Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Pertusis atau batuk rejan atau batuk seratus hari merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun
1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella
pertussis (Cherry, 2013).
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi atau anak yang belum diimunisasi (Urwyler dan Heininger, 2014). Terdapat
20 sampai 40 juta kasus pertusis di seluruh dunia setiap tahunnya (Wall, 2011).
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena
menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun masih ada namun
jumlah kasusnya tidak signifikan (Thollot et al, 2014).
Dengan mendiagnosis secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut (Cherry, 2013).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih
disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang
terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk
yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun (Lam et al
2014; Srugo et al, 2000).
Pertusis adalah penyakit infeksi pada saluran napas yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertussis yang terjadi melalui 3 tahap yaitu tahap catarrhal,
paroxysmal dan convalescence (Gilley, 2014).
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian
pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang
600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang
tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Gouw et
al, 2014; Wolf et al, 2014).
B.

Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia
ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama
kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun (Cashmore et al, 2013; Wolf et al, 2014).
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga

lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.
Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5
tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan
terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1. Namun pada
kenyataannya perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi
sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan
orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%
(Cashmore et al, 2013; Clark, 2014).
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur
rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak
berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin
pertusis mulai digunakan secara luas (Srugo et al, 2000).
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus
dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat
menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat
menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif
setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan (Clark, 2014).
C.

Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus

pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus


respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis
ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anakanak
kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori
memanjang (batuk rejan).
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak

bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Ada enam spesies dari
Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B.
holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen
yang paling umum ditemukan pada manusia (Murray et al, 2013).
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk
menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis
yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.
Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis
dan sesuai waktu (Murray et al, 2013).
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen
(terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang
disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia
saluran pernapasan (Berger et al, 2013).
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat
siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang
menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP
tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis
(Hoo et al, 2014; Murray et al, 2013).
D.

Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis


infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
4

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan


akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough (Lam et al,
2014).
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub
unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan
subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan
mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru (Hoo et al, 2014).
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek

antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya


menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertussis.
E.

Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan
(Srugo et al, 2000).
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan:
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala


awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya
ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di
hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.
Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat
sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan.

F.

Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,00050,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT.
Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik
disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertussis (Beaman et al, 2014).
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,

pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang


menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan
laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi
biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi
7

dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat


menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman
penyebab (Campbell et al, 2014).
G.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati

keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,


istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas
adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang
mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi,
dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang
akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan
ini disempurnakan dalam 48-72 jam.
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor
terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan
oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan
pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian
keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda
sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak
biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir
paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir
paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi
bukan tidak berespons (Berger et al, 2013).
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan
faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan
lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa
agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis
adalah sebagai berikut:
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau
diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi

empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan


baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat
dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang
diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan
dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat
diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis
menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,
Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup
aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian
klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup
pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol
(albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh
manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan
dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen
pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang
bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan
pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak
dibenarkan.
H.

Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan
menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika
pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada
waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7

tahun tidak rutin diimunisasi (Gilley dan Goldman, 2014; Lam et al, 2014).
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi
umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps,
hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya
kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg
BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,
riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah
kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis (Thollot et al, 2014).
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejalagejala penyakit.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari

10

sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan,


eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin
diberikan pada waktu terjadi epidemi (Thampi et al, 2015).
I.

Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada
anak-anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang
kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap
Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).

J.

Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000

kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004
di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua).
Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain (Cherry, 2013). Pada beberapa
11

penelitian disebutkan bahwa pasien dengan angka leukosit yang tinggi memiliki
prognosis yang buruk (Paksu, 2013).

12

BAB III
SIMPULAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang
sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas
akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia
ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama
kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis
ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang
ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang,
batuk rejan.
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Bordetella pertussis
menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas
biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit),
beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

13

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan
konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah
timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam
dengan pada tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Beaman MH, Karimi M, Hodge M, Keil AD, Campbell P (2014). Diagnosis of
Pertussis Using Nasopharyngeal IgA and Polymerase Chain Reaction in
Specimens from Outpatients in Australia. Eur J of Microb and Immunol 4:
177183

14

Berger T, John, Joseph A. Carcillo, Thomas P. Shanley, David L. Wessel, Amy


Clark, Richard Holubkov, Kathleen L. Meert, Christopher J.L.Newth,
Robert A. Berg, Sabrina Heidemann, Rick Harrison, Murray Pollack, Heidi
Dalton, Eric Harvill, Alexia Karanikas, Teresa Liu, Jeri S. Burr, Allan
Doctor, Michael Dean, Tammara L. Jenkins, Carol E. Nicholson, (2013).
Critical Pertussis Illness in Children, A Multicenter Prospective Cohort
Study. Pediatr Crit Care Med. 2013 May ; 14 (4)
Campbell H, Amirthalingam G, Fry NK, Litt D, Harrison TG, Wagner K,
Crowcroft NS, Miller E (2014). Oral Fluid Testing for Pertussis, England
and Wales, June 2007August 2009. Emerg Inf Dis 20 ( 6): 968-75
Cashmore W. Aaron, David J Muscatello, Alistair Merrifield, Paula Spokes,
Kristine Macartney, and Bin B Jalaludin (2013). Relationship between the
population incidence of pertussis in children in New South Wales, Australia
and emergency department visits with cough: a time series analysis. BMC
Medical
Informatics
and
Decision
Making.
Available
at
http://www.biomedcentral.com/1472-6947/13/40
Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in 2012- The Resurgence of a VaccinePreventable Disease. NEJM 367 (9): 785-787
Cherry JD (2013) Pertussis: Challenges Today and for the Future. PLoS Pathog
9(7): e1003418
Clark A. Thomas (2014). Changing Pertussis Epidemiology: Everything Old is
New Again. The Journal of Infectious Diseases 2014; 209:97881
Gentile, Angela, Viviana S, Maria D, Maria F, Maria D, Alicia S (2014).
Epidemiology of bordetella pertussis in a childrens hospital. Arch Argent
Pediatr 112 (1): 26-32
Gilley M dan Goldman RD (2014). Protecting infants from pertussis. Canad Fam
Phys (60): 138-40
Gouw D, Serra DO, Jonge MI, Hermans P, Wessels H, Zomer A, Yantorno OM,
Diavatopoulos DO, Mooi FR (2014). The vaccine potential of Bordetella
pertussis biofilm-derived membrane proteins. Emerg Microb and Inf 3: e58
Hoo R, Lam JH, Huot L, Pant A, Li R, Hot D, Alonso S (2014). Evidence for a
Role of the Polysaccharide Capsule Transport Proteins in Pertussis
Pathogenesis. PLoS one J. (10) 1371: 1-31
Klein, Nicola P, Joan Bartlett, Ali Rowhani-Rahbar, Bruce F, Roger B (2012).
Waning protection after fifth dose of acellular pertussis vaccine in
children.NEJM 367 (11): 1012-1019

15

Lam Connie, Sophie Octavia, Lawrence Ricafort, Vitali Sintchenko, Gwendolyn


L. Gilbert, Nicholas Wood, Peter McIntyre, Helen Marshall, Nicole Guiso,
Anthony D. Keil, Andrew Lawrence, Jenny Robson, Geoff Hogg, and
Ruiting Lan (2014). Rapid Increase in Pertactin-deficient Bordetella
pertussis Isolates, Australia. Emerging Infectious Diseases (20) 4: 626-633
Mughal AA, Yasmen Faiz Kazi, Syed Habib Bukhari (2011). Diagnosis of
Pertussis in Vaccinated Children of Khairpur, Sindh, Pakistan by Cough
Plate Method. JMID 1 (2): 68-72
Murray L. Errin, Delma Nieves, John S. Bradley, Jessie Gargas, Wilbert H.
Mason, Deborah Lehman, Kathleen Harriman, and James D. Cherry6
(2013). Characteristics of Severe Bordetella pertussis Infection Among
Infants 90 Days of Age Admitted to Pediatric Intensive Care Units Southern
California, September 2009June 2011. Journal of the Pediatric Infectious
Diseases Society pp. 16, 2013. DOI:10.1093/JPIDS/PIS105
Nieves, DJ, Jasjit S, Negar A, Troy M, Felice C (2011). Clinical and Laboratory
Features of Pertussis in Infants at the Onset of a California Epidemic.
Journal of Pediatrics 1044-1046
Paksu, MS, Muhammet A, Adil K, Nazik A, Nursen B, Gulnar S (2013).
Fulminant Pertussis in very young infants. The Turkish Journal of
Pediatrics 55 (4): 426-429
Sheridan SL, Bradley J, Craig A, Jennifer M, Brynley P (2014). Acellular pertusis
vaccine effectiveness for children during the 2009-2010 pertussis epidemic
in Queensland. MJA 200 (6): 334-338
Srugo Issac, Daniel Benilevi, Ralph Madeb, Sara Shapiro, Tamy Shohat, Eli
Somekh, Yossi Rimmar, Vladimir Gershtein, Rosa Gershtein, Esther Marva,
and Nitza Lahat (2000). Pertussis Infection in Fully Vaccinated Children in
Day-Care Centers, Israel. Emerging Infectious Diseases (6) 5: 526-529
Thampi N, Gurol-Urganci I, Crowcroft NS, Sander B (2015). Pertussis PostExposure Prophylaxis among Household Contacts: A Cost-Utility Analysis.
PLoS one J. (10): 1-17
Thollot F, Scheifele D, Pankow-Culot H, Cheuvar B, Leyssen M, Ulianov M, et al
(2014) Immunogenicity and Safety of a Heptavalent (Diphtheria, Tetanus,
Pertussis, Hepatitis B, Poliomyelitis, Haemophilus influenzae b, and
Meningococcal Serogroup C) Vaccine. Pediatr Infect Dis J. 33:1246-54
Urwyler P dan Heininger U (2014). Protecting newborns from pertussis the
challenge of complete cocooning. BMC Inf Dis 14:397

16

Wall, Richard, Anita B, Jason T (2011). Pertussis (Whooping Cough)


Epidemiology in Waikato New Zealand 2000-2009. NZMJ 1334 (124): 1-10
Wolf R. Elizabeth, MD, MPH, Douglas Opel, MD, MPH, M. Patricia DeHart,
ScD, Jodi Warren, BSNd and Ali Rowhani-Rahbar, MD, MPH, PhD (2014).
Impact of a Pertussis Epidemic on Infant Vaccination in Washington State.
Pediatrics 2014;134:456464

17

Anda mungkin juga menyukai