Anda di halaman 1dari 29

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: a. Pneumonia
lobaris, b. Pneumonia interstisial (bronkiolitis), c. Bronkopneumonia. (Bennete
MJ, 2013).
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas
bagian bawah yang terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau
rumah sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran
nafas bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia.
Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh
karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak (Bennete MJ, 2013).
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada
anak < 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/ 100 anak/ tahun, sedangkan di
Negara berkembang 10-20 kasus/ 100 anak/ tahun. Pneumonia menyebabkan
lebih dari 5 juta kematian per tahun pada balita di negara berkembang (Pudjiadi
AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk., 2009).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia

lobularis

yaitu

suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai


bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anakanak dan balita, yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi, seperti bakteri,
virus, jamur, dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder

terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami definisi, etiologi,
klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding bronkopneumoni.
1.3 Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
penyakit bronkopneumoni.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bronkopneumonia

adalah

peradangan

pada

parenkim

paru yang

melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercakbercak (patchy distribution) (Bennete MJ, 2013). Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley JS,
Byington CL, Shah SS, et.al., 2011).
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian pneumonia di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada
umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12

kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja (Setyoningrum RA, Landia S,
Makmuri MS, 2006).
Jumlah kasus pneumonia di RSU Dr. Soetomo Surabaya, meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2003 dirawat sebanyak 190 pasien. Tahun 2004
dirawat sebanyak 231 pasien, dengan jumlah terbanyak pada anak usia kurang
dari 1 tahun (69%). Tahun 2005, anak berumur kurang dari 5 tahun yang dirawat
sebanyak 547 kasus dengan jumlah terbanyak pada umur 1-12 bulan sebanyak
337 orang (Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006).
Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering
didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak.
Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya umur
anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga
berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas
tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak di
bawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang (Setyoningrum RA, Landia
S, Makmuri MS, 2006).
Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%.
Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal
musim semi, sedangkan di negara tropis pada musim hujan (Setyoningrum RA,
Landia S, Makmuri MS, 2006).
2.3 Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab
pneumonia pada anak bervariasi tergantung usia, status imunologis, status
lingkungan, kondisi lingkungan, status imunisasi, faktor pejamu.

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia
anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber
dari data di negara maju: (Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006).
Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia berdasarkan Umur
Umur
Lahir 20 hari

3 minggu 3 bulan

4 bulan 5 tahun

5 tahun - remaja

Etiologi tersering
Bakteri: E. Colli,
Sreptococcus grup B,
Listeria monocytogenes

Bakteri: Clamydia
trachomatis, Streptococcus
pneumoniae

Etiologi terjarang
Bakteri: Bakteri anaerob,
Streptococcus grup D,
Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus: CMV, HSV
Bakteri: Bordetella
pertusis, Haemophilus
influenza grup B,
Moraxella catharalis,
Staphylococcus aureus,
Ureaplasma urealyticum

Virus: Adenovirus, RSV,


Influenza, Parainfluenza
1,2,3
Bakteri: Clamydia
pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Streptococcus
pneumoniae

Virus: CMV

Virus: Adenovirus, RSV,


Rinovirus, Influenza,
Parainfluenza, Measles
virus
Bakteri: Clamydia
pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Streptococcus
pneumoniae

Virus: Varicella zoster

Bakteri: Haemophilus
influenza grup B,
Moraxella catharalis,
Staphylococcus aureus,
Neisseria meningitidis

Bakteri: Haemophilus
influenza grup B,
Legionella sp.,
Staphylococcus aureus
Virus: Adenovirus, Epstein
barr virus, influenza virus,
parainfluenza virus,
rhinovirus, Respiratory
syncytial virus, Varicella
zoster virus

Faktor non infeksi

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esofagus meliputi:


a. Bronkopneumonia lipoid
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemeksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak hewani yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan (Behman, Richard E, dkk., 2000).
b. Bronkopneumonia hidrokarbon
Terjadi karena aspirasi zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak
tanah dan bensin.
2.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan Klinis dan epidemiologis
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia): pneumonia
yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus gram
positif

(Pneumococcus,

Staphylococcus),

basil

gram

negatif

(Haemophillus influenza), bakteri atipik.


b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia): pneumonia
yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering
disebabkan oleh bakteri gram negatif (Staphylococcus aureu) dan
jarang oleh Pneumococcus atau Mycoplasma pneumonia.
c. Pneumonia Aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara
lain asam lambung dan makanan.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial/tipikal
b. Pneumonia atipikal: disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia

c. Pneumonia jamur: sering merupakan infeksi sekunder dengan


predileksi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia intersisisal
(Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, et.al.)
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari viremia/ bakteremia atau penyebaran dari infeksi
intraabdomen. Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari
sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui
beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem
pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya
adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan reflek epiglotis,
ekspulsi benda asing melalui reflek batuk, pembersihan ke arah kranial oleh
lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal
imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen,
sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity
(Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006).
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas mengalami
gangguan, sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah.
Inokulasi patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi
akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat
patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa

kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular.
Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila
proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel
inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan
obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan
adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon
inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstisial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan
terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik.
Infiltrasi ke interstisial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada
anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya
barier mukosa (Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006).
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen,
kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses
pneumonia tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas
penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme
pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan
dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang
mengandung opsonin dan tergantung respon imunologis penjamu akan terbentuk
antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh
makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui
perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi
oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae.
Ketika mekanisme ini tidak tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit

PMN dengan aktivitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin


sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
kongesti vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik
pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus
yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori kohn (the pores of kohn).
Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area
sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan
bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi
merah).
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan
fagositosis aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan
pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi
dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan
kaburnya struktur seluler paru.
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul
dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan
membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi
keterlibatan interstisial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan
epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada
paru minimal.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan
jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman.
Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang
terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari
fibrinogen, fibronektin, kolagen, dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari
Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda

pula, dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan
dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infeksi,
menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang
mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus
aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi
dengan

opsonofagositosis.

Penyakit

yang

serius

sering

disebabkan

Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau


clumping factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan
fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh:
pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan
membentuk beberapa enzim seperti catalase (menonaktifkan hidrogen peroksida,
meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicillinase atau lactamase
(menonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka cincin beta
laktam molekul penisilin) dan lipase.
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi
akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini, tubuh akan berusaha mengompensasi dengan cara
meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat
takipneua dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan
ventilasi maka ratio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai yang disebut
ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi
usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan berkurangnya
volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan mengganggu
proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat

10

terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gagal nafas
(Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006).
2.6 Stadium
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama)
Kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat
jernih, bakteri dalam jumlah banyak,beberapa netrofil dan makrofag.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Labus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung
udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam
alveolus didapatkan fibrin, leukosit, neutrofil, eksudat dan banyak sekali
eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari)
Lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu.
Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin
dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus. Kapiler tidak lagi
kongestif
4. Stadium resolusi (7-12 hari)
Eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit
mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan
menghilang, secara patologi anatomi bronkopneumonia berbeda dari
pneumonia lobaris dalam hal lokalisasi sebagai bercak-bercak dengan
distribusi yang tidak teratur. Dengan pengobatan antibiotik urutan stadium
khas ini tidak terlihat (Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et.al., 2011).
2.7 Manifestasi klinis
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab,
usia pasien, status imunologis, pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis
bisa berat, yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti
pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala
umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, dan ekstrapulmonar. Gejala

11

nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien


mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare,
atau sakit perut.
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas
cuping hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas
intrkostal dan abdominal mungkin digunakan. Wheezing mungkin akan ditemui
pada anak-anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan
pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis. Frekuensi nafas merupakan indeks
paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk
mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia. Pengukuran
frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. WHO telah
merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan
batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO
menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat di lapangan dan harus
memerlukan perawatan di Rumah Sakit untuk pemberian antibiotik.
Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan
patologinya menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi
pleura. Pada auskultasi suara nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada
proses peradangan subpleura dan mengeras (suara bronkial) bila ada proses
konsolidasi. Ronki basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar mungkin
tidak akan terdengar untuk bayi. Pada bayi dan balita karena kecilnya volume
thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakterial dan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia

12

bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis (Setyoningrum RA, Landia S,
Makmuri MS, 2006).
2.8 Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Hal-hal yang dapat ditanyakan selama anamnesis meliputi:
a. Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur
orang tua, pendidikan dan pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama: sebagian besar penderita bronkopneumonia dibawa karena
c.
d.
e.
f.
g.
h.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

sesak nafas
Riwayat perjalanan penyakit: demam, batuk dan pilek, sesak nafas
Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat imunisasi
Riwayat makanan: ASI/ PASI
Riwayat kontak dengan orang lain yang menderita penyakit tertentu
Riwayat berobat
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi dapat dijumpai keadaan sebagai berikut:
Gelisah
Malaise
Merintih
Batuk
Sesak nafas
Nafas cuping hidung
Retraksi dada suprasternal, intercostal ataupun subcostal
Sianosis
Sedangkan pada perkusi palpasi auskultasi dijumpai ronkhi basah
halus nyaring tersebar, pekak tidak ada. Hasil pemeriksaan fisik tergantung
pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi thoraks sering tidak
dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar
ronkhi basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumoni menjadi satu (konfluens) mungkin
pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada
auskultasi terdengar mengeras (Said M, 2008).
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis dan

lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas

13

cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah (Raharjoe NN,
Supriyatno B, Setyono DB, 2010)
Menurut Pelayanan Kesehatan Medis Rumah Sakit WHO, pneumonia
dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat :

Pneumonia ringan : disamping batuk atau kesulitan napas, hanya

terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah :


a. Pada usia 2 11 bulan : 50x/mnt
b. Pada usia 1 - 5 tahun : 40x/mnt
Pneumonia berat : Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal
salah satu dari hal berikut ini :
a. Kepala teranguk anguk
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
d. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrate luas,
konsolidasi, dll)

Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:


o Napas cepat
Anak umur < 2 bulan : 60x/mnt
Anak usia 2-11 bulan : 50x/mnt
Anak usia 1-5 tahun : 40x/mnt
Anak umur 5tahun : 30x/mnt
o Suara merintih pada bayi muda
o Auskultasi
Ronki
Suara nafas menurun
Suara nafas bronkial
o Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

semuanya
Kejang, letargi, atau tidak sadar
Sianosis
Distress napas berat
(World Health Organization, 2009)

3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah perifer lengkap

14

Pada pneumonia virus dan Mycoplasma, umumnya ditemukan leukosit


dalam batas normal atau sedikit meningkat.Akan tetapi pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3

dengan

predominan

PMN.Leukopenia

(<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat


hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering ditemukan
pada keadaan bakteremi, dan resiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.
Pada infeksi Chlamydia pneumonia kadang kadang ditemukan
eusiinofilia.Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN
berkisar antara 300-100.000 /mm3, protein >2.5g/dL, dan glukosa
relatif lebih rendah dibandingkan dengan glukosa darah.
Kadang kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
meningkat.Trombositopenia dapat ditemukan pada 90% penderita
pneumonia dengan empyema. Secara umum hasil pemeriksaan darah
perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri
secara pasti.
b. C-Reaktif Protein
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 dan TNF, meskipun
fungsinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis CRP
digunakan sebagai alat diagnostic untuk membedakan antara faktor
infeksi dan non-infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah
pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infeksi
bakteri profunda (Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyono DB, 2010).
c. Uji serologis

15

Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi


bakteri tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum
tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.
d. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS,
untuk pemeriksaan mikrobiologis, specimen dapat berasal dari usap
tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura
ayau aspirasi paru.Pemeriksaan sputum kurang berguna. Diagnosis
dikatakan definitive apabila kuman ditemukan dalam darah, cairan
pleura atau aspirasi paru kecuali pada masa neonatus, dimana kejadian
baakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.
e. Pemeriksaan rontgen thoraks
Foto thorax dengan proyeksi antero-posterior merupakan dasar
diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan
informasi tambahan. Secara umum gambaran foto thorax terdiri dari
Pneumonia/infiltrat intersisial: ditandai dengan peningkatan
corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
Biasanya disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat

terjadi patchy consolidation karena atelektasis.


Infiltrat alveolar: merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram, konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasamya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Biasanya disebabkan oleh bakteri Pneumococcuus atau bakteri
lain.

16

Gambar 2.1 Pneumonia lobaris

Gambar 2.2 Round Pneumonia


Bronkopneumonia : Ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate halus yang dapat
meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial.

17

Gambar 2.3 Bronkopneumonia


2.9 Diagnosis Banding
a.

Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39-40 oC dan biasanya tipe
kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar
hidung/mulut dan nyeri dada.Pada foto rontgen terlihat adanya konsolidasi

pada satu atau beberapa lobus.


b. Bronkiolitis
Diawali infeksi salurah nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi ICS dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi.Gambaran laboratorium dalam batas normal,
kimia darah menggambarkan asidosis respiratorik ataupun metabolik.
c. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba tiba,
wheezing atau suara pernapasan yang menurun bersifat fokal.
d. TBC

18

Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif (
>10mm atau pada keadaan imunosupresi >5mm), demam 2 minggu atau
lebih, batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat

badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang


spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, dan
phalangs dan dapat disertai penurunan nafsu makan menurun dan malaise
yang dapat ditegakkan melalui skor TB

Gambar 2.4 Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak


e. Atelektasis
Adanya pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
tidak seharusnya mengandung udara.Dispneu dengan pola pernapasan
cepat dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan
mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi
(Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, et.al., 2008).
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bertujuan untuk mengeradikasi infeksi, menurunkan
morbiditas dan mencegah komplikasi.

19

Pada bronkopneumonia, karena termasuk dalam gejala pneumonia berat


maka merupakan indikasi untuk dirawat di rumah sakit.
Pengobatan bronkopneumonia adalah sebagai berikut:
a. Pemberian antibiotik polifarmasi selama 10-15 hari, meliputi:
- Ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis ditambah klorampenikol dengan

dosis: < 6 bulan: 25-50 mg/kgBB/hari


>6 bulan: 50-75 mg/kgBB/hari dosis dibagi dalam 3-4 dosis
Atau ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis ditambah gentamisin

dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.


Pada penderita yang dicurigai resisten dengan obat tersebut berdasarkan
riwayat pemakaian obat sebelumnya, atau pneumonia berat dengan tanda
bahaya, atau tidak tampak perbaikan klinis dalam 3 hari, maka obat diganti
dengan cephalosporin generasi 3 (dosis tergantung jenis obat) atau penderita
yang tadinya mendapat kloramfenikol diganti dengan gentamisin dengan dosis

3-5 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.


b. Terapi cairan:
Cairan iv dekstrose 5% ditambah NaCl 15%
c. Tindak lanjut
- Pengamatan rutin: frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan vena, hepatomegali,
tanda asidosis, dan tanda komplikasi
- Indikasi pulang
Bila tidak sesak dan intake adekuat
Tabel 2.2 Pilihan Penggunaan Antibiotik pada Pneumonia
Umur
< 3 bulan

Dugaan
kuman
penyebab
Enterobacteriace
(Esherichia colli),
Klebsiella,
Enterobacter
Streptococcus
pneumoniae
Sreptococcus grup
B
Staphylococcus
aureus
Clamydia
trachomatis

Pilihan antibiotik
Rawat inap
Rawat jalan
- Kloksasilin
iv
dan aninoglikosida
(gentamisin,
netromisin,
amikasin)
iv/im
atau
- Ampisilin iv dan
aminoglikosida
atau
- Sefalosporin gen
3 iv (cefotaxim,
ceftriaxon,
ceftazidim,
cefuroksim) atau

20

3 bulan 5 tahun

Streptococcus
pneumoniae
Staphylococcus
aureus
Haemophyllus
influenzae

>5 tahun

Streptococcus
pneumoniae
Mycoplasma
pneumoniae
Clamydia
pneumoniae

- Meropenem
iv
dan aminoglikosida
iv/im
- ampisilin iv dan
kloramfenikol iv
atau
- ampisilin
dan
kloksasilin iv atau
- sefalosporin
generasi 3 iv
(cefotaxim,
ceftriaxon,
ceftazidim,
cefuroksim) atau
- meropenem
iv
dan
aminoglikosida
iv/im
- ampisilin iv atau
- eritromisin
po
atau
- klaritromisin po
atau
- azitromisin
po
atau kotrimokasol
po
atau
sefalosporin gen
3 iv

- amoksisilin atau
- kloksasilin atau
- amoksisilin asam
klavulanik atau
- eritromisin atau
- klaritromisin atau
- azitromisin atau
- sefalosporin oral
(sefixim,
sefaklor)

- amoksisilin atau
- eritromisin
po
atau
- klaritromisin po
atau
- azitromisin
po
atau
- kotrimoksasol po
atau
- sefalosporin oral
(sefixim,
sefaklor)

2.11Komplikasi
Bila bronkopneumonia tidak ditangani secara tepat, maka komplikasinya
adalah sebagai berikut:
1. Otitis media akut (OMA): terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang
berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi
masuknya udara ke telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian
gendang telinga akan tertarik ke dalam dan timbul efusi.
2. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru
3. Efusi pleura
4. Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura
5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak

21

6. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang
7. Endokarditis bakterial yaitu peradangan pada katup endokardial.
2.12Prognosis
Sembuh total bila didiagnosis dini dan ditangani secara adekuat. Mortalitas
lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi protein
dan datang terlambat untuk pengobatan.

BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: An. TA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur
: 8 bulan
Anak ke
:2
Alamat
: Gempol, RT 01/RW.II Ds. Ngebrak, Gampengrejo, Kediri
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
MRS
: 26 7 2015
Nama Ayah
Usia
Agama
Pendidikan
Pekerjaan

: Tn. AR
: 32 th
: Islam
: SMP
: Karyawan swasta

Nama Ibu
Usia
Agama
Pendidikan
Pekerjaan

: Ny. RC
: 34 th
: Islam
: SMP
: Wiraswasta

3.2
3.2.1
3.2.2

Anamnesis (Alloanamnesis) dengan ibu kandung pasien


Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang

22

Sejak 7 hari sebelum MRS ibu TA mengeluh anaknya menderita batuk.


Batuk berdahak, dahak tidak dapat dikeluarkan, juga mengeluh pilek. Ibu TA
kemudian membawa TA berobat ke bidan dan diberi obat keluhan batuk
berkurang, namun selama 3 hari sebelum MRS badan TA panas tinggi, terus
menerus. selain itu TA mengalami sesak nafas tiba-tiba dan semakin memberat
mulai 1 hari sebelum MRS. Sesak nafas tidak berhubungan dengan aktivitas dan
cuaca dan pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Buang air besar dan
buang air kecil tidak ada keluhan. Nafsu makan menurun dan nafsu minum baik.
3.2.3

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah sakit batuk dan pilek, dibawa berobat ke bidan kemudian

sembuh, pasien tidak pernah sesak sebelumnya.


3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan batuk dan sesak nafas dalam keluarga
disangkal.
3.2.5 Riwayat Ekonomi dan Sosial
Pernah diasuh oleh pembantu saat usia 2 bulan, saat itu pasien sering sakitsakitan. Pasien adalah anak ke dua dari pasangan Tn. AR usia 32 tahun dengan
pendidikan terakhir SMP dan bekerja sebagai karyawan swasta dengan Ny. RC
usia 34 tahun dengan pendidikan terakhir SMP bekerja sebagai wiraswasta.
Kesan: status ekonomi cukup.
3.2.6 Riwayat Persalinan
Lahir secara operasi caesar, lebih bulan 42-43 minggu, BBL 3600 g, PBL
50 cm, lahir di RS.
3.2.7 Riwayat Imunisasi:
BCG
DPT I/II/III
Polio I/II/III
Campak
3.2.8

+
+/+/+
+/+/+
-

Hepatitis I/II/III
+/+/+
Riwayat Tumbuh kembang
BB: 9 Kg
PB: 58 cm
Usia: 8 bulan

23

Z score :
BB/U : - 2 SD s/d + 2 SD = Normal
BB/PB : > + 2 SD = Gemuk
PB/U : - 3 SD s/d - 2 SD = Pendek
BMI/U : - 2 SD s/d + 2 SD = Normal
Motorik Kasar:
Duduk, mengambil mainan dengan merangkak, belajar berjalan
Motorik Halus :
Memegang benda
Mencoret-coret di kertas
Verbal : Tertawa
Sosial
: Tersenyum, melambaikan tangan dan berkata daaa daag
3.3

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
Vital Sign

: Tampak sesak
: Composmentis
: Nadi : 100 x/menit
Suhu : 38,2 C
RR : 64 x/menit

PB: 58 cm, BB: 9 Kg


Kepala/Leher : a/i/c/d: -/-/-/+, pembesaran
Pulmo

KGB (-), faring hiperemi (-),

nafas cuping hidung (+)


Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris, retraksi otot
pernapasan +/+
Palpasi
: ekspansi paru N/N, fremitus N/N
Perkusi
: sonor
Auskultasi
: Vesikuler (menurun), wheezing -/-, Ronkhi

Jantung
Abdomen

Ekstremitas

+/+
Pembesaran : normal
Auskultasi
: S1S2 tunggal, bising (-)
Meteorismus : (-)
Cairan bebas : (-)
Hepar
: Tidak teraba,
Lien
: Tidak teraba
Bising usus : BU normal
Akral hangat, kering, merah.
Pitting edem (-), CRT < 2 detik

3.4
Laboratorium
a. Darah Lengkap
Parameter
WBC (leukosit)
RBC (eritrosit)
HB (Hemoglobin)
HCT (Hematokrit)
PLT (Platelet)

Nilai
11,15 x 10/ ul
4,26 x 106 /ul
10,9 gr/dl
32,5 %
298 x 10 / ul

Nilai Rujukan
4,0 - 10,0
3,80 - 6,00
11,0 - 16,5
35 - 50
150 - 450

24

MCV
MCH
MCHC
RDW-SD
RDW-CV
PDW
MPV
NEUT #
NEUT %
LYMPH #
LYMPH %
MONO #
MONO %
EO #
EO %
BASO #
BASO %

76,3 fL
25,8 pg
33,5 gr/dl
40,6 fL
15,0 %
10,1 fL
9,7 fL
3,51 x 10/ ul
31,5 %
6,67 x 10/ ul
59,8 %
0,95 x 10/ ul
8,5 %
0,00 x x 10/ ul
0,0 %
0,02 x 10/ ul
0,2%

81,0 - 99,0
27,0 - 31,0
33,0 - 37,0
35 - 47
11,5 - 14,5
9,0 13,0
7,2 11,1
1,5 7
40 - 74
1 3,7
19 48
0,16 1
39
0 0,8
07
0 0,2
01

3.5

Radiologi
Hasil Pemeriksaan Radiologi:
Cor
: besar cor normal
Pulmo :
- corakan bronkovaskular di suprahiler, perihiler, dan paracardial dextra dan
sinistra meningkat
- Susp. Pembesaran lymphonodi pulmo dextra dan sinistra
- Sinus costophrenicus lancip, diafragma licin
- CTR < 0,5
Kesan: Bronkopneumonia dextra dan sinistra e.c KP primer
3.6
Problem List
1.
2.
3.
4.

Batuk produktif
Dyspnea
Riwayat imunisasi tidak adekuat
Febris

3.7

Diagnosis Kerja
Bronkopneumoni

3.8

Differential Diagnosis
Bronkiolitis
TB Paru

3.9
3.9.1

Planning
Diagnosis
DL
HDT
Kultur

25

3.9.2

PCR
Terapi
Infus N4 12 tpm
O2 kanul 2-3 lpm
Eritromisin syrup 4 x cth (180 - 225 mg/hari dibagi dalam 4 dosis)

3.9.3

3.9.4

selama 14 hari
Monitoring
Monitoring keluhan pasien (batuk, sesak, pilek)
Vital Sign (TD, N, RR, suhu)
Edukasi
Menjelaskan penyakit yang diderita pasien
Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan
Menjelaskan penatalaksaan yang akan dilakukan, cara penggunaan obat,

tujuan dan manfaat, serta efek samping obat


Menjelaskan prognosis penyakit pasien
3.10 Follow up
27/7/15

28/7/15

29/7/15

30/7/15

31/10/15

Suhu

38,2

37,3

37,0

36,6

36,5

Nadi
(x/mnt)
RR (x/mnt)

110

102

110

110

108

64

46

40

35

32

+/+

+/+

- /-

-/-

-/-

+/ +

+/+

+/+

+/+

+/+

Sesak

+++

++

++

Batuk

+++

+++

+++

++++

+++

Pilek

Retraksi
interostae
Rhonki
Suara nafas

Terapi

Infu
s N4 12 tpm

Inj.
Pycin 3x250
mg

Inj.
Gentamicin
2x 20 mg

Neb
uli zer :
Ventolin
1/3 + PZ
2x1/hari

Infu
s N4 12 tpm

Inj.
Pycin 3x250
mg

Inj.
Gentamicin
2x 20 mg

Neb
uli zer :
Ventolin
1/3 + PZ
2x1/hari

Infu
Infu
Infu
s N4 12 tpm s N4 12 tpm s N4 12 tpm

Inj.
Neb
Neb
Pycin 3x250 uli zer :
uli zer :
mg
Ventolin
Ventolin 1/3
1/3 + PZ
+ PZ

Inj.
2x1/hari
2x1/hari
Gentamicin
2x 20 mg

Neb
uli zer :
Ventolin
1/3 + PZ
2x1/hari

26

Ora
l:
Sanmol 3 cth

PB 3x1
Zamel 1x0,8
cc
Ottopan
4x0,9 cc

PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun datang ke IGD RSUD
Gambiran. Dari data anamnesis (aloanamnesis dengan ibu pasien) didapatkan
keluhan

Sesak,

batuk,

pilek,sejakpagiini

Sesaksejaktadimalamsudahke

UGD

RSUD

(17/2/2015)
gambiran,

badanpanas.
sesakmembaik,

kemudianpasienpulang,
namundemikiansaatberadadirumahsesakpasienmunculkembalidanbertambahparah,
sehinggakembalilagike

UGD

hariini

(17/2/2015).

Batukpilek

hariini.Batukberdahak, pilekberwarnabening.Muntahtiap kali habisbatukberisi


lender.Hari ini tidak mau makan, makan hanya sedikit sekali, badan lemas,
aktivitas tidak aktif seperti biasanya, BAB danBAK biasa.
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan anak tampak sesak dan suhu tubuh saat
datang adalah 37.2o C, termasuk dalam kategori suhutubuh normal. Dari

27

inspeksikepalatampakadanyadispneukepalaanakteranguk-anguk, secret hidung (+)


berwarnabening,
Padainspeksithorakstampakterlihatadanyaretraksisubkostadanpadaauskultasiterde
ngarrhonki +/+ tidakterdengar wheezing. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengarahkan kepada diagnosis sementara Bronchopneumonia, karena terdapat
kumpulan gejala seperti dispneu,sesak,retraksi subkosta, rhonki, dan batuk pilek
yang merupakan tanda klinis dari bronchopneumonia. Walau belum didapatkan
hasil foto rontgen yang dapat menunjang diagnosa namun berdasarkan dari
temuan klinis diagnosis mengarah ke penyakit bronkopneumonia.
Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukkan gambaran patologis,
hanya kadar leukosit yang sedikit lebih rendah daripada normal.
Pada kasus ini pasien sangat perlu untuk dirawat di rumah sakit karena
adanya sesak dan asupan oral yang sulit (IDAI, 2010). Penanganan awal yang
dilakukan adalah dengan memasang infus untuk asupan cairan dan mempermudah
dalam memberikan pengobatan secara injeksi. Infus yang diberikan adalah N2
(D5 NS), yang bertujuan selain memenuhi kebutuhan cairan juga memnuhi
kebutuhan energi. Kemudian diberikan Oksigendengannasal prongssebesar
2L/menituntukmempertahankan

SpO2.

Untuk

mengatasi

batuk

diberikan

ambroxol sirup sebanyak sendok teh. Dan untuk mengatasi infeksinya diberikan
ceftriaxone dengan dosis 100mg/kgbb/hari dibagi menjadi 2 dosis dan
paracetamol diberikan dengan dosis 125 mg, tab jika pasien panas
Dari hasil follow up, pada hari ke 4 pasien MRS keluhan
sesaksudahmenghilangdanbatuk sudah berkurang. Dari temuan ini dapat

28

disimpulkan bahwa kondisi pasien semakin membaik dan dapat dilanjutkan rawat
jalan di rumah.

DAFTAR PUSTAKA
Bennete MJ, 2013, Pediatric Pneumonia, http://www.emedicine.medscape
.com/article/967822-overview. diakses tanggal 5 Agustus 2015 jam 20.45.
23
Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et.al., 2011, The Management of CommunityAcquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age:
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society
and the Infectious Diseases Society of America, Clin Infect Dis, 53 (7):
617-630.
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk., 2009, Panduan Pelayanan Medis
Ilmu Kesehatan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, Penerbit
IDAI, p.250-254.
Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyono DB, 2010, Buku Ajar Respirologi Anak. 1st
ed, Badan Penerbit IDAI, Jakarta, Hal. 350-365.
Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, et.al., 2008, Epidemiology and Etiology of
Childhood Pneumonia. Bulletin of World Health Organization Vol.86.p.
321-416.
Setyoningrum RA, Landia S, Makmuri MS, 2006, Pneumonia, Naskah Lengkap
Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu
Kesehatan Anak VI, Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair RSU Dr. Soetomo, Surabaya.
World Health Organization, 2009, Pneumonia, dalam: Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten atau Kota, Badan Penerbit WHO
bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
hal. 86-93.
Behman, Richard E, dkk., 2000, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Cetakan I, Jakarta,
EGC, p. 883-889.

29

Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, et.al., Pneumonia komuniti: Pedoman diagnosis


dan penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan dokter Paru Indonesia,
Jakarta.
Said M, 2008, Pneumonia, Buku Ajar Respiratory Anak, ed II, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta, p. 350-64.

Anda mungkin juga menyukai