Anda di halaman 1dari 26

II.2.

Anatomi
Fraktur cruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan susunan anatomi cruris dimana permukaan medial tibia hanya ditutupi
jaringan subkutan, sehingga menyebabkan mudahnya terjadi fraktur cruris terbuka yang
menimbulkan masalah dalam pengobatan.
Secara anatomi terdapat 4 grup otot yang penting di cruris:
1.otot ekstensor
2.otot abductor
3.otot triceps surae
4.otot fleksor
Keempat grup oto tersebut membentuk 3 kompartemen
Grup I

:memebentuk kompartemen anterior

Grup II

:membentuk kompartemen lateral

Grup III+IV

:membentuk kompartemen posterior yang terdiri dari kompartemen


superficial dan kompartemen dalam.

Arteri:
1.arteri tibialis anterior
2.arteri tibialis posterior
3.arteri peroneus
Saraf:
1.n.tibialis anterior dan n.peroneus mempersarafi otot ekstensor dan abductor
2.n.tibialis posterior dan n.poplitea untuk mempersarafi otot fleksor dan otot triceps
surae.

ETIOLOGI
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.

2) Kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3) Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang

patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon


inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:

Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.

Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk

timbulnya

fraktur

seperti

kapasitas

absorbsi

dari

tekanan,

elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.


KLASIFIKASI FRAKTUR
Klasifikasi

fraktur

dapat

sangat

bervariasi,

beberapa

dibagi

menjadi

beberapa kelompok, yaitu:


a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c.

Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak


bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang


nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound),

bila terdapat hubungan antara

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya


perlukaan kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut
R.Gustilo), yaitu:

Derajat I:
1. Luka < 1cm.
2. Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
3. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
4. Kontaminasi minimal.

Derajat II:
1. Laserasi >1cm.
2. kerusakan jaringan lunak. Tidak luas, falp/avulsi.
3. Fraktur komunitif sedang.
4. Kontaminasi sedang.

Derajat III:
1. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur
segmental yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi
tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar
atau kontaminasi masif.
c. Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Fraktur tertutup

Fraktur terbuka

b. Berdasarkan komplit atau ketidak-klomplitan fraktur.


1).

Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang


tulang atau melalui kedua korteks tulang.

2).

Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh


penampang tulang seperti:
a. Hair Line Fraktur.
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c.

Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi


korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk

garis

patah

dan hubungannya

dengan

mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f.

Berdasarkan posisi fraktur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis fraktur dan dislokasi sendi, hal pertama yang
perlu diketahui adalah mekanisme traumanya. Hal ini penting untuk
memperkirakan lokasi terjadinya fraktur, misalnya apabila jatuh dari
ketinggian dalam posisi berdiri dapat menyebabkan fraktur pada tulang
punggung ataupun ujung tumit. Kemudian yang kedua, kita harus dapat
mengenali keadaan A-B-C. Problem yang timbul berkaitan dengan fraktur
biasanya masalah sirkulasi yang berupa perdarahan atau oklusi pembuluh
darah yang akan mengancam jiwa atau anggota gerak.
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk mencari riwayat mekanisme trauma (posisi
kejadian)

dan

kejadian-kejadian

yang

berhubungan

dengan

trauma

tersebut. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian atau jatuh dari kamar mandi pada orang tua, penganiayaan,
tertimpa benda berat, kecelakaan pekerja oleh karena mesin atau karena
trauma

olahraga.

Penderita

biasanya

datang

denga

keluhan

nyeri,

pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan


gerak, krepitasi atau datang dengan gejala lain. Perlu juga ditanyakan
riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan,
obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat
osteoporosis serta penyakit lain.

II. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan awal, penderita perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia, perdarahn
2. Kerusakan organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga thoraks, panggul, abdomen
3. Faktor predisposisi, misalnya fraktur patologis
III. Pemeriksaan Lokal
a) Inspeksi/Look

Bandingkan dengan anggota gerak yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak

Keadaan umum penderita secara keseluruhan

Ekspresi wajah karena nyeri

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah

terdapat

luka

pada

kulit

dan

jaringan

lunak

untuk

membedakan fraktur terbuka atau tertutup

Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa


hari

Perhatikan ada tidaknya deformitas: angulasi, rotasi, pemendekan,


pemanjangan, bengkak.

b) Palpasi/Feel (nyeri tekan, krepitasi)


Status neurologis dan vaskuler dibagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,
meliputi

persendian

diatas

dan

dibawah

cedera,

daerah

yang

mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Temperatur kulit juga dapat


diperiksa. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi pulsasi
arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (Capillary refill test).

c) Gerakan/Moving
Pergerakan dengan meminta penderita menggerakan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d) Pemeriksaan trauma (kepala, thoraks, abdomen, pelvis)
Pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing dan
circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera
vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai

penunjang,

pemeriksaan

yang

penting

adalah

pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan


gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi

kegunaan

pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.


Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.

2) Tipis

tebalnya

korteks

sebagai

akibat

reaksi

periosteum

atau

biomekanik atau juga rotasi.


3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi:
pembuluh

menggambarkan
darah

di

ruang

cabang-cabang
tulang

saraf

vertebrae

yang

spinal

dan

mengalami

kerusakan akibat trauma.


3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1)

Kalsium

Serum

dan

Fosfor

Serum

meningkat

pada

tahap

penyembuhan tulang.
2)

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan


kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3)

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.

C. Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan

mikroorganisme

kultur

dan

test

sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.


(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi:

terdapat

kerusakan

konduksi

saraf

yang

diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

D.

PROSES PENYEMBUHAN TULANG


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi
tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone

marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami


proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam

beberapa

hari

terbentuklah

tulang

baru

menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.


berlangsung

selama

jam

setelah

fraktur

sampai

yang

Fase ini
selesai,

tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga
gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku
dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada
garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celahcelah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya
E.

KOMPLIKASI
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam

jaringan

parut.

Ini

disebabkan

oleh

oedema

atau

perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.


Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk

ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah


rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan

nekrosis tulang

dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.


f. Shock
Shock

terjadi

karena

kehilangan

banyak

darah

dan

meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan


menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai

dengan

waktu

yang

dibutuhkan

tulang

untuk

menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke


tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah
6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang

berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau


pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya
(deformitas).

tingkat

kekuatan

Malunion

dilakukan

dan
dengan

perubahan

bentuk

pembedahan

dan

reimobilisasi yang baik.

Fraktur Tulang Betis


o Dengan dua bidai, betis dibidai dari mata kaki sampai beberapa
jari diatas lutut
o Di bawah lutut dan mata kaki diberi bantalan
o Selama menunggu pengangkutan, kaki diletakkan lebih tinggi dari
bagian tubuh lain. Ini untuk menghambat pembengkakan dan
mengurangi rasa sakit
o Apabila tulang yang patah terdapat diatas pergelangan kaki ,
pembidaian

berlapis

menutupi telapak kaki

bantal

dipasangkan

dari

lutut

hingga

2.2.1

Diagnosis

A. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat
maupun trauma yang ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakkan, gangguan fungsi
anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datan dengan gejala-gejala lain.5
1. Riwayat penderita
Pada riwayat penderita dicantumkan dengan jelas data pribadi meliputi nama, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, serta alamat yang jelas.
2. Keluhan utama
Beberapa keluhan yang membuat penderita datang untuk di periksa adalah:4

Trauma

waktu terjadinya trauma

cara terjadinya trauma

lokalisasi trauma

Nyeri

lokasi nyeri

gradasi nyeri

intensitas nyeri, apakah nyeri berkurang waktu beraktivitas

variasi sehari-hari, apakah pada waktu malam/pagi lebih nyeri atau


lebih baik

Kekakuan pada sendi

Pembengkakkan

Deformitas (kelainan bentuk)

waktu, sejak deformitas terjadi

perubahan, apakah deformitas makin bertambah setelah selang waktu

karakteristik/sifat-sifat deformitas, apakah bertambah dengan adanya


inflamasi dan kekakuan sendi

kecacatan

herediter

riwayat pengobatan

Ketidakstabilan sendi

Kelemahan otot

waktu dan sifatnya, apakah terjadi secara tiba-tiba atau bertahap

batas bagian tubuh yang mengalami kelemahan

bersifat regenerasi atau spontan

apakah disertai dengan kelainan sensoris

apakah menimbulkan kecacatan

riwayat pengobatan sebelumnya

Gangguan sensibilitas

Gangguan atau hilangnya fungsi

Jalan pincang

3. Riwayat penyakit sekarang


4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat keluarga
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya :5
1. syok, anemia atau perdarahan
2. kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ
dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. factor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Tanda-tanda fisik klasik yang umum dijumpai pada semua jenis fraktur adalah berupa : nyeri
tekan setempat, fungsio laesa, deformitas, mobilitas abnormal, dan krepitasi.4

Pemeriksaan local 3, 4, 5
1. Inspeksi (look)
Inspeksi dimulai ketika penderita memasuki ruangan periksa. Perhatikan raut muka
penderita, apakah terlihat kesakitan, cara berjalan, cara duduk, dan cara tidur.

Bandingkan dengan bagian yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak

Lidah kering atau basah

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka

Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari

Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekkan

Lakukan survey pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain

Perhatikan kondisi mental penderita

2. Palpasi (feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah :

Suhu kulit, biasanya suhu setempat meningkat

Nyeri tekan. Nyeri tekan yang bersifat superficial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

Krepitasi. Dapat diketahui dengan cara perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati

Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma

Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya


perbedaan panjang tungkai

3. pergerakan (move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakan secara aktif dan pasif sendi
proximal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
4. pemeriksaan neurologist
Berupa pemeriksaan saraf secara sensorik dan motorik serta gradasi kelainan neurologis.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis
1. foto polos
2. tomografi
3. CT scan
4. MRI
5. radioisotope scanning
Tujuan pemeriksaan radiologis adalah :

Mempelajari gambaran normal tulang dan sendi

Konfirmasi adanya fraktur

Melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya

Menentukan teknik pengobatan

Menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak

Menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler

Melihat adanya keaadan patologis lain pada tulang

Melihat adanya benda asing, misalnya peluru


Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua :

Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan lateral

Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, diatas dan dibawah sendi yang
mengalami fraktur

Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak
terutama pada fraktur epifisis

Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang.
Misalnya pada fraktur calcaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto panggul dan tulang
belakang.

Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid, foto pertama
biasanya tidak jelas sehingga diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

Umumnya dengan foto polos sudah dapat ditegakan diagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokasinya, apakah
sendi jiga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.5

2.2.2 Penatalaksanaan
1. Prinsip prinsip pengobatan fraktur :
Penatalaksanaan awal :
Primary survey :
A : Airway (saluran nafas) + C spine control
Penilaian ini untuk mengetahui adanya obstruksi jalan nafas seperti adanya benda asing,
adanya fraktur mandibula atau kerusakan trakea atau laring yang dapat menyebabkan
obstrusi jalan nafas. Harus diperhatikan pula kelainan yang ada pada vetebra servikalis dan
apabila ditemukan kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan dengan alat Bantu seperti
kolar leher untuk penyangga.
B : Breathing (pernafasan) + ventilation control
Perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan daerah torak untuk menilai ventilasi.
C : Cirkulation ( sikulasi ) + hemorrhage control
Melihat sirkulasi dan control perdarahan, apabila ada perdarahan luar diatasi dengan balut
tekan.
D : Disability (evaluasi neurologis)
Dengan evaluasi ini kita dapat menilai tingkat kesadaran, besar dan reaksi pupil.
Menggunakan metode AVPU :
- A : Alert, sadar
- V : vocal, adanya respon terhadap stimulasi vocal
- P : painful, adanya respon hanya pada ransangan nyeri
- U : unresposible, tidak ada respon sama sekali
E : Exposure ( kontrol lingkungan )
Untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian harus dilepas, selain itu harus dihindari
terjadi hipotermi.
Penilaian klinis :

Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka itu luka
tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf atau adakah trauma alat-alat dalam lain.
Resusitasi :
Kebanyakan pasien fraktur multiple datang dengan keadaan syok, sehingga diperlukan
resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya berupa pemberian transfusi darah dan cairan
lainnya serta obat-obat antinyeri.
Secondary survey :
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitive prinsip pengobatan ada 4
(4R) :

Recognition diagnosis dan penilai fraktur


Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan radiologis. Pada awal pengobatan diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk
fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi
selama atau sesudah pengobatan.

Reduction/reposisi reduksi fraktur kalau perlu ( memperbaiki posisi tulang


yang patah keposisi semula)
Pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktura disebut reduksi. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sadapat mungkin mengembalikan fungsi normal
dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, defomitas, serta perubahan osteoartitis
dikemudian hari.

Retention imobilisasi fraktur (mempertahankan posisi selama masa


pertumbuhan)
Berbagai teknik digunakan untuk imobilisasi, yang tergantung pada fraktur, seperti :

ambin atau balutan lunak untuk fraktur impaksi pada humerus proksimal

korset atau brace untuk fraktur kompresi (impaksi) pada vertebra

gips atau gips fiberglas untuk fraktur pada ekstremitas


2.

Rehabilitation mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin


Metode metode pengobatan fraktur

1) Konservatif
Terdiri atas:
-

proteksi semata-mata (tanpa reduksi dan omobilisasi), untuk mencegah trauma lebih lanjut,
dengan cara memberikan sling (mitela)pada anggota gerak atas dan tongkat pada anggota
gerak bawah.
Indikasi : fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, falangs dan metakarpal atau
fraktur klavikula pada anak, kompresi tulang belakang,fraktur yang unio secara
klinis tetapi belum terjjadi konsolidasi secara rdiologik.

Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)


Hanya memberikan imobilisasi sedikit, biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau
dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal
Indikasi : untuk fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam masa penyembuhan.

Reduksi tetutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna, mempergunakan


gips. Reduksi tertutup diartikan manipulasi, dilakukan baik dengan anastesi lokal atau umum.
Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama teknik ini.
Indikasi : sebagai bidai untuk fraktur pada pertolomgan pertama,ikobilisasi sebagai
pengobatan defenitif pada fraktur, pada fraktur yang bergeser, imobilisasi untuk
mencegah fraktur patologis,sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang
kurang kuat.

Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi


Dapat dilakukan dengan traksi kulit dan traksi tulang.

Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi


Dengan mempergunakan alat mekanik seperti bidai Thomas, bidai brown Bohler, bidai
Thomas dengan pearson knee flexion attachment. Tujuannya untuk reduksi dan imobilisasi.
Traksi dapat dibagi atas 2 :
Setiap traksi bisanya disertai dengan kontraksi, yaitu dengan berat badan pasien itu
sendiri,dengan cara meninggikan bagian ekstremitas yang ditraksi.

Traksi kulit
Biasanya menggunakan plaster yang direkatkan sepanjang ekstremitas yang kemudian
dibalut, ujung plaster dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya dengan
kartol dan beban(tidak oleh lebih dari 5 kilogram). Biasanya untuk anak-anak dan tidak untuk
reposisi tetapi untuk imobilisasi sementara sebelum operasi

Traksi tulang
Dengan pin steinmann atau kawat Kirschner yang halus dan biasa disebut kawat K yang
ditusukan pada tulang kemudian pin ditarik dengan tali, katrol dan beban. Tujuan untuk
reposisi.

2) Reduksi tertutup dengan dengan fiksasi eksterna atau fiksasi


perkutanaus dengan K-wire.
Setelah reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka reduksi dapat
dipertahankan dengan memasukan K-wire perkutaneus.
3) Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi ekstena tulang
4) Eksisi fragmen tulang dan pegantian dengan prtesis

Proses penyembuhan luka :


Proses perbaikan fraktur berbeda sesuai dengan jenis tulang dan jumlah gerakan ditempat
tidur. Pada tulang tubuler dan tidak ada fiksasi yang kaku, penyembuhan dimulai dengan 5
tahap :
1. Kerusakan jaringan dan terbentuknya hematom
Pembuluh darah robek dan terentuk hematom disekitar dan didalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur yang tidak mendapat persediaan darah kan mati sepanjang satu atau dua
sentimeter.
2. Radang dan proliferasi seluler

Terjadi reaksi radang akut disertai proliferasi sel gibawah periostium dan didalam saluran
medula yang tertembus 8 jam setelah fraktur terjadi. Ujung frakmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematom yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsikan kapiler baru yang halus berkembang didaerah itu.
3. Pembentukan kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi osteogenik dan kondrogenik. Selain itu popolasi
sel juga mencangkup osteoklas yang dihasilkan oleh pembuluh darah baru. Sel osteoklas ini
berfungsi membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, pulau-pulau tulang yang
imatur dan kartilago yang membentuk kalus pada permukaan periosteal dan endosteal.
Sementara tulang fibrosa yang imatur akan menjadi lebih padat dan fraktur akan menyatu
sesudah empat minggu seletah cedera.
4. Konsolidasi
Aktivitas osteoklasik dan oeteoblastik berlaanjut dan anyaman tulang akan berubah menjadi
tulang lamelar. Osteoklas akan menerobos melalui reruntuhan fraktur dan dekat
dibelakangnya osteoblas mengisi celah yang tersisa diantara fragmen dan tulang yang baru.
Proses ini memerlukan waktu berbulan-bulan agar tulang cukup kuat membawa beban.
5. Remodeling
Proses ini terjadi selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun, lamela yang lebih tebal
ditempatka pada tekanan yang tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang dan rongga
sumsum dibentuk dan akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk
normalnya.

Anda mungkin juga menyukai