Anda di halaman 1dari 18

PAPER KARAKTERISTIK DARI SIFAT ALAMIAH PADA UNGGAS

ILMU PRODUKSI TERNAK UNGGAS

Di susun oleh:
Arief Amaluddin Suryo Prayogo

135050100111281

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, bahwa berkat rahmat dan
karunia-Nya, penulisan paper Karakteristik Sifat Alami Unggas pada mata kuliah
Ilmu Produksi Ternak Unggas ini dapat penulis selesaikan dengan lancar.
Ternak unggas seperti ayam adalah salah satu komoditas strategis yang besar
peranannya dalam pembangunan sektor peternakan. Sebagai penghasil daging dan
telur, ayam mempunyai peran yang sangat penting dalam pencapaian kebutuhan
protein hewani bagi masyarakat.
Paper ini diawali dengan informasi umum tentang ternak unggas, kemudian
dilanjutkan dengan pengetahuan tentang bagaimana sifat sifat pendenagaran pada
ternak unggas, bagaimana respon cahaya pada ternak unggas, apa itu molting pada
ternak unggas, apa penyebab dan cara penanganan molting pada ternak unggas,
bagaimana sifat mengeram pada ternak unggas, bagaimana system pengaturan suhu
tubuh pada ternak unggas, bagaimana sistem imun pada ternak unggas.
Bahan utama untuk menyusun paper ini adalah hasil studi pustaka dari bukubuku tentang sifat alami pada unggas, baik dari dalam maupun luar negeri.
Semoga paper ini dapat bermanfaat dan dapat memenuhi sebagian harapan
pembaca.

Malang, 1 Desember 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
2.1 Karakteristik Pendengaran Pada Unggas ................................................. 3
2.2 Respon Unggas Terhadap Cahaya ........................................................... 4
2.3 Gugur Bulu Pada Unggas ........................................................................ 6
2.3.1 Foce Molting................................................................................... 7
2.4 Sifat Mengeram Pada Unggas ................................................................. 8
2.5 Pengaturan Suhu Tubuh Pada Unggas..................................................... 9
2.6 Sistem Imun Pada Unggas ....................................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

iii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut definisi, ternak unggas (poultry) adalah jenis ternak bersayap dari
kelas Aves yang telah di domestikasikan dan cara hidupnya diatur oleh manusia
dengan tujuan untuk memberikan nilai ekonomis dalam bentuk barang (daging dan
telur) dan jasa (pendapatan). Termasuk kelompok unggas adalah ayam (petelur dan
pedaging), ayam kampung, itik, kalkun, burng puyuh, burung merpati dan angsa yang
sekarang sudah di usahakan secara komersial. Sementara itu, burung mutiara, kasuari
dan burung unta masih dijajaki kemungkinannya untuk diternakkan secara komersial.
Hasil pokok dari unggas adalah daging dan telur, sementara hasil sampingan
berupa bulu dan kotoran serta kesenangan (ornamental) sebagai hasil khusus. Peranan
unggas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dapat dimengerti karena
unggas mampu memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pembangunan bidang
pertanian, khususnya sub bidang peternakan.
Ayam peliharaan yang dewasa ini (Gallus domesticus) merupakan keturunan
ayam hutan. Manusia telah memelihara ayam sejak 5000 tahun yang lalu. Ayam
dipelihar aleh bangsa mesir 3000 tahun SM dan bangsa Cina pada 1500 tahun SM.
Jadi proses penjinakannya telah berlangsung lama. Oleh karena itu, saat ini jenis
jenis ayam telah banyak mengalami perubahan fisik dan genetik. Dewasa ini terdapat
banyak sekali ayam hasil perbaikan mutu genetis sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya. Pengetahuan mengenai sifat sifat alami bangsa unggas seperti
respon cahaya, molting, sifat mengeram, pengaturan suhu tubuh, system imun, dan
system pendengaran ternak unggas perlu untuk dipahami lebih dalam agar dapat
melakukan pemeliharaan dengan baik. Kebanyakan peternak hanya memelihara
dengan seadanya, dengan tanpa melihat bagaimana sesungguhnya sifat sifat alami
bangsa unggas tersebut. Namun seiring perkembangan zaman peternak kita mulai

maju dan perlahan lahan mulai tahu akan bagaimana beternak unggas itu
sebenarnya, khususna ayam.
Kenaikan populasi ayam selama lima tahun terakhir ini adalah 4,25%/tahun
untuk ayam kampung dan dan 2,25%/tahun untuk itik. Sementara itu, terjadi
penurunan populasi ayam petelur dan ayam pedaging rata-rata 7,82%-7,85%/tahun
karena krisis keuangan yang melanda Indonesia sejak tahun 1998. Unggas
memberikan konstribusi penyediaan daging secara nasional sebanyak 56,60% dari
total 1.405,7 ribu ton. Dari angka tersebut, ternyata 62,8% berasal dari daging ayam
broiler, 32,34% dari ayam kampung dan sisanya dari daging ayam petelur serta itik.
Berlatarkan masalah tersebutlah kami menulis makalah ini dengan harapan agar
dapat menjelaskan tentang sifat sifat alami bangsa unggas serta dapat berkembang
lebih baik seiring dengan pemeliharaan ternak unggas dengan tingkat pengetahuan
yang ada.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana sifat sifat pendenagaran pada ternak unggas?
1.2.2 Bagaimana respon cahaya pada ternak unggas?
1.2.3 Apa itu molting pada ternak unggas?
1.2.4 Apa penyebab molting pada ternak unggas?
1.2.5 Bagaimana sifat mengeram pada ternak unggas?
1.2.6 Bagaimana sistem pengaturan suhu tubuh pada ternak unggas?
1.2.7 Bagaimana sistem imun pada ternak unggas?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui sifat sifat pendengaran pada ternak unggas.
1.3.2 Untuk mengetahui respon cahaya pada ternak unggas.
1.3.3 Untuk mengetahui molting pada ternak unggas.
1.3.4 Untuk mengetahui penyebab molting pada ternak unggas.
1.3.5 Untuk mengetahui sifat mengeram pada ternak unggas.
1.3.6 Untuk mengetahui sistem pengaturan suhu tubuh pada ternak unggas.
1.3.7 Untuk mengetahui sistem imun pada ternak unggas.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karekteristik Pendengaran Pada Unggas


Ternak unggas memiliki sistem pendengaran yang sangat bagus walaupun
tidak memiliki bagian eksternal alat pendengaran seperti telinga. Ternak unggas
memiliki sistem pendengaran yang sensitif seperti halnya pada hewan mamalia.
Dalam fungsi telinga, unggas lebih seperti reptil daripada mamalia. Berfungsi
dengan baik, dan merupakan alat komunikasi utama untuk unggas dalam perilaku
hewan. Spesies unggas lain yang mempunyai derivatif batas frekuensi rendah dan
tinggi dapat diperkirakan dari audiogram perilaku, dan setidaknya satu tambahan titik
pemetaan frekuensi pada papilla yang tersedia dari beberapa ukuran, seperti
kerusakan nada pori.
Dalam merpati dan ayam, spesialisasi untuk persepsi adalah frekuensi rendah
"infrasonik". Ketergantungan sistematis rentang frekuensi diwakili oleh panjang
papilla dan konstanta pemetaan. Hal ini menunjukkan bahwa panjang papilla
merupakan faktor penting yang menentukan mekanisme representasi frekuensi di
telinga bagian dalam burung. Untuk ayam dewasa, frekuensi terbaik tetapi tidak ada
batas frekuensi rendah dan tinggi, karena mereka tidak menguji frekuensi yang
threshold setidaknya 30 dB di atas ambang batas yang sensitif. Panjang papila adalah
utama ditentukan dari frekuensi tertinggi kode oleh telinga. Frekuensi tertinggi yang
tersedia untuk pengolahan di telinga bagian dalam burung dibatasi oleh telinga
tengah. Jenis columella telinga tengah tidak cocok untuk transmisi yang efektif
frekuensi di atas 10 kHz ke dalam telinga bagian dalam.

2.2 Response Unggas Terhadap Cahaya


Semua spesies unggas memberikan respon terhadap reaksi terang dan gelap.
Cahaya alami dan tiruan keduannya merangsang proses reprodusi unggas. Rasio
periode terang gelap dan tingkat perubahan cahaya mempegaruhi oviposisi. Unggas
liar dalam keadaan normal mulai membangun sarang, kawin dan bertelur selama
waktu musim semi karena adanya periode cahaya yang panjang. Peneluran akan
berhenti selama musim gugur dengan berkurangnnya cahaya. Ini adalah tanda alami
untuk perkawinan. Unggas peliharaan memberika respon terhadap cahaya dengan
cara yang sama juga. Melalui control manusia terhadap lingkungngan, system
reproduksi unggas dapat dimanipulasi agar terjadi proses peneluran pada setiap
musim sepanjang tahun. Cahaya merangsang dan meningkatkan suplai FSH.
Hormone ini pada gilirannya melalui aktivitas ovary mengakibatkan terjadinya
ovulasi dan oviposisi.

Apabila peneluran dimulai pada umur terlalu awal, melalui peningkatan


cahaya dan tingkat atensitas sangan tingggi atau siang hari yang terlalu panjang, telur
akan berukuran kecil. Apabila peneluran ditunda samapi umur yang lebih tua, telur
umumnya lebih besar. Karena ayam dara dipelihara sepanjang tahun, maka penting
untuk dapat megatur cahaya sehimggga ayam dara tersebut memulai penelura pada
periode perkembangannya yang sesuai dan dengan demikian ukuran telur yang
dihasilkan juga sesuai degan permintaan pasar.
Iris pada ayam mempunyai otot lurik, yang mempunyai jalur saraf yang lebih
pendek dibandingkan dengan manusia, memberikan kontribusi untuk menciptakan
latency respon yang jauh lebih pendek dari pupil. Pupil ayam mempunyai respon
yang lebih cepat, dengan respon latency hanya 105 ms, dibandingkan dengan respon
yang dimiliki manusia, di mana respon latency 434 ms, sedangkan respon amplitudo
jauh lebih kecil dari pada manusia. Perubahan besar dalam induksi pencahayaan
hanya membuat respon kecil dari pupil ayam, tapi respon besar dari pupil dapat
diinduksi dengan stimulus lampu merah. Ini mengindikasikan bahwa ukuran pupil
ayam tidak hanya merespon dengan serian perubahan, tetapi juga dengan jenis lain
dari rangsangan.
Ayam adalah hewan yang sensitif terhadap cahaya sehingga cahaya dianggap
sebagai faktor primordial terhadap sekresi hormon, terutama hormon reproduksi.
Terkait dengan biologi horlog cahaya diatur oleh glandula pineal untuk
mensekresikan melatonin yang mampu mengatur aktivitas ayam setiap hari.

Glandula pinel atau glandula epiphysis menghasilkan hormon melatonin (juga


disebut enzim epifise atau N-asetil transferase) yang ada pada ayam disekresikan
pada malam hari (kondisi gelap) sehingga tidak mempunyai aktivitas di malam hari.
Hormon melatonin ini merupakan mata ketiga untuk ayam karena dapat berperan
sebagai horlog biologi (circardian clock), mengatur ritme harian, dan fungsi
fisiologis bagian tubuh.

2.3 Gugur Bulu Pada Unggas (Molting)


Perilaku molting atau ranggas (gugur bulu) adalah suatu kondisi yang
menyebabkan runtuhnya bulu pada kulit dan pertumbuhan bulu baru. Kehilangan
bulu terjadi pada bulu ekor dan bulu sayap. Molting terkait dengan reproduksi pada
burung, molting terjadi ketika ovarium tetap aktif. Molting tanda periode akhir giliran
bertelur pada unggas. Proses pada jantan dan betina tidak sama. Pada ayam betina
tidak terjadi sepanjang waktu, pada jantan terjadi terus menerus di bulu gudang
sementara aktivitas seksual tidak berubah atau berhenti. Dalam ayam betina fase bulu
jatuh terjadi pada suatu waktu, kehilangan fase bulu betina penyebab penghentian
aktivitas seksual ayam betina.
Ada dua fenomena dalam proses ranggas alami yaitu perontokan bulu lama
(ecdesis) dan pertumbuhan bulu baru (endesis). Fenomena ranggas ini dipengaruhi
oleh control endokrin dalam tubuh . Walaupun secara umum diketahui bahwa rontok
dan tumbuhnya bulu baru dipengaruhi oleh hormon thyroid, namun mekanismenya
masih belum diketahui Penyuntikan hormone thyroid dapat menyebabkan ranggas,
dan kejadian rontok dan tumbuhnya bulu baru disebabkan perubahan kandungan
hormon thyroid. Pada saat meranggas ovarium mengalami pengecilan (regress)
sehingga produksi telur secara otomatis akan berhenti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total gonadotropin dalam
pituitary anterior lebih tinggi pada ayam yang tidak bertelur dibandingkan dengan
yang bertelur. Mengingat pada saat meranggas ovarium ayam juga mengalami
pengecilan, maka kemungkinan tingginya kandungan gonadotropin dalam pituitary

anterior dan atau sensitivitas ovarium terhadap tingkat gonadotropin merupakan


penyebab ranggas. Dilaporkan bahwa kandungan FSH dalam pituitary pada ayam
yang sedang meranggas sebesar 6,6 pg/pituitary, dua kali lebih besar dibandingkan
ayam yang sedang bertelur sebesar 3,9 g/pituitary. Sebaliknya, kandungan LH
dalam pituitary pada ayam yang meranggas dan sedang bertelur masing-masing 0,7
dan 0,9 pglpituitary. Kandungan vitelin dalam serum darah menurun selama lima hari
setelah berhenti bertelur dan meningkat lagi sekitar 8-12 hari menjelang bertelur
pertama.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa berhenti bertelur selama meranggas
bukan disebabkan oleh adanya perubahan sensitivitas ovarium terhadap kandungan
gonadotropin, tetapi lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya sekresi gonadotropin
karena meningkatnya kandungan FSH.
Dalam ayam jantan, ranggas tidak terjadi semua dalam jangka waktu tertentu
seperti ayam betina tapi ayam jantan terus menerus kehilangan bulu dan aktivitas
seksual tidak meningkat.
Struktur bulu
Ayam betina yang berumur lebih dari sehari, bulu bawah mulai
tumbuh lagi dan mengembangkan poros yang menjadi set pertama bulu.
Bulu digunakan untuk melindungi burung dari elemen, melindungi,
membantu dalam penerbangan dan juga membantu dalam diferensiasi
seks. Bulu terbuat dari keratin.
Secara normal ayam mulai molting berumur 16-20 bulan, ada beberapa ekor
ayam yang lebih cepat atau lebih lambat moltingnya. Tetapi ada pula yang bersifat
molting dengan tidak berhenti berproduksi telurnya. Molting yang lebih lambat
memiliki sifat persistency yang lebih tingggi, apabila produksi total di ukur dari
berproduksi saat pemulaan.
2.3.1 Ranggas Paksa (Forced Molting)
Walaupun ranggas merupakan kejadian alami, tetapi ini dapat dilakukan
secara buatan yang disebut dengan ranggas paksa / forced molting. Cara ini dilakukan

untuk merontokkan bulu unggas secara serempak dan menghentikan produksi telur.
Ranggas paksa dilakukan untuk memberikan kesempatan pada unggas betina
beristirahat setelah berproduksi cukup lama. Sehingga ranggas paksa adalah suatu
prosedur untuk mengistirahatkan unggas betina sehingga unggas tersebut dapat
melanjutkan produksi pada siklus Produksi yang kedua. Ranggas paksa juga
dimaksudkan untuk memperpanjang masa bertelur sampai pada tingkat ekonomi
tertentu.

2.4 Sifat Mengeram Pada Unggas


Tinggi rendahnya sifat mengeram tergantung pada faktor genetik seperti
bangsa, atau strain ayam dan faktor lingkungan seperti tata laksana pemeliharaan,
perkandangan dan pencahayaan (photo periodic). Sifat mengeram juga dipengaruhi
oleh hormon, tepatnya hormon prolaktin. Peningkatan prolaktin selama penetasan
akan meningkatkan lama mengeram pada bangsa burung. Jika kadar hormon
prolaktin rendah maka produksi telur akan naik dan masa istirahat ayam lebih singkat.
Sifat mengeram dapat ditekan dengan cara memanipulasi regulasi hormon prolaktin.
Sifat naluri untuk menetaskan menetaskan telur dan sifat penurunan
dipengaruhi oleh hormon prolaktin dari hipofisis anterior, ayam duduk di sarang
untuk mengerami. Menetaskan dengan mengerutkan bulunya dengan tujuan mengatur
suhu yang digunakan untuk menghangatkan telur dalam mengeram. Ayam betina
mengerami sekitar 8-10 telur sekali pengeraman. Sifat-sifat induk alami ayam.
Bangsa jenis ayam berat menetaskan telur untuk jangka waktu yang lebih lama dan
lebih sering daripada tipe ringan ayam bangsa. Di beberapa negara ayam baru, sifat
mengeram telah berkurang karena seleksi genetik.
Sifat mengeram dianggap suatu yang merugikan pada produksi unggas karena
sementara induk itu sedang mengeram, induk itu tidak menghasilkan telur. Sifat
mengeram adalah suatu sifat yang menurun.suatu cara praktis menghentikan
indukinduk yang mengeram,berdasarkan pengalaman pada suatu skala kecil adalah

mengurung induk ayam pada suatu kandang lantai kawat yang memberikan ventilasi
yang baik.
Di bawah pengaruh hormone prolaktin dari pituitary anterior, ayam
menghasikan begitu banyak waktu untuk duduk diatas sarang dan menetaskan serta
mengasuh anak anaknya. Bila naluri keibuan ini sedemikian kuat sehinggga induk
ayam terus menerus duduk di atas sarang, hal ini diangggap sebagai suatu sifat yang
tidak disukai. Seekor induk yang sedang mengeram adalah seekor ayam yang
mengkerutkan bulunya, mematuk siapa saja yang memngganggu serta duduk diatas
sarang terus menerus.
Sifat mengeram dipengaruhi oleh adanya hormone prolaction dan memiliki
nilai heritabilitas cukup tinggi. Seleksi sifat mengeram agak sulit untuk
menghilangkannya. Winter pause atau istirahat pada musim dingin terdapat di daerah
bukan teropis saja, biasanya sekitar 7 hari tanpa adanya sifat mengeram. Mungkin
dengan makanan dan managemen yang modern winter pause ini dapat dihilangkan.

2.5 Pengaturan Suhu Tubuh Pada Unggas


Kulit unggas tidak memiliki kelenjar kecuali pada uropigial (kelenjar minyak,
preen gland), yang mensekresikan minyak yang digunakan oleh ayam untuk
membalut bulu dengan suatu lapisan pelindung melalui cara yang disebut preening
(menyisir bulu dengan paruh). Unggas memiliki beberapa macam bulu, yang
digunakan untuk membantu terbang, melindungi, dan memberikan kehangatan badan.
Tubuh ayam, secara normal selalu menghasilkan panas tubuh, berupa panas
metabolisme yang sering disebut heat increament. Panas tubuh ayam tersebut akan
dikeluarkan tubuh secara normal melalui 3 mekanisme, yaitu:
1. Konduksi, dengan cara menempelkan permukaan tubuh ke bagian kandang yang
lebih dingin, misalnya lantai kandang maupun bagian sisi dari tempat minum
2. Konvensi, yaitu aliran udara membawa panas tubuh ayam
3. Radiasi, melalui proses elektromagnetik dimana panas bergerak dari permukaan
yang lebih panas (tubuh ayam) ke permukaan yang lebih dingin tanpa sebuah
media perantara, seperti aliran panas matahari ke bumi.

Panting. merupakan respon ayam yang nyata akibat cekaman panas dan
merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. Pada suhu lingkungan 23C,
sekitar 75% dari panas tubuh dikeluarkan dengan cara sensible yaitu melalui kenaikan
suhu lingkungan di sekitarnya ; 25% panas tubuh selebihnya dikeluarkan dengan
jalan penguapan (insensible) yaitu dengan mengubah air dalam tubuh menjadi uap air
. Pada suhu lingkungan 35C, sekitar 25% panas tubuh dikeluarkan melalui kulit dan
75% melalui penguapan, biasanya unggas terengah-engah sehingga lebih banyak air
dapat diuapkan dari permukaan paru-paru.

2.6 Sistem Imun Pada Unggas


Vertebrata, termasuk ayam, pada dasarnya memiliki dua jenis sistem
pertahanan terhadap agen infeksi yaitu imunitas bawaan (non-spesifik) dan imunitas
adaptif (spesifik). Imunitas non-spesifik terdiri dari spektrum yang luas dari
mekanisme pertahanan, yaitu
1. Hambatan fisik dan biokimia yang dirancang untuk mencegah invasi oleh agen
infeksi dan non-infeksi (antigen), dan
2. Larut dan seluler komponen mampu menghilangkan zat-zat asing (antigen) yang
telah berhasil menginvasi jaringan tubuh.
Komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh non-spesifik yaity monosit /
makrofag, heterophils (neutrofil pada mamalia), basofil, eosinofil, dan sel-sel
pembunuh alami. Untuk sebagian besar, imunitas non-spesifik sangat efektif dalam
menghilangkan antigen. Namun, ketika kekebalan non-spesifik tidak efektif, maka
perlu secara khusus fokus reaktivitas imun pada antigen. Pada titik ini, imunitas
spesifik diaktifkan.
Imunitas spesifik mencakup dua aspek imunitas yaitu humoral kekebalan,
yang dilakukan oleh antibodi, dan kekebalan yang diperantarai sel, yang mengacu
pada aktivitas sel T. Limfosit adalah komponen seluler imunitas tertentu. Ada
berbagai sub-populasi limfosit yang secara morfologis dibedakan dalam situs
pembangunan, lokasi jaringan, fenotipik ekspresi molekul permukaan sel, dan
kemampuan fungsional. Limfosit terdiri dari sel-sel B, yang berkembang di bursa

10

Fabricius, dan sel T, yang berkembang di timus. Kedua sel B dan sel T
mengekspresikan reseptor antigen pada permukaannya. Setiap B sel dan sel T
memiliki seperangkat homogen antigen-reseptor spesifik untuk antigen tertentu.
Secara kolektif, sel B dan kompartemen sel T masing-masing memiliki repertoar
hampir 109 berbeda antigen-kekhususan.
Setelah pertemuan pertama dengan antigen, misalnya patogen "A", relatif
sedikit terdapat sel T dan B dengan reseptor spesifik untuk antigen. Sebelum patogen
"A" bisa dihilangkan dengan komponen imun spesifik, sel T dan B dengan patogen
"A" - reseptor spesifik harus berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi sel efektor
(misalnya antibodi yang memproduksi sel plasma). Namun, proliferasi dan
diferensiasi waktu, sering memberikan patogen "A" kesempatan untuk menyebabkan
penyakit. Alih-alih menjadi sel efektor, sel patogen "A" juga dapat berdiferensiasi
menjadi berumur panjang, Oleh karena itu, selama T atau sel B respons terhadap
patogen "A", jumlah patogen "A'- sel-sel spesifik meningkat, menghasilkan sejumlah
besar patogen "A" sel efektor specifik dan sel memori. Sel-sel efektor akan
berpartisipasi dalam penghapusan patogen "A", sedangkan sel-sel memori akan
disisihkan, siap untuk secara efektif merespon patogen "A" mengulangi pertemuan
di atas sebelum patogen "A" dapat menyebabkan penyakit. Namun, pathogen "A" sel
memori -specifik tidak akan melindungi individu dari patogen yang berbeda
(misalnya patogen "B"). Konsep memperluas kolam sel-antigen spesifik dan
memproduksi sel memori-antigen spesifik secara langsung digunakan dalam program
vaksinasi, dimana non pathogen bentuk patogen diperkenalkan untuk sistem
kekebalan tubuh seseorang. Itu sistem kekebalan tubuh akan meningkat respon
terhadap komponen tertentu dari patogen seperti yang dijelaskan di atas. Setelah
pertemuan kemudian dengan bentuk patogen patogen, kekebalan tubuh sistem akan
siap untuk merespon dan menghilangkan patogen yang sebelumnya dapat
menyebabkan penyakit.
Sel B antigen-reseptor (reseptor sel B atau BCR) terdiri dari antigen-spesifik,
membran-terikat imunoglobulin dan protein sinyal TCR-terkait. Ketika sel B bertemu
antigen yang memiliki BCR tertentu, dapat mengikat antigen melalui BCR.

11

Pengikatan antigen ke BCR memberikan sinyal pertama untuk aktivasi sel B. Dalam
kebanyakan interaksi sel-antigen B, sel B memerlukan sinyal kedua dari sel T, di
bentuk faktor larut atau langsung melalui T kontak sel-sel B, sebelum dapat menjadi
sepenuhnya diaktifkan. Setelah diaktifkan, mengalikan sel B dan membedakan baik
ke antibodi yang memproduksi sel plasma atau sel memori. Sebuah respon sel B yang
memerlukan sinyal kedua dari sel T disebut respon tergantung T. Antigen tertentu,
atau yang disebut T independen antigen, dapat mengaktifkan sel-sel B tanpa faktor
tambahan dari sel T (T independen respon).
Antibodi, daripada sel B itu sendiri, adalah efektor sebenarnya humoral yang
merespon imun. Karena kemampuan mereka untuk secara khusus berinteraksi dengan
antigen, antibodi bisa sangat meningkatkan efektivitas komponen non-spesifik imun.
Sebagai contoh antibodi meningkatkan kemampuan sel fagosit untuk menangkap dan
menghilangkan antigen, mengaktifkan sistem komplemen, dan mencegah antigen dari
mengikat dan menginfeksi sel. Pada ayam, tiga kelas molekul antibodi
(imunoglobulin; Ig) telah diidentifikasi. Ini adalah IgM, IgG (lgY), dan IgA.
Tergantung pada jenis dan tahap respon imun humoral, kelas yang berbeda
antibodi mendominasi. Mayoritas antibodi selama respon imun primer adalah dari
kelas IgM. Sebuah perubahan dari IgM ke IgY atau IgA dapat diamati menjelang
akhir respon imun primer, namun, Ig kelas beralih ke IgY atau IgA yang paling jelas
selama satu detik atau paparan berulang terhadap antigen yang sama. Selain itu, kelas
yang berbeda dari antibodi memiliki kemampuan fungsional yang berbeda. IgM
memiliki kemampuan untuk dengan mudah mengaglutinasi antigen besar dan
menyebabkan pengendapan antigen larut, sehingga sangat meningkatkan sistem
kekebalan tubuh kemampuan untuk menghapus antigen melalui fagositosis. IgA
ditemukan dalam sekresi dan fungsi di permukaan mukosa, dan IgY dapat ditransfer
dari sirkulasi perifer dari ayam ke dalam telur (antibodi maternal).
Demikian seperti sel B, masing-masing sel T memiliki seperangkat homogen
reseptor antigen (sel T reseptor; TCR) khusus untuk antigen tertentu. Independen
antigen-kekhususan, sel T TCR bisa milik salah satu dari tiga kelas. Ini adalah: TCR
1, heterodimer yang terdiri dari gamma (y) dan delta () rantai protein; TCR 2,

12

heterodimer yang terdiri dari alpha () dan beta () rantai protein yang dikodekan
sebagian oleh gen V1; dan TCR 3, yaitu juga merupakan heterodimer tapi
rantai dikodekan sebagian oleh gen V2. Bagaimanapun jenis TCR T yang sel
diungkapkan, ekspresi TCR selalu dikaitkan dengan kelompok protein signaling,
secara kolektif disebut sebagai kompleks CD3. Sel T pertama mengekspresikan TCR
mereka selama pengembangan sel T thymus.

13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peranan unggas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini dapat
dimengerti karena unggas mampu memberikan kontribusi yang tinggi terhadap
pembangunan bidang pertanian, khususnya sub bidang peternakan. Dewasa ini
terdapat banyak sekali ayam hasil perbaikan mutu genetis sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kualitas mutu genetis yang
baik, produksi yang berkelanjutan dengan hasil produksi maksimal, peternak harus
dapat melihat bagaimana sesungguhnya sifat sifat alami bangsa unggas tersebut.
Pengetahuan mengenai sifat sifat alami bangsa unggas seperti respon cahaya,
molting, sifat mengeram, pengaturan suhu tubuh, system imun, dan system
pendengaran ternak unggas perlu untuk dipahami lebih dalam agar dapat melakukan
pemeliharaan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Bill, C. 2011. Small Flock Poultry Health. Poultry Veterinarian, Animal Health
Branch, BC Ministry of Agriculture, 1767 Angus Campbell Rd. Abbotsford,
BC.

Blakely, J and Bade, H.D. 1991. IlmuPeternakan, edisikeempat. Diterjemahkan oleh


Bambang, S. Yogyakarta: UGM Press.
Cooper, C. 2012. The Complete Beginner's Guide to Raising Small Animals. Atlantic
Publishing Company.
Drowns, G. 2012. Storey's Guide to Raising Poultry, 4th Edition: Chickens, Turkeys,
Ducks, Geese, Guineas.

14

Eekeren, N.V., Maas, A., Saatkamp, H.W., Verschuur, M. 2006. Small-scale chicken
production. Digigrafi, Wageningen, The Netherlands.
Manley, A.G., Popper, N.A., and Fay, R.R. 2004. Evaluation of the vertebrata
auditory sytem.Springer Science and Business Media.
Muir, M.W and Anggrey, S.E. 2003. Poulry Genetics, Breeding and Biotechonology.
CABI.
Pon, K and Pond, W. 2000. Introduction to Animal Science. United States of
Amerika: Lehingh Press.
Supriatna,.E.Atmomarsono,.U.dan Karta,.R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Whittow .,G.,Causey. 1999. Avian Physiology 5thEdition. Honolulu: Academic press.
Widodo.,W dan Hakim.,L. 1981. Pemuliaan Ternak. Malang: Universitas Brawijaya
Malang.
Williamson,.G and Payne,.W,.A,.W.(Darmadja,.SGN,.D).1959. An Introduction To
Animal Husbandry In The Tropics. (Pengantar peternakan di daerah Tropis).
Yogyakarta: Gajamada University Press.
Willis, K and Ludlow, R. 2009. Raising Chickens for Dummnies. John Wiley and
sons.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius.

15

Anda mungkin juga menyukai