Di Kota kecil yang menghadap ke arah danau biru serta membelakangi bukit-bukit te
rjal berhutan lebat itu -- anak-anak dilahirkan, dipelihara, dan tumbuh cepat m
enjadi lelaki atau perempuan dewasa yang cerdas dan berani. Bila anak-anak i
tu marah, suara mereka menggeram seperti auman serigala yang sering terdengar da
ri puncak-puncak bukit terjal di kejauhan pada malam tanpa bulan. Pada malam s
ebelum badai panjang itu, anak-anak serigala yang sedang mengalami tumbuh tarin
g dan mulai senang meninggalkan rombongan itu, tergoda mengabarkan keberadaa
n mereka dengan lolongan panjang. Seakan mereka juga mengirimkan pesan -- ba
hwa bulan -- sedang menyembunyikan wajahnya, yang tadinya menyembul terang dar
i balik rimbunan awan gelap di atas sana.
Dan bulan yang melingkar putih sekejap itu, dapat menimbulkan bermacam gambaran
dan harapan bagi serigala-serigala itu.
Bulan itu terkadang seperti sebuah pulau cahaya di tengah malam, dengan aro
ma daging bakar menebar dari sana, menggoda selera makan mereka di tengah uda
ra malam yang dingin.
Bulan itu terkadang seperti boneka berambut keperakan bersinar lembut, terayun-a
yun di tangan seorang bocah perempuan yang sedang bermain di halaman rumah, sa
mbil mengenangkan kakek dan neneknya yang telah lama pergi.
Bulan itu terkadang seperti bola salju yang menebarkan hawa dingin, siap melum
er, ketika hawa panas napas menyentuh permukaannya, lalu merembes dan menggel
ombang berupa topan, menghancurkan selaput inti es yang sukar disosokkan kecual
i dengan mata
batin itu.
Dan bulan itu terkadang menyerupai matahari yang dulu pernah menggantung di bar
at bukit, suatu kali terjatuh ke danau hingga kedalaman tertentu, lalu tak per
nah mengambang lagi dari sana. Sampai beberapa orang terpikir menggantikannya
dengan matahari baru; namun kali itu, dengan bongkahan matahari dari plas
tik, yang tak akan pernah terbenam sekalipun terjatuh ke danau.
Lalu dalam pertumbuhan mereka, anak-anak itu dilindungi dengan ranjang bes
i. Tempat mereka tertidur nyenyak. Terhindar dari mimpi-mimpi kebebasan, yang
dapat membuat mereka membayangkan apa saja. Termasuk membayangkan bunga-bunga m
ekar di antara keheningan, dari mulut beberapa kuburan tua yang menganga di kak
i bukit.
Dua ekor anjing penjaga siap menyalak, bila seseorang atau apapun menjelma m
enjadi ancaman yang dapat mencelakakan, atau sekadar menimbulkan rasa takut ba
gi anak-anak itu.
Namun selama ancaman terjadi di luar sana, berupa kekacauan rumah tangga, pep
erangan antarbangsa, persaingan kecerdasan menciptakan senjata-senjata mem
atikan, atau raungan putus asa Romeo dan Juliet, seperti yang sedang dipentask
an di satu-satunya gedung teater di kota kecil itu -- tidak sampai ke telinga ap
alagi ke tepi kesadaran mereka -- berarti semuanya teratasi dengan baik. Bahwa
kekurangajaran pikiran, dan kisah orang-orang yang memilih mati menjelang pag
i -- tak tercatat sebagai noktah pengetahuan di benak mereka.
Di dinding ada peta, agar anak-anak itu kelak mengetahui batas-batas wilayah
yang mereka huni; tempat mereka hidup dengan aman dan penuh pengharapan memb
uru masa depan. Lalu, tersedia radio-radio yang dapat digunakan setiap saat, b
ila mereka membutuhkan sesuatu yang lucu: seperti suara-suara para penyanyi dar
i seberang lautan, yang terkadang melesat bagai kelelawar bersayap lebar menyur
Maka, membayangkan semua kebiasaan itu, sang anak pun suatu pagi tergesa-gesa m
emegangi dan memencet-mencet ujung hidungnya, seraya menciumi bau tangannya y
ang saat itu berlepotan butir-butir coklat, yang tertumpah dari botolnya di ata
s meja.
Pada saat itu, ia pun seakan dapat memahami kenikmatan yang dirasakan sang ib
u, dengan pekerjaan rumah yang halus serta segala makanan berlemak yang tera
sa lembut di mulutnya itu.
"Nah," kata sang ibu suatu malam, dengan senyum lebar penuh kemenangan. "...mul
ai kini ibu unya asisten menyediakan sarapan dan makan malam..."
Sang anak tertawa kecil ke arah ayah dan saudara-saudaranya, yang kini memanda
ng terkesima melihat langkahnya yang gemulai menghampiri meja makan.
Sang anak tak dapat menjelaskan, bagaimana ia mulai menyukai cara melangkah sa
mbil melenggangkan pinggul seperti ibunya itu.
***
Bekasi Timur, 1996
* Diilhami karya instalasi Andar Manik dalam CONTEMPORARY
ART OF THE NON ALIGNED COUNTRIES, 1995, di Jakarta, Indonesia -- berjudul "Taki
ng The Children".