Anda di halaman 1dari 13

BAKTERIAL VAGINOSIS

I. PENDAHULUAN
Bakterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus Spp
penghasil hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan flora normal vagina dengan
bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh : Bacteroides Spp, Mobilincus Spp),
Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis.1-6 Jadi, bakterial vaginosis bukan
suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul akibat perubahan
kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.7
Saat ini belum ada bukti bahwa penyakit ini ditularkan secara seksual antara
pasangan heteroseksual. Namun, bakterial vaginosis disebabkan oleh berganti-ganti
pasangan seksual dan kuman penyebabnya pernah dibiak dari uretra laki-laki yang
menjadi pasangan seksual perempuan yang terinfeksi. Pasangan lesbian dilaporkan
dapat mengalami sekresi vagina (keputihan) yang serupa, dan pada kasus bakterial
vaginosis, hal ini mungkin mencerminkan penularan seksual dalam kelompok ini.8
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wanita dengan bakteriologis vagina
normal dan wanita dengan bakterial vaginosis, ditemukan bakteri aerob dan bakteri
anaerob pada semua perempuan. Lactobacillus adalah organisme dominan pada
wanita dengan sekret vagina normal dan tanpa vaginitis. Lactobacillus biasanya
ditemukan 80-95 % pada wanita dengan sekret vagina normal. Sebaliknya,
Lactobacillus ditemukan 25-65 % pada bakterial vaginosis.9
II.

EPIDEMIOLOGI
Pada wanita yang memeriksakan kesehatannya, penyakit bakterial vaginosis

lebih sering ditemukan daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi bergantung pada
tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif
seksual terkena infeksi G. vaginalis, tetapi hanya sedikit yang menyebabkan gejala
1

sekitar 50 % ditemukan pada pemakai alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan
86% bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.10
Terdapat hubungan antara infeksi G.vaginalis dengan ras, promiskuitas,
stabilitas marital, dan kehamilan sebelumnya. Pada penggunaan AKDR dapat
ditemukan infeksi G.vaginalis dan kuman-kuman anaerob gram negatif.10
Hampir 90% laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.vaginalis,
mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi tidak
menyebabkan uretritis. Pada suatu penyelidikan ditemukan adanya hubungan antara
timbulnya rekurensi setelah pengobatan tehadap kontak seksual. Ditemukannya
G.vaginalis sering diikuti dengan infeksi lain yang ditularkan melalui hubungan
seksual.10
III.

ETIOLOGI
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis

dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada beberapa kategori dari bakteri
vagina yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :
1. Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner
dan Dukes bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan bakterial
vaginosis.1 Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah
menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam
dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang
gram negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan
urease semuanya negatif.10 Kuman ini bersifat anaerob fakultatif, dengan produksi
akhir utama pada fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga
menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat.

Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin,


purin, dan pirimidin.11
2. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Bacteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak
36% pada wanita dengan bakterial vaginosis. Pada wanita normal kedua tipe
anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob dihubungkan
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan vagina.
Setelah terapi dengan metronidazole, Bacteriodes dan Peptostreptococcus tidak
ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam organik yang predominan dalam
cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan
G.vaginalis untuk menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat hubungan
antara bakteri anaerob dengan vaginosis bakterial. Mikroorganisme anaerob lain
yaitu Mobiluncus Spp, merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan
pada vagina bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan
bakterial vaginosis. Mobiluncus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada wanita
normal, 85% wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini.1
3. Mycoplasma hominis
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus
dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterial, bersama-sama
dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. Prevalensi tiap mikroorganisme
ini meningkat pada wanita dengan bakterial vaginosis. Organisme ini terdapat
dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita dibandingkan dengan
bakterial vaginosis pada wanita normal.1
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu
dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi
normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan
meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis. Terjadi
peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob termasuk
Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali
lipat.9
IV.
PATOGENESIS

Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan


asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan
berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah bakteri predominan di
vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina yang bersifat asam. Faktorfaktor yang dapat mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara lain adalah mukus
serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotik, dan
perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan
meningkatnya pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri
anaerob. Metabolisme bakteri anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang
menghambat pertumbuhan bakteri lain8,12
Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,
keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi
mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri patogen
yang oportunistik. 16
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan
jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi
dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang
alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari
berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih
keruh, atau berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang
dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur,
Trichomonas, tanpa clue cell.11
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina
yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina
sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui

menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh
tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai
bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang
dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.10
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh
pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang
terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan
dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya
dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas. 10 Bakterial
vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang
faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan, yaitu:9
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab
bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk
kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai
flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya
pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

V.

GAMBARAN KLINIS
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling

sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama
setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau
amis/bau ikan (fishy odor).

1-6,9

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang

menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2)
menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang
menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala
yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik.

Iritasi daerah

vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan
daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga
penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan
edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing jarang
terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain. 10

Gambar 1. Cairan vagina yang abnormal pada bakterial vaginosis17


Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital
bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang
tidak spesifik. 1

VI.

DIAGNOSIS

Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas
ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau
dengan pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis, kemungkinan besar menderita
bakterial vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar
ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya
G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell
(1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis
dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina
yang tinggi akan memperkuat diagnosis. 10
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,
oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut
sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat
gejala, yaitu : 9,10
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada
dinding vagina dan abnormal
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis
4.

sebelum atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).


Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh
epitel)

Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.


A. Anamnesis
Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau
amis/bau ikan (fishy odor).1 Pasien sering mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa
terbakar. Biasanya kemerahan dan edema pada vulva.6

B. Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan


sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan
jarang berbusa.14 Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai
lapisan tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada.

9,10

Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel
vagina yang memberikan gambaran bergerombol. 9
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali)
untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi
dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis).

6,10

Pemeriksaan preparat

basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi


bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.9,10,12

Gambar 2. Clue cell14


2. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai
8

akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob.
Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.9,10,12,14
3. Tes lakmus untuk pH
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas
dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 - 4,2). Pada 8090% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.9,12,14
4. Pemarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan
Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella
vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.9,10
5. Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial
vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh
penderita bakterial vaginosis, tapi juga dapat ditemukan lebih dari 58% pada
perempuan tanpa bakterial vaginosis.9
6. Deteksi hasil metabolik 9:
- Tes proline aminopeptidase: G.vaginalis dan Mobilincus Spp menghasilkan
Proline aminopeptidase, dimana Laktobasilus tidak menghasilkan enzim
-

tersebut.
Permainan Suksinat/ Laktat: batang gram negatif anaerob menghasilkan
suksinat sebagai hasil metabolik. Perbandingan suksinat terhadap laktat dalam
sekret vagina ditunjukkan dengan analisa kromotografik cairan-gas meningkat
pada bakterial vaginosis dan digunakan sebagai tes skrining untuk bakterial
vaginosis dalam penelitian epidemiologik klinik.

VII. DIAGNOSA BANDING


1. Trikomoniasis
Pada pemeriksaan apusan vagina, trikomoniasis sering sangat menyerupai
penampakan pemeriksaan hapusan bakterial vaginosis, Tapi Mobiluncus dan clue
cells tidak pernah ditemukan pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopik
tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah

ditemukan protozoa untuk diagnostik. Whiff test dapat positif dan pH vagina 5
pada trikomoniasis.9
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna untuk
mendeteksi hifa dan spora kandida. Keluhan yang paling sering pada kandidiasis
adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau
dan PH normal.9,15
VIII. PENATALAKSANAAN
Karena penyakit bakterial vaginosis merupakan vaginitis yang cukup banyak
ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat yang
digunakan hendaknya tidak membahayakan, dan sedikit efek sampingnya.10
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan,
termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis
dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka
penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan pada masa
kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan
klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.9,10
a. Terapi sistemik4,9
1. Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif dengan
kesembuhan 84-96%. Metronidasol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi
gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari selama pengobatan dan 48 jam
setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi disulfiram. Metronidasol 200-250
mg, 3x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis
tunggal kurang efektif daripada terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bakterial
oleh karena angka rekurensi lebih tinggi.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan
94%.

10

3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7


hari.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
b. Terapi Topikal9
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan
Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan
angka penyembuhannya hanya 15 45 %.
c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah.9 Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan
karena mempunyai efek samping terhadap fetus.9,14 Dosis yang lebih rendah
dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250
mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama
kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan
metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi
angka kesembuhan yang rendah.9
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin
tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat

11

digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel metronidazol


vaginal atau klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup efektif untuk wanita hamil
dan intoleransi terhadap metronidazol9
d. Pengobatan vaginosis bakterial rekuren9
Vaginosis bakterial yang rekuren dapat diobati ulang dengan:
-

Rejimen terapi
Metronidazol 500 mg 2x sehari selama 7 hari.
Merupakan obat yang paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita
dinasehatkan untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam sesudahnya.
Rejimen alternatif
Metronidazol oral 2 gram dosis tunggal.
Kurang efektif bila dibandingkan rejimen 7 hari; kesembuhan 84%.
Mempunyai aktivitas sedang terhadap Gardnerella vaginalis, tetapi sangat
aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi
anaerob.
Metronidazol gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2 kali sehari untuk
5 hari.
Klindamisi krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5gr), dipakai saat akan tidur
untuk 7 hari atau dua kali sehari untuk lima hari
Klindamisi 300mg 2 kali sehari untuk 7 hari
Augmentin oral (500mg amoksilin + 125 mg asam clavulanat) 3 kali sehari
selama 7 hari.
Sefaleksin 500mg 4 kali sehari semala 7 hari
Jika cara ini tidak berhasil untuk vaginosis bakterial rekuren, maka dilakukan
pengobatan selama seminggu sebelum permulaan menstruasi dan begitupun
pada menstruasi berikutnya, dengan pengobatan selama 3-5 hari dengan
metronidazol oral dan anti jamur yaitu clotrimazol intravaginal atau
flukonazol.

PROGNOSIS

12

Prognosis bakterial vaginosis baik, dilaporkan perbaikan spontan pada lebih sepertiga
kasus. Dengan pengobatan metronidasol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).9

13

Anda mungkin juga menyukai