Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PEMBAHASAN
A. Musyawarah
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam
al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat
dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat
dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali
dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: (Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.) (QS. as Syuura: 38)
Oleh karena kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah I menyuruh rasulnya
melakukannya, Allah berfirman: (Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) (QS.
Ali Imran: 159)
Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah
tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau
mengalah pada pendapat mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat
Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush'ab
dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap bermusyawarah
dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada semua kebaikan, walaupun terkadang
hasilnya tidak menggembirakan.
1) Musyawarah Rasulullah dengan para sahabatnya
Rasulullah r adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan
beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah
dengan mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah
dengan mereka di perang khandak, beliau mengalah dan mengambil pendapat para pemuda
untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas
sebagaimana di perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak,
beliau pernah berniat hendak melakukan perdamaian dengan suku ghatafan dengan imbalan
sepertiga hasil buah madinah agar mereka tidak berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan
anshar menolak, belia menerima penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di
Hudaibiyah Rasulullah r bermusyawarah dengan ummu Salamah ketika para sahabatnya tidak
mau bertahallul dari ihram, dimana beliau masuk menemui ummu Salamah, beliau berkata,
"manusia telah binasa, aku menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at kepadaku, mereka
merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang telah mereka persiapkan sebelumnya,"
kemudian ummu Salamah mengusulkan agar beliau bertahallul dan keluar kepada mereka, dan
beliau pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka langsung
segera berebut mengikuti beliau.
Rasulullah r telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan
dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti petunjuk beliau,
sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap
masa dan tempat

2) Musyawarah fleksibel
Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan
harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan bisa juga ia
membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan menyampaikan pendapat
dalam hal-hal yang dibolehkan berijtihad oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa
yang telah dilakukan oleh Rasulullah r, dimana ketika orang-orang bijak yang mewakili rakyat di
madinah, ketika mereka berkumpul di sekitar beliau dan mereka semua adalah sahabat,
Rasulullah bermusyawarah dengan mereka tentang hal-hal yang tidak ada wahyu dan nash,
memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan;
karena mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini adalah tidak berkaitan
dengan hukum syari'at atau masyarakat, akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, seperti
seni berperang, menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita
sekarang ini bisa kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah, Rasulullah
memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan:
"kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia
melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan
bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan
perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai
macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting
pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar
haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu
yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu
syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.
Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat
muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman
dalam membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan
keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam
menghambakan diri padaNya.
Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua adalah kesadaran rakyat terhadap
wajibnya melaksanakan hukum Allah, dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan
menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam
bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, karena ini semua bertentangan dengan akidah tauhid,
dan merupakan bahaya yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada pengkultusan ini
dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya,
atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala
yang menyerupai syi'ar ibadah, dan menjatuhkan manusia kepada kesyirikan baik mereka
meyadari atau tidak, dan ini semua tidak boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari
oleh petunjuk al-Qur'an dan hadits.

HalHal yang Boleh di Musyawarahkan


Islam memberikan batasan batasan hal hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena

musyawarah adalah pendapat orang, maka apa apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al Quran dan
As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para sahabat pun kalau
dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW . Apakah
masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi . Jika pada
kenyataannya adalah ijtihad Nabi , maka mereka mengemukakan pendapat .
Masalah masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al Quran dengan kata Al Amr . Istilah amruhum
disini berarti masalah bersama atau common problems , yaitu masalah masalah yang menyangkut
kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang bersangkutan .
Tata Cara Musyawarah
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang
memberikan pertimbangan kepada beliau , lalu beliau melihat pendapat itu benar , maka beliau
mengamalkannya (2) Kadang kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3)
Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian .
Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara
musyawarah , anggota musyawarah bias selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
zaman , tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara .
Adapun hal hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat , baik langsung maupun lewat
perwakilan , dan ada hal hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri) , ulama ,
cendekiawan , dan pihak - pihak berkompeten lainnya , tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan
semangat kebenaran dan kejujuran . Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan
kemenangan .

B. Menegakkan Keadilan
Al-Quran memerintahkan kita supaya berlaku adil dalam mengucapkan kata-kata
terhadap siapa pun. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil(Q.S.6: 152).
Apa yang dimaksud dengan keadilan kata-kata?
Keadilan kata-kata, kata Khalid Muhammad Khalid, bererti jangan hendaknya katakatamu sampai menyakiti hati tanpa memperdulikan siapakah orangnya; walupun kata-kata itu
benar dan nyata sebagaimana halnya cacat dan keganjilan yang terdapat pada diri seseorang,
maka kata-kata yang demikian itu bererti memperkosa keadilan dan berusaha menyingkirkan
keadilan. (Khalid, 1984: 155)
Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi, Bagaimana kiranya kalau yang saya
katakan itu memang benar-benar ada padanya?. Beliau menjawab: Kalau memang benar bererti
engkau mengumpat; bila tidak, maka engkau berdusta. (Muslim) Dalam kesempatan lain Rasul
memperingatkan bahawa, Orang muslim itu ialah orang yang selamat kaum muslimin daripada
kejahatan lidahnya dan tangannya. (Muttafaqun alaih). Menyakiti orang lain dengan tangan
adalah perbuatan aniaya, begitu juga menyakiti orang lain dengan lidah, -itu pun perbuatan

zalim. Ini melanggar prinsif keadilan. Itulah sebabnya Rasul melarang membicarakan sesuatu
yang dapat menyinggung perasaan seseorang, walaupun apa yang kita perkatakan itu benar-benar
ada dan terdapat padanya, yang dalam istilah agama disebut ghibah (mengumpat). Tentu saja
dalam hal ini ada pengecualian; Misalnya menjelaskan ciri-ciri seseorang kepada orang yang
belum kenal dan belum pernah berjumpa dengannya, atau menyebut keburukan seseorang kerana
untuk mengambil pelajaran (Itibar) daripadanya, atau untuk memberikan kesaksian dimuka
mahkamah, dan sebagainya. (An-Nawawi,II: 413). Ini dibolehkan dalam agama; kerana yang
demikian itu memang sudah pada tempatnya pula kita melakukannya dan itu pun termasuk juga
kedalam adil. Bukankah adil itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana didefinisikan
orang?
Ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Daud as. untuk memutuskan perkara diantara
manusia, Ia berkata: Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Q.S.38: 26). Didalam
ayat itu ada dua hal yang mesti diperhatikan: pertama, mengambil keputusan hukum dengan adil;
dan kedua, jangan mengikuti hawa nafsu. Ini diperingatkan oleh Allah swt , kerana seringkali
penguasa memerintah dan menetapkan hukum atas dasar seleranya peribadi (hawa nafsu),
sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Sebenarnya ayat diatas tidak menyebut istilah adil, melainkan al-haq yang lebih sering
diterjemahkan dengan kebenaran (fahkum baynan-Nasi bil-haq). Tetapi yang dimaksud dengan
al-haq -dalam konteks hukum- memang adil itu. Itulah sebabnya Team Penterjemah Al-Quran
dan Terjemahannya serta mufassir lain, menafsirkan al-haq tadi dengan adil. Jadi, keadilah
hukum itu adalah mengikuti dan menetapkan perkara dengan kebenaran. Adil dalam ayat
tersebut (atau al-haq) dipertentangkan dengan hawa nafsu; maka tindakan tidak adil itu adalah
tindakan yang mengikuti hawa nafsu. Dalam bahasa ilmiah sekarang, hawa nafsu itu adalah
egoisme, kepentingan peribadi atau golongan, atau subyektivisme.(Rahardjo, 1994:23).
Bila untuk standar keadilan hukum Allah swt. menggunakan kata al-haq (kebenaran),
maka untuk standar keadilan kata-kata Allah menggunakan istilah Qawlan Sadidan, sebagaimana
yang terdapat pada ayat: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah qawlan sadidan, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.(Q.S.33:70-71).
Apa arti Qawlan Sadidan? Al-Quran dan Terjemahannya menafsirkan dengan perkataan
yang benar. Ini sejalan dengan Dr. Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr. Muhammad Muhsin Khan, dari
Islamic University Al-Madinah Al-Munawwarah, yang menterje-mahkannya kedalam Bahasa
Inggeris sebagai the truth. Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan makna qawlan sadidan itu
dengan: ay mustaqman l Iwijja fhi wal inhirf (iaitu perkataan yang lurus, tidak berbelit-belit, dan
tidak ada padanya penyelewengan makna).
Jika pada ayat diatas kita diperintahkan supaya mengucapkan qawlan sadidan, maka pada
ayat lain kita dilarang mengatakan Qawlaz-Zur. maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis
itu dan jauhilah qawlaz-Zur.(Q.S.22:30). Qawlaz-Zur oleh Al-Quran dan Terjemahannya
ditafsirkan dengan perkataan-perkataan dusta, atau lying speech seperti yang diterjemahkan oleh
Al-Hilali dan Khan. Dr. Muhammmad Hasan Al-Himshi menjelaskan maksud Qawlaz-zur itu
sebagai qawlal-bathili wal-kazibi al-qobih (perkataan yang bathil dan bohong lagi keji). Maka
Qawlan Sadidan bertentangan dengan Qawlaz-Zur.

Al-Qur'an mengatakan bahwa berbicara yang benar, menyampaikan pesan-pesan yang


benar adalah prasyarat untuk kebaikan (kemashlahatan) amal perbuatan dan perilaku kita di
dunia ini. Kalau kita ingin menjadi orang yang baik, maka perbaikilah lebih dahulu kata-kata
yang kita ucapkan, berbicaralah dengan benar dan jujur. Bila kita ingin memperbaiki masyarakat,
kita harus menyampaikan pesan yang benar. Dengan perkataan lain, masyarakat akan menjadi
rosak bila pesan komunikasi tidak benar, bila orang menyembunyikan kebenaran, bila orang
menebar fitnah, dan bila orang tidak lagi memperhatikan moral dalam berbicara, dan sebagainya.
Kriteria Pemimpin
Pemimpin umat atau dalam ayat diatas disitilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain
(QS.AN-Nisa'4:59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw
setelah beliau meninggal dunia.Sebagai Nabi dan rasul,Nabi Muhammad saw tidak bisa
digantikan,tapisebagai kepala negara,pemimpin,ulil amri tugas beliau dapat digantikan.
Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus
memenuhi empat kriteria sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55 di atas.
1. Beriman kepada Allah SWT
Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan rasulullah saw,sedangkan Rasulullah
sendiri pelaksana kepemimpinan Allah SWT,maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki
oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah,Rasul,dan rukun iman yang
lainnya).Tanpa keimanan kepada Allah dan rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan
memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.
2. Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah vertikal lansung kepada Allah SWT.Seorang pemimpin yang
mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik denga Allah
SWT.Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat
tercermin dalam kepemimpinannya.Misalnya nilai kejujuran .

3. membayar Zakat
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
sosial.Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan
hartanya.Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal.Dan lebih
dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinngi terhadap kaum dhu'afa dan mustadh'afin.
4. Selalu Tunduk patuh Terhadap Allah SWT
Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku' (wa
hum raki'un) .Ruku' adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan rasul-Nya
yangsecara konkret dimanefestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah(total),baik
dalam aspek aqidah,ibadah,akhlaq maupun mu'amalat.Aqidahnya benar (bertauhid secara murni
dengan segala konsekuensinya,bebas dai segala bentukkemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai
tuntunan Nabi,akhlaqnya terpuji (shidiq,amanah,adil,istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan
mu'amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syariat Islam.
BAB II

KESIMPULAN

1.
2.
3.
4.

Dari pembahasan tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Islam
mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap
otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara
melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi
dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan
berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan
dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan
menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul
halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan
musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.
Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus
memenuhi empat kriteria sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55 di atas.
Beriman kepada Allah SWT
Mendirikan Shalat
membayar Zakat
Selalu Tunduk patuh Terhadap Allah SWT

Anda mungkin juga menyukai