Anatomi
Fraktur cruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan susunan anatomi cruris dimana permukaan medial tibia hanya ditutupi
jaringan subkutan, sehingga menyebabkan mudahnya terjadi fraktur cruris terbuka yang
menimbulkan masalah dalam pengobatan.
Secara anatomi terdapat 4 grup otot yang penting di cruris:
1.otot ekstensor
2.otot abductor
3.otot triceps surae
4.otot fleksor
Keempat grup oto tersebut membentuk 3 kompartemen
Grup I
Grup II
Grup III+IV
Arteri:
1.arteri tibialis anterior
2.arteri tibialis posterior
3.arteri peroneus
Saraf:
1.n.tibialis anterior dan n.peroneus mempersarafi otot ekstensor dan abductor
2.n.tibialis posterior dan n.poplitea untuk mempersarafi otot fleksor dan otot triceps
surae.
ETIOLOGI
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk
timbulnya
fraktur
seperti
kapasitas
absorbsi
dari
tekanan,
fraktur
dapat
sangat
bervariasi,
beberapa
dibagi
menjadi
Derajat I:
1. Luka < 1cm.
2. Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
3. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
4. Kontaminasi minimal.
Derajat II:
1. Laserasi >1cm.
2. kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
3. Fraktur komunitif sedang.
4. Kontaminasi sedang.
Derajat III:
1. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur
segmental yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi
tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar
atau kontaminasi masif.
c. Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
Fraktur tertutup
Fraktur terbuka
2).
c. Berdasarkan bentuk
garis
patah
dan hubungannya
dengan
mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis fraktur dan dislokasi sendi, hal pertama yang
perlu diketahui adalah mekanisme traumanya. Hal ini penting untuk
memperkirakan lokasi terjadinya fraktur, misalnya apabila jatuh dari
ketinggian dalam posisi berdiri dapat menyebabkan fraktur pada tulang
punggung ataupun ujung tumit. Kemudian yang kedua, kita harus dapat
mengenali keadaan A-B-C. Problem yang timbul berkaitan dengan fraktur
biasanya masalah sirkulasi yang berupa perdarahan atau oklusi pembuluh
darah yang akan mengancam jiwa atau anggota gerak.
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk mencari riwayat mekanisme trauma (posisi
kejadian)
dan
kejadian-kejadian
yang
berhubungan
dengan
trauma
tersebut. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian atau jatuh dari kamar mandi pada orang tua, penganiayaan,
tertimpa benda berat, kecelakaan pekerja oleh karena mesin atau karena
trauma
olahraga.
Penderita
biasanya
datang
denga
keluhan
nyeri,
Apakah
terdapat
luka
pada
kulit
dan
jaringan
lunak
untuk
persendian
diatas
dan
dibawah
cedera,
daerah
yang
c) Gerakan/Moving
Pergerakan dengan meminta penderita menggerakan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d) Pemeriksaan trauma (kepala, thoraks, abdomen, pelvis)
Pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing dan
circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera
vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai
penunjang,
pemeriksaan
yang
penting
adalah
kegunaan
2) Tipis
tebalnya
korteks
sebagai
akibat
reaksi
periosteum
atau
menggambarkan
darah
di
ruang
cabang-cabang
tulang
saraf
vertebrae
yang
spinal
dan
mengalami
Kalsium
Serum
dan
Fosfor
Serum
meningkat
pada
tahap
penyembuhan tulang.
2)
3)
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
C. Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan
mikroorganisme
kultur
dan
test
sensitivitas:
terdapat
kerusakan
konduksi
saraf
yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
D.
beberapa
hari
terbentuklah
tulang
baru
selama
jam
setelah
fraktur
sampai
yang
Fase ini
selesai,
tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga
gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku
dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada
garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celahcelah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya
E.
KOMPLIKASI
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam
jaringan
parut.
Ini
disebabkan
oleh
oedema
atau
nekrosis tulang
terjadi
karena
kehilangan
banyak
darah
dan
dengan
waktu
yang
dibutuhkan
tulang
untuk
tingkat
kekuatan
Malunion
dilakukan
dan
dengan
perubahan
bentuk
pembedahan
dan
berlapis
bantal
dipasangkan
dari
lutut
hingga
2.2.1
Diagnosis
A. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat
maupun trauma yang ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakkan, gangguan fungsi
anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datan dengan gejala-gejala lain.5
1. Riwayat penderita
Pada riwayat penderita dicantumkan dengan jelas data pribadi meliputi nama, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, serta alamat yang jelas.
2. Keluhan utama
Beberapa keluhan yang membuat penderita datang untuk di periksa adalah:4
Trauma
lokalisasi trauma
Nyeri
lokasi nyeri
gradasi nyeri
Pembengkakkan
kecacatan
herediter
riwayat pengobatan
Ketidakstabilan sendi
Kelemahan otot
Gangguan sensibilitas
Jalan pincang
Pemeriksaan local 3, 4, 5
1. Inspeksi (look)
Inspeksi dimulai ketika penderita memasuki ruangan periksa. Perhatikan raut muka
penderita, apakah terlihat kesakitan, cara berjalan, cara duduk, dan cara tidur.
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka
Lakukan survey pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
2. Palpasi (feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah :
Nyeri tekan. Nyeri tekan yang bersifat superficial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi. Dapat diketahui dengan cara perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
3. pergerakan (move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakan secara aktif dan pasif sendi
proximal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
4. pemeriksaan neurologist
Berupa pemeriksaan saraf secara sensorik dan motorik serta gradasi kelainan neurologis.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis
1. foto polos
2. tomografi
3. CT scan
4. MRI
5. radioisotope scanning
Tujuan pemeriksaan radiologis adalah :
Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan lateral
Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, diatas dan dibawah sendi yang
mengalami fraktur
Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak
terutama pada fraktur epifisis
Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang.
Misalnya pada fraktur calcaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto panggul dan tulang
belakang.
Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid, foto pertama
biasanya tidak jelas sehingga diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.
Umumnya dengan foto polos sudah dapat ditegakan diagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokasinya, apakah
sendi jiga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.5
2.2.2 Penatalaksanaan
1. Prinsip prinsip pengobatan fraktur :
Penatalaksanaan awal :
Primary survey :
A : Airway (saluran nafas) + C spine control
Penilaian ini untuk mengetahui adanya obstruksi jalan nafas seperti adanya benda asing,
adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea atau laring yang dapat menyebabkan
obstrusi jalan nafas. Harus diperhatikan pula kelainan yang ada pada vetebra servikalis dan
apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan dengan alat Bantu seperti
kolar leher untuk penyangga.
B : Breathing (pernafasan) + ventilation control
Perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan daerah torak untuk menilai ventilasi.
C : Cirkulation ( sikulasi ) + hemorrhage control
Melihat sirkulasi dan control perdarahan, apabila ada perdarahan luar diatasi dengan balut
tekan.
D : Disability (evaluasi neurologis)
Dengan evaluasi ini kita dapat menilai tingkat kesadaran, besar dan reaksi pupil.
Menggunakan metode AVPU :
- A : Alert, sadar
- V : vocal, adanya respon terhadap stimulasi vocal
- P : painful, adanya respon hanya pada ransangan nyeri
- U : unresposible, tidak ada respon sama sekali
E : Exposure ( kontrol lingkungan )
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian harus dilepas, selain itu harus dihindari
terjadi hipotermi.
Penilaian klinis :
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka itu luka
tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf atau adakah trauma alat-alat dalam lain.
Resusitasi :
Kebanyakan pasien fraktur multiple datang dengan keadaan syok, sehingga diperlukan
resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya berupa pemberian transfusi darah dan cairan
lainnya serta obat-obat antinyeri.
Secondary survey :
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitive prinsip pengobatan ada 4
(4R) :
ambin atau balutan lunak untuk fraktur impaksi pada humerus proksimal
2.
1) Konservatif
Terdiri atas:
-
proteksi semata-mata (tanpa reduksi dan omobilisasi), untuk mencegah trauma lebih lanjut,
dengan cara memberikan sling (mitela)pada anggota gerak atas dan tongkat pada anggota
gerak bawah.
Indikasi : fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, falangs dan metakarpal atau
fraktur klavikula pada anak, kompresi tulang belakang,fraktur yang unio secara
klinis tetapi belum terjjadi konsolidasi secara rdiologik.
Traksi kulit
Biasanya menggunakan plaster yang direkatkan sepanjang ekstremitas yang kemudian
dibalut, ujung plaster dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya dengan
kartol dan beban(tidak oleh lebih dari 5 kilogram). Biasanya untuk anak-anak dan tidak untuk
reposisi tetapi untuk imobilisasi sementara sebelum operasi
Traksi tulang
Dengan pin steinmann atau kawat Kirschner yang halus dan biasa disebut kawat K yang
ditusukan pada tulang kemudian pin ditarik dengan tali, katrol dan beban. Tujuan untuk
reposisi.
Terjadi reaksi radang akut disertai proliferasi sel gibawah periostium dan didalam saluran
medula yang tertembus 8 jam setelah fraktur terjadi. Ujung frakmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematom yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsikan kapiler baru yang halus berkembang didaerah itu.
3. Pembentukan kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi osteogenik dan kondrogenik. Selain itu popolasi
sel juga mencangkup osteoklas yang dihasilkan oleh pembuluh darah baru. Sel osteoklas ini
berfungsi membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, pulau-pulau tulang yang
imatur dan kartilago yang membentuk kalus pada permukaan periosteal dan endosteal.
Sementara tulang fibrosa yang imatur akan menjadi lebih padat dan fraktur akan menyatu
sesudah empat minggu seletah cedera.
4. Konsolidasi
Aktivitas osteoklasik dan oeteoblastik berlaanjut dan anyaman tulang akan berubah menjadi
tulang lamelar. Osteoklas akan menerobos melalui reruntuhan fraktur dan dekat
dibelakangnya osteoblas mengisi celah yang tersisa diantara fragmen dan tulang yang baru.
Proses ini memerlukan waktu berbulan-bulan agar tulang cukup kuat membawa beban.
5. Remodeling
Proses ini terjadi selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun, lamela yang lebih tebal
ditempatka pada tekanan yang tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang dan rongga
sumsum dibentuk dan akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk
normalnya.