Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Balok tinggi pada beton bertulang sering digunakan pada konstruksi beton antara
lain ; balok penghubung (transfer girder) baik bentang sederhana maupun bentang
menerus yang menerima beban kolom diatasnya, struktur lepas pantai (caisson,
dermaga), dinding geser, dinding penahan, sistem pondasi (roof foundation), serta
balok diafragma. Kriteria dan persyaratan balok tinggi secara umum jika rasio antara
bentang geser dengan tinggi efektif balok tidak melebihi nilai 1,0. Tetapi dikenal juga
persyaratan yang membedakan antara balok pendek (short beams) dengan balok tinggi
(deep beams), dimana untuk balok pendek rasio tersebut berkisar antara 1 sampai 2,5.
Sedangkan yang memiliki rasio diatas 2,5 mulai dapat dimasukkan dalam kategori
balok lentur yang konvensional. Bentang geser yang dimaksud adalah bagian dari
panjang balok yang menerima tegangan geser pada arah yang sama akibat beban-beban
yang bekerja.
Penggunaan balok tinggi yang ada sekarang ini belum menyentuh kepada fungsi
dan peran dari balok tersebut, misalnya adanya balok yang ditumpangi kolom diatasnya
sedangkan balok tersebut lebih difungsikan sebagai balok yang terlentur, bukan sebagai
balok yang difungsikan untuk menerima beban geser yang besar. Penulangan geser
yang kurang mencukupi serta terkesan hanya memenuhi penulangan minimum saja
walaupun pada titik beban dan perletakan dimana terjadi konsentrasi geser yang cukup
besar. Pemanfaatan balok-balok pracetak pada diafragma jembatan yang justru diberi
gaya aksial dengan sistem prategang, akan menyebabkan fungsi geser menjadi
berkurang. Persyaratan dimensi dan penampang balok yang menyebabkan kurang

kakunya balok tinggi tersebut, sehingga jika salah pemakaian justru akan membuat
keruntuhan balok sebelum dibebani.
ACI section 10.7.1 menentukan bahwa dalam merencanakan lentur, aksi balok
tinggi harus benar-benar dipertimbangkan jika ln/d kurang dari 2,5 untuk bentang
menerus atau kurang dari 5/4 untuk bentang sederhana. Elemen yang lebih pendek
harus benar-benar direncanakan dengan memperhitungkan distribusi tegangan dan
regangan yang tidak linear lagi. Sedangkan ACI section 11.8.1 menentukan juga bahwa
dalam merencanakan geser, aksi balok tinggi harus benar-benar dipertimbangkan
ketika jika ln/d kurang dari 5 dan balok dibebani pada sisi atas atau permukaan tekan.
Kedua pernyataan tersebut agak berubah-ubah, sehingga perlu definisi yang lebih baik
untuk balok tinggi. Balok tinggi adalah sebuah balok yang menerima beban langsung
dalam jumlah yang signifikan ketumpuan balok melalui daerah tekan yang arahnya
merupakan joint dari beban dan reaksi balok. Hal ini dapat terjadi jika beban titik yang
bekerja memiliki jarak kurang 2d dari tumpuan balok, atau jika pada balok bekerja
beban merata maka rasio ln/d kurang dari 4 sampai 5.
Hal-hal tersebut diatas yang sebenarnya ingin ditelaah lebih jauh pada penelitian
ini, sehingga pemakaian balok tinggi benar-benar dapat optimal dan efisien serta
sesuai penggunaannya. Besaran-besaran seperti kekakuan balok, kemampuan balok
ultimit serta displacemen balok akan menjadi ukuran untuk menyatakan balok tinggi
yang didesain cukup aman dengan parameter-parameter yang diberikan seperti
penulangan geser yang cukup, dimensi yang tepat serta pembebanan yang sesuai.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh rasio bentang geser dan tinggi efektif (a/d) terhadap perilaku
geser balok tinggi.
2

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :

Mengetahui pengaruh rasio bentang geser dan tinggi efektif (a/d) terhadap perilaku
geser balok tinggi.

1.4 Batasan Masalah


Mengingat banyaknya masalah yang akan timbul dalam sebuah penelitian, agar
terarah dan memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan judul maka perlu kami
batasi sebagai berikut :
1. Benda uji memakai tumpuan sendi-rol.
2. Skala Pemodelan yang digunakan adalah Buckinghams Phi Theorem dan tidak
dibahas lebih lanjut.
3. Dimensi Balok uji berdasarkan pemodelan adalah (130x400x1100) mm, dengan
410 sebagai tulangan tarik, 210 untuk tulangan tekan, 6-100 sebagai
sengkang dan 6 untuk tulangan bagi yang jumlahnya bervariasi dari 1 3
tulangan.
4. Rasio a/d yang digunakan adalah 0.6 , 0.8 , dan 1.0.
5. Pembebanan benda uji dengan dua titik beban (two point loading).

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini dapat juga bermanfaat bagi pengembangan iptek, masyarakat dan
institusi, dimana penjabarannya dapat diberikan sebagai berikut :
1.

Pengembangan IPTEK
Dengan penelitian ini diharapkan adanya pengkayaan dan membuka
wawasan tentang teori balok tinggi dan aplikasinya pada konstruksi beton
3

bertulang, sehingga diperoleh informasi pemakaian dan pemanfaatan


konstruksi balok tinggi secara tepat dan benar.
2.

Masyarakat
Masyarakat pemakai dan pengguna jasa konstruksi menjadi lebih mengenal
tentang fungsi dan pemakaian balok tinggi pada struktur beton bertulang.

3.

Institusi
Penelitian ini akan dapat memperkaya pustaka tentang struktur beton
bertulang pada Perguruan Tinggi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA & DASAR-DASAR TEORI

2.1. TINJAUAN PUSTAKA


Pemakaian serat karbon polimer (CFRP) yang ditempel pada sisi samping balok
tinggi sebagai perkuatan geser dapat meningkatkan kapasitas geser 50 sampai 100%
untuk balok dengan satu titik beban ditengah bentang, sedangkan peningkatan 40
sampai 66 % diperoleh pada dua titik beban. Demikian juga penempatan posisi atau
arah CRFP juga mempengaruhi kapasitas geser balok tinggi, yakni peningkatan
terbesar terjadi pada posisi CFRP 45 derajat terhadap sumbu balok, pada CFRP arah
900 (arah vertikal) kapasitas geser meningkat 78% untuk satu titik beban dan 44%
untuk dua titik beban, sedangkan pada sudut mendatar tidak berpengaruh (hanya
terjadi peningkatan sebesar 3%). Peningkatan daktilitas juga terjadi pada balok tinggi
yang diberi CFRP pada arah 450 dan arah vertikal hingga 2 kalinya (Zhang, etc.,
2004).
Usulan perhitungan untuk balok tinggi yang berlobang pada bagian badan telah
dibuat dengan mengacu pada model strut-and-tie yang sederhana dimana pengaruh
kemiringan penulangan geser menjadi pertimbangan utama. Penulangan geser yang
miring berfungsi untuk menahan retak diagonal yang terjadi pada balok tinggi (Tan,
etc., 2004).
Penyelidikan keruntuhan tekan geser telah dilakukan pada balok tinggi dengan
mengambil variasi rasio bentang geser dan tinggi efektif balok (a/d) antara 1,0 sampai
2,5 dengan beban single dan double pada balok. Dijelaskan bahwa mutu beton, rasio

penulangan utama, rasio penulangan geser pada rasio a/d

1,0 sampai 2,5 akan

mempengaruhi keruntuhan tekan geser pada balok tinggi (Zararis, 2003).


Desain dengan metode CIRIA pada balok tinggi dengan memakai beton normal
dan mutu tinggi telah dilakukan revisi untuk memperkirakan geser ultimit yang
terjadi. Parameter yang bervariasi diberikan pada penyelidikan tersebut antara lain ;
rasio a/d antara 0,27 sampai 2,7 ; jumlah penulangan utama (1,23 sampai 5,80%),
jumlah penulangan geser dan mutu beton yang digunakan antara 25 sampai 100 MPa
(Leong and Tan, 2003).
Perkiraan daerah dan dimensi keruntuhan tekan geser juga dapat dilakukan pada
balok tinggi dengan memakai metode AE, yang mengukur besarnya energi lokal dari
sensor-sensor yang diberikan pada permukanan beton. Evaluasi daerah keruntuhan
dapat diketahui dari pengujian tekan uniaxial pada balok berdasarkan amplitudo
maksimum yang diukur dari tegangan maksimum. Panjang daerah keruntuhan balok
hasil pengujian ternyata lebih dari 30% dari hasil pengukuran sensor yang dilakukan
dari berbagai bentuk dan ukuran benda uji (Watanabe, 2002).
Pengaruh letak beban dengan penulangan geser yang berbeda pada balok tinggi
dengan beton mutu tinggi (fc > 55 MPa) juga telah diteliti, dimana dilakukan
pengujian dengan beban seluruhnya terletak pada tepi atas balok, dan semua pada tepi
bawah balok serta kombinasi tepi atas dan tepi bawah balok dengan ratio P top/Pbottom
masing-masing 1:1 dan 2:1. Sedangkan variasi penulangan geser yang diteliti antara
lain balok tinggi dengan tulangan utama yang dimiringkan, tulangan geser vertikal
serta kombinasi tulangan geser vertikal dan horizontal. Penelitian ini juga menjelaskan
bidang defleksi balok, lebar retak yang terbentuk, pola retak, model keruntuhan, beban
retak diagonal, kekuatan layan dan ultimit (Tan and Wei, 1999).

Perbaikan kerusakan pada balok tinggi dapat dilakukan dengan memberikan


sistem perkuatan clamping stirrup externally (jepitan sengkang pada bagian luar
balok), baik untuk balok tinggi konvensional maupun balok tinggi prategang dimana
sistem ini dapat merubah mekanisme peralihan gaya dalam balok tinggi sehingga dapat
menerima beban lebih dari semestinya. Performance dan kekuatan balok tinggi dapat
dikembalikan secara penuh sepanjang kerusakan tersebut adalah keruntuhan geser
diagonal secara splitting (sobekan) dan kurva beban-lendutan akan berkurang 15%
pada balok yang rusak dan diberi perkuatan terhadap balok yang utuh. Jumlah
penulangan geser tidak banyak berpengaruh pada kekuatan bentang geser yang diberi
clamp stirrup. Penempatan perkuatan yang paling baik adalah pada bagian tengahtengah bentang geser (Teng, 1996).
Balok dengan av/d < 1umunya mengacu pada balok tinggi. Retak diagonal mulamula kira-kira d/3 dari bawah balok dan secara serempak menyebarkan ke arah
tumpuan dan beban terpusat. Keruntuhan terjadi dengan hancurnya beton pada beban
terpusat dan tumpuan. Model keruntuhan ini dinamakan keruntuhan balok tinggi (Kong
dan Evans).
Balok dengan perbandingan bentang geser dengan tinggi , a/d, kurang dari 1.0
adalah yang digolongkan sebagai balok tinggi, dan suatu balok dengan a/d yang
melebihi 2.5 adalah balok biasa. Balok antara dua cakupan ini digolongkan sebagai
balok pendek (Thammanoon Denpongpan : 2001.hal.1)

2.2. LANDASAN TEORI


2.2.1 Umum
Balok tinggi adalah suatu elemen struktur yang mengalami beban seperti balok
biasa, tetapi mempunyai rasio tinggi terhadap lebar yang relatif besar. Balok tinggi
7

dengan struktur beton bertulang banyak ditemukan pada balok pembagi (transfer
girder), dinding penahan dan dinding geser. Balok tinggi memiliki parameter dimensi
yang berbeda dengan balok konvensional, dimana pada balok yang konvensional
perbandingan tinggi dan lebar balok berkisar antara 1,5 sampai 2. Balok tinggi
memiliki parameter yang diukur dari rasio perbandingan bentang geser terhadap tinggi
balok (a/d), yang biasanya berkisar antara

1 sampai 2,5. Sedangkan balok dengan

rasio a/d lebih besar dari 2,5 sudah dikategorikan sebagai balok lentur yang
konvensional. Balok tinggi didefinisikan juga sebagai balok yang memiliki rasio
bentang bersih terhadap tinggi efektif (ln/d) kurang dari 5 untuk balok yang diberi
beban merata pada sisi atas atau sisi tekan balok sederhana serta mempunyai bidang
geser kurang dari dua kali tinggi balok. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk
menentukan jenis struktur balok tinggi (Nawy, 1990 dan Winter, 1991) adalah sebagai
berikut :
1. Rasio bentang geser terhadap tinggi efektif balok (a/d) < 2.5 untuk balok dengan
beban terpusat atau rasio bentang bersih terhadap tinggi efektif (ln/d) < 5 untuk
beban merata.
2. Panjang bidang geser (a) harus kurang dari 2 kali tinggi balok
3. Tinggi balok jauh besar dari lebar balok.

2.2.2 Keruntuhan Balok


Faktor yang mempengaruhi perilaku dan kekuatan geser balok beton bertulang
dengan tumpuan sederhana sangat banyak dan kompleks serta tidak seluruhnya bisa
dipahami. Faktor-faktor tersebut termasuk ukuran dan bentuk penampang balok,
jumlah dan susunan penulangan lentur, penulangan tekan dan transversal, rasio bentang
geser terhadap tinggi efektif balok (a/d) serta sifat-sifat beton dan bajanya sendiri. Jika
8

faktor selain rasio a/d dibuat tetap pada penampang balok persegi maka variasi
kapasitas geser dapat dijelaskan seperti Gambar 2.1 berikut ini.

Kekuatan momen lentur

Kekuatan tekan-geser

Va
=
uh

Kekuatan retak miring, Vc

runt
Keruntuhan
balok tinggi
Balok

Keruntuhan tarik-geser
dan tekan-geser

Keruntuhan
lentur

n
me
Mo

Keruntuhan tarik diagonal

Rasio a/d

Gambar 2.1 . Perubahan rasio a/d terhadap geser pada balok persegi
Berdasarkan type keruntuhan balok seperti yang terlihat pada Gambar 2.1, jenis
balok dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yakni :
1.

Balok tinggi (Deep Beam), yang memiliki rasio a/d < 1

2.

Balok pendek (Short Beam), yang memiliki rasio 1 < a/d <

2,5
3.

Balok menengah (Intermediate Beam), yang memiliki rasio

2,5 < a/d 6.


4.

Balok lentur (Long Beam), yang memiliki rasio a/d > 6.

Balok Tinggi a/d < 1


9

Pada balok dengan rasio a/d < 1, tegangan geser sangat berpengaruh. Retak
diagonal terbentuk mula-mula pada jarak sekitar 1/3 tinggi balok dari sisi bawah dan
secara bersamaan retak merambat kearah tumpuan dan titik beban. Keruntuhan terjadi
dengan hancurnya beton pada salah satu daerah, yakni pada titik beban atau pada
tumpuan. Retak diagonal yang terbentuk menyebabkan adanya daerah tekan lengkung
(arch zone) yang saling berhubungan pada balok, dimana kemampuan yang tersedia
menjadi lebih besar, hal ini mengakibatkan beton pada balok bertambah kapasitas
gesernya dibandingkan dengan balok yang konvensional. Terbentuknya retak diagonal
pada balok dengan dua titik beban cenderung berperilaku seperti pelengkung dimana
beban dipikul oleh tekan yang merambat sekitar daerah tekan lengkung tersebut. Tipe
keruntuhan ini disebut model keruntuhan balok tinggi, dimana keruntuhan yang
mungkin terjadi diantaranya :

Keruntuhan angker yakni lepasnya tulangan tarik dari beton.

Hancurnya beton pada daerah tumpuan balok


Keruntuhan lentur yang timbul akibat hancurnya beton dibagian atas dari
pelengkung (daerah titik beban) atau akibat tulangan tarik sudah meleleh.
Keruntuhan daerah tekan lengkung (arch zone) akibat eksentrisitas dari tekanan
didalam pelengkung, yang mengakibatkan retak diagonal dan retak diatas tumpuan.
Besarnya beban runtuh yang terjadi pada balok biasanya berapa kali dari beban retak
diagonal.
Balok Pendek 1 < a/d < 2,5
Seperti pada balok tinggi, balok pendek memiliki kekuatan geser yang melebihi
kekuatan retak diagonal. Retak diagonal sering terbentuk dengan sendirinya setelah
retak lentur terjadi. Retak pertama-tama akan terbentuk tetap dibawah titik beban
Setelah retak lentur-geser terjadi, retak merambat kedaerah tekan dengan naiknya beban,
10

yang ditandai dengan ledakan. Retak ini juga merambat sebagai suatu retak sekunder
menuju tulangan tarik dan kemudian menerus secara horizontal sepanjang penulangan
tersebut. Keruntuhan yang mungkin terjadi antara lain adalah keruntuhan angker pada
tulangan tarik, yang disebut juga keruntuhan tarik-geser (shear-tension failure) atau
keruntuhan akibat hancurnya beton disekitar daerah tekan, yang dinamakan keruntuhan
tekan-geser

(shear-compresion failure). Beban runtuh yang terjadi dapat

mencapai dua kali beban saat retak diagonal terjadi.


Balok Menengah 2,5 < a/d < 6
Kecenderungan balok runtuh geser sebelum kapasitas lentur tercapai. Untuk balok
dengan panjang sedang, retak lentur vertikal adalah retak yang pertama terbentuk,
disusul dengan retak geser-lentur miring. Awalnya retak lentur cenderung melengkung
dan membentuk segmen balok diantara retakan yang berupa gigi. Apabila pangkal dari
gigi ini bertambah lebar sebagai akibat bertambahnya retak lentur, maka dimensi
segmen tidak mampu lagi memikul momen akibat gaya tarikan T, akar gigi ini akan
pecah dan membentuk retak geserlentur yang miring. Timbulnya retak diagonal seperti
ini mengakibatkan balok tidak lagi mampu untuk meneruskan beban. Dengan kata lain
terbentuknya retak diagonal merupakan batas kekuatan geser balok yang disebut juga
keruntuhan tarik diagonal. Kemungkinan dua tipe keruntuhan dapat terjadi pada kondisi
ini yakni :
Balok dengan rasio a/d tinggi, ketika beban pada balok meningkat maka retak lentur
a-b berubah arah menjauhi tumpuan dan merambat menuju titik beban (lihat gambar
2.2d). Pola retak a-b-c mengacu pada retak geserlentur atau disebut retak diagonal.
Dengan adanya peningkatan beban, retak akan bertambah dengan cepat menuju e hingga
menyebabkan balok terbelah dua. Tipe keruntuhan ini disebut juga keruntuhan tarik
11

diagonal. Karakteristik yang penting dari tipe keruntuhan ini adalah bahwa beban runtuh
yang terjadi sama dengan beban saat retak diagonal terbentuk.
Balok dengan rasio a/d rendah : retak diagonal akan berhenti merambat naik (pada j)
dan retak lebih lanjut meluas disekitar tulangan tarik (lihat gambar 2.2e). Ketika beban
meningkat, retak diagonal akan bertambah lebar sedangkan pada bagian lain retak akan
meluas sepanjang tulangan tarik (g-h). Kemampuan tulangan di sebelah kiri retakan
akan berkurang karena menurunnya lekatan tulangan pada beton. Jika pada bagian ujung
tulangan tidak diberi kait atau angker maka keruntuhan akan terjadi secara bersamaan.
Tetapi jika diberi kait atau angker maka perilaku balok sama seperti lengkung tarik dan
kegagalan terjadi ketika beton disekitar angker terlepas. Tipe keruntuhan ini disebut
keruntuhan tarik-geser. Beban runtuh biasanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan
beban retak diagonal.
Balok Lentur a/d > 6
Balok yang memiliki rasio a/d > 6, keruntuhan lentur balok lebih dominan
dibanding dengan keruntuhan geser (lihat gambar 2.2b). Keruntuhan dari balok lentur
dimulai dengan melelehnya tulangan tarik dan diakhiri dengan kehancuran beton pada
penampang dengan momen maksimum. Disamping retak lentur yang hampir vertikal
pada panampang dengan momen yang maksimum, maka sebelum keruntuhan, retak
yang sedikit miring (terhadap arah vertical) kemungkinan terjadi diantara perletakan dan
penampang dengan momen maksimum. Namun demikian kekuatan dari pada balok
sepenuhnya tergantung pada besarnya momen maksimum dan tidak dipengaruhi oleh
besarnya gaya geser. Balok harus direncanakan sedemikian rupa sehingga pada tulangan
lentur terjadi leleh dahulu sebelum beton hancur, keruntuhan seperti ini disebut juga
keruntuhan daktail.

12

Gambar 2.2 : Model Keruntuhan Balok


(sumber : Design of Beam for Shear : 2005)

2.2.3. Mekanisme Penyaluran Geser


Penyaluran geser dalam beton sebagian besar berasal dari :
13

Tegangan geser beton di daerah yang tertekan, Vc. (lihat Gambar 2.3)
Ikatan antar agregat yang melintang pada retak diagonal, Va. Ikatan antar agregat
berhubungan langsung dengan bahan beton yaitu ukuran maksimum agregat, bentuk
butiran, dan kuat-tarik beton. Gaya geser dapat dipindahkan hingga ketumpuan
sampai terjadi retak pada beton.

Gaya vertikal Vd, yang berhubungan dengan detail penulangan. Dalam beton
bertulang ketika retak telah terjadi maka gaya vertikal tersebut menjadi aktif sampai
kondisi beban ultimit tercapai.

Tulangan geser, Vs

Gaya tumpuan, Vt

Gambar. 2.3 : Penyaluran gaya geser pada balok

Dari Gambar 2.3, diperoleh persamaan keseimbangan gaya sebagai berikut


VT = Vc + Vav + Vd + Vs

(2.1)

Berdasarkan free-body diagram balok beton yang retak, seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.4. Keseimbangan vertikal menghasilkan ketahanan geser saat balok retak :
Vc = Vcz + Vd + Va

(2.2)

dimana kontribusi gaya-gaya yang terjadi adalah :


Vcz = beton tak retak pada daerah tekan (20 40% dari Vc)
Vd = gaya pasak yang dihasilkan oleh tulangan lentur (15-25% dari Vc)
14

Va = komponen vertikal dari ikatan antar agregat (35-50% Vc)

Gambar 2.4 : Komponen geser pada balok retak


(sumber : Design of Beam for Shear : 2005)

(a) Balok yang telah retak

(b) Segmen balok diantara retakan

15

(c) Aliran geser pada balok


Gambar 2.5 : Keseimbangan geser diantara retakan
Untuk menjelaskan mekanisme ketahanan geser pada balok tinggi dapat ditinjau
segmen balok yang terbentuk diantara dua retakan (lihat gambar 2.5) dimana
keseimbangan gaya-gaya yang bekerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
M = T . jd

(2.3)

Ketahanan gaya geser dalam balok dapat dirumuskan sebagai berikut:


V =

dM
d
=
(T jd)
dx
dx

V = jd

dT
d ( jd )
+ T
dx
dx

(2.4)
(2.5)

Dari rumus diatas dapat dilihat bahwa geser ditahan oleh efek kombinasi sebagai
berikut:

Bagian pertama (jd

dT
) dari persamaan (2.5) mewakili aksi balok (beam action)
dx

yang sempurna dimana lengan gaya-gaya dalam jd dianggap konstan dan besaran T
berubah sepanjang bentang balok.

Bagian kedua (T

d ( jd )
) dari persamaan (2.5) mewakili aksi lengkung tekan
dx

(arch action) dimana gaya T dianggap konstan dan jd

berubah sepanjang bentang

balok.

16

Gambar 2.6 : Prinsip mekanisme ketahanan geser ; Aksi balok dan arch
(sumber : Design of beam for shear : 2005)

Kedua aksi ini dapat diilustrasikan dalam Gambar 2.6 diatas. Jika lengan gaya jd,
dianggap konstan seperti asumsi didalam teori balok lentur
dT
d ( jd )
= 0 maka V = jd
dx
dx

dimana

(2.6)

dT
adalah aliran geser disepanjang lintasan antara tulangan dan daerah tekan.
dx

Mekanisme penyaluran geser ini disebut aksi balok (beam action), yang ditunjukkan
dengan bagian aliran geser. Sebaliknya, jika aliran geser sama dengan nol
dT
=0
dx

maka V = T

d ( jd )
dx

(2.7)

Hal ini dapat terjadi jika aliran geser tidak bisa disalurkan akibat terjadi slip pada
tulangan, atau jika perpindahan aliran geser dihalangi karena adanya retak miring
disepanjang titik beban sampai kereaksi ditumpuan. Mekanisme penyaluran geser ini
disebut aksi lengkung (arch action).

17

Gambar 2.7 : Model strut-and tie balok

Mekanisme penyaluran geser pada balok tinggi dapat juga didekati dengan model
stut-and-tie seperti terlihat pada gambar 2.7. Kekuatan yang tersedia pada aksi lengkung
sebagian besar sangat bergantung kepada resultan tegangan tekan diagonal yang dapat
ditahan. Pada bentang geser yang relatif pendek dengan rasio 1 < a/d < 2,5 akan
terbentuk strut tekan dari retak-retak miring yang mampu menahan beban tambahan.
Beban langsung disalurkan dari titik beban menuju tumpuan oleh strut tekan diagonal
tersebut. Tekanan horisontal dalam beton dan tarikan pada tulangan utama harus
seimbang dengan beban tersebut. Bentuk geometrik dari mekanisme ini yang
menyumbangkan kekuatan geser, yang bergantung kepada penempatan titik beban dan
reaksi tumpuan. Keruntuhan umumnya terjadi karena hancur atau terbelahnya strut tekan
diagonal tersebut, yang besarnya sangat bergantung pada hasil uji belah silinder beton.

2.2.4 Kuat Geser Balok


Beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas geser balok tinggi antara lain :

Kuat beton bertambah akibat meningkatnya aksi pasak, ikatan antar agregat dan
daerah tekan.

18

Rasio penulangan s bertambah akibat meningkatnya aksi pasak dan


bd

ikatan antar agregat. Jika meningkat maka lebar retak akan berkurang oleh karena
itu ikatan antar agregat akan bertambah.
Kekuatan penulangan longitudinal hanya memberikan sedikit pengaruh

terhadap kapasitas geser.


Tipe agregat mempengaruhi kemampuan ikatan antar agregat. Dengan

begitu kuat geser beton ringan akan lebih kecil dari beton normal walaupun
keduanya memiliki kuat tekan yang mungkin sama.
Ukuran balok khususnya tinggi balok, memainkan peranan penting dalam

kapasitas geser. Balok yang lebih lebar secara proporsional lebih lemah dari balok
yang lebih ramping. Hal ini disebabkan karena ikatan antar agregat yang dilewati
tidak dapat bertambah secara proposional pada ukuran balok.
Rasio bentang

geser terhadap

tinggi

efektif

balok,

M
av

V .d
d

mempengaruhi jenis keruntuhan geser dan ketahanan geser pada balok, dimana :
-

Balok dengan rasio 1,5 < a/d < 7, gagal geser biasanya lebih dahulu terjadi sebelum
tercapai gagal lentur.

Ketahanan geser yang paling minimum diperoleh pada rasio a/d

2,5

Untuk rasio a/d < 2,5 aksi lengkung secara signifikan meningkatkan kuat geser.

Menurut ACI code, kuat geser balok tinggi dapat dirumuskan sebagai berikut :
Vu = ( Vc + Vs )

3,5 2,5

Vc =

Mu
Vu d
1,9 f c' 2500 w
bw d
Vu d
Mu

Avv 1 ln / d Avh 11 ln / d

fd
12 sh
12 y

Vs =

sv

(2.8)

(2.9)
(2.10)
19

dimana :

= faktor reduksi geser

Mu , Vu = gaya momen dan geser pada penampang kritis (N-mm, N)


f c ' = kuat tekan beton (MPa)

w = jumlah penulangan lentur (%)


As / bwd = rasio luas tulangan terhadap luas penampang beton
Avv,Avh = luas tulangan geser vertikal dan horizontal (mm2),
untuk Avv tidak boleh kurang dari 0,0015 bw sv
untuk Avh tidak boleh kurang dari 0,0025 bw sv
ln = bentang bersih balok (mm)
sv, sh = jarak antar tulangan geser vertikal dan horizontal (mm), sv tidak boleh
melebihi 1/5 d dan sh tidak melebihi 1/3 d atau 450 mm.

2.2.5 Distribusi Tegangan Balok


Perilaku balok tinggi lebih mendekati perilaku dua dimensi bukan satu dimensi
sehingga distribusi tegangan yang terjadi juga mendekati keadaan tegangan dua dimensi.
Akibatnya bidang datar sebelum lenturan tidak harus tetap datar setelah terlentur.
Distribusi teganganya tidak lagi linear, deformasi geser yang diabaikan pada balok lentur
konvensional menjadi sesuatu yang cukup signifikan dibandingkan dengan deformasi
lentur murninya. Gambar 2.9 menjelaskan distribusi tegangan yang bersifat linear pada
tengah-tengah bentang balok sebelum terjadi retak, dimana hal ini terjadi pada balok
dengan rasio bentang efektif terhadap tinggi balok lebih besar dari enam (rasio a/d > 6).

C
1/2 h
2/3 h

c.g.c

1/2 h
T

Ln

20

Gambar 2.9 : Distribusi tegangan lentur pada balok lentur

Trajektori yang terbentuk pada balok lentur yang dibebani dengan beban merata
diperlihatkan pada Gambar 2.10. Distribusi tegangan utama dapat diperoleh dari analisa
elemen hingga. Hasil yang diperoleh dari analisa tersebut dengan mengambil asumsi
bahan balok memiliki sifat elastis, homogen dan isotropik. Hasil tegangan-tegangan
utama tarik dan tekan ditampilkan dengan arah panah masing-masing, dimana panjang
arah panah menunjukkan besarnya tegangan, serta arah panah menunjukkan arah
tegangan. Dari trajektori tersebut terlihat bahwa tegangan tekan maksimum terjadi pada
tengah bentang disisi atas balok dengan arah tegangan menuju kearah tumpuan.
Tegangan tarik terjadi juga pada tengah bentang, tetapi terjadi pada sisi bawah balok
dengan arah yang berubah jika makin dekat dengan tumpuan. Dari trajektori tegangan
utama tersebut diharapkan retak vertikal akan terbentuk ditengah bentang, pada sisi
bawah balok, yang arahnya tegak lurus dengan f1. Dari tengah bentang, retak awal pada
sisi bawah balok akan bertambah keatas dan arahnya berubah seiring dengan
meningkatnya tegangan geser, v dan berubahnya arah f1. Besarnya tegangan utama dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Tegangan tarik utama :

f1 =

f
f

2
2

v2

(2.11a)

21

Tegangan tekan utama :

f
f
f2 =
2
2

Sedangkan besarnya sudut trajektori,

v2

(2.11b)

antara f1 dengan garis horizontal dapat

ditentukan dari persamaan :


tan 2

2v
f

(2.12)

Beton akan retak jika tegangan tarik utama, f1 melebihi dari tegangan tarik dari beton.
Dari persamaan (2.11) terlihat bahwa tegangan tarik utama dipengaruhi oleh besarnya
tegangan geser,v. Pada garis netral balok tegangan lentur, f = 0 dan tegangan geser akan
mengakibatkan terbentuknya retak pada arah = 450 terhadap arah horizontal.

Gambar 2.11 : Trajektori tegangan utama pada balok lentur


( sumber : Park and Paulay, 1975 )

Sedangkan untuk balok tinggi distribusi tegangan ditengah bentang balok terlihat
tidak linear seperti terlihat pada Gambar 2.12. Besarnya tegangan tarik maksimum pada
sisi bawah jauh melebihi besarnya tegangan tekan maksimum. Demikian juga pada
trajektori tegangan-tegangan utama yang terbentuk, seperti terlihat pada Gambar 2.13,
dimana pada balok tinggi yang ditumpu diatas dua perletakan terjadi lintasan tegangan
yang curam dan pemusatan tegangan tarik utama pada daerah tengah bentang serta
22

pemusatan tegangan tekan pada daerah perletakan baik untuk balok dengan dibebani
pada sisi atas balok maupun pada sisi bawah balok.

0.72 h

2/3 h
T

Ln

Gambar 2.12 : Distribusi tegangan lentur pada balok tinggi


Analisa elastis pada balok tinggi harus memperhitungkan distribusi non-linear dari
regangan yang terjadi akibat beban. Pada balok tinggi beban retak pertama terjadi pada
1/3 sampai dari beban ultimitnya. Setelah retak terbentuk tegangan terdistribusi
kembali dan yang paling penting menjadi tidak ada gaya tarik yang melintang pada
retakan. Hasil analisa elastis distribusi tegangan balok yang mengakibatkan retak dapat
digunakan sebagai pedoman untuk menggambarkan arah retakan dan aliran gaya-gaya
pasca retak yang terjadi. Gambar 2.13a menjelaskan trajektori dari tegangan utama jika
balok dibebani merata pada sisi atas dan Gambar 2.13b jika balok dibebani pada sisi
bawah. Garis putus-putus adalah trajektori tegangan tekan yang arahnya sejajar dengan
tegangan tekan utama sedangkan garis penuh adalah trajektori tegangan tarik yang
sejajar dengan tegangan tarik utama. Retak diharapkan terjadi pada arah tegak lurus
garis trajektori tarik atau sejajar dengan garis trajektori tekan. Pada kasus balok tinggi
sederhana yang diberi beban terpusat di tengah bentang maka tegangan tekan utama
23

terjadi adalah pada garis sejajar yang menghubungkan antara titik beban dengan
tumpuan balok dan tegangan tarik utama sejajar pada sisi bawah balok. Tegangan lentur
pada sisi bawah balok untuk keseluruhan bentang relatif tetap walaupun tidak begitu
terlihat. Pada model strut-and-tie, trajektori garis putus-putus menyatakan strut tekan
sedangkan trajektori garis penuh menyatakan tarikan (tie). Sudut yang dibentuk
diperkirakan juga bervariasi secara linear mulai dari 680 (kemiringan 2,5 :1) untuk l/d =
0,8 atau lebih kecil, = 400 (kemiringan 0,85:1) untuk l/d = 1,8. Pada balok tinggi
sederhana yang diberi beban merata memiliki trajektori seperti terlihat pada Gambar
2.13. Sudut trajektori yang terbentuk bervariasi berkisar antara 680 untuk l/d = 1,0 atau
yang lebih kecil hingga 550 untuk l/d = 2,0.

(a) Beban pada sisi atas balok

(b) Beban pada sisi bawah balok

Gambar 2.13 : Trajektori tegangan utama pada balok tinggi


2.2.6

Distribusi Gaya Pada Balok


Setelah mengenal tegangan yang terjadi pada penampang balok, maka selanjutnya

mengetahui bagaimana distribusi tegangan-tegangan disepanjang bentang. Tegangan


pada suatu penampang bergantung pada besar dan arah momen serta gaya external pada
penampang tersebut, maka distribusi tegangan di sepanjang balok dapat diperoleh
dengan mempelajari distribusi gaya dan moment.
24

2.2.7

Analisis Geser Pada Balok


Kekuatan tarik pada beton jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan

tekannya, maka desain terhadap geser merupakan hal yang sangat penting dalam struktur
beton. Perilaku balok beton pada keadaan runtuh karena geser sangat penting dalam
struktur beton. Perilaku balok beton pada keadaan runtuh karena geser sangat berbeda
dengan keruntuhan karena lentur. Balok yang terkena keruntuhan geser langsung hancur
tanpa adanya peringatan terlebih dahulu,juga retak diagonalnya lebih lebar dibandingkan
dengan retak lentur.
Kekuatan geser beton adalah besar, bervariasi antara 35 sampai dengan 80% dari
kekuatan tekan. Dalam pengujian, sulit untuk membedakan geser dari tegangantegangan lainnya dan oleh sebab itu menimbulkan beberapa variasi yang dilaporkan.
Nilai-nilai yang lebih rendah menyatakan usaha-usaha untuk memisahkan pengaruhpengaruh gesekan dari gesekan-gesekan sebenarnya. Nilai geser hanya berarti pada
dalam keadaan-keadaan yang tidak biasa, karena geser biasanya harus dibatasi sampai
nilai-nilai yang jauh lebih rendah supaya dapat melindungi beton terhadap tegangantegangan tarik diagonal. Tegangan-tegangan tarik diagonal sering dianggap sebagai
tegangan-tegangan geser, tetapi sebenarnya hal itu tidak tepat. Satu hal yang penting,
tegangan geser biasanya dihitung untuk mencegah beton mengalami kegagalan tarik
diagonal. Tarik diagonal merupakan penyebab utama dari retak miring. Dengan
demikian keruntuhan didalam balok yang lazimnya disebut sebagai keruntuhan geser
sebenarnya adalah keruntuhan tarik diarah retak miring.
Keseimbangan bagian penampang balok dalam arah vertikal diperoleh dengan
adanya tegangan geser pada balok.
Secara umum besarnya tegangan geser v yang berlaku adalah :
25

v=
Dimana :

VS
b.l

V = gaya lintang (gaya geser akibat beban luar)


S = momen statis dari bagian yang tergeser terhadap garis netral
b = lebar balok
l = momen inersia penampang

Untuk penampang persegi nilai maksimal tegangan geser terdapat pada garis netral
penampang sebesar :
vmaks =

VS
b.l

1
1
bh h
2
4
=
1
b bh 3
12
V

3V
2bh

Tegangan geser pada daerah diantara perletakan dan beban tidak dapat diformulakan
kembali dengan rumus yang lebih sederhana.

2.2.8

Perilaku Balok Dengan Tulangan Geser


Standart ACI didalam perencanaan tulangan geser adalah dengan jalan meninjau

kekuatan geser nominal Vn sebagai jumlah dari dua bagian


Vn = Vc+Vs
Dimana Vn adalah kekuatan geser nominal; Vc adalah kekuatan geser dari balok yang
dikerahkan oleh beton dan Vs adalah kekuatan geser akibat penulangan geser.
Kekuatan geser yang disumbangkan beton Vc:
Pada peraturan SKSNI rumusan yang digunakan adalah :

26

1
6

f ' c .b.d atau Vc =


7

Vc =

f ' c 120.

Vu
b.d
Mu

As
b.d

Dimana :
f 'c

= nilai kekuatan tarik beton, dimana pengaruh mutu beton terhadap


Vc dapat ditetapkan.

= Lebar balok

= Tinggi efektif

= Rasio tulangan

Vu.d
Mu

= nilai kelangsingan struktur, didalam pemakaian nilai ini tidak

boleh

lebih dari pada 1


(Struktur Beton, Universitas Semarang 1999 hal 74-75)

2.2.9

Fungsi Dari Tulangan geser


Pada balok sebelum terjadinya retak, sengkang praktis bebas dari tegangan tetapi

setelah terjadinya retak diagonal sengkang berfungsi memperbesar daya pikul geser
dari suatu gelagar dalam empat cara terpisah yaitu :
a.

Sebagian besar dari gaya geser dipikul oleh sengkang yang memotong suatu retak
tertentu.

b. Adanya sengkang yang membatasi perkembangan retak diagonal dan mengurangi


perambatan retak tersebut ke dalam daerah tekan
c. Sengkang juga melawan melebarnya retak, sehingga kedua permukaan retak tetap
menempel secara dekat

27

d. Sengkang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengikat tulangan memanjang


menjadi satu kesatuan dengan beton. Hal ini memberi sedikit sumbangan terhadap
kemungkinan terbelahnya beton sepanjang tulanagn memanjang, dan meningkatkan
bagian dari gaya geser yang dipikul melalu mekanisme pasak.
Menurut Nawy, G. Edward 1990 hal 134. Untuk menyediakan kekuatan geser dengan
jalan memperbolehkan suatu redistribusi dari gaya-gaya dalam yang menyebrangi retak
miring yang mungin terjadi maka penulangan geser mempunyai tiga fungsi utama yaitu :
1. Memikul sebagian dari geser Vs.
2. Melawan pertumbuhan dari retak miring dan ikut menjaga terpeliharanya lekatan
antara agregat (atau perpindahan geser antara muka retak) Va.
3. Mengikat batang tulangan memanjang untuk tetap ditempatnya dan dengan
demikian meningkatkan kapasitas pasak.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


28

Penelitian ini dimulai pada minggu pertama bulan Juni 2006 sampai akhir
Agustus 2006 dengan mengambil lokasi di Laboratorium Struktur Universitas
Merdeka Malang pada tahap persiapan sampai pengecoran dan Laboratorium Struktur
Universitas Muhammadiyah Malang pada tahap pengujian. Benda Uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 16 beton silinder dengan dimensi (15 x 30) cm dan balok
tinggi yang berukuran (130x400x1000)mm sebanyak 12 benda uji dengan spesifikasi
sebagai berikut :
1. 3 (tiga) balok tanpa tulangan geser longitudinal , two point loading
2. 3 (tiga) balok dengan tulangan tulangan geser longitudinal 1 6 mm, two point
loading
3. 3 (tiga) balok dengan tulangan tulangan geser longitudinal 2 6 mm, two point
loading
4. 3 (tiga) balok dengan tulangan tulangan geser longitudinal 3 6 mm, two point
loading
a

Ln

Gambar 3.1 : Setting Pembebanan Balok dengan two point loading


Tabel Spesifikasi Benda Uji
Jumlah Tul.
Benda Uji
BTTB-0

Dimensi (cm)
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100

Rasio Bentang

Jumlah Benda

Geser (a/d)

Uji

0.6
0.8

1
1

Geser
Longitudinal
0
0

29

BTTB-1
BTTB-2
BTTB-3

13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100
13 x 40 x 100

0
1
1
1
2
2
2
3
3
3

1
0.6
0.8
1
0.6
0.8
1
0.6
0.8
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
= 12

6-100 mm

210 mm

BTTB-0

410 mm

40 cm

100 cm
13 cm

6-100 mm

210 mm
26 mm

BTTB-1

40 cm

410 mm

100 cm
13 cm
210 mm

6-100 mm

BTTB-2

46 mm

40 cm

100 cm
13 cm
210 mm

6-100 mm

30
66 mm

BTTB-3

40 cm

100 cm
13 cm

Gambar 3.2 : Penulangan pada Balok-uji

3.2 Bahan Penelitian


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Beton fc 25 MPa dengan volume 0,9 m 3, dengan agregat maksimum 20 mm, nilai
slump 15 mm, fas 0,52.
2. Baja tulangan dengan diameter 6 mm dan diameter 10 mm
3. Form work (bekisting) balok uji dari multipleks 10 mm dengan rangka dari kayu
meranti 3/5
4. Kawat bendrat untuk baja tulangan
5. Cat dari kapur putih / kapur padam
6. Solar
7. Karung Goni

3.3 Instrumen Penelitian


Adapun peralatan-peralatan yang digunakan pada pelaksanaan penelitian ini
antara lain :
1. Loading Frame dengan kapasitas 25 ton
2. Hidraulic Jack dan Hidraulic Pump yang berkapasitas 50 ton
3. Load Cell, kapasitas 30 ton
31

4. Load Indicator type digital dengan ketelitian 5 kg


5. Dial Gauge, maksimal pembacaan 30 mm dengan tingkat ketelitian 0,01 mm
6. Dial Holder type magnetic
7. Cetakan Silinder berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm
8. Compression Testing Machine, kapasitas 200 ton
9. Kerucut Slump
10. Vibrator
11. Lup
12. Electrical Strain Gauges
13. Digital Strain Indicator dengan tingkat ketelitian 10-6 in/in

3.4 Pelaksanaan Penelitian


3.4.1

Persiapan
Dalam melaksanakan penelitian, diperlukan adanya tahapan tahapan pekerjaan
yang berguna untuk mendukung kelancaran penelitian tersebut. Aadapun tahapan
tahapan pekerjaan yang dimaksud dimulai dari tahap persiapan yang meliputi :
1. Persiapan Bahan
Pada tahap ini bahan bahan yang akan kita gunakan sebagai material
penyusun beton diuji kelayakannya apakah memenuhi standar yang ditetapkan
atau tidak. Pemilihan material yang mempunyai kualitas yang baik akan
berpengaruh baik juga terhadap kualitas beton yang dihasilkan. Selain
pengujian juga ditentukan kebutuhan tiap bahan guna mencapai volume yang
direncanakan dalam hal ini adalah sebesar 0,9 m3.
2. Persiapan Alat

32

Tahapan ini meliputi pengenalan alat baik dari segi kapasitas alat, cara kerja alat
dan tingkat ketelitian alat yang akan digunakan selain untu mengetahui tingkat
kelayakan pakai alat tersebut.
3. Persiapan Tenaga Kerja
Persiapan tenaga kerja juga penting selain persiapan alat terutama untuk
penelitian beton yang memerlukan tenaga yang banyak untuk menekan biaya
dan waktu penelitian.

3.4.2

Pengujian Tulangan
Pengujian tulangan yang dilakukan adalah uji tarik yang tujuannya adalah untuk
mengetahui mutu baja tulangan yang akan digunakan dalam hal ini adalah baja
tulangan dengan diameter 6 mm dan 10 mm.

3.4.3

Pembuatan Benda Uji


Pembuatan benda uji meliputi beberapa tahap pekerjaan, yaitu :
1. Pembuatan Form Work / Bekisting
Form Work atau yang lebih dikenal dengan Bekisting adalah cetakan yang
digunakan untuk membuat beton. Bahan dan alat yang digunakan adalah :
a. Multipleks 9 mm
b. Usuk 3/5
c. Paku
d. Gergaji
e. Palu
f. Meteran
g. Penggaris Siku
h. Pensil
33

i. Ketam
2. Pembesian
Pembesian adalah pekerjaan perakitan tulangan baik untuk tulangan pokok,
tulangan geser longitudinal dan sengkang. Bahan dan alat yang digunakan
antara lain :
a.

Baja tulangan 10 mm

b.

Baja tulangan 6 mm

c.

Gergaji Besi

d.

Pleser atau pembengkok tulangan

e.

Tang / Catut, untuk mengencangkan bendrat

f.

Paku, untuk mengencangkan bendrat

g.

Bendrat, sebagai pengikat tulangan

h.

Meteran

i.

Kapur Tulis

3. Pembuatan tumpuan dan angkur tumpuan.


Benda uji ini menggunakan tumpuan sederhana yaitu sendi dan rol, dimana
untuk sendi digunakan pipa besi yang dilas pada plat besi berukuran (10x13)
cm. Pemasangan tumpuan pada balok adalah dengan menggunakan angkur
tumpuan berbentuk U dari tulangan 10 mm.
4. Pemasangan Strain Gauge
Strain Gauge adalah suatu komponen eksternal yang dipasang pada tulangan,
baik itu tulangan pokok, tulangan geser longitudinal ataupun sengkang yang
digunakan untuk mengukur regangan tulangan yang digunakan pada saat benda
uji menerima beban. Strain gauges ini dipasang pada :
a. Tulangan Pokok

: 1/2 L
34

b. Tul. Geser Long

: 1/3 L

c. Sengkang

: 1/3 L

5. Pengecoran
Setelah pembuatan bekisting dan pembesian selesai, maka tahap selanjutnya
adalah pengecoran. Adapun bahan dan peralatan yang digunakan adalah :
a.

Pasir

b.

Kerikil

c.

Semen

d.

Air

e.

Molen, kapasitas 0.125 m3

f.

Bucket ( tampungan), digunakan untuk menampung beton segar yang


dituang dari molen

g.

Ember

h.

Cangkul

i.

Sekop

j.

Vibrator

k.

Kerucut Abraham ( slump test ), untuk mengetahui tingkat kekentalan


dan kelecakan beton

l.

Cetakan silinder, ( 15 x 30 ) cm

6. Perawatan
Perawatan beton dilakukan dimulai minimal 1 (satu) hari setelah pengecoran
sampai pada beton berumur 28 hari. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam
perawatan ini salah satunya adalah dengan menyelimuti beton dengan karung
goni basah.
7. Pembongkaran Form Work (Bekisting)
35

Pembongkaran Form Work dilakukan 14 (empat belas) hari setelah pengecoran.


8. Pengecatan atau Pengapuran Benda Uji
Pengecatan atau pengapuran benda uji bertujuan agar permukaan benda uji
menjadi putih sehingga diharapkan dapat mempermudah pengamatan terhadap
retak yang terjadi pada saat benda uji dibebani.

3.4.4

Alur Penelitian
Mulai

Perencanaan Balok Tinggi :


- Perhitungan dimensi
- Perhitungan jumlah tulangan
- Analisa penampang

Persiapan Bahan dan Alat

Pembuatan Bekisting, Pembesian dan Pemasangan Strain Gauge

Pengecoran

36

Pelepasan Bekisting umur 7 hari

Tidak

Cek apakah
benda uji
mengalami
keropos

Perawatan Benda Uji

pengujian
Ya

Analisa Data

grouting
Selesai

Gambar 3.3 : Diagram Alir Penelitian

3.4.5

Setting Pengujian

Actuator Frame

Hidraulic Jack

Load Cell
Balok Uji

Pin Supporting

Load Indicator

Dial
gauge
Loading Frame

Hidraulic Pump
L

37

Gambar 3.4 : Setting Pengujian Balok dengan Loading Frame

Setting Pengujian
Pengujian balok uji dilakukan dengan memakai loading frame seperti terlihat pada
gambar 3.4. Pembacaan yang dilakukan pada pengujian adalah data beban yang diberikan
setiap kenaikan 250 kg, beban saat retak awal balok, beban saat kondisi ultimit tercapai,
displacemen pada titik beban ( tepi atas dan tepi bawah balok). Pengamatan yang
dilakukan adalah pola retak yang terjadi mulai retak awal, retak diagonal sampai beban
pasca retak balok. Pengujian balok dilakukan pada setiap variasi penulangan geser dengan
a/d mulai 0,6 ; 0,8 dan 1,0 dengan pemberian dua titik beban pada balok seperti terlihat
pada gambar 3.1.
3.4.6

Kendala dan Hambatan


Dalam pelaksanaan penelitian, ditemui beberapa kendala yang menghambat
mulai dari tahap persiapan sampai pada pengujian. Beberapa kendala yang penulis
maksud antara lain :
1.

Terbatasnya

sarana

Laboratorium

Struktur

Laboratorium

Universitas Merdeka Malang terutama dalam pengadaan alat-alat pengujian


material dan pengujian benda uji itu sendiri.
2.

Kurangnya kontrol pada saat pelaksanaan pengecoran yang


menyebabkan perhitungan hasil mix design tidak dapat benar-benar
diaplikasikan.

38

3.

Bagi penulis, penelitian ini tergolong baru dan cukup berat jika
diukur dari besar dan beratnya benda uji dan dari segi pemahaman penulis
sendiri

BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Hasil Pengujian
TABEL DATA HASIL PENGUJIAN SILINDER BETON
No. Benda Uji

Berat

Ppuncak

Kuat Tekan (fc')

Kuat Tekan

(Kg)

KN

Mpa

Rata-rata (fc')

A .I.1

13

435

24,62845011

24,20382166

A.I.2

13,9

420

23,77919321

A.II.1

13

430

24,34536447
39

A.II.2

13

465

26,32696391

A.III.1

12,9

405

22,92993631

A.III.2

13

445

25,19462137

A.III.3

13,2

440

24,91153574

A.IV.1

13

420

23,77919321

A.IV.2

13,5

480

27,17622081

A.IV.4

13,2

435

24,62845011

A.V.1

13,2

490

27,74239207

A.V.2

13,5

470

26,61004954

A.V.3

13,3

450

25,47770701

A.VI.1

12,8

470

26,61004954

A.VI.2

13,2

435

24,62845011

A.VI.3

13

420

23,77919321

Rata-rata

13,12

25,33616419

24,34536447

25,19462137

26,61004954

25,00589762

25,11598647

Berdasarkan hasil pengujian kuat tekan beton yang tercapai maka ditetapkan
bahwa
nilai fc' = 25 Mpa

40

Tabel Hasil Pengujian Balok Tinggi

Benda
Uji

Jumlah Tulangan

Bentang
Geser

Pfirstcrack

Ppuncak

Geser Longitudinal

(a/d)

(N)

(N)

Tulangan
Pokok
(x 0.000001)
251
146
101

(x 0.000001)

624

125

BTTB-0

0
0
0

0.6
0.8
1

114450
112700
68900

169350
133400
96350

BTTB-1

1
1
1

0.6
0.8
1

139850
123000
77300

202100
168500
109150

BTTB-2

2
2
2

0.6
0.8
1

173600
125750
83500

225600
194900
140100

BTTB-3

3
3
3

0.6
0.8
1

189300
139500
129200

245620
244400
166100

Regangan Maksimum

1053

1614

Geser Longitudinal

256

347

Defleksi Defleksi
Sengkang
(x
0.000001)
9094
1573
1375

(mm)
pada Pu
5.69
1.74
1.34

(mm)
pada
Pcr
2.68
1.25
1

1103

4.88
6.33
6.82

2.53
4.17
3.96

742

4.62
7.77
5.98

4.23
4.32
2.48

686

8.28
4.25
9.58

5.18
1.75
5.66

41

4.2 Hubungan a/d Dengan Beban Retak Pertama

Dari grafik diatas terlihat adanya peningkatan pada nilai Pcr, pada rasio a/d 1 Pcr
berada pada nilai 68900 N, pada rasio a/d 0,8 nilai Pcr terlihat banyak mengalami
peningkatan yaitu mencapai nilai 112700 N,dan pada rasio a/d 0,6 nilai Pcr terlihat tidak
begitu banyak mengalami peningkatan yaitu mencapai nilai 114450 N. Peningkatan pada
rasio a/d 0,8 sebesar 64% sedangkan pada rasio a/d 0,6 sebesar 66%.

Perilaku pada balok BTTB-1 ini hampir sama dengan perilaku BTTB-0 tidak
terjadi perbedaan yang signifikan, Pcr pada rasio a/d 1 sebesar 77300 N, pada rasio a/d 0,8
peningkatan beban yang terjadi juga semakin besar yaitu 123000 N dan peningkatan itu
42

terus terjadi pada variasi rasio a/d 0,6 yang tidak terlalu mencolok yaitu sebesar 139850 N
dan ini merupakan Pcr yang terbesar pada BTTB-1. Peningkatan pada rasio a/d 0,8 sebesar
59% sedangkan pada rasio a/d 0,6 sebesar 80,9%.

Jika dibandingkan dengan balok BTTB-0 dan BTTB-1, beban yang terjadi pada
balok BTTB-2 ini terlihat semakin bertambah besar, ini dapat dilihat pada Pcr rasio a/d 1
yaitu sebesar 83500 N sedangkan pada rasio 0,8 besar bebannya adalah 125750 N atau
107,9%, besar Pcr meningkat lagi pada rasio a/d 0,6 yaitu 173600 N atau sebesar 51%.

Balok BTTB-3 ini memiliki besar beban yang relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan BTTB-0, BTTB-1,BTTB-2 dikarenakan pengaruh dari jumlah tulangan
43

longitudinalnya semakin banyak, namun disini penulis tidak membahas pengaruhnya


kenaikan beban berdasarkan jumlah tulangan tetapi berdasarkan variasi rasio a/d. Seperti
pada gambar-gambar grafik sebelumnya, grafik ini juga menggambarkan perubahan besar
beban yang terjadi. Pada rasio a/d 1 nilai Pcr yaitu 129200 N dan pada rasio a/d 0,8
mengalami peningkatan sebesar 139500 N atau 8% sedangkan pada rasio 0,6 peningkatan
itu sebesar 189300 N atau 46,5%.
Berdasarkan data grafik hubungan a/d pada tipe BTTB yang berbeda dapat
disimpulkan bahwa semakin kecil variasi rasio a/d semakin besar nilai Pcrack yang terjadi.
Hal ini diakibatkan semakin kecil a,jarak P ke titik tumpuan semakin dekat, sehingga
kekakuan geser yang terjadi semakin besar, sedangkan untuk nilai d konstan.
Kapasitas geser pada balok tinggi dapat diketahui dengan melihat perjalanan retak
awal sampai terjadinya ultimit. Retak awal merupakan indikasi dimana tegangan akibat
pembebanan melebihi dari tegangan tarik pada beton, pada penelitian ini retak awal yang
terjadi berbeda-beda,( grafik ) hal ini disebabkan karena pengaruh beton yang tidak
homogen ataupun pemadatan pada saat pengecoran yang kurang merata.

4.3 Hubungan a/d Dengan Pu (Beban Ultimit)

44

Dari grafik terlihat bahwa Pultimit pada rasio a/d 1 nilai Pultimit yaitu sebesar
96350

N, pada rasio a/d 0,8 nilai Pultimitnya sebesar 133400 N atau 38% sedangkan pada

rasio 0,6 besar pultimit juga bertambah yaitu 169350 N atau 78%.

Pada grafik ini perilakunya pun hampir sama dengan BTTB-0 ,nilai Pultimit pada
rasio a/d 1 sebesar 109150 N, dan nilai Pultimit kembali meningkat pada rasio a/d 0,8 yaitu
168500

N atau 54% dan nilai itu mengalami kenaikan kembali pada rasio a/d 0,6 yaitu

sebesar 212100 N atau 94%.

Begitu pula dengan grafik pada BTTB-2 ini, Pultimit mengalami peningkatan pada
setiap mengecilnya nilai rasio a/d. Pada rasio a/d 1 besar Pultimit 140100 N, pada rasio a/d
45

0,8 sebesar 194900 N atau 39% dan pada rasio a/d 0,6 kembali meningkat sebesar 225600 N
atau 61%.

Jika dibandingkan dengan BTTB-0 sampai dengan BTTB-2 pada Pu,besar beban
pada BTTB-3 terlihat relatif lebih besar. Dari grafik dapat dilihat bahwa pada balok BTTB3 dengan rasio a/d 0,6 mencapai beban ultimit sebesar 245620 N, rasio a/d 0,8 sebesar
244400 N

dan pada rasio a/d 1 beban ultimitnya sebesar 166100 N, Keadaan pada Pcr dan

Pultimit juga tidak banyak berbeda, keduanya sama-sama mengalami peningkatan saat
rasio a/d diperkecil.

46

4.4 Hubungan P Dan Regangan Pada BTTB-0 Dengan Variasi a/d


4.4.1

Hubungan Pcr Dan Regangan


a. Pada Sengkang

Dari Grafik terlihat bahwa pada variasi rasio a/d 0,8 besar regangan lebih besar
dibandingkan dengan rasio a/d 0,6 dan rasio a/d 1. Hal ini disebabkan karena
pembacaan strain gauges yang kurang valid.

b. Pada Tulangan Pokok

Dari grafik terlihat bahwa pada rasio a/d 1 panjang regangannya lebih kecil jika
dibandingkan dengan variasi rasio a/d yang lain yaitu 0,8 dan a/d 0,6. Pada grafik ini
47

juga terlihat bahwa pada rasio a/d 0,6 regangan relatif lebih besar. Keadaan seperti ini
juga diikuti semakin bertambahnya nilai P.

4.4.2

Hubungan Pu Dan Regangan


a. Pada Sengkang

Pada grafik hubungan Pu dan regangan sengkang pada BTTB-0 ini juga terlihat
Perbedaan yang mencolok pada besarnya nilai regangan pada variasi rasio a/d 0,8 dan
rasio a/d 1. Rasio a/d 0,6 memiliki regangan yang paling besar dan tentunya diikutii
dikarenakan nilai Pu yang semakin bertambah pula.
b. Pada Tulangan Pokok

48

Tidak berbeda dengan grafik hubungan regangan pada sengkang dan Pu,
nilai regangan yang paling besar ada pada rasio a/d 0,6 dengan nilai Pu yang
besar pula. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besarnya nilai P nilai regangan
juga ikut bertambah besar, dan tentunya keadaan ini dikarenakan semakin
mengecilnya rasio a/d.

49

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian pada balok tinggi yang telah dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
1. Pada balok tinggi semakin kecil rasio a/d kemampuan menahan beban retak dan
ultimit semakin besar,hal ini dikarenakan kekakuan yang semakin besar. Besarnya
peningkatan kemampuan menahan beban retak pada saat retak awal BTTB-0 pada
rasio a/d 0,8 =64% dan pada rasio a/d 0,6 =66%, pada BTTB-1 rasio a/d 0,8 =59%
dan rasio a/d =80,9%, BTTB-2 dengan rasio a/d =107,9% dan rasio 0,6 = 51%,
BTTB-3 dengan rasio 0,6 = 8% dan rasio a/d 0,8 =46,5%.
2. Besarnya nilai regangan dipengaruhi oleh besarnya nilai beban ( P ), baik untuk Pu
dan Pcr, sedangkan Nilai P sendiri tergantung pada besarnya variasi rasio a/d. Jadi
semakin besar rasio a/d nilai regangan semakin kecil. Ini berlaku pada regangan
tulangan pokok dan juga regangan pada sengkang.

5.1 Saran
Agar penelitan mengenai balok tinggi selanjutnya dapat lebih baik dan akurat,
maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Adanya penambahan variasi jumlah tulangan geser longitudinal sampai batas yang
diijinkan (Pmax) dan rasio a/d, penggunaan sengkang miring dan parameterparameter lain yang berpengaruh terhadap kapasitas geser balok tinggi.

50

2. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kuat lentur balok tinggi karena dari
hasil penelitian ini diperlihatkan perubahan perilaku balok tinggi lebih kearah balok
lentur setelah diberikan variasi penulangan geser.
3. Adanya jadwal yang terencana dengan baik agar penelitian dapat selesai tepat pada
waktunya.
4. Perhitungan Mix Design yang tepat agar diperoleh benda uji sesuai rencana
5. Material, perlengkapan dan peralatan dipersiapkan dengan baik dengan
memperhatikan kualitas dan kelayakan pakai agar mendapat hasil penelitian yang
akurat.
6. Dibutuhkan konsentrasi dan ketelitian yang tinggi terutama pada saat pengujian.
7. Persiapan yang matang baik dari mental maupun pengetahuan karena penelitian ini
tergolong penelitian yang baru dan cukup berat.

51

DAFTAR PUSTAKA
1.

Anonim,2005,Design of Beams for Shear, Dept. of Civil Engineering


University of Pretoria

2.

Denpongpan, Thammanoon,2001, Effect of Reversed Loading on Shear


Behavior of Reinforced Concrete, Januari 2001

3.

Nawy E.G,1990, Beton Bertulang Suatu Pendekatan Dasar, Eresco,Bandung

4.

Zhang, Z., C.T.Hsu, and John Moren, 2004, Shear Strengthening of


Reinforced Concrete Deep Beam using Carbon Fiber-Reinforced Polymer
Laminates, Journal of Composites for Construction, Vol 8, No.5, September/October
2004, pp.403-414.

5.

Tan, K.H., C.Y Tang, and K.Tong, 2004, Shear Strength Prediction of Pierced
Deep Beams with Inclined Web Reinforcement, Magazine of Concrete Research,
Vol.56, Issue.8, pp.443-452.

6.

Zararis, Prodromos.D., 2003, Shear Compression Failure in Reinforced


Concreted Deep Beams, Journal of Structural Engineering, Vol.129, No.4, April 2003,
pp 544-553.

7.

Leong, C.L., and Tan. K.H, 2003, Proposed Revision on CIRIA Design
Equation for Normal and High Strength Concrete Deep Beams, Magazine of
Concrete Research, Vol.55 Issue.3, pp 267-278.

8.

Watanabe, Ken., Mitsuyasu Iwanami, Hiroshi Yokota, and Junichiro Niwa,


2002, Estimation of The Localized Compressive Failure Zone of Concrete by AE
Method, Proceeding of the 1st fib Congress, Osaka, Session 13, October 2002, pp.117124.

52

Anda mungkin juga menyukai