Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga hal ini menimbulkan sedikit banyak
masalah terutama tentang pengaturan desa itu sendiri.
Saat ini pengaturan tentang desa selain dimasukkan dalam rumusan Undang Undang no 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, juga ada aturan turunan dari UU 32 tahun 2004
tersebut yang khusus mengatur tentang desa, yaitu Peraturan Pemerintah no 72 tahun 2005
tentang Pokok Pokok Pengaturan Desa.
B. POKOK PERMASALAHAN
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik suatu garis besar pertanyaan sejauh
ini apakah pengaturan tentang desa yang terdapat dalam PP 72 tahun 2005 tentang desa dan
UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sudah sejalan dan sesuai dengan konstitusi
bab pemerintahan daerah pasal 18.
C. PEMBAHASAN
C.1. Rumusan Pengaturan Desa Dalam UUD 45 Amandemen
Pengaturan tentang konsep desa memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal 18
tentang pemerintahan daerah. Hanya secara singkat dapat ditemukan dalam pasal 18 B ayat
(2) yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip kesatuan negara republik Indonesia yang diatur dalam Undang
Undang.
Pengaturan tentang desa tidak diatur secara implisit dalam konstitusi. Hal ini merupakan
salah satu kelemahan pembentukan konstitusi amandemen yang parsial. Dipihak lain
pengaturan tentang desa dapat menimbulkan interpretasi liar penyusunnya. Penafsiran yang
liar ini sudah diperkirakan dan menjadi kekhawatiran para pemerhati otonomi khususnya
tentang desa.
Desa diakui dalam penjelasan UUD 45 dimana disebutkan bahwa Indonesia terdir dari
kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen dengan sebutan
desa di jawa dan bali, nagari (minangkabau), dusun dan marga dan banyak sebutan lainnya
yang sejenis, dimana daerah daerah tersebut memiliki susunan masyarakat asli dan
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Amandemen terhadap pasal 18 yang dijadikan sebgaai landasan hukum penyelenggaraan
otonomi daerah ternyata masih banyak persoalan yang krusial. Pola hubungan antara pusat
dan daerah seharusnya tegas menjadi materi muatan konstitusi. Persoalan krusial yang
dianggap tidak tuntas dalam pengaturan pasal 18 UUD 1945 amandemen antara lain :
1. Pembagian kewenangan.
Hal ini sangat penting dijamin dalam konstitusi, dengan demikian konflik kewenangan dapat
teratasi serta dapat tercegahnya pemerintah pusat memaksakan kompetensi otonomi pada
daerah dengan dalih menjaga keutuhan negara kesatuan. Dalam praktek selama ini
pembagian kewenangan diserahkan kepada pembentuk UU yang selalu sarat dengan
kepentingan politik hukum pemegang kekuasaan.Pengaturan Tata Hukum Daerah.
Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah merupakan masalah yang penting dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Seharusnya diperjelas hubungan antara pusat dan
daerah. Diluar batas kewenangan pusat secara bertahap dan konsisten harus diserahkan
kepada daerah propinsi maupun kabupaten/kota untuk dijadikan kewenangan rumah tangga
daerah. Pembagian kewenangan seharusnya menjadi materi muatan konstitusi, bukan
merupakan materi muatan UU, sehingga jelas konsepsi otonomi luas dalam kerangka negara
kesatuan.
Tidak cukup daerah hanya diberi hak menetapkan peraturan daerah saja. Pada Tap MPR no
III/2000, perda sebagai peraturan untuk melaksanakan aturan hukum yang lebih tinggi dan
menampung kondisi khusus yang bersifat lokal. Seharusnya daerah diberi hak untuk
mengatur tata hukumnya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemberian otonomi
luas kepada daerah. Bentuk hukum yang hanya peraturan daerah bagi daerah membuat
kuantitas beban perda sangat berat, di sisi lain kondisi ini menimbulkan berkurangnya
fleksibilitas dan kreatifitas eksekutif daerah. Di daerah diperlukan tata hukum daerah yang
setidaknya meliputi perda yang setingkat dengan UU, Peraturan Pemerintah Daerah (PPD)
setingkat dengan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Kepala Daerah setingkat dengan
Keputusan Presiden. Bentuk tata susunan peraturan perundang undangan ini seharusnya
juga merupakan substansi konstitusi, termasuk penghargaan terhadap pluralisme hukum.
Perwujudan bahwa setiap masyarakat dengan sendirinya memiliki sistem hukum yang
mengatur pergaulan anggota masyarakatnya dapat terealisasi. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terulangnya pengalaman buruk unifikasi hukum nasional yang mengarah pada
sistem hukum tunggal. Karena secara sosiologis dan kultural hal ini sangat bertentangan
dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Hukum harus diciptakan dalam konteks
masyarakatnya, tanpa mempertimbang- kan hal ini dengan sungguh-sungguh, maka niscaya
politik akan sulit mencapai tujuannya, jika tidak gagal dalam pembentukannya, maka akan
gagal dalam pelaksanaannya atau penerapannya.
2. Pengaturan Hubungan Keuangan termasuk pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengaturan hubungan keuangan termasuk pengelolaan sumber daya nasioanal seharusnya
juga menjadi materi muatan konstitusi. Justru pengelolaan ini yang oleh daerah dituntut
pembagiannya secara adil dan memberikan kesejahteraan bagi daerah. Dalam realita yang
ada selama ini, terjadi pemusatan kekuasaan ekonomi pada pusat yang menimbulkan
kesenjangan di daeah (jakarta dengan luar jakarta, jawa dan luar jawa).
1. Letak Kedudukan Pemerintahan Desa
UUD hanya menetapkan dua tingkatan daerah otonom, yang disebut dengan propinsi dan
dibagi lagi dalam daerah kabupaten dan kota. Pembagian ini dimaksudkan untuk
menjalankan otonomi daerah. Desa bukan termasuk daerah otonom, tetapi dalam peraturan
perundang undangan selanjutnya disebutkan memiliki hak untuk mengatur kewenangan yang
bersifat asli. Konsekuensi dari pengaturan ini, maka desa diserahkan pengaturannya kepada
kabupaten. Dalam UU 32/2004 pasal 200 menyebutkan bahwa dalam pemerintahan daerah
kab/kota dibentuk pemerintahan desa yang mengandung maksud bahwa desa dibentuk/lahir
dan merupakan bagian inheren dari pemerintah kabupaten/kota, namun otonom. Dengan
demikian maka kedudukan desa berada dalam rumah tangga kab/kota. Hal ini
membingungkan karena kab/kota sebagai satuan pemerintah otonom dapat melahirkan suatu
pemerintahan yang otonom juga. Ini tidak sesuai dengan rumusan pasal 18 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah propinsi yang kemudian dibagi lagi atas
daerah kab/kota. Istilah dibagi merupakan hierarki dan bersifat vertikal.
Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan UU 5 tahun 1979 yang menempatkan desa
langsung berada di bawah camat menunjukkan posisi yang jelas, bahwa desa langsung
ditempatkan berada di bawah kontrol pemerintah pusat. Menimbulkan pertanyaan apakah
sebaiknya desa tidak diatur secara tersendiri dalam UU khusus tentang desa yang terlebih
dahulu diberi posisi yang jelas dalam konstitusi mengingat desa dalam sejarahnya adalah
pemerintahan asli, eksis dan dihormati warganya dengan adat khasnya.
Pada kenyataannya, sekarang terjadi banyak disharmonisasi antara hubungan kepala desa
beserta perangkatnya dengan BPD, antara pemerintahan desa dengan pemerintahan
kabupaten. Perda yang dibuat oleh kabupaten yang mengatur tentang desa tidak dapat serta
merta diterima oleh pemerintah desa.
5. Tidak adanya hubungan hierarkis antara daerah propinsi dengan kab/kota.
Hal ini sering ditafsirkan salah bahwa seolah ada pemutusan hirarkhis pemerintahan. Tidak
ada hubungan hirarkhis mengandung maksud bahwa daerah kota/kabupaten bukan bawahan
daerah propinsi. Masing-masing daerah itu memiliki kewenangan yang berbeda dan masingmasing kewenangan itu diperoleh dari negara. Daerah propinsi mengurusi kewenangan
lintas sedang daerah kota/kabupaten mengurusi kewenangan yang bukan kewenangan pusat
dan propinsi. Jadi antara daerah propinsi dan daerah kota/kabupaten adalah sejajar.
Terkadang penyebutan otonomi bertingkat memberi kesan salah seolah terdapat tingkatantingkatan daerah otonom. Kewenangan pengawasan dan pembinaan yang dimiliki Gubernur
terhadap daerah kota/kabupaten bukan sekali-kali menempatkan daerah kota/kabupaten
dibawah daerah propinsi, tetapi merupakan konsekuensi gubernur merangkap sebagai
perangkat pemerintah. Persoalan yang menjadi penting dalam kerangka ini adalah kemauan
kerja sama saling koordinasi untuk tercapainya sinergis antara daerah propinsi dan
kota/kabupaten.
C.2. Pengaturan desa dalam UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
1. 1. Umum.
Pemerintahan Desa tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Satu pihak ini merupakan
kelemahan hasil amandemen UUD yang parsial, dipihak lain pengaturan pemerintahan desa
akan menjadi penafsiran liar penyusunnya. Penafsiran liar ini sudah sejak awal diperkirakan
dan menjadi kekhawatiran kita semua. Dan, sekarang itu semua terjadi, pengaturan desa
dalam UU No. 32/2004 merupakan set back otonomi desa kemasa Orba yang dilakukan oleh
pemikir yang berpola neo Orba.
Pemerintahan Desa berdasar UU No. 32/2004 berbeda secara mendasar dengan
Pemerintahan Desa berdasar UU No. 22/1999. Perbedaan itu terletak pada letak kedudukan,
kewenangan, hubungan keuangan, sistem pemerintahannya, dan pengaturan perangkatnya.
Pengaturan desa yang tergambar dalam UU No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol
pemerintah, dan mereduksi demokratisasi pemerintahan desa. Ini mengingatkan pada situasi
pengaturan desa berdasar UU No. 5/1979. Situasi ini tidak terlepas dari semangat
pemerintah yang kembali memperkuat kontrolnya dengan berbagai pengawasan terhadap
pelaksanaan otonomi daerah.
Pengaturan desa saat kembali dilakukan dalam satu undang-undang dengan pemerintahan
daerah sebagaimana Undang-undang No 22 tahun 1999. Teknik pengaturan seperti ini
membawa konsekuensi pada keberadaan desa yang kurang menonjol dan desa menjadi
bagian dari pemerintahan daerah dengan penamaan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD
1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa. Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 24) yang dimaksud
sebagai satuan pemerintahan daerah disini adalah satuan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota, atau pemerintahan desa yang bersifat khusus atau istimewa, misalnya
sistem pemerintahan desa di Provinsi Sumatera Barat yang disebut dengan nagari dan di
beberapa daerah lain berkembang sistem pemerintahan desa yang bersifat khas, khusus
ataupun istimewa.
Dalam konteks yang demikian seharusnya pemerintahan desa diatur dalam ketentuan
undang-undang tersendiri sebagai satuan pemerintahan otonom yang hidup dan berkembang
berdasarkan asal-usulnya jauh sebelum republik ini lahir. Seharusnya negara mengakui
eksistensi pemerintahan desa dengan otonomi asli desa yang dimiliki melalui suatu undangundang tersendiri. Namun untuk mencegah sejarah buruk pengaturan desa melalui sebuah
undang-undang tersendiri yang akhirnya menimbulkan penyeragaman desa sebagaimana
UU No. 5 tahun 1979, maka materi muatan undang-undang desa harus bersifat umum yang
menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada daerah melalui Perda. Pengaturan ini akan
menjamin pluralistik kekhasan sistem pemerintahan desa.
2. Kedudukan
Pasal 200 ayat (1), menyatakan Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk
pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa
Penggunaan istilah dibentuk ini menegaskan bahwa pemerintah desa merupakan sub
sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam undang-undang ini desa merupakan satuan
pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota. Ini berbeda dengan istilah yang
digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota.. Pemakaian istilah dibagi atas daerah-daerah menunjukkan
selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintah pusat
dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Jadi memang berbeda model hubungan pusat dan
daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan Kabupaten/kota dengan
desa berdasar UU No. 32/2004.
Pengaturan ini selanjuatnya harus dilakukan secara hati-hati, karena dalam kapasitas
tertentu desa akan berubah menjadi pemerintahan administrasi kabupaten yang sebelumnya
berdasarkan UU 22/1999 otonomi desa sudah tumbuh dan berjalan. Kontrol pemerintah
kabupaten/kota terhadap desa semakin kuat dengan pengaturan Pasal 200 ayat (3) bahwa
Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi
kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa
yang ditetapkan dengan Perda. Istilah secara bertahap di gunakan lebih awal dari
istilah dapat memberi gambaran semangat pasal ini mengarahkan bentuk pemerintahan
administrasi kelurahan untuk merubah pemerintahan desa secara bertahap.
Persoalan peralihan ini perlu mendapat kajian yang mendalam dalam penyusunan PP yang
sekarang sedang dipersiapkan pemerintah. Klausul atas usulan dan prakarsa Pemerintah
Desa dan BPD sebaiknya dicarikan mekanisme agar masih ada kontrol masyarakat
mengingat bahwa BPD tidak lagi dipilih secara langsung. Misalnya, usulan perubahan bisa
diajukan bila 90 % penduduk desa telah menyetujuinya melalui suatu referendum yang
diselenggarakan secara bebas. Ini untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan
peralihan akibat hilangnya lembaga kontrol representasi rakyat dalam sistem pemerintahan
desa berdasar UU 32/2004. Di dalam praktek desa-desa yang telah beralih statusnya
menjadi kelurahan berdampak kecuali hancurnya hak-hak tradisionil rakyat juga hilangnya
kekayaan desa melalui berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kelurahan yang diserahi mengelola eks aset desa sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat
(2) kedudukannya sangat lemah karena kelurahan adalah pemerintah administrasi yang
sangat berbeda dengan desa otonom.
3. Kewenangan
Terdapat empat sumber urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa sebagaimana
diatur dalam Pasal 206. Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidaksinkronan
terutama pasal 206 ayat (1) dengan Pasal 200. Pasal 206 ayat (1) menjelaskan salah
satu kewenangan desa adalah urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asalusul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintah
kabupaten/kota. Padahal dalam pasal 200 dinyatakan bahwa dalam pemerintahan daerah
kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa. Istilah pemerintahan daerah menunjukkan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisai dan tugas
pembantuan. Dengan demikian dalam pemerintahan desa yang dibentuk ada urusan yang
tidak bersumber kepada pembentuknya.
Selain itu ada urusan yang menjadi kewenangan desa karena penyerahan dari
kabupaten/kota dan ada pula yang berasal dari tugas pembantuan. Adanya kedua jenis
sumber ini sebenarnya menunjukkan bahwa desa merupakan satuan pemerintahan otonom
yang berada di luar sistem pemerintahan daerah. Ketentuan ini tidak selaras dengan pasal
200 ayat (1) yang menyatakan dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk
pemerintahan desa. Artinya pembentuk undang-undang ini tidak memiliki content draf yang
utuh tentang sosok pemerintahan desa yang dirumuskan.
4. Sistem Pemerintahan Desa
Satuan pemerintahan otonom akan berjalan demokratis bila terjamin checks & balances
antara pemerintah dan lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat. Terdapat beberapa
kelemahan dalam pengaturan sistem pemerintahan desa di dalam UU No. 32/2004.
Pertama, tidak diaturnya sistem pertanggung jawaban kepala desa di dalam batang tubuh
UU No. 32/2004. Sistem pertanggung jawaban kepala desa ditemukan di dalam penjelasan
umumnya. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam
tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota
melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan
keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi
pokok-pokok pertanggung jawabannya Pengaturan semacam ini tidak tepat, karena
penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma
sehingga terhindar dari makna ganda. Apabila normanya tidak ada maka tidak mungkin ada
penjelasan. Dalam teknis drafting pengaturan seperti ini salah fatal.
Kedua, tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan
desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal
208). Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat undang-undang tidak secara definitif
menentukan tugas dan kewajiban kepala desa. Pengaturan semacam ini memberi cek
kosong pada pemerintah melalui PP. Di lain pihak BPD mempunyai fungsi yang sangat
terbatas berdasarkan pasal 209 yaitu menetapkan perdes bersama kepala desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka
akan sangat sulit terjadi check and balances system dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa, karena kewenangan kepala desa sangat elastis dengan menyerahkan pengetuannya
kepada Perda yang berpedoman PP, sedangkan fungsi BPD sangat rigid karena ditentukan
dalam Undang-undang secara terbatas.
Badan Permusyawaratan Desa dalam UU No. 32/2004 memiliki fungsi bersama Kepala
Desa menetapkan Perdes dan sebagai penampung dan penyalur aspirasi. Ini berbeda sama
sekali dengan BPD model UU No. 22/1999 yang memiliki peran pengawasan terhadap
pemerintah desa. Cara pembentukannya pun berbeda, BPD tidak lagi dipilih rakyat secara
langsung, namun ditetapkan dengan cara musyawarah. Tata cara pembentukan, fungsi, dan
peran BPD model UU 32/2004 akan mereduksi demokratisasi di tingkat desa. Bagaimana
mungkin suatu badan yang dibentuk bukan sebagai representasi rakyat bisa menjalankan
fungsi legislasi.
Dalam kondisi yang demikian maka langkah yang lebih tepat dilakukan adalah merevisi
terlebih dahulu UU No. 32/2004 dengan mengatur mekanisme pertanggung jawaban kepala
desa di dalam batang tubuh dan secara definitif menentukan tugas dan kewajiban/tanggung
jawab kepala desa dalam UU untuk menghindari kekuasaan yang besar kepala desa
berdasarkan aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Tumbuhnya pemerintahan
totaliter di desa sebagaimana dampak UU No. 5 tahun 1979 perlu dihindari karena pada
waktu itu posisi kepala desa sangat sentral dengan menempati posisi ketua LMD sekaligus
sebagai eksekutif.
5. Pengaturan Perangkat Desa
Perangkat desa yang diatur berdasarkan UU No. 32/2004 sangat berbeda dengan
pengaturan dalam UU No. 22/1999. Perangkat desa berdasarkan UU No. 32/2004 terdiri
dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri
sipil yang memenuhi persyaratan. Kalau yang dimaksud PNS itu adalah PNS
Kabupaten/Kota yang ditempatkan di desa maka ini akan membingungkan sistem
3. Pemerintahan desa.
1. Terdiri dari kepala desa dan perangkat desa.
2. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa yang diisi dari PNS dengan persyaratan
1) berpendidikan paling rendah SMU atau sederajat, 2) mempunyai pengetahuan
teknis tentang pemerintahan, 3) berkemampuan di bidang administrasi dan
perkantoran, 4) berpengalaman di bidang keuangan, administrasi dan perencanaan,
5) memahami sosial budaya dan kultur masyarakat, 6) bersedia tinggal di desa yang
bersangkutan.
3. Perangkat desa lainnya yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur
kewilayahan.
4. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan.
1. Kepala desa berkewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
desa kepada bupati/walikota.
2. Kepala desa memberikan laporan pertanggung jawaban penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada BPD.
3. Memberikan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat.
5. Kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa.
1. Kepala desa dan perangkat desa diberi penghasilan tetap setiap bulannya dan
tunjangan lainnya.
2. Penghasilan tetap minimal sesuai dengan UMR minimum kab/kota.
3. Penghasilan ini tidak termasuk sekretaris desa yang berstatus PNS.
6. Badan Perwakilan Desa.
1. Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
2. Anggota BPD adalah perwakilan penduduk desa setempat berdasarkan keterwakilan
wilayah yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat.
3. Anggota BPD terdiri dari ketua RW, pemangku adat, golongan profesi, pemuka
agama dan tokoh atau pemuka masyarakat.
4. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat kembali.
5. Jumlah anggota BPD antara 5 sampai 11 orang tergantung jumlah penduduk desa
yang sangkutan.
6. BPD berwenang membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.
7. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan keputusan kepala
desa.
8. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa.
9. Membentuk panitia pemilihan kepala desa.
10. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.
11. Menyusun tata tertib BPD.
7. Peraturan Desa.
1. Merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.
2. Dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi.
3. Peraturan desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundangan undangan.
4. Disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota melalui camat sebagai bahan
pengawasan dan pembinaan.
8. Ketentuan Peralihan.
1. Masa jabatan kepala desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa
jabatannya.
2. Anggota BPD yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai yang
bersangkutan habis masa jabatannya.
3. Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan PNS secara bertahap akan diangkat
menjadi PNS yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri.
D. KESIMPULAN
Untuk menyongsong masa depan otonomi, harus dimulai menata kembali struktur
ketatanegaraan pemerintahan desa, desa diatur dalam undang-undang tersendiri terpisah
dari undang-undang pemerintahan daerah merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan
sebagai satuan pemerintahan otonom diluar struktur pemerintahan kabupaten/kota
merupakan pilihan strategis. Mengapa, karena daerah dan desa memang berbeda baik dari
sisi penyelenggaraan pemerintahan dan persoalan yang dihadapi. Perbedaan karakteristik
itulah yang secara historis oleh pemerintahan kolonial mengatur desa tersendiri terpisah
dari Desentralisasi Wett. Bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di JawaMadura dan di luar Jawa-Madura. Pengaturan terpisah menjadi pilihan karena keberadaan
desa yang pluralistik sangatlah sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Demikian
juga mengatur desa dengan undang-undang tersendiri terpisah dari undang-undang
pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintahan masa tahun 1965 dan tahun 1979. Baru
pemerintahan tahun 1999 dan pemerintah yang kemudian merevisinya tahun 2004,
pengaturan daerah dan desa dijadikan dalam satu undang-undang. Karena itu desa akan
lebih baik disusun dengan undang-undang tersendiri. Tidaklah tepat meletakkan rumah
tangga desa dalam rumah tangga daerah, seperti diatur dalam UU 32/2004.
Secara substansi pemisahan pengaturan dalam undang-undang tersendiri harus konsisten
dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD, yaitu daerah kabupaten/kota dibagi atas desa. Selain
menunjukkan pemerintahan yang hirarkis juga menempatkan pemerintahan desa diluar
struktur pemerintahan kabupaten/kota. Mengingat bahwa desa dalam kenyataannya sangat
pluralistik, maka pengaturan melalui undang-undang tersendiri bisa dilakukan dengan 2
pilihan. Pertama, dibuat undang-undang khusus tentang desa (semacam UU otonomi
Khusus) misalnya UU Nagari untuk Sumbar, UU Desa untuk Jawa, UU Desa untuk Bali, UU
Kampung untuk Sumsel, dan lain-lain. Sisi positif alternatif ini, undang-undang yang dibuat
akan responsif dan akomodatif karena sesuai dengan kondisi masing-masing. Namun
memiliki sisi negatif yaitu memerlukan waktu panjang dan biaya mahal, belum lagi adanya
pandangan-pandangan dari kalangan nasional-sentris neo-orba yang menganggap
membahayakan NKRI. Kedua, dibuat satu undang-undang yang memuat asas-asas dan
prinsip-prinsip lebih umum, misalnya menyangkut hubungan antar tingkatan, prinsip-prinsip
good governance, keuangan dan fiskal. Penjabaran lebih lanjut diserahkan kepada daerah
masing-masing melalui jalur tugas pembantuan. Pengaturan seperti masa jabatan, syarat
pendidikan Kades, perangkat, struktur organisasi, tata cara pemilihan diserahkan pada
daerah masing-masing. Sangatlah sulit membentuk satu undang-undang yang komplit namun
responsif kepada semua desa. Karena itu undang-undang pemerintahan desa yang hanya
mengatur prinsip-prinsip saja merupakan jalan keluar menampung pluralistik.
Untuk mencegah sentralistik dan cengkeraman pemerintah kabupaten/kota terhadap desa,
perlu dipikirkan kerangka ketatanegaraan yang bisa menjamin checks & balances antara
pemerintah kabupaten/kota dan desa. Pemerintah perlu merumuskan ulang mekanisme
prosedural tata hubungan kelembagaan antara kabupaten dan desa yang mampu
meningkatkan posisi tawar desa terhadap kabupaten/kota. Suasana checks & balances bisa
tercipta apabila dalam pembuatan Perda yang menyangkut kepentingan desa terdapat
mekanisme yang melibatkan perwakilan desa. Membentuk Dewan Perwakilan Desa (DPDes)
merupakan gagasan yang menarik. DPDes memiliki fungsi memperjuangkan kepentingan
desa pada saat pemerintahan kabupaten/kota membentuk Perda berkaitan dengan
kepentingan desa. Dengan demikian dalam pembentukan perda tertentu dilakukan melalui
mekanisme dua kamar. Kalau kita menginginkan hubungan kelembagaan kabupaten/kota dan
desa berjalan diatas demokrasi maka perlu dikembangkan mekanisme dialogis yang
seimbang tidak monologis tanpa partisipasi.
Tugas.
1. Baca artikel diatas dengan cermat
2. Analisislah bacaan tersebut dan cermati dampak yang diakibatkan artikel tersebut terhadap
kondisi geografis.