Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Obat-obat antibiotik ditujukan untuk mencegah dan mengobati

penyakit- penyakit infeksi. Pemberian antibiotik pada kondisi yang bukan


disebabkan oleh bakteri banyak ditemukan dari praktek sehari-hari, baik di
puskesmas (primer), rumah sakit, maupun praktek swasta. Ketidaktepatan
diagnosis, pemilihan antibiotik, indikasi hingga dosis, cara pemberian,
frekuensi dan lama pemberian menjadi

penyebab

tidak

kuatnya

pengaruh infeksi dengan antibiotik (Depkes, 2002).


Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, penggunaan antibiotik sangat
tinggi, bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di Indonesia. Beberapa
fakta di negara berkembang menunjukkan 40% anak-anak yang terkena
diare akut, selain mendapatkan oralit juga mendapatkan antibiotik yang
tidak semestinya diberikan. Hanya 50% penderita malaria menerima anti
malaria sesuai rekomendasi. Hanya 50% - 70% penderita pneumonia
secara tepat diterapi dengan antibiotik, 60% penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) mengkonsumsi antibiotik dengan tidak tepat.
(Depkes, 2011)
Penggunaan antibiotik pada balita juga cukup tinggi, terutama pada
terapi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) baik pada saluran
pernafasan bagian atas maupun bagian bawah. Pada 22,6% kejadian
ISPA di DKI Jakarta pada tahun 2008, 42,5% merupakan pasien balita.
(Depkes, 2008)
Frekuensi pemakaian antibiotik yang tinggi tetapi tidak diimbangi
dengan ketentuan yang sesuai atau tidak rasional dapat menimbulkan
dampak negatif, salah satunya dapat terjadi resistensi.Resistensi antibiotik
dapat memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis, dan
beresiko perlunya penggunaan antibiotik tingkat lanjut yang lebih mahal
yang efektivitas serta toksinnya lebih besar.

Pemilihan antibiotik ditentukan oleh keadaan klinis pasien, kumankuman yang berperan dan sifat obat antibiotik itu sendiri. Faktor yang
perlu diperhatikan pada pemberian antibiotik dari segi keadaan klinis
pasien adalah kegawatan atau bukan kegawatan, usia pasien, insufisiensi
ginjal, gangguan fungsi hati, keadaan granulositopenia dan gangguan
pembekuan darah.
Terdapat beberapa kriteria untuk dapat dikatakan suatu pemberian
obat sudah rasional atau tidak. Prinsip dari pemberian obat yang rasional
adalah terpenuhinya enam tepat, yaitu tepat pasien, indikasi, obat,
dosis,

waktu pemberian, dan tepat informasi. Secara singkat pemakaian

atau peresepan suatu obat dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan


untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan
kemungkinan manfaatnya tidak sebanding

dengan

kemungkinan

efek

samping atau biayanya.


Sejauh ini, prinsip penggunaan obat pada anak dalam praktek
sehari-hari lebih banyak didasarkan atas prinsip pengobatan dewasa,
karenanya hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetika anak
masih sangat terbatas. Masalah penggunaan obat pada anak tidak saja
terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga
meliputi frekuensi, lama dan cara pemberian. Keadaan ini sering
menimbulkan terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional. Resep yang
rasional pada anak diperlukan untuk memberikan efek terapi maksimal
(Farmasi Klinik UGM,2008).

1.2

Permasalahan
Belum diketahuinya pola peresepan dan kerasionalan penggunaan

antibiotik pada pasien balita di Puskesmas OPI Palembang.


1.3

Tujuan Penelitian
Memperoleh gambaran mengenai pola peresepan dan kerasionalan

penggunaan antibiotik pada pasien balita di Puskesmas OPI Palembang


dari segi dosis dan indikasi.
1.4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran pada

tenaga kerja farmasi dan dokter mengenai pola peresepan dan kerasionalan
pengggunaan antibiotik pada pasien balita di Puskesmas OPI Palembang
dari segi dosis dan indikas. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan bisa
menjadi

masukan

penggunaan

pada dokter

antibiotik

pada

pengobatan yang efektif dan aman.

dalam meningkatkan kerasionalan


pasien

balita

sehingga

diperoleh

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANTIBIOTIK (Depkes, 2006), (Katzung, Bertram G. (ed.). 2006)


2.1.1 Definisi
Antibiotik ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama
fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun
dalam praktek sehari-hari antibiotik sintetik yang tidak diturunkan dari
produk mikroba juga sering digolongkan sebagai antibiotik.
2.1.2 Aktivitas dan Spektrum Antibiotik
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik dapat bersifat
bakteriostatik, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan ada pula
yang bersifat bakterisid, yaitu dapat membunuh mikroba.
Sifat antibiotik dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Seperti
penisilin G bersifat aktif terutama terhadap bakteri Gram-positif,
sedangkan bakeri Gram negatif pada umumnya tidak peka terhadap
penisilin G.
2.1.2

Klasifikasi
Klasifikasi antibiotik terdiri dari tujuh jenis. Penggunaan antibiotik

yang sering digunakan di Puskesmas adalah amoksisilin (golongan


penisilin), kloramfenikol,
kotrimiksazol,

kotrimoksazol

(golongan

sulfonamide,

dan antiseptik lainnya), oksitetrasiklin, dan eritromisin

(golongan antibiotik lain). Di puskesmas terdapat lima besar golongan


antibiotik yang paling sering digunakan yaitu Amoksisilin, Kotrimoksazol,
Ciprofloksasin, Tetrasiklin, dan Metronidazole.

Amoxicillin
Amoxicillin merupakan antibiotik paling banyak digunakan saat ini.
Masyarakat awam banyak membeli obat ini di toko obat atau apotek tanpa
resep dokter.
Amoxicillin adalah senyawa penisilina semisintetik dengan aktivitas
antibakteri spektrum luas dan bersifat bakterisid (membunuh bakteri),
efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positip dan beberapa gram
negatip yang patogen. Seperti golongan beta laktam lainya, obat ini bekerja
dengan cara mencegah bakteri membentuk dinding sel.
Indikasi
Infeksi saluran pernafasan : faringitis, langritis, bronkitis, pneumoni.
Infeksi saluran kemih : gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis,
pielonefritis.
Infeksi sluran cerna: disentri basiler.
Infeksi lain: otitis, septikemia, endokarditis.
Obat ini tidak digunakan untuk pengobatan meningitis atau infeksi
pada tulang/sendi karena amoxicillin oral tidak menembus ke dalam cairan
cerebrospinal atau sinovial.
Kontra Indikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap Penicillin dan turunannya.
Bayi baru lahir dimana ibunya hipersensitif terhadap Penicillin atau
turunannya. Hati - hati pemberian pada wanita menyusui karena diduga
dapat menyebabkan sensitifitas pada bayi
Pemakaian pada wanita hamil belum diketahui keamanannya dengan
pasti.
Pengobatan dengan Amoxicillin dan jangka waktu yang lama harus
disertai dengan pemeriksaan terhadap fungsi ginjal, hati dan darah.
Efek samping
Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti
urticaria, ruam kulit, angioedema dan gangguan saluran cerna seperti diare,
mual, muntah, glositis dan stomatitis. Kemungkinan reaksi anafilaksi.

Penggunaan dosis tinggi dalam jangka lama dapat menimbulkan


super infeksi (biasanya disebabkan Enterobacter, Pseudomonas, S. aureus,
Candida) terutama pada saluran gastrointestinal.
Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotik dengan spektrum luas,
bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan bakteri) dan bekerja dengan
cara menghambat sintesis protein pada bakteri.
Indikasi
Tetrasiklin banyak digunakan untuk mengobati jerawat (acne
vulgaris) dan penyakit kulit lain (rosacea). Infeksi saluran nafas, sinus,
telinga tengah, saluran kemih, dan saluran cerna (kolera).
Infeksi-infeksi oleh klamidia (limfogranuloma venereum, inclusion
conjunctivitis, tracoma, psitakosis).
Kontra indikasi
Tetrasiklin dapat menyebabkan pewarnaan pada gigi oleh karena
deposisi pada tulang dan gigi yang sedang tumbuh. Oleh karena itu
tetrasiklin sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun,
ibu hamil, dan ibu menyusui.
Tetrasiklin juga dapat memicu gagal ginjal, oleh karena itu sebaiknya
tidak diberikan pada pasien dengan penyakit ginjal.
Efek samping
Gangguan saluran cerna merupakan yang paling sering terjadi,
diantaranya seperti mual, muntah, diare, nyeri telan dan iritasi
kerongkongan.
Efek samping yang jarang terjadi termasuk kerusakan hati,
pankreatitis, gangguan darah, fotosensitif, dan reaksi hipersensitif (ruam,
urtikaria, angioedem, anafilaksis, sindrom steven-johnson).
Peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan nyeri kepala dan
gangguan penglihatan, hentikan pengobatan bila hal ini ditemukan.

Metronidazole
Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat
nitroimidazol yang mempunyai aktifitas bakterisid, ameobisid dan
trikomonosid. Metronidazole memiliki aktivitas yang tinggi terhadap
bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
sintesa asam nukleat.
Indikasi
Metronidazole efektif untuk pengobatan trikomoniasis, seperti
vaginitis dan uretritis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
Ameobiasis, seperti amebiasis intestinal dan amebiasis hepatic yang
disebabkan oleh E. histolytica.
Sebagai obat pilihan untuk giardiasis.
Infeksi bakteri anaerob, termasuk radang gusi.
Kontra indikasi
Diketahui

sensitif

terhadap

metronidazole

atau

turunan

nitroimidazole.
Penggunaan bersama dengan ethyl alcohol.
Penderita dengan sejarah penyakit neurologi serius, kegagalan ginjal
yang berat, kehamilan trimester pertama.
Tidak disarankan penggunaan doss tinggi pada wanita hamil dan
menyusui
Efek samping
Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, lidah berselaput, dan
rasa tidak enak seperti metal.
Pusing, nyeri kepala, seperti mengantuk, mialgia, arthralgia, hepatitis,
dan gangguan fungsi hati.
Pruritus, urtikaria, angioedem, anafilaktik, eritema multiforme.

Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan antibiotik sintetik golongan kinolon,
bekerja dengan cara menghambat sintesis asam nukleat (menghambat
DNA-girase). Bersifat bakterisid dan mempunyai spektrum yang luas.
Siprofloksasin efektif terhadap bakteri gram-negatif dan gram-positif.
Efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibiotika lain misalnya
aminoglikosida, penisilin, sefalosporin dan tetrasiklin. Obat ini berpenetrasi
ke jaringan dengan baik dan toksisitasnya relatif rendah.
Indikasi
Untuk pengobatan infeksi pada saluran kemih, uretritis dan servisitis
gonore, infeksi saluran pernafasan, kulit dan jaringan lunak, tulang dan
sendi, otitis eksterna.
Infeksi saluran pencernaan termasuk demam tifoid dan paratifoid,
kolera, shigelosis, dan salmonelosis.
Kontra indikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap Ciprofloxacin atau antibiotika
derivat quinolone lainnya.
Wanita hamil dan menyusui.
Anak-anak dibawah usia 18 tahun, karena diduga menyebabkan
arthropathy pada sendi-sendi besar penopang berat tubuh pada anak dan
remaja yang sedang tumbuh. Namun pada kondisi tertentu penggunaan
ciprofloxacin pada anak dapat dilakukan dalam jangka yang pendek.
Ciprofloxacin harus diberikan dengan hati-hati pada penderita usia
lanjut, pasien epilepsi dan pasien yang pernah mengalami gangguan
susunan syaraf pusat.
Efek samping
Gangguan pada saluran cerna, mual, muntah, dispepsia, nyeri perut
dan diare.Sakit kepala, pusing, gangguan tidur, tremor.
Ruam dan gatal, vaskulitis, eritema nodosum, jarang terjadi sindroma
steven-johnson.
Fotosensitif,

reaksi

hipesensitif

termasuk

demam,

urtikaria,

angioedem, dan anafilaksis.


Hindarkan penderita dari matahari yang berlebihan. Bila terjadi
fototoksisitas pengobatan harus segera dihentikan.
Cotrimoxazole
Cotrimoxazole

adalah

bakterisid

yang

merupakan

kombinasi

sulfametoksazol dan trimetoprim dengan perbandingan 5 : 1. Kombinasi


tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat
pada dua tahap biosintesa asam nukleat dan protein yang sangat esensial
untuk mikroorganisme. Cotrimoxazole mempunyai spektrum aktivitas luas
dan efektif terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif.
Indikasi
Infeksi saluran kemih dan kelamin yang disebabkan oleh E. coli.
Klebsiella sp, Enterobacter sp, Morganella.
Otitis media akut yang disebabkan Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae.
Infeksi saluran pernafasan bagian atas dan bronchitis kronis yang
disebabkan Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae.
Enteritis yang disebabkan Shigella flexneri, Shigella sonnei.
Pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii.
Diare yang disebabkan oleh E. coli.
Kontra indikasi
Penderita dengan gangguan fungsi hati yang parah, insufisiensi ginjal.
Wanita hamil, wanita menyusui, bayi prematur atau bayi berusia di
bawah 2 bulan.
Penderita yang hipersensitif terhadap trimetoprim dan obatobatgolongansulfonamida
Efek samping
Efek samping jarang terjadi pada umumnya ringan, seperti reaksi
hipersensitif, ruam kulit, sakit kepala dan gangguan pencernaan misalnya
mual, muntah dan diare.

10

2.2. Terapi ISPA dan Diare pada Anak


Terapi atau pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan
Gastroenteritis (GE) atau diare akut pada pasien yang berusia dibawah lima
tahun (balita) mengacu pada panduan klinis yang diterbitkan oleh Depkes
dalam bentuk Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Dalam panduan
yang tertera di MTBS dicantumkan mengenai gejala, klasifikasi dan
tindakan/pengobatan pada setiap kelompok penyakit dalam hal ini ISPA dan
GE atau diare.
Bagan MTBS untuk ISPA:

11

Bagan MTBS untuk GE akut

Sesui panduan MTBS, pada kasus ISPA, antibiotik hanya boleh


diberikan pada ISPA dengan pneumonia, dengan antibiotik pilihan pertama
yang dianjurkan adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah
amoksisilin. Sedangkan pada kasus diare atau GE antibiotik tidak
dianjurkan kecuali pada kasus disentri atau kolera.
2.3. Peresepan Rasional
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of
Medicine (RUM) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh
dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa
definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai
dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya
yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat

12

kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai,
POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang
efektif.

Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang


bertolak belakang. Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih
dari 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat,
tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak belakang dengan kondisi kedua
yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata
kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan
menggunakan Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1
Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat
Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan lama pemberian, Tepat
harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat.
Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi
penjabarannya tetap sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat
menganalisis secara sistematis proses penggunaan obat yang sedang
berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis adalah penggunaan
obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien.

13

Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat


yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.
Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan
karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada
diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang
disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam
proses penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah
Amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja
dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai
peran sebagai second opinion untuk pasien yang telah memiliki selfdiagnosis.
2. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat
yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas

14

terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga
harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis
yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter.
Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena
penyakit akibat bakteri.
4. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu
yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti
kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil,
laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan
gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat
mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang
akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis
juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, bobot badan,
maupun kelainan tertentu.
6. Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan
keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk
sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu
menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup.
Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai
karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan
kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya
penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya

15

diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen
yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi
dan lama pemberian harus tepat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama
sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat
membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh
Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non
spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan
serta dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi
bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak
akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
9. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator
untuk menganalisis rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat dan
mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga
terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang
tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR
akan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu
pelayanan kesehatan.

16

2.4 Profil Puskesmas OPI Palembang


Visi dan Misi Puskesmas
Visi Puskesmas OPI adalah Terwujudnya masyarakat di Wilayah
Kerja Puskesmas OPI bersih dan sehat, bertumpu pada Pelayanan Kesehatan
Prima dan Pemberdayaan Masyarakat.
Misi Puskesmas OPI, yaitu sebagai berikut:
1.Meningkatkan Kemitraan pada semua pihak terkait dalam melaksanakan
Program Peningkatan Kesehatan Masyarakat.
2.Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat untuk Berperilaku hidup Bersih
dan Sehat (PBBS)
3.Memelihara dan meningkatkan Upaya Pelayanan Kesehatan yang bermutu
Prima
4.Menurunkan Resiko Angka Kesakitan dan Kematian
Motto Puskesmas OPI yaitu SENYUM, RAMAH, SABAR,
DISIPLIN Unsur Nilai Puskesmas OPI yaitu, kebersamaan, kekeluargaan,
keterbukaan, dan kemitraan.
Struktur Organisasi Puskesmas OPI
Penyelenggaraan Puskesmas dapat dilihat pada struktur organisasi,
berikut merupakan Puskesmas OPI yaitu:
1.Pimpinan Puskesmas
2.Kepala Bagian Tata Usaha membawahi :
- Bagian Kepegawaian
- Bagian Surat Menyurat
- Bagian Inventaris dan Perlengkapan
- Bagian Pelaporan SP2TP
3.Unit Perencanaan dan Pemberantasan (P2M dan Imunisasi)
4.Unit Peningkatan Kesehatan Keluarga (KB & KIA, Gizi, dan Usila)
5.Unit Pemulihan Kesehatan dan Rujukan (Kesehatan Gigi dan Mulut, P3K)
6.Unit Kesehatan Lingkungan (Kesehatan Lingkungan, UKS/UKGS, PKM
dan PSM)

17

7.Unit Penunjang (Laboratorium dan Obat-obatan)


8.Unit Pelaksana Khusus (Kesehatan Mata, Kesehatan Olah Raga,
Kesehatan Kerja, dan Perkesmas)
9.Pos Kesehatan Kelurahan (1 Buah)
10.Posyandu (12 Buah)
Wilayah Kerja Puskesmas
Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Palembang tanggal 28 April
2009, Puskesmas Pembantu OPI yang dibangun pada tahun 1998 yang
menginduk pada Puskesmas 1 Ulu beralih menjadi Puskesmas OPI
(Puskesmas Induk). Puskesmas OPI meliputi satu kelurahan atau wilayah
kerja, yaitu Kelurahan 15 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Kota Palembang.
Batas-batas wilayah Puskesmas OPI :
- Utara

: Silaberanti

- Selatan:Sungai Ogan Kertapati dan Kecamatan Pegayut


(Kabupaten OI)
- Timur : Kecamatan Pemulutan (Kabupaten OI)
- Barat

: Kelurahan 8 Ulu
Luas Wilayah Kerja Puskesmas OPI 1.200 Ha. Puskesmas OPI

dalam aktivitas kerjanya dibantu 3 Puskesmas Pembantu, yaitu Puskesmas


Pembantu 15 Ulu , Puskesmas Pembantu Sungai Buaya, dan Puskesmas
Pembantu Jakabaring.
Keadaan Geografi
Keadaan wilayah kerja Puskesmas OPI terdiri dari dataran rendah,
sungai dan anak sungai, serta sebagian kecil masih berupa rawa-rawa.
Keadaan Demografi
Jumlah penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas OPI Kelurahan 15
Ulu Tahun 2013 berjumlah 23, 927, laki-laki berjumlah 11.876 dan
perempuan berjumlah 12.051. Berdasarkan sosial ekonominya sebagian

18

pekerjaan penduduk di Kelurahan 15 Ulu adalah buruh kasar, pedagang,


pengrajin, dan sebagian besar lainnya adalah pegawai negeri sipil dan
pegawai swasta yang bekerja pada sektor formal dan informal.
Tabel 1. Demografi Kependudukan di Wilayah Kerja Puskesmas OPI
Tahun 2013
Transportasi
Puskesmas OPI terletak di tepi jalan poros utama di dalam
Perumahan OPI (Ogan Permata Indah ), untuk mencapai Puskesmas OPI
relatif lebih mudah karena jalan ini merupakan jalan utama, pastinya dilalui
oleh kendaraan roda 4 (mobil pribadi, opelet), roda 2 (motor) dan kendaraan
roda 3 (becak). Untuk masyarakat yang tinggal di daerah Perumahan Ogan
Permata Indah bisa dengan berjalan kaki bilamana akan berobat ke
Puskesmas OPI.
Sarana Komunikasi
Sarana Komunikasi di Puskesmas OPI masih kurang, ditandai masih
belum adanya alat penghubung (telepon kantor). Namun demikian seiring
dengan kemajuan teknologi, antara kantor dinas terkait masih bisa
berhubungan dengan telepon seluler (Hand Phone) atau lewat milis internet.
Sumber Daya
1.Sarana dan Prasarana
a. Pustu

: 3 Unit

b. Posyandu

: 12 Unit

c. Poskeskel

: 1 Unit

d. Anggaran/Dana

- Retribusi
- Askes
- Jamkesmas
- Jamsoskes Sosial Sumsel Semesta

19

2. Tenaga
Adapun sumber daya manusia yang ada di Puskesmas OPI meliputi:
medis, paramedis, dan non kesehatan yang masing-masing bertanggung
jawab terhadap tugas pokok atau tugas integrasi dan fungsinya.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1.Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
- Ibu hamil, nifas, menyusui
- KB
- Bayi dan Balita sakit (MTBS Terpadu)
2.Pengobatan
- Emergensi
- Pengobatan umum
- Pengobatan gigi
- Rujukan
3.Penyuluhan Kesehatan
- Penyuluhan di Puskesmas
- Penyuluhan di Posyandu
- Penyuluhan di SD / SLTP / SMU
- Penyuluhan di Kelurahan / Kecamatan
4.Pelayanan Laboratorium
- Pemeriksaan urin rutin
- Pemeriksaan darah (asam urat, kolesterol, gula darah)
- Tes kehamilan (PT)
5.Klinik Sehat Gilingan Mas
a. Pelayanan Gizi
-

Pemberian Vit. A dan garam beryodium

Konsultasi Balita BGM dan Obesitas

Konsultasi Lansia (Menu makanan seimbang)

20

b.Pelayanan Imunisasi
-

BCG

Polio

DPT

Hepatitis

Campak

TT calon pengantin

Anti Tetanus Serum

c.Pelayanan Sanitasi
- Memberikan konsultasi / penyuluhan kebersihan lingkungan,
PHBS
- Memberikan konsultasi tentang rumah sehat, jamban, dll
6.Lain-lain
a.Pelayanan pengobatan TBCdengan paket DOTS
b.Pelayanan kesehatan lansia 1 bulan sekali
c.Upaya kesehatan sekolah screening murid kelas 1 SD 1 tahun sekali
d.Pelaksanaan BIAS dilakukan 1 tahun sekali pada murid kelas 1 dan
kelas 3 SD

21

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep


Pemberian
antibiotik pada
balita
Indikasi
Dosis
Jenis antibiotik
Pasien
Cara dan lama pemberian
Informasi
Harga terjangkau
Kepatuhan pasien
Waspada ESO

Rasionalitas
penggunaan
antibiotik

Variabel terikat:
Kerasionalan penggunaan antibiotik.
Variabel bebas :
Dosis dan indikasi antibiotik.
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan
menggunakan desain deskriptif.
Pengambilan data secara retrospektif pada Sepember 2014
melalui pengambilan data sekunder, yaitu dari rekam medis dan
resep pasien balita di Puskesmas OPI Palembang.

22

3.3

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Puskesmas OPI Palembang. Penelitian

dilakukan selama satu bulan yaitu September 2014.


3.4

Populasi Sampel Penelitian


3.4.1

Populasi penelitian
Populasi penelitian ini diambil dari catatan medik pasien rawat
jalan di
Poli MTBS Puskesmas OPI Palembang.

3.4.2

Sampel penelitian
Catatan medik yang memuat antibiotik dari pasien rawat jalan
Poli MTBS Puskesmas OPI Palembang.

3.4.3

Kriteria inklusi :
1.

Catatan medik pasien di Poli MTBS Puskesmas OPI


Palembang. yang menerima antibiotik periode September
2014.

2. Catatan medik yang jelas terbaca.


3.4.4 Kriteria eksklusi :
1. Data catatan medik tidak lengkap
2. Catatan medik yang tidak jelas terbaca
3.5

Definisi operasional

1. Jenis Kelamin adalah identitas seksual pasien anak sejak lahir.


Skala: nominal.
Kategori: laki-laki dan perempuan.
2. Usia adalah umur pasien balita
Skala: ordinal
Kategori: balita : 0 - 5 tahun
3. Resep adalah lembar permintaan tertulis dokter kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat-obatan
4.

Jenis

antibiotik

adalah

jenis

antibiotik

yang

digunakan

23

untuk pengobatan penyakit pasien balita.


Skala: nominal.
Kategori (Gunawan, dkk., 2007):
o Golongan penisilin, sefalosforin dan antibiotik betalaktam
lainnya.
o Golongan tetrasiklin dan kloramfenikol.
o Golongan aminoglikosid.
o Golongan sulfonamid, kotrimoksazol dan antiseptik saluran
kemih.
o Golongan kuinolon dan fluorokuinolon
o Golongan

antibiotik

lain,

antara

lain

golongan

eritromisin, golongan linkomisin dan klindamisin, golongan


glikopeptida, dan golongan lain-lain.
5. Dosis antibiotik adalah takaran yang diberikan pada pasien balita
yang mendapat terapi antibiotik sehingga konsentrasi dalam darah
cukup memberikan efek terapi berdasarkan pedoman pengobatan
yang diacu.
Skala: ordinal.
Kategori:
o Rasional

(R):

bila

dosis

antibiotik

sesuai

dengan

pedoman pengobatan yang diacu.


o Tidak Rasional (TR): bila dosis antibiotik tidak sesuai
dengan pedoman pengobatan penelitian yang diacu.
6.

Indikasi penggunaan antibiotik adalah penggunaan antibiotik


untuk pengobatan

penyakit

infeksi

karena

bakteri

berdasarkan pedoman pengobatan yang diacu.


Skala:ordinal.
Kategori:
o Rasional (R): bila indikasi penggunaan antibiotik sesuai
untuk

pengobatan

penyakit

infeksi

karena

berdasarkan pedoman pengobatan yang diacu.

bakteri

24

o Tidak rasional (TR): bila indikasi penggunaan antibiotik


tidak sesuai
karena

untuk

pengobatan

penyakit

infeksi

bakteri

berdasarkan pedoman pengobatan yang diacu.


Untuk menilai kerasionalan penggunaan antibiotik pada balita
berasal dari Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak yang
dikeluarkan Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia,
dan Informasi Spesialistik

Obat

Indonesia

2008.

Penilaian

kerasionalan dilakukan dengan melihat pendekatan dari obat ke penyakit.

25

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti melakukan identifikasi kerasionalan
melalui pengamatan data resep dan rekam medis pasien balita di
Puskesmas OPI kurang lebih selama satu bulan. Pengamatan resep
dilakukan di kamar obat dimana peneliti memisahkan resep pasien balita
yang brasal dari poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) dari resepresep yang berasal dari poli lain. Pengambilan sampel dilakukan dengan
cara total sampling. Data semua obat per oral baik racikan maupun sirup
dan topikal dicatat. Sedangkan data rekam medis pasien balita diambil di
ruang poli MTBS. Dari rekam medis tersebut, peneliti mendapatkan data
berat badan, usia pasien, dan diagnosa penyakit.
Penilaian kerasionalan dilakukan dengan melihat pendekatan dari
obat ke penyakit. Untuk menilai kerasionalan penggunaan antibiotik pada
pasien balita berasal dari Formularium Spesialistik

Ilmu Kesehatan

Anak yang dikeluarkan oleh Departemn Kesehatan RI dan Ikatan Dokter


Anak Indonesia dan Informasi Spesialistik Obat Indonesia 2008. Fokus
utama penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik pada penelitian ini
ditujukan pada kerasionalan dosis dan kerasionalan indikasi.
4.1 Jenis Antibiotik
Penggunaan antibiotik terbanyak menurut golongan antibiotik
adalah golongan penisilin yaitu amoksisilin sebesar 75,53%, diikuti
oleh golongan trimetoprim dan sulfametoksazol yaitu kotrimoksazol
sebesar 21,27%. Diurutan ketiga terdapat cefadroksil yang berasal dari
golongan sefalosporin sebesar 2,13%. Hasil pengamatan jenis antibiotik
yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4.1.

26

Tabel 4.1. Frekuensi penggunaan antibiotik pasien balita


Golongan Antibiotik
Penisilin
Kotrimoksazol
Sefalosporin
Antibiotik lain

Jenis Antibiotik
Amoksisilin
Kotrimoksazol
Cefadroksil
Metronidazol

Frekuensi (n)
71
20
2
1

Presentase (%)
75.53
21.27
2.13
1.07

Hasil ini tidak sesuai dengan langkah-langkah pengobatan yang


telah ditetapkan oleh Depkes RI dalam Buku Bagan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) Indonesia. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa
untuk semua klasifikasi yang membutuhkan antibiotik yang sesuai,
antibiotik pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah
amoksisilin. (Depkes, 2001).
Kotrimioksazol merupakan kombinasi antara sulfametoksazol dan
trimetoprim. Kombinasi kedua obat ini menghasilkan efek sinergis dengan
tingkat resistensi yang lebih rendah dibandingkan amoksisilin, karena
mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen masih peka terhadap
komponen yang lainnya. (Gunawan, dkk., 2007)
Amoksisilin menjadi antibiotik lini pertama untuk otitis media akut,
sinusitis, faringitis, dan bronkhitis kronik. (Gunawan,dkk, 2007) (Depkes,
2005) Karena indikasi penggunaan amoksisilin yang luas memungkinkan
terjadinya resistensi

pada

antibiotik

ini,

sehingga

penggunaannya

sekarang mulai menurun.


4.2 Jenis Penyakit
Jenis penyakit diperoleh dari diagnosa dokter yang tertulis di rekam
medis pasien balita. Dari analisa jenis penyakit pada 94 pasien yang
mendapat antibiotik, diperoleh tiga jenis diagnosa terbanyak adalah ISPA
(54,25%),

GE Akut

(17,02%), dan observasi febris

(7,45%), Hasil

pengamatan jenis penyakit yang diderita pasien balita dapat dilihat


pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Frekuensi jenis penyakit yang diderita pasien balita yang
mendapat antibiotik
Diagnosa
ISPA
GE Akut
Obs. Febris
Tonsilitis
Faringitis
Varicella
Abses
OMSK
Selulitis
Disentri

Frekuensi (n)
51
16
7
6
5
5
1
1
1
1

Persentase (%)
54,25
17,02
6,38
5,31
7,45
5,31
1,07
1,07
1,07
1,07

Dilihat dari data diatas, prevalensi penyakit terbanyak yang


mendapat terapi dengan antibiotik adalah ISPA dan GE akut. Berdasarkan
data dari Laporan Bulanan (LB) Pukesmas OPI pada bulan September 2014
didapatkan angka total penderita ISPA adalah sebanyak 311 pasien dengan
70 pasien diantaranya adalah balita, sedangkan angka total penderita GE
akut adalah sebanyak 127 pasien dengan 30 pasien diantaranya adalah
balita.
Diagram 1. Prevalensi penyakit ISPA di Puskesmas OPI bulan
September 2014

Keterangan:

Total penderita ISPA : 311 pasien


Total penderita ISPA balita : 70 pasien
Total penderita ISPA balita yang mendapat terapi antibiotik : 51 pasien

Sampai saat ini prevalensi ISPA masih cukup tinggi. Angka


kematian balita dikarenakan pnyakit ini juga cukup tinggi. World Health
Organization (WHO) memperkirakan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas
40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun (Depkes, 2000).
Faktor-faktor yang menyebabkan masih tingginya kejadian

ISPA di

negara berkembang ialah masih rendahnya sanitasi, sirkulasi udara yang


kurang baik didalam rumah, tingginya pencemaran udara, berat badan lahir
rendah, dan lain-lain
Diagram 2. Prevalensi penyakit GE akut di Puskesmas OPI bulan
September 2014

Keterangan:
Total penderita GE akut : 127 pasien
Total penderita GE akut balita : 30 pasien
Total penderita GE akut balita yang mendapat terapi antibiotik : 16 pasien
4.3. Pola Peresepan Antibiotik

Pola peresepan satu jenis antibiotik dalam satu R/ terbanyak


adalah amoksisilin sirup (75,53%) dan kotrimoksazol sirup (21,27%). Pola
peresepan dua jenis antibiotik dalam satu R/ terbanyak adalah
kotrimoksazol dan metronidazol (1,07%). Hasil pengamatan pola
peresepan antibiotik dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi resep antibiotik pada pasien balita
Jenis
Antibiotik
Amoksisilin

Kotrimoksazol

Cefadroksil
Metronidazol

Diagnosa
ISPA
Obs. Febris
Tonsilitis
Faringitis
Varicella
Abses
OMSK
Selulitis
ISPA
GE Akut
Disentri
ISPA
Disentri

Frekuensi
(n)
46
7
6
5
5
1
1
1
3
16
1
2
1

Persentase
(%)
48,93
7,44
6,38
5,31
5,31
1,06
1,06
1,06
3,19
17,01
1,06
2,12
1,06

Peresepan antibiotik lebih dari satu dalam satu resep perlu


diperhatikan secara seksama. Walaupun kombinasi antibiotik dapat
menimbulkan efek sinergis dan aditif, tetapi kombinasi antibiotik juga
dapat

menimbulkan interaksi yang memungkinkan berakibat negatif

(Sukandar, E. Y., Retnosari A, Joseph I. S., I Ketut Adnyana, Adji P.,


Kusnandar, 2008).
Pada penelitian ini, terdapat peresepan antibiotik lebih dari satu,
yaitu kotrimoksazol dan metronidazol pada pasien yang didiagnosa sebagai
disentri. Pada peresepan ini kotrimoksazol berperan sebagai antibiotik
berspektrum luas yang efektif terhadap bakteri gram positif dan gram
negatif, namun efektifitas terhadap bakteri gram negatif rendah,
dikombinasikan dengan metronidazol sebagai antibiotik yang efektif

terhadap bakteri gram negatif, namun tetap saja peresepan kedua obat
tersebut dianggap tidak rasiona karena menurut panduan klinik, pada
disentri tidak dianjurkan kombinasi antibiotik karena dapat berakibat
negatif dan meningkatkan resiko tingginya resistensi.
4.4. Kerasionalan Dosis Antibiotik
Dari penelitian ini, dosis antibiotik sekitar 75,53% masuk dalam
kategori rasional. Dosis yang diberikan pada pasien masih dalam dosis
antara dosis lazim dengan dosis maksimumnya. Pada frekuensi pemberian
terdapat beberapa antibiotik

yang tidak

sesuai

dengan

pedoman

pengobatan. Pada amoksisilin frekuensi pemberian yang seseuai dengan


pedoman pengobatan adalah setiap 8 jam dan pada kotrimoksazol serta
cefadroksil adalah setiap 12 jam dalam sehari. Prevalensi dosis antibiotik
yang tidak rasional terjadi cukup besar yaitu sebesar 24,47% yaitu pada
dosis kotrimoksazol. Hasil pengamatan kerasionalan dosis antibiotik
dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi kerasionalan
berdasarkan dosis pada pasien balita
Jenis Antibiotik

Frekuensi (n)
R
TR
52
19
16
4
2
0
1
0
71
23

Amoksisilin
Kotrimoksazol
Cefadroksil
Metronidazol
Total
Keterangan : R
TR
Dosis

pnggunaan

antibiotik

Presentase (%)
R
TR
73,24
26,76
80,00
20,00
100
0
100
0
75,53
24,47

= rasional
= tidak rasional

yang

berlebih

pada

balita dikhawatirkan

akan

menimbulkan efek toksik. Pada usia ini terdapat perbedaan respons yang
terutama disebabkan belum sempurnanya berbagai fungsi farmakokinetik
tubuh, yakni fungsi biotransformasi hati yang kurang, fungsi eksresi

ginjal yang hanya 60-70% dari fungsi ginjal dewasa, kapasitas ikatan
protein plasma yang rendah, dan sawar darah otak serta sawar kulit yang
belum

sempurna.

Dosis

yang

tinggi

juga

dapat

meningkatkan

kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan. (Pagliaro, A.Louise


dan Ann, Marie.P., 1995).
4.5. Kerasionalan Indikasi Antibiotik
Penilaian kerasionalan indikasi antibiotik ada dua yaitu rasional
dan tidak rasional. Indikasi antibiotik yang memenuhi kategori rasional
sebanyak 67 (71,28%) dan tidak rasional sebanyak 27 (28,72%).
Kriteria rasional pada penelitian ini diberikan bila indikasi penggunaan
antibiotik sesuai untuk pengobatan penyakit infeksi karena bakteri
berdasarkan pedoman pengobatan yang diacu. Hasil

pengamatan

kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan indikasi dapat dilihat


pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Distribusi kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan
indikasi pada pasien balita
Jenis Antibiotik
Amoksisilin
Kotrimoksazol
Cefadroksil
Metronidazol
Total
Keterangan : R

Frekuensi (n)
R
TR
14
57
4
16
2
0
1
0
21
73
= rasional

Presentase (%)
R
TR
19,72
80,28
20,00
80,00
100
0
100
0
22,34
77,66

TR = tidak rasional
Penggunaan tidak rasional terjadi bila indikasi penggunaan
antibiotik tidak sesuai untuk pengobatan penyakit infeksi berdasarkan
pedoman pengobatan yang diacu. Dari hasil penelitian, ditemukan
adanya 16 penggunaan antibiotik kotrimoksazol dalam pengobatan
diare akut dan 51 penggunaan antibiotik baik amoksisilin,
kotrimoksazol ataupun cefadroksil dalam pengobatan ISPA.

Diagram 3. Penggunaan antibiotik pada penyakit ISPA


Pada indikator kinerja Penggunaan Obat Rasional (POR) batas
toleransi penggunaan antibiotik pada kasus ISPA non pneumoni tidak
melebihi 20%, sedangkan dari data diatas didapatkan bahwa
penggunaan antibiotik pada kasus ISPA mencapai angka 72,85%
sehingga hal ini digolongkan sebagai penggunaan antibiotik yang
tidak rasional, hanya 27,15% diantara kasus ISPA yang tidak
mendapat terapi antibiotik. Hal ini bertentangan dengan panduan
klinis pengobatan ISPA menurut MTBS dimana seharusnya peresepan
antibiotik hanya digunakan pada kasus ISPA pneumoni, dengan
pilihan antibiotik yang tersedia adalah kotrimoksazol dan amoksisilin.
Kotrimoksazol dan amoksisilin merupakan antibiotik spektrum luas
yang sering digunakan untuk pengobatan infeksi karena bakteri
(Gunawan, dkk.,2007).

Menurut WHO, penggunaan antibiotik pada pengobatan


diare

anak hanya bermanfaat untuk diare yang disertai darah

(shigellosis), kolera dengan dehidrasi parah, dan infeksi simtomatis

oleh Giardia lambi. Namun, manfaat dari terapi antibiotik dalam


manajemen diare berair akut masih diperdebatkan (Darmawan, Bobby
S., A. Firmansyah & I. Chair, 2007).

Diagram 3. Penggunaan antibiotik pada penyakit GE akut


Pada indikator kinerja Penggunaan Obat Rasional (POR)
batas toleransi penggunaan antibiotik pada kasus GE atau diare non
spesifik tidak melebihi 8%, sedangkan dari data diatas didapatkan
bahwa penggunaan antibiotik pada kasus GE mencapai angka
53,33% sehingga hal ini digolongkan sebagai penggunaan antibiotik
yang tidak rasional, hanya 46,67% diantara kasus GE yang tidak
mendapat terapi antibiotik. Hal ini bertentangan dengan panduan
klinis pengobatan GE menurut MTBS dimana seharusnya peresepan
antibiotik hanya digunakan pada kasus diare spesifik seperti disentri
atau kolera, dengan pilihan antibiotik yang tersedia adalah
kotrimoksazol dan amoksisilin.
Anak memiliki risiko mendapatkan efek merugikan lebih tinggi
akibat infeksi bakteri karena tiga faktor. Pertama,

karena sistem

imunitas anak yang belum berfungsi secara sempurna, kedua, akibat pola

tingkah laku anak yang lebih banyak berisiko terpapar bakteri, dan
ketiga, karena beberapa antibiotik yang cocok digunakan pada dewasa
belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotik pada anak berbeda
dengan dewasa, serta

tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga

dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau efek sampingnya.


Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun
cara pemberian dapat merugikan penderita dan dapat memudahkan
terjadinya resistensi terhadap antibiotik serta dapat menimbulkan efek
samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi
anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan,

jangka

waktu

yang

tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara


tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi.
Penggunaan antibiotik yang irasional akan memberikan dampak
negatif, salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Untuk itu penggunaan antibiotik yang rasional
diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain mengurangi
morbiditas, mortalitas, kerugian ekonomi, dan mengurangi kejadian
resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Salah satu dampak yang paling dirasakan akibat penggunaan
antibiotik yang tidak rasional adalah dalam bidang ekonomi atau
pembiayaan pengobatan. Akibat penggunaan antibiotik yang irrasional
dapat meningkatkan pembiayaan pengobatan, hal ini cukup merugikan
baik terhadap penyedia layanan kesehatan atau terhadap pasien itu
sendiri. Contohnya, penggunaan amoksisilin pada pasien ISPA adalah
sebanyak 46 pasien, dengan rata-rata lama pemberian antibiotik selama 3
hari, dibutuhkan kurang lebih 10 tablet seharga Rp. 5000 untuk setiap
pasien, Rp. 5000 dikalikan 46 pasien dalam periode satu bulan, dana yang
dikeluarkan adalah sebesar Rp. 230.000, dengan rata-rata setahun Rp. 2
760.000, diharapkan dengan penggunaan antibiotik yang rasional biaya
yang dikeluarkan untuk pembiayaan antibiotik dapat ditekan sehingga

tidak merugikan.
4.6. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:
a. Adanya keterbatasan informasi pada rekam medis pasien balita
mengenai diagnosa dan terapi yang diberikan. Tidak semua
rekam medis menjelaskan secara rinci tentang keadaan pasien
saat konsultasi dengan dokter.
b. Adanya kesulitan menentukan kerasionalan lama penggunaan
pada antibiotik yang diberikan. Hal ini dikarenakan tidak
terdapatnya data lama penggunaan dalam

resep

ataupun

rekam medis.
c. Adanya kesulitan untuk menilai kerasionalan indikasi antibiotik
pada penyakit yang bersifat simtomatis seperti demam, batuk,
pilek dan muntah. Simtomatis yang terdapat di rekam medis
kurang menjelaskan apakah penyakit diakibatkan infeksi bakteri
atau lainnya.
d. Peneliti

tidak

melihat

tingkat

keparahan

pasien

yang

sebenarnya, sehingga penilaian hanya didasarkan pada penilaian


rekam medis dan resep. Namun demikian

penelitian

ini

diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan


kerasionalan pengobatan antibiotik pada pasien balita di
Puskesmas OPI Palembang.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

1. Jenis penyakit yang banyak diderita pasien adalah ISPA (54,25%)


2.

Pola peresepan antibiotik terbanyak adalah satu jenis antibiotik


dalam satu resep, yaitu peresepan amoksisilin (75,53%)

3. Dosis antibiotik yang memenuhi kategori rasional sebesar 75,53%


dan kategori tidak rasional sebesar 24,47%.
4. Indikasi antibiotik yang menunjukkan kategori rasional sebanyak
22,34% dan kategori tidak rasional sebanyak 77,66%.
5.

Pada penyakit ISPA, didapatkan penggunaan antibiotik

yang

memenuhi kategori rasional sebesar 27,15% dan kategori tidak


rasional sebesar 72,85%.
6.

Pada penyakit GE akut, didapatkan penggunaan antibiotik

yang

memenuhi kategori rasional sebesar 46,67% dan kategori tidak


rasional sebesar 53,33%.

5.2 Saran
1. Penilaian kerasionalan sebaiknya tidak hanya dilakukan berdasarkan
catatan di rekam medis yang sangat terbatas.
2. Perlunya kerjasama dari berbagai pihak untuk mewujudkan penggunaan
antibiotik secara rasional dengan berbagai pertimbangan mengenai
keterkaitan dengan indikasi, dosis dan lama penggunaan antibiotik
terkait kondisi penyakit pasien yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad W. Pratiknya (2007). Dasar Dasar Metodologi


Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Penelitian

Bagian Farmakologi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.


(2008) Farmakoterapi Pada Neonatus, Masa Laktasi dan Anak.
http://www.farklin.com/images/multirow3f1e13c070583 .pdf. 2 Januri
2011, pk. 20.00 WIB
NelsonTextbook of Pediatrics 17th edition. Philedalphia: Elsevier.: chapter 130.
Darmawan, Bobby S., A. Firmansyah & I. Chair. (2007) The Benefit of
Cotrimoxazole Treatment in Management of Acute Watery Diarrhea
Caused by Invasive Bacteria. Paediatrica Indonesiana. (47): 104-108.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Penggunaan Obat Rasional Modul 2:
Batasan dan Pengertian. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.: 3-4.
Departmen Kesehatan RI. (2002). Evaluasi Program Kesehatan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 55-56.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Buku Panduan Peringatan Hari Kesehatan
Sedunia: Gunakan Antibiotik secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan
Kuman. Jakarta: Departmen Kesehatan RI 1-2, 7.
Departemen Kesehatan RI. (2001). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Indonesia. Jakarta: Departmen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia.
(2006). Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Departemen Kesehatan.: 11, 61, 114, 121.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI, 2006, 'Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004'
Depkes RI, Jakarta
Gunawan, Sulistia Gan (ed). (2007). Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta:
Bagian Farmakologi FK-UI.: 502-506, 508-515, 585, 599, 602, 605, 664,
668, 670, 681, 685-686, 690, 694, 700-702, 705, 718, 723.
Ikawati, Zulaika. Batuk. (2009). http://www.ugm.ac.id. 2 Mei 2011, pk.17.35.
Juliyah. (2011). Menkes: Resistensi Antibiotik Jadi Ancaman
Dunia.http://infopublik.depkominfo.go.id/index.php?
page=print&newsid=605 15 Oktober 2014
Joenoes, Nanizar Zaman. (2001). Ars Prescribendi Resep yang Rasional edisi
2 Surabaya: Airlangga University Press. 20-30.
Katzung, Bertram G. (ed.). (2006). Basic and Clinical Pharmacology 10th
edition. San Fransisco: McGraw Hill Lange.: chapter 39.
Mashuda A(Ed), 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik

(CPFB)/Good Pharmacy Practice (GPP), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker


Indonesia dan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
WHO,
2012,
Medicines,
WHO,
Geneva,
[online],
http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/ [19 Oktober 2014]

Lampiran 1. Hasil Penilaian Kerasionalan Antibiotik pada 94 Pasien Balita


No

Nama

Jenis
Kelamin

Usia
(bln)

BB
(kg)

Penyakit

Antibiotik

Dosis

Rasionalitas
dosis

Rasionalitas
indikasi

1.

Imelda

48

16

Tonsilitis

Amoksisilin

3dd1cth

2.

Anggun

18

10

ISPA

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

3.

Viki

13

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

4.

M. Akbar

16

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

5.

Nurhayati

24

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

TR

6.

Ayu K.

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

7.

M.Kurniawan

23

11

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

8.

Dara Seftiani

24

Varicella

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

9.

Al Barik

11

10

Faringitis

Amoksisilin

3dd1cth

TR

10.

Pita Aulia

8,5

Obs.Febris

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

11.

M. Zaidar

24

15

Varicella

Amoksisilin

3dd1cth

TR

12.

M. Faeza

24

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

13.

M. Rizki

44

15

Varicella

Amoksisilin

3dd1cth

TR

14.

Aleksandra

24

7,5

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

15.

Rizki

48

16

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

16.

Indah

42

12

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

17.

Denis

21

10

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

18.

Dona

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

19.

Ramadhan

48

14

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

TR

20.

M.Fadil

48

15

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

21.

Anisa Azahra

13

10

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

22.

Asrilio

19

10

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

23.

M. Gali

36

13

Obs.Febris

Amoksisilin

3dd1cth

TR

24.

Nasya Asifa

36

12

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

25.

Oritama

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

26.

Fatur

30

11

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

27.

Nuraini

36

15

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

28.

Aini Salsabila

28

11

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

29.

Nico

Disentri

Kotrimoksazol
Metronidazol

2dd1/2
3dd1/4

TR

30.

Azahra

23

10

ISPA

Amoksisilin

3dd3/4cth

TR

31.

Wiwik

48

20

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

32.

Dira

11

7,5

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

33.

Aisyah

36

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

34.

Jainudin

39

11

Obs.Febris

Amoksisilin

3dd1cth

TR

35.

Fiki

48

12

Tonsilitis

Amoksisilin

3dd1cth

36.

Rangga

31

13

Faringitis

Amoksisilin

3dd1cth

37.

Ridho

26

11

Varicella

Amoksisilin

3dd1cth

TR

38.

Melinda

22

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

39.

Dahlia

33

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

40.

Zaki

27

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

41.

Wiki

48

12

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

42.

Nazwa

54

14

Faringitis

Amoksisilin

3dd1cth

43.

Ulfa

48

12

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

44.

Lifki

12

10

ISPA

Amoksisilin

3dd2cth

TR

TR

45.

Fadina

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

46.

Airah

48

12

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2

TR

TR

47.

Khalifah

24

ISPA

Cefadroksil

2dd1cth

TR

48.

Hardar

60

22

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

TR

49.

Arda

36

13

ISPA

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

50.

Dhino Ilham

55

18

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

51.

M. Ramadhan

48

14

ISPA

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

52.

M. Riza

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

53.

Azizah

54

16

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

54.

M. Irfan

31

15

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

55.

Sadira

11

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

56.

Qonny

15

Abses
Brachii
Sinistra

Amoksisilin

3dd1cth

TR

57.

Solira

54

14

Tonsilitis

Amoksisilin

3dd1cth

58.

Riva

48

13

Varicella

Amoksisilin

3dd1

TR

59.

Gilang

48

13

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1/2cth

TR

TR

60.

Hamka

12

Faringitis

Amoksisilin

3dd1/2cth

61.

Zet Vizil

58

15

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

62.

Aliya

24

10

Obs. Febris

Amoksisilin

3dd1cth

TR

63.

Ragil

14

16

Obs. Febris

Amoksisilin

3dd1cth

TR

64.

Aslina

10

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1/2cth

TR

TR

65.

Azam

48

18

TFA+stoma
titis

Amoksisilin

3dd1cth

66.

Nurhayati

24

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

67.

M. Justin

36

14

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

68.

Ayu

36

13

Faringitis

Amoksisilin

3dd1cth

69.

Rizki

51

20

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

70.

M. Bazuki

42

18

Tonsilitis

Amoksisilin

3dd1cth

71.

Nuraini

36

14

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

72.

M. Dava

60

20

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

73.

Vita

48

15

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

74.

Leni

31

14

Obs. Febris

Amoksisilin

3dd1cth

TR

75.

Fatih

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

76.

Kanza

24

11

ISPA

Cefadroxil

2dd1cth

TR

77.

Yasmin

10

Obs. Rash

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

78.

Annisa

7,5

GE

Kotrimoksazol

2dd1/2cth

TR

TR

79.

Annisa

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1/2cth

TR

TR

80.

Amelia

36

14

OMSK

Amoksisilin

3dd1cth

81.

Safira

13

7,5

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd3/4cth

TR

82.

Arshandi

21

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

83.

Widya

ISPA

Amoksisilin

3dd3/4cth

TR

84.

Wiwin

42

17

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

85.

Aulia

48

15

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

86.

Rava

28

13

GE Akut

Kotrimoksazol

2dd1cth

TR

87.

Shifa

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2 cth

TR

88.

Ade Maru

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

TR

89.

Melda

48

16

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

90.

Zahra

45

12

Tonsilitis

Amoksisilin

3dd1cth

91.

Alif

33

18

ISPA

Amoksisilin

3dd1cth

TR

92.

M. Yusuf

11

8,5

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

93.

Izzah

26

10

ISPA

Amoksisilin

3dd1/2cth

TR

TR

94.

Iqbal

36

10

Selulitis

Amoksisilin

3dd1/2

TR

Anda mungkin juga menyukai