Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu
orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah umumnya berhubungan dengan
kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok dan tidak
berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. Menurut penelitian, dilaporkan bahwa reaksi
transfusi darah yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% responden, dimana 55% berupa
demam, 14% menggigil, 20% reaksi alergi terutama urtikaria, 6% hepatitis serum positif, 4%
reaksi hemolitik dan 1% overload sirkulasi (Sudoyo, 2006).
Reaksi transfusi darah yang paling berat adalah reaksi hemolitik yang berhubungan
dengan inkompatibilitas ABO, dimana antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi
melawan antigen dari transfusi (asing), sehingga mengaktifkan komplemen, dan
mengakibatkan terjadinya hemolisis intravascular (Morgan, 2005). Manifestasi klinis yang
dapat ditemui pada pasien yang mengalami reaksi hemolisis intravascular adalah demam,
menggigil, kemerahan, nyeri pada punggung bagian bawah, takikardi dan hipotensi, kolaps
pembuluh darah sampai henti jantung.
Mistransfusi, di mana terjadi kesalahan dalam pemberian transfusi darah kepada
penerima merupakan kesalahan yang paling sering mengakibatkan inkompatibilitas ABO.
Inkompatibilitas ABO umumnya terjadi karena kesalahan dalam pemberian label dan salah
mengidentifikasi darah atau pasien. Oleh karena itu, sebelum memberikan transfusi darah
dilakukan pemeriksaan pre tansfusi untuk memastikan bahwa semua yang akan dilakukan
sudah tepat. Tes kompatibilitas dapat dilakukan untuk memprediksi dan mencegah antigenantibodi sebagai hasil transfusi sel darah merah. Tes kompatibilitas yang dapat dilakukan
antara lain Crossmatching dan Screening Anti body. Kedua pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai jenis ABO dan Rhesus. Namun kelemahan pada kedua
pemeriksaan ini adalah keduanya membutuhkan waktu 5-45 menit untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan.

BAB II
ISI
I.

Definisi Transfusi Darah

Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke
sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.4 Berdasarkan sumber darah atau
komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari
orang lain;
2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu
sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.
II.

Golongan Darah

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik berbeda.
Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari masing-masing
adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem
yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody
(alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi
dapat menjadi alami atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau
transfusi sebelumnya.11
2.1 Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-masing
merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel
glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan
B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibodi
(sebagian besar immunoglobulin M) melawan antigens di dalam tahun pertama kehidupan.
Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat
berbeda. Tidak adanya antigen H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah
munculny gen A atau B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A,
anti-B, dan anti-H antibodi.4,8
Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi dalam
plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini akan
mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM (intravaskular
hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a dan C5a yang akan
membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan menstimulasi degranulasi sel mast
dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua substansi ini bisa menyebabkan
inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan hipotensi yang akan mengarah ke shock
dan gagal ginjal. Mediator juga akan menyebabkan agregasi platelet, oedema paru
peribronchial, dan kontraksi otot kecil.

Tabel 7. Daftar Golongan Darah


Golongan Antigen di RBC Antibodi dalam plasma
A
Antigen A
Anti-B
B
Antigen B
Anti-A
AB
Antigen A & B Tidak ada
O
Tidak ada
Anti- A & B
Sumber:...................................

Golongan donor yang kompatibel


A, O
B, O
A, B, AB, O
O

2.2 Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar 46 Rhberhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e)
dan menyesuaikan dengan antibody.
Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen,
dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen
D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan
melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau
kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).
2.3 Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg,
Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian
( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi
hemolytic serius.
III.

Macam-macam Transfusi Darah

Macam transfusi darah :


1. Transfusi dengan darah seluruhnya ( whole blood )
Indikasi transfusi dengan whole blood :
Perdarahan akut dan profuse menyebabkan hipovolemik syok
Exchange transfusion : haemolitik diseases of the new born Intoxicaci.
Keuntungan : mudah didapat dan tekniknya lebih mudah.
Kerugian : lebih sering kemungkinan terjadinya reaksi tranfuse.
Macam transfusi dengan whole blood :
1. Fresh Blood: darah setelah pengambilan/telah disimpan pada suhu 4 derajat celcius,
selama kurang dari 6 jam.
2. Stored Blood : darah yang telah disimpan pada suhu 4 derajat celcius, selama lebih dari 6
jam. Trombosit, faktor V, VII, biasanya mudah rusak.
2. Transfusi dengan komponen darah
1. Komponen darah padat (sel darah)
Transfusi dengan Sel Darah Merah (SDM) :
-SDM diendapkan
-SDM dipadatkan (Packed RBC)
-Lekosit Poor RBC
-Washed RBC
Transfusi dengan sel darah putih (SDP)
Transfusi dengan trombosit :
-Platellet Rich Plasma (PRP)
-Platellet Concentrate (PC)

2. Komponen darah non sel (komponen cair) :


Transfusi dengan Plasma :
-single donor plasma
-pooled plasma
Transfusi dengan fraksi plasma : albumin, globulin, fibrinogen, AHF (anti hemophilitik
factor), dsb.
I. TRANSFUSI DENGAN SEL DARAH MERAH (SDM)
Transfusi dengan memakai sel darah merah yang diendapkan/dipadatkan dengan nama : PRC
(Packed Red Cells). Cara membuat PRC : Darah disentrifuse dengan kecepatan 2000rpm,
selama 60 menit. Kemudian plasma dipisahkan, sehingga volume darah menjadi 60-70% dari
semula. PRC yang telah dibuat harus dipakai dalam waktu kurang dari 4jam. Dengan
teknologi yang lebih maju, proses pemisahan darah dan plasma itu dilakukan dengan sistem
tertutup, sehingga PRC yang terbentuk masih bisa dipakai asal tidak melebihi 21 hari. Hal
tersebut karena PRC merupakan media yang baik untuk kuman.
Keuntungan transfusi dengan PRC :
Dapat diberikan SDM dalam jumlah yang banyak pada satu kali transfusi.
Penambahan volume darah lebih sedikit, sehingga bahaya decom cordis menurun.
Kadar Na, K, NH4, dan penderita lain.
Plasma dapat digunakan pada penderita lain.
Kadar anti A dan anti B dalam PRC rendah, sehingga dapat dilakukan substitusi bila
diperlukan.
Kemungkinan terjadinya reaksi transfusi juga lebih kecil.
Kerugian transfusi dengan PRC :
PRC yg terbentuk harus dipakai dalam waktu < 4jam/21 hari.
PRC tidak mengandung faktor pembekuan darah, sehingga tidak dapat memperbaiki
perdarahan bila diperlukan.
Indikasi transfusi dengan PRC :
Anemia tanpa penurunan volume darh, misal : perdarahan kronis, defisiensi Fe.
Penderita dengan decom, cordis (vol penambahan sedikit).
Penderita sirhosis hepatic (kadar NH4 sedikit).
Transfusi dengan sel darah merah yang lainnya adalah dengan : LEUKOSIT POOR RBC
(LPRBC), yaitu sel darah merah yang mengandung sedikit sekali sel darah putih (leukosit).
Sebagaimana diketahui leukosit adalah penyebab reaksi transfusi. Jadi dengan mengurangi
kandungan leukosit dalam darah yang hendak ditransfusikan, diharapkan kemungkinan
terjadinya reaksi transfusi dapat dikurangi.
Indikasi transfusi dengan LPRBC :
Penderita yang memiliki titer antibodi leukosit yang tinggi.
Penderita yang pernah mengalami reaksi transfusi yang berat.
Kontraindikasi transfusi dengan LPRBC :
Penderita dengan leukopeni yg berat
Kerugian transfusi ini adalah : lekosit tdk dpt dihilangkan 100%.
Jenis transfusi dengan sel darah merah lain : transfusi dengan WASHED RBC (WRBC)
Tujuan pencucian sel darah merah ini :
Menghilangkan protein plasma.
Menghilangkan antibodi pd sel darah merah (Anti A/Anti B).
Menghilangkan/mengurangi sel darah putih (lekosit).
Kerugian pada transfusi dengan WRBC : pencucian yang berulang menjadikan sterilisasi
darah kurang terjamin. Indikasi transfusi dengan WRBC : pada penderita dengan gangguan
autoimun.
II. TRANSFUSI DENGAN SEL DARAH PUTIH

Indikasi pemberian transfusi dengan sel darah putih : bila terjadi leukopeni yang berat
sehingga khawatir terjadi suatu reaksi. Transfusi dengan sel darah putih tidak efektif karena :
Umur leukosit yang pendek.
Jumlah leukosit yang sedikit. Untuk meningkatkan 1500 leukosit diperlukan sekitar 40 unit
darah segar. Transfusi dengan sel darah putih jarang sekali digunakan.
III.TRANSFUSI DENGAN TROMBSIT
Indikasi pemberian transfusi dengan trombosit adalah bila terjadi trombositopeni yang berat,
sehingga dikhawatirkan terjadi perdarahan. Terdapat 2 macam trombositopeni yang dapat
ditransfusikan :
PRP (Plathellet Rich Plasma)
PC (Platellet Concetrate)
Cara mendapatkan PRP dan PC adalah : darah disentrifuse selam 3 menit dengan kecepatan
2300 rpm, maka supernatan nya adalah PRP. Bila PRP tersebut disentrifuse lagi selama 3
menit dengan kecepatan 2300 rpm, maka endapan yang terjadi adalah PC. Untuk melakukan
transfusi dengan trombosit ini tidak perlu dilakukan reaksi silang terhadap gol.darah ABO,
sedangkan terhadap Rhesus masih tetap dilakukan. Pemberian 1 unit PC dapt meningkatkan
sekitar 15.000/mm3 trombosit. Setelah suatu transfusi dengan trombosit, maka umur
trombosit hanya sekitar 1-3 hari, sehingga dapat dilakukan transfusi sebanyak 2-3 kali dalam
seminggu.
IV. TRANSFUSI DENGAN KOMPONEN CAIR (PLASMA)
1. Transfusi dengan plasma :
Indikasi pemberian transfusi dengan plasma adalah :
Suatu keadaan dimana banyak plasma yang hilang, misalnya : luka bakar yang luas,
demam berdarah, dsb.
Dehidrasi
Perdarahan oleh karena defisiensi faktor pembekuan darah. Transfusi dengan plasma
ini ada 2 macam :
1) Single Donor Plasma
Dibuat dari 1 unit darah
Resiko hepatitis lebih kecil
Titer iso antibody tinggi
2) Pooled Plasma
Dibuat dari beberapa unit darah
Resiko terkena hepatitis tinggi
Titer iso antibody kecil
Volume yg didapat cukup tinggi
Kerugian pemberian tranfusi dengan plasma adalah bahwa transfusi ini tidak
dapat mengatasi anemia. Keuntungan pemberian transfusi dengan plasma,
dibanding transfusi dengan Whole Blood adalah :
Tidak perlu dilakukan reaksi silang.
Unit darah dipakai untuk beberapa macam transfusi.
Kemungkinan reaksi hemolitik kecil
2. Transfusi dengan plasma spesifik :
Albumin.
Cryoprecipitate (anti hemophili concetrate).
3. Transfusi dengan gamma globulin : pemberian antibodi.
4. Transfusi dengan fibrinogen.
IV.

Tes Kompatibilitas

Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigenantibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di
periksa adanya antibody yang tidak baik.
Tabel 9. Golongan darah ABO
TIPE
A
B
AB
O

Adanya antibodi dalam serum


anti B
anti A
anti A, antiB

* angka rata-rata

Insidensi*
45%
8%
4%
43%

pada orang di Eropa

4.1 Tes ABO-Rh


Reaksi Transfusi
yang paling berat adalah yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO. antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen
dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular.
Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A
dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO
alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel
darah merah dengan antigen yang dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika
hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah
paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.
4.2 Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch
mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2)
mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer
rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45
menit.
4.3 Screening Antibodi
Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya
dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak
langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah
merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah
dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel daraah.
Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor
sebagai ganti dari crossmatch.
V.

Komponen Darah

5.1 Whole blood

Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan bedah
mayor dengan perdarahan >1500 mL. Darah lengkap segar hanya untuk 48 jam, baru untuk 6
hari, dan biasa untuk 35 hari. Sekarang produk ini sudah jarang digunakan, para klinisi lebih
senang menggunakan produk komponen darah saja.
5.2 Sel darah merah
Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari
whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis. Kandungan yang terdapat
dalam PRC: hematokrit sekitar 50-80%, +50 mL plasma, 42,5-80 hemoglobin (128-240 mL
eritrosit murni), 147-dan 278 mg besi. Transfusi PRC mempunyai waktu paruh sekitar 30
hari.
Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan dicapai.
Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus,
dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin
akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x hematokrit x 0,91.
Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik seperti
hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik, thalasemia.
Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir 10 g/dL.
5.3 Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet per
kantong, dan 50 mL plasma.
Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet
biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm.
Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan fungsi
platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa,
dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.
Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura.
5.4 Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL yang
dibekukan pada suhu -180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung Faktor V dan
Faktor VIII.
Indikasi: perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan kuagulopati pada penyakit hati,
trombotik trombositopenia purpura.
Dosis: 10-20 mL/kg.
5.5 Cryoprecipitated AHF
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan mencairkan
FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor VIII:vWF
(von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20 mL plasma.
Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1 kantong per
7-10 kgBB.
Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien dengan
hemofili A atau von Willebrands disease.
4.6 Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari
transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan

insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paruparu, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi
mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating
faktor, atau G-CSF) dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor,
atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
VI.

Komplikasi Transfusi Darah

6.1 Reaksi Hemolisis


Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang
inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hemolisis intravaskular.
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed
(extravascular).
1. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas
ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling
umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini
adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi.
Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada
pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat,
tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari
lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi
ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada
berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi
setelah transfusi 10 15 ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;

Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.

Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam


pembuluh darah.

Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP


2. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya
ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem
lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh Dkompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan
antigen asing. Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai
beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer
antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing
yang sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen
asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe
lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise,
jaundice, dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.

Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin


(Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak
bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran
antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang
lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah
merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct
antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi ginjal
harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi
selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.
3. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelet, atau protein plasma.
6.2 Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.
Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan
temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus
menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang
dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
6.3 Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik merah
dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang
transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi protein
plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H, dan mungkin H2
blockers) dan steroid.
6.4 Reaksi Anafilaksis
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA
pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi
defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan
pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA
perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free
blood Unit .
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual &
muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen.
Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk
menghilangkan gejala berikan antihistamin, misalnya chlorpheniramine 10 mg. Berikan
chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.
6.5 Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi
antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah
putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi

dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory
distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.
6.6 Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah
berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri
tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host. Iradiasi (1500-3000 cGy) sel
darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa
mengubah efikasi dari transfusi.
6.7 Purpura Posttransfusi
Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi
menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi.
Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.
6.8 Imunosupresi
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini
adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif
nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi
dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah
selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit
allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.
VII. Komplikasi Infeksi
7.1 Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis
setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan
hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000, 75%
tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hati
kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang
menjadi cirrhosis.
7.2 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi
darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi. Dengan
adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan
menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
7.3 Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit
sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu
menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan
virus. Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan
penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya,
pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.
Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari
transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negatif.

Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok
diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan
HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan
melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus
telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis
transient aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus
nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.
7.4 Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.
7.5 Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi
kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk RBC.
Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai
1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau
hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan
bakteri gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan
menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus
berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi
darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam
rickettsia.
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai
bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat
dipertimbangkan:
- Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau
meropenem 1 g tds iv.
- Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.
7.6 Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung ventrikel
kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan JVP, ronki
basal paru, hipertensi, dan takikardi.
Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.
7.7 Iron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya
bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila
transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.
Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-50 mg
subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.11
VIII. Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu
sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan
10-20 unit.
8.1 Koagulopati

Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional


thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan
transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.
8.2 Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting
setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi
melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan
penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus
kalsium selama transfusi masif.
8.3 Hipotermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah
cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia Ventrikular dapat menjadi
fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30C. Hypothermia dapat menghambat
resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat
efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan
transfuse.
8.4 Kelainan Asam Basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan
asam laktat), berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan
transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif
adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik
berakhir dan alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi
dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.
8.5 Perubahan Konsentrasi Kalium Serum
Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan
waktu. Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4
mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika
transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama
sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolik.
IX.
Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah
9.1 Transfusi Autologus
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan
tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama
operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien
diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih
34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara
mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi
besi dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit
pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi.
Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek
tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker.
Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi,

mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi
yang berhubungan dengan kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label,
pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam
kaitan dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous
dilakukan dengan frekuensi berkurang.
9.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang
Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah tulang.
Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah
(heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang
merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian
di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai
hematokrit 50-60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah
lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk
dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel
malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan
reinfusion darah tanpa centrifuge.
9.3 Normovolemik Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi
sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah
dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume
intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter
intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap
normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam
kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di
transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.
9.4 Donor Transfusi Langsung
Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang
mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan
umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah
dan mengkonfirmasikan kompatibilitas.
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor secara
random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.

Anda mungkin juga menyukai