops; Significance for Nutrition and Agriculture the Pacific. ACIAR. Canberra. 201 pp. Cagampang, G.B., C.M. Perez and B.O. Juliano. 1973. A gel concistency test for eating quality of rice. J. Sci. Food Agric. 24 :1589-1594, Damardjati, DS. 1988, Evaluasisifat fisikokimia pati dengan amilografi. Bahan Latihan Teknik Penelitian Pasca Panen Pertanian. Balittan Sukamandi. 10p. Damardjati, D.S., S. Widowati, dan Suismono. 1996. Sistem pengembangan agroindustri tepung kassava di Indonesia: Studi kasus di Kabupaten Ponorogo. Dalam: Syam, M., Hermanto, dan A. Musaddad (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4. Jagung, Sorgum, Ubikayu dan Ubijalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p. 1212-1221. DSN. 1994, Standar Nasional Indonesia untuk tapioka (SNI 01-3451-1994). Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 22 p. DSN. 1996, Standar Nasional Indonesia untuk tepung singkong (SNI01-2997- 1996). Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 6 p. DSN. 2000. Standar mutu untuk mie kering. SNI 01-3551-2000. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 3p. Fuglie, K.0. and .G. Oates. 2004, Starch markets in Asia. In: Fuglie, K.O. and M. Hermann (Eds.). Sweetpotato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop held in Chengdu, Sichuan, PR China on November 7-8, 2001. CIP, Bogor, Indonesia. p. 100-110. Gafar. S. 2010. Diversifikasi pangan berbasis tepung belajar dari pengelolaan kebijakan terigu. http://www.majalahpangan.com/2010/04/ diversifikasi-pangan-berbasis-tepung-belajar-dari-pengelolaan- kebijakan-terigu (diakses 3 Desember 2010). Ginting, E., Y. Widodo, StA. Rahayuningsih, dan M. Yusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubijalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18. Ginting, E. dan Suprapto. 2005. Pemanfaatan pati ubijalar sebagai substitusi terigu pada pembuatan roti manis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Bogor. p. 86-97. Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo, dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi pasca panen ubijalar mendukung diversifikasi pangan dan pengembangan agroindustri. Buletin Palawija (11):15-28, Ginting, E., S.S. Antarlina, I. Sudaryono, A. Winarto, dan Sugiono. 2008. Resep produk olahan umbi-umbian dan kacang-kacangan. Balitkabi. Malang, Heriyanto, R. Krisdiana, dan SS. Antarlina. 1999. Pengembangan agroindustri berbasis ubijalar dalam upaya peningkatan nilai tambah dan pemberdayaan masyarakat petani. Dalam: Zakaria, FR.,M. Astawan, S. Koswara, dan M.T. Suhartono (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Jakarta, 12-13 Oktober 1999. p. 416-429, Heriyanto dan A. Winarto. 1999. Prospek pemberdayaan tepung ubijalar sebagai bahan baku industri pangan. Dalam: A.A. Rahmianna, Heriyanto, dan A. Winarto (Eds.). Pemberdayaan Tepung Ubijalar sebagal Substitusi Terigu dan Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Edisi Khusus Balitkabi No. 15. p. 17-29. Insyia, N. 2005. Perbaikan warna dan rendemen pati ubijalar (Jpomea batatas L.) melalui proses pengolahan (perendaman dengan natrium bisulfit dan tawas) dan penggunaan varietas/klon berkadar pati tinggi. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang (tidak dipublikasi).110 p. 248 —_Teknolog! Pengotenan Produk Antara Jusuf, M., St. A. Rahayuningsih, dan E. Ginting. 2008. Ubijalar ungu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30(4):13-14. Kompas. 2009. RI terjebak impor pangan. Kompas, 24 Agustus 2009. Kompas. 2010. Harga terigu akan segera naik. Kompas, 9 September 2010. Mayer, LH. 1960. Food chemistry, Reinhold Publishing Company Inc. Wesport. Connecticut. Osei-opare, A. F. 1985. The Varied Oses of Sweet Potatoes. Home Science Dept. Fac. Of Agriculture. Univ.of Ghana. Ghana. 85 pp. Osel-opare, A.F. 1987. Acceptable, utilization, and processing of sweet potatoes in home and small-scale industries in Ghana. p. 143-148. in: Terry, ER., M.O. Akoroda, and 0.B. Arene (Eds.). Tropical Root Crops; Root Crops and The African Food Crisis. IDRC. Canada. Pantastico, E.B. 1986, Susunan buah-buahan dan sayur-sayuran. Dalam EB, Pantostico (Eds.), Diterjemahkan Kamariyani. Fisologi Lepas Panen. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. p. 3-37. Santosa, B.A.S., Narta, dan S. Widowati, 1997. Studi karakteristik pati ubijalar. Dalam: Budijanto, S., F. Zakaria, R.D. Hariyad, dan B. Satlawiharja (Eds.). Prosiding Seminar Teknologi Pangan. Buku |. Denpasar, Bali, 16-17 Juli 1997, PATPI - Kantor MENPANGAN. p. 301-307. Setyono, A. dan R. Thahir, 1994. Pembuatan dan pemanfaatan chip kering ubjjalar bentuk kubus. Dalam: A. Winarto, ¥. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantoso, dan Sumarno (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balittan. Malang. p.67-79. Unadi, A. 2005. Alat/mesin pengolahan ubijalar. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Serpong. Utomo, JS.dan$.. Antarlina, 2002, Tepung instan ubijalar untuk pembuatan roti tawar. Pangan (BULOG) 11(38):54-60. Winamo, FG. dan M.Aman. 1979. Fisologi lepas panen. Sastra Hudaya. Jakarta, Winarno, FG. 1982. Sweet potato processing and by product utilization in the tropics. In: Villareal, R.L. and TD. Griggs (Eds.). Sweet Potato Proc. the First Int. Symp. Asian Veget. Res. Dev. Center, Shanhua, Tainan, Taiwan, China. p. 373-384. upjeter = 249. Industri Keripik dan Model Kemitraan Sulsmono, R-S. Adlandri, dan E. Ginting PENDAHULUAN Ubijalar (Jpomoea batatas L.) mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif maupun usaha bisnis. Harga produsen di beberapa daerah sentra produksi juga relatif murah yaitu antara Rp 750-Rp 1.500 per kg ubi segar. Harga ini sangat terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Umurnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbi- umbian yang lain. Selain itu terdapat beberapa varietas yang memiliki kekhasan tersendiri dan dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Berdasarkan warma daging ubi, dapat dikelompokkan menjadi 4 yaituwama putih, merab/jingga, kuning, dan ungu. Saat ini di Balai Penelitian Kacang- kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) terdapat-tiga klon harapan yang daging ubinya berwarna ungu, yakni MSU 01022-12, MSU 03028-10, dan RIS 03063-05. Klon MSU 03028-10 memiliki kadar antosianin 560 mg/ 100 g ub, jauh lebih tinggi dari ubijalar ungu asal Jepang varietas Ayamurasaki dan Yamagawamurasakl yang berkadar antosianin kurang dari 300 mg/100 g. Ubijalar merupakan salah satu jenis komoditas pangan yang mampu mMenunjang program perbaikan gizi masyarakat. Nilai kalorinya cukup tinggi, yaitu 123 kalor/100 gram. Ubinya berkulittipis dan berkadar air tinggi sehingga perlu penanganan secara seksama selama proses panen, dan pengangkutan serta penyimpanan sebelum dimanfaatkan. Apabila kulit yang tipis tersebut rusak, maka akan mudah sekali mikroorganisme (bakteri, jamur, dil) masuk. ke dalam ubi, sehingga seluruh bagian ubi akan cepat rusak. Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah serealia dan umbi-umbian menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas dan tahan lama disimpan. Bentuk olahan tersebut berupa tepung, gaplek, tapai, keripik dan lainnya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah khususnya dalam mengatasi masalah kebutuhan bahan pangan, terutama nonberas. Produk olahan yang dapat diperoleh dari ubi segar di antaranya adalah tepung pati, keripik, selai, saus, sirup dan alkohol. Produk awetan dalam jumlah tertentu juga dapat menjadi substitusi dalam pengolahan tepung terigu. Selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengolah ubijalar secara tradisional yakni dengan menggoreng, merebus ataupun dikukus. Makanan ringan keripik singkong mungkin sudah sering kita jumpal, demikian juga keripik ubijalar dengan cita rasa yang tidak kalah dengan 250 industri Keripik dan Mode! Kemitraannya keripik lainnya. Kondisi ini membuat peluang usaha pembuatan dan penjualan keripik tersebut terbuka lebar. Dengan berbagai macam variasi model dan rasa keripik dan kemasan yang menarik, keripik ini dapat menembus pasar yang lebih luas. Dengan demikian peluang bisnis keripik ubijalar dapat menjadi potensial untuk dikembangkan. Bisnis keripik ubijalar bisa dimulal dengan proses pembuatan (memasak), proses pengemasan dan proses pemasaran. Biasanya keripik tersebut diproduksi oleh industri kecil rumah tangga, sehinga penetrasi pasar produk ini masih sangat terbatas, Akan tetapi dengan pembuatan dan pengemasan yang lebih baik bisnis usaha keripik ubijalar bisa mendatangkan keuntungan yang memadai. Permasalahan utama dalam usaha keripik ubijalar adalah mutu, pemasaran dan pengelolaan industrinya. Mutu keripik ubijalar mempengaruhi penerimaan konsumen dan harga produk keripiknya. Faktor yang mempengaruhi mutu keripik antara lain tingkat kerenyahan (tekstur) keripik. Ubi dengan kadar gula tinggi dan kadar pati rendah mengakibatkan tekstur keripik keras dan lembek. Faktor lainnya yang mempengaruhi mutu keripik adalah permukaan keripik, cita rasa keripik (bumbu basah/kering) dan kemasan (penyajian). Keripik dengan permukaan berminyak biasanya tidak dikehendaki oleh konsumen. Oleh karena itu, perbaikan telmologi pembuatan keripik ubijalar melalui Penerapan Cara Pengolahan yang Baik (Good Manufacturing Practices/ GMP), model agroindustri keripik dan bentuk kemitraannya serta analisis finansial produk keripik. TEKNOLOGI PEMBUATAN KERIPIK. Secara umum teknologi pembuatan keripik dibedakan menjadi dua yaitu teknologi pembuatan keripik di tingkat pengrajin dan di tingkat industri. Teknologi Pembuatan Keripik di Tingkat Pengrajin Teknologi pembuatan keripik yang dikembangkan di tingkat pengrajin masih sederhana dan belum ada standar produk, sehingga mutu produk seringkali berbeda-beda. Selain itu selama proses produksi keripik ubijalar juga belum_ diterapkan GMP (Good Manufacturing Practices/ Cara pengolahan yang baik), sehingga tidak ada jaminan mutu dan keamanan pangan. Tahapan proses pembuatan keripik yang dikembangkan di tingkat pengrajin secara umum adalah sebagai berikut: + Pemilihan ubi segar yang akan digunakan untuk keripik, yaitu dipilih ubi yang baru dipanen. Pencucian dan pengupasan untuk menghilangkan bagian bakal mata tunasnya. Perendaman ubi yang sudah dikupas dalam air untuk mencegah perubahan warna. Pengirisan ubi dengan ketebalan sekitar 1,5-2,5 mm agar lebih renyah. Perendaman dalam 10 liter air yang diberi 1 ons natrium metabisutfit untuk memperbaiki warna keripik dan menghilangkan rasa getir. Pencucian dan penirisan kemudian pengukusan selama 5 menit setelah air untuk mengukus mendidih dan dilanjutkan dengan penirisan. Pengeringan dengan cara dijemur di atas tampah. Irisan harus sering dibalik sebelum kering untuk mencegah supaya antar irisan tidak lengke'/menempel. Penggorengan irisan yang sudah kering. Irisan ubi yang dimasukkan ke dalam penggorengan jangan terlalu banyak dan api jangan terlalu besar. Keripik yang sudah digoreng biarkan beberapa lama sampai dingin, kemudian dikernas dalam kantong plastik, tutup rapat, dan simpan di tempat kering. Diagram alir pembuatan keripik di tingkat pengrajin disajikan pada Gambar 1. UBISEGAR. Pencucian + Pengupasan Pengirisan Pencucian Ditambah larutan atrium metabisuifit Perendaman Pancacian Penirisan Pengukusan Pengeringan Pengarergan Pembumt Vgula halus) KERIPIK Gambar 1. Diagram allr pembuatan keripik ubl jalar di tingkat pengrajin. 252 industri Keripik dan Mode! Kemitraannya Teknologi Pembuatan Keripik di Tingkat Industri Daya saing produk keripik dalam perdagangan bebas ditentukan oleh keunggulan, jaminan mutu dan keamanan (safety) produk bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Upaya untuk menghasilkan jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen harus menerapkan cara pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practices/GMP). Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan cara pengolahan yang baik adalah untuk meningkatkan daya saing produk, mutu produk secara konsisten, dan aman dikonsumsl, meningkatkan efisiensi usaha pembuatan keripik dan menciptakan unit pengolahan keripik yang ramah lingkungan. Ruang lingkup GMP keripik meliputi 13 unsur yaitu: lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, peralatan dan mesin produksi, bahan perakuan, proses penanganan hasil (penggilingan, shifting, packaging dan penyimpanan), pengemasan dan pelabelan, produk akhir, pengendalian hama dan penyakit pasca panen, tenaga kerja, pengangkutan dan distribusi, serta pengawasan dan pembinaan (Menkes 1978 dan Mentan 2010). Uraian dari ketiga belas unsur tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Lokasi Lokasi di mana bangunan atau tempat proses pengolahan keripik dilakukan harus memenuhi syarat: 1.1. Bebas Pencemaran: (a) bukan didaerah pembuangan sampah/kotoran cair maupun padat; (b) tidak tercemar oleh debu; (c) jauh dari tempat penumpukan barang-barang bekas;dan (d) lain-lain tempat yang sudah_ tercemar. 1.2, Pada tempat yang layak (baik): (a) tidak di tengah rawa; (b) tidak di tengah permukiman penduduk yang padat/ kumuh; (c). tidak di daerah yang drainasenya buruk; (d) tidak berdekatan dengan aktivitas lain yang mMmemungkinkan terjadinya interaksi yang buruk, misalnya dekat pompa bensin; dan (e) tidak jauh dari bahan baku produk, 1.3. Tersedia sarana dan prasana penunjang yang memadai misalnya jalan, akses pasar, sistem drainase dan lainnya. 2, Bangunan (Unit Prosessing) 2.1. Umum: (a) bangunan dianjurkan cukup kuat, aman, serta mudah dibersihkan; (b) luas bangunan dianjurkan sesuai dengan kapasitas produks//skala usaha, (c) kondisi sekeliling bangunan sangat dianjurkan agar bersth, tertata rapih, bebas hama dan hewan berbahaya dan (d) bangunan sangat dianjurkan untuk dirancang agar mencegah masuknya binatang pengerat, hama, dan serangga. Ubjatar = 253 2.2. Kondisi sekeliling bangunan : (a) bersih, tertata rapi, bebas hama/ hewan berbahaya; (b) sampah dan limbah (padat) ditempatkan pada tempat khusus, (c) bertutup; (d) rumput, perdu dan gulma dipotong rapi dan tidak manjadi tempat bersarangnya hama; (e) peralatan disimpan dengan baik; dan (f) jalan, taman dan tempat parkir bersih, rapi dan bebas dari potensi pencemaran/kontaminan dan berpenerangan cukup. 2.3. Drainase dan talang : lancar, bebas genangan, dilengkapi pencegahan hama dan kontaminan. . Sistem operasi dan penanganan sampah/limbah padat dan limbah cair harus terpisah dan menghindari peluang terjadinya pencemaran/ kontaminasi terhadap produk yang dihasilkan maupun terhadap peralatan dan bahan baku yang digunakan. 2.5. Tata Ruang: Ruang pokok tempat pengolahan (pabrik) dan ruang pelengkap harus terpisah dengan persyaratan: (a) luas: memadal, sesuai dengan: (1) kapasitas, jenis dan ukuran alat, (2) sistem produksi dan jumlah karyawan (space minimal 2x 2m per orang), dan (3) lorong dan ruang gerak pekerja cukup leluasa, sehingga bisa dicegah terjadinya kontaminas// pencemaran; (b) penataan ruangan (lay out) harus baik untuk mencegah terjadinya kesimpangsiuran dalam menjalankan proses produksi; (c) mampu melindungi produk yang diolah/disimpan dari cemaran; (d) efektif dan efisien dari segi waktu dan biaya; dan (e) penerangan yang memadai dan sehat. 2.6. Lantai: (a) harus rapat/kedap air, (b) keras dan padat, (c) tahan air, garam, asam dan basa serta bahan kimia lainnya, (d) permukaan: (1) rata dan mudah mengalirkan air pencucian/pembuangan;(2) halus dan tidak licin; (3) mudah dibersihkan; (4) menjamin bebas hama tikus, semut, kecoa, dan lainnya; dan (5) pertemuan lantai dan dinding tidak boleh bersudut mati (harus lengkung dan kedap air). Dinding: (a) minimal 20 cm di atas dan di bawah permukaan lantai, serta harus kedap air, (b) bagian dalam harus: (1) halus, rata, berwarna terang; (2) tidak mudah terkelupas; (3) tahan lama; (4) mudah dibersihkan dan disanitas!; (5) dua meter di atas lantai harus kedap air; (6) tahan air, garam, basa, asam dan bahan kimia lainnya, 2.8. Atap dan langit-langit a. Atap: (1) tahan lama, tahan alr, tidak retak dan tidak bocor (2) terbuat dari bahan yang tidak mudah melepaskan bagian- bagiannya, dan (3) minimum 3 m diatas lantai. b. _Langit-langit: (1) tidak berlubang maupun retak-retak, (2) tahan lama dan mudah dibersihkan (3) minimum 2,5 m diatas lantai dan disesuaikan dengan peralatan yang ada didalamnya, agar tidak kelihatan penuh sesak (4) permukaan langit-langit bagian dalam 2 > 27. g 254 Indust Kerlpik dan Mode! Kemitresnnya ruangan: halus, rata, berwama terang, tidak mudah mengelupas; bebas peluang tetesan kondensat/bocor. 29. Pintu: (a) dari bahan yang keras dan tahan lama, (b) permukaan halus, licin, rata, warna terang, mudah dibersthkan/didesinfeksi, (c) membuka ke arah luar, dan (d) mudah dibuka dan dapat ditutup dengan baik. 2.10. Jendela: (a) dari bahan yang kuat, keras, tahan lama, (b) permukaan halus, rata, terang, mudah dibersihkan/didesinfeksi, (c) luas harus sesuai dengan besar bangunan, (d) minimal 1 m dari permukaan lantai, dan (e) harus mencegah akumulasi debu, dilengkapi kasa pencegah serangga, tikus dan lain-lain yang mudah dibersihkan. 2.11. Penerangan ruang kerja: (a) cukup mendapat cahaya terang sesuai dengan keperluan, (b) sesual dengan persyaratan kesehatan, (c) lampu harus dilengkapi skreen, sehingga aman bila jatuh dan bebas serangga, dan (d) lampu yang dipasang di atas area prosessing tidak boleh merubah wama. 2.12, Ventilasi: (a) cukup nyaman dan menjamin peredaran udara dengan baik (b) dapat menghilangkan kondensat uap, asap, bau (odor), debu dan panas (c) udara yang mengalir tidak mencemari produk (d) lubang-lubang ventilasi harus dapat: (1) mencegah masuknya serangga/pests, (2) mencegah menumpuknya debu/kotoran, dan (3) mudah dibersihkan. 3. Fasilitas sanitasi: (a) sarana air bersih yang memadai, (b) fasilitas pencucian (c) sarana pembuangan, (d) sarana toilet (e) peringatan- peringatan kebersihan/saniter. 4, Gudang: (a) gudang/tempat penyimpanan bahan baku dan produk olahan harus bebas dari hewan dan serangga (b) sirkulasi udara pada gudang tempat penyimpanan harus baik (c) suhu dan kelembaban harus disesuaikan dengan kondis! penyimpanan yang baik bagi komoditas yang disimpan (d) harus dibersihkan secara periodik (sebelum dan sesudah barang masuk). 5. Mesindan peralatan 1. Mesin: (a) tata letak mesin-mesin yang digunakan harus diatur sesuai dengan proses yang mengalir dengan lancar, sejak bahan masuk, proses, pengemasan, pengepakan, penyimpanan sampai produk siap didistribusikan/dipasarkan (b) mesin-mesin yang digunakan harus dapat menjamin keselamatan dan kesehatan kerja karyawan serta tidak menimbulkan pencemaran dan kontaminasi pada produk yang dihasilkan. 2. Peralatan produksi dan sarana kerja lainnya: (a) alatyang digunakan harus memenuhipersyaratan teknis (tidak mudah rusak, terkelupas atau korosif, tahan lama) serta persyaratan higienis (mudah dibersihkan, tidak mencemari produk yang diolah), (b) permukaan Unjatr — 255 yang bersentuhan dengan makanan (meja, pisau, dan lainnya) harus halus dan rata, tidak berlubang, mengelupas, berkarat dan meyerap air, (c) tidak mencemari produk (fragmen logam, kayu, minyak pelumas, bahan bakar, dan lainnya), (d) wadah-wadah, bahan sampingan dan berbahaya hanus diberi tanda, berada pada tempat yang aman dan tidak mencemari produk/proses produksi, dan (e) tempat sampah harus dirancang dan ditempatkan pada tempat terpisah untuk mencegah kontaminasi. 6. Pemeliharaan bangunan dan sarana kerja: (a) meningkatkan efektifitas prosedur sanitasi untuk menghindarkan kontaminasi/ pencemaran kimiawi, biologis dan fisik (b) menjaga kondisi pabrik dan fasilitas/peralatan agar tetap berfungsi serta dalam keadaan balk (c) pembersihan pabrik harus menghilangkan sisa-sisa makanan dan kotoran guna mencegah terjadinya pencemaran dengan cara proses fisik seperti penyikatan/penyemprotan dengan air panas dan dingin, pengisapan vacum, proses kimia dengan deterjen, basa atau asam, gabungan proses kimia dan fisik. Pembersihan terutama untuk menghilangkan kotoran dari permukaan, melepaskan tanah dan lapisan bakteri (biofilm) menggunakan deterjen, membilas dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran dan sisa deterjen jika diperlukan disanitasi dengan larutan khlorin (100-250 mg/L) atau iodium (20-25 mg). Program pembersihan dan desinfektan harus menjamin kebersihan semua bagian dan peralatan pabrik. Mencegah serangan hama yang masuk ke dalam ruangan dengan cara penanganan sanitasi dengan baik, pengawasan/pemeriksaan bahan yang masuk ke pabrik dengan teliti, dan memantau atau mengurangi penggunaan pestisida yang mungkin mencemari makanan, menutup lubang-lubang/celah, menghindari adanya hewan peliharaan di dalam pabrik, sampah dan sisa-sisa kotoran harus dijaga kedap hama, dan bersih dari ruang pabrik. 7. Proses produksi 7.1. Penyiapan bahan + Bahanbaku: (a) menggunakan ubi segar dengan kadar gula rendah dan kadar pati tinggi (b) bebas dari cemaran hama/penyakit, pestisida, kotoran, dan cemaran lainnya (c) penanganan pencucian, pembersihan dan pemeliharaan saniter harus efektif (@) diproduksi dengan cara yang baik dan higienis serta berasal dari produk pertanian yang sehat. dan (e) memenuhipersyaratan mutu yang ditetapkan. 256. Industt Kei den Mode! Kemtraannys Penempatan bahan baku: (a) bahan baku untuk diproses harus dipisahkan tempatnya dengan bahan lain yang berbahaya (b) bahan baku harus disimpan sesuai kondisi yang diperiukan (c) penggunaan kode/pelabelan yang baik untuk menghindari kekeliruan yang menyebabkan ketidaksesualan produk dan mutu produk akhir. Penyediaan air: Air yang digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi baku mutu air yang dapat diminum. Adapun syarat air yang dapat diminum yaitu sebagai berikut: (a) bebas dari bakteri patogen (b) bebas kandungan bahan kimia berbahaya. i 7.2. Proses pengolahan dan pengirisan: (a) ubi dicuci, kemudian dikupas, (b) ubl yang telah dikupas, tapi tidak langsung diproses lebih lanjut harus direndam di dalam air, dan (c) ubi diiris tipis-tipis. Perendaman di dalamlarutan natrium bisulfit 0,03% selama 60 menit, atau kapur sirih 003% selama 30 menit, atau natrium pirrophosphat 0,3% selama 30 menit akan menghasilkan keripik goreng bermutu balk dan tidak mudah lembek (Setyono dan Thahir 1995). Pengirisan. Mesin pengiris multi komoditas dengan pisau berbentuk piring dan dipasang secara horizontal dapat digunakan untuk mengitis ubi segar dengan ketebalan 1 mm. Pemasakan ringan, (a) air dipanaskan sampai suhu 90°C, ke dalam air tersebut dimasukkan garam (10 gram garam untuk 1 liter air), (b) irisan ubi yang telah ditiriskan dimasukkan ke dalam air tersebut, dan diaduk secara perlahan, dan (c) setelah 1-2 menit, irisan ubi segera diangkat dan ditiriskan. Pengeringan. Irisan ubi dijemur, atau dikeringkan dengan alat pengering sampai cukup kering yang ditandal dengan mudahnya ubi patah jika diremas. Penggorengan pertama dilakukan dengan menggoreng irisan ubi didalam minyak panas (170°C) sampai kering. Pemberian bumbu. Pemberian bumbu dilakukan dengan cara kering atau cara basah. Pemberian cara kering dilakukan dengan cara menabur bumbu kering (rasa sesuai selera) pada keripik tersebut pada kondisi masih hangat. Sedangkan cara basah dilakukan dengan pemberian bumbu (gula atau garam) pada minyaknya. Caranya adalah sebagal berikut: Kedalam minyak agak panas (suhu 110°C) dimasukkan gula halus (50 gram gula untuk setiap | liter minyak), diaduk agar gula mencair. Setelah itu, keripik yang telah kering dimasukkan ke dalam minyak, diaduk dengan pelan, dan segera diangkat untuk ditiriskan dan didinginkan, serta dimasulkan ke dalam alat spiner untuk menghilangkan minyak. Upjater 257 + Pengemasan. Keripik matang harus disimpan pada wadah tertutup. Keripik dapat dikemas di dalam kantong plastik, atau kotak kaleng. Kemasan harus ditutup rapat sehingga tidak dapat dimasuki oleh uap air dan udara luar. Keripik yang sudah dikemas dengan kemasan yang baik, diberi label yang mencantumkan komposisi gizi sesuai dengan persyaratan label pangan dan keripik siap dipasarkan. Model tata letak alur proses pembuatan keripik serta sarana pendukungnya disajikan pada Gambar 2. 7.3, Pengemasan Tujuan pengemasan keripik adalah untuk melindungi produk keripik, memudahkan penanganan, distribusi, pemasaran, dan pemberian label/ branding. + Syarat-syarat pengemasan: (a) mampu melindungi produk keripik selama penanganan, transportasi dan penumpukan, (b) tidak mengandung bahan kimia, (c) memenuhi persyaratan pasar baik (bentuk, ukuran dan berat), (d) kekuatan pengepakan tidak mempengaruhi kelembaban, (e) mempermudah penjualan eceran,(f) kemudahan pembuangan, dan (g) dapat digunakan ulang/daur ulang. Keterangan: 1. Ruang display produk 7, Ruang penggorengan 2. Ruang Adminisirasi 8 Ruang pengemasan 3. Gudang bahan baku 9. Gudang produk 4. Ruang pengupasan 10, Laboratorium 5, Ruang pencucian 411. Ruang quality contro! 19g pengirisan & perendaman 12. Restroom Gambar 2, Model tala letak alur proses pembuatan keripik dan sarana pendukungnya. 258 —_Industa Keripik dan Mode! Kemitreannys 8 + Pemilihan jenis pengemasan: (a) memiliki daya lindung terhadap uap alr dan gas barier, (b) memiliki daya lindung terhadap sinar matahari, dan (c) tahan terhadap hama gudang dan bahan kimia. + Jeniskemasan yang digunakan pada keripik adalah kantong plastik (polietiten). Penyimpanan Penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan: Penyimpanan pada suhu kamar dapat mengunakan gudang penyimpanan dengan memisahkan bahan-bahan kimia lain yang berbahaya. Keamanan dankeselamatan kerja, serta pengelolaan dan pemantauan lingkungan a Keamanandankeselamatan kerja Beberapa pekerjaan yang menggunakan peralatan mengandung resiko kecelakaan. Untuk itu pencegahan kecelakaan untuk menjamin keselamatan kerja merupakan prosedur standar yang harus dipenuhi. Penggunaan masker, penutup kepala/rambut dan pelindung tubuh lainnya dalam melakukan proses pengolahan ‘wajib dilakukan. b. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan Kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan mencakup: (1). pengelolaan limbah (padat, cair, gas, asap, debu dan abu), (2) pengendalian gangguan terhadap lingkungan karena bunyi lalu lintas, transportasi, uap panas, pencemaran, dan gangguan lainnya, dan (3) pemantauan terhadap efektifitas sarana pengelolaan lingkungan dan kualitas lingkungan. . Kesehatan dan kebersihan pekerja Kesehatan dan kebersihan pekerja yang terlibat dalam pengolahan makanan sangat perlu mendapat perhatian untuk menjamin keamanan makanan di samping untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit melalui makanan. Pengawasan, pencatatan dan penelusuran ballk 11.1. Sistem pengawasan dan pencatatan + Pelakuusaha pengolahan hasil pertanian hendaknya melaksanakan sistem pengawasan secara internal baik pada penyiapan alat sampai pengolahan, guna mencegah dan mengendalikan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penerapan cara yang direkomendasikan sehingga mempengaruhi mutu hasil produk. Ubjeter 259 * — Hasil pengawasan ini didokumentasikan, dicatat dan disimpan dengan baik untuk menunjukkan bukti bahwa aktifitas produksi Sudah sesuai dengan ketentuan. + Instansi yang berwenang melaksanakan pengawasan hendaknya melakukan pengawasan baik pada tahap persiapan sarana dan prasarana pengolahan maupun proses pengolahan hasil terhadap penerapan pelaksanaan manajemen mutu + Usaha pengolahan diharuskan melaksanakan pencatatan (recording) terhadap segala aktifitas produksi yang dilakukan. 11.2. Penelusuran balik Semua produk yang dihasilkan harus dapat ditelusuri ke unit Ppengolahan hasil pertanian dimana produk tersebut dihasilkan. 12. Sertifikasi Maksud dan tujuan pemberian sertifikat kepada pelaku usaha yang telah menerapkan GMP sesuai dengan ketentuan di dalam pemberian sertifikat yang akan diatur tersendiri merupakan bagian dari sistem pembinaan dan penghargaan kepada pelaku usaha. 13. Pembinaan Pembinaan penerapan GMP dilaksanakan oleh Instansi Teknis Lingkup Pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupater/Kota. MODEL AGROINDUSTRI KERIPIK DAN KEMITRAAN Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari pembangunan sektor pertanian. Efek agroindustri mampu mentransformasikan produk primer ke produk olahan sekaligus butaya kerja bemilai tambah rendah menjadi budaya kerja industrial moder yang menciptakan nilai tambah tinggi (Suryana 2005). Pengembangan agroindustri di Indonesia menurut Simatupang dan Purwoto (1990) mencakup berbagai aspek diantaranya menciptakan nilai tambah, lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, memperbaiki pemerataan penerimaan pendapatan, bahkan mampu menarik pembangunan sektor pertanian sebagai sektor penyedia bahan baku. Pengembangan agroindustri keripik ubijalar sebaiknya membentuk suatu jaringan dan allansi antara berbagai industri dan lembaga yang menciptakan mata rantai. Di dalam mata rantai terdapat proses menciptakan pertambahan nilai dari suatu produk sebagai akibat adanya penambahan input tenaga kerja dan modal. Setidaknya ada tiga mata rantai yang telibat dalam agroindustri keripik ubijalar agar terjadi peningkatan nilai tambah. Bentuk mata rantai agroindustri yang dapat dikembangkan untuk keripik ubjjalar ditunjukkan pada Gambar 3. 260 Industri Keripik dan Mode! Kemitraannya industri Hulu: 1, Pemasok bahan baku 2. Penyedia bahan pembantu 3. Penyedia teknologi 4, Penyedia jasa Industri Utama: 1, Proses produksi utama 2. Perakitan 3. Pengemasan 4, Manajemen muta Industri Hii: 1. Penanganan lanjutan 2. Penyimpanan 3. Distribusi dan transportasi 5. Pemasaran Gambar 3. Bentuk mata rantal agroindustr! kerlplk. Mata rantal pertama melibatkan industri hulu (productivity enhancer) yang berperan sebagai pemasok bahan baku yaitu petani dan pedagang ubi segar. Pasokan bahan baku utama dilengkapi oleh suplai bahan pembantu seperti garam, gula, minyak goreng, dan bahan bakar dari satu atau lebih penyedia. Peran penyedia teknologi berupa peralatan pengupasan, pengiris ubi segar, dan penggorengan. Mata rantai kedua melibatkan industri utama/inti yaitu industr! pengolahan keripik itu sendiri. Pelaku utamanya adalah pengusaha yang didukung oleh modal, manajemen dan seluruh tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi. Pengusaha keripik perlu melakukan rancangan awal produksi yang selalu disempurnakan melalui desain produk, perbaikan mutu produk, perakitan teknologi dan keterampilan tenaga kerja. Mata rantai ketiga melibatkan industri hilir (value adding activity) yang berperan dalam proses lanjutan seperti sortasi, pengemasan, penyimpanan, distribusi, transportasi, dan pemasaran. Kesinambungan suatu industri sangat ditentukan oleh pasokar/ ketersediaan bahan baku secara berkelanjutan dalam jumlah dan waktu yang sesuai (Anonimous, 2005). Begitu juga halnya dengan industri keripik ubljalar yang membutuhkan jaminan kepastian pasokan bahan baku berupa Uoijeler = 261 ubi segar agar dapat berproduksi secara berkelanjutan. Selain jaminan kepastian pasokan bahan baku, kesinambungan industri keripik juga ditentukan oleh keberhasilan pemasaran produk yang didukung penuh oleh pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu perlu dibangun suatu bentuk kemitraan dengan pihak-pihak terkait. Berikut ini adalah salah satu model kemitraan agribisnis yang dapat dikembangkan untuk industri keripik ubijalar (Gambar 4). Dalam model kemitraan tersebut, petani berperan sebagai penyedia bahan baku berupa ubi segar dengan varietas dan jumlah yang telah ditentukan oleh industri keripik ubi jalar sesual dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kemitraan dengan lembaga keuangan berupa perbankan dan lembaga keuangan mikro dilakukan mengingat ketersediaan pembiayaan/modal Lembaga keuangan : + Perbankan + Lembaga Keuangan Mikro Infra Struktur Gambar 4. Model kemitraan agribisnis keriplk ubijalar. 262 Indust Kerpik dan Mode! Kemitraannya merupakan salah satu akselerator bagi keberhasilan pengembangan usaha balk di tingkat hulu (petani sebagai penyedia bahan baku), industri utama (industri keripik) maupun tingkat hilir (lembaga pemasaran produk). Pemerintah dalam hal inl Dinas Pertanian dan Dinas lainnya yang terkait seperti Dinas Koperasi dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan diharapkan dalam pembinaan yang bersifat terintegrasi, berperan sebagai mediator, konsultan, dan fasilitator untuk membangun kemitraan agribisnis keripik ubijalar yang berdaya saing dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KERIPIK Analisis kelayakan finansial adalah penilaian atas suatu usaha yang didasarkan pada apakah usaha tersebut nantinya secara finansial menguntungkan atau tidak. Dengan diketahui layak atau tidaknya usaha tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan dan perencanaan usaha di masa mendatang. Analisis finansial usaha keripik ubijalar ini dilakukan dengan mengkaji beberapaaspek, yaltu proses produks! keripik, perkiraan kapasitas produksi, perkiraan biaya tetap dan biaya variabel, rendemen produk, dan penentuan harga produk, sehingga dapat ditentukan Jumlah total pendapatan (keuntungan) dan penerimaannya. Harga Jual produk ditentukan dengan menambahkan keuntungan yang Ingin diperoleh terhadap harga dasar dengan tetap mempertimbangkan harga pasar, sehingga produk dapat bersaing dengan produk sejenis dan dapat diterima oleh pasar. Kriteria dalam analisis finansial yang umum digunakan adalah “Break Even Point (BEP)", “Profit Rate", “Net Present Value (NPV)", “Benefit Cost Ratio (B/C)", dan “Internal rate of Return (IRR)" (Emery et al. 1962). Untuk. usaha keripik ubijalar kriteria penilaian kelayakan finansial yang digunakan adalah Benefit Cost Ratio (B/C ratio) dan Return Cost Ratio (R/C ratio). Benefit Cost Ratio (B/C ratio) diperoleh dengan membandingkan total pendapatan yang diterima dengan total biaya yang dikeluarkan, Jika B/C ratio lebih besar dari | maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan atau layak untuk dikembangkan dan sebaliknya (Zulkamaen 1993). Untuk nilai R/C ratio diperoleh dengan membandingkan jumiah penerimaan total terhadap total biaya yang dikeluarkan untuk produksi. Dalam perhitungan analisis finansial ini menggunakan beberapa asumsi yaitu kapasitas produksi, misalnya 100 kg/hari, rendemen 35%, harga ubi segar bervariasi tergantung jenis ubi berkisar antara Rp 700 sampal Rp 1.300 per kg dan harga produk keripik Rp 20.000/kg. Uojaler = 263. Hasil perhitungan analisis finanstal pada harga ubi segar antara Rp 700 sampai Rp 900 per kg menunjukkan nilai B/C rasio 1,13dan 1,01. Berdasarkan nilai B/C rasio yang lebih besar dari 1 mengindikasikan bahwa usaha keripik ubijalar layak untuk dikembangkan. Tetapi pada kisaran harga ubi segar lebih dari Rp 1.000/kg, nilai B/C rasio kurang dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha keripik ubijalar tidak layak untuk dikembangkan kecuali harga produk keripik bisa lebih dari Rp 21.000/kg dengan asumsi bahan pembantu dan biaya lainnya tidak mengalami perubahan (Tabel 1). Pada saat panen raya ketika harga bahan baku mencapai Rp 500 sampai Rp 600/kg usaha keripik ubijalar sangat layak untuk dikembangkan karena dengan diolah menjadi keripik selain meningkatkan nilai tambah juga memperpanjang daya simpan ubi segar. Tabel 1. Analisis kelayakan finansial keripik ubi jalar Kisaran harga ubi jalar (Rp/kg) 700 900 1.000 1.300 No. Uraian ‘Asumsi kapasitas produks! 100 kg bahan baku 1 Biaya tetap + Listrik 15.000 15.000 15.000 15.000 + Air 20.000 20.000 20.000 20.000 Total blaya tetap 35.000 35.000 35.000 38,000 Biaya tidak tetap (biaya variabel) -Harga bahan baku (100kg) 70.000 © 90.000 100.000 ‘130.000 -Upah kupas dan cuci (HOK) 40.000 «40.000 40.000 50.000 - Upah merajang (HOK) 40.000 40.000 =» 40.000 $0.00 = Upah menggoreng (HOK) 40.000 40.000 += 40.000» 40.000 3° Bahan pembantu + Minyak goreng $0.000 0.000 50.000 50.000 -Bumbu 10.000 10.000 10.000 10.000 - Bahan tambahan pangan 5.000 5.000 5.000 5.000 - Kantong plastik 8.000 8.000 8.000 8.000 = Bahan bakar (elpiji) 30.000 30.000 © 30,000 30.000 ‘Total blaya variabel 293.000 313.000 323.000 373.000 TOTAL BIAYA 328.000 348.000 358.000 408.000 4 Asums! rendemen 35% 35 kg 35 kg 35 kg 35 kg Harga jual produk (Rp/kg) 20.000 20.000 = 20.000 20.000 Penerimaan 700.000 700.000 700.000 700.000 Pendapatan 372.000 352.000 342.000 292.000 5 BiCratlo 1413 101 0,96 0,72 6 RCratlo 213 2,01 1,96 172 264 © Industrt Kerik dan Mode! Kemtreanaya STANDAR MUTU KERIPIK UBJJALAR Produksi keripik ubijalar secara komersial sewajarnya diikuti dengan adanya jaminan mutu dan keamanan produk. Hal ini selain diperlukan untuk memberikan kepercayaan bagi konsumen, juga dibutuhkan produsen untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, dengan demikian konsumen akan memperoleh mutu sesual dengan daya belinya dan produsen akan mendapat harga sesuai dengan produknya. Untuk produk keripik ubijalar, standar mutu yang dapat digunakan sebagal acuan adalah standar SNI 01-4306-1996. Dalam SNI tersebut dijelaskan beberapa persyaratan mutu fisik, kimia, bahan tambahan makanan, cemaran logam dan cemaran mikroba. Secara lengkap syarat mutu keripik ubijalar SNI 01-4306-1996 disajlkan pada Tabel 2, Darl Tabel 2 terlihat bahwa parameter fisik seperti bau, rasa, warna dan tekstur menjadi syarat mutu untuk produk keripik ubijalar dengan kriteria uji harus normal dan rasa khasnya. Parameter-parameter fisik tersebut merupakan parameter yang paling mudah ditentukan tetap! sangat Tabel 2. Syarat mutu keripik ubijalar (SNI 01-4306-1996). Kriterta ut Satuan Persyaratan Keadaan : Bau . Normal Rasa . Khas Warna : Normal Tekstur : Renyah Keutuhan bb min.80 Air % bb maks. 5,0 ‘Abu % bb maks. 2,0 ‘Asam lemak bebas bd maks. 1,0 (qihitung sebagai asam laurat) Bahan tambahan makanen Pewarna : Sesual dengan SNI 01-0222-1995 ddan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes Per/IX/88 Pemanis buatan : tidak boleh ada Cemaren logam ‘Timbal (Pb) me/kg maks, 1,0 ‘Tembaga (Cu) makg maks. 10,0 Seng (Zn) mokg, maks. 40,0 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05 Arsen (As) mg/kg maks. 0S Cemaran mikroba: ‘Angka Lempeng Total kolonyg ——maks. 10¢ E, Coll : Negative Kapang kolontixg —_maks 10 mempengaruhi penerimaan konsumen karena merupakan parameter mutu bahan pangan yang umumnya dipertimbangkan konsumen sebelum parameter lainnya seperti nilai gizi, dan lain-lain. Bila secara fisik kurang cocok dengan selera atau menyimpang dari keadaan normal, konsumen bisa menolaknya meskipun faktor-faktor lainnya normal. Parameter kimia seperti kadar air, abu dan asam lemak bebas dalam SNI tersebut toleransinya sangat kecil yaitu berturut-turut 5%, 2%, dan 19. Hal ini karena parameter-parameter tersebut selain mempengaruhi mutu juga daya simpan keripik ubijalar. Kadar air dan asam lemak bebas tinggi akan mempercepat terjadinya ketengikan (off flavor). Untuk keamanan produk, dalam SNI tersebut juga diatur mengenai kriteria uji untuk bahan tambahan makanan (pewarna, pemanis buatan), cemaran logam dan cemaran bakteri. Pemanis buatan dan cemaran E. coli merupakan dua di antara kriteria uji lainnya yang sama sekali tidak boleh ada (negatif) dalam produk keripik. Untuk memenuhi persyaratan- persyaratan tersebut, dapat dilakukan dengan penerapan good manufacturing practice (GMP) dalam proses pembuatan keripik ubijalar. Berdasarkan uralan di atas dapat disimpulkan bahwa: + Teknologi pembuatan keripik ubijalar di tingkat pengrajin belum menerapkan GMP, sehingga jaminan mutu dan daya saingnya lemah. + Penerapan GMP pada industri keripik skala kecil dan menengah dapat menghasilkan keripik ubijalar dengan jaminan mutu dan keamanan produk sehingga mampu berdaya saing di pasaran bebas. + Penerapan tiga mata rantai (industri hulu, industri utama dan industri hilir) yang telibat dalam model agroindustri keripik ubijalar dapat menjamin peningkatan nilai tambah, * Usaha keripik ubijalar layak dikembangkan apabila harga bahan baku di Pasaran di bawah Rp 1.000/kg yang umumnya terjadi pada panen raya. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2005, Prospek dan arah pengembangan agribisnis: Dukungan Aspek Teknologi Pascapanen. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Emery, N.C., H.B. Manning, and J.S. Frederick. 1962. Farm business management. 2nd Edition The MacMillan Co., New York. Hasbullah. 2010. Teknologi tepat guna agroindustri kecil Sumatera Barat. Majalah Koperasi Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri ‘Sumatera Barat. 266 Industri Keripik dan Model Kemitraannya Menkes. 1978, Kepmenkes RI: No. 23/Men.Kes/SK/I/1978 tentang Pedoman cara produksi yang baik untuk makanan. Depkes. Jakarta. Mentan. 2008. Permentan No. 35/Permentan/OT. 140/7/2008 tentang Persyaratan dan penerapan cara pengolahan hasil pertanian asal pertumbuhan yang balk (Good Manufacturing Practices). Deptan. Jakarta. Mentan. 2009. Permentan No. 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman penanganan pascapanen hasil pertanian asa! tanaman yang balk (Good Handling Practices), Deptan. Jakarta. Mentan. 2010. Permentan No. 20/permentar/OT. 1 40/2/2010 tentang Sistem jaminan mutu pangan hasil pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Radiyati, T. et al. Kerupuk keripik, Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan LIPI, 1990. p.9-14. Setyono, A. dan R. Thahir. 1995. Perbaikan mutu keripik ubljalar goreng melalui proses perendaman dalam larutan natrium pirofosfat. Dalam: Seminar Tahunan Perkembangan Penelitian Pertanian. JICA-IPB, Bogor 13-14 Maret 1995. Simatupang, P. dan Purwoto. 1990. Pengembangan agroindustri sebagai penggerak pembangunan desa. Dalam: Simatupang, Pp, E. Pasandaran, F. Kasryno, dan A. Zulham (Penyunting). Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor, p.1-20, Suryana, A. 2005. Arah, strategi dan program pembangunan pertanian 2005- 2009, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Zulkamnain, D. 1993. Perencanaan dan analisa proyek. Edis! ke- 2. Universitas Indonesia, Jakarta. Bab Lima Pangan dan Pakan Ubijalar mengandung karbohidrat, gula, protein, lemak, antioksidan, vitamin, dan mineral. Sebagal pangan fungsional, ubijalar dan produk tunmannya dapat memenuhi kebututian gizi untuk hidup schat dan produktif, vaitu zat ‘gli makro yang setara dengan beras (kecuali protein) sebagal sumber kalon, zat gizi rnikro dan senyawa lain sepert) patl dengan daya coma rendab, guila dengan inceks glikemikrendah, kadar, sevat pangan, dan protein (sopramin: Adan 8) tinggi (enol dan antosianin, vitamin (A, B,C, E) dan mineral (Ca, F. Mg, Na, K, Fe) sehingge dapat mendukung pertumbuhan mempertahankar sel clan jaringan seria pengaturan proses blokimiawi secara proprosional. Senvawa-senyawa tersebut dapat berlungs! sebagai bioactive compound, neutracivitical foods dan green chemical. Penggunaan ubi segardan produk turunannya berperan penting dalam diversifikas| pangan yang memeriukan keselarasan antara produksi dan. permintaan. Tepung kompasit yang terdir alas tepung ubi dan lepung aneka kacang berkadar lemak rendah memiliid giei makro dan mikro yang tinggi dan proporsional, sehingga perha dikembangkar melalui industri berbasis ubijalar. Biomasa ubjjalar (ulil dan hijauan) berpotens! pula dikembangkan sebagai-pakati ternak monogastik dan ruminansia. Salah satu faktor pendorong keberhasilan pengembangan ubljalar sebagai pakan ternal adalah pranata budaya regional, Penggunaan ubldan hijauan berdasarkan formula yang telah disusun, balk langsung maupun melalul proses pengolahan. Sebagal pakan temak, ubjjalar mempunyal keunggulantekels maupun ekonomis. Secara teknis, ubijalar menghasilkan hijauan segar 25-35 vha Penggunaan hijauan sebagal pakan dapat meningkathan bobot badan jermak dan. kualitas Karkas. Secara finansial, pengembangan usahatani integras! ubijalar dan penggemukan temak. ruminansia nvenguntungkan dan layak dikembangkan. Limbat panen ubljalar (hijauan) dapat mendukung keiersedisan pakan daniimbah ternak (pupuk kandang) dapit memperbalkl fistk dan kimia tanah, Komposisi Kimia J.S. Utomo dan E. Ginting PENDAHULUAN Ubijalar (Ipomoea batatas Lam.) merupakan bahan pangan penting yang dibudidayakan lebih dari 100 negara di dunia. Khusus untuk negara-negara sedang berkembang, ubijalar berada di urutan kelima setelah padi, gandum, jagung dan kentang (FAO 1987 dalam Woolfe 1992). Adaptas! ubljalar yang sesuai dengan iklim tropis dan nilal gizinya yang cukup balk, membuat komoditas ini menarik untuk dikembangkan sebagai bahan pangan, bahan pakan, dan bahan baku beragam industri pangan dan nonpangan. Baglan tanaman ubijalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah ubi, pucuk batang dan daun. Ubi dalam bentuk segar dan produk antara (tepung, pati) dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok atau selingan (snacks) atau minuman, sedangkan pucuk dan daunnya untuk sayuran. Ubi dan brangkasan (batang dan daun) juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Konsums/ ubijalar sebagai makanan pokok masih dijumpai di daerah Cilawu (Jawa Barat), Papua Nugini, Papua, Hawaii, Kepulauan Solomon, ‘Tonga, Kaledonia Baru, Afrika Barat, Tengah dan Timur serta menjadi sumber energi penting bag! penduduk Okinawa di Pulau Ryukyu, Jepang. Penduduk Taiwan, Korea, Jepang, dan Afrika juga dilaporkan sebagai pengonsumsi daun ubijalar, baik dalam bentuk sayuran maupun teh. Komponen utama ubi adalah karbohidrat, sehingga cukup potensial sebagai sumber energi, Selain itu, ubl Juga merupakan sumber provitamin A dan vitamin C, mineral, serat, dan protein (Picha 1985a). Tidak kalah pentingnya, daun ubijalar juga potensial sebagal sumber protein, serat, dan polifenol yang bermanfaat bagi kesehatan (Ishiguro ef al. 2004). Produksi global ubijalaryang berjalan statis dan menurunnya permintaan ubljalar selama empat dekade terakhir akibat terjadinya perubahan pola konsums! masyarakat ke sumber pangan berbas!s sereal (beras dan terigu) dan kurangnya pemahaman mengenal nilai gizi dan teknologi pemanfaatan ubijalar. Oleh karena itu, upaya peningkatan konsumsi ubijalar sebalknya difokuskan pada aspek keunggulan nilai gizi dan perbalkan kualitas produk olahannya melalui diversifikasl. Komposis! kimia seperti senyawa beta karoten, antosianin, polifenol, dan serat pangan pada ubijalar yang dapat berfungsi sebagal pangan fungsional juga perlu disosialisasikan untuk meningkatkan cltra ubijalar sebagai bahan pangan sehat, unjeter = 271 KOMPOSISI KIMIA UBI Ubi dan pucuk/daun merupakan bagian tanaman ubijalar yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan. Komposisi kimia ubi ubijalar yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, mineral, serat, vitamin, pigmen wama sangat bervariasi, tergantung pada faktor jenis/genetis dan lingkungan tumbuhnya, Variasi tersebut di antaranya adalah kandungan pati, protein, serat dan abunya masing-masing sebesar 10,3-38,71%, 0,18-5,53%, 1,77- 5,49% dan 2,46-5,69% (Saad 1996), kandungan pati sebesar 20,1%, gula 2,38%, protein 1,43%, serat 1,64%, dan abu 0,74% pada 164 varietas (Bradbury and Holloway 1988a). Ubi juga mengandung karotenoid, yang merupakan prekusor vitamin A pada ubl yang dagingnya berwama kuning/orange serta antosianin pada ubi yang berwama ungu. Secara umum, komposisi kimia tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Istilah ub! putih, kuning, ungu dan sebagainya untuk menggantikan ubi yang dagingnya berwama putih, kuning, dan ungu. Kadar Air Seperti halnya aneka ubi dan umbi lain, ubijalar memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu. bervariasi dari 63,4%-73,3% (Antarlina 1997). Ubijalar dengan daging ubi berwama kuning/orange berkadar air tinggi (>73%6) ‘Tabel 1. Komposisi kimia ubi dan daun tlap 100 gram bahan edibel. Ubi dan wama dagingnya Kandungan gizi a Daun Puth —-Meralvorange —_Kuning Energi (kal) 123,00 123,00 136,00 47,00 Protein (g) 1,80 1,80 1,10 2,80 Lemak (g) 070 0,70 0,40 040 Karbohidravpati (g) 27,90 27,90 32,30 10,40 Serat (g) - . 0,70 . ‘Abu (g) . - 120 : Air (@) 68,50 68,50 68,50 84,70 Kalsium (mg) 30,00 30,00 37,00 . Fosfor (mg) 49,00 49,00 52,00 66,00 Natrium (mg) : . 5,00 - Kallum (g) : - 393,00 - Niacin : - 0,60 : Vitamin A (IU) 60,00 7.700,00 900,00 6.105,00 Vitamin B1 (mg) 0,90 0,90 0,10 0,12 ‘Vitamnin B2 (mg) : - 0,04 - ‘Vitamin C (mg) 22,00 22,00 35,00 22,00 + Tidak ada data ‘Sumber: Depkes RI (1981) dalam Ditjen Bina Produks! Tanaman Pangan (2002). 272 — Komposisikimio dan a ‘ungu berkadar air sedikit lebih rendah (<66%) (Tabel 2 dan 3). Berdasarkan tekstur setelah dimasak/direbus, dapat digolongkan menjadi ubi bertekstur kering, (kadar air < 60%) dan terasa kering seperti bertepung (firm-dry) bila dimakan, dan yang kadar almya lebih dari 70% tergolong basah dan teksturnya lunak (soft, gelatinous). Kelompok ini didorninasi oleh ubi yang dagingnya berwarna jingga. Walaupun kelompok ini cenderung manis, namun kurang disukai konsumen untuk produk ubi kukus/rebus maupun ubi goreng. Kelompok ini lebih sesual untuk produk olahan, seperti saos dan selai. Kelompok bertekstur kasar (coarse) cocok untuk bahan baku industri atau pakan termak (Onwueme 1978). abel 2. Komposisi kimia delapan klon ubljalar yang daging ubinya berwarna kuning/ Jingga. Kadar Kadar = Kadar_-—sKadar_—Kadar_~—-Kadar beta Klon ubijalar air bahan = abu serat_ gula reduksikaroten (%) ering (%6) (bk) (bk) —(% BK) (mg/100 g bb) MSU 01015-7 79,28 21,49 5,28 4,04 8,18 12.031 MSU 01035-5 78,14 22,81 4,32 3,56 3,76 2.645 MIS 559-3 76,10 23,74 «3,90 3,12 717 292 MSU 01035-2 72,51 29,17 3,70 2,22 3,42 1.492 AC Merah 79,28 © 21,71 4,27 3,73 5,72 4.458 MSU 01015-6 79,14 22,37 3,77 3,52 3,51 7.207 MIS 943-1 8097 © 22,17 4,03 3,53 4,29 3.997 MSU 990623 72,41 28,13 2,86 3,55 5,00 4.629 bk =basis kering, bb = basis basah Sumber: Ginting e¢ af., 2008. Tabel 3. Komposisi kimia delapan klon ubljalar yang daging ubinya berwarna ungu. Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Klon ubjjalar air = stbahan abu —seral_gulareduksi_antosianin (%) —kering (9%) (%bk) (bk) (bk) (mg/100 g bb) ci Ayamurasaki 69,48 30,71 3,41 2,46 3,27 281,90 JP 23 68,52 30,25 3,78 2,85 2,42 503,24 JP 46 77,68 = 24,74 3,60 3,09 5,32 197,26 MSU 03007-82 70,55 30,61 347 2,96 1,66 147,99 MSU 01022-12 68,62 32,00 3,41 2,29 1,73 33,89 MSU 01015-02 62,64 36,44 3,20 193 1,50 64,01 MSU 01008-16 68,98 33,18 3,16 2,16 415 8,68 MSU 0115105 65,47 34,72 3,11 2,13 2,63 23,90 bk =basis kering, bb = basis basah Sumber: Ginting ef al., 2006. Ubijar §— 273. Bahan Kering Bahan Kering ubi sekitar 30% dari bobot basah dan 80-90% penyusunnya adalah karbohidrat. Kadar bahan kering tersebut sangat bervariasi tergantung varietas, lokasi, musim, jenis tanah, cara budidaya dan tingkat serangan hama dan penyakit (Bradbury dan Holloway 1988 dalamn Woolfe 1992), yaitu berkisar antara 13,6-35,1%, 22,9-48,2%, 22,3-36,6% masing- masing di Taiwan, Brasil, dan Indonesia (Cereda et al. 1982. dalam Woolfe 1992, Antarlina 1997). Kadar bahan kering berkorelasi negatif dengan kadar air ubi, sehingga dapat digunakan sebagai penduga kadar pati karena kadar bahan kering berkorelasi positif dengan kadar pati ubi segar (r = 0,93) untuk beberapa varietas dari Indonesia dan Taiwan (Antarlina 1997, Woolfe, 1992). Kadar Pati Rata-rata kadar pati ubi segar (dalam basis basah) 18-20%, namun variasinya sangat besar terutama dipengaruhi oleh faktor genetisnya. Ubi segar yang dikoleksi dari beberapa negara seperti Kepulauan Solomon memiliki kadar pati 17,7-23,4% (Bradbury dan Holloway1988a), India 11,0-25,5%, Taiwan 7- 22,2%, dan Tahiland 4,1-26,7% (Woolfe 1992). Kadar pati basis kering, klon asal Brasil sebesar 42,6-78,7% dan 32,2-72,9% yang berasal dari Filipinadan Amerika (Truong ef al. 1986) serta sebesar 52,8-53,8%. dan 48,1-60,3% masing-masing berasal dari Malaysia dan Indonesia (Utomo 2005, Antarlina 1997), Ubi dengan kadar pati tinggi sesuai untuk bahan baku industri pati. Beberapa industri pati di Indonesia dan Thailand rendemen patinya sebesar 14,5% dan 12,7% (Ginting et al. 2005, Maneepun et al. 1992). Granula pati ubijalar umumnya tergolong tipe A, yang dicirikan oleh difraksi sinar-X spektra, tipe C untuk kelompok yang daging ubinya berwama jingga dan tipe CA (antara tipe C dan A) untuk kelompok yang daging ubinya berwama ungu (Noda et al. 1996). Granula pati ubijalar berbentuk oval, bundar, poligonal atau lonceng dengan pusat hylum. Menurut Madamba et al, (1975) dalam Woolfe (1992), ukuran granula pati dalam satu varietas ubijalar dapat berkisar antara 7-43 ym dan rata-rata antar varietas 12,3-21,5 um. Granula pati dari empat varietas ubijalar asal Indonesia berbentuk bulat dan poligonal dengan ukuran rata-rata 10 um (Gambar 1). Suganuma dan. Kitahara (1998) melaporkan bentuk granuta yang sama dengan ukuran diameter sedikit lebih besar (11,1-19,4 um). Pati dengan ukuran granula kecil, memiliki kemampuan menyerap air lebih baik dan lebih mudah dicema oleh enzim. Hal ini, terutama penting pada pembuatan gula cair (glukosa, fruktosa, dekstrin) dari pati. Demikian 274 = Komposisi Kimia Cambor 1. Beaguk don/ukasran grinuta pall ubijalar pada perbesneatt 1000 4. varietas Suiuty: & varies San €. verletas Pakhong. d. varietas Ayaniurasakt Surber: Ginting af of (2004). puta untuk pembuatan sohun, pat] dengan ukuran grant kecll lebth disukal karena dapat meningkatkan penyerapan.air dan kekuatan sohun sebelum dimasak, sehingga tidak mudah patah/rapuh (Lee ef al. 1987 dalam Plyachornkwan e! al. 2004), Selainitu, granula pati yang ukurannya kecil(< 10 ym) dan relatif samo dengan globula lemak, potensial digunakansebagal penggant! lernak (fatreplacer) dalam industri makanan (BIOTEC 2003 datam Ginting eral. 2005). ‘Samia dengan jenis pati lainnya, amilosa dan amibopektin merupakan komporen utama penyusun pati ubljalar dengan perbandingan 1:3 atau Jal, Kandungan amilosa pat! ubjjatar asal Amerika Sertkat, Filipina, Korea, Puetto Rico, Malaysia, Thailand, dan Indonesia masing berkisar antara 17,5- TBM, 19,2-28,8%), 11,3-30,5%, dan 29.5-36,9% bk (Madamba eral, 1975, Shin and Abn 1983, Martin and Deshpande 1985, keliganva dalam Woolle 1992, Utomo ef.at, 2005, Maneepurer af. 1992, Ginting et al, 2005, Santosa et al. 1907, Utomo dan Antarlina 1997, Suryardl 2008). Perbedaan tersebut dapal Leveur | 275 dipengaruhl oleh varietas, urnur panen, kondist iklim dan jenis tanah yang berbeda. Pati ubijalar dengan kadar amilosa rendah dan amilopektin tinggi awalnya dinyatakan sebagai penyebab terbentuknya rasa berair dan tekstur lengkeV/lekat pada ubjjalar yang dipanggang, namun hasil penelitian selanjutnya tidak ditemukan adanya korelasi antara rasa berair dengan kadar amilopektin (Swingle 1966 dalam Woolfe 1992). Kadar amilosa menentukan tingkat nilai penyerapan air (NPA) pati, makin tinggi amilosa akan makin tinggi pula kemampuannya menyerap air (Matz 1959 dalam Widowatiet al. 1997). Namun selain itu, perbandingan kadar amilosa/amilopektin, ukuran. dan bentuk granula juga berpengaruh terhadap kemampuan pati dalam menyerap air (van Beynum and Roels 1985 dalam Widowati et al. 1997) yang selanjutnya turut menentukan pola gelatinisasi pati (suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas balik). Suhu gelatinisasi pati ubijalar dilaporkan berkisar antara 58-88,5°C (Lee and Chang 1978 dalam Woolfe 1992, Madamba et al. 1975 dalam Woolfe 1992, Shin and Ahn1983, Utomo dan Antarlina 1997, Suganuma and Kitahara 1998, Ishiguro and Yamakawa 2000, Piyachomkwan et al. 2004, dan Ginting et al, 2005). Viskositas puncak (saat granula pecah setelah mengalami gelatinisasi) juga bervariasi antara 1050-1420 BU (Tabel 4), sedangkan Santosa et al. (1997), Utomo dan Antarlina (1997), Suganuma and Kitahara (1998), Suryant (2001), dan Suismono (2001) melaporkan viskositas puncak yang relatif lebih rendah, antara 450-860 BU. Perbedaan suhu gelatinisasi dan viskositas puncak tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan varietas, terutama kadar amilosa pati, di samping umur fisiologis tanaman ubijalamya (Noda et al. 1996). Kadar amilosa pati menentukan sifat gel yang terbentuk. Pati dengan kadar amilosa tinggi, jika dibuat pasta akan bersifat keras dan membentuk gel yang kokoh serta tetap utuh setelah dingin karena retrogradasi ‘Tabel 4, Sifat amilografi pati dari empat varietas ubijalar. Gelatinisasi Granula pecah Viskositas Varletas _ Suhu Waktu = Suhu—Viskositas_Dingin Balik (ment) _(@C)_ (ment) —(C)_puncak (BU) (BU) _(BU) ‘Sukuh 39 88,5 69 133,5 1100 820 280 Sari 30 75 al 915 1420 1120 + 300 Pakhong 21 61,5 25 67,5 1050 1050 0 Ayamurasaki 29 73,5 39 88,5 1350 1140-260 BU = Brabender unit. ‘Sumber: Ginting ef al. (2005). 276 © Komposisikimia berlangsung cepat (Suryan! 2001). Sifat ini dapat diamati dari viskositas balik yang menunjukkan kemampuan molekul pati berikatan kembali (retrogradasi) pada saat pendinginan setelah mengalami gelatinisasi (Munarso dan Jumali 1998 dalam Ginting et al. 2005) yang nilainya bervariasi antar varietas ubijalar (Tabel 4). Kemampuan retrogradasi pati ubljalar temyata lebih lambat dibanding beberapa jenis pati lainnya (del Rosario and Pontiveros 1983 dalam Woolfe 1992) dan inl tampaknya dapat menjelaskan mengapa roti yang diolah dari bahan yang disubstitusi dengan ubjjalar lebth lambat menjadi keras dibanding dengan roti yang berasal dari 100% terigu. Rendahnya kemampuan retrogradasi ini juga dapat dilihat dari konsistens! gel pat! ubijalar dalam kondis! dingin yang tergolong lunak (Ginting et al. 2005). Hasil yang sama juga diperoleh oleh Utomo dan Aniarlina (1997) untuk pati ubijalar, garut, ganyong dan suweg. Perbedaan perilaku gelatinisasi pati tersebut akan menentukan sifat fungsional pati dan kesesuaiannya untuk diolah menjadi produk dengan kriteria tertentu. Sebagai contoh, produk sohun memerlukan bahan baku pati dengan kadar amilosa pati tinggi karena menghendaki viskositas dan stabilitas gel yang tinggi, tidak banyak padatan yang terlarut pada saat pemasakan dan tidak mudah hancur setelah dingin (Collado and Corke 1997). Sementara untuk produk-produk saus, selal, bahan pengental, dan perekat, memerlukan viskositas tinggi pada pemanasan dengan suhu dan waktu yang relatif pendek. Pati dengan viskositas puncak lebih dari 1.000 BU juga sesuai untuk produk-produk ekstrusi, seperti kerupuk dan ekstrudat {Suismono 2001). Pemanfaatan pati ubijalar sesuai dengan sifat-sifat tersebut, antara lain sebagal: (1) bahan pelembut pada pembuatan kue, (2) penggant maizena (bahan pengental, pengikat/pengisi pada es krim, daging dan sup kaleng), (3) bahan baku aneka kue, cake dan sohun serta (4) dikonvers! menjadi gula cair (glukosa, maltosa dan high fructose syrup) untuk pemanis pada produk-produk kembang gula, es krim, jelly dan saus. Pati ubijalar juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri tekstil, perekat, kertas, plywood, kimia dan farmas! (Fuglie and Oates 2004). Di Jepang, 85% produks! pati ubljalar diserap oleh industri gula cair (Suganuma and Kitahara 1998), sedangkan di Cina terutama untuk pembuatan sohun (transparent noodle) (Timmins et al. 1992). Gannadiasne dan Weller (1990) dalam Maneepun et al, (1992), serta Ishiguro and Yamakawa (2000) melaporkan, bahwa amilosa hasil fraksinast pati ubijalar, ternyata dapat dimanfaatkan sebagai coating edible film pada produk-produk makanan dan bahan baku biodegradable plastic. Ubjatar 277 Gula Gula adalah salah satu senyawa penting yang mempengaruhi kualitas ubijalar. Variasi kandungan gula total (guia alami dan gula hasil hidrolisis pati) pada ubi ubijalar berkisar dari 0,4-5,6% (bb) untuk varielas yang berasal dari berbagai wilayah di Pasifik Selatan (Bradbury and Holloway 1988a) dan dari 2,9-5,5% (bb) dari Amerika (Picha 1985b). Berdasar berat kering, gula total bervariasi dari 5,6% pada ubijalar asal Filipina dan sebesar 3,83% pada sampel yang berasa! dari Louisiana (Truong ef al. 1986). Ubi yang dagingnya kuning/orange cenderung berasa manis karena kandungan gulanya relatif tinggi. Hal ini tampak pada delapan klon ubijalar kuning/orange yang kandungan gula reduksinya 3,4-8,2% bk (Tabel 2), lebih tinggi dibanding ubijalar ungu yang angkanya 1,5-5,3% (Tabel 3) dan ubijalar putih, seperti varietas Sukuh (1,7%) (Ginting ef al. 2004). Pada ubijalar, yang tergolong gula reduksi adalah glukosa dan maltosa. Tamate dan Bradbury (1985) menyatakan variasi kandungan gula dapat terjadi pada ubl yang berbeda dari varietas yang sama karena pengaruh umur dan kondisi lingkungan tumbuh tanamannya. Jenis gula pada ubi segar, antara lain sukrosa, glukosa, fruktosa, dan maltosa. Kandungan sukrosa dilaporkan lebih tinggi dibanding jenis gula lainnya (Truong ef al. 1986, Picha 1985b). Kandungan glukosa lebih tinggi daripada fruktosa, namun beberapa hasil penelitian lain menyebutkan jumlah keduanya relatif sama (Picha 1986, Takahata ef al. 1996, Huang et al. 1999a). Maltosa ditemukan dalam jumlah kecil pada ubi segar (Bradbury & Holloway 1988a, Truong ef al. 1986), namun Picha (1985b) dan Losh et al. (1981) tidak mengamati keberadaannya. Kandungan maltosa meningkat secara signifikan pada pemanasan ubi sebagai hasil hidrolisis pati oleh enzim a-amilase yang secaraalami terdapat pada ubijalar dan aktivitasnya optimum pada suhu 70-75°C (Walker et al. 1976 dalam Losh et al. 1981), Namun, enzim ini menjadi inaktif pada pemanasan dengan suhu > 95°C (S-101 ‘Technical Committee 1980 dalam Woolfe 1992). Pada pengukusan ubijalar ungu, diamati peningkatan kadar gula reduksi dari 3,3% bk menjadi 17,7% bk (Ginting, 2009). Losh ef al. (1981) juga mencatat kenaikan gula reduks! dari 6% menjadi 12% pada ubijalar yang dipanggang. Di samping keunggulan tersebut terdapat kelemahan berupa perut kembung bila dikonsumsi. Oligosakarida Oligosakarida, seperti raffinosa, sellobiosa dan verbaskosa termasuk senyawa karbohidrat yang erat kaitannya dengan efek perut kembung (Aatulence) setelah mengkonsumsi ubi (Tsou and Yang 1984). Pada ubi segar maupun yang telah dimasak, diamati kandungan sellobiosa sebesar 0,23%-0,4%, raffinosa dan verbaskosa dalam jumlah yang sangat kecil dan 278 = KomposisiKimia tidak ditemui adanya stakhiosa (Truong et al, 1986). Efek kembung pada perut bila mengonsumsi ubi berkaitan dengan tidak dapat dicemanya ketiga senyawa oligosakarida tersebut di dalam lambung, lalu difermentasi oleh mikroflora/bakteri yang terdapat pada usus besar dan menghasilkan gas H, dan CO, Efek kembung tersebut disinyalir sebagai salah satu faktor yang menyebabkan rasa enggan mengkonsumsi ubljalar (Tsou and Villareal 1982), namun kadar oligosakarida tersebut lebih rendah dibandingkan dengan aneka kacang. Dengan demikian gas H, dan CO, (flatulensi) yang dihasilkan oleh aneka kacang juga lebih banyak dibandingkan dengan ubi bila dimakan. Keunggulan lain yang dapat mengonvensi kelemahan tersebut adalah peran ubijalar sebagai sumber pangan nasional. Polisakarida Selain Pati Selain pati dan gula, ubijalarjuga mengandung polisakarida lain, yakni serat yang terdiri atas pektin, hemiselulosa, selulosa, lignin, dan senyawa lainnya yang saling berikatan dan membentuk suatu struktur dengan protein. Oboh et al, (1989) dalam Bovell-Benjamin (2007) melaporkan kadar serat kasar 3,9-5,9% bk pada 49 varietas ubijalar. Antarlina (1997) memperoleh angka yang sedikdt lebih rendah, yakni 2,6%-3,9% bk pada 13 klon ubijalar asal Indonesia dan 2%-4% bk pada ubijalar kuning/orange dan ungu (Tabel 2 dan 3). Kadar serat ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur panen tanaman ubijalar (Antarlina 1991). Senyawa pektin, hemiselulosa dan selulosa termasuk serat pangan (dietary fiber) yang memegang peranan penting dalam proses pencemaan, sehingga merupakan komponen yang menentukan nilai gizi ubijalar. Rata- rata kandungan serat pangan ubijalar rebus dari Amerika 3,6% bb, yang merupakan penjumlahan dari pektin (0,97%), hemiselulosa (0.93%) dan selulosa (1,7%) (Reddy and Sistrunk 1980). Huang et al. (1999b) memperoleh kadar serat pangan 2,3 g-3,9 g/100 g (bb) pada ubijalar ungu dan 2,3 mg-3,3 mg/100 g (bb) pada ubijalar kuning/putih. Pektin diduga memiliki peranan penting dalam menentukan tekstur produk olahan ub! segar, di antaranya tingkat kekerasan ubi yang dikalengkan dan basah/berair atau keringnya ubi yang dipanggang/dibakar. Di samping keunggulan tersebut, permasalahan rendahnya kadar protein juga perlu diatasi agar penggunaan ubijalar sebagai pangan tidak mendorong meningkatnya penderita kekurangan protein, Protein Kandungan protein ubi segar sangat kecil, sekitar 1,5% (bb) atau 5% (bk). Dickey ef al, (1984) memperoleh kisaran 4,38%-8,98% (bb) dengan rata-rata Uojatar 279 6,29% pada 100 galur dari 7 tetua di Amerika, sedangkan beberapa varietas di Papua lebih rendah 1,3-1,8% (Bradbury ef al. 1985). Selain varietas, kandungan protein juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh, cara budidaya, aplikasi pupuk N dan umur tanaman (Kays and Kays 1998). Sporamin A dan B merupakan jenis protein utama pada ubi (80% dari total protein) yang dilaporkan sebagai inhibitor enzim proteinase. Namun keduanya diduga memiliki kemampuan sebagai anti kanker dan anti oksidan (Maishinia et al. 1985 dalam Bovell-Benjamin 2007). Senyawa nitrogen bukan protein (NBP) pada ubijalar dapat berupa peptida yang dapat digumpalkan serupa protein, asam amino bebas, amida dan komponen non-polimer nitrogen. Total nitrogen dalam NBP dari 100 galur ubijalar yang berasal dari tujuh tetua berkisar 22, 1%-37,7% (Dickey et al. 1984). NBP merupakan bagian dari metabolit aktif yang mengandung asam amino yang diperlukan bagi perkembangan ubi (Purcell and Walter 1980). Berdasarkan kesetaraan karbohidrat, ketersediaan protein dari ubijalar hanya sekitar 19% dari angka kecukupan protein, selain protein kadar lemak juga merupakan kelemahan yang perlu diatasi. Lemak Kandungan lemak ubijalar sangat rendah dengan variasi 0,17-1,0% (bb) pada ubi segar (Haytowitz and Matthews 1984, Bradbury and Holloway 1988a). Perbedaan yang sangat signifikan, yakni antara 1,21-2,55% (bk) ditemukan pada varietas asal Amerika Serikat yang ditanam pada kondisi lingkungan tumbuh yang seragam (Boggers et al. 1970). Analisis fraksi lipid asam lemak menunjukkan bahwa komposisi asam palmitat (16:0) dan linoleat (18:2) terdapat dalam jumlah yang paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 29,3% dan 44,7% dari total lemak (Walter et al. 1971). Hasil tersebut senada dengan penelitian di Korea yang ubijalamya Mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang cukup tinggi (Lee and Lee 1972). Namun demikian kadar lemak tersebut hanya mampu Menyumbang sekitar 9% dari kebutuhan lemak dalam menu makan harian (Widowati dan Wargiono 2009). Kelemahan tersebut perlu diatasi agar kelebihan lain seperti kandungan gizi makro dan mikro serta pigmen tetap menjadi kekuatan intemal dalam program diversifikasi pangan. 280 —Komposis! Kimia Pigmen Senyawa pigmen yang terdapat dalam ubi dan sangat diperiukan tubuh untuk tumbuh kembang yang sehat dan produktif di antaranya adalah karotenoid dan antosianin. Karotenold. Karotenoid adalah pigmen yang menyebabkan warna rem, kkuning atau oranye/jingga pada daging ubi. Sebagian besar karotenoid pada ubi terdeteksi sebagai beta-karoten (86-90%), terutama pada ubi yang dagingnya berwarna jingga. Beberapa varietas dengan daging ubi putih pada umumnya tidak mengandung beta-karoten atau jika ada dalam jumlah yang sangat kecll (Bradbury and Holloway 1988c). Kandungan karotenoid sangat dipengaruhi oleh jenis/varietas. Tujuh belas varietas ubljalar asal Taiwan dilaporkan mengandung 0,40 mg/100 g (bb) karotenoid pada varietas lokal dan mencapai 24,80 mg/100g (bb) pada varietas introduksi dari Amerika Serikat (Wang and Lin 1969 dalam Woolfe 1992). Sementara itu, kandungan karotenoid pada 26 varietas yang ditanam di Los Banos, Filipina, dengan wama daging ubi putih sampai krem dan kuning, bervariasi dari 0 sampai 11,45 mg/100 g (bb) (Garcia et al. 1970). Huang ef al. (1999b) melaporkan kandungan karotenoid sebesar 6,7mg- 13,7 mg/100 g (bb) pada ubi yang dagingnya berwama jingga asal Hawaii yang relatif lebih rendah dibanding varietas-varietas dari daratan Amerika Serikat yang kisarannya 5,2 mg-26,1 mg/100g (bb) (Speirs et al. 1953 dalam Woolfe 1992). Kadar beta karoten ubi bervariasi antara 0->4.000 yg/100 g dan dapat mencapai 3.000-20.000 ym g/100 g (bb) pada daging ubi yang berwama orange. Beberapa varietas ubi yang dagingnya jingga di Amerika Serikat, seperti Jasper, Cantennial, dan Caromax memiliki kadar beta karoten sebesar 20.000 1g/100 g (bb) (Hongmin 1996). Angka ini lebih tinggi dibanding labu kuning maupun wortel yang kadar beta karotennya 1.500 g/100 g (bb) dan 12,000 118/100 g (bb) (Woolfe 1992). Kandungan bela karoten ini berkorelasi positif (r = 0,99) dengan intensitas wama kuning/jingga (Simone et al. 1993). Senyawa karotenoid merupakan prekunor vitamin A, oleh karena itu keberadaannya dalam menu makan harian sesuai AKG sangat diperlukan dalam upaya menjamin kesehatan dan produktivitas konsumen. Beberapa klon hasil persilangan asal Indonesia mengandung beta karoten antara 292-12.032 yg/100 g (bb) (Tabe! 2), Salah satu diantaranya, MSU 01015-7 telah dilepas tahun 2008 dengan nama Beta-1 bersamaan dengan Beta-2 yang kandungan beta karotennya 4.629 1g/100 g (bb) (Balitkabi 2008). Selain varietas, kandungan beta karoten ubi juga dipengaruhi oleh waktu tanam, umnur panen, lokasi dan kecukupan air (Bhattacharya et al. 1990 dalam Kays and Kays 1998). Ubijalar berumur 16-20 minggu mengandung beta karoten lebih tinggi dari pada ubi yang lebih muda. Karotenoid selain beta-karoten yang diidentifikasi pada ubijalar orange adalah alfa, gamma dan zeta-karoten, fioten, fitofluen, beta-karotin-epoksid, hidroksil-zeta-karoten dan beta-karoten-furanoksid (Purcell and Walter 1968). Baik beta-zetakaroten atau neurosperen, adalah komponen utama pada beberapa varietas yang daging ubinya berwarna putih (Martin 1983). Zeta-karoten, fioten, fitofluene dan nourosperen adalah produk antara di dalam jalur biosintesa menuju produksi karotenoid yang aktif secara biologis (Bauernfiend 1972). Dengan keberadaan senyawa karotenold dan senyawa lain seperti antosianin, fenol, vitamin, dan mineral tersebut, ubijalar prospektif untuk dikembangkan baik sebagai pangan maupun industri pangan dan nonpangan. Antoslanin. Antosianin berperan sebagai pemberi wama ungu, merah atau biru yang tersebar pada berbagai bagian tanaman, diantaranya bunga, buah, biji, ubi dan daun. Bagian utama antosianin adalah rangka karbon dengan gugus hidrogen, hidroksil dan metoksil yang ditemukan dalam enam posisi berbeda (Gambar 2). Perbedaan enam jenis antosianin (sianidin, delfinidin, malvidin, pelargonidin, peonidin dan petunidin) terletak pada banyaknya gugus hidroksil yang terikat pada cincin karbon dan derajat metilasi dari gugus hidroksil tersebut. Seluruh senyawa antosianin merupakan turunan dari kation flavium. Pada setiap inti flavium terdapat sejumlah molekul yang berperan sebagai gugus pengganti yang berbeda untuk masing-masing jenis antosianin (Tabel 5). RI oH Glucose oH ‘Gambar 2. Struktur dasar antoslanin. ‘Sumber: Watzl ef ai. 2002 dalam Ginting et al. 2006. 282 Komposisikmio ‘Tabel 5. Gugus penggant! pada struktur kimia antosianin. Antoslanidin RI R2 Sianidin OH H Delfinidin OH OH Malvidin OCHs OCH; Pelargonidin H H Peonidin OCH; H Petunidin ‘OH ‘OCH, Sumber: Watal et al. 2002 dalam Ginting et al. 2006. Delapan komponen utama antosianin dalam bentuk asil (mono atau diasil) dari aglikon peonidin dan sianidin telah diidentifikasi pada ubijalar ungu varietas Yamagawamurasaki yang tersubstitusi di gugus C3 dan C5 pada inti flavium dengan kelompok asil berupa kafeat, ferulat dan asam p- hidroksibenzoat (Goda et al. 1997, Terahara et al. 1999, Retiganya dalam Yoshinaga et al. 2000). Di antara delapan penyusun antosianin yang terbanyak pada ubijalar ungu adalah monoasil dari asam kafeat, sedangkan yang lainnya berupa dliasil dari asam kafeat-asam kafeat, asam kafeat dan p- hidroksibenzoat atau asam kafeat dan asam ferulat. Gugus kafeat inilah yang berperan dalam aktivitas antioksidan (Suda et al. 2003). Hasil analisis antosianin ubi yang wama dagingnya ungu dengan metode HPLC sebesar 60 mg setara peonidin 3-caffeoylsophorosida-5- ida, atau Pr-3-Cat sop-5-gic/100 g (bb), 21 1-243 mg setara sianidin-3- glukosida/100g (bb) (Suda et al. 2003, Cevallos-Casals and. |Cisneros-Zevallos 2002), dan 9-503 mg setara slanidin-3-glukosida/100 g (bb) (Ginting ef al. 2006). Selain jenis/klon, perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan musim dan lingkungan tumbuh (Damanhuri 2005). Kadar antosianin dapat juga diukur berdasarkan warna daging ubi, yaitu semakin ungu/gelap semakin tinggi kadar antosianinnya berdasarkan R? = 0,74 (Ginting et af. 2006). Akumulasi antosianin dipacu oleh bermacam-macam faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, sumber nitrogen, serangan patogen dan beberapa zat pengatur tumbuh seperti sitokinin, GA dan etilen (Kim and Kim 2002 dalam Damanhuri 2005). Tahap perkembangan ubi selama pertumbuhan juga berpengaruh terhadap kandungan antosianin. Ubi dengan ukuran 300-400 g mengandung antosianin sekitar 200 mg/100 g (bk), sedangkan dengan budidaya yang sama, untuk berat ubl yang hanya 80-150 g kandungan, antosianinnya 300 mg/100 g (bk) (Woolfe 1992). Perbedaan metode analisis (HPLC atau spektrofotometri) dan standar antosianin yang digunakan (setara peonidin atau sianidin) turut berkontribusi dalam menentukan besarnya kandungan antosianin. Antosianin berpotensi digunakan sebagai bahan pewarna alami. Stabilitas wama antosianin terhadap pengaruh panas dan sinar UV juga dilaporkan lebih tinggi pada ubijalar ungu dibanding dengan antosianin yang berasal dari strawbeni, raspberzi, apel dan kedelai hitam (Hayashi et al. 1996 dalam Suda et al. 2003) dan setara dengan kubis merah (Odake 1998). Warna antosianin dari ubijalar ungu sangat dipengaruhi oleh pH larutan, yakni masing-masing merah, ungu dan biru pada kondisi asam, netral dan basa (Suda ef al. 2003), sehingga pada produk minuman atau buah-buahan yang pH-nya rendah, antosianin berpeluang mengganti bahan pewama buatan FD&C Red #40 (Cevallos-Casals and Cisneros- Zevallos 2002). Senyawa Fenol Tiga jenis senyawa fenol yang umum adalah flavonoid, asam fenolat dan polifenol (tanin), sehingga seringkali dianalisis sebagai total fenol. Jenis- jenis flavonoid antara lain flavonol, flavon, flavan, flavanon, asoflavon dan antosianin (Messina 2003), dan asam fenolat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan asam benzoat (seperti asam galat) dan golongan asam sinamat (seperti asam kafeat dan asam klorogenat). Angka total fenol biasanya dinyatakan setara dengan asam galat, jenis asam fenolat banyak terdapat pada buah-buahan, bunga dan daun tanaman. Bentuk ester fenol yang menyusun sebagian besar ubi adalah asam klorogenat dan asam isokloregenat (Gambar 3). Secara struktural, asam klorogenat adalah ester asam kafeat yang memiliki unit 3-hidroksil dengan rumus C,,H,,0,. Kandungan senyawa fenol varietas asal Amerika Serikat, Filipina, Peru, dan Indonesia masing-masing berkisar antara 14-51 mg, 50- 363 mg, 50-363 mg, 838-945 mg, dan 1.120-2.799 mg setaraasam klorogenay 100 g (bb) (Rumbaoa er al. 2009, Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos 2002, Ginting dan Utomo 2010). Kandungan fenol pada ubi ungu 4,9-6,7 lebih tinggi dibandingkan ubi kuning dan putih (Yashimoto et al. 1999) serta 2,5-3,2 lebih tinggi daripada blueberry (Casals and Zevallos 2004). Tingginya kandungan antosianin dan senyawa fenol pada ubi yang dagingnya berwarna ungu berasosiasi dengan aktivitas antioksidannya yang tinggi (Yashimoto et al. 1999). Senyawa fenol pada ubijalar dikenal secara kolektif sebagai polifenol yang dapat teroksidasi oleh oksigen bebas dan dikalallsis oleh enzim polifenol oksidase (Woolfe 1992). Reaksi oksidasi ini menyebabkan polimerisasi quinine yang secara langsung atau tidak langsung dapat berupa penggabungan dengan asam amino dan gugus amino dalam protein dan membentuk senyawa berwarna gelap (coklat). Hal ini menyebabkan penampilan yang gelap dan penurunan kualitas pada ubi segar maupun 284 Kemposisiinia HO, COOH cy R R = +o- -CH=CH.CO- Gambar 3, Struktur kimia asam klorogenat (a) dan isoklorogenat (b). ‘Sumber; Woolfe 1992. produk akhir ubljalar. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut melalui inaktivasi enzim polifenolase ini melalui pemanasan (blansir) atau pemberian bahan kimia, seperti natrium bisulfit atau sodium acid pyrpphosphat (Harijono et al. 2000). Vitamin Vitamin esensial yang perlu diperhatikan antara lain adalah vitamin A, B, C, dan E. Ketersediaan vitamin dalam menu makan harian seuai dengan AKG perlu dipertimbangkan agar konsumen ubijalar sehat dan produktif. Vitamin A. Ubijalar mengandung karotenoid dalam jumlah yang sangat tinggi sebagai prekursor vitamin A, terutama untuk varietas-varietas yang daging ubinya berwarna orange. Di dalam usus halus, senyawa provitamin Aini dapat langsung diabsorpsi (meski konversinya menjadi vitamin A hanya 50%) atau diubah secara enzimatis menjadi retinal yang selanjutnya terikat dalam bentuk retinol (vitamin A) lalu diabsorpsi (Isler 1981 dalam Kays and Kays 1998). Untuk dapat diubah menjadi vitamin A, suatu senyawa karotenoid harus memiliki sedikitnya satu gugus 8-ionon di salah satu ujung rantainya. Beta karoten memillki dua gugus 8-ionon di kedua ujung rantainya (Gambar 4), sehingga memilild aktivitas vitamin A paling tinggi diantara senyawa karotenoid dengan potensi 100%, sementara a dan g-karoten serta 8-zeakaroten masing-masing hanya 50% dan 20-40% potensi beta karoten (Woolfe 1992). Di samping itu, karotenoid dalam bentuk trans lebih stabil dan lebih tinggi potensinya dibanding bentuk isomer cis. Bentuk trans umumnya terdapat dalam ubi segar, sedang bentuk cis ditemukan pada produk olahan ubijalar (mengalami isomerisasi karena pemanasan) (Quakenbush 1987 dalam Woolfe 1992). HC. CH Tee Rentang® ca 29 75-745 24 17-34 Pp 51 41,0-70,0 41 28-54 Mg 26 18,4-35,7 20 14-23 Na 52 13,8-84,0 21 13-30 K 260 129-382 396 342-488 Fe 0.49 0,16-0,94 0.69 0,59-0,86, ‘Sumber: Bradbury and Halloway 1988a (164 sampel dari 5 negara Pasifik Selatan). Lopez et al. 1980, Monro et al. 1986, Ohtsuka ef al. 1984, Picha 1985c). Kalium (K) merupakan jenis mineral yang terbesar dan tertinggi jumlahnya, dilkutl oleh P. Ca, Na dan Mg. Unsur-unsur lain yang juga ditemukan adalah Fe, Cu, Mn, Zn, S dan Cl. Selain itu, B, Cd, Nidan Pb, Hg, Se, dan Si kemungkinan juga ditemui pada ubijalar. Unsur yang lain jarang diamati secara luas yang pada dasarnya mempunyai efek yang menguntungkan pada manusia adalah tembaga, krom, mangan, selenium dan molibdenum (Passmore et al. 1974, Dewan Riset Nasional, 1980). Unsur fluorida juga dapat ditemui pada ubijalar, bahkan jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-umbian lain, yaitu sebesar 0,5 mg/kg (bb) (Venkateswara and Mahajan 1990). Ubi sebagai bahan pangan dengan kandungan gizi makro dan mikro yang tinggi menjadi lebih sempurma bila penyajiannya dalam menu makan harian dikombinasikan dengan aneka kacang dalam bentuk tepung komposit dan daun ubijalar sebagai sayuran. KOMPOSISI KIMIA DAUN Hijauan tanaman ubijalar yang biasa digunakan sebagai sayuran adalah bagian pucuk (tips), yakni sekitar 10-15 em dari pucuk tanaman yang terdiri atas batang (24%-26%), petiola (24%-38%) dan daun muda (38%-50,196) (Woolfe 1992). Pada makalah ini digunakan istilah daun untuk pengertian pucuk tersebut. Pada daerah-daerah yang mengkonsumsi daun ubijalar, jenis/varietas yang ditanam diutamakan untuk tujuan hasil ubi, sedang pengambilan pucuknya sebagai sayuran, bukan merupakan prioritas. Sedang yang menanam khusus untuk diambil daunnya sebagai sayuran menggunakan varietas khusus relatif terbatas. Bila penanaman ditujukan untuk pemanenan ubi dan daun, pemotongan pucuk (topping) harus dilakukan sedemikian rupa agar hasil panen keduanya dapat optimal. Pemotongan pucuk yang terlampau sering atau pada saat tahap 288 — KomposisiKimia pembentukan dan perkembangan ubi dengan laju cepat, akan menurunkan, hasil ubi cukup serius. Informasi mengenai komposisi kimia daun ubijalar relatif sedikit bila dibandingkan dengan ubinya. Penelitian tampaknya lebih banyak difokuskan pada pernanfaatan brangkasan ubijalar untuk pakan ternak (Woolfe 1992), meskipun sesungguhnya daun ubijalar cukup memadal sebagai sumber protein, mineral dan vitamin (Tabel 1). Winarno (1982) menyatakan bahwa dalam basis kering, daun ubijalar mengandung 8% pati, 4% gula, 27% protein, 10% abu (total mineral) dan 56 mg/100 g beta karoten. Bahan Kering Kadar bahan kering daun ubijalar rata-rata 12-14% dan bervarias! untuk jenis/varletas yang berbeda, Kisaran kadar bahan kering antara 12,6-16,2% dan 17,3-18,8% (Villareal et at. 1979, Pace et al. 1985 dalam Woolfe 1992). Komponen utama bahan kering daun ubijalar adalah polisakarida non pati dalam bentuk serat (60%), selebihnya berupa protein, abu, gula dan pati. Protein Dibanding ubinya, daun ubijalar unggul kandungan proteinnya mencapai rata-rata 3% dalam basis basah atau 20% bk. Variasi kandungan protein pada jenis/varietas yang berbeda adalah 29,9%, 24,6%, 12% bk, masing-masing asal Amerika Serikat, Nigeria, dan Taiwan (Pace et al. 1985 dalam Woolfe 1992, Ovenuga 1968 dalam Woolfe 1992, Cheng 1978 dalam Woolfe 1992). Selain itu, kandungan protein juga berbeda antar bagian pucuk tanaman (Anonim 1985 dalam Woolfe 1992). Daun muda menunjukkan kadar protein lebih tinggl (28,6-34,4% bk) dibanding dengan batang (13,6-14,19% bk) dan petiola (12,7-13,3% bk). Cara budidaya dan musim waktu tanam juga dilaporkan berpengaruh terhadap kadar protein pada daun (Lee 1975 dalam Woolfe 1992). Peningkatan kadar protein tampak nyata dengan peningkatan aplikasi pupuk N 60 kg/ha atau lebih (Villareal et al., 1979). Perbedaan waktu panen turut menentukan kandungan protein daun, yaitu tertinggi pada urnur 40 hst dan terendah pada 120 hst (Villarealet al. 1979). Serat Informasi total serat (serat kasar) pada daun ubijalar penting bukan | hanya dari aspek gizi saja, namun juga dari kualitas karena berkaitan dengan kandungan serat pangan (dietary fiber) yang menguntungkan bagi udjater 289 kesehatan karena memiliki fungsi fisiologis tertentu. Kadar serat kasar daun ubjjalar dilaporkan berkisar antara 14,9-15,0% bk dengan proporsitertinggi diperoleh pada batang, diikuti pada petiola dan daun (Anonim 1985 dalam Woolfe 1992). Hal ini merupakan salah satu alasan untuk mengonsumsi pucuk karena teksturnya relatif lebih lunak. Kadar serat daun ubijalar diamati meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman yang masing- masing angkanya 1,96%, 1,98%, dan 2,079 bb pada umur 40, 79, dan 118 hst (AVARDC 1976 dalam Woolfe 1992), Kandungan serat pangan daun ubijalar berkisar antara 3,3-6,0% bk (Tewe et al. 2003) dan 5,9-6,9% bk (Ishida et al. 2000 dalam Bovell-Benjamin, 2007). Komponen utama serat tersebut adalah polisakarida non pati (60%) yang bersifat larut dan tidak larut air dengan perbandingan 1:5. Sekitar 80% serat pangan terdiri atas pektin, sellulosa dan hemisellulosa, selebihnya berupa gum dan lignin (Anonim 1985 dalam Woolfe 1992). Pigmen ‘Warna hijau dominan pada daun ubijalar, sebagian lagi berwarna hijau dengan variasi ungu yang tampaknya lebih disukai karena lebih menarik untuk disajikan. Warna hijau disebabkan oleh klorofil yang sebagian atau seluruhnya tertutup oleh antosianin pada daun yang berwarna hijau-ungu. Beta karoten merupakan komponen terbesar karotenold yang terdapat pada daun ubjjalar, namun pigmen lain termasuk xantofil juga penting. Total karotenoid pada daun ubijalar dilaporkan rata-rata 3 mg/100 g (bb) (Woolfe 1992) atau sekitar 20 mg/100 g bk. Varietas Suioh asal Jepang yang khusus ditujukan untuk produksi daun dilaporkan mengandung total karotenoid sebesar 34,7 mg/100 g bk (Ishiguro et al. 2004), Kandungan beta karoten pada daun ubijalarrata-rata 2.700 ,.9/100g (bb) atau 2,7 mg/100 g (bb) dengan kisaran yang cukup besar, yakni 2.290 ug sampai 7.050.g/100 g (bb) dan tidak kalah dengan beberapa jenis sayuran hijau lainnya (Tabel 7). Komponen xantofil yang penting dalam daun ubjjalar adalah lutein yang bermanfaat untuk mengurangi penyakit mata, diantaranya katarak. Kandungan lutein pada daun ubijalar varietas Suioh dilaporkan sebesar 36,8 mg/100 g (bb), lebih tinggi dibanding jenis sayuran hijau lainnya, seperti bayam dan kale yang selama ini dikenal sebagai sumber lutein (Ishiguro and Yoshimoto 2010). Vitamin Daun ubijalar merupakan sumber vitamin yang baik, diantaranya vitamin A, BI, B2, niacin, B6, asam folat, dan vitamin C (Tabel 7). Kandungan vitamin A daun ubijalar erat kaitannya dengan kandungan beta karoten sebagai 290 — KomposisiKimie ‘abel 7. Kandungan beta karoten, beberapa vitamin dan asam oksalat pada daun ubljatar dan daun sayuran lainnya per 100 g bahan segar. Beta Vitamin Vitamin Vitamin Asam Vitamin Asam Jenisdaun -—karoten =B, = B,_—Niacin. «By Afolat_ «C_—oksalat Gg) (mg) mg) (mg) (mg) ag) (mg) (HOKE Ubij 27 O13 0,35 «090,21 8B 41; 10351 (2.290-7.050) (82-136) Bayam 6545 0,04 0,22 0,7 : 8 2386 Ublkayu 828 0,16 032 1,8 . 82 . ‘Sawi Cina 12 004 014 © 0,5 : - 40 : Selada 1 0,07 0,08 04 020 34 15 3 Asam Jawa 251 0,10 O11 . 42 : 15 6 5.535 013 0,34 1S 0,19 163-63 Kangkung air 2.865 0,09 0,16 - 12% = tidak ada data Sumber: Leung et al. 1968, Leung et al. 1972, Caldwell 1972, Rao and Polacchi 1972, Villareal ef af, 1979, Tan ef al. 1985 semuanya dalam Woolfe 1992. aEheart and Massev 1962 dalam Villareal et al. 1982. prekursor. Eheart dan Massev (1962) dalam Villiareal et al. (1982) mencatat kandungan vitamin A daun ubijalar 5.580 IU. Vitamin B, pada daun ubijalar berkisar antara 0,29-0,41 mg/100 g (bb) (Villareal et ai. 1979) dan 0,26-0,35 mg/100 g (bb) (Caldwell and Enoch 1972 dalam Woolfe 1992). Kandungan vitamin B, ini dipengaruhi oleh ukuran daun dan peningkatan aplikasi pupuk Nsampai 120kg/ha (Villareal et al. 1979 dalam Woolfe 1992). Daun hijau muda/segar yang baru dipanen kaya akan vitamin C dengan kisaran 32-73 mg/100 g (bb) (Villareal et al, 1979) dan 83-121 mg/100 g (bb) (Watson 1976 dalam Woolfe 1992), serta 20-25 mg/100 g (bb) dan 11 mg/ 100 g (bb) (Haytowitz and Matthews 1984). Mineral Kadar abu daun ubijalar sekitar 1,6%bb atau 12% bk yang mengandung Fe, K, Ca, P Mg, Zn dan Cu dalam jumlah yang memadal (Tabel 8). Dalam basis kering, kandungan mineral pada daun relatif jauh lebih tinggi dibanding dengan ubinya (Scott and Bouwkamp 1974 dalam Woolfe 1992). Varietas hanya berpengaruh kecil terhadap kandungan mineral daun ubljalar. Pengaruh signifikan tampak pada umur daun yang jumlah kandungan Ca dan Fe-nya lebih tinggi pada daun tua dibanding daun muda. Selain itu, jumlah Fe juga lebih tinggi pada bagian daun muda dibanding dengan batang dan petiola (Anonim 1985 dalam Woolfe 1992). Kandungan mineral daun tampaknya dipengaruhi oleh kandungan mineral tanah di mana tanaman tumbuh, namun sejauh ini informasi tersebut masih sangat terbatas. Uojatar 291 ‘Tabet 8. Kandungan mineral daun ubijalar®. Jenis mineral Satuan ca mg/l00 g bk 1.351 Fe mg/100 g bk 20 K mg/100 g bk 3.018, Mg mg/100 g bk 432 Na mg/00 g bk 38 Pp mg/00 g bk 264 al mg/kg bk 328 B mg/kg bk 55 Ba mo/kg bk 160 cu mg/kg bk 12 Mn mg/kg bk 210 Mo mykg bk 2 sr mg/kg bk mL ‘*Varietas Centennial. ‘Sumber: Paterson and Speighis 1971, Leung ef al, 1968. dalam Woolfe 1992 Asam Oksalat Asam oksalat merupakan satu-satunya asam organik pada daun ubijalar yang diteliti karena memiliki dampak terhadap nilai nutrisinya. Kandungan asam oksalat pada daun ubijalar bervariasi dari 280 mg sampai 450 mg/100 g (bb) (Villareal et al, 1979). Pada varietas yang sama, jumlah asam oksalat dapat tiga kali lebih tinggi pada daun ubijalar yang tua dibanding daun muda, sehingga konsumsi daun muda pada bagian pucuk lebih dianjurkan. Frekuensi panen tidak berpengaruh terhadap kandungan asam oksalat, namun angkanya turun dari 460 mg/100 g (bb) menjadi 100 mg/100 g (bb) seiring dengan meningkatnya aplikasi pupuk N dari 0 kg menjadi 120 kg/ha (Woolfe 1992). Hal ini memungkinkan untuk mendapatkan daun ubijalar yang kandungan proteinnya tinggi, namun kandungan asam oksalatnya rendah seiring dengan peningkatan aplikasi pupuk N. Daun ubijalar yang telah dimasak, seperti sayuran hijau tropis lainnya memiliki kandungan asam oksalat yang cukup tinggi dibanding dengan sayuran sub-tropis, kecuali bayam (Tabel 7). Fakta bahwa asam oksalat dapat mengikat demikian juga untuk kalsium dan mineral lainnya serta banyak negara berkembang masih kekurangan mineral pangan, mendorong upaya seleksi untuk mendapatkan jenis daun ubijalar yang kandungan asam oksalatnya rendah sekaligus sebagai promosi untuk meningkatkan konsumsinya. 292 — KomposisiKimia DAFTAR PUSTAKA Antarlina, $.S. 1991. Pengaruh umur panen dan beberapa klon terhadap sifat sensoris, fisik dan kimlawi tepung ubljalar. Thesis $2. Fakultas Pasca Sarjana, Program KPK UGM. Universitas Brawijaya, Malang. 100 P. Antarlina, 5S. 1997. Karakteristik ubijalar sebagai bahan tepung dalam pembuatan kue cake. Dalam: Budijanto, S., F. Zakaria, R. Dewanti- Hariyadi, B, Satiawiharja (Eds), Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. PATPI-Menpangan RI. p.188-204. Bangladesh Research Institute (Bari). 2006. Tubers crops. Umbi tanaman. Download from http/Awww.bari.gov.bd/commodity_achievemen tubercrops2.htm on 1 march 2006 Download dari http:// www.bari.gov.bd/commodity_achievement/tubercrops2.htm pada I Maret 2006. Bassa, L.A. dan F.J. Francis. 1987. Stabilitas anthocyanin dari ubijalar dalam. suatu mode! minuman (Ing). Journal of Food Science 52 (6) :1753- 1754, Bauernfiend, J.C. 1972. Carotenoid vitamin A precursors and analogs in food and feed. Journal of Agriculture Food Chemistry 20 (3):456-473. Boggers, T.S., J.E. Marion, and A.H. Dempsey. 1970. Lipid and other compositional changes in 9 varieties of sweet potatoes during storage. Journal of Foad Science 35 (3):306-309. Bradbury, J.H.,, B. Hammer, T. Nguyen, M. Anders, and J.S. Millar. 1985. Protein quantity and quality and trypsin inhibitor content of sweet potato cultivars from the highland of Papua New Guinea. Journal of Agriculture Food Chemistry 33(2):281-285. Bradbury, J.H. and U. Singh, 1986. Thiamin, riboflavin and nicotinic acids contents of tropical root crops from the South Pacific. Journal of Food Science 51(6):1563-1564. Bradbury, J.H. and W.D. Holloway. 1988a. Chemical composition of root crops. in: Bradbury and Holloway (Eds.). Chemistry of tropical root crops: significance for nutrition and agriculture in the pacific. ACIAR Monograph No, 6. Canberra. p.1-88. Bradbury, J.H., K. Bradshaw, W. Jealous, WD. Holloway, and T. Phimpisane. 1988b. Effect of cooking on nutrient content of food tropical root crops from South Pacific. Journal of Science and Food Agriculture 43:333-342, Bradbury, J.H. and WD. Holloway. 1988c. Chemistry of tropical root crops: Significance for nutrition and agriculture in the Pacific. ACIAR Monograph Serial. No. 6, Canberra. Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional properties of purple sweetpotato (/pornoea batatas (L.) Lam), Acta Horticulture 583:195-203, Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2004. Stability of anthocyanin-based aqueous extract of Andean purple com and red- fleshed sweet potato compared to synthetic and natural colorants. Food Chemistry, 86:69-77. Collado, L.S. and H. Corke. 1997. Properties of starch noodles as affected by sweetpotato genotypes. Cereal Chem. 74(2):182-187. DA-Eastem Visayas Integrated Agricultural Research Center (DA-EVIARC).2006, Plant industry production guide on sweetpotato. Download from http /www.da.gov.ph/sweetpotato on 1] September 2006. Damanhuri. 2005. Pewarisan antosianin dan tanggap klon tanaman ubijalar terhadap lingkungan tumbuh. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang. Dickey, L.F., W.W. Collins, C.T. Young, and WM. Walter. 1984, Root protein quantity and quality in a seedling population of sweet potatoes. Horticulture Science 19(5):689-692. Ditjen Bina Produks! Tanaman Pangan. 2002. Prospek dan Peluang Agribisnis Ubijalar. Direktorat Kabi, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan. Jakarta. p.3. Farnworth, ER. 1973. The composition of Papua New Guinea foods. Science of New Guinea. 1(3):21-41. Fuglle, K.O. and C.G, Oates. 2004. Starch markets in Asia. in: Fuglie, K.O. and M. Hermann (Eds). Sweetpotato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop held in Chengdu, Sichuan, PR China on November 7-8, 2001. CIP, Bogor, Indonesia. p. 100-110. Garcia, M.H., |.B. Querido, and A.C. Cahanap. 1970. The relation of carotene and starch content of some twenty six varieties sweet potatoes (Jpomoea batatas). Philippines Journal of Plant Ind. 35(3-4):203-213. Ginting, E., Y. Widodo, dan M. Jusuf, 2004. Pemanfaatan ubijalar berkadar beta karoten tinggi sebagai sumber vitamin A. Dalam: Munarso, J., Risfaheri, Abubakar, Setyadjit, dan S. Prabawati (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Bogor, 6 Agusutus 2004, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. p.168-176. 294 © Komposisi Kenia Ginting, E., Y. Widodo, StA. Rahayuningsih, dan M. Jusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubijalar, Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18. Ginting, E., M. Jusuf, SLA. Rahayuningsih, Y. Widodo, Ratnaningsih, A. Krisnawati, dan Suprapto. 2006, Pemanfaatan ubijalar kaya antosianin dan beta karoten. Laporan Teknis Penelitian APBN No: E.5 /ROPP/ APBN/2006. Balitkabi Malang. Ginting, E., M. Jusuf, dan St.A. Rahayuningsih. 2008. Sifat fisik, kimia dan sensoris delapan klon ubijalar kuning/orange kaya bela karoten. Dalam: Saleh, N., A.A, Rahmianna, Pardono, Samanhudi, C. Anam, dan Yulianto (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umblan: Prospek Pengembangan Agro Industri Berbasis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. p. 392-405. Giriting, E. 2009. Retensi antosianin pada beberapa produk olahan ubljalar. Prosiding Seminar Nasional. Akselerasi Inovasi teknologi untuk Mendukung Peningkatan Produksi Aneka kacang dan Umbi. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor (in press). Ginting, E. and J.S. Utomo. 2010. Anthocyanins and total phenolic contents of purple-fleshed sweet potato cultivars and their antioxidant activity. Paper presented at the International Conference on Neutraceutical and Functional Food in Denpasar, Bali on 12-15 October, 2010. 11 pp. Harijono, N. Basuki, S.S. Antarlina, dan Herlyanto, 2000, Rekayasa teknologi pengolahan dalam rangka pengembangan agroindustri berbasis ubijalar, Laporan penelitian kerjasama Unibraw dengan ARMP-II dan Badan Litbang Pertanian. 56 p. Haytowitz, D.B. and R.H. Matthews. 1984. Composition of food: vegetables and vegetable product. Human Nutrition Information Series, USDA. Agriculture Handbook. No. 8-11. Washington DC. Washington DC. Hirahara, F. and Y. Koike. 1989. Tocopherol content in sweet potato tubers of different cultivars, places harvested and cooking methods in Japanese. Japan Journal of nutrition 47(2):85-91. Hongmin, L., G. Xiaoding, and M. Daifu. 1996. Orange-flesh sweetpotato, a potential source for b-caroten production. In: Rasco, Et. and VR. Amante (Eds). Selected Research Papers July 1995-June 1996, Vol. 2: Sweetpotato. ASPRAD. Manila, Philippines. p. 126-130. Huang, Y.H., D-H. Picha, A.W. Kilili, and C.E. Johnson. 1999a. Changes in invertase activities and reducing sugar content in sweetpotato stored at different temperatures. Journal of Agriculture Food Chemistry 47:4927-4931. Huang, ¥H,, L. Tanudjaja, and D. Lum. 1999b. Content of alpha-, Beta-carotene and dietary fibre in 18 sweetpotato varieties grown in Hawaii. Journal of Food Composition and Analysis 12:147-151, Ishiguro, K. and O. Yamakawa. 2000. Selection of low and high amylose sweetpotato lines. /n: M. Nakatani and K. Konak! (Eds). Potential of Roots for Food and Industrial Resources, 12 " Symposium of the International Society for Tropical Root Crops. ISTRC-FFTC-NICS- JIRCAS-IPGRI-JRTC-KONARC. Tsukuba, Japan. p. 220-224. Ishiguro, K. and M. Yoshimoto. 2010. Lutein content of sweetpotato leaves. http:/konarc.naro.afire.go.jp/sporf/no20/m4.html (diakses tanggal 5 Juli 2010). Kays, S.J. and S.E. Kays. 1998, Sweetpotato chemistry in relation to health. in: LaBonte, D.R., M. Yamashita, and H. Mochida (Eds). Proceedings of International Workshop on Sweetpotato System toward the 21" Century. Miyakonojo, Japan, December 9-10, 1997. Kyushu National Agricultural Experimen Station. p. 231-272. Kwiatkowska, C.A., PM. Finglas, and R.M. Faulks. 1989. The vitamin content of retail vegetables in UK. Journal of Nutrition and Dietetic 2(3):159- 172, Lee, Y'W. andS.R. Lee. 1972. A study on the systematic analysis of lipids from sweet potatoes (In Korean). Korean Journal of Food Science and Technology 4(4):309-316. Lopez, A., HLL. William, and FW. Cooker. 1980. Essential elements in fresh and canned sweet potato. Journal of Food Science 45(3):675-678. Losh, J.M.,J.A. Phillips, J.M. Axelson, and R.S. Schulman. 1981. Sweet potato after baking. Journal of Food Science 46:283-286, 290, Madamba, L.S.P, A.R. Bustrillos, and E.L. San Pedro. 1975. Sweet potato starch: Physicochemical properties of whole starch. Philippines Agriculture 58:338-350. Maneepun, S., S. Reungmaneepaltoon. and M. Ynchalad. 1992. Sweetpotato starch and flour research in Thailand. /n: Scott, G.J.,S. Wiersema, and PI. Ferguson (Eds). Product Development for Root and Tuber Crops. Vol. [-Asia. Int, Potato Center. Lima, Peru. p, 229-241. Martin, FW. 1983. The Carotenoid pigments of white fleshed sweet potatoes reference to their potential value as sources of Vitamin A activity. Journal of Agriculture University Puerto Rico 67(4): 494-500. Martin, F.W. and S.N. Deshpande. 1985. Sugar and starches in non-sweet ‘sweetpotato compared to those of conventional cultivars. Journal of Agriculture University Puerto Rico 69(3): 401-406. Messina, M. 2003. Healthy Look at Sweet Cherries, Washington. Monro, J.A., W.D. Holloway, and J. Lee. 1986, Elemental analysis of fruit and vegetables from Tonga. Journal of Food Science 51(2):522-523. Noda, T., Y. Takahata,-T. Sato, M. Hisamatsu, and T. Yamada. 1995. Physicochemical properties of starches extracted from sweetpotato roots differing in physiological age. J. Agric. Food Chem. 43:3016- 3020. Noda, T,, Y. Takahata, H. Ikoma, and H. Mochida. 1996. Physicochemical properties of starch from purple and orange flesh sweet potato roots at two level of fertilizer. Starch/starke 48. Nr. 11/12.S.:395-399. Nozue, M.,J. Kawai, K.and Yoshitama. 1987. Selection of high anthocyanin- producing cell line of sweetpotato cell culture and identification of pigment. Journal of Plant Physiology 129:81-88. Odake, K. 1998. Characteristics of food color pigments derived from Ayamurasaki. /n: Labonte, D.R., M. Yamashita, and H. Mochida (eds.). Proceedings of International Workshop on Sweet Potato Production System toward the 218 Century in Miyakonojo, Japan on 9-10 December, 1997. p. 303-309. Ohtsuka, R., T. Kawabe, T. Inaoka, T. Suzuki, T. Hongo, T. Akimichi, and ‘TSugahara. 1984. 1984. Composition of local and purchased foods consumed by the Gidra in Lowland Papua. Ecology and Food Nutrition 15:159-169. Onwueme, |.C. 1978. The tropical tuber crops yams, cassava, sweetpotato and cocoyam. John Willey and Sons, New York. Passmore, R., BM. Nicol, N.M. Rao, G.H. Beaton, and E.M. DeMaeyer. 1974. Handbook on human nutritional requirements. WHO monograph serial No. 61. FAO/WHO, Geneva. Picha, D.H. 1985a. Crude protein, minerals, and total carotenoids in sweet potatoes. Journal of Food Science 50(6):1768-1769. Picha, D.H. 1985b, HPLC determination of sugar in raw and baked sweet potatoes. Journal of Food Science 50(4):1189-1190. Picha, D.H. 1985c. Organic acid determination in sweetpotato by HPLC. Journal of Agriculture Food Chemistry 33(4):743-745.

Anda mungkin juga menyukai