Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK

KOORDINASI DALAM PEMERINTAHAN

Rahmat Nur
( 157320004)
Dwi Mina Intan Permadi ( 157320006)
Afrianto Kurniawan
(157320027)
Subroto
(157320025)
PASCASARJANA ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2015

Latar Belakang

Pentingnya koordinasi (coordination) telah disadari sejak lahirnya


peradaban dan budaya manusia. Fungsi koordinasi dipelajari dan diangkat
menjadi konsep manajemen sejak awal abad 20.
Ada dua cara pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya
memahami gejala koordinasi yaitu :

1. pendekatan politik, normatif, atau birokratik


Pendekatan ini yang dianut oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang,
menurut pendekatan politik, koordinator titetapkan terlebih dahulu atau
ditetapkan bersama-sama dengan unit-unit kerja lain, kegiatan
koordinator itulah yang disebut koordinasi.

2. Pendekatan manajemen atau empirik


Koordinasi merupakan kebutuhan setiap orang atau institusi,
kebutuhan akan koordinasi mendorong setiap orang atau
kelompok untuk berkoordinasi satu dengan yang lain.

Koordinasi merupakan fungsi organisasi, begitu organisasi


dibentuk atau terbentuk, koordinasi internal dan ekternal harus jalan.
Yang satu berkoordinasi dengan yang lain, atau berbagai kegiatan,
program, lembaga, unit kerja, organisasi, dikoordinasikan.
Bersamaan dengan munculnya negara sebagai organisasi
terbesar yang relatif awet dan kokoh dalam kehidupan
bermasyarakat. Maka pemerintahan mutlak harus ada untuk
membaranginya. Yaitu munculnya keberadaan dua kelompok orang,
yang memerintah di satu pihak, yang memerintah di lain pihak.
Pemerintahan adalah lembaga atau badan publik yang mempunyai
fungsi untuk mencapai tujuan negara.

Topik Pembahasan
Menyampaikan apa itu koordinasi, dan apa itu pemerintahan serta
bagaimana koordinasi dalam pemerintahan.

Tujuan Penulis Makalah


Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana koordinasi dalam
pemerintahan, serta dapat menjadi sumber referensi dalam
meningkatkan pembelajaran bagi mahasiswa Magister Ilmu
Pemerintahan pada Pascasarjana Univeritas Islam Riau.

injauan Pustaka

Konsep Koordinasi
Menurut Ndraha (2003:291) koordinasi dapat didefenisikan
sebagai proses penyepakatan bersama secara mengikat berbagai
kegiatan atau unsur yang berbeda-beda sedemikian rupa sehingga di
sisi yang satu semua kegiatan atau unsur itu terarah pada
pencapaian suatu tujuan yang telah di tetapkan dan di sisi lain,
keberhasilan kegiatan yang satu tidak merusak keberhasilan kegiatan
yang lain.
Menurut
Handoko
(2003:195)
mendefenisikan
koordinasi
(coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen
atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi secara efesien.
Menurut G.R. Terry dalam Hasibuan (2007:85) koordinasi adalah
suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan
waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk

onsep Pemerintahan

Syafiie (2007:4) Secara etimologi, pemerintahan dapat diartikan


sebagai berikut :
a. Perintah berarti melakukan pekerjaan menyuruh. Yang berati di
dalamnya terdapat dua pihak, yaitu yang memerintah memiliki
wewenang dan yang diperintah memiliki kepatuhan akan
keharusan.
b. Setelah diambah awalan pe menjadi pemerintah. Yang berarti
badan yang melakukan kekuasaan memerintah.
c. Setelah dimbah lagi akhiran an menjadi pemerintahan. Berarti
perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah
tersebut.
Menurut Ndraha (2005:36) Menurut bahwa pemerintahan adalah
semua badan atau organisasi yang berfungsi memenuhi dan
melindungi kebutuhan dan kepentingan manusia dan masyarakat.
Sedangkan yang disebut dengan pemerintah adalah proses
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan menusia dan masyarakat.
Nurman (2015:55) memberi defenisi pemerintahan adalah sebuah
organisasi yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang mengelola

oordinasi Pemerintah

Dalam Ilmu Pemerintahan, pemerintahan di pahami dalam arti


yang paling luas. Yang penting dalam defenisi civil service di atas
adalah elemen paid, artinya semua unsur pemerintah dalam arti
terluas itu: eksekutif termasuk militer dan polisi, legislatif, dan
yudikatif, adalah aparat yang dibayar dan dijamin oleh yang di
perintah (rakyat) melalui negara, mereka harus berpacu untuk
memberikan pelayanan civil dan pelayanan publik terbaik kepada
pelanggan atau konsumernya, yaitu rakyat.
Di kalangan pemerintahan terdapat koordinasi ekternal
(antarnegara) dan koordinasi internal antarpemerintah dengan yang
diperintah. Koordinasi internal ini disebut juga koordinasi antar
pemerintah, swasta,
dan masyarakat.
koordinasi
pemerintahan
dapat didefenisikan sebagai proses
kesepakatan bersama secara mengikat berbagai kegiatan atau unsur
(yang terlibat dalam proses) pemerintahan (pemerintah, swasta, dan
masyarakat) yang berbeda-beda pada dimensi waktu, tempat,
komponen, fungsi, dan kepentingan, antarpemerintah dengan yang
diperintah, sehingga di satu sisi semua kegiatan kedua belah pihak
terarah pada tujuan pemerintahan yang telah ditetapkan bersama,
dan di sisi lain keberhasilan pihak yang satu tidak dirusak oleh
keberhasilan pihak yang lain.

Pembahasan

a. Koordinasi Pemerintahan Menurut UU No. 5


Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
Dimasa berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang menganut asas
keseimbangan antara desentralisasi dengan dekonsentrasi (namun
dalam praktek dekonsentrasi dominan terhadap desentralisasi),
koordinasi antara aparat daerah dengan aparat pusat di daerah,
dianggap penting, sehingga hal itu di atur dalam Pasal 80 dan Pasal
85 UU tersebut berturut-turut tentang koordinasi pembangunan dan
koordinasi pemerintahan.
Dalam sistem desentralisasinya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menganut pendekatan
uniteritorial dan unipersonal sebagai konsekuensi logis dari prinsip
integrated field administration. Kepala Daerah karena jabatanya
adalah juga Kepala Wilayah. Sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah kepala wilayah menajalankan fungsi koordinasi terhadap
semua instansi vertikal dan dinas daerah yang ada di wilayahnya

Untuk memudahkan komunikasi dibangun forum yang dinamakan


Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Berdasarkan Keputusan
Presiden No. 10 Tahun 1976 Pimpinan Muspida secara ex-officio
dijabat oleh Kepala Wilayah dengan keanggotaan dari :
1. Pimpinan unsur Pertahanan (AD, AL, AU);
2. Pimpinan unsur Kepolisian;
3. Pimpinan unsur Peradilan;
4. Unsur Kejaksaan.
Kepala wilayah secara ex-officio menjabat sebagai Pimpinan Muspida.
Koordinasi ini jauh lebih mudah dilaksanakan karena adanya suatu
garis komando dari masing-masing pimpinan instansi yang semuanya
bermuara di tangan Presiden. Wibawa kepala wilayah sebagai
pimpinan Muspida disegani karena dilengkapi dengan kewenangan
yang bersifat desisif.

b. Koordinasi Pemerintahan Menurut UU No. 22


Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeintahan Daerah
menggunakan prinsip kompetensi umum (general competence
principles) dengan memberi kewenangan yang luas kepada daerah
dalam rangka desentralisasi dengan membatasi asas dekonsentrasi.
Di tingkat Kabupaten atau Kota, Bupati atau Walikota tidak lagi
menjabat sebagai Kepala Wilayah. Begitu juga di tingkat Kecamatan,
Camat bukan lagi Kepala wilayah melainkan sebagai Perangkat
Daerah. Namun kedudukan Bupati atau Walikota sebagai koordinator
pemerintahan di daerahnya tanpaknnya tidak di atur secara jelas di
dalam UU No. 22 Tahun 1999.
Posisi Kepala Wilayah hanya ada di tingkat Provinsi yang secara exofficio dijabat oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi. Fungsi
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah adalah :
a. Melakukan koordinasi dengan instansi vertikal yang ada di tingkat
provinsi.
b. Melakukan
pembinaan,
pengawasan,
dan
fasilitasi
penyelenggaraan
otonomi
daerah
di
kabupaten/kota
R
diwilayahnya. Fungsi ini dikaburkan dengan bunyi pasal 4 ayat (2)

Kedudukan Bupati/Walikota bukan lagi sebagai Kepala Wilayah/Wakil


Pemerintah Pusat di Daerah, maka komposisi dan hubungan kerja
dalam forum Muspida perlu ditata ulang. Terlebih lagi setelah adanya
perubahan paradigma kekuasaan di tingkat nasional.

c. Koordinasi Menurut UU No. 32 Tahun 2014


tentang Pemerintahan Daerah
Dengan adanya amandemen UUD 1945 (amandemen I sampai
dengan IV), telah terjadi perubahan paradigma dalam pembagian
kekuasaan pemerintahan di tingkat nasional, dari paradigma
pembagian kekuasaan (distribution of power) ke paradigma
pemisahan kekuasaan (separation of power) mengikuti model Trias
Politica dari Mosqieu. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel
dibawah ini:

Model Pemisahan Kekuasaan Menurut UUD 1945 Yang


Diamandemen

Ket : ------------- = Koordinasi dan Kerjasama

Penjelasan gambar diatas adalah bahwa:


Kekuasaan menyusun undang-undang berada di tangan DPR, dengan
persetujuan Presiden (pasal 20 UUD 1945 Amandemen).
Kekuasaan Kehakiman berada di bahawah Mahkamah Agaung dan Bebas
dari pengaruh pemerintah. (lihat UU No. 4 Tahun 2004, khusunya pasal 2).
Ketua BPK diangkat dari Presiden berdasarkan rekomendasi DPR.
Dibangun Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan persengketaan yang
berkaitan dengan UUD.

Perubahan paradigma pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan


di tingkat nasional, berdampak pada hubungan antar unsur pemerintahan di
tingkat Daerah. Mengingat unsur pengadilan tidak berada lagi dibawah
eksekutif-melaikan sebagai institusi di bawah Mahkamah Agung (MA) yang
bebas dari pengaruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan lainnya, maka
komposisi Muspida juga perlu di susun ulang.
Unsur Pengadilan (Pengadilan Negeri di tingkat Kabupaten/Kota dan
Pengadilan Tinggi di tingkat Provinsi) sudah seharusnya tidak lagi menjadi
anggota Muspida. Untuk itu di perlukan dasar hukum baru, sekurangkurangnya dalam bentuk PP yang mengatur tentang koordinasi pemerintahan
di daerah sebagai pengganti PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan
Instansi
Vertikal
di Daerah.
Instansi
vertikal
yang
ada di daerah Kabupaten/Kota antara

lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Instansi TNI AD (Kodim) TNI AL yang stingkat atau TNI AU yang stingkat;
Instansi Kepolisian (Polre/Polresta dlsb);
Instansi Pengadilan (Pengadilan Negeri);
Instansi Kejaksaan (Kejaksaan Negeri);
Kantor Statistik;
Kantor Departemen Agama;
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota; dan
Instansi vertikal lainnya yang bersifat tentatif.
R

d. Koordinasi Pemerintahan Menurut UU No. 23 Tahun 2014


tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan diberlakukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahaan Daerah, saat ini daerah mengalami implikasi dalam segala
bidang. Peraturan perundang-undangan tersebut, saat ini belum memiliki
regulasi teknis sehingga mempengaruhi sistem, tata kelola dan urusan
pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, sehingga berdampak terhadap
organisasi perangkat daerah. untuk itu pemerintah sedang dalam proses
melaksankan

tindak

lanjut

dari

UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, sebab pemerintah harus menetepkan Peraturan


Pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut.

Kesimpulan
Pentingnya koordinasi (coordination) telah disadari sejak lahirnya peradaban
dan budaya manusia. Fungsi koordinasi dipelajari dan diangkat menjadi
konsep manajemen sejak awal abad 20.

Koordinasi

merupakan fungsi organisasi, begitu organisasi dibentuk


atau terbentuk, koordinasi internal dan ekternal harus jalan, yang satu
berkoordinasi dengan yang lainnya.

Koordinasi pemerintahan

dapat didefenisikan

Sebagai proses kesepakatan bersama secara mengikat berbagai kegiatan


atau unsur (yang terlibat dalam proses) pemerintahan (pemerintah, swasta,
Dalam sistem desentralisasinya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
dan masyarakat)
Pemerintahan di Daerah. Kepala Daerah sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah kepala wilayah menajalankan fungsi koordinasi terhadap semua
instansi vertikal dan dinas daerah yang ada di wilayahnya.
Untuk memudahkan komunikasi dibangun forum yang dinamakan
A

Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida)

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemeintahan Daerah


memberi kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka desentralisasi
dengan membatasi asas dekonsentrasi. Di tingkat Kabupaten atau Kota,
Bupati atau Walikota tidak lagi menjabat sebagai Kepala Wilayah. Begitu juga
di tingkat Kecamatan, Camat bukan lagi Kepala wilayah melainkan sebagai
Perangkat Daerah. Namun kedudukan Bupati atau Walikota sebagai
koordinator pemerintahan di daerahnya tanpaknnya tidak di atur secara jelas
di dalam undang-undang ini. Untuk itu dalam UU ini Bupati/Walikota dan
Camat masih menggunakan PP No.6/1988 untuk melakukan koordinasi.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 (amandemen I sampai dengan IV),
telah terjadi perubahan paradigma dalam pembagian kekuasaan
pemerintahan di tingkat nasional. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati atau Walikota tidak lagi
berkedudukan sebagai kepala wilayah. Dengan demikian tidak otomatis
mempunyai kewenangan melakukan koordinasi instansi vertikal di daerah.
Sebab PP No. 6 Tahun 1988 tidak berlaku lagi untuk Bupati/Walikota maupun
Camat.
Dengan diberlakukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahaan Daerah, saat ini daerah mengalami implikasi dalam segala
bidang. Peraturan perundang-undangan tersebut, saat ini belum memiliki
regulasi teknis sehingga mempengaruhi sistem, tata kelola dan urusan
A
pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pemerintah

Saran
Kelompok penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi
seluruh mahasiswa khususnya para pembaca dan pendengar agar terus
dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta dapat
menambah
pengetahuan
bagi
rekan-rekan
mahasiswa.
Demi
penyempurnaan makalah ini, kami mengharapkan masukan dan sarannya.
Atas perhatiannya semuanya kami ucapkan terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai