PENDAHULUAN
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
NAMA
USIA
PEKERJAAN
SUKU
AGAMA
GOLONGAN DARAH
ALAMAT
NO. RM
Ny. A
19 tahun
Mahasiswa
Jawa
Kristen
O
Jln. Tenggiri II Rt 004/006
442276
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 06 September 2014
A. KeluhanUtama
B. KeluhanTambahan :
dan demam
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 SMRS, nyeri dirasakan seperti
ditusuk-tusuk dan berawal dari sekitar pusar lalu berpindah ke perut kanan bawah.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah berisi makanan, demam dirasakan sejak 2 hari
SMRS. BAB dan BAK lancar dan tidak nyeri. Pasien tidak pernah mengalami nyeri
perut kanan sebelumnya.
D. RiwayatPenyakitDahulu (RPD)
1. Riwayatpenyakit yang sama
: disangkal
: disangkal
3. Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
E. RiwayatPenyakitKeluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama.
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Palpasi
Auskultasi
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: Datar, gambaran usus (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi
: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok costo vertebrae
Palpasi
(-/-).
: Supel, nyeri tekan (+) mc burney, rovsing sign (+), Blumberg sign
Hepar
Lien
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan
Edema
Sianosis
Kuku
Ekstremitas
superior
Dextra
kuning -
(ikterik)
Akraldingin
Reflekfisiologis
Bicep/tricep
Patela
Ekstremitas
Sinistra
-
inferior
Dextra
-
Sinistra
-
+
+
+
+
+
+
+
+
IV. RESUME
A. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Keluhan dirasakan sejak 1
hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin memberat. Pasien juga
mengeluh mual dan nafsu makan berkurang. Nyeri bertambah saat melakukan aktivitas
dan berkurang ketika berbaring.
Riwayat bab konsistensi padat dan tidak keluar darah, riwayat bak tidak terdapat nyeri
saat berkemih.
4
PemeriksaanFisik
KeadaanUmum
Kesadaran
:Composmentis (E4M6V5)
Vital sign
:
Tekanan darah
: 104/65 mmHg
Nadi
Pernapasan
: 20 /menit
Suhu
: 37,5 C
V. DIAGNOSIS KERJA
Appendicitis akut
VI. DIAGNOSIS BANDING
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium tgl 06 September 2014:
Pemeriksaan Darah Lengkap:
Hemoglobin
: 12,8 g/dl
Leukosit
Hematokrit
: 36 %
Eritrosit
: 4,6 x 106/uL
Trombosit
: 408000/Ul (H)
MCV
: 78,0 % (L)
MCH
: 28,1 pg
MCHC
: 36,0 %
5
RDW
: 12,9 %
MPV
: 10,0 fL
: 0,2
Eosinofil
: 1,2 L
Batang
: 0,000 L
Segmen
: 75,6 H
Limfosit
: 13 L
Monosit
: 10 H
PT
: 14,5
APTT
: 30,3
Kimia Klinik
SGOT
: 16
SGPT
: 19 L
Ureum Darah
: 26,3
Kreatinin Darah
: 0,75 L
Glukosa sewaktu
: 106
Kalium
: 4,5
Klorida
: 97
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Antibiotik
Analgetik
b. Operatif: appendiktomi cito
Laporan Operasi
Tanggal Operasi
: 7 September 2014
6
: Appendisitis akut
: Appendisitis akut
Jenis Operasi
: Appendektomi
Jenis Anestesi
: Spinal Anestesi
Uraian pembedahan :
1.
Pasien terlentang di atas meja operasi posisi terlentang dengan anestesi spinal
2.
Dilakukan asepsis dan antisepsi daerah operasi dan sekitarnya.
3.
Dilakukan incisi pada titik Mac burney menembus kutis, subkutis, fascia
4.
Otot dipisahkan secara tumpul
5.
Ketika peritonium dibuka tidak keluar apa-apa
6.
Identifikasi ceacum dan appendiks, letak appendiks retrosekal, panjang 6 cm, lebar 1 cm,
perforasi (-), fekalit (-)
7.
Dilakukan appendiktomi, appendiks stump ( puting appendiks ) dijahit double ligasi
8.
Rongga abdomen dibersihkan dengan kassa Nacl
9.
Luka operasi ditutup lapis demi lapis ( peritonium, otot, fascia, subkutis, kutis )
10.
Operasi selesai
Intruksi post operasi :
Observasi : Keadaan umum, Tekanan darah, Nadi, Respirasi, Suhu.
IVFD ringer laktat 500 cc/8jam
Diet sampai dengan Bising usus (+) normal
Medikamentosa post operasi
- Antibiotik
: Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
Metronidazole 3 x 500 mg (IV)
- Simptomatik
: Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
Follow Up Post Operasi
(Tanggal 8 September 2014) Rawat Ruangan
operasi, mual (+), muntah (-) BAB (-) flatus (+) demam (-)
O = - KU : TSS, Kes : CM,
hemodinamik stabil
- T : 120/80 mmHg N : 85 /menit
7
- R : 20 /menit
S : 36,5 oC
Mata : Konjungtiva anemis : -/- , Sklera ikterik : -/Abdomen :
Inspeksi
: datar, supel, luka operasi tertutup perban
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Palpasi
: nyeri tekan (+) sekitar luka operasi
Perkusi
: timpani pada seluruh regio abdomen
A = Post Apendektomi a.i apendisitis
akut
P=
Antibiotik : Ceftriaxone 1 x 2 gr
(IV)
Metronidazole 3 x 500 mg (IV)
Simptomatik
Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
XI.
PROGNOSIS
Ad vitam
: Ad bonam
Ad sanam
: Ad bonam
Ad fungsionam : Ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Appendicitis
adalah
peradangan
dari
appendiks
vermiformis
dan
merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya1
B. Epidemiologi
Appendicitis menyerang 7-9% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat dan paling
sering ditemukan pada umur 10-19 tahun walaupun secara jelas dapat juga terlihat baik pada
pasien yang lebih muda maupun yang lebih tua. Insiden appendicitis di Amerika Serikat
sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang per tahun. Terdapat faktor predisposisi dari keluarga.
Insiden dari appendicitis adalah lebih rendah pada negara dengan budaya konsumsi makanan
tinggi serat. Serat makanan dianggap mengurangi kekentalan feses, mengurangi bowel
transit timedan mengurangi pembentukan fekalit, yang dapat menyebabkan obstruksi lumen
apendiks.3
Secara umum insiden dari appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Insiden dari appendektomi primer diperkirakan sama besar pada
kedua jenis kelamin ini. Insiden dari appendicitis meningkat bertahap sesuai pertambahan
umur, puncaknya pada akhir usia belasan tahun, dan secara bertahap menurun pada usia tua.
Nilai median pada usia saat appendektomi adalah 22 tahun. Walaupun jarang, appendicitis
pada neonatus dan bahkan pada prenatal tetap ditemukan.3
Keseluruhan angka kematian dari appendicitis yang berkisar antara 0,2-0,8% lebih
banyak diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit itu sendiri daripada intervensi bedah.
Angka kematian meningkat diatas 20% pada pasien yang usianya lebih dari 70 tahun,
9
biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada
pasien kurang dari 18 tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan
diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang mencolok pada
angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.3
C. Anatomi, Fisiologi dan Embriologi Appendix
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada
apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada
kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh
karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.2,4,5
10
Antecaecal
Paracaecal
belakang caecum.4
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri
appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.1
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix
dikatakan
sebagai
organ
imunologi
yang
secara
aktif
mensekresikan
A.
D. Etiologi
Diet
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
appendicitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit.Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang
berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis,
divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan
diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.6
B.
Obstruksi
12
peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale. Hasil akhir
dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum
untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi
peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna,
sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks
cepat mengalami komplikasi.6
C.
Floral Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam appendicitis sama
dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif
pada tahap appendicitis sederhana. Pada tahap appendicitis supurativa, bakteri aerobik
terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme,
termasuk Proteus,Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan.Bakteri
aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendicitis
gangrenosa atau appendicitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama
Bacteroides fragilis.6
E. Patofisiologi
Appendisitis akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma7.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang
distensi.Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan.Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.
Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari
sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup
tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi8
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
14
tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest)8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut1
F. Gejala Klinis
Gejala awal yang merupakan gejala klasik apendicitis akut adalah nyeri samar-samar
dan tumpul di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
sering disertai rasa mual dan kadang ada muntah. Pada umumnya nafsu makan menurun.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc
Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Namun terkadang tidak dirasakan nyeri di daerah epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Appendicitis juga dapat disertai dengan demam ringan, dengan suhu sekitar 37,5 -38,5o C. 1,10
Timbulnya gejala peradangan apendiks tergantung dari letak apendiksnya. Bila letak
apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh caecum), tanda
nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti
berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
Musculus.Psoas Mayor yang menegang dari dorsal.Bila apendiks terletak di rongga pelvis
dan terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi
lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.1,10
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani
tepat pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang berusia lanjut yang
gejalanya sering samar-samar saja sehingga sering baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester pertama, gejala apendicitis berupa nyeri
16
perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada
kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio
lumbal kanan.1,10
G. Diagnosis
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik
(inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi). Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, Foto polos abdomen, USG ataupun CT-Scan,
dan sebagainya. 1,11
1. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : Pada appendicitis akut biasanya ditemukan distensi perut
b) Palpasi : pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa
nyeri (nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri
lepas Mc Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis
dari appendicitis). Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk appendicitis kronis tipe
Reccurent/Interval Appendicitisterdapat nyeri di titik Mc Burney tetapi tidak ada
17
defans
muscular
sedangkan
untuk
yang
tipe
Reccurent
Appendicular
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang, kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri
pada
pada
appendicitis.Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang
di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis
appendicitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
pengamatan setiap 1-2 jam.Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan
laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.6,11
2. Pemeriksaan Penunjang
a)
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal
keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apenddicitis akut.
Pada pasien dengan apendicitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit
infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan appendicitis akut Pemeriksaan laboratorium
merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari
jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler,
neurologik, humoral dan seluler. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik
yang karakteristik apenddicitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan
pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka
umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Pada metode lain dikatakan penderita
appendicitis akut bila ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila
terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Ada juga
metode yang menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit dan
granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis
akut. 6,11
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya
juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkan diagnosa. Jumlah lekosit
untuk appendisitis akut adalah >10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada
hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan
granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut. Kontroversinya adalah
19
beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit
tetap normal.6,10,11
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apenddicitis akut
adalah C-reactive protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase
response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Pada
appendicitis ditemukan kadar CRP yang meningkat yaitu > 1 mg/dl. Nilai senstifitas
dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP
mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10
menit), dan murah. 6,10
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada
anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan
kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang. 6
b)
distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,
pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat
pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang
menunjukkan adanya obstruksi. Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith
(kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang
menyumbat pembukaan apendiks) yang dapat menyebabkan appendicitis. Ini biasanya
terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadangkadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD
(decubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang
asalnya dari apendiks. Pada appendicitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa
untuk mencari appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis. 6
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada
kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan
penyakit lain yang menyertai appendicitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan xray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini
dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar apendiks dimana peradangan
yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena
edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki apendiks (20% tak
terisi). Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendicitis akut,
terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen apendiks yang paten
menyingkirkan diagnosa appendicitis akut. Bila barium mengisi ujung apendiks yang
bundar dan ada kompresi dari luar yang besar di basis sekum yang berhubungan
dengan tak terisinya apendiks tanda abses apendiks. Barium enema juga dapat
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai apendiks,
misalnya penyakit Chron, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma
benigna/maligna. 6,10
c)
Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis appendicitis akut maupun
appendicitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis appendicitis akut diperlukan
keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang
normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak
21
sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada
penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan
awal appendicitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks,
lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren
ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau
tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks
yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 6
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 94%, dengan nilai sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada
appendicitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih
dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan
perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk
dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi. 6
USG dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun
begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendicitis.
Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama USG tidak menyingkirkan
adanya appendicitis. USG juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan
adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya
menyerupai appendicitis. Hasil USG dapat dikatagorikan menjadi normal, non
spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil
USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil
USG dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika
ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana USG di
konfirmasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendicitis. 6,11
22
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut secara universal dan
tidak ada gambaran histopatologi apendicitis akut pada orang yang tidak dilakukan
operasi. Dari hasil penelitian variasi diagnosis histopatologi appendisitis akut
diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan adanya komunikasi antara ahli patologi dan
negatif
sebesar
20%
dan
angka
perforasi
sebesar
20-30%
Skor Alvarado
Faktor Risiko
Skoring
~ migrasi nyeri
1
24
~ anoreksia
Tanda
Laboratorium
Total Skor
10
Nilai :
<4
kronis
47
ragu-observasi
>7
akut
Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997) mengenai skor
Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor pembatas (cut off point) 6,
didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan akurasi diagnostik:
83,33%, Tranggono (2000) melaporkan dengan memakai skor pembatas (cut off
point) 7 didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas: 69,09% dengan akurasi
diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan sensitivitas: 90,20% dan
spesifisitas: 91,40%. Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan
dalam sistem skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat diasumsikan bahwa
semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau
keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi, mendekati 10, ini
mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula
sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah,
25
mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Skor
Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan tanda klinis
apendisitis akut, telah banyak dipergunakan.Pada tulisan aslinya, Alvarado
merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor 7 atau
lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari akut
abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu penyakit tetapi
spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran
klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum
peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis acuta. 2,10
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh Appendicitis
sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan menjadi lebih buruk
dengan pembedahan. 2,10
Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi
dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta
umur dan jenis kelamin pasien. 2,11
1. Adenitis Mesenterica Acuta
Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada anakanak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang ini telah
menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa sakit tidak dapat
ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama beberapa
jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica
adalah penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah
operasi segera.
2. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited
26
dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri
hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena nyeri epigastrik
dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga
menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri
Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.
4. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis
Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan
terapi yang sama yaitu operasi segera.
5.
Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda.
Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun,
sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun.
Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis
dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda
peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien
Appendicitis acuta sangat berbahaya.
6. Chrons enteritis
Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan leukositosis
sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan anorexia. Mual dan
muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada enteritis namun tidak
menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
7. Perforasi ulkus peptikum
27
Gejala
perforasi
ulkus
peptikum
menyerupai Appendicitis
jika
cairan
28
Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus. Nyeri
abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi, purpura dan
nephritis juga hampir selalu ditemukan.
13. Yersiniosis
Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk adenitis
mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya infeksinya ringan dan self
limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik yang umumnnya sangat fatal
bila tidak diobati. Kecurigaan pada diagnosis preoperatif tidak boleh menunda operasi,
karena secara klinis Appendicitis yang disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan
dengan Appendicitis oleh sebab lainnya. Sekitar 5% dari kasus Appendicitis acuta
disebabkan oleh infeksi Yersinia.
14. Kelainankelainan ginekologi
Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita dewasa
muda disebabkan oleh kelainankelainan ginekologi. Angka rata-rata Appendectomy
yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan adalah 32%45% pada
wanita usia 1545 tahun. Penyakitpenyakit organ reproduksi pada wanita sering
dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan urutan yang tersering adalah PID, ruptur folikel
de Graaf, kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik.
Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.
29
I. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendicitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah.
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah
pada waktu induksi anestesi. Pada appendicitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis
karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah
sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga
abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam
sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung
agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok
hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5%
secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi.
Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan
cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam.
Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika
suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan
untuk mengontrol demam. 6
30
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler
yang terpancang dengan pendidingan yang sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada lagi demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta bertambahnya angka
leukosit1.
Riwayat klasik appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di
regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses
periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit
Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal,
enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan diagnosa massa
appendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas1
2. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri semakin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltic usus menurun
sampai menghilang karena ileus paralitik1
3. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis.Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari
apendisitis.Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaasn peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.Dengan begitu, aktivitas peristaltic
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang.Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Gejalanya adalah demam, lekositosis,
nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang, kaku, nyeri tekan dan bunyi usus menghilang1
K. Prognosis
33
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan orang tua. Apabila
appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang.10,11
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosa Apendisitis akut pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
34
Pada anamnesa pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk tusuk dan berawal dari sekitar pusar lalu berpindah ke perut kanan
bawah. Keluhan ini merupakan gejala khas dari apendisitis akut. Nyeri perut kanan bawah
terjadi karena apendiks yang mengalami peradangan sedangkan nyeri disekitar pusar terjadi
karena distensi apendiks yang menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah peri umbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Thoracal X. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah berisi makanan. Hal ini
terjadi karena apendiks mengalami distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Pasien mengeluh mengalami kesulitan
untuk BAB sejak 1 hari SMRS. Keluhan ini dapat menyingkirkan diagnosa banding
gastroenteritis. Sebagai respon inflamasi yang terjadi pada apendiks maka tubuh mengalami
demam. Pada pasien ini mengalami demam sejak 2 hari SMRS. Keluhan demam yang terjadi
setelah pasien mengalami nyeri perut merupakan gejala yang mnegarah ke apendisitis akut dan
menyingkirkan diagnose banding demam tifoid yang memiliki gejala demam dahulu baru
disertai nyeri perut. BAK lancar dan tidak nyeri dapat menyingkirkan diagnosa banding infeksi
saluran kemih. Pasien tidak pernah mengalami nyeri perut kanan bawah sebelumnya
mengarahkan diagnosa apendisitis akut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu 37,5 dan pada pemeriksaan status
lokalis abdomen didapatkan nyeri tekan titik Mac Burney dan nyeri lepas titik Mac burney dan
pada pemeriksaan khusus didapatkan Psoas sign (+). Tanda psoas sign (+) menunjukan letak
apendiks retrosecal. Letak apendiks yang meradang akan mengiritasi fascia musculus posas.
Pada pemeriksaan rectal touch didapatkan hasil nyeri tekan pada jam 9 yang mengarahkan
peradangan pada apendiks. Pemeriksan penunjang laboratorium didapatkan leukositosis yang
menandakan terjadinya proses infeksi. Hasil urinalisa dalam batas normal yang dapat
meyakinkan bahwa nyeri perut kanan bawwah bukan disebabkan oleh infeksi saluran kemih.
Pada pasien ini jumlah skor Alvarado adalah 8 yang menunjukan pasti apendisitis akut dan
penatalaksanaanya adalah apendektomi. Apendektomi dilakukan dengan insisi di titik mac
burney dan di temukan letak apendiks retrocecal. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan fisik psoas
sign (+) yang menunjukan letak apendiks letak retrosecal.
BAB V
KESIMPULAN
Wanita usia 19 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.
Nyeri berawal dari sekitar pusar lalu berpindah ke perut kanan bawah. Pasien mengalami mual
dan muntah. Pasien mengalami kesulitan BAB sejak 1 hari SMRS. BAK tidak nyeri. Pasien
35
mengalami demam dengan suhu 37,5 C dan didapatkan nyeri tekan Mac burney, rovsing sign
positif, psoas sign positif. Pada pemeriksaan Rectal touch didapatkan nyeri tekan jam 9. Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukan leukositosis dan hasil urinalisa dalam bats normal. Dari
anamnesa dan pemeriksaan skor Alvarado pasien ini 8 yang menunjukan pasti apendisitis. Pasien
menjalani apendektomi dan didapatkan apendiks merandang dengan letak retrocecal.
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D. (2002). editor., Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta. hlm.639-645.
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acute. Retrieved May 22, 2010, from eMedicine :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
4. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
5. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
6. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. McGraw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
8. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
9. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In :Maingots Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
10. Brunicardi, F.C., et al. 2007. Schwartz`s Principle of Surgery. USA : The Mc Graw Hill
Company.
11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut - Follow-up. Retrieved May 14, 2014, from
eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup
37
38