PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu akan mengalami proses perkembangan secara alami, mulai
dari lahir hingga menjadi dewasa akhir atau lansia. Usia lanjut adalah fase
menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dari adanya perubahan dalam
perjalanan hidup. Sebagaimana diketahui, manusia berkembang dari usia balita,
remaja, dewasa dan lansia yang merupakan tahap akhir kehidupan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2,
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2009).
Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia kronologis atau biologis
menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu antara 45 sampai 59 tahun, lanjut
usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90
tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu > dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Jumlah penduduk lansia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, ini
disebabkan oleh peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang
akan berpengaruh pada peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 % dari jumlah keseluruhan
penduduk di Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553
jiwa (9,77 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia). Pada tahun 2020,
jumlah lansia diprediksikan mencapai 28.882.879 jiwa (11,34 % dari jumlah
keseluruhan penduduk di Indonesia). Jumlah tersebut akan menempatkan Indonesia
pada urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India (Kementrian Kesehatan RI, 2013)
Seiring banyaknya jumlah lansia di Indonesia, maka perlu perhatian khusus
untuk meingkatkan kualitas hidup mereka. Pertambahan usia mengakibatkan
perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataannya, meskipun mereka memiliki
waktu cukup untuk tidur, tetapi terjadi penurunan kualitas tidur (Maryam, dkk, 2008).
Pada usia lanjut terjadi penurunan tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi
kebiasaan waktu mulai tidur, kebiasaan penggunaan obat untuk membantu tidur
(Buysee et al, 2000)
Menurut WHO, penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan yang
signifikan, pada tahun 2007 jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan
meningkat menjadi 20,54 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah ini terbesar ke empat
setelah Amerika, India, dan Tiongkok. (BPS, 2012)
Seperti diketahui, Indonesia berada dalam masa transisi demografi, presentase
lansia menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan mendatang. (Darmojo, 2009).
(http://www.repository.uinjkt.ac.id/dspace.Gilang-Gumilar-Permady FKIK.pdf,
diperoleh 26 November 2015)
Persentase penduduk usia lanjut di Jawa Barat tahun 2010 adalah 12,4% dan
diproyeksikan menjadi 14,3% pada tahun 2025 (Taslim, 2006). Di Kabupaten Ciamis,
penduduk usia lanjut setiap tahunnya mengalami peningkatan yaitu sekitar 8,9%
setiap tahunnya. (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis).
Kecamatan Lakbok merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2014 jumlah lansia sebanyak 1.485 jiwa dan
paling banyak terdapat di Desa Cintaratu yaitu 679 jiwa (Profil Puskesmas Lakbok,
2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut, karena Desa Cintaratu merupakan Desa
terluas di Kecamatan Lakbok, dengan jumlah lansia yang tinggi dan juga banyak yang
mengalami gangguan tidur sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia.
B. Rumusan Masalah
Prevalensi lansia diperkirakan akan terus meningkat terutama di negaranegara yang sedang berkembang termasuk diantaranya Indonesia. Peningkatan angka
lansia sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perbaikan sosial ekonomi berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat.
Berbagai studi mengenai kualitas tidur pada lanjut usia dan metode
penanganan gangguan tidur pada lanjut usia baik secara farmakologis dan nonfarmakologis sudah dilakukan sebelumnya, namun penanganan secara farmakologis
memiliki efek samping yang sangat beresiko terhadap kesehatan lansia. Metode
relaksasi merupakan terapi yang efektif agar dapat meningkatkan kualitas tidur pada
lansia. Salah satu contoh metode relaksasi yakni dengan merendam kaki
menggunakan air hangat.
Beberapa penelitian terkait dengan masalah tidur dan lansia telah dilakukan,
namun peneliti belum menemukan penelitian yang membahas intervensi alternative
khususnya penggunaan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia,
sehingga menurut peneliti hal tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh
pada kualitas tidur lansia dengan melakukan terapi merendam kaki dengan air hangat
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengatahui adakah pengaruh setelah perlakuan merendam kaki dengan air
hangat pada kualitas tidur lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten
Ciamis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia dan jenis kelamin) terhadap
kualitas tidur
b. Mengidentifikasi komponen kualitas tidur (kualitas tidur subyektif, latensi
tidur, lamanya tidur, efesiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,
dan disfungsi di siang hari) pada responden
c. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden sebelum intervensi merendam
kaki dengan air hangat
d. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden setelah intervensi merendam
kaki dengan ai hangat
e. Mengidentifikasi perbedaan rerata skor responden sebelum dan sesudah
intervensi merendam kaki dengan air hangat
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pelayanan Keperawatan
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan lansia dan dapat menjadi landasan dalam melakukan intervensi
guna meningkatkan kualitas tidur pasien
b. Menjadi aspek penting bagi perawat dalam memberikan edukasi pada lansia
dengan menekankan pemenuhan kebutuhan tidur.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan
dalam hal pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia dengan intervensi nonfarmakologis.
3.
Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi acuan proses belajar dalam menerapkan ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan melalui proses pengumpulan data dan
informasi- informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, diteliti, dianalisis dan disusun
dalam sebuah karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat serta menambah
kekayaan intelektual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Definisi Lanjut Usia
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran kemampuankemampuan kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu,
ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru. Kemunduran lain yang
dialami adalah kemunduran fisik antara lain kulit mulai mengendur, timbul
keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan
berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam, dkk, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas
(Nugroho, 2009). Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia
kronologis atau biologis menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu
antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun,
lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu
> dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawata, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat
menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia
(Maryam, dkk, 2008).
Usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi lima (Maryam, dkk, 2008)
yaitu:
a. Pralansia (Presinilis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial adalahlansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis menyimpilkan bahwa
seseorang di katakan lanjur usia adalah seseorang yang mencapi usia lebih dari 60
tahun dan dikatakan potensial apabila masih produktif yang mampu memmenuhi
kebutuhannya sendiri dan tidak potensial apabila tidak produktif yang bergantung
kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan lanjut usia sebesar 18,96
juta jiwa dan meningkat menjadi 20,54 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah ini
termasuk terbesar ke empat setelah Amerika, India, dan Tiongkok (BPS, 2012).
Seperti diketahui, Indonesia sekarang berada dalam transisi demografi,
presentasi lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan
datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat atau populasi
muda (1979) menjadi populasi yang lebih tua pada tahun 2020. Pergeseran
ini menurut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain perlu
perhatian lebih dan prioritas untuk penyakit- penyakit pada usia dewasa dan
lansia (Darmojo, 2009).
2. Teori Menua
Proses menua terjadi akibat hilangnya sel- sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan selsel tubuh telah terpakai (Maryam, dkk, 2008).
5) Teori Rantai Silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbihidrat dan asam nukleat. Reaksi kimia ini menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi (Nugroho, 2008).
b. Teori Psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian
individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi
karekteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat
menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilainilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada
lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses dan merespon stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada
(Maryam, dkk, 2008).
c. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara
berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan
kepercayaan orang dan lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi
antara nilai- nilai dan pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).
3. Aspek Fisiologik dan Patologik
Dengan makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya
penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ- organnya makin besar
(Darmojo, 2009). Proses ini menyebabkan perubahan- perubahan pada lansia
diantaranya adalah:
a. Perubahan Sistem Panca- indra
napas atas dapat terjadi, hal ini dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea
(OSA). Disamping itu, terjadi penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik
lain yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada
saluran napas (Darmojo, 2009).
e. Perubahan Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun begitu pula menurunnya aktivitas
tyroid, menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR) juga menurunnya pertukaran
zat dan produksi aldosteron, esterogen dan testosteron. Kematian sel
merupakan hal yang mendominasi pada perubahan sistem endokrin secara
fisiologis, karena kematian sel inilah perubahan sistem endokrin pada lansia
ditemukan bahwa hampir semua produksi hormon berkurang. Salah satu conto
penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi noreepinephrine dan
serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah
yang mengakibatkan gangguan tidur (Darmojo, 2009).
f. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga
menyebabkan pergerakan pinggang, lutut dan jari- jari terbatas, beggitupun
dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan
pergerakan yang lambat, otot- otot dapat mudah menjadi kram dan tremor,
sehingga sering dijumpai sebagai gejala Restless Legs Syndrome (RLS), tetapi
pada otot polos tidak begitu terpengaruh. Dengan bertambahnya usia, proses
berpasangan penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat,
terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya hormon estrogen
(wanita), vitamin D (erutama mereka yang kurang terkena sinar matahari) dan
beberapa hormon lain, misalnya parathormon dan kalsitonin (Darmojo, 2009).
g. Perubahan Sistem Perkemihan
Terjadi perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan. Banyak
yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, eksresi dan reabsorbsi
oleh ginjal, hilangnya protein terus- menerus dari ginjal, penurunan kapasitas
kandung kemih, nokturia, peningkatan inkontinensia urgensi, dan stress pada
wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi
retensi urin dan sulit berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry,
2011).
h. Perubahan Sistem Imun
a. Periode Terjaga
Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya individu
terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat merasakan rileks pada
periode ini, dan pada akhirnya merasa mengantuk.
b. Periode Tidur NREM (75%)
Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur dalam. Tidur
NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot, penurunan pernapasan,
penurunan aktivitas otak. Selama periode tidur metabolisme meningkat
disertai dengan aliran darah terutama pada daerah otak (Wilson, 2008).
Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat kedalaman tidur
setiap masing- masing tahapnya dengan karakteristik yang berbeda- beda.
Tahap- tahap periode tidur NREM adalah sebagai berikut:
1) Tahap 1 (5% NREM)
Ditandai dengan mata mulai menutup, perasaan lebih rileks, pikiran
hilang timbul dan merasa seperti melayang, pada tahap ini seseorang
mudah dibangunkan. Tahap ini disebut juga tidur ringan yang ditandai
dengan penurunan aktivitas fisik, tanda- tanda vital dan metabolisme
(Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008)
2) Tahap 2 (45% NREM)
Tahap 2 merupakan periode tidur bersama, adanya peningkatan
relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta masih mudah untuk
dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10- 20 menit (Potter & Perry,
2011; Wilson, 2008).
3) Tahap 3 (12% NREM)
Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan berlangsung
sekitar 15- 30 menit. Kondisi otot pada tahap ini dalam keadaan santai
penuh, tanda vital menurun tetapi tetap teratur. Niasanya pada tahap
ini orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak (Potter & Perry,
2011).
4) Tahap 4 (13% NREM)
Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat sulit
dibangunkan disertai penurunan tanda- tanda vital, berlangsung sekitar
15- 30 menit. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi pada
tahap ini (Potter & Perry, 2011).
c. Periode Tidur Rapid Eye Movement (REM)
Tidur REM umumnya terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur bersama
siklus tidur NREM yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat.
Kelopak mata tertutup, pernapasan lebih cepat, tidak teratur dan dangkal,
denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Tahap ini juga ditandai
dengan penurunan tonus otot dan peningkatan sekresi lambung. Tidur
REM merupakan 20- 25% dari siklus tidur (Potter & Perry, 2011).
Bagian 2. 1 Siklus tidur orang dewasa normal
NREM Tahap 2
NREM Tahap 3
Tidur REM
Pra tidur
NREM
Tahap 1
NREM
Tahap 2
NREM
Tahap 3
NREM
Tahap 4
5. Fungsi Tidur
Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk periode
terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses mempertahankan fungsi
fisiologis normal. Penggunaan energi sehari- hari perlu diganti dengan periode
istirahat pada waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).
Dalam silkus tidur dikenal tahan REM, tahap ini sangat penting untuk
jaringan otak dan memelihara fungsi ognitif. Tidur REM menyebabkan
perubahan aliran darah ke otak, peningkatan aktivitas korteks, peningkatan
konsumsi oksigen dan pengeluaran ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi
untuk mempertahankan fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan
regulasi hormon. (Potter & Perry, 2011).
6. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mempertahankan tahap tidur REM dan NREM yang
tepat. Tidur yang berkualitas merupakan suatu keadaan tidur yang dijalani
seorang individu dan menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun.
Kualitas tidur mencakup aspek kuantitas dari tidur seperti kepuasan tidur dan
gangguan tidur (Khasanah, 2012).
Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan beberapa
kuisioner. Ada tiga contoh instrumen untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur
antara lain Stanford Sleep Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The
Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk
mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS
lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu.
Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana kuisioner tersebut
mempunyai enam komponen, yaitu: gejala di siang hari, kebugaran setelah tidur,
masalah saat memulai tidur, mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur,
dan kepuasan terhadap tidur. Sedangkan Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur, durasi tidur, efisiensi
tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat tidur, gangguan saat sian hari
dan kualitas tidur subjektif (Buysee, 1989; Smyth, 2012).
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah:
a. Usia
Penuaan menyebabkan perubahan yang dapat mempengaruhi pola tidur.
Pada usia lanjut proporsi waktu yang dihabiskan dalam tidur tahap 3 dan
tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di tidur ringan tahap 1
meningkat dan tidur menjadi kurang efisien. Bertambahnya usia juga
berhubungan dengan penurunan kualitas tidur malam, misalnya sekitar
30% individu mengalami insomnia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan irama sirkadian yang mengatur siklus tidur dan menyebabkan
gangguan siklus tidur dan terjaga (Juddith, Julie & Elizabeth, 2010;
Potter & Perry, 2011).
b. Penyakit fisik
Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang diderita,
diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus,
hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri,
ketidaknyamanan fisik atau masalah tidur. Penyakit juga memaksa
seseorang untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti memperoleh
posisi tertentu agar mencegah komplikasi atau dalam rangka imobolisasi
(Potter & Perry, 2011).
c. Obat- obatan dan Zat Tertentu
Beberapa obat- obatan dapat menimbulkan efek samping terhadap
penurunan tidur REM. Hipnotik dapat menggangu tahap III dan IV tidur
NREM, betablocek dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk,
sedangkan narkotik (misalnya: meperidin hidriklorida dan morfin)
diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan seringnya terjaga
di malam hari (Potter & Perry, 2011).
d. Gaya Hidup
Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat
kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang menyebabkan periode
tidur REM lebih pendek. Gaya hidup seseorang yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, alkohol,
dan penggunaan obat- obatan juga dapat menyebabkan masalah tidur.
Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi pola tidur adalah akibat
bekerja berat, aktivitas sosial yang larut serta perubuhan pola makan
waktu malam hari (Poteer & Perry, 2011).
e. Stress Emosional
Ansietas dan depresi sering kali menganggu tidur seseorang. Kondisi
ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi
sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus
tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
Stress emosional membuat seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan
seseorang mencoba terlalu keras untuk tidur, sering terbangun selama
siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stress yang berlanjut dapat
menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk. Pensiun, gangguan fisik,
kematian orang yang dicintai dan kehilangan keamanan ekonomi
merupakan contoh situasi yang membuat seseorang untuk cemas dan
depresi (Hardy, 2008; Potter & Perry, 2011).
f. Lingkungan
Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada kemampuan
untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu tidurnya. Ventilasi yang
baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang. Ukuran, kekerasan
dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas tidur. Selain itu,
cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur.
Seseorang ada yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan,
remang- remang atau tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin dapat
menyebabkan seseorang mengalami kegelisahan (Potter & Perry, 2011).
g. Asupan Makanan dan Kalori
Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan. Makan
dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga
menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur.
Penggunaan bahan- bahan yang mengandung kafein, nikotin, alkohol
dan xanthine dapat merangsang sistem saraf pusat sehinga berdampak
pada perubahan pola tidur (Potter & Perry, 2011).
7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia
Jumlah tidur total pada umumnya tidak berubah sesuai pertambahan
usia, akan tetapi kualitas tidur pada lansia kebanyakan berubah (Potter & Perry,
2011). Periode REM cenderung memendek dimana terdapat progresif pada tahap
tidur NREM 3 dan NREM 4, bahkan beberapa lansia hampir tidak memiliki
tahap tidur 4 atau disebut tidur dalam. Selama proses penuaan, pola tidur
mengalami perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada umumnya/
dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur, gangguan tidur pada dini
hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta waktu tidur lebih dalam menurun.
Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu tidur dalam
(delta sleep) yang pendek, justru leih panjang pada periode tidur stadium 1 dan 2.
Dari hasil dengan alat Polysomnographic ditemukan lansia mempunyai
penurunan yang signifikan dalam Rapid Eyes Movement (REM) dan Slow Wave
Sleep. Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang
mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap (Darmojo,
2009).
Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam pengeluaran
hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Pada usia lanjut
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Hormon melatonin yang dieksresiksan pada malam hari dan
berhubungan dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).
8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia
Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan
tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Darmojo (2009)
menyatakan bahwa ada 3 gangguan tidur yang digolongkan sebagai gangguan
tidur primer, yakni terdiri atas;
a. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered Breathing).
Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan mengantuk
hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3, yaitu; Upper
Airway Resistance Syndrome (UARS), Obstructive Sleep Apnea (OSA),
Obstructive Hypoventilation Syndrome (OHS). Jenis yang paling banyak
ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi karena oklusi
sebagian atau total saluran napas bagian atas. Hal ini disertai dengan
penurunan tonus otot pernpasan dan jaringan pada cavum oral selama tidur.
b. Sindrom kaki kurang tenang atau Restless Legs Syndrome (RLS) dan
gangguan gerakan tungkai secara periodik atau Periodic Limb Movement
Disorder (PLMD). Restless Legs Syndrome (RLS) ditandai dengan rasa tidak
enak pada kaki yang berlebihan selama malam saat penderita istirahat.
Penderita juga merasa seperti dirayapi semut atau hewan kecil sehingga
menyebabkan penderita menggerakan kakinya, atau berjalan guna
menghilangkan rasa tidak enak tersebut. Sedangkan gangguan tungkai yang
Jenis terapi ini adalah dengan melakukan perendaman bagian tubuh tertentu
di dalam bak atau kolam yang berisi air bersuhu tinggi selama minimal 10
menit.
b. Pusaran Air (Whirlpool)
Terapi ini menggunakan berbagai alat jet atau juga nozzle yang dapat
menambah tekanan pada pompa. Alat ini dirancang khusus dengan tekanan
dan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan.
c. Pancuran Air
Terapi ini menggunakan pancuran air dengan tekanan dan suhu tertentu yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
d. Terapi Air Panas dan Dingin (Contrast Bath)
Terapi ini menggunakan dua jenis air yang temperaturnya berbeda, yakni
panas dan dingin dan dilkukan secara bergantian.
Diantara jenis- jenis hydrotherapy di atas, perendaman menggunakan
air hangat sangat efektif sebagai upaya untuk peningkatan kualitas tidur
(Ebben dan Spielman, 2006). Teknik yang digunakan dapat berupa
perendaman kaki dalam sebuah bak yang berisi air hangat.
3. Merendam Kaki dengan Air Hangat
Merendam kaki dengan air hangat merupakan pemberian aplikasi panas
pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun kronis. Terapi ini efektif
untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot walaupun
dapat juga dipergunakan untuk mengatasi masalah hormonal dan kelancaran
peredaran darah. Pengobatan tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung
kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan.
Ada banyak titik akupuntur ditelapak kaki. Enam meridian (hati, empedu,
kandung kemih, ginjal, limpa, dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Panas pada
fisioterapi dipergunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan
melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi
pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi
kekuatan otot (Intan A, 2010).
Beberapa negara maju menerapkan terapi stimulus control dengan
menggunakan air hangat sudah banyak dilakukan. Menurut Vinencenz Priesnisz
dan Pastor Sebastian Kneipp (2005), merendam kaki dengan air hangat yang
bertemperatur 37- 39oC bermanfaat dalam menurunkan kontraksi otot sehingga
menimbulkan perasaan rileks yang bisa mengobati kurang tidur dan infeksi.
Pelatihan tersebut dilakukan dalam 2 kali seminggu selama 2 bulan, dan masingmasing sesi berlansung 60 menit. Setelah diberikan intervensi, pasien mengisi 3
kuisioner yang terdiri dari: Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ),
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS). Setelah
program hydrotherapy, pasien mengalami peningkatan aspek- aspek yan dinilai
dengan mengunakan Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ) yakni; fungsi
fisik, ketidakhadiran kerja, kemampuan untuk melakukan pekerjaan, intensitas
nyeri, kelelahan, kelelahan di pagi hari, kekakuan (P<0,0001), kecemasan (P=
0,0013), dan depresi (P<0,0001). Kualitas tidur (P<0,0001) dan kantuk di siang
hari (P=0,0003) juga meningkat. Kesimpulannya hydrotherapy meningkatkan
kualitas tidur, fungsi fisik, status profesional, gangguan psikolois dan gejala fisik
pada pasien dengan fibromyalgia.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Ebben & Spielman (2006) dengan judul The
Effect of Distal Limb Warming on Sleep Latency pada 11 responden. Dalam
penelitian ini responden diberikan intervensi berupa perendaman kaki dan tangan
dengan suhu 42oC selama 5 menit sebelum responden jatuh tertidur. Hasil
penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam latensi tidur (p>0,05) antara
kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah beberapa uji latensi
tidur dilakukan.
E. Kerangka Teori
Lanjut Usia
Perubahan pada
Suprachiasmatic Nucleus
Penurunan sekresi
melatonin
Usia
Penyakit fisik
Obat- obatan & Zat
tertentu
Gaya hidup
Stress emosional
Lingkungan
Asupan makanan &
kalori
Diet dan
terapi nutrisi
Terganggunya irama
sirkadian
Gangguan Tidur
Kualitas tidur buruk
Farmakologis
Terapi
Non-
Hydrotherapy (Merendam
Kaki dengan Air Hangat)
Meditasi
Akupuntur &
Akepresur
Relaksasi Progresif
Relaksasi Meningkat
Bagian 2.2 Kerangka teori: modifikasi dari teori Darmojo (2009), Handoyo (2014), Hidayat (2008),
Juddith, dkk (2010), Maryam, dkk (2008), Potter & Perrt (2011), Stanley & Bare (2007), Sudoyo
(2006).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifiksi sebagai masalah
yang penting (Sugiyono, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini akan
menjelaskan hubungan antar variabel yang akan diteliti yaitu hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Variabel bebas (independen) yang
ingin diketahui yakni penaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas
tidur lansia, sedangkan variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu skor
tidur lansia. Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Intervensi
Post Intervensi
Merendam kaki
dengan air hangat
Kualitas Tidur
= Variabel terikat
= Variabel bebas
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur suatu
variabel, sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin menggunakan
variabel yang berbeda (Setiadi, 2007). Adapun definisi operasional setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai beriku:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
N
o
1
Variabel
Merendam
Definisi Operasional
Terapi non-
Cara Ukur
Alat Ukur
Menggunakan
Lembar observasi
lembar observasi
hangat
memberikan
komponen
rangsangan hangat
prosedur
oleh responden
tindakan, tanggal
atau keluarga
perlakuan,
dapat menimbulkan
dengan sejujur-
keterangan
jujurnya.
tindakan, dan
paraf responden.
Kualitas tidur
Perlakuan dikatakan
Skala Ukur
Nominal
berhasil jika:
1. Responden
melakukan dengan
baik dan benar
sesuai prosedur
yang diberikan
peneliti
2. Responden
melakukan
perlakuan selama 5
Hasil Ukur
Pittburgh Sleep
Hasil pengukuran
Quality Index
dinyatakan dengan
(PSQI) yang di
skor 0- 21 yang
komponen
Interval
pertanyaan
buat oleh D. J.
masalah dengan
mengenai;
Buyse, Reynolds,
dari penjumlahan 7
tidurnya dan
kualitas tidur
Monk, Berman
komponen, semakin
durasinya cukup
secara subjektif,
dan Kupfer
waktu mulainya
tidur, lamanya
diterjemahkan
kualitas tidurnya.
tidur, gangguan
kedalam bahasa
Kesimpulannya
tidur, kebiasaan
indonesia.
penggunaan obat-
obatan dan
tidurnya baik, 5
aktivitas yang
kualitas tidurnya
dapat mengangu
buruk.
tidur serta
aktivitas seharihari terkait
dengan tidur.
Skor setiap
komponen adalah
0- 3.
D. Metode Penelitian
a. Desain Penelitian
E.
Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dengan desain quasi
eksperimen. Rancangan penelitian ini adalah one group pre test and post test
merupakan rancangan penelitian yang mengungkapkan hubungan sebab akibat
yang mengunakan satu kelompok subjek dengan cara melakukan pengukuran
sebelum dan setelah perlakuan. Perbedaan kedua hasil pengukuran dianggap
sebagai efek perlakuan. (Nursalam, 2008). Penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur
lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
F.
Penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok sampel tanpa
menggunakan kelompok kontrol. Kelompok sampel diberi tes awal (pre test) lalu
diberikan perlakuan selama lima hari secara berturut- turut dan kemudian diberikan
tes akhir (post test). Pre test dan post test dilekukan dengan menggunakan
Pittsburgh Sleep Quality Index yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia.
G.
H. Bagan 4. 1 Desain Penelitian
I. (K)
J.
I
O
K. Keterangan
L.
OI
K : Subjek (Lansia)
sisanya mengatakan sering terbangun 4-6 kali pada waktu tidur malam, dan
sulit tertidur kembali.
R.
2. Waktu Penelitian
S.
Penelitian ini telah dilakukan berkisar pada bulan April sampai
Mei tahun 2016.
T.
c. Populasi dan Sampel
1. Populasi
U.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Hidayat, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
lansia yang berumur 60 tahun dan mengalami gangguan tidur di 52
kawasan Di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis dengan
jumlah 67 orang.
V.
2. Sampel
W.
dimiliki oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi
yang diteliti (Hidayat, 2009). Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan
sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008). Sampel dalam
penelitian ini adalah lansia yang berumur 60 tahun yang tinggal di Desa
Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis. Agar sampel yang
digunakan match, peneliti menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi adalah batasan ciri atau karakter umum pada subyek penelitian,
dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria eksklusi (Saryono, 2011).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lanjut usia yang berusia 60 tahun dan tinggal di Desa Cintaratu
Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
2. Dapat melihat dan mendengar dengan baik.
3. Lansia yang sehat secara mental (Geriatric Depression Scale 8).
4. Tidak memiliki ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(hasil kuesioner Index Katz 2) dan bersedia untuk berpartisipasi dalam
penelitian.
X.
Y.
hasil
AL. lebih baik sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Instrumen
dalam
AM. penelitin ini yaitu lembar kuisioner atau angket yang terdiri dari data
personal
AN. dan PSQI. Kuesioner PSQI digunakan untuk mengukur kualitas tidur
yang
AO. terdiri dari 7 komponen yang menggambarkan tentang kualitas tidur
secara
AP. subjektif, waktu mulainya tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur,
gangguan
AQ. tidur, kebiasaan penggunaan obat-obatan dan aktivitas yang dapat
AR.
Nomor
AS. pertanyaan masing-masing komponen dapat dilihat dalam tabel 4.1.
AT.
AU. Tabel 4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI
AV.
Nome
AW.
Komponen
r
AY.
BB.
BE.
BH.
BK.
BN.
BQ.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
AZ.
BC.
BF.
BI.
BL.
BO.
Subjektifitas
Latensi Tidur
Lamanya Tidur
Efisiensi Tidur
Gangguan Tidur
Penggunaan obat untuk
7.
Tidur
BR. Disfungsi disiang hari
AX.
Nomor
Pertanyaan
BA. 9
BD. 2,5a
BG. 4
BJ.
1,3,4
BM. 5b-5j
BP.
6
BS.
7,8
BT.
BU.
alamat.
BV. Sedangkan Kuesioner PSQI terdiri dari 4 pertanyaan terbuka dan
14
BW. pertanyaan yang menggunakan skala Likert. Kuesioner ini hanya
bisa
BX.
membedakan kualitas tidur yang buruk atau baik, bila skor total <5
dikatakan
BY. kualitas tidurnya baik, sedangkan jika skor total 5 dikatakan kualitas
tidur buruk (Buysse, 1989). Namun pada penelitian ini, peneliti hanya
BZ. mengidentifikasi penurunan skor PSQI dan tidak mengkategorikan
kualitas
CA. tidur, dikarenakan hasil dari post testtidak mencapai penurunan skor
sampai skor < 5.
CB. Kuesioner PSQI dibuat oleh D. J Buysse, Reynolds, Monk,
Berman
CC. dan Kupfer (1989) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia
CD. untuk mempermudah responden dalam mengisi kuesioner. Peneliti
sudah
CE. meminta izin kepada D. J Buysse untuk menggunakan PSQI dan
telah
CF. diizinkan. Namun akhirnya peneliti menggunakan kuesioner PSQI
dari dr.
CG.
dan
CH.
dikatakan valid
DT.
jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu
DU.
yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Dalam hal ini,
beberapa item
DV.
pertanyaan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel
yang diukur
DW.
tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi
antara masing-masing skor item pertanyaan dari setiap variabel dengan
total skor variabel tersebut (Hidayat, 2009).
DX. Pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat hasil
perhitungan r. Apabila r > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid,
DY.
sedangkan apabila r < r tabel, maka pertanyaan tidak valid. Uji
validitas
DZ.
ini juga bisa dilakukan dengan pengujian validitas
konstruksi dengan
EA.
analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan skor item
instrumen dalam
EB.
suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor
total. Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya 0.3 ke atas
maka faktor tersebut merupakan konstruksi yang kuat. (Sugiyono, 2010).
EC.
2. Uji Reliabilitas
ED. Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh
mana
EE.
ini berarti
EF.
menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten bila
EG.
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama
EH.
dengan menggunakan alat ukur yang sama. Pengukuran
reliabilitas
EI.menggunakan bantuan software computer dengan rumus Alpha
Cronbach.
EJ.Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha
Cronbach > 0,60 (Hidayat, 2009).
EK.
f. Langkah- langkah Pengumpulan Data
1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, peneliti mengajukan
EL.
pembuatan surat permohonan izin penelitian ke Dekan
STIKes Bina Putera Banjar.
EM. 2. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin penelitian kepada
Kepala Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis.
EN. 3. Setelah surat permohonan izin penelitian disetujui oleh Kepala
EO.
Desa Cintaratu, peneliti menentukan jumlah sample dengan
teknik purposive sampling yaitu seleksi sesuai kriteria inklusi dan
EP.
telah
EQ.
calon
ER.
mereka
ES.
menandatanganinya.
ET. 5. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan,
responden
EU.
terapi/perlakuan
EV.
dan cara pengisian kuisioner serta responden dianjurkan
bertanya
EW.
apabila ada pertanyaan ataupun pernyataan yang kurang jelas.
EX. 6. Proses pengumpulan data berlangsung selama 7 hari, dimana
hari
EY.
pertama
EZ.
dengan hari
FA.
hangat secara
FB.
berturut-turut selama lima kali (hari), selanjutnya hari ketujuh
adalah pengumpulan data dimana responden mengisi kuesioner yang
sama
FC.
untuk mengetahui hasil setelah perlakuan (post test).
FD. 7. Pada hari pertama penelitian, responden diberikan penjelasan
mengenai
FE.
rekan tenaga
FF.perawat puskesmas yang telah melakukan diskusi dan penyamaan
FG.
persepsi prosedur dengan peneliti untuk menilai prosedur
yang
FH.
disiapkan
FI. peneliti.
FJ. 8. Hari kedua sampai keenam, peneliti meminta asisten untuk
mengamati
FK.
FL.
FM.
out.
FN. 9. Hari ketujuh peneliti dan asisten mendatangi responden dan
meminta
FO.
Index(post
FP.test).
FQ. 10. Waktu pengisian kuisioner selama kurang lebih 15 menit untuk
masing-masing respoden, sedangkan proses pengambilan data dilakukan
dalam
FR.
hari.
FS.
11. Responden diharapkan menjawab seluruh pertanyaan di dalam
FT.
kuisioner, setelah selesai lembar kuisoner dikembalikan
kepada
FU.
peneliti.
FV.
12. Kuisioner yang telah diisi selanjutnya diolah dan dianalisa oleh
peneliti.
FW.
FX.
FY.
FZ.
GA.
GB.
GC.
GD.
1. Panduan Pelaksana Penelitian
GE.
Responden diberikan kuesioner (pre test) dan
mengisi semua
GF. pertanyaan yang ada. Selanjutnya responden melakukan intervensi
GR.
HJ.
seperti adanya
HK.
satu kuesioner (PSQI) yang digunakan untuk mengukur
kualitas tidur.
HL.
Selanjutnya responden diberikan lembar persetujuan yang
berisi
HM.
diisi dan
HN.
ditandatangani responden.
HO.
h. Pengolahan Data
HP.
Pengolahan data perlu dilakukan untuk memberikan
kemudahan dalam analisis data dan menginterpretasikan hasil penelitian.
Untuk itu data diolah terlebih dahulu dengan tujuan mengubah data menjadi
informasi. Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan
software program statistik. Hidayat (2009) menyatakan bahwa proses
pengolahan data tersebut melalui langkah-langkah berikut:
1. Editing
HQ.
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali
kebenaran
HR.
data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan
pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang
dilakukan dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan,
relevansi, dan konsistensi jawaban. Kelengkapan data diperiksa dengan
cara memastikan bahwa jumlah kuesiner yang terkumpul sudah memenuhi
jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap
pertanyaan dalam kuisioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan
konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang
bertentangan dengan data lain.
2. Coding
HS.
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik
(angka)
HT.
data dari yang berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka untuk
memudahkan penginterpretasian hasil penelitian.
HU.
HV.
HW.
3. Entry Data
HX.
telah
HY.
IP.
hipotesis. Pada penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah metode
analisis karena lebih akurat dan objektif serta mudah dipahami dibandingkan
dengan metode plot dan histogram. Metode analisis yang dipilih adalah
uji Shapiro-Wilk karena jumlah responden < 50, yaitu 30 responden.
Distribusi data dinyatakan normal jika nilai kemaknaan (p) > 0, 05 (Saryono,
2011).
IQ.
1. Analisis Univariat
IR.
Analisis data univariat dilakukan terhadap tiap variabel
dari hasil
IS. penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
IT. distribusi frekuensi. Analisis univariat dalam penelitian ini
dilakukan
IU.
untuk mengetahui karakteristik lansia (usia, jenis kelamin),
dan
IV.mengetahui kualitas tidur sebelum dan sesudah terapi merendam
kaki dengan air hangat.
IW.
Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari
hasil
IX.
frekuensi,
IY.ukuran tendensi sentral atau grafik. Jika data mempunyai
distribusi
IZ.normal, maka mean dapat digunakan sebagai ukuran pemusatan
dan
JA.
distribusi tidak
JB.
normal maka sebaiknya menggunakan median sebagai ukuran
pemusatan dan minimum-maksimum sebagai ukuran penyebaran.
JC.
2. Analisis Bivariat
JD.
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan
untuk
JE.mengetahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh antara variabel
bebas
JF. dan variabel terikat. Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan
untuk
JG.
terhadap
JH.
dan post
JI. test. Analisis ini menggunakan 2 uji statistik, yaitu uji t berpasangan
dan
JJ. Uji Wilcoxon. Uji t berpasangan berfungsi untuk mengetahui
adakah
JK.
skor total
JL.kualitas tidur sebelum dan sesudah intervensi dengan tingkat
kemaknaan
JM.
95% (= 0,05). Sedangkan, uji Wilcoxon digunakan untuk
mengetahui
JN.
apakah terjadi pengaruh pada setiap komponen kualitas tidur
sebelum dan
JO.
sesudah perlakuan dengan melihat perbedaan reratanya dan
dikatakan berpengaruh jika nilai p lebih dari 0,05.
JP.
JQ.
JR.
JS.