Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS NERACA AIR LAHAN KERING PADA IKLIM KERING UNTUK MENDUKUNG

POLA TANAM

Sarjiman dan Mulyadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DI Yogyakarta

ABSTRAK

Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya
sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh
manusia. Analisis ini membahas hubungan ketiga faktor tersebut untuk menurunkan resiko gagal panen di lahan kering.
Survei lapang dan pengumpulan data dilakukan pada tahun 2005 di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunngkidul, D I Y.
Analisis neraca air lahan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather. Hasil analisis menunjukkan bahwa musim
tanam mulai bulan Nopember sampai April dan defisit air mulai bulan Mei sampai Oktober, sedangkan surplus air terjadi
bulan Januari sampai Maret.

Kata kunci: neraca air tanaman, lahan kering, pola tanam.

PENDAHULUAN

Inventarisasi berbagai potensi alam termasuk faktor pembatas yang mungkin ada untuk menentukan
kemampuan wilayah dan berbagai komoditas serta teknologi yang akan diterapkan merupakan tahapan
perencanaan pembangunan pertanian. Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun pada kondisi tertentu
dianggap sebagai faktor pembatas. Unsur iklim seperti curah hujan, suhu dan kelembaban sering
menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat atas, karena sifatnya
permanen dan sulit dimodifikasi, akibatnya dapat menutup peluang untuk pengembangan bagi komoditas
tertentu (Sibuea dan Pramudia,1992). Penggunaan perhitungan neraca air lahan yang sekali gus menyajikan
periode musim hujan atau kemarau, diharapkan dapat mencegah kesalahan yang mungkin terjadi dalam
penetapan pola tanam (Abujamin, 2000).
Lahan kering ditandai adanya sumber air untuk pertanian berasal dari curah hujan saja, sedangkan
iklim kering dibatasi adanya jumlah curah hujan per tahun kurang dari 2000 mm. Sebaran dan tinggi hujan
di lahan kering sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Karakteristik curah hujan di lahan
kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia.
Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan salah satu model pola tanam. Paper ini membahas hasil analisis
neraca air lahan untuk mendukung pola tanam di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul sebagai
wilayah kering di Yogyakarta.

METODOLOGI PENELITIAN

Survei pengumpulan data iklim dari stasiun pengamatan di kantor pengairan Kecamatan Semin
meliputi temperatur rerata bulanan, curah hujan bulanan lebih dari 10 tahun dan pengambilan contoh tanah
untuk analisis fisika di lboratorium tanah. Analisis fisika tanah berupa kadar air tanah kapasitas lapang dan
titk layu permanen. Analisis neraca air lahan agroklimat untuk keperluan tanaman pertanian dibagi menjadi
tiga tahapan, yaitu neraca air umum, neraca air lahan dan neraca air tanaman (Abujamin 2000).
Analisis neraca air menggunakan sistem tatabuku di Kecamatan Semin berdasarkan kadar air tanah
(KAT) lebih kecil dari kapasitas lapang untuk setiap APWL (accumulation of point water loss) untuk tanah
dengan nilai kapasitas lapang sebesar 300 mm/m. Langkah analisis data berdasarkan model neraca air dengan
prinsip masukan (M) sama dengan pengeluaran (K). Asumsinya bahwa sumber air adalah murni curah hujan,
kedalaman tanah hingga 100 cm homogen, evapotranspirasi (ETP) merupakan nilai maksimum lahan
tanaman pertanian dan keluaran fungsi air hujan untuk ETP, meningkatkan kadar air tanah dan sisanya
sebagai air bawah tanah ataupun aliran permukaan (run off). Prosedur analisis mengikuti persamaan sebagai
berikut :
M = K...............................................................................................................(1)
CH = ETP+S CH...............................................................................................(2)
CH = ETP+dKAT+S..........................................................................................(3)
S = CH-ETP-dKAT........................................................................................(4)

1
ETP = (x/12)(Y/30)*ETP dasar...........................................................................(5)
ETP dasar = 16(10T/I)ª.................................................................................................(6)
ETA = CH + |dKAT|; (jika CH>ETP)..................................................................(7)
ETA = ETP; (Jika CH<ETP)................................................................................(8)
Di mana M = masukan, K = keluar, CH = curah hujan (mm/bulan), ETP = evapotranspirasi(mm/bulan), S
= Surplus Surplus air dapat berupa genangan atau air perkolasi dKAT = perubahan kadar air tanah.
Penentuan pola tanam berdasarkan periode tanam tersedia sesuai kebutuhan air dan iklim bagi tanaman
(Pramudia dan Santosa, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Air merupakan bahan alami yang secara mutlak diperlukan tanaman dalam jumlah cukup dan pada
saat yang tepat. Kelebihan ataupun kekurangan air mudah menimbulkan bencana. Tanaman yang mengalami
kekeringan akan berdampak penurunan kualitas ataupun gagal panen. Kelebihan air dapat menimbulkan
pencucian hara, erosi ataupun banjir yang memungkinkan gagal panen. Hasil analisis neraca air pada Tebel 1
menunjukkan bahwa total hujan selama setahun sebesar 1372 mm, dipergunakan untuk keperluan
evapotranspirasi aktual (ETA) sebesar 1783 mm, sehingga terjadi defisit air sebsar 411 mm/tahun. Sebaran
defisit air terjadi mulai bulan Mei sampai Oktober. Pada periode tersebut merupakan periode musim
kemarau. Musim demikian memasuki kegiatan panen musim kedua dan dilanjutkan persiapan tanam untuk
musim hujan berikutnya. Sistem olah tanah di lahan kering Gunungkidul lebih efisien dilakukan pada musim
kemarau, karena tanah tidak melekat pada mata bajak dan pada kondisi lahan kosong/bero.
Adanya defisit air pada periode tersebut petani peternak mengalami degradasi kekurangan pakan.
Untuk mengatasi kekurangan pakan ternak, mereka mendatangkan pakan dari luar daerah atau menanam
tanaman sela yang mempunyai perakaran dalam, seperti turi, lamtoro ataupun tanaman tahan kering seperti
rumput setaria. Rerumputan ini umumnya bertahan sampai bulan Juni sedangkan tanaman turi bertahan
sampai bulan Oktober. Pola tanam di lahan kering ini merupakan inovasi dan modifikasi manusia terhadap
tekanan sumber daya iklim di lahan kering.
Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai
lebih dari 50 mm. Petani secara serempak menanam baik monokultur maupun tumpangsari. Persiapan lahan
dilakukan pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun tidak terdapat
kekosongan. Panen ubi kayu dilakukan pada musim kemarau dengan memanfaatkan sinar matahari untuk
penjemuran gaplek dan pengolahan tanah. Limbah ubi kayu juga dimanfaatkan untuk menambah kebutuhan
pakan ternak.
Curah Hujan
Curah hujan pada peluang 50% terlampaui menurut sebaran normal (Gambar 1) menunjukkan
bahwa tiap bulan hampir ada hujan, meskipun demikian hujan yang jatuh tidak mencukupi untuk
evapotranspirasi aktual (ETA). Berdasarkan sebaran hujan maka daerah Semin termasuk iklim D-3 ( 3 bulan
basah dan 6 bulan kering berurutan). Rekomendasi Oldeman hanya satu kali tanam padi atau palawija dalam
setahun. Berdasarkan analisis neraca air lahan ternyata dapat ditanam dua kali (Gambar 2). Penanaman dua
kali melalui modifikasi penyesuaian ketersediaan kadar air tanah dan curah hujan serta kebutuhan air bagi
tanamaan.
Tinggi hujan di bawah evapotranspirasi merupakan bulan kering (musim kemarau).
Evapotranspirasi aktual mengikuti sebaran hujan, karena kejadian transpirasi berkaitan dengan ketersediaan
air tanah pada daerah perakaran. Jika terjadi penurunan kadar air tanah maka terjadi tahanan untuk proses
evapotranspirasi. Selain itu pada musim kering kerapatan tanaman sudah berkurang atau sudah panen,
dengan demikian transpirasi juga berkurang. Surplus sebesar 264 mm/tahun merupakan jumlah hujan
dikurangi jumlah evapotranspirasi terjadi pada bulan Januari sampai Maret (Gambar 1). Surplus tersebut
sebagian berbentuk aliran permukaan dan masuk ke sungai. Sebaliknya defisit kadar air tanah terjadi pada
bulan Mei sampai Nopember (Gambar 2). Defisit terjadi karena jumlah hujan lebih kecil dari
evapotranspirasi potensiil, meskipun demikian cadangan air dalam tanah memungkinkan untuk kebutuhan
tanaman, selama kadar air tanah pada kapasitas lapang.
Kadar air tanah (KAT) di wilayah yang mempunyai musim kering akan mengalami penurunan. Air
tanah dimanfaatkan untuk evapotranspirasi (ETA) maka apabila air tanah tidak disuplai oleh hujan akan
mengalami defisit dan kondisi demikian disebut musim kemarau. Hasil analisis neraca air lahan periode
defisit dimulai bulan Mei dan berakhir bulan Nopember.

2
mm
300
Gambar 1: Neraca air lahan di Semin, Gunungkidul, Yogyakarta

250

200

150

Gambar 2: Neraca air dan alternatip pola tanam

100

50
3
Tabel 1. Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Menggunakan Sistem Tatabuku dengan Kadar Air Tanah Pada Kapasitas Lapang 300 mm/meter, Titik Layu
Permanen 250 mm/meter, pada Peluang Hujan 50% Terlampaui
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Tahunan
T (°C) 26,80 27,50 27,80 27,60 27,60 27,60 25,80 26,00 27,00 27,50 27,70 26,60 27,13
CH (mm) 254,26 244,55 229,05 120,92 70,77 47,91 27,46 4,76 15,18 73,11 138,74 145,27 1371,97
I 12,70 13,21 13,43 13,28 13,28 13,28 11,99 12,13 12,85 13,21 13,36 12,56 155,30
a 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 47,33
ETP Dasar 139,11 154,08 160,85 156,31 156,31 156,31 119,65 123,37 143,27 154,08 158,57 135,04 1756,95
x/12 1,04 1,03 1,00 0,99 0,99 0,98 0,98 0,98 1,00 1,02 1,03 0,98 12,02
y/30 1,03 0,93 1,03 1,00 1,03 1,00 1,03 1,03 1,00 1,03 1,00 1,03 12,17
ETP (mm) 149,50 148,12 166,21 154,75 159,91 153,19 121,16 124,93 143,27 162,40 163,33 136,75 1783,51
CH-ETP 104,76 96,43 62,84 -33,83 -89,14 -105,28 -93,70 -120,16 -128,09 -89,29 -24,58 8,52 -411,54
APWL -34,00 -123,14 -228,42 -322,12 -442,29 -570,38 -659,67 -684,25 -3064,26
KAT 300,00 300,00 300,00 268,00 198,00 139,00 102,00 68,00 44,00 32,00 30,00 300,00 2081,00
d KAT 0,00 0,00 0,00 -32,00 -70,00 -59,00 -37,00 -34,00 -24,00 -12,00 -2,00 270,00 0,00
ETA 149,50 148,12 166,21 152,92 140,77 106,91 64,46 38,76 39,18 85,11 140,74 136,75 1369,43
DEF 0,00 0,00 0,00 1,83 19,14 46,28 56,70 86,16 104,09 77,29 22,58 0,00 414,08
S 104,76 96,43 62,84 -1,83 -19,14 -46,28 -56,70 -86,16 -104,09 -77,29 -22,58 -261,48 -411,54
Keterangan : I = indek panas bulanan; a = konstanta panas; x = panjang hari; y = jumlah hari dalam sebulan; ETP dasar = evapotrnspirasi potensiia dasar, CH = curah hujan,
APWL= accumulation of potential water loss; KAT = kadar air tanah; dKAT = perubahan KAT; ETA = evapotrnspirasi aktual; DEF = defisit, S=surplus
Rumus pendugaan ETA adalah : I = (T/5)1.514; I = i total Januari sampai Desember;
a = 675 x 10-9 x I3 – 771 x 10-7 x I2 + 17922 x 10-5 x I + 49239 x 10-5;
ETP dasar = 16(10T/I)ª dalam mm/bln; ETP = (x/12)(y/30)(ETP dasar);
x = panjang hari(jam); y = jumlah hari dalam sebulan.

4
Pola Tanam
Jumlah curah hujan 1372 mm/tahun mempunyai 3 bulan basah dan 6 bulan kering berurutan dan
termasuk zone agroklimat D-3 Oldeman) sehingga direkomendasikan satu kali tanam per tahun. Hasil
analisis neraca air lahan dapat bertanam dua kali per tahun, dengan modifikasi pola tanam Gogo rancah(gora)
dan semai padi di luar lahan dan ditanam umur semai 17 hari. Pola tanam terpilih ada dua model, yaitu
gogorancah(Gora) dilanjutkan sistem sawah dan selanjutnya bero dan persiapan gogo rancah lagi. Model
kedua sistem tumpangsari (TS) maupun monokultur jagung. Rekayasa pola tanam merupakan hasil interaksi
kebutuhan manusia terhadap ketersediaan dan potensiil sumber daya alam. Selama ini pola tanam yang
dikembangkan oleh petani di Semin, Gunungkidul secara tumpangsari. Penaman dimulai pertengahan bulan
Oktober sampai Nopember (tergantung tinggi hujan di atas 50 mm selama 10 hari). Berdasarkan analisis
neraca air lahan (Gambar 2) penanaman pada musim pertama akan panen pada akhir bulan Januari,
selanjutnya musim tanam ke dua dimulai bulan Februari dan panen awal bulan Mei.
Pola tanam monokultur pada komoditas jagung dewasa ini mulai berkembang di lahan kering.
Hasil analisis usahatani di lokasi Semin menunjukkan bahwa sistem monokultur jagung memberikan
keuntungan sebesar Rp 223.000/1000 m². Sistem monokultur lebih diminati petani karena sistem
budidayanya lebih seragam selain itu pemahaman dan pengamatan faktor iklim sudah mulai berkembang
sesuai dengan komoditas yang diminati.

KESIMPULAN

1. Surplus air hujan terjadi bulan Januari sampai Maret, dan defisit kadar air tanah dari kapasitas lapang
terjadi pada bulam April sampai November.
2. Pola tanam sistem monokultur atau gogo rancah dimulai bulan Oktober dan sistem sawah dimulai bulan
Februari, selanjutnya bero dan persiapan tanam untuk musim berikutnya.
3. Pola tanam sistem tumpangsari mulai bulan Oktober atau awal Nopember dengan komoditas ubi kayu,
jagung, kacang tanah atau gogo pada musim tanam ke-I dan musim tanam ke-II mulai bulan Februari
sistem sisipan tanaman pangan di antara ubi kayu dipanen bulan Mei, ubi kayu dipanen bulan Agustus.

DAFTAR PUSTAKA

Abujamin A A. 2000. Penentuan penghitungan neraca air Agroklimat. Makalah disampaikan pada program
pelatihan peningkatan dalam bidang Agroklimatologi Kerja sama antara Badan Litbang Pertanian,
Deptan dan FMIPA-IPB. Bogor. 31 Agustus – 2 Nopember 2000. Tidak diterbitkan. 28 halaman
Sibuea L H dan Pramudia A. 1992. Penggunaan Neraca air tanah di Pulau Timor Bagian Barat dan
penggunaan untuk evaluasi tingkat kesesuaian lahan dengan studi kasus di daerah Besikama.
Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 512 – 521
Pramudia A dan Santosa I. 1992. Analisis periode tanam kedelai di daearah Semi-Arit Tropik. Stui kasus di
daerah Segaranten Kabupaten Sukabumi. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang
20-22 Agustus 1991. Halaman 397-412

Unsur-unsur iklim ini terdiri dari radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan,
presipitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin

Anda mungkin juga menyukai