Anda di halaman 1dari 4

Jaga Anak Baik-baik!

Di Kota kecil yang menghadap ke arah danau biru serta membelakangi bukit-bukit te
rjal berhutan lebat itu -- anak-anak dilahirkan, dipelihara, dan tumbuh cepat m
enjadi lelaki atau perempuan dewasa yang cerdas dan berani. Bila anak-anak i
tu marah, suara mereka menggeram seperti auman serigala yang sering terdengar da
ri puncak-puncak bukit terjal di kejauhan pada malam tanpa bulan. Pada malam s
ebelum badai panjang itu, anak-anak serigala yang sedang mengalami tumbuh tarin
g dan mulai senang meninggalkan rombongan itu, tergoda mengabarkan keberadaa
n mereka dengan lolongan panjang. Seakan mereka juga mengirimkan pesan -- ba
hwa bulan -- sedang menyembunyikan wajahnya, yang tadinya menyembul terang dar
i balik rimbunan awan gelap di atas sana.
Dan bulan yang melingkar putih sekejap itu, dapat menimbulkan bermacam gambaran
dan harapan bagi serigala-serigala itu.
Bulan itu terkadang seperti sebuah pulau cahaya di tengah malam, dengan aro
ma daging bakar menebar dari sana, menggoda selera makan mereka di tengah uda
ra malam yang dingin.
Bulan itu terkadang seperti boneka berambut keperakan bersinar lembut, terayun-a
yun di tangan seorang bocah perempuan yang sedang bermain di halaman rumah, sa
mbil mengenangkan kakek dan neneknya yang telah lama pergi.
Bulan itu terkadang seperti bola salju yang menebarkan hawa dingin, siap melum
er, ketika hawa panas napas menyentuh permukaannya, lalu merembes dan menggel
ombang berupa topan, menghancurkan selaput inti es yang sukar disosokkan kecual
i dengan mata
batin itu.
Dan bulan itu terkadang menyerupai matahari yang dulu pernah menggantung di bar
at bukit, suatu kali terjatuh ke danau hingga kedalaman tertentu, lalu tak per
nah mengambang lagi dari sana. Sampai beberapa orang terpikir menggantikannya
dengan matahari baru; namun kali itu, dengan bongkahan matahari dari plas
tik, yang tak akan pernah terbenam sekalipun terjatuh ke danau.
Lalu dalam pertumbuhan mereka, anak-anak itu dilindungi dengan ranjang bes
i. Tempat mereka tertidur nyenyak. Terhindar dari mimpi-mimpi kebebasan, yang
dapat membuat mereka membayangkan apa saja. Termasuk membayangkan bunga-bunga m
ekar di antara keheningan, dari mulut beberapa kuburan tua yang menganga di kak
i bukit.
Dua ekor anjing penjaga siap menyalak, bila seseorang atau apapun menjelma m
enjadi ancaman yang dapat mencelakakan, atau sekadar menimbulkan rasa takut ba
gi anak-anak itu.
Namun selama ancaman terjadi di luar sana, berupa kekacauan rumah tangga, pep
erangan antarbangsa, persaingan kecerdasan menciptakan senjata-senjata mem
atikan, atau raungan putus asa Romeo dan Juliet, seperti yang sedang dipentask
an di satu-satunya gedung teater di kota kecil itu -- tidak sampai ke telinga ap
alagi ke tepi kesadaran mereka -- berarti semuanya teratasi dengan baik. Bahwa
kekurangajaran pikiran, dan kisah orang-orang yang memilih mati menjelang pag
i -- tak tercatat sebagai noktah pengetahuan di benak mereka.
Di dinding ada peta, agar anak-anak itu kelak mengetahui batas-batas wilayah
yang mereka huni; tempat mereka hidup dengan aman dan penuh pengharapan memb
uru masa depan. Lalu, tersedia radio-radio yang dapat digunakan setiap saat, b
ila mereka membutuhkan sesuatu yang lucu: seperti suara-suara para penyanyi dar
i seberang lautan, yang terkadang melesat bagai kelelawar bersayap lebar menyur

uk lorong telinga mereka.


Hingga, anak-anak terbiasa menikmati tidur sehat dan nyaman sepanjang malam. T
erhindar dari ketidakberesan cuaca dan suara-suara sumbang yang tak dikenal d
an tak terpahami, namun dapat membuat siapa saja menangis kebingungan. Karena d
alam suara-suara sumbang itu, kerap terdengar kisah-kisah terror yang setiap ha
ri dirancang para orangtua di gedung-gedung tinggi, dengan perlindungan berbata
lion pasukan keamanan yang siap menembakkan peluru, begitu menangkap isyarat ata
u sekadar tanda yang memancing kecurigaan pada kesadaran membunuh mereka.
Maka, anak-anak belum saatnya mendengarkan gelombang sekian-sekian, yang dapat
menyebutkan apa saja tentang isi hati para orangtua. Sementara, para orangt
ua sedang mendengarkan dengan gembira, berita terakhir tentang perebutan keku
asaan di sebuah negeri di kejauhan; atau bangkrutnya sebuah negara oleh sekel
ompok pengusaha raksasa, yang terkadang mampu menguasai mati hidupnya belasan n
egara sekaligus.
Dan anak-anak juga belum saatnya mengetahui: bahwa di kota kecil yang melahi
rkan mereka, para orangtua harus berpacu di setiap perjalanan karena banyakny
a kesibukan, di antaranya kegiatan menghadiri sidang-sidang bisnis penting yang b
erkaitan dengan keamanan negara. Atau, para orangtua sedang bercinta-cintaa
n dengan seseorang, yang siap berselingkuh pada jam-jam tertentu; sejenak menc
apai kebahagiaan, melampiaskan fantasi seksual yang pernah dimiliki pada mas
a lewat -- dan dengan memuaskannya, berharap -- akan menyegarkan kembali iram
a kehidupan yang sempat monoton dan kering. Karena, semakin jauh dari lelucon
lagu pop dan keputusasaan para pecinta abad romantik, yang kini hanya dap
at menangis di novel-novel dan di film-film.
Namun, anak-anak harus tumbuh dengan pengertian para pecinta yang lapar segalany
a -- yang hanya dapat terpenuhi oleh perhatian para orangtua -- yang bertahun-ta
hun kemudian mereka antarkan ke kuburan dengan upacara meriah. Atau, terkadan
g mereka biarkan saja terpuruk di sudut ruangan, hingga mereka hanya dapat me
nyesali ketuaan yang menelantarkan mereka -- sampai-sampai memandangi punggung a
nak-anak pun mereka sangat takut -- apabila akhirnya mereka terusir dari rumah,
yang dulu dibangun untuk pertumbuhan dan keamanan anak-anak, dari ancaman k
ejahatan jalanan, yang membiarkan anak-anak menggilas keorangtuaan siapa pun.
Hingga para orangtua tergerak memaklumi, bahwa apa yang sangat dibutuhkan a
nak-anak -- kecuali rasa aman di antara perut kenyang dan imajinasi yang terpua
skan -- adalah...darah!
Darah... Darah... Tetesen darah di moncong serigala di bawah bulan yang perlahan
sembunyi ke balik gumpalan awan gelap.
Dan terkadang, melebihi sekelompok serigala lapar di kejauhan, yang sedang menel
an liur atas bayangan daging mentah berdarah yang menjadi makanan rutin mereka
sejak masa kecil -- anak-anak sangat menyukai anyir darah, dan bermimpi telah
menghirupnya di lorong kegelapan luka di kaki atau di tangan yang membusuk s
ebagai anggota tubuh mereka.
Anak-anak seperti menyadari, bahwa dengan menghirup
ang berkenalan dengan kefanaan -- sejak berupa lingkaran
endiri, yang kemudian membesar berupa kepedihan semesta
ia tertelan, dan kehidupan terbentang berupa kubangan
dan suatu kali menenggelamkan matahari di barat bukit.

bau darah -- mereka sed


kecil keperihan luka s
kemanusiaan. Hingga dun
tanpa dasar, pekat,

Perang. Perang. Perang.


Terkadang para orangtua pun tak bisa menghalau perang yang menyerbu tidur anak
-anak, mengasingkan mereka dari cahaya bulan, dan menjauhkan mereka dari auman

serigala. Lalu mereka dibiasakan berdekatan dengan segala bentuk kejahatan, y


ang setiap detik setiap jam setiap hari diajarkan di TV, di koran-koran dan
di buku-buku, saat mereka terus mengeja:
"Ini pisau ibu menikam ayah!"
"Ini pestol ayah menembak ibu!"
"Ibu-ibu menikam ayah-ayah!"
"Ayah-ayah menembak ibu-ibu!"
Hingga suatu ketika, anak-anak pun memutuskan berhenti mengeja dan mulai
bertanya, "Adakah yang lebih mulia dan kejam daripada orangtua?..."
Kata anak itu bersungut-sungut, "Sebetulnya saya ingin menjadi petinju, t
etapi ibu tak pernah mendukung apalagi mengijinkan saya berlama-lama di sasana
tinju di blok sebelah!..."
Lalu anak itu pernah berusaha agar keluarganya menyukai seorang petinju. Ia
sengaja membawa seorang teman sekolahnya yang menjadi murid seorang petinju t
erkenal itu bermain ke rumah.
Namun selama dua jam teman sekolahnya itu berada di antara ibu dan saudara-s
audaranya, tak ada tanda-tanda yang memperlihatkan rasa suka apalagi ingin men
getahui lebih jauh dari saudara-saudara dan ibunya itu. Mereka bahkan sama se
kali tak menyimak, ketika dengan bersemangat teman sekolahnya yang menyukai
olah raga tinju itu bercerita tentang gaya bokser yang baru dipelajarinya.
Akhirnya, dengan perasaan bersalah anak itu mengantarkan teman sekolahnya s
ampai ke halaman. Ia meminta maaf dan sangat menyayangkan, karena murid seoran
g petinju terkenal tidak diterima dengan layak di rumahnya.
Lalu anak itu sering memperhatikan apa saja dengan serius, dan memikirkannya s
ebelum tidur. Dan berkali-kali ia sudah merenungkan, bagaimana ibunya sangat me
mbenci pekerjaan yang mengeluarkan keringat serta menimbulkan ribut, seperti hal
nya kesibukan sang ayah di garasi pada hari-hari Minggu tertentu. Tetapi, ibu
nya sangat menyukai pekerjaan rumah yang serba halus dan lembut.
Tangan ibunya memang halus dan lembut, dan sangat mendatangkan kenyamanan bila be
rsentuhan dengan tangan yang selalu bergerak gemulai itu. Tetapi anak itu tak b
isa memungkiri kenyataan: bahwa ia sering mencium bau susu yang memuakkan
dari tangan ibunya. Itu boleh jadi timbul akibat pekerjaan rumah lainnya yang s
angat dinikmati sang ibu, yakni mengoleskan susu, keju dan coklat, sebaga
i isi roti untuk sarapan, dan sering lupa membersihkan tangannya usai melakukan
semua itu.
Pada ibunya, anak itu mengenali pula semacam kebiasaan aneh. Ibunya setiap kal
i akan menggosok-gosokkan ujung tangannya ke hidungnya, setelah bersalaman den
gan seseorang. Sang ibu; seolah ingin segera tahu, sang tamu terbuat dari baha
n apa, mengandung susu atau tidak, dilapisi keju atau tidak, atau cuma dilu
muri coklat cair? Sang ibu; seolah serigala betina, seperti sengaja ingin mem
baui korbannya terlebih dulu?
Dan anak itu tak bisa mengabaikan khayalan-khayalan buruknya tentang sang ibu. B
ahwa sang ibu sangat menyukai makanan lembut, lunak, dan sarat lemak. Seperti s
osis daging sapi misalnya, akan dilumuri sang ibu dengan mentega, lalu digore
ng bersama telur, dan kemudian dikunyah dengan tidak sabar -- seraya ses
ekali mengisi mulut dengan bergelas-gelas susu hangat yang sangat manis.

Maka, membayangkan semua kebiasaan itu, sang anak pun suatu pagi tergesa-gesa m
emegangi dan memencet-mencet ujung hidungnya, seraya menciumi bau tangannya y
ang saat itu berlepotan butir-butir coklat, yang tertumpah dari botolnya di ata
s meja.
Pada saat itu, ia pun seakan dapat memahami kenikmatan yang dirasakan sang ib
u, dengan pekerjaan rumah yang halus serta segala makanan berlemak yang tera
sa lembut di mulutnya itu.
"Nah," kata sang ibu suatu malam, dengan senyum lebar penuh kemenangan. "...mul
ai kini ibu unya asisten menyediakan sarapan dan makan malam..."
Sang anak tertawa kecil ke arah ayah dan saudara-saudaranya, yang kini memanda
ng terkesima melihat langkahnya yang gemulai menghampiri meja makan.
Sang anak tak dapat menjelaskan, bagaimana ia mulai menyukai cara melangkah sa
mbil melenggangkan pinggul seperti ibunya itu.
***
Bekasi Timur, 1996
* Diilhami karya instalasi Andar Manik dalam CONTEMPORARY
ART OF THE NON ALIGNED COUNTRIES, 1995, di Jakarta, Indonesia -- berjudul "Taki
ng The Children".

Anda mungkin juga menyukai