Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap individu akan mengalami proses perkembangan secara alami, mulai
dari lahir hingga menjadi dewasa akhir atau lansia. Usia lanjut adalah fase
menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dari adanya perubahan dalam
perjalanan hidup. Sebagaimana diketahui, manusia berkembang dari usia balita,
remaja, dewasa dan lansia yang merupakan tahap akhir kehidupan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2,
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2009).
Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia kronologis atau biologis
menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu antara 45 sampai 59 tahun, lanjut
usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90
tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu > dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Jumlah penduduk lansia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, ini
disebabkan oleh peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang
akan berpengaruh pada peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 % dari jumlah keseluruhan
penduduk di Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553
jiwa (9,77 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia). Pada tahun 2020,
jumlah lansia diprediksikan mencapai 28.882.879 jiwa (11,34 % dari jumlah
keseluruhan penduduk di Indonesia). Jumlah tersebut akan menempatkan Indonesia
pada urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India (Kementrian Kesehatan RI, 2013)
Seiring banyaknya jumlah lansia di Indonesia, maka perlu perhatian khusus
untuk meingkatkan kualitas hidup mereka. Pertambahan usia mengakibatkan
perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataannya, meskipun mereka memiliki
waktu cukup untuk tidur, tetapi terjadi penurunan kualitas tidur (Maryam, dkk, 2008).
Pada usia lanjut terjadi penurunan tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi

mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan tahap 2. Perubahan ini menimbulkan


beberapa efek yaitu : kesulitan untuk mengawali tidur, menurunnya total sleep time,
sleep eficiency, trasient arousal dan bangun terlalu dini (Bliwise and Endeshaw,
2006). Lansia mengalami episode tidur REM yang cenderung memendek, terdapat
penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia hampir
tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang dalam. Seorang lansia lebih sering bangun di
malam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tertidur (Potter & Perry,
2011).
Tidur menjadi kebutuhan setiap manusia dan merupakan suatu siklus yang
rutin setiap harinya (Galimi, 2010). Setelah beraktivitas, manusia membutuhkan
waktu untuk mengembalikan fungsi normal tubuh, salah satunya yaitu tidur. Sebagian
orang mengeluhkan tidak bisa tidur dimalam hari. Kasus ini lebih sering terjadi pada
usia lanjut.
Adapun gangguan masalah tidur yang sering di alami lansia yakni susah tidur
pulas, sering terbangun dimalam hari dan sulit memulai tidur kembali, berkurangnya
waktu tidur malam, semakin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur
(sleep latency), perasaan tidur yang kurang, terbangun cepat dan tidur sekejap pada
siang hari (naps) sering terjadi berulang dan tidak disadari. Jumlah total waktu tidur
normal pada kebutuhan tidur sewajarnya yaitu 6 jam/hari (Potter & Perry, 2011).
Perubahan pola tidur pada lansia didasari oleh berubahnya ritme sirkadian. Hal
ini dikarenakan oleh aspek fisiologis dimana terjadi penurunan sistem endokrin. Salah
satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi norepinephrine
dan serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Dan hal inilah
menyebabkan gangguan tidur.
Fungsi dari sistem organ dari mahluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama
24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonom,
aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah
suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja
dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik (Bliwise and Endeshaw, 2006).
Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron fotoresptor di SCN akan teraktivasi.
SCN akan merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin yang dapat
menimbulkan rasa kantuk (Galimi, 2010). Penurunan fungsi dari SCN berkaitan
dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN
akan menyebabkan terjadinya penurunan ritme sirkadian (Bliwise and Endeshaw,
2006).

Kualitas tidur yang berhubungan dengan adanya insomnia, Rest Legs


Syndrome (RLS) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Colten & Altevogt (2006)
menyampaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur seperti faktor fisik,
psikologis, sosial dan lingkungan. Adanya perubahan pada aspek- aspek tersebut
dapat menyebabkan beberapa gangguan pada respon imun, metabolisme tubuh dan
fungsi kardiovaskular.
Penanganan gangguan tidur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara
farmakologi dan secara non farmakologi. Secara farmakologi yaitu dengan
memberikan obat sedative hiptonik seperti golongan benzodiazepine (ativan, valium,
dan diazepam), (Widya, 2010). Namun, pada lansia terjadi perubahan
farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat dalam tubuh lansia yang
menyebabkan penatalaksanaan dengan farmakologis sangat memberi risiki pada
lansia. Dengan demikian penatalaksanaan secara non farmakologi adalah pilihan
alternative yang lebih aman, yakni dengan cara terapi stimulus control, melakukan
olahraga ringan, berjalan kaki pada pagi hari, berlari- lari kecil, senam atau sekedar
peregangan otot, tetapi relaksasi (Putra, 2011).
Salah satu terapi relaksasi adalah dengan menggunakan air. Hydrotherapy
adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan.
Untuk tujuan ini air bisa digunakan dalam banyak cara dan kemampuannya sudah
diakui sejak dahulu, terutama di kerajaan Yunani, dan kebudayaan Turki juga oleh
masyarakat Eropa dan Tiongkok kuno. Masyarakat umum juga menyadari bahwa
manfaaat air hangat adalah untuk membuat tubuh lebih rileks, menyingkirkan rasa
pegal- pegal dan kaku di otot, dan mengantar agar tidur bisa lebih nyenyak (Sustrani,
Alam, Hadibroto, 2006). Dalam pemaparan Dinkes (2014) air hangat membuat kita
merasa santai, meringankan sakit dan tegang pada otot dan memperlancar peredaran
darah. Maka dari itu, berendam air hangat bisa membantu menghilangkan stress dan
membuat tidur lebih mudah. Suhu air hanat yang dipakai adalah 40oC.
Praktek merendam kaki dengan air hangat adalah salah satu metode perawatan
kesehatan yang populer dikalangan masyarakat Tiongkok. Pengobatan Tradisional
Tiongkok merekomendasikan rendam kaki dengan air hangat setiap hari untuk
mrningkatkan sirkulasi darah dan mengurangi kemungkinan demam. Terapi rendam
kaki dengan air hangat mencapai serangkaian perawatan kesehatan yang efesien
melalui tindakan pemanasan, tindakan mekanis dan tindakan kimia air serta efek
penyembuhan dari uap obat dan medis pengasapan. Dipaparkan juga oleh Raisanen
(2010) mengungkapkan ada enam keuntungan dari air hangat yaitu mengurangi stress,

mendetoksifikasi, membuat tidur nyenyak, merelaksasikan otot dan meredakan sakit


dan nyeri di otot dan sendi, meningkatkan kerja jantung, melawan penyakit dan
meredakan kesesakan.
Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh
manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Karena ada banyak
titik akupuntur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal,
limpa, dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Rendam air hangat pada kaki efektif
digunakan untuk meningkatkan kuantitas tidur pada lansia yang mengalami gangguan
tidur.
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Kurang
tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat menggangu kesehatan fisik maupun
psikis. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda- beda, usia lanjut membutuhkan waktu
tidur 6-7 jam per hari (Hidayat, 2008). Adanya gangguan tidur dapat mengakibatkan
masalah kesehatan seperti gangguan pada metabolisme hormon, kardiovaskular dan
penurunan respon imun. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yakni
berkisar lebih dari 60%. Gangguan tidur pada lansia memiliki dampak serius yakni
mengantuk berlebihan disiang ahri, gangguan atensi dan memori, mood, depresi,
resiko tinggi terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan
kualitas tidur. Untuk itu gangguan tidur pada lansia harus mendapat perhatian dan
penanganan yang serius. Usia lanjut sangat rentan dalam mengahdapi status
kesehatannya dan kemungkinan komplikasi begitu besar. Manajemen pengelolaan
terapi pada lansia harus sangat terkontrol. Kurangnya tidur dapat menimbulkan
masalah yang berarti bagi lansia.
Dari data di atas, tergambar bahwa seseorang dengan usia lanjut mengalami
gangguan tidur yang sangat berarti. Mereka tidak memiliki pengetahuan lebih terkait
dengan gangguan tidur dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap
kualitas tidur dan pengaruh dari merendam kaki dengan air hangat sangat penting
dilakukan sehingga nantinya klien dapat melakukan bagian dari asuhan keperawatan
secara mandiri. Selain itu, perawat juga dapat mempertimbangkan cara ini sebagai
metode alternatif untuk meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Peran perawat dalam
menangani masalah gangguan tidur merupakan hal yang sangat penting karena
banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh gangguan tidur.
Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan salah satu instrumen
yaki, the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk mengidentifikasi tentang
kualitas tidur secara subjektif, durasi tidur, gangguan yang terjadi selama tidur,

kebiasaan waktu mulai tidur, kebiasaan penggunaan obat untuk membantu tidur
(Buysee et al, 2000)
Menurut WHO, penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan yang
signifikan, pada tahun 2007 jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan
meningkat menjadi 20,54 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah ini terbesar ke empat
setelah Amerika, India, dan Tiongkok. (BPS, 2012)
Seperti diketahui, Indonesia berada dalam masa transisi demografi, presentase
lansia menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan mendatang. (Darmojo, 2009).
(http://www.repository.uinjkt.ac.id/dspace.Gilang-Gumilar-Permady FKIK.pdf,
diperoleh 26 November 2015)
Persentase penduduk usia lanjut di Jawa Barat tahun 2010 adalah 12,4% dan
diproyeksikan menjadi 14,3% pada tahun 2025 (Taslim, 2006). Di Kabupaten Ciamis,
penduduk usia lanjut setiap tahunnya mengalami peningkatan yaitu sekitar 8,9%
setiap tahunnya. (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis).
Kecamatan Lakbok merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2014 jumlah lansia sebanyak 1.485 jiwa dan
paling banyak terdapat di Desa Cintaratu yaitu 679 jiwa (Profil Puskesmas Lakbok,
2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut, karena Desa Cintaratu merupakan Desa
terluas di Kecamatan Lakbok, dengan jumlah lansia yang tinggi dan juga banyak yang
mengalami gangguan tidur sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia.
B. Rumusan Masalah
Prevalensi lansia diperkirakan akan terus meningkat terutama di negaranegara yang sedang berkembang termasuk diantaranya Indonesia. Peningkatan angka
lansia sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perbaikan sosial ekonomi berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat.
Berbagai studi mengenai kualitas tidur pada lanjut usia dan metode
penanganan gangguan tidur pada lanjut usia baik secara farmakologis dan nonfarmakologis sudah dilakukan sebelumnya, namun penanganan secara farmakologis
memiliki efek samping yang sangat beresiko terhadap kesehatan lansia. Metode
relaksasi merupakan terapi yang efektif agar dapat meningkatkan kualitas tidur pada

lansia. Salah satu contoh metode relaksasi yakni dengan merendam kaki
menggunakan air hangat.
Beberapa penelitian terkait dengan masalah tidur dan lansia telah dilakukan,
namun peneliti belum menemukan penelitian yang membahas intervensi alternative
khususnya penggunaan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia,
sehingga menurut peneliti hal tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh
pada kualitas tidur lansia dengan melakukan terapi merendam kaki dengan air hangat
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengatahui adakah pengaruh setelah perlakuan merendam kaki dengan air
hangat pada kualitas tidur lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten
Ciamis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia dan jenis kelamin) terhadap
kualitas tidur
b. Mengidentifikasi komponen kualitas tidur (kualitas tidur subyektif, latensi
tidur, lamanya tidur, efesiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,
dan disfungsi di siang hari) pada responden
c. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden sebelum intervensi merendam
kaki dengan air hangat
d. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden setelah intervensi merendam
kaki dengan ai hangat
e. Mengidentifikasi perbedaan rerata skor responden sebelum dan sesudah
intervensi merendam kaki dengan air hangat
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pelayanan Keperawatan
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan lansia dan dapat menjadi landasan dalam melakukan intervensi
guna meningkatkan kualitas tidur pasien
b. Menjadi aspek penting bagi perawat dalam memberikan edukasi pada lansia
dengan menekankan pemenuhan kebutuhan tidur.
2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan
dalam hal pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia dengan intervensi nonfarmakologis.
3.

Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi acuan proses belajar dalam menerapkan ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan melalui proses pengumpulan data dan
informasi- informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, diteliti, dianalisis dan disusun
dalam sebuah karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat serta menambah
kekayaan intelektual.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Putra Banjar yang bertujuan untuk mengetahui
adakah pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis. Jenis penelitian ini adalah
penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi pra eksperimen dengan pendekatan
One-Group pre test post test. Intervensi merendam kaki sebelum tidur dilakukan
selama 5 hari berturut- turut. Data yang digunakan adalah data primer dengan metode
pengambilan data melalui pengisian kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Subjek yang diteliti adalah lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten
Ciamis. Waktu penelitian berkisar dari Januari- Februari 2016.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Definisi Lanjut Usia
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran kemampuankemampuan kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu,
ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru. Kemunduran lain yang
dialami adalah kemunduran fisik antara lain kulit mulai mengendur, timbul
keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan
berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam, dkk, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas
(Nugroho, 2009). Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia
kronologis atau biologis menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu

antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun,
lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu
> dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawata, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat
menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia
(Maryam, dkk, 2008).
Usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi lima (Maryam, dkk, 2008)
yaitu:
a. Pralansia (Presinilis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial adalahlansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis menyimpilkan bahwa
seseorang di katakan lanjur usia adalah seseorang yang mencapi usia lebih dari 60
tahun dan dikatakan potensial apabila masih produktif yang mampu memmenuhi
kebutuhannya sendiri dan tidak potensial apabila tidak produktif yang bergantung
kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan lanjut usia sebesar 18,96
juta jiwa dan meningkat menjadi 20,54 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah ini
termasuk terbesar ke empat setelah Amerika, India, dan Tiongkok (BPS, 2012).
Seperti diketahui, Indonesia sekarang berada dalam transisi demografi,
presentasi lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan
datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat atau populasi
muda (1979) menjadi populasi yang lebih tua pada tahun 2020. Pergeseran
ini menurut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain perlu
perhatian lebih dan prioritas untuk penyakit- penyakit pada usia dewasa dan
lansia (Darmojo, 2009).
2. Teori Menua

Penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan


terus menerus, dan berkesinambungan. Pada dasarnya ada dua faktor yang
menyebabkan proses penuaan terjadi, yaitu faktor internal (radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun dan gen) dan faktor eksternal (gaya hidup yang tidak sehat, diet
yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan
kemiskinan), (Stanley & Beare, 2007). Menua (aging) juga merupakan proses
yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secara progresif seiring
waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan
menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2009).
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
biologi, teori psikolohi dan teori spiritual.
a. Teori Biologi
1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
mengakibatkan oksidasi bahan- bahan organik menyebabkan sel- sel tidak
dapat regenerasi (Maryam, dkk, 2008).
2) Teori Genetik dan Mutasi
Menurut teori ini, menua telah tergrogram secara gentik untuk spesiesspesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul- molekul DNA dan setiap sel pada saatnya
akan mengalami mutasi (Maryam, dkk, 2008). Teori mutasi somatik
menurut teori ini menua disebabkan oleh kesalahan- kesalahan yang
beruntun sepanjang kehidupan akibat lingkungan yang buruk. Setelah
berlangsung dalam waktu yan cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses
tenskripsi (DNA menjadi RNA) maupun dalam proses translasi (RNA ke
protein atau enzim). Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya
enzim yang salah sehingga mengakibatkan penurunan fungsional sel
(Darmojo, 2009).
3) Teori Immunologi
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem inum
untukmengahancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah. Destruksi
bagian jaringan yang luas dapat terjadi sebelum respon dimulai. Disfungsi
sistem imun ini diperkirakan menjadi faktor dalam perkembangan
penyakit kronis, seperti kanker, diabetes dan penyakit kardiovaskuler serta
infeksi (Perry & Potter, 2011).
4) Teori Stress

Proses menua terjadi akibat hilangnya sel- sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan selsel tubuh telah terpakai (Maryam, dkk, 2008).
5) Teori Rantai Silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbihidrat dan asam nukleat. Reaksi kimia ini menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi (Nugroho, 2008).
b. Teori Psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian
individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi
karekteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat
menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilainilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada
lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses dan merespon stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada
(Maryam, dkk, 2008).
c. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara
berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan
kepercayaan orang dan lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi
antara nilai- nilai dan pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).
3. Aspek Fisiologik dan Patologik
Dengan makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya
penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ- organnya makin besar
(Darmojo, 2009). Proses ini menyebabkan perubahan- perubahan pada lansia
diantaranya adalah:
a. Perubahan Sistem Panca- indra

Terdapat berbagai perubahan morfologik baik pada mata, telinga,


hidung, syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat degeneratif
ini yang bersifat anatomik fungsional, memberi manifestasi pada morfologi
berbagai organ panca indra tersebut baik pada fungsi melihat, mendenar,
keseimbangan ataupun perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim
bahkan bisa bersifat patologik, misalnya terjadinya ektropion/entropion, ulkus
kornea, galukoma dan katarak pada mata, sampai pada keadaan konfusio
akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga dapat terjadi tuli konduktif,
sindrom keseimbangan (Darmojo, 2009).
b. Perubahan Sistem Gastro-intestinal
Kehilangan gigi penyebab utama adanya peridontal disease, penyebab
lain meliputi kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang buruk, serta
berkurangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali menyebabkan lansia
keleahan pada saat mengunyah makanan. Indra pengecap menurun, adanya
iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indra pengecap ( 80%),
hilangnya sensitifitas syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin, asam
dan pahit sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat
mengakibatkan kondisi defisiensi nutrisi pada lansia.
Esofagus mengalami kemunduran dalam melakukan gerakan
peristaltik, sehingga dapat menyebabkan lansia merasa disfagia, nyeri dada,
muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitifitas rasa lapar menurun dan
waktu menggosokkan lambung menurun. Perubahan pada usus halus termasuk
atropi dari permukaan mukosa, menipisnya lapisan villi, dan berkurangnya
jumlah dari folikel limfatik. Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi
pankreatik serta pengeluaran enzim yang berkurang. Penurunan aktivitas
enzim berhubungan dengan pencernaan lemak. Kemampuan peristaltik usus
melemah sehingga biasanya timbul konstipasi pasa lansia (Darmojo, 2009).
c. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah
menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Darmojo, 2009).
d. Perubahan Sistem Respirasi
Otot- otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktivitas dari silia, paru- paru kehilangan elastisitas. Semua ini
berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan
pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen. Oklusi sebagian atau total

napas atas dapat terjadi, hal ini dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea
(OSA). Disamping itu, terjadi penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik
lain yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada
saluran napas (Darmojo, 2009).
e. Perubahan Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun begitu pula menurunnya aktivitas
tyroid, menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR) juga menurunnya pertukaran
zat dan produksi aldosteron, esterogen dan testosteron. Kematian sel
merupakan hal yang mendominasi pada perubahan sistem endokrin secara
fisiologis, karena kematian sel inilah perubahan sistem endokrin pada lansia
ditemukan bahwa hampir semua produksi hormon berkurang. Salah satu conto
penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi noreepinephrine dan
serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah
yang mengakibatkan gangguan tidur (Darmojo, 2009).
f. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga
menyebabkan pergerakan pinggang, lutut dan jari- jari terbatas, beggitupun
dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan
pergerakan yang lambat, otot- otot dapat mudah menjadi kram dan tremor,
sehingga sering dijumpai sebagai gejala Restless Legs Syndrome (RLS), tetapi
pada otot polos tidak begitu terpengaruh. Dengan bertambahnya usia, proses
berpasangan penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat,
terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya hormon estrogen
(wanita), vitamin D (erutama mereka yang kurang terkena sinar matahari) dan
beberapa hormon lain, misalnya parathormon dan kalsitonin (Darmojo, 2009).
g. Perubahan Sistem Perkemihan
Terjadi perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan. Banyak
yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, eksresi dan reabsorbsi
oleh ginjal, hilangnya protein terus- menerus dari ginjal, penurunan kapasitas
kandung kemih, nokturia, peningkatan inkontinensia urgensi, dan stress pada
wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi
retensi urin dan sulit berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry,
2011).
h. Perubahan Sistem Imun

Sistem imun merupakan mekanisme yang digunakan untuk


mempertahankan keutuhan tubuh, sebgai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebanyak
30% kematian pada lansia disebabkan oleh penyakit infeksi. Bagian tubuh
yang bertanggung jawab dalam hal penanganan penyakit infeksi dalam tubuh
adalah sistem barier tubuh.
Contoh sistem barier pada tubuh adalah batuk, bersin, permukaan
mukosa, kulit, sel silia, air mata dan pH lambung. Pada lansia mekanisme
pertahanan ini mengalami penurunan kemampuan, hal ini menyebabkan
penurunan kemampuan tubuh dalam menghilangkan bakteri dan virus yang
masuk ke dalam tubuh. Penurunan sensitivitas imun pada lansia berhubungan
dengan penurunan kelenjar- kelenjar imun, seperti kelenjar timus, kelenjar
limfe dan limpa (Fatmah, 2010).
i. Perubahan Sistem Saraf
Berat otak pada lansia umumnya menurun 10-20%. Selain penurunan
berat otak, terjadi juga penebalan meningen, kedalaman giri dan sulci
berkurang pada otak lansia (Darmojo, 2009). Pada lansia resiko sindrom
Parkinson dan demensia tipe Alzeimer disebabkan oleh adanya degenerasi
pigmen sebtansia nigra, kekusutan neurofibriler dan pembentukan badanbadan hinaro. Perubahan patologik pada jaringan saraf sering diikuti berbagai
penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, hipertiroid, hipotiroid yang juga
menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi (Fatmah, 2010).
Perubahan lain yang terjadi pada lansia yakni perubahan kognitif dan
perubahan psikososial (Potter & Perry, 2011).
a. Perubahan Kognitif
Kemampuan kognitif terdiri dari intelektual atau kecerdasan,
ingatan atau konsentrasi, dan bahasa. Pada lansia mengalami penurunan
atau kerusakan umum fungsi intelektual yang biasa disebut dengan
demensia. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan dalam menginat
jangka pendek dan menyimpan informasi baru ke memori jangka panjang
juga menurun. Perubahan kemampuan bahasa juga ikut mengalami
penurunan, misalnya dapat dijumpai adanya Sindrom Wernicke (Potter &
Perry, 2011)
b. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terus terjadi seiring dengan terjadinya
penuaan. Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa

perubahan biasa terjadi pada mayoritas lansia seperti; pensiun, isolasi


sosial, seksualitas dan kematian. Akibat perubahan ini, lansia dapat
mengalami depresi yang beratnya tergantung pada stressor yang di dapat.
Pada umumnya depresi dapat mengakibatkan gangguan tidur, berat
tidaknya gangguan tidur tergantung dari depresi yang dialaminya (Potter &
Perry, 2011).
B. Tidur
1. Pengertian Tidur
Tidur adalah suatu keadaan yang berulang- ulang, dimana terjadi
perubahan status kesadaran dalam jangka waktu tertentu. Ketika seseorang
mendapat tidur yang cukup, mereka merasa tenaganya telah pulih. Tidur juga
merupakan metode untuk perbaikan dan pemulihan sistem tubuh. Kualitas dan
kuantitas tidur yang tepat dapat memberikan konstribusi terhadap kesehatan yang
optimal (Potter & Perry, 2011).
Menurut Black (2008), tidur merupakan kkeadaan normal yang ditandai
dengan adanya perubahan kesadaran selama tubuh dalam periode istirahat.
Penurunan kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan yang ada di sekitar
juga terjadi pada periode ini, namun individu dapat dibangunkan dari tidurnya
kembali dengan rangsangan dari luar. Tidur merupakan suatu siklus yang
ditandai adanya penurunan kesadaran dan aktivitas fisik dan proses metabolisme
disertai adanya mimpi selama periode tertentu dan berulang.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidur merupakan
keadaan normal dan alamiah. Pada kondisi tidur, terjadi penurunan kesadaran
kesadaran dan aktivitas fisik. Penurunan kemampuan merespon rangsangan dari
sekitar juga terjadi. Keadaan ini terjadi pada periode tertentu dan berulangulang.
2. Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya
hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Pusat pengaturan tersebut
terdapat pada medula oblongata (Hidayat, 2008). Pengaturan siklus tidur
merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan.
Mekanisme hemeostasis dalam siklus tidur berhubungan dengan aktivitas sel- sel
neuron dalam batang otak serta peran dari neurotransmitter yang diproduksi oleh
hipotalamus (Juddith, 2010).

Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam


mesenefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neiron dalam Reticular
Activating System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Selain itu, RAS yang dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri
dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Beberpa neurohormon dan
neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur dan terbangun. Produksi yang
dihasilkan oleh dua mekanisme serebral dalam batang otak ini menghasilkan
serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yan bertanggung jawab
terhadap transfer impuls- impuls syaraf ke otak dan juga berperan spesifik dalam
menginduksi rasa kantuk.
Saat tidur terdapat pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang
berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional
(BSR). Sedangkan pada saat bangun bergantung dari keseimbangan impuls yang
diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang
otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR
(Hidayat, 2008). Waktu tidur dikontrol oleh Suprachiasmatic Nucleus (SCN)
yang mengatur irama sikardian. Dalam tubuh serotonin diubah menjadi
melatonin. Melatonin merupakan hormon katekolamin yang diproduksi secara
alami dan dapat membantu irama sirkadian pada siklus tidur bangun (Potter &
Perry, 2011).
Keadaan terjaga dikendalikan oleh neurotransmitter norepinephrine,
sedangkan keadaantidur dikendalikan oleh serotonin yang diubah menjadi
melatonin (Wold, 2008). Katekolamin yang dilepaskan dari neuron- neuron
Reticular Activiting System akan menghasilkan hormon norepinephrine yang
pada umumnya ini akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan
aktivitas. Seseorang dalam keadaan stress atau cemas, kadar hormon ini akan
meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik sehingga
seseorang akan terus terjaga. Menurut Potter dan Perry (2011) seseorang tetap
terjaga atat tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari
pusat yang lebih tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus
bunyi atau cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Orang yang mencoba tertidur
maka aktivasi RAS menurun dan BSR mengambil alih kemudian seseorang bisa
tertidur. Penurunan aktivitas RAS akan menurunkan aktivitas korteks serebral

ditambah dengan peningkatan kadar melatonin yang membuat mengantuk dan


pada akhirnya tertidur. Seseorang akan terbangun dari tidurnya jika ada
rangsangan dari lingkungan yang menstimulasi RAS untuk aktif.
3. Tahap- tahap Tidur Normal
Tidur yang normal dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu periode terjaga
atau bangun, tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur Rapid Eye
Movenment (REM). Tidur NREM dan REM merupakan komponen utama dan
penting dalam mempertahankan fungsi tubuh sehari- hari. Selama NREM
seorang yang tertidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama 90
menit dari siklus tidurnya. Kualitas tidur semakin meninkat dari tahap 1 sampai
tahap 4. Tahap 1 dan 2 merupakan tidur yang dangkal dan seseorang mudah
terbangun, sedangkan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam dan sulit terbangun. Fase
akhir dari tidur yakni REM yang kira- kira lamanya 90 menit (Potter & Perry,
2011).
Pada saat periode NREM, hormon disekresi untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Sedangkan tidur REM merupakan
periode yang aktif dan disertai mimpi. Periode REM yang cukup dapat
berdampak pada proses mengolah informasi, menyimpan memori jangka panjang
dan kemampuan konsentrasi (Caple & Grose, 2011).
4. Siklus Tidur
Siklus tidur normal dimulai dengan tahap pra tidur, yakni perubahan
dari keadaan sadar sampai mengantuk, lamanya sekitar 10- 30 menit.
Selanjutnya, memasuki tahap tidur untuk menyelesaikan 4- 6 tahap dalam siklus
tidur (Potter & Perry, 2011). Adapun siklus tidur sebagai berikut:

a. Periode Terjaga
Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya individu
terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat merasakan rileks pada
periode ini, dan pada akhirnya merasa mengantuk.
b. Periode Tidur NREM (75%)
Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur dalam. Tidur
NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot, penurunan pernapasan,
penurunan aktivitas otak. Selama periode tidur metabolisme meningkat
disertai dengan aliran darah terutama pada daerah otak (Wilson, 2008).

Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat kedalaman tidur
setiap masing- masing tahapnya dengan karakteristik yang berbeda- beda.
Tahap- tahap periode tidur NREM adalah sebagai berikut:
1) Tahap 1 (5% NREM)
Ditandai dengan mata mulai menutup, perasaan lebih rileks, pikiran
hilang timbul dan merasa seperti melayang, pada tahap ini seseorang
mudah dibangunkan. Tahap ini disebut juga tidur ringan yang ditandai
dengan penurunan aktivitas fisik, tanda- tanda vital dan metabolisme
(Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008)
2) Tahap 2 (45% NREM)
Tahap 2 merupakan periode tidur bersama, adanya peningkatan
relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta masih mudah untuk
dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10- 20 menit (Potter & Perry,
2011; Wilson, 2008).
3) Tahap 3 (12% NREM)
Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan berlangsung
sekitar 15- 30 menit. Kondisi otot pada tahap ini dalam keadaan santai
penuh, tanda vital menurun tetapi tetap teratur. Niasanya pada tahap
ini orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak (Potter & Perry,
2011).
4) Tahap 4 (13% NREM)
Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat sulit
dibangunkan disertai penurunan tanda- tanda vital, berlangsung sekitar
15- 30 menit. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi pada
tahap ini (Potter & Perry, 2011).
c. Periode Tidur Rapid Eye Movement (REM)
Tidur REM umumnya terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur bersama
siklus tidur NREM yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat.
Kelopak mata tertutup, pernapasan lebih cepat, tidak teratur dan dangkal,
denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Tahap ini juga ditandai
dengan penurunan tonus otot dan peningkatan sekresi lambung. Tidur
REM merupakan 20- 25% dari siklus tidur (Potter & Perry, 2011).
Bagian 2. 1 Siklus tidur orang dewasa normal
NREM Tahap 2

NREM Tahap 3

Tidur REM

Pra tidur

NREM
Tahap 1

NREM
Tahap 2

NREM
Tahap 3

NREM
Tahap 4

5. Fungsi Tidur
Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk periode
terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses mempertahankan fungsi
fisiologis normal. Penggunaan energi sehari- hari perlu diganti dengan periode
istirahat pada waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).
Dalam silkus tidur dikenal tahan REM, tahap ini sangat penting untuk
jaringan otak dan memelihara fungsi ognitif. Tidur REM menyebabkan
perubahan aliran darah ke otak, peningkatan aktivitas korteks, peningkatan
konsumsi oksigen dan pengeluaran ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi
untuk mempertahankan fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan
regulasi hormon. (Potter & Perry, 2011).

6. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mempertahankan tahap tidur REM dan NREM yang
tepat. Tidur yang berkualitas merupakan suatu keadaan tidur yang dijalani
seorang individu dan menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun.
Kualitas tidur mencakup aspek kuantitas dari tidur seperti kepuasan tidur dan
gangguan tidur (Khasanah, 2012).
Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan beberapa
kuisioner. Ada tiga contoh instrumen untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur
antara lain Stanford Sleep Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The
Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk
mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS
lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu.
Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana kuisioner tersebut
mempunyai enam komponen, yaitu: gejala di siang hari, kebugaran setelah tidur,
masalah saat memulai tidur, mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur,
dan kepuasan terhadap tidur. Sedangkan Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur, durasi tidur, efisiensi

tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat tidur, gangguan saat sian hari
dan kualitas tidur subjektif (Buysee, 1989; Smyth, 2012).
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah:
a. Usia
Penuaan menyebabkan perubahan yang dapat mempengaruhi pola tidur.
Pada usia lanjut proporsi waktu yang dihabiskan dalam tidur tahap 3 dan
tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di tidur ringan tahap 1
meningkat dan tidur menjadi kurang efisien. Bertambahnya usia juga
berhubungan dengan penurunan kualitas tidur malam, misalnya sekitar
30% individu mengalami insomnia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan irama sirkadian yang mengatur siklus tidur dan menyebabkan
gangguan siklus tidur dan terjaga (Juddith, Julie & Elizabeth, 2010;
Potter & Perry, 2011).
b. Penyakit fisik
Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang diderita,
diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus,
hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri,
ketidaknyamanan fisik atau masalah tidur. Penyakit juga memaksa
seseorang untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti memperoleh
posisi tertentu agar mencegah komplikasi atau dalam rangka imobolisasi
(Potter & Perry, 2011).
c. Obat- obatan dan Zat Tertentu
Beberapa obat- obatan dapat menimbulkan efek samping terhadap
penurunan tidur REM. Hipnotik dapat menggangu tahap III dan IV tidur
NREM, betablocek dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk,
sedangkan narkotik (misalnya: meperidin hidriklorida dan morfin)
diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan seringnya terjaga
di malam hari (Potter & Perry, 2011).
d. Gaya Hidup
Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat
kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang menyebabkan periode
tidur REM lebih pendek. Gaya hidup seseorang yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, alkohol,
dan penggunaan obat- obatan juga dapat menyebabkan masalah tidur.
Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi pola tidur adalah akibat
bekerja berat, aktivitas sosial yang larut serta perubuhan pola makan
waktu malam hari (Poteer & Perry, 2011).

e. Stress Emosional
Ansietas dan depresi sering kali menganggu tidur seseorang. Kondisi
ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi
sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus
tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
Stress emosional membuat seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan
seseorang mencoba terlalu keras untuk tidur, sering terbangun selama
siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stress yang berlanjut dapat
menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk. Pensiun, gangguan fisik,
kematian orang yang dicintai dan kehilangan keamanan ekonomi
merupakan contoh situasi yang membuat seseorang untuk cemas dan
depresi (Hardy, 2008; Potter & Perry, 2011).
f. Lingkungan
Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada kemampuan
untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu tidurnya. Ventilasi yang
baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang. Ukuran, kekerasan
dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas tidur. Selain itu,
cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur.
Seseorang ada yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan,
remang- remang atau tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin dapat
menyebabkan seseorang mengalami kegelisahan (Potter & Perry, 2011).
g. Asupan Makanan dan Kalori
Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan. Makan
dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga
menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur.
Penggunaan bahan- bahan yang mengandung kafein, nikotin, alkohol
dan xanthine dapat merangsang sistem saraf pusat sehinga berdampak
pada perubahan pola tidur (Potter & Perry, 2011).
7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia
Jumlah tidur total pada umumnya tidak berubah sesuai pertambahan
usia, akan tetapi kualitas tidur pada lansia kebanyakan berubah (Potter & Perry,
2011). Periode REM cenderung memendek dimana terdapat progresif pada tahap
tidur NREM 3 dan NREM 4, bahkan beberapa lansia hampir tidak memiliki
tahap tidur 4 atau disebut tidur dalam. Selama proses penuaan, pola tidur

mengalami perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada umumnya/
dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur, gangguan tidur pada dini
hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta waktu tidur lebih dalam menurun.
Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu tidur dalam
(delta sleep) yang pendek, justru leih panjang pada periode tidur stadium 1 dan 2.
Dari hasil dengan alat Polysomnographic ditemukan lansia mempunyai
penurunan yang signifikan dalam Rapid Eyes Movement (REM) dan Slow Wave
Sleep. Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang
mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap (Darmojo,
2009).
Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam pengeluaran
hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Pada usia lanjut
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Hormon melatonin yang dieksresiksan pada malam hari dan
berhubungan dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).
8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia
Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan
tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Darmojo (2009)
menyatakan bahwa ada 3 gangguan tidur yang digolongkan sebagai gangguan
tidur primer, yakni terdiri atas;
a. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered Breathing).
Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan mengantuk
hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3, yaitu; Upper
Airway Resistance Syndrome (UARS), Obstructive Sleep Apnea (OSA),
Obstructive Hypoventilation Syndrome (OHS). Jenis yang paling banyak
ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi karena oklusi
sebagian atau total saluran napas bagian atas. Hal ini disertai dengan
penurunan tonus otot pernpasan dan jaringan pada cavum oral selama tidur.
b. Sindrom kaki kurang tenang atau Restless Legs Syndrome (RLS) dan
gangguan gerakan tungkai secara periodik atau Periodic Limb Movement
Disorder (PLMD). Restless Legs Syndrome (RLS) ditandai dengan rasa tidak
enak pada kaki yang berlebihan selama malam saat penderita istirahat.
Penderita juga merasa seperti dirayapi semut atau hewan kecil sehingga
menyebabkan penderita menggerakan kakinya, atau berjalan guna
menghilangkan rasa tidak enak tersebut. Sedangkan gangguan tungkai yang

periodik atau juga disebut Periodic Limb Movement Disorder (PLMD),


mungkin menyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri sendiri.
Biasanya ditandai gerakan yang tiba- tiba dan berulang contohnya gerakan
menendang, lamanya sekitar 20- 40 detik. Dengan adanya kondisi seperti ini,
penderita biasanya mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur
dan tidur tidak nyenyak.
c. Gangguan perilaku Rapid Eyes Movement (REM). Gangguan ini sangat
jarang terjadi, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari
gangguan ini adalah disinhibisi transmisi aktivasi motorik saat bermimpi.
Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur.
9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur
Ada dua cara dalam hal penatalaksanaan gangguan tidur, yaitu secara
famakologis dan non- farmakologis.
a. Farmakologis
Dalam penatalaksanaan farmakologis, hanya ada beberapa yang
efektif untuk menangani gangguan tidur pada lanjut usia.
1) Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder
(PLMD) dapat diberikan obat anti parkinson carbidopa- levodopa (formula
25- 100 mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat akan tidur.
Pergolide dapat juga digunakan dengan dosis awal sangat rendah (0,05 mg) 2
jam sebelum tidur. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua gangguan
tidur ini adalah benzodiazepine 1 kali saat akan tidur atau codeine atau
oxycodone (Darmojo, 2009).
2) REM Behaviour Disorder (RBD) dapat diberikan obat golongan
benzodiazepine kerja lama seperti klonasepam saat akan tidur sekali sehari
(Darmojo, 2009).
b. Non- Farmakologis
Penanganan secara non- farmakologi sangat beragam macamnya,
tergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami. Pada kasus Obstructive
Sleep Apnea (OSA) dapat dilakukan posisi tidur miring, dan aktivitas/
olahraga untuk penurunan berat badan. Lain halnya dengan kasus Restless
Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder (PLMD),
merendam kaki tungkai atas dengan air hangat serta olahraga ringan (jalan
kaki) yang dikerjakan teratur dapat menghilangkan gejala kedua gangguan
tidur ini (Darmojo, 2009).

Terapi non- farmakologis yang lainnya adalah terapi komplementer.


Terapi komplementer ini bersifat terapi pengobatan alamiah diantaranya
adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi,
terapi tertawa, akupuntur, akupresur, aromaterpai, refleksologi dan
hidroterapi (sudoyo, 2006). Salah satu terapi komplementer yang dapat
direkomendasikan untuk mengatasi gangguan tidur adalah dengan
Hydoteraphy. Teknik yang digunakan adalah memanfaatkan air untuk
menyembuhkan dan merendakan berbagai macam penyakit ringan dan iar
juga bisa digunakan dalam sejumlah cara yang berbeda (Sulaiman, 2009).
Manfaat Hydoteraphy khususnya penggunaan air hangat adalah membantu
merangsang sirkulasi darah, serta menyegarkan tubuh. Hal ini berakibat pada
efek peningkatan relaksasi (Handoyo, 2014).
C. Hydroteraphy
1. Pengertian
Hydroteraphy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan
meringankan berbagai keluhan. Untuk itu, air dapat digunakan dalam berbagai
cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu (Sustrani, dkk, 2006).
Hydroteraphy juga merupakan metode terapi dengan pendekatan lowtech yang
mengandalkan pada respon- respon tubuh terhadap air.
The National Center on Physical Activity and Disability (2009)
menyatakan bahwa hydroteraphy adalah aplikasi eksternal yang menggunakan
air, baik untuk efek tekanan atau sebagai sarana menerapkan energi fisik untuk
jaringan. Hydroteraphy diindikasikan untuk gangguan sensori, Range of Motion
atau ROM yang terbatas, kelelahan, nyeri, masalah respirasi, masalah sirkulasi,
depresi, penyakit jantung dan obesity. Hal- hal tersebut dapat mengakibatkan
gangguan tidur. Hydroteraphy juga merupakan sejumlah latihan fisik dengan
berendam di dalam air hangat. Bentuk terapi fisik ini dapat membantu seseorang
untuk mengurangi berbagai keluhan, salah satunya dengan merendam kaki.
Kehangatan air membantu mengeendurkan otot dan mengurangi nyeri, hal inilah
yang menimbulkan rasa rileks pada tubuh (Arnot, 2009).
2. Jenis- jenis Hydroteraphy
Hydroterapy memiliki berbagai macam jenis, Ningrum (2012) yaitu:
a. Rendaman Air

Jenis terapi ini adalah dengan melakukan perendaman bagian tubuh tertentu
di dalam bak atau kolam yang berisi air bersuhu tinggi selama minimal 10
menit.
b. Pusaran Air (Whirlpool)
Terapi ini menggunakan berbagai alat jet atau juga nozzle yang dapat
menambah tekanan pada pompa. Alat ini dirancang khusus dengan tekanan
dan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan.
c. Pancuran Air
Terapi ini menggunakan pancuran air dengan tekanan dan suhu tertentu yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
d. Terapi Air Panas dan Dingin (Contrast Bath)
Terapi ini menggunakan dua jenis air yang temperaturnya berbeda, yakni
panas dan dingin dan dilkukan secara bergantian.
Diantara jenis- jenis hydrotherapy di atas, perendaman menggunakan
air hangat sangat efektif sebagai upaya untuk peningkatan kualitas tidur
(Ebben dan Spielman, 2006). Teknik yang digunakan dapat berupa
perendaman kaki dalam sebuah bak yang berisi air hangat.
3. Merendam Kaki dengan Air Hangat
Merendam kaki dengan air hangat merupakan pemberian aplikasi panas
pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun kronis. Terapi ini efektif
untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot walaupun
dapat juga dipergunakan untuk mengatasi masalah hormonal dan kelancaran
peredaran darah. Pengobatan tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung
kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan.
Ada banyak titik akupuntur ditelapak kaki. Enam meridian (hati, empedu,
kandung kemih, ginjal, limpa, dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Panas pada
fisioterapi dipergunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan
melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi
pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi
kekuatan otot (Intan A, 2010).
Beberapa negara maju menerapkan terapi stimulus control dengan
menggunakan air hangat sudah banyak dilakukan. Menurut Vinencenz Priesnisz
dan Pastor Sebastian Kneipp (2005), merendam kaki dengan air hangat yang
bertemperatur 37- 39oC bermanfaat dalam menurunkan kontraksi otot sehingga
menimbulkan perasaan rileks yang bisa mengobati kurang tidur dan infeksi.

4. Respon Tubuh saat Merendam Kaki dengan Air Hangat


Kerja air hangat pada dasarnya adalah meningkatkan aktivitas molekuler
(sel) dengan metode pengaliran energi melalui konveksi (pengaliran lewat
medium cair) (Intan A, 2010). Metode perendaman kaki dengan air hangat
memberikan efek fisiologis terhadap beberapa bagian tubuh organ manusia.
Berikut ini adalah beberapa organ yang mengalami perubahan fisiologis, yaitu:
a. Jantung
Tekanan hidrostatik terhadap tubuh mendorong aliran darah dari kaki menuju
ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di pembuluh darah besar jantung.
Air hangat akan mendorong pembesaran pembuluh darah kulit dan
meningkatkan denyut jantung. Efek ini berlangsung cepat setelah terapi air
hangat diberikan (Ningrum, 2012).
b. Jaringan Otot
Air hangat dapat mengendorkaan otot sekaligus memiliki efek analgesik.
Tubuh yang lelah akan menjadi segar dan mengurangi rasa letih yang
berlebihan. Hal ini dapat mengurangi gejala kesemutan atau Restless Legs
Syndrom (RLS) pada lansia (Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).
c. Organ Pernapasan
Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi dan oksigen yang cukup untuk
dibawa ke rongga dada serta paru- paru. Peningkatan kapasitas paru juga dapat
terjadi, hal ini dapat mengurangi gejala Sleep Disordered Breathing (SDB)
(Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).
d. Sistem Endokrin
Berendam menggunakan air hangat dapat melepaskan dan meningkatkan
sekresi hormon pertumbuhan tubuh. Sirkulasi hormon kortisol misalnya, air
hangat dapat meningkatkan sekresi hormon tersebut dan menimbulkan rasa
kegembiraan bagi seseorang. Pada terapi merendam kaki dengan air hangat
dapat menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur), hal ini kemungkinan
dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi hormon melatonin sebagai dampak
dari rendam air hangat pada kaki sehingga seseorang yang merendam kakinya
dengan air hangat dapat meningkatkan kualitas tidurnya (Amirta, 2007;
Ningrum, 2012).
e. Persyarafan
Efek merendam kaki dengan air hangat dapat menghilangkan stress (Ningrum,
2012). Tidak hanya itu, jika merendam kaki dilkukan lebih dari 5 menit akan
menimbulkan relaksasi (Ebben & Spielman, 2006).

Adapun manfaat dari terapi air adalah sebagai berikut:


1) Produksi perasaan rileks
2) Merangsang ujung saraf untuk perasaan segar kembali
3) Meningkatkan sirkulasi darah
4) Peningkatan melabolisme jaringan
5) Penurunan kekuatan tonus oto
6) Peningkatan migrasi leukosit
7) Analgesik dan efek sedatif
D. Penelitian Terkait
1. Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2012) dengan judul Pengaruh
Rendam Air Hangat Pada Kaki Dalam Meningkatkan Kualitas Tidur Lansia.
Dengan jumlah respondem 20 lansia yang berusia lebih dari 60 tahun. Metode
penelitian yang digunakan adalah pra eksperimen dengan pendekatan one group
pre test post test desain. Pemilihan sampel dengan teknik total sampling yang
terdiri dari 20 responden lansia >60 tahun. Intervensi rendam kaki dilakukan dan
diobservasi sebanyak 2 kali. Kualitas tidur responden sebelum dan sesudah
intervensi diukur dengan lembar observasi. Analisis data menggunakan uji
paired t test dengan tngkat kemaknaan = 0,05 lalu kemudian diuji efektifitasnya
dengan uji Anova . hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kuantitas
tidur (durasi tidur total) lansia setelah merendam kaki dengan air hangat.
Perbedaan rata- rata kuantitas lansia antara sebelum dan sesudah intervensi
menunjukkan hasil analisis uji paired t test (p>0,05) dan hasil analisis uji Anova
menunjukkan nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna antara rata- rat kuantitas tidur lansia sebelum dan sesudah intervensi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh merendam kaki
dengan air hangat terhadap kuantitas tidur lansia di Desa Mojojejer Kecamatan
Mojowarno Kabupaten Jombang.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Moura Silva, Tunaco, et, all (2012) mengenai
efek dari hydrotherapy yang berjudul Effect of Hydrotherapy on Quality Of
Life, Functional Capacity and Sleep Quality in Patients With Fibromyalgia.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek hydrotherapy pada fungsi dan
kuantitas tidur pasien dengan fibromyalgia. Metode yang digunkan adalah
dengan menilai 60 pasien wanita dengan fibrimyalgia yang berusia antara 30-65
tahun. Dari 60 pasien yang dinilai, 20 pasien dikeluarkan dan 10 meninggalkan
penelitian karena mereka tidak bisa memenuhi jadwal waktu. Program
hydrotherapy dilakukan di kolam renang hangat dalam ruangan tertutup (indoor).

Pelatihan tersebut dilakukan dalam 2 kali seminggu selama 2 bulan, dan masingmasing sesi berlansung 60 menit. Setelah diberikan intervensi, pasien mengisi 3
kuisioner yang terdiri dari: Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ),
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS). Setelah
program hydrotherapy, pasien mengalami peningkatan aspek- aspek yan dinilai
dengan mengunakan Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ) yakni; fungsi
fisik, ketidakhadiran kerja, kemampuan untuk melakukan pekerjaan, intensitas
nyeri, kelelahan, kelelahan di pagi hari, kekakuan (P<0,0001), kecemasan (P=
0,0013), dan depresi (P<0,0001). Kualitas tidur (P<0,0001) dan kantuk di siang
hari (P=0,0003) juga meningkat. Kesimpulannya hydrotherapy meningkatkan
kualitas tidur, fungsi fisik, status profesional, gangguan psikolois dan gejala fisik
pada pasien dengan fibromyalgia.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Ebben & Spielman (2006) dengan judul The
Effect of Distal Limb Warming on Sleep Latency pada 11 responden. Dalam
penelitian ini responden diberikan intervensi berupa perendaman kaki dan tangan
dengan suhu 42oC selama 5 menit sebelum responden jatuh tertidur. Hasil
penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam latensi tidur (p>0,05) antara
kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah beberapa uji latensi
tidur dilakukan.

E. Kerangka Teori
Lanjut Usia

Perubahan aspek fisiologik


Perubahan pada sistem saraf
dan sistem endokrin
Sekresi norepinephrine dan
serotonin terganggu

Perubahan pada
Suprachiasmatic Nucleus

Penurunan sekresi
melatonin

Usia
Penyakit fisik
Obat- obatan & Zat
tertentu
Gaya hidup
Stress emosional
Lingkungan
Asupan makanan &
kalori
Diet dan
terapi nutrisi

Terganggunya irama
sirkadian
Gangguan Tidur
Kualitas tidur buruk
Farmakologis
Terapi
Non-

Hydrotherapy (Merendam
Kaki dengan Air Hangat)

Meditasi

Akupuntur &
Akepresur

Relaksasi Progresif
Relaksasi Meningkat
Bagian 2.2 Kerangka teori: modifikasi dari teori Darmojo (2009), Handoyo (2014), Hidayat (2008),
Juddith, dkk (2010), Maryam, dkk (2008), Potter & Perrt (2011), Stanley & Bare (2007), Sudoyo
(2006).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifiksi sebagai masalah
yang penting (Sugiyono, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini akan
menjelaskan hubungan antar variabel yang akan diteliti yaitu hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Variabel bebas (independen) yang
ingin diketahui yakni penaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas
tidur lansia, sedangkan variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu skor
tidur lansia. Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


Pra intervensi
Kualitas Tidur
Keterangan :

Intervensi

Post Intervensi

Merendam kaki
dengan air hangat

Kualitas Tidur

= Variabel terikat
= Variabel bebas

Berdasarkan bagan 3.1 di atas, variabel dalam penelitian ini adalah:


a. Variabel bebas (independent) adalah merendam kaki dengan air hangat.
b. Variabel terikat (dependen) adalah kualitas tidur pada lansia.
B. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian tersebut di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
Ho = Tidak ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur
lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis
Ha = Ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.

C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur suatu
variabel, sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin menggunakan
variabel yang berbeda (Setiadi, 2007). Adapun definisi operasional setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai beriku:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
N
o
1

Variabel
Merendam

Definisi Operasional
Terapi non-

Cara Ukur

Alat Ukur

Menggunakan

Lembar observasi

kaki dengan air farmakologis dengan

lembar observasi

yang terdiri dari:

hangat

memberikan

yang dibuat oleh

komponen

rangsangan hangat

peneliti dan di isi

prosedur

pada kaki dengan

oleh responden

tindakan, tanggal

suhu 38o 42oC yang

atau keluarga

perlakuan,

dapat menimbulkan

dengan sejujur-

keterangan

rasa rileks dan tenang

jujurnya.

tindakan, dan

dalam waktu 10 menit

paraf responden.

sebelum tidur malam

Kualitas tidur

Perlakuan dikatakan

Skala Ukur
Nominal

berhasil jika:
1. Responden
melakukan dengan
baik dan benar
sesuai prosedur
yang diberikan
peneliti
2. Responden
melakukan
perlakuan selama 5

selama 5 hari berturutturur.


Pernyataan sebjektif

Hasil Ukur

hari berturut- turut.


Kuisioner yang

Pittburgh Sleep

Hasil pengukuran

tentang kepuasan tidur terdiri dari 7

Quality Index

dinyatakan dengan

yang ditandai dengan

(PSQI) yang di

skor 0- 21 yang

komponen

Interval

merasakan tidak ada

pertanyaan

buat oleh D. J.

merupkan skor total

masalah dengan

mengenai;

Buyse, Reynolds,

dari penjumlahan 7

tidurnya dan

kualitas tidur

Monk, Berman

komponen, semakin

durasinya cukup

secara subjektif,

dan Kupfer

tinggi skor total maka

waktu mulainya

(1989), yang telah semakin buruk

tidur, lamanya

diterjemahkan

kualitas tidurnya.

tidur, gangguan

kedalam bahasa

Kesimpulannya

tidur, kebiasaan

indonesia.

dengan batasan skor

penggunaan obat-

<5 berarti kualitas

obatan dan

tidurnya baik, 5

aktivitas yang

kualitas tidurnya

dapat mengangu

buruk.

tidur serta
aktivitas seharihari terkait
dengan tidur.
Skor setiap
komponen adalah
0- 3.

D. Metode Penelitian
a. Desain Penelitian
E.
Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan desain quasi
eksperimen. Rancangan penelitian ini adalah one group pre test and post test
merupakan rancangan penelitian yang mengungkapkan hubungan sebab akibat
yang mengunakan satu kelompok subjek dengan cara melakukan pengukuran
sebelum dan setelah perlakuan. Perbedaan kedua hasil pengukuran dianggap
sebagai efek perlakuan. (Nursalam, 2008). Penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur
lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
F.
Penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok sampel tanpa
menggunakan kelompok kontrol. Kelompok sampel diberi tes awal (pre test) lalu
diberikan perlakuan selama lima hari secara berturut- turut dan kemudian diberikan
tes akhir (post test). Pre test dan post test dilekukan dengan menggunakan
Pittsburgh Sleep Quality Index yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia.
G.
H. Bagan 4. 1 Desain Penelitian
I. (K)
J.
I
O
K. Keterangan
L.

OI

K : Subjek (Lansia)

M. O : Observasi kualitas tidur sebelum intervensi (Pre test)


N.

I : Intervnesi (Merendam kaki dengan air hangat)

O. OI : Observasi kualitas tidur setelah intervensi (Post test)


P.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Q.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok
Kabupaten Ciamis, tepatnya di rumah setiap responden. Alasan memilih Desa
Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis sebagai lokasi penelitian
adalah karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh
merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia. Hasil
studi pendahuluan yang telah dilakukan, dari 15 orang lansia didapatkan tujuh
orang mengeluh tidurnya kurang nyenyak dan kurang bugar dipagi hari, lalu

sisanya mengatakan sering terbangun 4-6 kali pada waktu tidur malam, dan
sulit tertidur kembali.
R.
2. Waktu Penelitian
S.
Penelitian ini telah dilakukan berkisar pada bulan April sampai
Mei tahun 2016.
T.
c. Populasi dan Sampel
1. Populasi
U.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Hidayat, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
lansia yang berumur 60 tahun dan mengalami gangguan tidur di 52
kawasan Di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dengan
jumlah 67 orang.
V.

2. Sampel
W.

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi
yang diteliti (Hidayat, 2009). Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan
sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008). Sampel dalam
penelitian ini adalah lansia yang berumur 60 tahun yang tinggal di Desa
Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis. Agar sampel yang
digunakan match, peneliti menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi adalah batasan ciri atau karakter umum pada subyek penelitian,
dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria eksklusi (Saryono, 2011).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lanjut usia yang berusia 60 tahun dan tinggal di Desa Cintaratu
Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
2. Dapat melihat dan mendengar dengan baik.
3. Lansia yang sehat secara mental (Geriatric Depression Scale 8).
4. Tidak memiliki ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(hasil kuesioner Index Katz 2) dan bersedia untuk berpartisipasi dalam
penelitian.
X.

Y.

Kriteria eksklusi adalah sebagian subyek yang memenuhi

kriteria inklusi yang dikeluarkan dari penelitian karena dapat


mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias (Saryono, 2011).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lansia yang mengalami fraktur, luka bakar, kemerahan pada kulit
Z.
kaki, atau luka terbuka pada daerah kaki.
AA.2. Lansia yang mengikuti perawatan alternatif semacam pijat
atau
AB.
lainnya seperti akupuntur.
AC. 3. Lansia dengan riwayat Obstructive Sleep Apnea.
AD. 4. Lansia dengan riwayat Nokturia.
AE.
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
30.
AF. Seperti pemaparan Burns & Susan (2005) bahwa jumlah sample
pada penelitian quasi eksperimen sebanyak 30 orang.
AG. Pada penelitian ini, peniliti menambahkan 10% dari total
sampel untuk menghindari adanya drop out. Maka didapatkan sampel
sebanyak 30 responden. Semua responden yang masuk ke dalam
kriteria inklusi diberi kode berupa angka, kemudian peneliti melakukan
pengundian terhadap calon responden yang akan diteliti. Selanjutnya,
peneliti
AH. melanjutkan dengan informed consent dan pengambilan data
dengan kuisioner.
AI.
d. Instrumen Penelitian
AJ.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan
oleh
AK.

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan

hasil
AL. lebih baik sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Instrumen
dalam
AM. penelitin ini yaitu lembar kuisioner atau angket yang terdiri dari data
personal
AN. dan PSQI. Kuesioner PSQI digunakan untuk mengukur kualitas tidur
yang
AO. terdiri dari 7 komponen yang menggambarkan tentang kualitas tidur
secara
AP. subjektif, waktu mulainya tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur,
gangguan
AQ. tidur, kebiasaan penggunaan obat-obatan dan aktivitas yang dapat

AR.

mengganggu tidur serta aktivitas sehari-hari terkait dengan tidur.

Nomor
AS. pertanyaan masing-masing komponen dapat dilihat dalam tabel 4.1.
AT.
AU. Tabel 4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI
AV.

Nome

AW.

Komponen

r
AY.
BB.
BE.
BH.
BK.
BN.
BQ.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

AZ.
BC.
BF.
BI.
BL.
BO.

Subjektifitas
Latensi Tidur
Lamanya Tidur
Efisiensi Tidur
Gangguan Tidur
Penggunaan obat untuk

7.

Tidur
BR. Disfungsi disiang hari

AX.

Nomor

Pertanyaan
BA. 9
BD. 2,5a
BG. 4
BJ.
1,3,4
BM. 5b-5j
BP.
6
BS.

7,8

BT.
BU.

Data personal responden berisi; nama, umur, jenis kelamin,

alamat.
BV. Sedangkan Kuesioner PSQI terdiri dari 4 pertanyaan terbuka dan
14
BW. pertanyaan yang menggunakan skala Likert. Kuesioner ini hanya
bisa
BX.

membedakan kualitas tidur yang buruk atau baik, bila skor total <5

dikatakan
BY. kualitas tidurnya baik, sedangkan jika skor total 5 dikatakan kualitas
tidur buruk (Buysse, 1989). Namun pada penelitian ini, peneliti hanya
BZ. mengidentifikasi penurunan skor PSQI dan tidak mengkategorikan
kualitas
CA. tidur, dikarenakan hasil dari post testtidak mencapai penurunan skor
sampai skor < 5.
CB. Kuesioner PSQI dibuat oleh D. J Buysse, Reynolds, Monk,
Berman
CC. dan Kupfer (1989) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia
CD. untuk mempermudah responden dalam mengisi kuesioner. Peneliti
sudah
CE. meminta izin kepada D. J Buysse untuk menggunakan PSQI dan
telah
CF. diizinkan. Namun akhirnya peneliti menggunakan kuesioner PSQI
dari dr.

CG.

Sari Theresia Bukit yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

dan
CH.

memiliki hasil validitas yang tinggi. Kuesioner ini pernah beliau

gunakan dalam penelitiannya ketika menjalani pendidikan spesialis saraf di


FK USU. Peneliti sudah meminta izin kepada dr. Sari Theresia Bukit
untuk menggunakan kuesioner tersebut dan tidak mengubah sedikitpun
dari isi kuesionernya.
CI.
1. Kuisioner lain yang berhubungan dengan kualitas tidur
CJ.
Penelitian ini membutuhkan beberapa kuesioner
untuk memperkuat dan memudahkan pemilahan responden dalam
proses penentuan sample, yaitu berupa: Geriatric Depression Scale
(menilai
CK.
tingkat depresi), dan Index Katz (menilai kemandirian dalam
beraktivitas
CL.
sehari-hari). Depresi berhubungan dengan terganggunya
tidur sehingga
CM.
seseorang dapat terbangun lebih awal dan sulit untuk
memulai tidur
CN.
kembali (Potter & Perry, 2011). Peneliti tidak
mengikutsertakan
CO.
responden yang memiliki resiko depresi sampai depresi
berat (GDS8) karena dapat membiaskan hasil dari pengaruh merendam
kaki dengan air hangat sebelum tidur terhadap kualitas tidur lanjut usia.
Pada penelitian ini juga akan diberikan suatu perlakuan, sehingga untuk
lebih mempermudah proses penelitian (merendam kaki dengan air
hangat) maka dipilih responden yang tidak memiliki ketergantungan
aktivitas dalam sehariharinya. Berikut ini penjelasan dari setiap
kuesioner di atas:
1. Geriatric Depression Scale(GDS)
CP. Kuesioner ini dibuat oleh Yesavage (1983) untuk
CQ. mengetahui tingkat depresi pada lanjut usia. Keusioner ini
terdiri dari 15 pertanyaan yang menggunakan skala Guttman,
setiap pertanyaan memiliki kesesuaian dengan jawaban yang
tersedia oleh peneliti (jawaban dicetak tebal). Jika terdapat 8
jawaban atau lebih sesuai dengan jawaban yang dicetak tebal,
makan lanjut usia teridentifikasi depresi. (Greenberg, 2012).
2. Indeks Katz

CR. Kuesioner ini biasa digunakan untuk mengkaji


kemandirian
CS. individu dalam kegiatan sehari-hari. Indeks Katzmengukur 6
fungsi,
CT. yaitu: mandi, berpakaian, ke kamar mandi, berpindah,
makan,
CU. kontinen (BAK atau BAB). Dalam pengkajian ini terdapat
6
CV. pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki nilai 0 (jika
ketergantungan)
CW. dan 1 (jika mandiri).
CX.
CY. Analisa hasil dapat ditentukan dengan kriteria nilai sebagai
berikut:
CZ. A: Jika kemandirian dalam hal makan, kontinen ( BAK/BAB ),
DA.
berpindah kekamar kecil, mandi dan berpakaian.
DB. B: Jika kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari
fungsi
DC.
tersebut.
DD. C: Jika kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan
satu
DE.
fungsi tambahan.
DF. D: Jika kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian,
DG.
dan satu fungsi tambahan.
DH. E: Jika kemandirian dalam semua hal kecuali mandi,
berpakaian,
DI.
ke kamar kecil, dan satu fungsi tambahan.
DJ. F: Jika kemandirian dalam semua hal kecuali mandi,
berpakaian,
DK.
ke kamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan.
DL. G: Jika ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.
DM.
DN. Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak
dapat di
DO. klasifikasikan sebagai C, D, E atau F. Sehingga, jika skor 2
maka
DP. dikategorikan ketergantungan, sedangkan skor 3-6
dikategorikan mandiri (Wallace & Shelkey, 2012).
DQ.
e. Uji Validitas dan Reabilitas
1. Uji Validitas

DR. Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur


itu
DS.

benar-benar mengukur apa yang diukur. Suatu kuisioner

dikatakan valid
DT.
jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu
DU.
yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Dalam hal ini,
beberapa item
DV.
pertanyaan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel
yang diukur
DW.
tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi
antara masing-masing skor item pertanyaan dari setiap variabel dengan
total skor variabel tersebut (Hidayat, 2009).
DX. Pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat hasil
perhitungan r. Apabila r > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid,
DY.
sedangkan apabila r < r tabel, maka pertanyaan tidak valid. Uji
validitas
DZ.
ini juga bisa dilakukan dengan pengujian validitas
konstruksi dengan
EA.
analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan skor item
instrumen dalam
EB.
suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor
total. Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya 0.3 ke atas
maka faktor tersebut merupakan konstruksi yang kuat. (Sugiyono, 2010).
EC.
2. Uji Reliabilitas
ED. Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh
mana
EE.

suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal

ini berarti
EF.
menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten bila
EG.
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama
EH.
dengan menggunakan alat ukur yang sama. Pengukuran
reliabilitas
EI.menggunakan bantuan software computer dengan rumus Alpha
Cronbach.
EJ.Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha
Cronbach > 0,60 (Hidayat, 2009).

EK.
f. Langkah- langkah Pengumpulan Data
1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, peneliti mengajukan
EL.
pembuatan surat permohonan izin penelitian ke Dekan
STIKes Bina Putera Banjar.
EM. 2. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin penelitian kepada
Kepala Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
EN. 3. Setelah surat permohonan izin penelitian disetujui oleh Kepala
EO.
Desa Cintaratu, peneliti menentukan jumlah sample dengan
teknik purposive sampling yaitu seleksi sesuai kriteria inklusi dan
EP.

eksklusi. Hasil penghitungan didapatkan responden sebanyak 30 lansia.


4. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang

telah
EQ.

ditentukan, peneliti melakukan informed consent terhadap

calon
ER.

responden. Jika calon responden bersedia menjadi responden,

mereka
ES.

dapat membaca lembar persetujuan kemudian

menandatanganinya.
ET. 5. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan,
responden
EU.

selanjutnya diberikan penjelasan mengenai prosedur

terapi/perlakuan
EV.
dan cara pengisian kuisioner serta responden dianjurkan
bertanya
EW.
apabila ada pertanyaan ataupun pernyataan yang kurang jelas.
EX. 6. Proses pengumpulan data berlangsung selama 7 hari, dimana
hari
EY.

pertama adalah penjelasan prosedur dan pengisian kuesioner

pertama
EZ.

(pre test) Pittsburgh Sleep Quality Index, hari kedua sampai

dengan hari
FA.

keenam adalah perlakuan merendam kaki dengan air

hangat secara
FB.
berturut-turut selama lima kali (hari), selanjutnya hari ketujuh
adalah pengumpulan data dimana responden mengisi kuesioner yang
sama
FC.
untuk mengetahui hasil setelah perlakuan (post test).
FD. 7. Pada hari pertama penelitian, responden diberikan penjelasan
mengenai

FE.

prosedur tindakan. Dalam hal ini, peneliti dibantu oleh

rekan tenaga
FF.perawat puskesmas yang telah melakukan diskusi dan penyamaan
FG.
persepsi prosedur dengan peneliti untuk menilai prosedur
yang
FH.

dilakukan responden dengan lembar observasi yang telah

disiapkan
FI. peneliti.
FJ. 8. Hari kedua sampai keenam, peneliti meminta asisten untuk
mengamati
FK.
FL.
FM.

sekaligus mengisi lembar observasi prosedur tindakan, dan


menganalisanya. Jika ditemukan adanya ketidakjujuran dan
ketidaksesuaian prosedur tindakan, maka akan dilakukan drop

out.
FN. 9. Hari ketujuh peneliti dan asisten mendatangi responden dan
meminta
FO.

untuk mengisi lembar kuesioner Pittsburgh Sleep Quality

Index(post
FP.test).
FQ. 10. Waktu pengisian kuisioner selama kurang lebih 15 menit untuk
masing-masing respoden, sedangkan proses pengambilan data dilakukan
dalam
FR.

dua tahap, yakni sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan 5

hari.
FS.
11. Responden diharapkan menjawab seluruh pertanyaan di dalam
FT.
kuisioner, setelah selesai lembar kuisoner dikembalikan
kepada
FU.
peneliti.
FV.
12. Kuisioner yang telah diisi selanjutnya diolah dan dianalisa oleh
peneliti.
FW.
FX.
FY.
FZ.
GA.
GB.
GC.
GD.
1. Panduan Pelaksana Penelitian
GE.
Responden diberikan kuesioner (pre test) dan
mengisi semua
GF. pertanyaan yang ada. Selanjutnya responden melakukan intervensi

GG. merendam kaki dengan air hangat dengan langkah-langkah sebagai


berikut:
GH. Mempersiapkan alat dan bahan
1. Thermometer
2. Baskom
3. 2 buah handuk
4. Wadah air atau termos yang berisi air panas
GI.Prosedur tindakan
1) Bawa peralatan mendekati tempat tidur.
2) Campurkan air dingin dan air panas, lalu ukur suhunya dengan
GJ. thermometer (suhu 39oC 42oC, isi baskom setengah penuh.
3) Letakkan basin di dekat tempat tidur, atau di bawah tempat tidur.
4) Duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah, dan
GK.
pastikan tempat tidur aman.
5) Jika kaki nampak kotor, maka cuci kaki terlebih dahulu.
6) Celupkan dan rendam kaki sampai betis dan biarkan selama 10
GL.menit.
7) Tutup baskom dengan handuk untuk menjaga suhu.
8) Lakukan pengukuran suhu setiap 5 menit, jika suhu turun
tambahkan air panas sampai suhu sesuai kembali.
9) Setelah selesai (10 menit), angkat kaki dan keringkan dengan
GM.
handuk.
10) Rapikan peralatan.
GN.
g. Etika Penelitian
1. Prinsip Etik
GO.
Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin
pelaksanaan
GP.
penelitian dari pembimbing skripsi, Kaprodi Ilmu Keperawatan
dan Dekan STIKes Bina Putera Banjar dan Kepala Desa Cintaratu dan
Perawat yang terkait. Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek
sehingga tidak boleh bertentangan dengan etik (Setiadi, 2007). Pada
penelitian ini, peneliti meyakinkan bahwa responden perlu mendapat
perlindungan dari hal-hal yang merugikan selama penelitian dengan
memperhatikan aspek-aspek self determination, privacy, anonymity,
confidentially, dan protection from discomfort (Nursalam, 2008).
Peneliti juga membuat Informed Consent sebelum penelitian
dilakukan. Sebagai pertimbangan etika penelitian, maka peneliti
memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
a. Self Determination
GQ. Dalam penelitian ini peniliti memberikan kebebasan kepada
responden

GR.

untuk menentukan apakah bersedia menjadi responden atau

tidak dalam penelitian ini setelah diberikan penjelasan tentang maksud


dan tujuan penelitian.
b. Privacy
GS. Peneliti menjelaskan pada responden bahwa semua
informasi yang diperoleh dari responden selama penelitian ini hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.
c. Anonymity
GT. Peneliti menjelaskan kepada responden bahwa menjamin
kerahasiaan
GU. responden dengan tidak menuliskan atau mencantumkan
identitas
GV. responden pada lembar pengumpulan data atau kuesioner.
d. Confidentially
GW. Peneliti menjelaskan kepada responden bahwa semua informasi
yang
GX. diperoleh dari responden tidak akan disajikan secara
keseluruhan.
e. Protection from discomfort and harm
GY. Peneliti memperhatikan kemungkinan timbulnya
ketidaknyamanan
GZ. yang dirasakan responden selama pengisian kuesioner dan
ketika
HA. dilakukan terapi merendam kaki dengan air hangat. Untuk
HB. meminimalkan ketidaknyamanan maka peneliti
mendampingi dan
HC. memonitor keadaan umum responden selama perlakuan dan
pengisian
HD. kuesioner. Sedangkan untuk mengurangi kejadian yang
tidak
HE. diinginkan (bahaya), suhu air yang digunakan sudah dipastikan
sesuai
HF. dengan yang ada didalam prosedur. Peneliti menyiapkan
thermometer
HG. untuk mengukur suhu air supaya sesuai dengan prosedur
penelitian.
HH.
2. Lembar Persetujuan
HI.
Peneliti memberikan penjelasan kepada responden
tentang

HJ.

maksud dan tujuan penelitian sebelum penelitian dilakukan

seperti adanya
HK.
satu kuesioner (PSQI) yang digunakan untuk mengukur
kualitas tidur.
HL.
Selanjutnya responden diberikan lembar persetujuan yang
berisi
HM.

pernyataan bersedianya mengikuti penelitian ini kemudian

diisi dan
HN.
ditandatangani responden.
HO.
h. Pengolahan Data
HP.
Pengolahan data perlu dilakukan untuk memberikan
kemudahan dalam analisis data dan menginterpretasikan hasil penelitian.
Untuk itu data diolah terlebih dahulu dengan tujuan mengubah data menjadi
informasi. Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan
software program statistik. Hidayat (2009) menyatakan bahwa proses
pengolahan data tersebut melalui langkah-langkah berikut:
1. Editing
HQ.
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali
kebenaran
HR.
data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan
pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang
dilakukan dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan,
relevansi, dan konsistensi jawaban. Kelengkapan data diperiksa dengan
cara memastikan bahwa jumlah kuesiner yang terkumpul sudah memenuhi
jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap
pertanyaan dalam kuisioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan
konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang
bertentangan dengan data lain.
2. Coding
HS.
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik
(angka)
HT.

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Mengubah

data dari yang berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka untuk
memudahkan penginterpretasian hasil penelitian.
HU.
HV.
HW.
3. Entry Data

HX.
telah
HY.

Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang

dikumpulkan ke dalam master tabel atau database computer.

Entry Data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


program software statistik.
4. Cleaning
HZ.
Setelah data dimasukkan dalam program komputer,
selanjutnya
IA.peneliti melakukan cleaning yaitu memeriksa kembali data yang sudah
di-entry untuk mengetahui kemungkinan adanya data yang masih salah
atau tidak lengkap sebelum dilakukan analisis.
5. Teknik Analisis
IB.
Dalam melakukan teknik analisis, khusunya terhadap
data
IC.penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang
disesuaikan
ID.dengan tujuan yang hendak dianalisis. Penelitian ini merupakan
penelitian
IE. yang bersifat analitik, sehingga analisis yang digunakan statistika
IF. inferensial (menarik kesimpulan) yaitu statistika yang digunakan
untuk menyimpulkan parameter (populasi) berdasarkan statistik
(sampel) atau lebih dikenal dengan proses generalisasi dan inferensial.
6. Tabulating
IG.
Tabulating adalah membuat distribusi frekuensi
sederhana atau
IH.tabel kontingensi yang telah diberi skor dan dimasukkan ke dalam
tabel.
II.
i. Analisa Data
IJ. Setelah dilakukan pengumpulan data, maka komponen
variabel
IK. penelitian dapat dilakukan analisis. Berdasarkan Saryono (2011),
analisis
IL.
data dilakukan dalam 2 tahap yaitu analisis univariat dan bivariat.
Sebelum
IM. melakukan analisis data univariat maupun bivariat, peneliti terlebih
dahulu
IN. menguji kenormalan distribusi data setiap variabelnya. Hal ini sangat
penting
IO. dilakukan karena, normal atau tidaknya distribusi data dapat
mempengaruhi

IP.

pemilihan jenis uji yang dipakai dan penyajian dalam uji

hipotesis. Pada penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah metode
analisis karena lebih akurat dan objektif serta mudah dipahami dibandingkan
dengan metode plot dan histogram. Metode analisis yang dipilih adalah
uji Shapiro-Wilk karena jumlah responden < 50, yaitu 30 responden.
Distribusi data dinyatakan normal jika nilai kemaknaan (p) > 0, 05 (Saryono,
2011).
IQ.
1. Analisis Univariat
IR.
Analisis data univariat dilakukan terhadap tiap variabel
dari hasil
IS. penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
IT. distribusi frekuensi. Analisis univariat dalam penelitian ini
dilakukan
IU.
untuk mengetahui karakteristik lansia (usia, jenis kelamin),
dan
IV.mengetahui kualitas tidur sebelum dan sesudah terapi merendam
kaki dengan air hangat.
IW.
Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari
hasil
IX.

pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi,
IY.ukuran tendensi sentral atau grafik. Jika data mempunyai
distribusi
IZ.normal, maka mean dapat digunakan sebagai ukuran pemusatan
dan
JA.

standar deviasi (SD) sebagai ukuran penyebaran. Jika

distribusi tidak
JB.
normal maka sebaiknya menggunakan median sebagai ukuran
pemusatan dan minimum-maksimum sebagai ukuran penyebaran.
JC.
2. Analisis Bivariat
JD.
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan
untuk
JE.mengetahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh antara variabel
bebas
JF. dan variabel terikat. Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan
untuk
JG.
terhadap

mengetahui pengaruh merendam kaki dengan air hangat

JH.

peningkatan kualitas tidur pada lansia dengan melihat pre test

dan post
JI. test. Analisis ini menggunakan 2 uji statistik, yaitu uji t berpasangan
dan
JJ. Uji Wilcoxon. Uji t berpasangan berfungsi untuk mengetahui
adakah
JK.

pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap rerata

skor total
JL.kualitas tidur sebelum dan sesudah intervensi dengan tingkat
kemaknaan
JM.
95% (= 0,05). Sedangkan, uji Wilcoxon digunakan untuk
mengetahui
JN.
apakah terjadi pengaruh pada setiap komponen kualitas tidur
sebelum dan
JO.
sesudah perlakuan dengan melihat perbedaan reratanya dan
dikatakan berpengaruh jika nilai p lebih dari 0,05.
JP.
JQ.
JR.

JS.

Anda mungkin juga menyukai