PENDAHULUAN
Pertusis atau batuk rejan atau batuk seratus hari merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun
1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella
pertussis (Cherry, 2013).
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi atau anak yang belum diimunisasi (Urwyler dan Heininger, 2014). Terdapat
20 sampai 40 juta kasus pertusis di seluruh dunia setiap tahunnya (Wall, 2011).
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena
menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun masih ada namun
jumlah kasusnya tidak signifikan (Thollot et al, 2014).
Dengan mendiagnosis secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut (Cherry, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih
disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang
terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk
yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun (Lam et al
2014; Srugo et al, 2000).
Pertusis adalah penyakit infeksi pada saluran napas yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertussis yang terjadi melalui 3 tahap yaitu tahap catarrhal,
paroxysmal dan convalescence (Gilley, 2014).
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian
pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang
600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang
tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Gouw et
al, 2014; Wolf et al, 2014).
B.
Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia
ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama
kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun (Cashmore et al, 2013; Wolf et al, 2014).
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga
lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.
Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5
tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan
terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1. Namun pada
kenyataannya perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi
sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan
orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%
(Cashmore et al, 2013; Clark, 2014).
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur
rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak
berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin
pertusis mulai digunakan secara luas (Srugo et al, 2000).
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus
dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat
menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat
menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif
setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan (Clark, 2014).
C.
Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Ada enam spesies dari
Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B.
holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen
yang paling umum ditemukan pada manusia (Murray et al, 2013).
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk
menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis
yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.
Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis
dan sesuai waktu (Murray et al, 2013).
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen
(terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang
disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia
saluran pernapasan (Berger et al, 2013).
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat
siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang
menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP
tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis
(Hoo et al, 2014; Murray et al, 2013).
D.
Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan
(Srugo et al, 2000).
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan:
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
F.
Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,00050,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT.
Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik
disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertussis (Beaman et al, 2014).
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan
menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika
pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada
waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7
tahun tidak rutin diimunisasi (Gilley dan Goldman, 2014; Lam et al, 2014).
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama
adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi
umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps,
hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya
kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg
BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,
riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah
kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis (Thollot et al, 2014).
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejalagejala penyakit.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
10
Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada
anak-anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang
kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan
menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,
perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang
dapat disebabkan oleh temperatur tinggi.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap
Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).
J.
Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000
kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004
di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua).
Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain (Cherry, 2013). Pada beberapa
11
penelitian disebutkan bahwa pasien dengan angka leukosit yang tinggi memiliki
prognosis yang buruk (Paksu, 2013).
12
BAB III
SIMPULAN
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang
sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas
akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia
ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal.
Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama
kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis
ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang
ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang,
batuk rejan.
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil
dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak
bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou. Bordetella pertussis
menghasilkan toksin pertusiss (TP). TP terbukti mempunyai banyak aktifitas
biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit),
beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.
13
DAFTAR PUSTAKA
Beaman MH, Karimi M, Hodge M, Keil AD, Campbell P (2014). Diagnosis of
Pertussis Using Nasopharyngeal IgA and Polymerase Chain Reaction in
Specimens from Outpatients in Australia. Eur J of Microb and Immunol 4:
177183
14
15
16
17