Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 3
MODUL SARAF DAN JIWA

Disusun Oleh

Kelompok 6
1. Ullis Marwadhani

I11111046

2. Najla

I11112001

3. Hendri Wijaya

I11112013

4. Ivo Afiani

I11112017

5. Irvinia Rahmadyah

I11112023

6. Gita Amalia Asikin

I11112032

7. Hayati

I11112053

8. Bimo Juliansyah

I11112062

9. Angga Dominius

I11112063

10.Ridhallah

I11112079

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Pemicu
Ny. B, 43 tahun, datang ke unit gawat darurat dengan keluhan utama susah
bernafas dan kelemahan lengan dan tungkai kedua sisi yang semakin memberat sejak
5 hari yang lalu. Lima hari yang lalu pasien mulai merasakan kesemutan di ujung jari
kaki dan tangan, yang semakin berangsur naik ke lengan dan tungkai atas. Kesemutan
ini semakin naik dan pasien mulai merasakah kelemahan sejak 4 hari yang lalu. Tiga
hari yang lalu pasien mulai mengeluh tersedak pada saat menelan air dan lengan serta
tungkai sudah tidak dapat diangkat. Pasien dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit
karena sulit bernafas.
Sejak dua minggu yang lalu pasien sering mengalami buang air besar dan perut
terasa mulas. Pasien sering merasa gelisah, selalu kuatir dan berdebar-debar sejak dua
minggu yang lalu karena menunggu pengumuman kelulusan ujian penerimaan
pegawai negeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit, frekuensi pernapasan 12 kali/menit
dengan pola abdominal. Kekuatam motorik lengan dan tungkai 0. Refleks biseps,
triseps, patella dan Achilles tidak dapat ditimbulkan (negatif). Tidak ada refleks
patologis. Pasien merasa parestesi di ujung-ujung tangan dan kaki.

1.2.
Klarifikasi dan Definisi
a. parestesi adalah sensasi kulit abnorma,seperti rasa terbakar atau meusuk nusuk
yang terjadi tanpa stimulus dari luar
b. Kompos mentis adalah kesadaran penuh terhadap diri sendiri dan serta mampu
menerima impuls

1.3.

Kata Kunci

a. Wanita 45 tahun
b. Susah bernafas
c. kesemutan yang berangsur naik
d. kelemahan tungkai biateral
e. Reflek fisiologis dan patologis (-)
f. Tersedak
g. BAB dan mulas

1.4.

Rumusan Masalah
Wanita 43 tahun mengeluh susah bernafas dan kelemahan pada lengan
dan tungkai bilateral dan merasakan kesemutan pada jari kaki dan tangan yang
berangsur naik sejak lima hari yang lalu.

1.5.

Analisis Masalah
nyonya b,
45 tahun

kegawatdaruratan
-ABC
-Ventelasi

Keluhan utama: sulit


bernafas dan
kelemahan lengan dan
tungkai biateral sejak 5
hari yang lalu

-iv
-monitor TD,HR
FVC<15ML/KG

2 minggu
yang lalu
BAB dan
mules

yang lalu
gelisah
dan
tertekan

infeksi
gastrointe
stinal

5 hari yang
lalu
kesemutan
di ujung kaki
dan tangan
yang

gangguan
saraf
otonom
frekuensi
nadi 120
kali/menit

4 hari yg
lalu mulai
merasa
kelemaha
n

3 hari
yang lalu
lengan
dan
tungkai
tidak bisa
di angkat

kerusakan
saraf dari
perifer ke
sentra

kekuatan
motorik lengan
dan tungkai
reflek fisiologis
dan patologis

tersedak
dan sulit
bernafas

kelemahan
otot menelan
dan
pernafasan
frekunsi
pernafasa
n 12
kali/menit

DD GBS,Myestenia
gafis,tronbosi arteri basiler
pemeriksan
diagnosis GBS

1.6.

Hipotesis

Patogene

Wanita 45 tahun mengalami GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS) tipe AMSAN


AMSAN

1.7.

klarifikasi

tatalaksa
Pertanyaan Diskusi
na UMN dan jaras ascending
1.
Jelaskan anatomi LMN dan
2.
Jelaskan tentang GBS
a. Definisi
b. Etiologi

parestesi
di ujung
kaki dan
tangan

gangguan
sistem
saraf
sensorik

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

c. Epidemiologi
d. Patogenesis
e. Manifestasi Klinis
f. Diagnosis
g. Tata laksana
Jelaskan manifestasi klinis myastenia grafis
Jelaskan tentang manifestasi kinis trombosis arteri basiler
Apa penyebab pasien mengeluh tersedak dan tungkai tidak dapat di
angkat?
Mengapa pasien mengeluh susah untuk bernafas ?
Apa saja jenis jenis gangguan sensorik?
Apa saja diagnosis banding pada kasus ini?
Penanganan kegawatdaruratan pada kasus
Jelaskan tatalaksana dan prognosis pada kasus ini
Mengapa reflek fisiologis dan reflek patologinya negatif?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

UMN dan LMN serta jaras acending


Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. Sistem neuron
muskular terdiri atasUpper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis. Berdasarkan
perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal
dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan
traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan
otot tubuh dan anggota gerak.1
Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke
berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai
peranan

penting

di

dalam

sistem

neuromuscular tubuh.

Sistem

ini

yang

memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.1


Perbedaan Gambaran Klinis Lesi UMN dan LMN1
1.
a)

Distribusi kelemahan/kelumpuhan otot


UMN
Ekstrimitas superior: Abductor, external rotator and extensor
Ekstrimitas inferior: Flexor, internal rotator and dorsiflexor
Akibatnya spastic posture (tangan dan pergelangan tangan fleksi, kaki

ekstensi)
Lesi di atas pyramidal decussation: efek pada sisi kontralateral
Lesi di bawah pyramidal decussation: efek pada sisi ipsilateral

Otot midline/aksial: tidak terefek melainkan lesi bilateral. Karena menerima


inervasi dual dari hemsifera kiri dan kanan otak (laring, leher, wajah atas, mastikasi,
lidah)
b) LMN
Distribusi segmental yang tipikal
Lokasi lesi dapat diketahui dari informasi distribusi kelemahan /kelumpuhan
otot
2. Tonus otot dan muscle wasting
a) UMN
Lesi kronik: Spasticity, clasp knife pada regangan pasif. Resistensi
meningkat pada kelajuan regangan
Lesi akut: Flaccidity dan hypotonia
Bisa tidak terjadi sebarang atrofi karena masih terdapat LMN, tetapi pada
jangka lama bisa terjadi atrofi karena otot tidak digunakan.
b) LMN
Tiada resistensi terhadap regangan pasif
Otot menjadi flaccid pada 2-3 minggu setelah onset penyakit
3. Refleks
a) UMN
Lesi kronik: Hiperrefleksik pada deep tendon reflex (reflex arc masih ada),
juga terjadi Babinski sign dan klonus
Lesi akut: Tiada atau lemahnya deep tendon reflex
b) LMN
Tiada deep tendon reflex (bagian eferen reflex arc berkurang)
Refleks abnormal tidak pernah ada
4. Fasciculation (tanda-tanda dinervasi)
a) UMN
Tidak ada
b) LMN
Ada
Jaras Ascending
Jaras ascending merupakan jaras yang membawa impuls sensorik dari reseptor
menuju korteks serebri. Saat memasuki medulla spinalis, serabut-serabut saraf

sensorik dengan berbagai ukuran dan fungsi dipisahkan menjadi berkas-berkas atau
traktus-traktus saraf di substansia alba. Beberapa berfungsi untuk menghubungkan
segmen-segmen medulla spinalis yang berbeda, sedangkan serabut lain naik dari
medulla spinalis ke pusat-pusat yang lebih tinggi, sehingga menghubungkan medulla
spinalis dengan otak. Berkas-berkas serabut yang berjalan ke atas ini disebut traktus
ascendens. 2
Pada umumnya, traktus ascendens memiliki dan terdiri dari 3 neuron, yaitu
sebagai berikut.
1.

Neuron tingkat pertama, memiliki badan sel yang terletak di dalam ganglion

radiks posterior saraf tepi. Prosesus perifer berhubungan dengan ujung reseptor
sensorik, sedangkan prosesus sentral masuk ke medulla spinalis dan bersinaps dengan
neuron tingkat dua.
2.
Neuron tingkat dua, memiliki akson yang menyilang garis tengah
(kontralateral) dan naik ke tingkat susunan saraf yang lebih tinggi, yaitu tempat
dimana akan tersebut bersinaps dengan neuron tingkat tiga.
3.
Neuron tingkat tiga, berada di thalamus dan memiliki tonjolan serabut yang
berjalan ke area sensorik korteks serebri.2
Jaras Nyeri dan Suhu: Traktus Spibotalamikus Lateralis
Reseptor nyeri dan suhu pada kulit serta jaringan lainnya adalah ujung-ujung
saraf bebas. Akson-akson dari sensorik nyeri dan suhu akan masuk ked alam medulla
spinalis dari ganglion radiks posterior langsung menuju columna grisea posterior
melalui traktus posterolateral lissauer. Sebelum masuk ke kolumna grisea posterior,
neuron tingkat pertama akan naik 1-3 levels segmen medulla spinalis melalui traktus
posterolateral lissauer tersebut. Kemudian akson bersinaps pada substansia gelatinosa
atau nucleus propius dalam kolumna grisea posterior dan menjadi neuron tingkat
kedua. Kemudian neuron tingkat kedua ini akan menyilang menuju sisi kontralateral
di substansia grisea anterior dan komisura alba melalui anterior white comissura
dalam satu segmen medulla spinalis, serta naik sebagai traktus spinotalamikus
lateral.3

Traktus spinotalamikus lateral akan naik melalui medulla oblongata, traktus


ini terletak di dekat permukaan lateral serta diantara nucleus olivarius inferior dan
nucleus traktus spinalis nervus trigeminus. Disini, traktus spinotalamikus anterior dan
traktus spinotektalus beserta traktus spinotalamikus lateralis; ketiganya bersama-sama
akan membentuk lemniscus spinalis.
Lemniscus spinalis terus berjalan ke atas melalui bagian posterior pons. Di
dalan mesensefalon, lemnicus terletak dalam tegmentum di lateralis lemniscus
medialis. Banyak serabut traktus spinotalamikus lateralis berakhir dan bersinaps
dengan neuron tingkat ketiga di dalam nucleus ventroposterolateralis thalami. Aksonakson neuron tingkat ketiga di dalam nucleus ventroposterolateral thalami berjalan
melalui srus posterior capsula interna dan corona radiate untuk mencapai area
somesthesia di gyrus presentralis posterior korteks serebri.3
Jaras Raba dan Tekanan: Traktus Spibotalamikus Anterior
Reseptor raba dan tekanan pada kulit serta jaringan lainnya adalah ujungujung saraf bebas. Akson-akson dari sensorik raba dan tekanan ringan akan masuk
ked alam medulla spinalis dari ganglion radiks posterior langsung menuju columna
grisea posterior melalui traktus posterolateral lissauer. Sebelum masuk ke kolumna
grisea posterior, neuron tingkat pertama akan naik 1-3 levels segmen medulla spinalis
melalui traktus posterolateral lissauer tersebut. Kemudian akson bersinaps pada
substansia gelatinosa atau nucleus propius dalam kolumna grisea posterior dan
menjadi neuron tingkat kedua. Kemudian neuron tingkat kedua ini akan menyilang
menuju sisi kontralateral di substansia grisea anterior dan komisura alba melalui
anterior white comissura dalam satu segmen medulla spinalis, serta naik sebagai
traktus spinotalamikus anterior.3
Traktus spinotalamikus anterior akan naik melalui medulla oblongata, traktus
ini terletak di dekat permukaan lateral serta diantara nucleus olivarius inferior dan
nucleus traktus spinalis nervus trigeminus. Disini, traktus spinotalamikus anterior dan

traktus spinotektalus beserta traktus spinotalamikus lateralis; ketiganya bersama-sama


akan membentuk lemniscus spinalis.
Lemniscus spinalis terus berjalan ke atas melalui bagian posterior pons. Di
dalan mesensefalon, lemnicus terletak dalam tegmentum di lateralis lemniscus
medialis. Banyak serabut traktus spinotalamikus lateralis berakhir dan bersinaps
dengan neuron tingkat ketiga di dalam nucleus ventroposterolateralis thalami. Aksonakson neuron tingkat ketiga di dalam nucleus ventroposterolateral thalami berjalan
melalui srus posterior capsula interna dan corona radiate untuk mencapai area
somesthesia di gyrus presentralis posterior korteks serebri.3
Jaras Sensari Proprioseptif dan Sentuhan Diskriminatif: Kolum Dorsal
Impuls sensorik ditangkap oleh reseptor dan masuk ke medulla spinalis
melalui ganglia radiks posterior. Impuls yang berasal dari T6 ke bawah akan menuju
ke fasciculus Gracile, sedangkan impuls yang berasal dari T6 ke atas akan masuk ke
fasciculus cuneatus. Serabut fasciculus gracile dan fasciculus cuneatus berjalan ke
atas pada sisi ipsilateral serta berakhir dan membentuk neuron tingkat dua di dalam
nucleus gracile dan nucleus cuneatus. Akson-akson tingkat dua yang disebut serabut
arkuata interna berjalan ke anteromedial di sekitar substansia grisea centralis dan
menyilang bidang median, serta saling bersilangan dengan serabut-serabut yang sama
dari sisi kontralateral di decussatio sensorik. Selanjutnya, serabut berjalan ke atas
sebagai sebuah berkas padat disebut lemniscus medialis. Melalui medulla oblongata,
pons, dan mesensefalon, serabut ini berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat tiga
ventroposterolateralis thalami. Akson-akson tingkat tiga berjalan melalui crus
posterior capsula interna dan corona radiate untuk mencapai area sonestesia di gyrus
postsentralis korteks serebri.3
2.2.
2.2.1

GBS
Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah kondisi inflamasi yang mengenai sistem syaraf

perifer yang bersifat akut yaitu dengan gambaran arefleksia yang total yang terjadi

dalam waktu dari 4-6 minggu semenjak terjadinya hiporefleksia dan kondisi ini
dimediasi oleh sistem imun4
Klasifikasi Guillain Barre Syndrome5
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Gangguan autoimun, antibodi dimediasi.Dipicu oleh infeksi virus atau
bakteri
Temuan elektropsikologi menunjukkan demielinasi.Demielinasi inflamasi bisa
disertai dengan kematian saraf aksonal.Remyelinisasi terjadi setelah reaksi
imun berhenti.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Gangguan

neuropati aksonal murni,Enam puluh tujuh persen pasien

seropositif untuk kampilobakteriosis.Studi elektrofisiologi normal ditemukan


dalam

saraf

sensorik,sedangkan

berkurang

atau

menghilangnya

saraf

motorik.Pemulihan biasanya lebih cepat.Proporsi yang tinggi pada pasien anak


3. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi Wallerian-like serabut mielin motorik dan sensorik.Inflamasi
minimal dan demielinasi.Mirip dengan AMAN kecuali AMSAN mempengaruhi
saraf sensorik.Biasanya mempengaruhi orang dewasa

4. Sindrom Miller Fisher


kelainan langka,Terjadi ataksia, arefleksia, kelemahan anggota gerak ringan,
dan oftalmoplegia.Hilangnya sensasi, dan propriosepsi dapat terganggu.
Demielinasi dan peradangan saraf kranial III dan VI, tulang belakang ganglia,
dan saraf perifer Berkurang atau tidak ada potensial aksi saraf sensorik, refleks
H tibialis biasanya tidak ada.Resolusi terjadi dalam satu sampai tiga bulan.
5. Neuropati panautonomic akut
Paling langka semua varian Simpatik, sistem saraf parasimpatis yang terlibat.
Keterlibatan kardiovaskular adalah umum (hipotensi postural,takikardia,

hipertensi, disritmia).Pandangan kabur, mata kering, dan anhydrosis Pemulihan


bertahap dan sering tidak lengkap.Sering dikombinasikan dengan fitur sensorik
2.2.2

Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit


yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara
lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, penyakit sistematik seperti keganasan;
systemic lupus erythematosus; tiroiditis; penyakit Addison, serta kehamilan atau
dalam masa nifas.6
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.6
3.
Tabel 1. Infeksi Akut yang Berhubungan dengan GBS
Infeksi

Definite

Probable

Possible

Virus

CMV
EBV

HIV
Varicella-

Influenza
Measles
Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie

Zoster
Smallpox

Bakteri

Campylobact
er jejuni
Mycoplasma
Pneumonia

2.2.1

Typhoid

Paratyphoid
Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria

Epidemiologi
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negaranegara berkembang dan

merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada

dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering
dijumpai pada laki laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi
pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap
golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3
minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal . 7
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per
tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas.
Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk
bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di
ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya
menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti
halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah
sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan
disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps. 7

2.2.2

Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui


dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:8,9
1.

Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.


2.
Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3.
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun
belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab
adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya
lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka selT merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.8.9

2.2.3

Manifestasi Klinis
Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris

secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum
tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.8,9
Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf
kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin
termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan
wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial.8,9
Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel.7 Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati
rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir.8,9
Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.8,9
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah
daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada
5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien
dengan GBS adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang
terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus
dekubitus).8,9

Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis. Retensi urin
karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat
ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan
kegagalan pernafasan yang parah.
Pernapasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan
atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai
berikut; dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada
hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit
mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein
CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial;
jumlah sel CSS < 10 MN/mm3;Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS setelah
1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3). Gambaran
elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi saraf
bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari
normal.8,9
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis.

3)

Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang.

Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.8,9

2.2.4

Diagnosis
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)


Gejala utama :
1.

Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas

dengan atau tanpa disertai ataxia


2.

Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan
1.

Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2.

Biasanya simetris

3.

Adanya gejala sensoris yang ringan

4.

Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5.

Disfungsi saraf otonom

6.

Tidak disertai demam

7.

Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS
1.

Peningkatan protein

2.

Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik
1.

Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis


1.

Kelemahan yang sifatnya asimetri

2.

Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3.

Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4.

Gejala sensoris yang nyata

Pemeriksaan Penunjang3,4

1.

Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 1,5


g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
2.

Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada
akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
3.

Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kirakira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar.
Diagnosis Banding3,4
1.

Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan

gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal


pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
2. Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.
3. Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan
tidak bersifat ascending)
4. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)
didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya
kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan.
2.2.5 Tatalaksana

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus
adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui
sistem imunitas (imunoterapi).10
1.

Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan
(ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%.10

2.

Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.10

3.

Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.

a.

Plasma exchange therapy (PE)


Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi

yang

beredar.

Pemakaian

plasmaparesis

pada

SGB

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2
minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai
lima kali exchange.10
b.

Imunoglobulin IV

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi


autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.10
c.

Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.


2.3

manifestasi klinis myastenia grafis


Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah
satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama
penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi
pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Kelemahan otot penderita semakin
lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot
ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.11
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan
dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain
itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.11

2.4 jenis jenis gangguan sensorik


Keluhan gangguan sensorik dapat berupa :13
1.

Pasien merasakan kesemutan atau baal (parestesi)

2. Pasien merasakan nyeri pada rangsang yang tidak nyeri (disestesi/painful


parestesi)
3.

Pasien kurang peka terhadap rangsangan nyeri (hipestesi)

4.

Pasien terlalu peka terhadap rangsangan nyeri (hiperestesi)

5.

Modalitas sensorik normal tetapi tidak bisa mengenal benda pada perabaan
tangan (astereognosis)

2.5 Apa saja diagnosis banding untuk kasus ini 14


Basilar artery occlusion (asymmetric limb paresis)
Botulism (descending paralysis)
Heavy metal intoxication (confusion, psychosis, organic brain
syndrome)
Hypophosphatemia (irritable, apprehensive, hyperventilation,
normal cerebrospinal fluid)
Metabolic myopathies (cerebral and cerebellar symptoms)
Myasthenia gravis (weakness and fatigue that improves with rest)
Neoplastic meningitis (asymmetric spastic paralysis)
Neurotoxic fish poisoning (spontaneous recovery within 24 hours)
Paraneoplastic neuropathy (chronic)
Poliomyelitis (purely motor disorder with meningitis)
Polymyositis (chronic, affects proximal limb muscles)
Spinal cord compression (asymmetric)
Tick paralysis (sensory changes absent, normal cerebrospinal fluid)
Transverse myelitis (abrupt bilateral leg weakness, ascending
sensory)
2.6

Apa penyebab pasien mengeluh tersedak dan tungkai tidak dapat diangkat?
Kesulitan menelan : hal ini terjadi akibat keterlibatan nervus kranialis N.IX dan
N.X dalam proses neuropati. Otot-otot tenggorokan juga dapat melemah, dan
menekan integritas jalan napas. Sehingga dapat menyebabkan pasien tersedak oleh
sekresinya sendiri serta memiliki kesulitan menjaga jalan napasnya agar tetap
intak. Sehingga pada kasus ini perhatian medis harus segera tertuju pada patensi
jalan napas dengan pemasangan tube jalan napas yang juga berguna untuk

mencegah aspirasi dari saliva maupun isi lambung ke paru-paru. Kelemahan pada
lidah dapat terjadi akibat kerusakan pada nervus kranialis N.XII yang akhirnya
akan mempengaruhi kemampuan bicara pasien.12
2.7

Mengapa pasien mengeluh susah untuk bernafas?


Kesulitan bernapas : hal ini terjadi dikarenakan oleh keterlibatan otot
pernapasan sehingga terjadi paralisis nervus laringeus yang akhirnya menyebabkan
kesulitan bernapas.lama-lama kondisi ini akan mengalami progresivitas pada
kegagalan pernafasan yang disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan
otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.12

2.8
2.9

Mengapa reflek fisiologis dan reflek patologis negatif?


jelaskan penanganan kegawatdaruratan pada kasus 14,15
1.Rawat Inap
2. IVIg : bekerja menghambat resptor makrofag, menghambat komplemen
pengikat, dan menetralisir antibodi patologis.
- dosis : dewasa atau anak 2g/kg IV, umumnya dibagi dalam 5 dosis
- kontraindikasi : reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pasien defisiensi IgA
yang
berinteraksi dengan antibodi anti-IgA. Jika hal ini terjadi, pemberian IVIg
dapat disertai dengan preparat IgA dosis rendah.
3. Plasmaferesis atau plasma ekspander : mekanismenya adalah membuang
imunoglobin dan antibodi dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh
dan menggantinya dengan fresh frozen plasma, albumin atau salin.
- dosis dewasa atau anak : 3-5 kali penggantian, 50ml/kg plasma secara IV
selama 1-2 minggu
- kontraindikasi : septtikemi, perdarahan aktif dan instabilitas kardiovaskular
yang berat.
4. Pemberian steroid: Untuk meningkatkan daya imun.
5. Fisioterapi:

Muskuloskeletal
Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Kardiopulmonari
Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Sistem Saraf Otonomik
Terapi farmako
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus
adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui
sistem imunitas (imunoterapi).16
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.16
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).16
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan

dengan

gamma

globulin

intervena

lebih

menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis


maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
2.10 tatalaksana dan prognosis pada kasus ini 17,18
Pasien diberikan tatalaksana seperti pada pasien GBS dengan pemberian
tatalaksana suportifuntuk mengantisipasi dan menanganiakibat dari imobilisasi
dan keterlibatan saraf yang mengurus tanda vital meliputi:17
a. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB makadiperlukan
intubasi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB memerlukanintubasi apabila
terdapat paralisis bulbar.
b. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
c. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
d. Rontgen toraks
e. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dankalsium serum
f. Pemeriksaan urinalisis
g. Profil aksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali sehari.
h. Pemeriksaan peristaltik
i. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang
mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.
j. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi

secara

berkala

dan

penggunaan matras antidekubitus


l. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik
Selain itu juga di berikan tatalaksana etiologis GBS yang sesuai seperti
plasmafaresis, IVIG, kombinasi atausteroid.
Prognosis pada kasus baik karena berdasarkan literature dikatakan pasien
GBS yang berprognosis buruk adalah pasien dengan usia >60 tahun, progresi cepat
menjadi tetraparesis dalam 1 minggu, intubasi, dan amplitude motorik distal <

20%. Kebanyakan pasien (hingga 85%) dengan GBS mencapai pemulihan


penuh dan fungsional dalam waktu 6-12 bulan. Pemulihan maksimal 18 bulan.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Wanita 45 tahun mengalami GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS) tipe AMSAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre: Neurologi
Klinis Dasar. Cetakan ke-14. Dian Rakyat: Jakarta, 2009.
2. Gregory Budiman. Basic Neuroanatomical Pathways. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008.
3. Snell. Neuroanatomi Klinik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2006.
4. Burns, Ted M, MD. Guillain Barre Syndrome, Semin Neurol 2008; 28(2) :
152-167

5. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY, Jiang Z, et al.
Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause of acute flaccid paralysis in
China. Ann Neurol 1993;33:333-42.
6. Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre: Neurologi
Klinis Dasar. Cetakan ke-15. Dian Rakyat: Jakarta, 2012.
7. Price, Sylvia A; Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed 6. Jakarta : EGC
8. Ropper HA, Brown HR. Adams and Victor, Principles of Neurological 8th ed.
United States of America; 2005. p.1117-27.
9. Yuki N, Hartung HP. GuillainBarr Syndrome. N Engl J Med
2012;366:2294-304.
10. Pritchard J. GuillainBarr Syndrome. Clinical Medicine 2010, Vol 10, No 4:
399401
11. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press. 1991. Hal: 301-305.
12. Van Doorn PA., Ruts L., Jacobs B. Clinical Features, pathogenesis, and
treatment of Guilaain Barre Syndrome. Lancet Neurol 2008; 7;939 50.
13. Sulistyoningrum E. Pemeriksaan Sensorik, Posisi, Keseimbangan Dan
Koordinasi. FK UNSOED. 2011.
14. Ropper AH. The Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med 1992;326:1130-6.
15. Dewanto G, Suwono w, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.2009; p.66-7
16. Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome,
optimum management. Clin. Immunother. 2(2): 89-99
17. Hughes RAC et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barre
Syndrome:

Report

of

the

quality

standards

subcommitee

of

the

American Academy of Neurology. Neurology 2003; 61:736


18. National Guideline Clearinghouse. Practice Parameter: immunotherapy for
Guillain-Barre Syndrome: report of the quality standards subcommittee of
the American Academy of Neurology. [cited on 2011 Aug 20]. Available:
http://www.guideline.gov/content.aspx?id=4110

Anda mungkin juga menyukai