Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

CA SINONASAL
I.

Konsep Dasar
A. Pengertian Tumor Ganas Sinonasal
Karsinoma sinonasal Pertumbuhan jaringan abnormal di sinus paranasal dan
jaringansekitar hidung. Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan
kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini
berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah
karsinoma selskuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002). Tumor rongga
hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang
menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung dan vestibulum nasi.
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Hidung
a. Embriologi hidung
Perkembangan

rongga

hidung

secara

embriologi

yang

mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,


embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang
berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian
berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate),
dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002).
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak
bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002).
b. Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung
(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007).
c. Anatomi hidung dalam
Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara

konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997).

Gambar Anatomi Hidung Dalam


1) Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007).

2) Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
a) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994).
b) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior. . (Ballenger JJ,1994).
c) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994).
d) Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah
atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan
konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka
superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid,
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994).

3) Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Ballenger JJ,1994).
4) Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya selsel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

5) Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007).
6) Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;
Hilger PA,1997).
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet (Sobol SE, 2007).
7) Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media (Nizar NW, 2000).
2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena
terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4)
fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

C. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa
zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat

kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan
yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya
buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Roezin, 2007;
Myers, 1989; DErrico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo, Gilardi, 2009).
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti
beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas
sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor
ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih
sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap
thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007;
Myers, 1989; Dhingra, 2007).

D. Patofisiologi
Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis
histologis yang paling umum adalah karsinima sel skuamosa, mewakili sekitar 80%
kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda
yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor
tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10% muncul
dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang. Limfadenopati servikal
teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan
drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal
dalam bawah. Sebagai akibat nya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di
bagian leher manapun.

E. Manifestasi Klinis
Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan gejala
yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak dijumpai rasa
nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat encer, serosanguinosa atau
purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau paralisis saraf-saraf otak. Nyeri
apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau bila pasien berbaring. Mungkin pula
gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi.
Dapat terjadi pembengkakan wajah sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah
kantus medius, penonjolan daerah pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole,
tepi alveolar atau lipatan mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien
sering asimtomatik sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki
stadium lanjut (Bailey, 2006; Ballenger, 1994).
Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula
terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat
terdorong ke berbagai arah dengan akibat timbulnya proptosis dan enoftalmus.
Penonjolan di belakang tepi infraorbital atau tepi supraorbital dapat teraba. Sumbatan
saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang mengganggu dan ini
merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah pterigoid. Perluasan ke arah
nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba Eustachius, seperti nyeri telinga,
tinnitus dan gangguan pendengaran (Ballenger, 1994).
Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada
dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1%
hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%.
Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis

setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini berkurang hingga 11% pada pasien
yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah
perluasannya.
Gejala hidung:
1. Buntu hidung unilateral dan progresif.
2. Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
3. Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
4. Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan
keganasan.
5. Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,
sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor
ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
1. Pembengkakan pipi
2. Pembengkakan palatum durum
3. Geraham atas goyah, maloklusi gigi
4. Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

F. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan
parluasan tumor kecuali pada tumor tulang seprti osteoma. Tetapi foto polos teetap
berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat
unilateral, harus dicurigai keganansan dan buatlah tomogram atau CT scan. CT scan
merupakan sarana terbaik karenalebihjelas memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi
tulang. MRI atau magnetic resonance imaging dapat membedakan jaringan tumor dari

jaringan normaltetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.Foho


polos paru diperlukan untuk melihat adanya metastase tumor di paru.

G. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
a. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada
pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi
sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).
b. Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative
excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi
cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk
membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan
tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5
tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).
Dengan

kemajuan-kemajuan

terbaru

dalam

preoperative

imaging,

intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material


untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,
2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).

2. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti
flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

3. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau
sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak
menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit
dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan
penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

4. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,
penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis
tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang
menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan
operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi
(Bailey, 2006).

II.

Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan dan pengkajian fisik
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, keganasan dan stadium penyakit antara
lain:
Gejala hidung:
-

Buntu hidung unilateral dan progresif

Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.

Sekret yang bercampur darah atau adanya apistaksis menunjukkan


kemungkinan keganasan.

Rasa nyeri di sekitar hidung dapat di akibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,
sedangkan rasa nyeri yang terus-menerus dan progresif pada umumnya akibat
infiltrasi tumor ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor antara lain:
-

Pembengkakan pipi

Pembengkakan platum durum

Geraham atas goyah, maloklusi gigi

Gangguan mata bila tumor mendesak orbita

Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:


-

Penurunan berat badan lebih dari 10%

Kelelahan/malaise umum

Nafsu makan berkurang (anoreksia)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


-

Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, graham dan platum: didapatkan


pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor.

Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher.

b. Pengkajian diagnostic
-

Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung.

Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring.

Foto sinar X:

WATER (untuk melihat perluasan tumor di daalam sinus maksilaris


dan sinus frontal).

Tengkorang

lateral

(untuk

melihat

ekstensi

ke

fosa

kranii

anterior/medial).

RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita).

CT scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia).

Biopsi:

Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak.


Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dengan pungsi melalui meatus
nasi inferior, bila perlu dapat dilakukan biopsi denganpendekatan
Calwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung
dilakukan oprasi. Untuk kecurigaan terdapat keganasan bila perlu
dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges tahun 2000:
1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosialekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian,
perpisahan dari keluarga.

2. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek
radioterapi/kemoterapi.
3. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik
akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.
5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi
radioterapi/kemoterapi

C. Intervensi
Menurut Doenges tahun 2000:
1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosialekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian,
perpisahan dari keluarga.

1.

INTERVENSI KEPERAWATAN
Orientasikan klien dan orang

RASIONAL
Informasi yang tepat tentang situasi yang

terdekat terhadap prosedur rutin dan

dihadapi klien dapat menurunkan

aktivitas yang diharapkan.

kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan


sekitar dan membantu klien mengantisipasi
dan menerima situasi yang terjadi.

2.

Eksplorasi kecemasan klien dan


berikan umpan balik.

Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat


masalah kecemasan dan menawarkan solusi
yang dapat dilakukan klien.

3.

Tekankan bahwa kecemasan adalah Menunjukkan bahwa kecemasan adalah


masalah yang lazim dialami oleh

wajar dan tidak hanya dialami oleh klien

banyak orang dalam situasi klien saat satu-satunya dengan harapan klien dapat
ini.

4.

Ijinkan klien ditemani keluarga

memahami dan menerima keadaanya.

Memobilisasi sistem pendukung, mencegah

(significant others) selama fase

perasaan terisolasi dan menurunkan

kecemasan dan pertahankan

kecemsan.

ketenangan lingkungan.

5.

Kolaborasi pemberian obat sedatif. Menurunkan kecemasan, memudahkan


istirahat.

6.

Pantau dan catat respon verbal dan Menilai perkembangan masalah klien.
non verbal klien yang menunjukan
kecemasan.

2. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek
radioterapi/kemoterapi.

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1. Diskusikan dengan klien dan keluarga Membantu klien dan keluarga memahami
pengaruh diagnosis dan terapi terhadap masalah yang dihadapinya sebagai langkah
kehidupan pribadi klien dan aktiviats

awal proses pemecahan masalah.

kerja.
2. Jelaskan efek samping dari
Efek

terapi

yang

diantisipasi

lebih

pembedahan, radiasi dan kemoterapi


memudahkan proses adaptasi klien terhadap
yang perlu diantisipasi klien
masalah yang mungkin timbul.
3. Diskusikan tentang upaya pemecahan
Perubahan status kesehatan yang membawa
masalah perubahan peran klien dalam
perubahan status sosial-ekonomi-fungsikeluarga dan masyarakat berkaitan
peran merupakan masalah yang sering terjadi
dengan penyakitnya.
pada klien keganasan.
4. Terima kesulitan adaptasi klien
Menginformasikan alternatif konseling
terhadap masalah yang dihadapinya
profesional yang mungkin dapat ditempuh
dan informasikan kemungkinan
dalam penyelesaian masalah klien
perlunya konseling psikologis
5. Evaluasi support sistem yang dapat
membantu klien (keluarga, kerabat,
organisasi sosial, tokoh spiritual)

Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung


yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam
meringankan masalah klien.

6. Evaluasi gejala keputusasaan, tidak

berdaya, penolakan terapi dan


Menilai perkembangan masalah klien.
perasaan tidak berharga yang
menunjukkan gangguan harga diri
klien.

3. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

1.

INTERVENSI KEPERAWATAN
Lakukan tindakan kenyamanan

RASIONAL
Meningkatkan relaksasi dan

dasar (reposisi, masase punggung) dan

mengalihkan fokus perhatian klien dari

pertahankan aktivitas hiburan (koran,

nyeri.

radio)
2.

3.

Ajarkan kepada klien manajemen

Meningkatkan partisipasi klien secara

penatalaksanaan nyeri (teknik relaksasi,

aktif dalam pemecahan masalah dan

napas dalam, visualisasi, bimbingan

meningkatkan rasa kontrol diri/keman-

imajinasi)

dirian.

Berikan analgetik sesuai program

Analgetik mengurangi respon nyeri.

terapi.
4.

Evaluasi keluhan nyeri (skala,


lokasi, frekuensi, durasi)

Menilai perkembangan masalah klien.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik
akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

INTERVENSI KEPERAWATAN
1.

RASIONAL
Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat

Dorong klien untuk meningkatkan


diperlukan

untuk

mengimbangi

status

asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi


hipermetabolik pada klien dengan keganasan.
protein) dan asupan cairan yang
adekuat.
Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan secara
2.

Kolaborasi dengan tim gizi untuk


menetapkan program diet pemulihan

individual dengan melibatkan klien dan tim


gizi bila diperlukan.

bagi klien.
Anti emetik diberikan bila klien mengalami
3.

Berikan obat anti emetik dan

mual dan roborans mungkin diperlukan untuk

roborans sesuai program terapi.

meningkatkan napsu makan dan membantu


proses metabolisme.

Mencegah masalah kekurangan asupan yang


4.

Dampingi klien pada saat makan,

disebabkan oleh diet yang disajikan.

identifikasi keluhan klien tentang


makan yang disajikan.
Menilai perkembangan masalah klien.
5.

Timbang berat badan dan ketebalan


lipatan kulit trisep (ukuran
antropometrik lainnya) sekali
seminggu
Menilai perkembangan masalah klien.

6.

Kaji hasil pemeriksaan laboratorium


(Hb, limfosit total, transferin serum,
albumin serum)

5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi


radioterapi/kemoterapi

1.

INTERVENSI KEPERAWATAN
Tekankan penting oral hygiene.

RASIONAL
Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber
dari ketidakadekuatan oral hygiene.

2.

Ajarkan teknik mencuci tangan


kepada klien dan keluarga, tekankan

Mengajarkan upaya preventif untuk


menghindari infeksi sekunder.

untuk menghindari mengorek/menyentuh area luka pada rongga hidung


(area operasi).

3.

Kaji hasil pemeriksaan laboratorium Menilai perkembagan imunitas seluler/


yang menunjukkan penurunana fungsi humoral.
pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit,
trombosit, Hb, albumin plasma)

4.

Berikan antibiotik sesuai dengan


program terapi.

Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi


atau diberikan secara profilaksis pada pasien
dengan risiko infeksi.

5.

Tekankan pentingnya asupan nutrisi Protein diperlukan sebagai prekusor


kaya protein sehubungan dengan

pembentukan asam amino penyusun antibodi.

penurunan daya tahan tubuh.


Efek imunosupresif terapi radiasi dan
6.

Kaji tanda-tanda vital dan


gejala/tanda infeksi pada seluruh
sistem tubuh.

kemoterapi dapat mempermudah timbulnya


infeksi lokal dan sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
Adams at al (2004), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Tim RSUD Dr. Soetomo (2004), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya.
Price & Wilson (2005), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC,
Jakarta
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/4/Chapter%20II.pdf,
tanggal 7 April 2014

diunduh

pada

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf,

diunduh

tanggal 8 April 2014

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN DIAGNOSA MEDIS CA SINONASAL

OLEH

pada

I MADE WIADNYANA PUTRA


NIM. 13.1.089

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN RS. dr. SOEPRAOEN MALANG
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

Anda mungkin juga menyukai