Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI..1
BAB I PENDAHULUAN.....2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi.................3
2.2 Etiologi.3
2.3 Epidemiologi.........................3
2.4 Klasifikasi TB..4
2.5 Patogenesis.......................................5
2.6 Manifestasi Klinik9
2.7 Diagnosis.....10
2.8 Penatalaksanaan...13
2.9 Pencegahan..19
2.10 Komplikasi20
2.11 Prognosis21
DAFTAR PUSTAKA22

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis (MTB). Di indonesia, TB juga masih merupakan masalah
yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai
penyumbang kasus terbanyak di dunia setelah india dan cina.1,3
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan serta TB pada infeksi HIV.11
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak seringkali tidak khas, diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen
diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat diperoleh, pada pemeriksaan
mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan
kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes Mantoux dan foto rontgen paru yang
masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit. 9,11
Diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak sangat sulit. Kesulitan ini berpangkal dari
proses kejadian penyakit (patogenesis) TB primer yang sangat kompleks, istimewa dan
berliku. Hasilnya adalah TB dapat mengenai berbagai organ tubuh, dapat memberi
berbagai macam gejala dan tanda klinis, serta dapat memberikan gambaran Rontgen yang
sangat bervariasi sehingga TB mendapat gelar the great imitator. Gejala dan tanda klinis
yang mengarah ke TB pada anak tidak khas karena mirip atau serupa dengan gejala dan
tanda klinis berbagai penyakit atau keadaan lain. 10

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.6
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis) yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.5,6
2.2 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis(MTB) yaitu suatu jenis
kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman dapat hidup
dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun dalam
lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. 1,2
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di
dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob sehingga kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan
tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar
ultraviolet (sinar matahari) langsung dan mudah mati pada air mendidih (5 menit pada
suhu 80C dan 20 menit pada suhu 60C). 1,2
2.3 Epidemiologi
Dinegara berkembang, TB pada anak < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh kasus
TB, sedangkan dinegara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%. Tuberkulosis anak
merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15
tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi.7

World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi


yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. 5,9 Jumlah seluruh
kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun
(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 014,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12
bulan didapatkan 16,5%.7
2.4 Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan spesifik
tehadap basil tersebut. Pembagian tuberkulosis paru primer:5
1. Tuberkulosis primer yang potensial (potential primary tuberculosis) terjadi kontak
dengan kasus terbuka, tetapi uji tuberculin masih negative.
2. Tuberkulosis primer laten (latent primary tuberculosis). Tanda tanda infeksi
sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit tidak diketahui. Uji tuberculin
masih negative. Radiologis tidak tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary tuberculosis), uji tuberculin
positif dan terlihat kelainan radiologis.
Penyulit tuberkulosis paru primer1,5
1. Pembesaran kelenjar servikal superficial, Penyebaran langsung tuberkulosis ke
kelenjar limfe mediastinum bagian atas dan paratrakea yang berasal dari kelenjar
hilus, selain itu juga menyerang kelenjar limfe supraklavikula dan servikal anterior.
Kelainan di kelenjar tersebut bereaksi sangat lambat terhadap obat anti
tuberkulosis. Bila terjadi abses pada kelenjar dilakukan pembedahan.
2. Pleuritis tuberkulosis merupakan penyakit dini tuberkulosis primer dan terjadi 6 8
bulan setelah serangan awal sering disertai kelainan pada kulit yaitu eritema
nodosum.
3. Efusi pleura biasanya jernih, prognosa masih baik, reaksi tehadap obat anti
tuberkulosis sering kali dramatis karena dapat memberi resolusi sempurna dalam 1
2 minggu. Kemungkinan untuk menderita tuberkulosis post primer di kemudian
hari lebih besar.
4

4. Tuberkulosis millier merupakan kelainan paling dini dibanding dengan penyakit


tuberkulosis primer yang lain. Proses tuberkulosis milier terjadi 8 bulan setelah
timbul tuberkulosa primer. Gambaran radiologi tampak 2 minggu setelah gejala
klinis.
5. Meningitis tuberkulosis dapat terjadi sebagai akibat penyebaran hematogen atau
fokus perkejuan yang pecah di rongga subarachnoid pada tahap akhir dari
tuberkulosis millier.
Tuberkulosis paru post primer
Tuberkulosis paru post primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis pada tubuh yang telah peka tehadap tuberkuloprotein.

Dari luar ( eksogen ) infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita

tuberkulosis.
Dari dalam ( endogen ) infeksi berasal dari basil yang sudah berada dalam
tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu
keadaan menjadi aktif kembali. Adapun pembagian primer paru post primer

adalah :
a. Tuberkulosis minimal terdapat adanya sebagian kecil infiltrat non-kavitas pada
satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
b. Moderately advanced tuberkulosis, terdapat kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru, bila
bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian pada satu paru.
c. Far advanced tuberculosis, terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan
pada moderately advanced tuberkulosis
2.5 Patogenesis Tuberkulosis pada Anak
Paru merupakan port d entre pada lebih dari 98 % kasus infeksi tuberkulosis.
Karenaukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman tuberkulosisdalam droplet yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, bakteri Tuberkulosis dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non-spesifik.Akan tetapi pada
sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit bakteri tuberkulosis
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman tuberkulosis yang

tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya bakteri membentuk lesi ditempat tersebut.8
Dari parenkim paru yang terinfeksi, bakteri tuberkulosis menyebar melalui aliran
pada saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak diapeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri tuberkulosis hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasituberkulosis
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.8
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan
telah terjadi.Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap tuberkulosis
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaituuji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
seluler berkembang, proliferasi bakteri tuberkulosis terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, bakteri
tuberkulosis baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
seluler spesifik (cellular mediated immunity).8
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
pengkejuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer dijaringan paru. Bakteri tuberkulosis dapat tetap hidup danmenetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala penyakit tuberkulosis.8
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus primer di paru atau di kelenjar limfe regional.Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritisfokal. Jika terjadi nekrosis
pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru(kavitas).8
6

Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,sehingga bronkus akan
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanismeventil. Obstruksi total dapat
menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis pengkejuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
tuberkulosis endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmentalkolaps-konsolidasi.8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapatterjadi
penyebaran limfogen dan hematogen.Pada penyebaran limfogen, kumanmenyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjutmenyebar secara
limfohematogen.Dapat juga terjadi penyebaran hematogenlangsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruhtubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan tuberkulosis disebutsebagai penyakit sistemik.8
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar. Melalui cara ini, bakteri tuberkulosismenyebar secarasporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.bakteri tuberkulosis
kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang diorgan yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dankelenjar limfe superfisialis. Selain
itu, dapat juga bersarang di organ lain sepertiotak, hepar, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebuttetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan
proses patologiknya. Sarangdi apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapatmengalami reaktivasi dan terjadi tuberculosis pada apeks paru saat dewasa.8
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi tuberkulosis. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar
tuberkulosis paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, tuberkulosisendobronkial,
dan tuberkulosis paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah tuberkulosis pascaprimer
sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi seringterjadi pada remaja dan dewasa muda.8

Tuberkulosis

ekstrapulmonal,

yang

biasanya

juga

merupakan

manifestasituberkulosis pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi


tuberkulosis. Tuberkulosis padasistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
paling banyak terjadidalam 1 tahun pertama, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi
primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.8

Gambar 1. Patogenesis tuberkulosis.8

Gambar
2.

Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer.8

Proses infeksi tuberkulosis tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya

positif

dalam

4-8

minggu

setelah

kontak

awal

dengan

bakteri

tuberkulosis.Padaawal terjadinya infeksi tuberkulosis, dapat dijumpai demam yang tidak


tinggi dan eritemanodusum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang
terdeteksi.tuberkulosis primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.8
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsungdalam 3-6
bulan

pertama

setelah

infeksi

tuberkulosis,

begitu

juga

dengan

meningitis

tuberkulosis.Tuberkulosis pada pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi
tuberkulosis.Tuberkulosis pada sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua dan ketiga.Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,yaitu 525 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit tuberculosis terjadi
pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematiankarena
tuberkulosis terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis tuberkulosis.8

2.6 Manifestasi klinis


Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik)
a. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai dengan
keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.
b. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (failure to thrive).
e. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel
f. Lesu atau malaise
g. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Manifestasi spesifik organ/tunggal 9


Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar

limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.


Secara ringkas, gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
9

a. TB kelenjar
b. TB otak dan saraf

: terbanyak di regio kolli, multipel, tidak nyeri dan saling


melekat.
: meningitis TB dan tuberkuloma otak (gejala iritabel, kaku
kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun).

c. TB tulang dan sendi

: gejala berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,


lumpuh dan sulit membungkuk.
d. TB kulit
: skrofuloderma.
e. TB mata
: konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid (hanya
terlihat dengan funduskopi).
f. TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.

2.7 Diagnosis TB Paru Anak

Tabel 1. Skoring Tuberkulosis pada anak9


Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein pada bakteri tuberkulosis yang mempunyai
sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi tuberkulosis, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan.Uji
tuberculin dengan cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
10

penyuntikan.Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul


indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif, diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh
imunisasi BCG atau infeksi mycobacterium atipik. Pada anak balita yang telah mendapat
BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar
karena infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh pasca
imunisasi BCG, namun bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi
alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9
cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan immunocompromised atau pada
pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi tuberculosis dan sakit
tuberculosis, klasifikasi tuberculosis yang dibuat oleh American Thoracoc Society (ATS)
dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika.
Kelas
Klasifikasi 0
Klasifikasi I
Klasifikasi II
Klasifikasi III

Kontak

Infeksi /tes

Sakit

Tindakan

+
+
+

tuberkulis
+
+

Profilakis I
Profilaksis II
Terapi

Tabel 2 : Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosis9


Pada anak tanpa risiko tetapi tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan
pada umur 1 tahun, 4-6 tahun dan 11-16 tahun. Tetapi, pada anak dengan risiko tinggi di
daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat
diulang setiap tahun. 9
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut: 9
1. Infeksi TB alamiah
a) Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten).
b) Infeksi TB dan sakit TB.
c) TB yang telah sembuh.
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
11

Uji tuberkulin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut: 9


1.

Tidak ada infeksi TB.

2.

Dalam masa inkubasi infeksi TB.

3.

Anergi.
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga
tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi
TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan,
penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili, pertusis, varisela,
influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang
dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan batuk-pilek panas
biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai selesma (common
cold). 9

a. Radiologis
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi
primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Komplek primer
lebih banyak ditemukan pada foto torax paru bayi dan anak kecil daripada dewasa. Secara
umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai Pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate, Konsolidasi segmental/lobar, Milier, Kalsifikasi
dengan infiltrate, Atelektasis, Kavitas, Efusi pleura, Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus
disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya
lebih jelas pada foto lateral. 9
b. Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologi sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric
lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung
pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan
waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan
secara teknologi lebih rumit. 9
c. Patologi anatomi
12

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,


terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut
mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.
Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinudeated giant cell (sel datia
Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan
(kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat ditemukan
juga BTA. 9
2.8 Tatalaksana
Medikamentosa
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid
(Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan
utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain
(second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.10
a.

Isoniazid (INH)
INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada
intrasel dan ekstrasel kuman. INH cukup murah dan sangat efektif untuk mencegah
multiplikasi basil tuberkulosis. Terdapat dalam sediaan oral dan intramuskuler (i.m).
Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma, sputum dan cairan seresrospinal dapat
dicapai dalam 1-2 jam dan bertahan minimal 6 8 jam. INH diberikan secara oral, dosis
harian yang biasa diberikan (5 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan
satu kali pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100mg dan 300mg,
dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml. INH dimetabolisme melalui asetilasi di hati. INH
terdapat pada ASI

ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah

plasenta,tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan. 10


b.

Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
13

isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.
Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari,
dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan
dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid, rifampisin didistribusikan secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS
lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada
keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang
efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin. 10
Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg
sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat
badan. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi
sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorbsi. 10
c.

Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan
diresorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 pg/ml
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat
baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak.
Penggunaan pirazinamid aman pada anak. 10
d.

Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.

Peran utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dosis 15 20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. EMB tersedia
dalam tablet 250mg dan 500mg. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan bakterisidal.
Toksisitas utama adalah neuritis optika berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau ( redgreen color blindness). Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari
toksisitas optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan
warna pada anak-anak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan
untuk terapi rutin pada anak-anak. EMB dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
14

kecurigaan TB resisten-obat, jika obat-obatan lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.10
e.

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada

keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat
diberikan secara intramuskular dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1
gram/hari. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang, berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. Toksisitas utama dari
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan
pendengaran berupa tinismus dan pusing. 10
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk
selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi
anak terhadap dosis obat per kgBB lebih tinggi. Secara ringkas, dosis dan efek samping
OAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini.10

Paduan Obat TB 10
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat
pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.

15

Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya relaps.
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau
tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini paduan obat yang
baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid,
sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan
minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau
streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednisone) dengan dosis 12 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2
minggu.
Fixed Dose Combination 10
Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien
dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak.
Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang
telah ditentukan, yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).

16

Evaluasi Hasil Pengobatan 10


Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil
terapi memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan
setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi
klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
a. Respon pengobatan baik : gejala klinis hilang dan terjadi penambahan berat badan,
maka pengobatan dilanjutkan.
b. Respon tidak ada : pengobatan dilanjutkan dan diberi tambahan dengan merujuk ke
sarana yang lebih tinggi. Kemungkinan terjadi misdiagnosis, mistreatment atau resisten
terhadap OAT.
Apabila pada saat diagnosis terdapat kelainan radiologis, maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulangan.
Multidrug Resistance (MDR-TB)10
MDR-TB adalah isolat M. Tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih
OAT lini pertama biasanya isoniazid dan rifampisin.
Daftar OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada tabel :

17

Non Medikamentosa 10

Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah kepatuhan (adherens)

menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu


setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan.
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan
yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen,
yaitu sebagai berikut :
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.

Lacak Sumber Penularan dan Case Finding


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum. Bila
telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari
anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. 10

18

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau
yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin. 10
2.9 Pencegahan 10

Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05

ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid
kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak
menganggu struktur otot dan sebagai tanda Baku). Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.

Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya


infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi
menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak
dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji
tuberkulin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian
profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga
6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada
akhir bulan keenam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap
negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi
status TB pasien.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada
keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia
balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin
19

dalam waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder
adalah 6-12 bulan.
2.10 Komplikasi Tuberkulosis
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran
ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.Bayi yang dilahirkan dari orang tua
yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan
pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.11
2.11 Prognosis Tuberkulosis
Prognosis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama setelah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosa
dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan adanya infeksi lain seperti morbilli,
pertusis, diare yang berulang dan lain lain.
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan obat antituberkulosis memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan.Jika bakteri
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal.Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.Perhatian lebih harus
diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen
terapi, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampicin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1997, hal 573 761.
2. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisikelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, 2009; h. 2230-22472.
3. WHO. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva: World Health
Organization;2004
4. Corry, S., Wahidiyat, I., Sastroasmoro, S. Diagnosis Fisis pada Anak. CV Sagung
Seto, Jakarta.2003
20

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI, 2005
6. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al:
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2000, hal 1028 1042.
7. Kartasasmita CB, Basir D. Epidemiologi Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.162-166
8. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah Tuberkulosis.
Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.169177
9. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.194-211
10. Rahajoe NN, Setyanto DB. Tatalaksana Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.214-277
11. Price, Sylvia A; Wilson, Lorraine M. : Patofisiologi Klinik, edisi ke 5,
Tuberkulosis, 2005 hal 753 761

21

Anda mungkin juga menyukai