Anda di halaman 1dari 9

Definisi Vaksin

(Farmakope Indonesia Edisi IV)

PRODUKSI VAKSIN

Marlia Singgih Wibowo


School of Pharmacy ITB

Vaksin

adalah sediaan yang mengandung


zat antigenik yang mampu menimbulkan
kekebalan aktif dan khas pada manusia.
Vaksin dapat dibuat dari bakteri, riketsia
atau virus dan dapat berupa suspensi
organisme hidup atau inaktif atau fraksifraksinya atau toksoid.

Jenis-jenis vaksin virus menurut


Kistner, 2003 (2) :

Jenis-jenis vaksin (menurut FI IV)


1. Vaksin Bakteri
dibuat dari biakan galur bakteri yang sesuai dalam
media cair atau padat yang sesuai dan mengandung
bakteri hidup atau inaktif atau komponen
imunogeniknya.
2. Toksoid Bakteri
diperoleh dari toksin yang telah dikurangi atau
dihilangkan sifat toksisitasnya hingga mencapai tingkat
tidak terdeteksi, tanpa mengurangi sifat
imunogenisitas.
3. Vaksin Virus dan Riketsia
adalah suspensi virus atau riketsia yang ditumbuhkan
dalam telur berembrio, dalam biakan sel atau dalam
jaringan yang sesuai. Mengandung virus atau riketsia
hidup atau inaktif atau komponen imunogeniknya.
Vaksin virus hidup umumnya dibuat dari virus galur
khas yang virulensinya telah dilemahkan.

Vaksin virus hidup yang dilemahkan


(Live Attenuated virus Vaccines).
Vaksin virus inaktif/mati
(Inactivated/killed virus Vaccines).
Vaksin subunit (subunit Vaccines).

Vaksin virus hidup yang


dilemahkan
Proses Pelemahan Virus (Atenuasi Virus) :
Virus virulen dapat dibuat menjadi kurang virulen
(attenuated) dengan cara menumbuhkan virus tersebut
pada sel inang yang berbeda dari sel inang normal atau
dengan cara mengembang-biakkan virus tersebut pada
suhu non fisiologis. Mutan yang mampu berkembang biak
lebih baik dibanding virus tipe liar (wild type) pada kondisi
selektif tersebut akan meningkat selama replikasi virus.
Jika mutan tersebut diisolasi, dimurnikan, dan diuji
patogenisitas pada model yang tepat, beberapa tipe mutan
dapat memiliki sifat patogen yang lebih rendah
dibandingkan induknya.

Vaksin virus inaktif/mati


Pada metoda ini, virus yang secara alami bersifat patogen
diproduksi dalam jumlah besar dan diinaktifkan dengan
menggunakan bahan kimia atau prosedur fisik yang
dirancang untuk menghilangkan sifat infektif dari virus tanpa
kehilangan sifat antigenisitasnya (yaitu kemampuan untuk
memicu respons imun yang diinginkan).
Teknik yang umum digunakan adalah dengan cara perlakuan
dengan formalin atau beta propriolactine atau ekstraksi dari
partikel envelope virus dengan detergen nonionik seperti
Triton X-100. Jenis vaksin ini relatif tidak memerlukan proses
pembuatan yang rumit dan berbiaya murah.
Contoh Vaksin virus inaktif : Vaksin Influenza, Poliovirus (Salk
Vaccine), Rabies , vaksin untuk hewan (veterinary).

Mutant tersebut merupakan kandidat yang baik sebagai


vaksin karena mereka tidak lagi berkembang dengan baik
pada inang alaminya tetapi memiliki kemampuan bereplikasi
yang cukup tinggi sehingga dapat menstimulasi respons
imun, tetapi tidak menimbulkan penyakit.

Contoh Vaksin yang dilemahkan (attenuated vaccine) :


Vaksin BCG, Vaksin Sabin (polio), Vaksin campak, Vaksin rubella

Vaksin Subunit
Mengambil hanya suatu bagian protein virus untuk dibuat
menjadi suatu vaksin, contoh : vaksin hepatitis B dan
vaksin influenza.
atau Vaksin diformulasikan hanya dengan beberapa
komponen yang dimurnikan dari virus (tanpa memasukkan
seluruh bagian virus) disebut dengan vaksin subunit.
Komponen virus yang diambil adalah protein virus yang
dikenali oleh antibodi.
Pada banyak kasus, protein yang digunakan adalah
protein struktural virus, khususnya protein yang
ditemukan pada permukaan virion, yang merupakan target
utama dari respons imun.

Teknik Rekombinan DNA : mengklon suatu gen virus yang cocok pada
virus non patogen, bakteri, ragi, atau sel serangga atau sel tanaman
untuk memproduksi protein yang imunogenik.

Contoh Vaksin Subunit : Herpes Simplex Virus


Bagian Antigenik dari Herpes Simplex Virus adalah
HSV viral envelope glycoprotein D
Skema Proses Produksi Vaksin subunit HSV

CHO cell

Keuntungan dari Vaksin Subunit :

Hanya genom virus yang digunakan dalam sistem ini, maka tidak
ada kemungkinan kontaminasi dari virus terhadap vaksin yang
dihasilkan
Protein virus dapat diproduksi dengan biaya terjangkau dalam
jumlah besar dengan rekayasa organisme pada kondisi yang
mempermudah pemurnian dan kontrol kualitas

clone gD
gene

transfect

HSV

Sebagai contoh, masalah dengan alergi telur setelah vaksinasi dapat


dieliminasi apabila protein NA dan HA pada virus influenza diproduksi
pada E. coli atau ragi.

infect

inject

purify &
concentrate

infect
Not Protected

Protected

DNA digabungkan dalam suatu plasmid


yang mengandung :

Teknik terbaru pembuatan vaksin yang sedang dikembangkan :


VAKSIN DNA

Dengan vaksin DNA, pasien tidak disuntik dengan


antigen tetapi dengan DNA yang mengkode suatu
antigen.

secreted protein

Sekuens DNA yang mengkode 1 atau lebih antigen


protein, seringkali berupa epitope yang sederhana atau
antigen lengkap.
Sekuens DNA bergabung dalam suatu promoter yang
akan memungkinkan DNA ini ditranskripsi secara efisien
pada sel manusia.
Seringkali sekuens DNA mengkodekan : Costimulatory
molecules, juga mengandung sekuens yang mentarget
protein yang diekspresikan pada lokasi intraselular
spesifik (seperti retikulum endoplasma).
DNA vaksin dapat diinjeksikan ke otot seperti vaksin
konvensional, atau dapat juga diberikan menggunakan
pistol gen

Keuntungan Vaksin DNA


Produksi Vaksin Influenza Inaktif
- Relatif murah dan mudah diproduksi : seluruh vaksin DNA
memerlukan proses produksi yang identik.
- DNA sangat stabil sehingga tidak memerlukan pendingin
selama pengiriman atau penyimpanan
- Mudah dikloning sehingga memungkinkan vaksin untuk
dimodifikasi dengan cepat jika diperlukan.
- Vaksin multivalen dapat disiapkan dengan mudah dengan
cara mencampur berbagai plasmid yang berbeda
- Memicu respons imun yang tahan lama tanpa risiko infeksi
yang tidak dikehendaki.
- Vaksin DNA yang saat ini sedang dalam tahap uji klinik :
Vaksin HIV

Secara umum, vaksin Influenza ditumbuhkan pada media telur


ayam yang berembrio (embryonated chicken eggs), tetapi
sekitar periode tahun 1990-an telah ada beberapa perusahaan
yang mencoba mengembangkan proses pembuatan vaksin
influenza dengan menggunakan media kultur jaringan mamalia
(tissue culture), tetapi belum diproduksi untuk skala komersial
di Eropa.

Proses produksi vaksin Influenza


menggunakan telur ayam berembrio

Allantoic Cavity
Chorio-Allantoic
Membrane

Natural Airspace

Amniotic
Cavity

Albumen
Sac

Shell
Membrane

Extra-Embryonic
Body Cavity
Yolk Sac

embryonated chicken eggs

Tahap 1 : Telur ditaruh dalam inkubator hingga


usia yang tepat (embrio berumur 9-11 hari).
Kemudian telur dilihat dibawah lampu untuk
memisahkan telur yang mengandung embrio
dan telur yang embrionya tidak tumbuh.
Tahap 2 : Setelah cangkang telur disterilkan,
maka telur diinokulasi dengan cara
menyuntikkan virus influenza spesifik ke dalam
bagian allantoic dari telur.

Tahap 3 : Telur diinkubasi untuk waktu yang


optimal (biasanya 48-96 jam) pada suhu optimal
(33-36C) dan kemudian dilihat lagi dibawah
lampu untuk memisahkan telur yang mati
(nonviable eggs).
Tahap 4 : Telur didinginkan (chilled) terlebih
dahulu dalam lemari pendingin untuk
meningkatkan hasil pada saat pemanenan dari
cairan allantoic yang terinfeksi. Cairan allantioc
atau cairan kultur jaringan kemudian diproses
lebih lanjut untuk menghilangkan protein telur
atau protein sel dan sisa-sisa sel, kemudian
diinaktivasi secara kimia, dan disimpai sebagai
bulk vaccines hingga proses formulasi berlangsung

Tahap 5 : Cairan allantoic yang dipanen harus


dijernihkan dengan cara filtrasi dan/ atau
sentrifuga sebelum proses pemurnian lebih
lanjut.

Tahap 6 : Penetapan potensi dilakukan pada


setiap kelompok vaksin monovalen
menggunakan antigen standar yang diketahui
jumlah HA (Hemagglutinin)-nya dan suatu
antiserum HA spesifik.

Kekurangan sistem produksi menggunakan


telur berembrio
Perlu ribuan telur per minggu, sekitar 1-2 telur untuk 1 dosis
Skema proses
produksi
vaksin dan
jangka waktu
yang
dibutuhkan
untuk
produksi

vaksin (cth.influenza), sehingga untuk jutaan dosis vaksin, perlu


lebih dari 1 juta telur berembrio yang harus diolah

Pada prosesnya, telur harus disinari satu per satu untuk melihat
pertumbuhan embrio. Cangkang telur harus disterilkan, dan setiap
telur harus diinokulasi dengan menyuntikkan sejumlah virus ke
dalam bagian allantoic telur
Telur kemudian diinkubasi selama 48-96 jam dan kemudian harus
disinari kembali satu persatu untuk memisahkan telur yang
embrionya tumbuh dan yang mati.
Selain itu, produksi vaksin dengan metoda telur berembrio
memiliki risiko alergi pada pasien terhadap protein yang berasal
dari telur (egg proteins).

Teknik pembuatan dengan media lain telah dikembangkan,


antara lain dengan menggunakan teknik lini sel menggunakan
VERO (African Green Monkey) Cells.

A Novel Vero Cell Derived Influenza Vaccine


(produksi : Baxter Vaccine AG)
1. Asal : sel ginjal monyet hijau afrika (Cercopithecus aethiops) ATCC
CCL81 yang diperoleh dari American Type Culture Collection at
passage no. 124 in 1988.
2. Cell Banks : MCB passage no. 128 (telah diuji tidak memiliki tumor
genisitas, tidak ada adventitious agent, dan identity/ genetic
stability)
3. WCB passage no. 133
4. Standard QC tests : Bacterial and mycotic sterility, Mycoplasma,
Extraneous agents
5. Sistem Fermentasi : Fermentor dgn pengaduk 1300 liters,
direncanakan yad :6000 liters.

Karakterisasi Vero Master Cell Bank (MCB)


Study
Tumorigenicity

Result
In vivo tumorigenicity in nude mice (FDA PTC 1993)

Sterility

Pharm. Eur.

Sterile

Mycoplasma

Pharm. Eur.

Free of Mycoplasmas

Mycobact.
tubercul.

Pharm. Eur.

Free of Mycobacterium tuberculosis

Adventitious
Virus Testing

In vitro assay in MRC-5, Vero, CEC, primary simian cells

No adventitious viruses detected

In vivo assay in suckling and adult mice, guinea pigs and


eggs

No presence of viral contaminants

Protocol for bovine virus detection according to 9CFR


requirements

No virus detected

In vitro assay for detection of porcine viral contaminants


using PPK indicator cells

No virus detected

Fluorescent product enhanced reverse transcriptase


(PERT) assay

Negative for the presence of retroviral RT activity

Transmission electron microscopy of sections for the


detection of viruses, fungi, yeasts, bacteria and
mycoplasmas

No viruses, virus-like particles, mycoplasmas,


fungi, yeasts or bacteria were observed

Human and
Simian Virus
Testing

Detection of HIV-1/2, HTLV-1/2, EBV, HBV, HCV, CMV,


HHV-6/7/8, SFV, SIV, SV-40, SCMV, SAV, SRV-1/2/3
by PCR

No virus sequences detected

Identity

Isoenzyme analysis of cell lines

Identity confirmed

Bovine and
Porcine Virus
Testing

Retrovirus
Testing

Acceptance of Vero Cells for Vaccine Production

No evidence for the presence of tumor formation

Vero Cell Technology

Vaccine

Regulatory State

Teknologi
Konvensional
(using foetal calf
serum)

Polio

Licensed for
about 20
years; today in
more than 60
countries

Baxters Serum and


Protein Free
Technology

Rabies

Influenza

Application for
EU licensure
First National
Licensure in
February 2002

Baxters Pilot Plant in Orth, Austria


with a 1200 Liter Fermenter

Vero Cell Microcarrier Cultures


a) before infection :

Vero cells

Titers of Different Influenza Virus Strains in Vero Cell


Cultures and in Embryonated Eggs
Type/
Subtype

Strain

Hemagglutinating
Units (HAU)
Vero
Egg

A/H1N1

A/PR/8/34
A/Brazil/11/78
A/USSR/90/77
A/Singapore/6/86
A/Taiwan/1/86
A/Texas/36/91
A/Bayern/7/95
A/Johannesburg/82/96
A/Beijing/262/95
A/New Caledonia/20/99

256
128
256
128
128
128
256
256
256
256

1024
1024
1024
128
512
256
128
1024
1024
1024

Ratio
Vero/Egg
3.6
1.8
3.6
14.3
3.6
7.2
28.6
3.6
3.6
3.6

A/H2N2

A/Singapore/1/57

128

512

3.6

A/H3N2

A/Hongkong/1/68
A/Texas/1/77
A/Shangai/16/85
A/Guizho/54/89
A/Beijing/353/89
A/Johannesburg/33/94
A/Wuhan/359/95
A/Nanchang/933/95
A/Sydney/5/97
A/Panama/2007/99

128
128
256
128
256
256
256
256
256
256

1024
256
128
128
256
128
512
512
1024
256

1.8
7.2
28.6
14.3
14.3
28.6
7.2
7.2
3.6
14.3

B/Massachusetts/71
B/Yamagata/16/88
B/Panama/45/90
B/Harbin/7/94
B/Shangdong/7/97
B/Yamanashi/166/98

128
128
128
256
128
256

512
256
256
512
256
512

3.6
7.2
7.2
7.2
7.2
7.2

b) after 3 days infection with Influenza :

microcarrier

Influenza induced CPE


(cytopathic effect)

microcarrier

Sediaan:
Baxters Vero Cell-Derived Influenza Vaccine
Trivalent: 15 g of hemagglutinin per strain, i.e.
A/H1N1, A/H3N2, and B
Ditumbuhkan pada suatu lini sel kontinu yang
terkualifikasi (VERO) menggunakan egg-derived
wildtype seed viruses yang disediakan WHO
Diinaktivasi dengan Formalin
Sucrose gradient purified whole virus vaccine
Bebas pengawet dan antibiotik
Diisikan dalam single-use syringes

Keuntungan Vero-Derived Influenza Vaccine


Tinjauan keamanan
Mayoritas reaksi lokal yang diamati pada 7 studi dengan 9 lot
vaksin yang berbeda selama 4 musim influenza cukup ringan,
sangat sedikit memberikan reaksi yang menengah, dan tidak
ada yang memberikan reaksi yang parah.
Kasus efek samping sistemik minimal.
Frekuensi dan derajat keparahan reaksi lokal dan sistemik dari
vaksin virus influenza yang diproduksi dengan media VERO
adalah sebanding dengan vaksin influenza yang diperoleh dari
media telur yang dilisensikan dari EU.

Baxters Influenza Vaccine Production Plants


in Bohumil, Czech Republic and Krems, Austria

Production Capacity in 2006:


Approx. 50 million doses of
trivalent influenza vaccine

1. Kemungkinan kontaminasi lebih kecil (pada telur


mungkin terkontaminasi avian retroviruses)
2. Penggunaan lini sel yang berkesinambungan,
memungkinkan establishment Master Cell Bank (MCB)
and Working Cell Bank (WCB) yang dapat ditapis secara
sempurna terhadap bahan asing
3. Pengawet (misalnya thiomersal) tetap penting untuk egg
derived vaccines; tapi tidak perlu untuk Vero derived
vaccine
4. Residu antibiotik pada terdpt pada egg derived vaccines;
tidak pada Vero derived vaccine
5. Bebas protein telur
6. Mengurangi kemungkinan kandungan endotoksin (kirakira 10 kali)

Titers of Different Influenza A Virus Strains


of Human or Animal Origin in Vero Cell Cultures
Subtype

Host

Strain

Hemagglutinating Units (HAU)


Vero

H1N1

Human
Human
Swine
Duck

A/PR/8/34
A/USSR/90/77
A/Swine/1976/31
A/Duck/Bavaria/2/77

256
256
256
256

H2N2

Human

A/Singapore/1/57

128

H3N2

Human
Swine
Swine
Duck

A/Hong Kong/1/68
A/Swine/Hong Kong/3/76
A/Swine/Hong Kong/127/82
A/Duck/Hong Kong/24/75

128
128
256
256

H5N3

Duck

A/Duck/Singapore/3/97

256

H7N1

Fowl

A/FPV/Rostock/34

256

Keuntungan penggunaan sel Vero untuk Vaksin


dibandingkan dengan penggunaan Telur
pada daerah Pandemik
Safety:
1) Influenza virus yang berpotensi pandemik memerlukan fasilitas BSL
3 (Safety Level 3 containment facilities) Hal ini tidak mungkin
dipenuhi oleh produksi dengan telur. Namun Baxters Pilot Plant and
the new Krems facility didisain untuk unit S3 / P3 d digunakan
dibawah kondisi S3/P3. Oleh karena itu, virus wildtype dpt
digunakan, tidak perlu attenuasi

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Logistik
2) Tahun 1997 Hongkong Avian flu menyebabkan produksi dengan telur
tidak dapat dilakukan.
Selain itu, virus demikian dapat
memusnahkan ayam betina, sehingga tidak dapat bertelur untuk
memenuhi kebutuhan telur berembrio.

7.
8.
9.
10.

Departemen Kesehatan RI, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 1995


Kistner, Otfried, Baxter Vaccine AG, A Novel Cell-Derived Influenza
Vaccine, National Influenza Summit, Chicago, May 20-21, 2003
Abbas AK, Lichtman AH, Prober JS. Cellular and Molecular Immunology.
2nd edition. W. B. Saunders Company: Philadelphia, 1994.
Ada G. Strategies for Exploring the Immune System in the Design of
Vaccines. Molecular Immunology 1991; 28(3):225-230.
Ertl HCJ, Xiang Z. Novel Vaccine Approaches. Journal of Immunology
1996; 156(10):3579-3582.
Hilleman MR. DNA Vectors: Precedents and Safety. Annals New York
Academy of Science 1995; 772:1-14.
Kuby J. Immunology. 2nd edition. W. H. Freeman and Company: New
York, 1994.
Liu MA. Overview of DNA Vaccines. Annals New York Academy of
Science 1995; 772:15-20.
Siegrist CA, Lamberst PH. DNA Vaccines: What Can We Expect?.
Infectious Agents and Disease 1996; 5:55-59.
Subbarao EK, Murphy BR. A General Overview of Viral Vaccine
Development. Genetically Engineered Vacines. Plenum Press: New York,
1992.

Anda mungkin juga menyukai