Anda di halaman 1dari 45

PEN G ELO LA AN KO M O RBID ITAS

AN ESTESIRAW AT JALAN : SEBU AH


Susan Dabu-Bondoc & Kirk H Shelley;
U LASAN
Department of Anesthesiology, School of Medicine, Yale University,

New Haven, CT, USA

P EN D A H U LU A N
Setidaknya 50 juta prosedur rawat jalan telah

dilakukan setiap tahunnya, dan pada tahun


2013.
Sekitar 70% dari seluruh prosedur anestesi di

amerika serikat merupakan anestesi rawat jalan.


National Anesthesia Clinical Outcomes Registry

menunjukkan bahwa 57% dari seluruh prosedur


ini dilakukan di rumah sakit dibandingkan di
fasilitas swasta.

Bedah rawat jalan berkembang secara pesat di

seluruh dunia dan paling banyak dipraktekkan


dalam subspesialisasi anestesi di Amerika
serikat
Mempersiapkan Anestesi untuk operasi yang

lebih rumit dan durasi yang lama pada pasien


rawat jalan dengan penyakit dan lanjut usia
adalah tugas yang menantang untuk seorang
Anestesiologis

EVA LU A SI K EA M A N A N D A N R ISIKO
PA D A O P ER A SI R AW AT JA LA N
Sejumlah

penelitian
menunjukkan
bahwa
dengan
adanya
komorbiditas
(terutama
keadaan
jantung
dan
pernapasan),
meningkatkan risiko komplikasi perioperatif
setelah pembedahan rawat jalan.
American College of Surgeons National
Surgical Quality Improvement Program (NSQIP),
melaporkan bahwa kejadian morbiditas dan
mortalitas dalam 72 jam setelah pembedahan
rawat jalan pada orang dewasa adalah 0,1%
atau 1 dari 1.053 kasus

Indeks

massa tubuh yang tinggi (IMT;


overweight atau obesitas), Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), hipertensi (HTN),
riwayat transient ischemic attack (TIA) /
stroke, riwayat intervensi bedah jantung
sebelumnya, dan waktu operasi yang lama
diidentifikasi sebagai faktor risiko independen
yang
dapat
meningkatkan
morbiditas
perioperatif.
Morbiditas yang paling sering diidentifikasi
adalah intubasi post operatif yang tidak
direncanakan, pneumonia, dan gangguan pada
luka

Whipper

et al. baru baru ini


melaporkan bahwa operasi yang
berlangsung lebih dari 1 jam, dengan
ASA 3, usia lanjut (80 tahun atau
lebih), dan peningkatan IMT di
identifikasi sebagai prediktor rawat
opname
kembali
yang
tidak
direncanakan

Penelitian kohort prospektif di Denmark pada 57.709

prosedur pembedahan sehari yang dikumpulkan dari


delapan pusat pembedahan melaporkan tingkat rawat
opname kembali yang sangat rendah (1,21%).
Penyebab paling sering dari kunjungan kembali dalam

penelitian ini adalah perdarahan atau hematoma


(0,5%), infeksi (0,44%), dan kejadian tromboemboli
(0,3%).
Morbiditas

dilaporkan sangat jarang terjadi, dan


prosedur dengan tingkat komplikasi tertinggi adalah
tonsilektomi (11,4%), pembedahan dengan induksi
aborsi (3,3%), dan perbaikan hernia inguinalis (1,23%).

P EM ILIH A N PA SIEN D A LA M
O P ER A SI R AW AT JA LA N
Tahun 1970, ketika pembedahan rawat jalan

baru diperkenalkan hanya prosedur yang


sederhana
dan
pasien
sehat
yang
memenuhi
syarat
untuk
menjalani
pembedahan rawat jalan.
Saat ini, satu-satunya persyaratan untuk
dapat menjalani pembedahan rawat jalan
adalah kemampuan pasien untuk dapat
pulang dengan selamat pada hari yang
sama dengan hari operasi.

Sebuah survei dari Canadian anesthesiologists

menunjukkan bahwa lebih dari 75% dari


anestesiologis akan memberikan anestesi
untuk pasien rawat jalan ASA3, termasuk salah
satunya dengan gagal jantung kongestif stabil
(CHF), angina pectoris low-grade (AP),
penyakit jantung katup tanpa gejala, riwayat
infark miokard sebelumnya (MI) yang lebih
dari 6 bulan, atau pada sleep apnea tanpa
menggunakan narkotika.

Umur secara umum tidak ditetapkan sebagai

kriteria mayor dalam operasi sehari.


Pasien usia lanjut dapat menjalani operasi rawat
jalan tergantung dari pada kerumitan prosedur
dan optimalisasi kondisi komorbiditas pasien.
Pasien dengan klasifikasi ASA yang tinggi
namun dengan komorbiditas stabil dapat
dipertimbangkan untuk menjalani operasi sehari

P EN G ELO LA A N KO M O R B ID ITA S
PA D A PA SIEN A N ESTESI
R
AT JAdan
LA Noptimalisasi kondisi medis
AW
Mengenali
penyerta sebelum hari operasi sangat
penting
karena
memungkinkan
pelaksanaan langkah-langkah pencegahan
perioperatif yang meminimalkan efek
samping.
Pencegahan eksaserbasi penyakit kronis
paskaoperasi
sangatlah
penting
dan
membutuhkan keahlian untuk mencapai
hasil yang baik.

PEN YA K IT H IPERTEN SI D A N
K A R D IO VA SK U LER
Komorbiditas kardiovaskuler seperti

hipertensi, penyakit jantung iskemik


(IHD), aritmia, dan CHF adalah yang
paling umum di kalangan populasi
pasien operasi sehari.
CAD, penyakit katup (terutama katup
aorta), dan CHF dianggap sebagai
kasus paling menantang.

Meskipun angka kematian umum dari CAD (MI

akut) tetap signifikan, intervensi terapeutik awal


seperti angioplasti, trombolisis, aspirin, heparin,
dan terapi statin telah menyebabkan penurunan
tingkat kematian dari MI. Terapi reperfusi agresif
untuk pasien dengan IHD menurunkan angka
kematian tiga kali lipat menjadi 6,5%, dari tingkat
kematian 15% - 20%,
Oleh karena itu, pasien dengan IHD sekarang

memiliki risiko yang jauh lebih rendah mengalami


efek samping perioperatif setelah operasi
dibandingkan di masa lalu.

H IP ERTEN SI (H TN )
Tujuan evaluasi praoperasi pasien

Hipertensi :
1) Kontrol pengendalian tekanan darah

(TD)
2) Apakah pengobatan antihipertensinya
efektif
3) Terdapatnya kerusakan organ target.

Bila terdapat suatu kerusakan organ

target, HTN meningkatkan risiko dari

Pasien pembedahan rawat jalan harus terus

menggunakan -blocker dan calcium channel


blockers (CCBs), tetapi tidak dianjurkan untuk
menggunakan angiotensin converting enzyme
( ACE) inhibitor, pada hari operasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
memakai pengobatan jangka panjang, dengan
Penyekat ACE dan angiotensin receptor
blockers,
mengalami
hipotensi
yang
memerlukan pengobatan vasopressor yang
lebih
sering
setelah
induksi
anestesi,
dibandingkan mereka yang pada hari operasi
pengobatannya telah di tahan penggunaannya.

Selama

Anestesi,
tujuan
utama
yaitu
menghindari perubahan TD yang ekstrim, karena
pasien hipertensi biasanya menunjukkan respon
TD yang berlebihan terhadap obat Anestesi.
Laringoskopi langsung dan intubasi trakea juga
dapat menyebabkan peningkatan substansial
dari TD.
Paskaoperasi,
pemantauan
fungsi
organ
dilanjutkan, dan periode elevasi TD harus
diantisipasi.

Pasien

dengan HTN pulmonal (rata - rata


tekanan arteri pulmonalis >0,25 mmHg pada
saat istirahat atau >0,30 mmHg saat
berolahraga) harus terus mengkonsumsi semua
terapi vasodilator pulmonal jangka panjang di
selama periode perioperatif.
Pasien dengan HTN pulmonal mempunyai
peningkatan risiko gagal jantung kanan dan
kematian
mendadak
selama
periode
perioperatif.

PEN YA K IT A RTER I KO R O N ER ATAU PEN YA K IT


JA N TU N G ISK EM IK

Pasien bedah dengan CAD atau IHD (angina) memerlukan


optimalisasi
untuk
mendapatkan
hasil
yang
baik
paskaoperasi.
Hampir dua pertiga dari pasien mengalami infark miokard
perioperatif mempunyai gejala yaitu

1) nyeri angina onset baru,


2) perubahan pola angina mereka
3) nyeri angina yang lebih parah dari nyeri awal.

Dengan mengetahui kondisi yang dapat memperburuk atau

memperparah angina yang dinyatakan stabil, seperti


demam, infeksi, takikardi, anemia, gagal jantung,
tirotoksikosis, atau penggunaan kokain, sangat membantu
dalam mengidentifikasi pasien bedah dengan CAD yang
mungkin dapat mengalami eksaserbasi penyakit kronis
terdahulu.

Obat

yang saat ini digunakan dalam


pengobatan HTN pada pasien dengan AP
meliputi nitrat, -blocker, CCB, dan obat
antiplatelet (APD).
Berbagai obat CCB seperti amlodipine,
nicardipine,
felodipin,
isradipin,
dan
nifedipine kerja panjang merupakan
vasodilator kuat dan efektif dalam
mengobati HTN dan angina.

Diet dan terapi statin

digunakan
untuk menurunkan kolesterol lebih
dari 130 mg/dL.
Penggunaan
statin
untuk
menurunkan kolesterol, terutama
low-density
lipoprotein
(LDL)
dikaitkan dengan penurunan yang
signifikan dalam risiko kematian
akibat kejadian jantung.

Terapi antiplatelet (APD) penting dalam pengelolaan

IHD. Sindrom koroner akut adalah keadaan


hiperkoagulasi,
akibat
gangguan
pada
plak
ateromatosa yang memicu kaskade koagulasi, yang
menyebabkan
pembentukan
trombus
yang
menyumbat arteri koroner.
Saat ini, tiga kelas APD yang umum digunakan
dalam pengelolaan IHD: aspirin, Thienopyridines
(clopidogrel dan prasugrel), dan penyekat platelet
glikoprotein IIb / IIIa (eptifibatide, tirofiban, dan
abciximab).

Evaluasi

pra
operasi dikonsentrasikan
pada
perjalanan klinis, status fungsional pasien, dan
keterlibatan operasi.
Stabilitas angina pada pasien dengan IHD harus
dinilai (misalnya, perubahan frekuensi dan durasi
nyeri angina dari baseline mereka, tenaga atau
kapasitas latihan sebelum onset nyeri, obat untuk
menghilangkan rasa sakit, dan gejala terkait
lainnya).
Pada pasien yang memiliki MI baru, saat ini
diasumsikan harus menunggu setidaknya 30 hari
setelah MI sebelum operasi satu hari, dengan syarat
status fungsional pasien memadai dan gejala
angina telah diselesaikan.

Bukti mengenai teknik anestesi yang paling

menguntungkan
pada
pasien
jantung
sangatlah terbatas.
Yang jelas, Tujuan dari pengelolaan anestesi
yaitu menghindari hipotensi, bradikardia, dan
faktor-faktor yang meningkatkan konsumsi
oksigen miokard seperti hipertensi, takikardia,
nyeri, atau stres; mencegah hipoksia; dan
mempertahankan perfusi koroner.

PEN G ELO LA A N A K U T EK SA SER B A SI PEN YA K IT


J
TU N G
A N
Pada pasien yang dicurigai menderita iskemia
atau MI selama periode perioperatif, langkah
awal
pengelolaan
meliputi
pemberian
oksigen, evaluasi stabilitas hemodinamik,
dan mendapatkan EKG 12-lead.
Mengurangi Nyeri, dengan morfin IV dan/atau
nitrogliserin sublingual.
Pemberian -blocker untuk meringankan
nyeri dada iskemik, mengurangi ukuran
infark dan mencegah disritmia.

Aspirin

(clopidogrel
atau
prasugrel,
jika
kontraindikasi terhadap aspirin) diberikan untuk
mengurangi pembentukan trombus lebih lanjut
dalam arteri koroner.
Reperfusi dapat dilakukan dengan trombolisis
farmakologis atau angioplasty koroner, dengan atau
tanpa penempatan stent intrakoroner.
Bypass graft arteri koroner biasanya disiapkan untuk
pasien yang gagal dengan angioplasty dan mereka
dengan infark pada robekan septum ventrikel atau
regurgitasi mitral.

A N TIKO A G U LA SI D A N M A SA LA H
PER IO PER ATIF LA IN N YA PA D A PA SIEN
J
N TU N Gpeningkatan risiko perdarahan atau
ATerjadi
trombosis selama bulan pertama setelah
pemasangan stent koroner, oleh karena itu
disarankan menunda operasi sampai 30 hari
setelah pemasangan.
Dalam situasi di mana terapi clopidogrel perlu
dihentikan
sementara
karena
risiko
perdarahan, melanjutkan terapi aspirin sangat
dianjurkan untuk mengurangi kemungkinan
trombosis.

Mempertahankan terapi APD selama periode operasi

pada umumnya aman dalam banyak prosedur rawat


jalan dan harus dipertahankan dalam semua situasi di
mana risiko perdarahan sewaktu pembedahan rendah.
Menghentikan
antikoagulasi
menyebabkan
pasien
dengan katup jantung mekanik atau fibrilasi atrium
berisiko (~ 5% -8% risiko) mengalami tromboemboli
arteri
sebagai
akibat
dari
keadaan
Rebound
hiperkoagulasi dan efek prothrombotik selama operasi.
Pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi minor,
dimana kehilangan darah yang diperkirakan minimal,
antikoagulasi dapat dilanjutkan.
Operasi elektif harus dihindari bila mungkin pada bulan
pertama setelah episode akut tromboemboli arteri atau
vena.

Pemantauan

perioperatif
secara
berhati - hati adalah kunci untuk
penegakan yang cepat suatu iskemia
miokard dan/atau infark akibat
trombosis, hal ini diperlukan untuk
memulai triase yang cepat untuk
melakukan prosedur PCI sebagai
intervensi sumbatan koroner.

P EN YA K IT R ESP IR ATO R IK
Asma dan PPOK telah dibuktikan oleh

beberapa penelitian dikaitkan dengan


peningkatan komplikasi perioperatif.
Respon jalan napas tetap menjadi

perhatian utama dalam pengelolaan


perioperatif pasien dengan asma
bronkial dan PPOK.

Sampai

saat ini, strategi pengelolaan


optimasi perioperatif meliputi:

dan

1) kontrol yang memadai dari hiperaktivitas saluran


napas dan infeksi pernapasan,
2) penggunaan agresif agonis 2-adrenergik (atau
antagonis leukotrien) dan pemberian steroid sistemik
untuk pengobatan eksaserbasi,
3 ) berhenti merokok, dan
4) teknik anestesi berbasis bukti, termasuk
penggunaan oksigen selama dan paskaoperasi dan
penggunaan agen volatil selektif.

Pasien rawat jalan dengan PPOK harus dievaluasi

dengan teliti untuk menilai komponen reversible


penyakit. Penggunaan uji tes fungsi paru pre
operatif dengan dan tanpa bronkodilator banyak
digunakan pada PPOK berat untuk menentukan
reversibilitas obstruksi.
Sebuah penurunan tajam dari FEV1 (<0,75 dari
kapasitas
vital)
dijadikan
sebagai
prediktor
komplikasi pernapasan dan kematian.
Hiperkapnia dan hipoksemia gas darah arteri telah
terbukti berguna dalam memprediksi peningkatan
risiko perioperatif.
Bronkospasme, infeksi, sekresi, dan atelektasis
harus ditangani dengan bronkodilator, antibiotik,
dan terapi paru sebelum operasi.

Berhenti

merokok sangat disarankan


karena hal tersebut telah dibuktikan
menurunkan risiko komplikasi perioperatif.
Lindstrom et al memperlihatkan bahwa
intervensi merokok selama 4 minggu
sebelum operasi dapat menjadi alat yang
efektif dalam menurunkan komplikasi
postoperatif.

Terdapatnya hiperaktivitas bronkial, bronkospasme

signifikan yang disebabkan intervensi anestesi


masih menjadi perhatian utama di bidang anestesi.
Silvanus et al menunjukkan bahwa pengobatan
sebelum operasi dengan gabungan kortikosteroid
dan salbutamol jauh lebih efektif meminimalkan
bronkokonstriksi yang disebabkan intubasi
Penggunaan laryngeal mask airway untuk anestesi
umum menyebabkan stimulus laring yang lebih
rendah dibandingkan dengan intubasi trakea,
sehingga menurunkan risiko bronkospasme.

P EN YA K IT H ATI
Data

menunjukkan bahwa pasien lanjut usia


dengan sirosis yang akan menjalani operasi besar
mempuyai risiko kematian yang sangat tinggi
dalam 90 hari post operasi.
Teh et al menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti
skor MELD (model untuk penyakit hati stadium
akhir), usia, dan ASA dapat mengukur risiko
kematian pasca operasi pada pasien dengan
sirosis dan dapat dipakai sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan apakah prosedur bedah
elektif harus ditunda sampai setelah dilakukan
transplantasi hati.

G A N G G U A N G IN JA L
Mencegah

gagal ginjal akut pasca operasi merupakan


pertimbangan penting dalam manajemen perioperatif,
terutama pada orang lanjut usia dan orang-orang dengan
insufisiensi ginjal (RI) yang sudah ada sebelumnya, diabetes,
dan Hipertensi lama.
sebelas prediktor pra operasi kejadian AKI pasca operasi
yaitu, usia 56 tahun atau lebih, jenis kelamin laki-laki, HTN,
diabetes mellitus (DM) yang memerlukan terapi oral, DM
yang memerlukan terapi insulin, CHF aktif, ascites, pra
operasi RI ringan, pra operasi RI sedang, operasi darurat,
dan operasi intraperitoneal.
Dari kumpulan data ini, kemungkinan terjadinya komplikasi
AKI adalah 1%, tetapi meningkat menjadi 9% dengan adanya
faktor risiko yang tercantum di atas.

D IA B ETES M ELITU S
DM merupakan salah satu dari lima

penyebab utama kematian prematur


di seluruh dunia.
Prevalensi DM meningkat dengan
cepat, yaitu lebih dari 300 juta orang
menderita diabetes di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, DM adalah
penyebab kematian ketujuh pada
tahun 2010.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pasien

diabetes yang menjalani operasi besar, kardiak atau


nonkardiak,
mengalami
peningkatan
risiko
mortalitas dan morbiditas.
Walaupun begitu pasien dengan DM yang memiliki
satu atau lebih penyakit penyerta, bukan
merupakan kontraindikasi untuk operasi rawat jalan.
Konsensus manajemen glukosa darah perioperatif
yang diterbitkan oleh Society of Ambulatory
Anesthesia (SAMBA, USA), & National Health Service
(NHS) Diabetes, memberikan pedoman untuk
membantu meningkatkan perawatan perioperatif
pasien rawat jalan dengan diabetes.

Pedoman

NHS
dan
SAMBA
mengasumsikan bahwa dosis insulin
kerja
panjang
mungkin
perlu
diturunkan
pada
pasien
yang
mengalami
penurunan
yang
signifikan kadar glukosa dalam
semalam, mereka yang tidak makan,
atau mereka yang memakan cemilan
ditambah dengan makanan biasa.

Evaluasi pra operasi pasien DM meliputi

penilaian terhadap kadar glukosa darah


puasa dan optimalisasi pengobatan.
Fasilitas bedah rawat jalan harus memiliki
peralatan
yang
diperlukan
untuk
memantau kadar glukosa darah. Penilaian
berulang ulang kadar glukosa darah
paska operasi sangat penting dalam
mengurangi komplikasi infeksi.

O B ESITA S M O R B ID &
O B STR U C TIV E SLEEP A P N EA
(O
SA ) obesitas morbid (IMT >40 kg/m2)
Pasien
dengan optimasi komorbiditas dapat
dengan aman menjalani pembedahan
rawat jalan, tapi tidak bagi mereka yang
super obese (IMT >50 kg/m2).
Penelitian
sebelumnya
telah
mengidentifikasi
obesitas
dan
OSA
sebagai
faktor
risiko
terjadinya
komplikasi perioperatif.

Sekitar 60% -70% pasien obesitas memiliki

gangguan bernapas saat tidur seperti OSA dan


obesitas terkait sindrom hipoventilasi.
OSA merupakan gangguan dimana terjadi
episode kolaps saluran napas bagian atas baik
sebagian atau lengkap saat tidur.
Pasien yang terkena OSA lebih rentan terhadap
komplikasi perioperatif seperti HTN, disritmia,
desaturasi, obstruksi saluran napas, atau
reinubasi.

Sebagian besar pusat rawat jalan menerima

pasien yang diduga OSA tanpa pemeriksaan


polisomnografi sebelumnya.
Polisomnografi mempunyai sebuah indeks
apnea/hypopneic (AHI) yaitu angka yang
menunjukkan tingkat keparahan OSA: ringan
(AHI = 5-15), sedang (AHI = 16-30), atau
OSA berat (AHI >30).
Terdapat data yang mendukung bahwa
pasien OSA beresiko tinggi mengalami
komplikasi paska operasi yang parah, bahkan
fatal jika tidak dipantau dan dikelola.

Pasien dengan OSA yang menggunakan mesin CPAP dan

mampu menggunakan perangkat CPAP mereka pada


periode paska operasi dapat dipertimbangkan untuk
prosedur rawat jalan jika kondisi komorbid medis
penyerta mereka dioptimalkan.
Pasien
dengan
diagnosis
dicurigai
OSA
(yaitu,
berdasarkan alat skrining seperti STOP-BANG [kuesioner
mendengkur, kelelahan selama siang hari, mengamati
apnea, BP tinggi, BMI, usia, lingkar leher, jenis kelamin])
dapat dipertimbangkan untuk operasi rawat jalan jika
kondisi komorbiditas mereka dioptimalkan dan jika nyeri
pasca operasi dapat disediakan terutama menggunakan
teknik analgesik nonopioid. Pasien yang kemungkinan
membutuhkan opioid untuk nyeri setelah dipulangkan
harus mampu dan mau menggunakan CPAP paska
operasi.

RAN G KU M AN
Pasien rawat jalan yang sakit merupakan

suatu tantangan yang signifikan pada pusat


pembedahan rawat jalan.
Komorbiditas yang paling sering dijumpai yaitu
HTN, diabetes, CAD, disfungsi pulmonar (PPOK
dan OSA), dan obesitas.
Artikel ini mengulas beberapa tindak lanjut
evaluasi pra operasi, manajemen intraoperatif,
dan paska operasi yang mungkin diperlukan.

TH A N K YO U
TH A N K YO U
TH A N K YO U

Anda mungkin juga menyukai