Legal Drafting Bahan Kuliah
Legal Drafting Bahan Kuliah
LEGAL DRAFTING
Posted by tiarramon in Legal Drafting. Meninggalkan komentar
Literatur Pokok :
1. Prinsip2 Legal Drafting & Desain NAskah Akademik (B. Hestu Cipto Handoyo)
2. Legislative Drafting (Sirajudin, dkk)
3. Ilmu Perundang-undangan buku 1 dan 2 (Maria Farida Indrati S)
4. Modul 1, 2, 3, 4, 5, 6 Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Legal
Drafting) : Depatemen Dalam Negeri/Lembaga Administrasi Negara 2007
5. UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan PerUUan
Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah
penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal
drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh;
Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan
yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan
perjanjian atau kontrak.
Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti
luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Jadi
bukan perancangan hukum seperti perjanjian/kontrak, dll.
Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan
yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan
perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
1/26
12/29/2015
2/26
12/29/2015
3/26
12/29/2015
umum.
Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang
dari ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan
peraturan perundang-undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat umum.
Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dala m
hal ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat normatif (mata kuliah dasar)
Ilmu perundang-undangan terbagi :
1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam
pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan, penilaian
dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis norma
hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal yang
berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma seperti objek
norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan mengkaji
hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar, bentuk dalam,
dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.
Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu :
Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan
doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social enginering), kegunaan lain ilmu
perundang-undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun
pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik.
Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in
materiele zin) dan UU dlm arti formil
UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah UU.
Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :
Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg
berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga undangundang dalam arti materil.
Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan
eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat umum yang
disebut juga undang-undang dalam arti formil.
Kesimpulan :
Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut
organ pembentuk dan isinya.
Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum
maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
4/26
12/29/2015
Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang namun
isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai UU
dalam arti materil atau perundang-undangan.
Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif
(dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif) yg
isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil atau
cukup disebut UU.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan PerUUan.
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :
1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat
maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau
individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut atau
digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.
Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :
Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.
Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.
Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan perUUan selain perlunya
penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal drafter juga harus memperhatikan normanorma/kaidah hukum sebagai dasar pembentukan perUUan tersebut.
Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak2 dan
kewajiban hukum yg berupa larangan, keharusan maupun kebolehan.
Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu :
1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels)
2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings)
3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis).
Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan hidup. Baik antara sesama maupun dengan
lingkungannya. Ketentuan tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku umum dan apabila
tidak diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power (kekuasaan diluar diri
manusia).
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
5/26
12/29/2015
Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan (orde) maupun
ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya lakunya dipaksakan dari luar diri
manusia.
Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan kepada ukuran
nilai2 baik atau buruk yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat : 1) suruhan
(impare/gebod) yang harus dilakukan orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang
tidak boleh dilakukan, 3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang dan tidak
disuruh.
Contoh :
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (346 KUHP)
Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan berat
dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP)
Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang
berwenang.
Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum
Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara.
Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar
tercapainya tujuan hukum.
Bentuk-bentuk norma hukum :
Umum dan individual : norma ini dilihat dari sasaran atau subyek yang dituju. Individu,
beberapa orang atau sekelompok orang tertentu
Abstrak dan konkrit : Abstrak atau konkritnya suatu norma ditentukan oleh bentuk perbuatan
yang diatur, mujarad (tak berwujud) atau nyata.
Einmahlig dan dauerhaftig : Norma hukum ini dapat dilihat dari masa berlakunya. Einmahlig
(berlaku sekali selesai) dan dauerhafting (berlaku terus menerus)
Bentuk-bentuk norma hukum :
Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah berdiri sendiri
(tunggal) atau diikuti oleh norma hukum lain (berpasangan).
Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak atau bertingkah laku.
Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa norma hukum yaitu norma hukum primer dan
sekunder. Norma hukum sekunder merupakan penanggulangan apabila norma primer tidak
terlaksana.
Tata urutan norma hukum :
Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah
berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang
disebut dengan norma dasar (grundnorm).
Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
6/26
12/29/2015
7/26
12/29/2015
filosofis, dan
Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der gerechttigheid),
dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan umum
atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan
yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk
peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis untuk
segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran
factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya
konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan
dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.
LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan
1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan
Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan
yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun
hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan.
Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan Yuridis
Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan
Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam menyusun
Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang tidak terkait
langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau
Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki PerundangUndangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan untuk
melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun
penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan
Lama
Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka
yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya
pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundangUndangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
8/26
12/29/2015
9/26
12/29/2015
praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi seluruh
masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan
menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar
kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas
musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis
Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat
menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan materi
muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.
C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan
Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan
berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut
berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas
filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal lain
yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun menyangkut
baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundangundangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan.
Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundangundangan yang dibuat.
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
10/26
12/29/2015
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut
tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar
filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam
Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan
kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan
Perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan
mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh
masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak
memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis
berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan
dari masyarakat tempat hukum itu berlaku
JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA
PEMBENTUKNYA
1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPrS No.XX/MPRS/1966 jo TAP
MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
UUD 1945
TAP MPR
UU/PERPU
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan
adalah:
11/26
12/29/2015
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-undang;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Daerah.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan
Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa
atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan
keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UndangUndang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Ketetapan MPR (TAP MPR)
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/kota .
Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau
tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan
selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
12/26
12/29/2015
13/26
12/29/2015
14/26
12/29/2015
f. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden
berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena
pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang
bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan
(beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan
disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur
disebut Peraturan Presiden.
g. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan.
Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Kepala Daerah.
Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten /Kota,
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka
materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan
pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi
Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi
(kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara
pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan
penyesuaian-penyesuaian.
Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau
mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
g. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam
Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
15/26
12/29/2015
yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undangundang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa hirarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
B. LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah lembaga yang diberi kekuasaan
atau kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan.
Sesuai dengan jenis Peraturan Perundang-undangan, Lembaga Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan terdiri dari:
1. Dewan Perwakilan Rakyat selaku Lembaga Pembentuk undang-undang.
2. Presiden selaku Lembaga Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku Lembaga Pembentuk Perda.
4. Kepala Daerah selaku lembaga pembentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan
Peraturan Walikota.
5. Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Gubernur Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati,
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Berikut penjelasan lembaga-lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan diatas yaitu :
a. Lembaga pembentuk undang-undang
Kekuasaan lembaga pembentuk UU diatur dalam UUD RI 45 dan UU No. 10 tahun 2004 pasal
1 ayat 3.
Sebelum amandemen UUD 45 kekuasaan membentuk UU dirumuskan dalam pasal 5 ayat 1
dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 21 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 1 Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dgn persetujuan DPR
Pasal 20 ayat 1 Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR
Pasal 21 ayat 1 Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU
Berdasarkan hal diatas presiden mempunyai kekuasaan membuat UU asal DPR
menyetujuinya. Sedangkan anggota DPR dapat memajukan RUU.
Kalau kita menganut prinsip negara hukum yaitu Trias Politica nampaklah jelas bahwa
kekuasaan membuat UU ada ditangan legislatif (DPR) bukan ditangan eksekutif (Presiden).
Dengan demikian jelas UUD 45 pra amandemen yg memberi wewenang membentuk UU
kepada Presiden tidak tepat dan menurut saya justru bertentangan dgn prinsip negara hukum
dalam rangka menghindari terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21 dihapuskan
sebagai berikut :
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
16/26
12/29/2015
17/26
12/29/2015
mendasarkan atau tidak sesuai dengan tata cara dan persyaratan pembentukan daerah
otonom (PP 29/1999), diantaranya tidak ada persetujuan dan usul tertulis dari Gubernur Riau
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat
berpendapat usulan tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat yang didasarkan usul Bupati
dan Walikota terkait bersama DPRDnya, diluar Kabuaten Natuna.
Disisi lain, DPR menyatakan bahwa usul pemebentukan Provinsi Riau Kepulauan adalah
merupakan INISIATIF DPR dan sesuai dengan UUD 45 bahwa kekuasaan membentuk
Undang-Undang ada ditangan DPR, dan ironisnya terbesit penegasan bahwa DPR tidak
terikat pada PP 29/1999. Dengan demikian, ada unsur kekuatan politik dan bias pemahaman
terhadap kekuasaan membentuk Undang-Undang, dan mempengaruhi proses dan prosedur
pembentukan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan. Dengan
pengertian lain, pendekatannya mengutamakan kepentingan politis (pemenuhan janji Dewan
Perwakilan Rakyat kepada masyarakat). Pembahasan berlanjut dengan menghasilkan
kesepakatan dan persetujuan bersama yang dilakukan berdasarkan kompromi atau
bargaining politik yang cenderung mengakomodir kepentingan politik.
b. Lembaga pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan atau kewenangan
menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan hirarki peraturan perUUan
Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1 UUD RI
1945)
Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Perpu (ayat 1).
Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2).
Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3)
Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR dalam bentuk RUU
untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU. Karena kebutuhan yang sangat
mendesak, proses pembahasan di DPR dilakukan sangat cepat, dalam hal ini DPR hanya
menolak dan menerima.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan
memaksa.
Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan kegentingan memaksa
seperti keadaan perang, bencana alam nasional terorisme dan pemberontakan yang berakibat
luas dan mengganggu kehidupan rakyat dan keutuhan NKRI.
Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas dan
penetapannya dilakukan oleh presiden.
Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu pertambangan di hutan
lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2004
c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah
Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan PP
untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg diatur dlm PP tidak
boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg bersangkutan.
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
18/26
12/29/2015
Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak memiliki diskresi untuk
mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg diperintahkan atau mengatur hal-hal yang
baru.
Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin mengatur hal-hal
teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Presiden di dalam menyelenggarakan
pemerintahan, maka sepanjang tidak bertentangan atau tidak mengatur hal-hal baru diluar
yang telah ditentukan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dimungkinkan dapat
memberikan perintah atau mendelegasikan materi muatan tertentu yang bersifat teknis
pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan :
Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain.
Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang, dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan Pemerintah
Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi tertentu kepada
Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah.
d. Lembaga Pembentuk Peraturan Presiden
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menegaskan bahwa Peraturan Presiden 11 adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan muatan materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang atau melaksanakan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Presiden berisi muatan materi yang mengatur pelaksanaan dan/atau mengatur hal-hal teknis
sebagai penjabaran dari Peraturan Perundangundangan yang memerintahkan.
Peraturan Presiden juga dapat memerintahkan atau mendelegasikan muatan materi tertentu
yang bersifat teknis operasional kepada Menteri atau pejabat yang diberi wewenang dan/atau
kepada Pemerintahan Daerah. Contoh: Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, menindaklanjuti atau melaksanakan
perintah langsung pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
e. Lembaga Pembentuk Peraturan Daerah
Perda dibentuk oleh pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerahnya.
Hal ini datur dalam Pasal 18 ayat 6 UUD RI 1945
Bunyi Pasal tersebut sebagai berikut pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan
Rumusan Pemerintahan Daerah menurut pasal ini membingungkan, karena secara umum
pengertian pemerintahan daerah adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, bukan
lembaga.
Nampaknya, perumus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberikan
pengertian pemerintahan daerah sama dengan pengertian pemerintahan daerah menurut
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pemerintahan
Daerah adalah Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
Walapun pengertian pemerintahan daerah menjadi ganjalan, maka solusi untuk mengurangi
ganjalan dimaksud, pengertian pemerintahan daerah ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
19/26
12/29/2015
20/26
12/29/2015
21/26
12/29/2015
Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dgn penempatannya dlm suatu
penerbitan resmi yg khusus utk maksud itu sesuai dgn ketentuan yg berlaku.
Dengan pengundangan maka :
1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal,
2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sbg peraturan negara,
3. Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi
4. Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar) sehingga dengan demikian peraturan
negara tersebut mempunyai kekuatan mengikat.
Tujuan pengundangan :
1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,
2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
3. Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya.
Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd khalayak ramai dgn tujuan
utama mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan menguaruarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin khlayak ramai mengetahui
peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud yg terkandung ddi dalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah pengumuman ke pengundangan terjadi
pada sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS kepada negara Indonesia kesatuan
dengan UU Dasar Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang memuat PP No. 24
tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 16 Agustus 1950
oleh Menteri Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No. 63 yg memuat UU Darurat No. 31
tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 25 Agustus 1950
oleh menteri Kehakiman yang sama Supomo, sudah menggunakan istilah diundangkan.
Perubahan istilah tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga menggunakan istilah
diundangkan dan pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri Sekretaris Negara menjadi
Menteri yg bertugas dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah
pengumuman
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 :
1. Lembaran negara RI
2. Berita Negara RI
3. BLembaran Daerah
4. Berita Daerah
5. Tempat pengundangan (lihat pasal 45)
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan :
Dalam Lembaran Negara RI :
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
22/26
12/29/2015
1.
2.
3.
4.
UU/Perpu
PP
Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian internasional, b) keadan bahaya
Peraturan perUUan lain yg menurut peraturan perUUan yg berlaku harus diundangkan dlm
lebaran negara RI dan peraturan perUUan lain yang menurut peraturan perundang-undangan
yg berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI.
Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46)
Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang dimuat dalam lembaran
negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI memuat penjelasan peraturan perUUan yg
dimuat dalam berita negara
Pasal 49 :
Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda
Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat dalam
Berita Daerah
Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris
daerah
Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan dlm berita daerah
misalnya peraturan nagari, perdes atau peraturan gampong dilingkungan daerah yg
bersangkutan.
Hubungan pengundangan dan daya ikat :
Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan yaitu dengan
penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan perundang-undangan tersebut
dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap ora
Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi
yaitu :
1. Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dlm hal ini
peraturan tsb mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengundangannya, Contoh, apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan
dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai berdaya
laku serta berdaya ikat (mengikat umum )
2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan maka
dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku pada tgl diundangkan tsb, akan tetapi daya
ikatnya setelah tgl yang telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu UU diundangkan pd
tgl 10 Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian, maka UU itu mempunyai
daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb baru berdaya ikat (mengikat umum)
pada tgl 10 Desember 2006.
3. Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu
Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tsb
mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan tetapi dalam hal2 tertentu ia mempunyai
daya ikat yg berlaku surut sampai tgl yg ditetapkan tadi.
Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka ketentuan saat/waktu
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
23/26
12/29/2015
berlaku surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan secara tepat/pasti, misalnya berlaku surut
sampai dgn tgl 1 Januari 2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya kepastian
hukum. Contoh : Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan dinyatakan berlaku
pd tgl diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1 Januari 2006 maka UU tsb
mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10 Nop 2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn
tgl 1 Januari 2006.
Proses pengundangan peraturan perUUan menurut Perpres No 1 tahun 2007
1. Naskah UU yg telah disahkan Presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara kepada
menteri utk diundangkan dlm LN RI
2. Naskah Perpu dan PP yg telah ditetapkanoleh presiden disampaikan oleh menteri sekretaris
negara kpd menteri utk diundangkan dlm LNRI
3. Naskah Perpres yg telah ditetapkan Presiden disampaikan oleh sekretaris kabinet kepada
menteri utk diundangkan dlm LNRI
4. Naskah peraturan perUUan lainnya yg telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga (Psl 46 ayat 1)
disampaikan kpd menteri utk diundangkan dlm LN RI
5. Menteri yg tugas dasn tanggungnya dibidang perUUan (Menkumham) kemudian akan
membubuhkan tanda tangan pd naskah UU, Perpu, PP, Perpres serta peraturan lembaga tsb
dan menempatkannya dlm LNRI dgn membubuhkan nomor dan tahunnya serta
menempatkan penjelasannya serta nomor dlm tambahan LN
6. Naskah peraturan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan perundang
lainnya yg telah ditetapkan diberi nomor dan tahunnya disampaikan kpd menteri utk
selanjutnya diundangkan dgn penempatannya dlm berita negara RI. Slide 16
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut UU No. 10 tahun 2004
1. Diatur dlm Pasal 51 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah
diundangkan dlm LN RI atau Berita Negara
2. Selanjutnya dlm penjelasan pasal 51 berbunyi, yg dimaksud dgn menyebarluaskan adalah
agar khlayak ramai mengetahui peraturan perundang-undnagan tsb dan
mengerti/memahami isi serta maksud yg terkandung didalamnya, misalnya dilakukan dgn
melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak
3. Didaerah (Perda) dilakukan oleh pemda baik yg sdh diundangkan dlm Lembaran daerah
maupun berita daera
Penyebarluasan peraturan perUUan menurut Perpres No. 1 tahun 2007
1. Diatur dlm pasal 29 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan yg
telah diundangkan dlm LN RI dan dalam berita negara RI, sedangkan pemda wajib
menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LD dan peraturan
dibawahnya yg telah diundangkan dlm berita daerah.
2. Misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak.
24/26
12/29/2015
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
25/26
12/29/2015
https://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/legal-drafting/
26/26