Anda di halaman 1dari 263

Beautiful Disaster

Semua yang ada di ruangan ini seolah-olah berteriak kalau aku tidak pantas untuk berada di sini. Tangga mulai
bergetar, orang-orang gaduh berdesakan, udara bercampur dengan bau keringat, darah, dan jamur. Suara-suara
menjadi tidak jelas terdengar ketika mereka meneriakkan satu angka dan nama berulang-ulang, tangan
bergerak-gerak di udara, saling bertukar uang dan berkomunikasi dengan gerakan tubuh di tengah kebisingan.
Aku menerobos masuk ke dalam kerumunan, dan sahabatku mengikuti di belakang.
Simpan uangmu, Abby! kata America padaku. Senyumnya yang lebar bersinar meskipun di tempat yang
redup.
Tetap berdekatan! Semua akan lebih buruk ketika acara di mulai! Shepley berteriak di tengah kebisingan.
America memegang tangannya dan tanganku ketika Shepley menuntun kita melewati kerumunan orang.
Suara keras dari pengeras suara membelah udara yang penuh dengan asap. Suaranya mengejutkanku, dan aku
melompat kaget, sambil melihat ke arah asal suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu, sambil memegang
segepok uang di satu tangan dan memegang pengeras suara di tangan yang satunya. Dia memegang pengeras
suara itu di depan mulutnya.
Selamat datang di acara pertumpahan darah! Kalau kalian mencari Economic one-oh-one, kalian berada di
tempat yang salah, teman! Jika kalian mencari The Circle, ini adalah Mekkah-nya! Namaku Adam, aku yang
membuat peraturan-peraturannya dan yang mengadakan acara ini. Pertaruhan berakhir ketika penantang
memasuki arena, dilarang memegang dan membantu para petarung, tidak boleh mengganti taruhan, dan tidak
boleh melewati batas arena. Jika kalian melanggar peraturan ini, kalian akan dipukuli dan dilempar keluar
tanpa uang kalian! Ini juga berlaku untuk kalian, Ladies! Jadi jangan coba-coba melanggar sistem, boys!
Shepley menggelengkan kepalanya. Astaga, Adam! dia berteriak kepada MC, sangat jelas dia tidak setuju
dengan kata-kata yang dipilih temannya.
Jantungku berdebar kencang. Dengan memakai cardigan wol pink dan anting mutiara, aku merasa seperti guru
sekolah di pantai Normandia. Aku berjanji pada America bahwa aku akan menerima apapun yang terjadi nanti,
tapi ketika tiba di sini aku merasakan dorongan kuat untuk memegang tangannya erat-erat. Dia tidak akan
membiarkan aku dalam bahaya, tapi dengan berada di basement bersama 50 atau lebih mahasiswa yang
mabuk, kecenderungan besar mungkin terjadi perkelahian, aku sedikit tidak percaya kalau kita akan keluar
tanpa terluka.
Setelah America bertemu Shepley di orientasi mahasiswa/i baru, dia sering menemani Shepley ke acara ini
yang diadakan di basement yang berbeda di daerah sekitar Universitas Eastern. Setiap acara diadakan di
tempat yang berbeda dan dirahasiakan hingga sejam sebelum pertarungan mulai.
Karena aku selalu berada di lingkungan yang lebih jinak, aku tercengang mengetahui tentang dunia bawah
tanah Eastern; tapi Shepley mengetahui itu sebelum masuk ke Universitas Eastern. Travis, teman sekamar dan
sepupu Shepley, mengikuti pertarungan pertamanya tujuh bulan sebelumnya. Sebagai mahasiswa baru, Travis
digosipkan sebagai lawan paling mematikan yang pernah Adam lihat selama 3 tahun dia mengadakan The
Circle. Memulai tingkat keduanya, Travis jadi tak terkalahkan. Travis dan Shepley dengan mudah membayar
sewa dan tagihan-tagihan mereka karena selalu menang taruhan.
Adam memegang pengeras suaranya lagi, teriakan dan gerakan meningkat menjadi kegelisahan.

Malam ini kita punya penantang baru! Bintang gulat di Eastern, Marek Young!
Sorak sorai bergema, dan orang-orang terbagi menjadi dua seperti Laut Merah ketika Marek memasuki arena.
Lingkaran arena kosong, dan semua orang bersiul, mencemooh, dan mengejek si penantang. Dia melompat ke
atas ke bawah, dan menggoyangkan lehernya ke belakang dan ke depan; wajahnya tampak keras dan focus.
Orang-orang terdiam karena suara raungan, lalu tanganku menutupi telingaku ketika musik berbunyi dari
speaker besar di seberang ruangan.
Petarung kita selanjutnya tidak perlu diperkenalkan, tapi karena dia membuat aku takut, jadi aku tetap akan
memperkenalkan dia! Takutilah, boys, dan buka dalaman kalian, ladies! Ini dia, Travis Mad Dog Maddox!
Suara bergemuruh ketika Travis muncul di pintu. Dia masuk, telanjang dada, santai dan tak terpengaruh oleh
keributan yang ada. Dia berjalan memasuki arena seperti orang yang sedang menuju kantornya. Ototnya yang
tak berlemak meregang di bawah kulitnya yang bertato saat dia beradu tinju dengan Marek. Travis sedikit
membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Marek, dan si pegulat itu berusaha keras untuk tetap
mempertahankan ekspresi tegasnya. Marek berdiri berhadapan dengan Travis dan mereka saling menatap
langsung pada mata masing-masing. Ekspresi Marek sangat mematikan, Travis terlihat agak geli melihatnya.
Mereka mundur beberapa langkah, dan Adam membunyikan terompet. Marek mengambil posisi bertahan dan
Travis menyerang. Aku berjinjit karena tidak bisa melihat, bergerak ke kanan kiri agar dapat melihat
pertarungan dengan lebih baik. Aku terus naik, bergeser melewati orang-orang yang berteriak-teriak. Aku
tersikut dan ditabrak, terpental ke depan dan ke belakang seperti pin bola. Kepala Marek dan Travis mulai
terlihat, jadi aku terus menerobos ke depan.
Ketika aku tepat di depan arena, Marek memegang Travis dan bermaksud untuk melemparnya ke bawah.
Waktu Marek membungkuk, Travis menendangkan lututnya ke wajah Marek. Sebelum Marek bisa berdiri
tegak, Travis menonjok wajah Marek yang sudah berdarah berulang kali.
Ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang.
Apa yang kau lakukan Abby? tanya Shepley
Aku tidak bisa melihat dari belakang sana! sahutku.
Aku berbalik tepat ketika Marek terkena pukulan keras. Travis berbalik, dan untuk sesaat aku pikir dia telah
menghindari beberapa pukulan, tapi dia berhasil memutar dan memukulkan sikunya tepat ke hidung Marek.
Darah menyiprat mengenai wajahku, dan berceceran di bagian depan cardiganku. Marek jatuh ke lantai beton
dengan suara gedebuk yang keras. Untuk sesaat ruangan sunyi senyap.
Adam melemparkan kain merah ke arah tubuh Marek yang lemah, dan orang-orang mukai bersorak. Uang
berpindah tangan sekali lagi, dan ekspresi orang-orang terbagi dua, ada yang bangga dan ada yang frustrasi.
Aku terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang baru masuk dan yang akan keluar. America memanggil
namaku dari suatu tempat di belakang, tapi aku lebih terpesona pada noda merah yang membekas di dadaku
hingga pinggang.
Sepasang sepatu boot berat berjalan ke arahku, mengalihkan perhatianku ke lantai. Mataku bergerak ke atas;
melihat celana jeans yang ada noda darahnya, otot perut yang terpahat dengan indah, telanjang dada, dadanya
bertato dan basah oleh keringat, dan akhirnya sepasang mata coklat yang hangat. Aku terdorong dari belakang,
dan Travis menangkapku sebelum aku terjatuh ke depan.
Hey, mundur! Travis mengernyit, mendorong semua orang yang ada di sekitarku. Ekspresi wajahnya yang

keras mencair menjadi senyuman ketika dia melihat bajuku kemudian mengelap wajahku dengan handuk
Maafkan soal ini, Peogen!
Adam menepuk belakang kepala Travis. Ayo, Mad Dog! Ada sejumlah uang yang harus diambil!
Matanya terus memandangku. Sayang sweaternya, padahal itu terlihat bagus dipakai olehmu. Detik
berikutnya dia ditelan kerumunan fansnya, menghilang secepat dia datang.
Apa yang kau pikirkan, bodoh? America berteriak padaku sambil menarik tanganku.
Aku datang kesini untung melihat pertarungan kan? aku tersenyum.
Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, Abby, Shepley mengomel.
Begitu juga America. kataku.
Dia tidak mencoba loncat ke dalam arena! dia mengernyit. Ayo kita pergi.
America tersenyum padaku dan mengelap wajahku. Kau sangat menyusahkan, Abby. Ya Tuhan, Aku sangat
sayang padamu! Dia memeluk leherku,kemudian kami berjalan menuju tangga dan keluar di udara malam.
America mengikuti ke kamar asramaku, dan menyeringai ke arah teman sekamarku, Kara. Aku langsung
membuka Cardiganku yang penuh noda darah, dan melemparkannya ke dalam keranjang.
Ih menjijikkan. Kalian memang dari mana? Kara bertanya dari atas tempat tidurnya.
Aku memandang America yang mengangkat bahunya, Mimisan. Kau belum pernah melihat hidung mimisan
Abby yang terkenal?
Kara membetulkan posisi kacamatanya sambil menggelengkan kepalanya.
Oh, kau akan melihatnya. America mengedipkan sebelah matanya padaku, kemudian menutup pintu di
belakangnya. Kurang dari semenit kemudian, HPku berbunyi. Seperti biasa, Amaerika selalu mengirim SMS
setelah kita mengucapkan selamat tinggal.
Menginap di tempat Shepley. Sampai bertemu besok, Ring Queen.
Aku melirik Kara yang sedang memperhatikanku seakan-akan hidungku akan menyemburkan darah setiap
saat.
America hanya bercanda. kataku.
Kara mengangguk acuh tak acuh, kemudian memandangi buku yang berantakan di atas tempat tidurnya.
Aku akan mandi dulu. kataku sambil mengambil handuk dan peralatan mandiku.
Aku akan memberitahu media. kata Kara tanpa ekspresi, sambil menunduk.
Keesokan harinya, Shepley dan America bergabung denganku saat makan siang. Aku bermaksud untuk duduk
sendirian, tapi ketika para mahasiswa menuju cafeteria, semua kursi di sekitarku terisi, baik oleh teman
perkumpulannya Shepley atau anak tim football. Beberapa dari mereka ada di tempat pertarungan kemarin,
tapi tidak ada yang membahas pengalamanku di dekat arena.

Shep, panggil seseorang.


Shepley mengangguk, America dan aku berpaling untuk melihat Travis yang duduk di kursi di ujung meja. Dia
diikuti oleh dua wanita pirang seksi yang memakai kaos seragam Sigma Kappa.
Salah seorangnya duduk di pangkuan Travis dan yang satu lagi duduk di sebelahnya, sambil memainkan kaos
Travis dengan jarinya.
Aku rasa aku muntah sedikit di dalam mulutku. America bergumam.
Si pirang yang di pangkuan Travis melirik ke arah America, Aku mendengar itu, dasar pelacur!
America mengambil rotinya dan melemparkannya ke atas meja sehingga hampir mengenai wajah perempuan
pirang itu.
Sebelum perempuan itu sempat mengatakan sesuatu, Travis menarik lututnya sehingga perempuan itu jatuh ke
bawah.
Aduh! dia menjerit, sambil memandang Travis.
America adalah temanku. Silahkan mencari pangkuan lain, Lex.
Travis! dia merengek, berusaha berdiri.
Travis mengalihkan perhatian pada piringnya, mengacuhkan dia. Perempuan itu melihat pada temannya dan
mendengus, kemudian mereka pergi sambil berpegangan tangan.
Travis mengedipkan sebelah matanya ke arah America, seakan-akan tidak terjadi apa-apa, kemudian melahap
makanannya lagi. Saat itulah aku melihat luka kecil di pelipisnya. Travis dan Shepley saling memandang,
kemudian dia mulai mengobrol dengan salah seorang dari tim football yang ada dihadapannya.
Meskipun meja makan mulai sepi, aku, America, dan Shepley terus membicarakan rencana kami untuk akhir
minggu ini. Travis berdiri dan pergi, tapi kemudian berhenti di dekat meja tempat kami berada.
Apa? Shepley bertanya dengan sedikit berteriak, mengangkat tangannya ke telinga.
Aku mencoba untuk mengacuhkan Travis selama mungkin tapi ketika aku melihat ke atas, dia sedang
memandangku.
Kau tahu dia kan, sahabatnya America? Dia bersama kami kemarin, Shepley menjelaskan.
Travis tersenyum padaku yang menurutku itu adalah salah satu ekspresinya yang sangat mempesona. Dia
mengalirkan seks dan sikap memberontaknya melalui suara, rambut coklat, dan tangannya yang bertato, dan
aku mendelik padanya saat dia berusaha menggodaku.
Sejak kapan kalian bersahabat, Mare? Travis bertanya.
Sejak SMP. jawabnya, sambil tersenyum ke arahku. Apakah kau lupa, Travis? Kau telah merusak
sweaternya.
Aku sudah merusak banyak sweater.
Iiiiihh, aku bergumam.

Travis memutar kursi kosong dan kemudian duduk di sebelahku, meletakkan tangannya di depannya. Jadi kau
adalah si Pigeon ya?
Bukan aku membentak, Aku punya nama.
Dia tampak kagum dengan cara aku memperlakukannya, yang malah membuat aku semakin kesal.
Jadi? Siapa namamu? tanyanya.
Aku memakan potongan apel terakhirku, mengacuhkannya.
Kalau begitu, Pigeon saja ya, dia mengangkat bahunya.
Aku melirik America, lalu melihat ke arah Travis Aku sedang makan nih.
Travis tetap santai menanggapi perlakuanku, Namaku Travis, Travis Maddox.
Aku mendelik lagi, Aku tahu kau siapa.
Tahu ya? Travis berkata sambil mengangkat alisnya yang terluka.
Jangan senang dulu. Sulit untuk tidak mengetahui siapa dirimu saat 50 orang mabuk meneriakkan namamu.
Travis duduk lebih tegak, Aku sering mengalami hal itu. Aku mendelik lagi, dan Travis cekikikan. Apakah
kau punya penyakit kedut?
Apa?
Penyakit kedut, matamu selalu bergerak memutar, dia tertawa lagi ketika aku membelalak.
Tapi itu sepasang mata yang indah kok, dia berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Apa
warnanya? Abu-abu?
Aku memandangi piringku, membiarkan rambut panjang warna caramelku menjadi seperti tirai yang
membatasi kita. Aku tidak menyukai apa yang aku rasakan saat dia sangat dekat. Aku tidak mau menjadi
seperti mereka, sejumlah wanita yang akan tersipu ketika dia datang. Aku tidak mau dia memberikan efek
seperti itu padaku sama sekali.
Jangan coba-coba, Travis. Dia sudah seperti saudara perempuanku, America memperingatkan.
Sayang, Shepley berkata, Kau baru saja melarang Travis, sekarang dia tidak akan berhenti.
Kau bukan tipenya, dia melindungi.
Travis pura-pura tersinggung Aku tipe semua orang!
Aku melirik Travis dan tersenyum.
Ah, akhirnya tersenyum, aku bukan seorang bajingan busuk ternyata. Dia mengedipkan satu matanya.
Senang bertemu denganmu, Pidge. Dia berjalan mengitari meja dan membungkuk ke telinga America.
Shepley melemparkan kentang goreng ke arah sepupunya. Jauhkan bibirmu dari telinga pacarku, Trav!

Memperluas jaringan! Aku sedang memperluas jaringan! Travis melangkah keluar dengan tangan di atas
dengan wajah polosnya.
Beberapa perempuan lain lagi mengikuti di belakangnya, cekikikan dan menggerak-gerakkan jari di rambut
mereka untuk menarik perhatiannya. Dia membukakan pintu untuk mereka, dan mereka hampir menjerit
kegirangan.
America tertawa. Oh, tidak. Kau dalam bahaya, Abby.
Apa yang dia bisikkan? Aku bertanya dengan hati-hati.
Dia ingin kau agar mengajak Abby ke apartement, ya kan? Shepley berkata. America mengangguk dan
Shepley menggelengkan kepalanya. Kau adalah wanita yang cerdas, Abby. Aku beritahu dari sekarang, jika
nanti kau mulai percaya omong kosongnya dan ternyata dia membuatmu marah, kau jangan melampiaskannya
padaku atau America, mengerti?
Aku tersenyum. Aku tidak mungkin menyukainya, Shep. Apa aku kelihatan seperti Barbie kembar tadi?
Dia tidak akan menyukainya, America meyakinkan Shepley sambil menyentuh tangannya.
Ini bukan masalah pertamaku, Mare. Apakah kau tahu berapa kali dia mengacaukan hubunganku karena dia
meniduri sahabatnya? Karena tiba-tiba berkencan denganku menjadi seperti lebih memilih musuh daripada
teman! Ingat ya, Abby, dia menatapku, Jangan melarang Mare untuk datang ke apartemen atau berkencan
denganku hanya karena kau percaya semua omong kosongnya Travis. Anggap kau sudah diperingati ya.
Tidak perlu tapi aku menghargai pemberitahuannya, kataku. Aku mencoba meyakinkan Shepley dengan
senyuman, tapi dia merasa tidak yakin karena sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama, terluka karena
kelakuan Travis.
America melambaikan tangannya, kemudian melangkah pergi bersama Shepley, sedangkan aku memasuki
kelas soreku. Aku memicingkan sebelah mataku karena silau oleh sinar matahari, sambil memegang tali
ranselku. Eastern sangat sesuai dengan yang apa aku harapkan; dari ruang kelasnya yang lebih kecil, hingga
tidak adanya satu orang pun yang kenal siapa dia. Ini adalah awal yang baru bagiku; akhirnya aku bisa berjalan
kemanapun tanpa ada orang yang berbisik-bisik karena mengetahui siapa akuatau mereka pikir mereka tahu
semua tentang masa laluku. Aku tidak berbeda dengan semua yang bermata lebar, bekerja keras untuk
masuk kelas; tidak ada yang menatap, tidak ada gosip, tidak ada rasa kasihan atau penilaian. Hanya ilusi yang
aku ingin mereka lihat; memakai Kasmir, tidak ada omong kosong tentang Abby Abertany.
Aku menaruh tas ranselku di lantai, dan duduk di kursi, membungkuk untuk mengambil laptopku dari dalam
tas. Ketika aku duduk lagi untuk menaruhnya di atas meja, Travis baru duduk di kursi sebelahku.
Bagus. Kau bisa membuatkan catatan untukku, dia berkata padaku. Dia menggigit pulpennya dan tersenyum,
tidak diragukan lagi sangat mempesona.
Aku memandang dengan rasa jijik padanya. Bahkan kau tidak mengambil mata kuliah ini.
Aku mengambil mata kuliah ini kok. Biasanya aku duduk di atas sana. dia berkata sambil mengangguk ke
arah tempat duduk paling atas. Sekelompok kecil perempuan memandangiku, dan aku melihat kursi yang
kosong di tengah-tengah mereka.
Aku tidak akan membuat catatan untukmu, aku berkata sambil menyalakan laptop.

Travis membungkuk sangat dekat padaku hingga aku bisa merasakan nafasnya di pipiku. Maaf, apakah aku
pernah menyinggungmu?
Aku menghela nafas kemudian menggelengkan kepalaku.
Lalu apa masalahmu?
Aku menahan suaraku agar tetap pelan. Aku tidak akan tidur denganmu. Kau harus menyerah sekarang.
Senyuman kecil muncul di wajahnya sebelum dia berkata Aku belum mengajakmu untuk tidur denganku,
matanya melayang ke atas memandangi atap kelas seperti sedang berfikir, Iya kan?
Aku tidak seperti Barbie kembar tadi atau kelompok kecilmu di atas sana, aku berkata sambil melihat sekilas
ke arah mereka yang di belakangku. Aku tidak tertarik dengan tatomu, ataupun kelakuanmu yang seperti anak
kecil, atau ketidakacuhanmu yang dipaksakan. Jadi kau bisa menghentikan semua usahamu, oke?
Ok, Pigeon. Dia tampak tidak kesal sedikitpun atas perlakuan kasarku. Kenapa kau tidak ikut America
malam ini? Aku menyeringai atas ajakannya, tapi dia malah semakin mendekat. Aku tidak berusaha untuk
menangkapmu. Aku cuma ingin hang out.
Menangkapku? Bagaimana kau bisa menarik wanita untuk tidur denganmu kalau caramu berbicara seperti
ini?
Tawa Travis meledak, sambil menggelengkan kepalanya. Mampir saja ya nanti. Aku bahkan tidak akan
menggodamu, aku janji.
Akan aku pertimbangkan.
Prof. Chaney masuk, dan Travis mengalihkan perhatiannya ke depan. Masih terlihat senyuman di wajahnya,
membuat lesung pipinya semakin jelas. Semakin dia tersenyum, semakin ingin aku membencinya, padahal itu
yang membuat membencinya menjadi tidak mungkin.
Siapa yang bisa menjawab Presiden mana yang istrinya juling dan bermuka jelek? Chaney bertanya.
Kau harus mencatat itu, Travis berbisik. Aku membutuhkannya untuk menjawab pertanyaan di job
interviews.
Sssshh, kataku sambil tetap mengetik.
Travis menyeringai dan santai di kursinya. Setelah sejam berlalu, dia bolak-balik mendekat dan menatap
monitorku sambil sekali-kali menguap. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi dan mengacuhkannya, tapi
kedekatan dan otot kekarnya membuat semua itu menjadi sulit. Dia memainankan gelang kulit di pergelangan
tangannya hingga saatnya Chaney membubarkan kelas.
Aku bergegas keluar kelas menuju lorong. Ketika aku merasa sudah aman, tiba-tiba Travis Maddox muncul di
sebelahku.
Apa kau sudah memikirkannya? dia bertanya sambil mengenakan kacamata hitamnya.
Perempuan bertubuh kecil berambut coklat melangkah ke arahku dan Travis. Matanya lebar dan berharap.
Hai,Travis, dia menyapa dengan riang, sambil memainkan rambutnya.
Aku berhenti berjalan, menghindar dari suaranya yang dibuat-buat seperti anak kecil kemudian berjalan

memutar ke belakangnya. Aku sudah pernah melihatnya sebelumnya di asrama di Gedung Morgan, sedang
mengobrol dengan temannya tapi tidak dengan suara yang di buat-buat seperti ini. Suaranya waktu itu
terdengar lebih dewasa, dan aku penasaran apa yang membuat dia berfikir kalau Travis akan menyukai suara
anak kecilnya itu. Dia terus mengoceh dengan suara yang lebih tinggi hingga Travis berada di sampingku lagi.
Dia mengeluarkan pematik api dari sakunya, kemudian menyalakan rokok dan menghembuskan asap tebal.
Tadi sampai mana ya? Oh ya, kau sedang berfikir.
Aku menyeringai, Apa yang kau bicarakan?.
Apa kau sudah memutuskan untuk datang?
Jika aku mengatakan ya, akankah kau berhenti mengikutiku?
Dia berfikir sejenak kemudian mengangguk.Ya.
Kalau begitu aku akan datang.
Kapan?
Aku menarik nafas. Malam ini. Aku akan datang malam ini.
Travis tersenyum dan berhenti berjalan. Bagus. Sampai bertemu nanti kalau begitu, Pidge. dia memanggilku.
Aku berbelok ke pojok dan melihat America bersama dengan Finch di luar asrama. Aku dan America bertemu
dengan Finch di acara orientasi mahasiswa baru, dan aku langsung tahu dia bisa menjadi orang ketiga yang
ditunggu-tunggu di dalam hubungan pertemananku dengan America. Dia tidak terlalu tinggi, tapi tetap
kelihatan seperti menara dibandingkan dengan tinggiku yang hanya 5 kaki 4 Inci (163 cm). Matanya yang
bulat mengimbangi penampilannya yang ramping dan rambutnya yang di bleaching biasanya dibentuk seperti
paku.
Travis Maddox? Ya Tuhan, Abby, sejak kapan kau mulai memancing di laut dalam? Finch bertanya dengan
mata yang memancarkan ketidaksetujuannya.
America menarik permen karet dari mulutnya menjadi tali yang panjang. Kau hanya membuatnya semakin
parah dengan menyuruhnya pergi. Dia tidak terbiasa dengan itu.
Jadi aku harus bagaimana? Tidur dengannya?
America menarik nafas. Itu akan menghemat waktu.
Aku memberitahunya kalau aku akan mampir malam ini.
Finch dan America saling pandang.
Apa? Dia berjanji tidak akan menggangguku lagi kalau aku bilang ya. Kau akan pergi kesana kan malam ini?
Hhhmm, ya, jawab America. Kau benar-benar akan datang?
Aku tersenyum dan berjalan menuju aula melewati mereka, penasaran apakah Travis akan menepati janjinya
untuk tidak merayuku. Dia bukan orang yang sulit untuk ditebak; dia hanya melihatku sebagai tantangan, atau
hanya tidak tertarik untuk hanya menjadi sekedar teman. Aku tidak yakin mana yang paling menggangguku.

Empat jam kemudian, America mengetuk pintu kamarku dan mengantarku ke tempat Shepley dan Travis. Dia
tidak dapat menahan diri ketika aku keluar kamar.
Iiiih, Abby! Kau seperti gelandangan!
Bagus, kataku sambil tersenyum melihat baju yang aku pakai. Rambutku diikat dengan asal ke atas, tidak
memakai make up dan mengganti lensa kontakku dengan kacamata yang bingkainya berwarna hitam.
Memakai kaos dan celana usang, aku mengenakan sandal jepit. Ide itu datang sejam sebelumnya,
berpenampilan tidak menarik adalah ide yang sangat bagus. Idealnya, Travis menjadi tidak tertarik dan akan
menghentikan kelakuan bodohnya. Jika dia mencari teman untuk pergi hang out, aku akan memberikan alasan
kalau bajuku tidak pantas untuk terlihat berjalan bersamanya.
America menurunkan jendela mobilnya dan memuntahkan permen karetnya. Kau sangat jelas. Kenapa kau
tidak berguling-guling di atas kotoran anjing untuk membuat penampilanmu lengkap?
Aku tidak bertujuan untuk menarik perhatian seseorang, kataku.
Sangat jelas.
Kami berhenti di tempat parkir komplek apartemen Shepley, dan aku mengikuti America munuju tangga.
Shepley membuka pintu, dan tertawa ketika aku melangkah masuk. Apa yang terjadi padamu?
Dia mencoba untuk tidak menarik, America menjawab.
America mengikuti Shepley ke kamarnya. Pintunya ditutup dan aku berdiri sendirian, merasa canggung. Aku
duduk di kursi malas yang dekat dengan pintu, dan menendang lepas sandal jepitku.
Apartement mereka tampak lebih, secara estetika menyenangkan dibandingkan dengan kamar bujangan pada
umumnya. Poster wanita setengah telanjang dan rambu-rambu jalan yang mereka curi terpasang di tembok,
tapi semua bersih. Kursi tampak masih baru, dan bau bir basi atau pakaian kotor sama sekali tidak ada.
Sudah waktunya kau datang, Travis berkata sambil menjatuhkan diri ke kursi.
Aku tersenyum dan membetulkan posisi kacamataku, menunggu dia mundur karena melihat penampilanku.
America menyelesaikan dulu makalahnya.
Bicara tentang makalah, apa kau sudah menyelesaikan makalah untuk mata kuliah Sejarah?
Dia sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang berantakan, dan aku tidak menyukai reaksinya. Apa kau
sudah menyelesaikannya?
Aku sudah menyelesaikannya tadi sore.
Batas waktunya kan Rabu, kataku heran.
Aku baru saja menyelesaikannya, lagian akan sesulit apa sih 2 lembar makalah tentang Grant, ya kan?
Well, aku pikir aku hanya orang yang suka menunda pekerjaan, aku menarik nafas. Aku mungkin baru akan
mulai mengerjakannya akhir minggu ini."
Well, kalo kau butuh bantuan, beritahu aku.

Aku menunggu dia tertawa, atau menunjukkan tanda kalau dia hanya bercanda, tapi ekspresinya sangat tulus.
Aku mengangkat salah satu alisku. Kau akan membantuku membuat makalah.
Aku mendapat nilai A di kelas sejarah, dia berkata, merasa sedikit kesal karena aku tidak percaya.
Dia mendapat nilai A dalam semua mata pelajaran. Dia sangat jenius. Aku sangat membencinya, Shepley
berkata sambil menuntun America ke ruang tamu.
Aku menatap Travis dengan tatapan tidak percaya dan alisnya naik. Apa? Kau pikir pria dengan tato dan
bertarung untuk mata pencahariannya tidak akan mendapat nilai bagus di kelasnya? Aku tidak menyukai
sekolah karena aku tidak punya kegiatan yang lebih baik untuk aku kerjakan.
Lalu kenapa kau harus bertarung? Kenapa tidak mencoba beasiswa? tanyaku.
Sudah. Aku di beri beasiswa setengah dari jumlah biaya kuliahku. Tapi ada sejumlah buku, biaya hidup dan
aku harus mendapatkan uang untuk menutupi biaya kuliahku yang setengahnya lagi. Aku serius, Pidge. Kalau
kau membutuhkan bantuanku, tinggal beritahu aku.
Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku bisa menulis sendiri makalahku. Aku ingin berhenti. Aku
seharusnya berhenti, tapi sisi barunya menumbuhkan rasa penasaranku. Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan
lain yang tidak terlalu sadis?
Travis menghela nafas. Itu pekerjaan yang paling mudah untuk mendapatkan uang. Aku tidak bisa
mendapatkan uang sebanyak itu kalau aku bekerja di mall.
Aku tidak akan bilang itu pekerjaan yang mudah kalau wajahmu bisa terluka karena pukulan.
Apa? Kau mengkhawatirkan aku? dia mengedipkan matanya. Aku terdiam dan dia tertawa cekikikan. Aku
tidak sesering itu kena pukulan. Kalau mereka mengayunkan pukulannya, aku bergerak. Itu tidak sulit.
Aku tertawa. Kau melakukan itu seperti tidak akan ada orang yang akan mengantisipasi gerakanmu.
Ketika aku mengayunkan pukulanku, mereka menerimanya dan mencoba untuk membalas. Mereka tidak
akan menang kalau begitu.
Aku memutar mataku. Makhluk apa kau iniThe Karate Kid? Dimana kau belajar bertarung?
Shepley dan America saling pandang, dan kemudian mereka berdua menatap lantai.
Tidak lama bagiku untuk mengetahui kalau aku telah mengatakan sesuatu yang salah.
Travis tampak tidak terganggu. Aku mempunyai seorang ayah yang suka mabuk dan sangat temperamen dan
empat kakak lelaki yang mempunyai gen seorang bajingan.
Oh. Telingaku memerah.
Tidak perlu malu, Pidge. Ayah sudah berhenti minum. Dan kakak-kakakku semakin dewasa.
Aku tidak merasa malu. Aku merasa gelisah karena ikatan rambutku lepas dan memutuskan untuk
menggulungnya menjadi sanggul, mencoba untuk menghindari situasi yang hening dan canggung.
Aku suka penampilanmu yang natural. Biasanya tidak ada perempuan yang datang kemari berdandan seperti
itu.

Aku dipaksa datang kemari. Tidak terpikir olehku untuk membuatmu kagum, kataku, jengkel karena ternyata
rencanaku telah gagal.
Dia tersenyum seperti anak kecil, tersenyum geli, dan aku memunculkan rasa marahku, berharap rasa
gelisahku tidak terlihat. Aku tidak tahu bagaimana perasaan para wanita itu saat bersama dia, tapi aku sudah
pernah melihat bagaimana kelakuan mereka di dekatnya. Aku lebih merasa pusing dan mual daripada
cekikikan tergila-gila. Semakin dia berusaha membuat aku tersenyum, aku semakin merasa tidak menentu.
Aku sudah merasa kagum. Biasanya aku tidak harus memohon pada wanita agar mereka datang ke
apartemenku.
Aku yakin begitu. kataku dengan sebal.
Dia adalah orang yang rasa percaya dirinya sangat parah. Tidak saja dia tidak tahu malu menyadari
penampilannya, dia sudah terbiasa dengan wanita yang menawarkan dirinya sehingga dia menganggap sikap
dinginku menjadi angin segar daripada menganggapnya menyinggung. Aku harus merubah strategiku.
America mengarahkan remote ke arah TV dan menyalakannya. Ada film bagus malam ini. Ada yang ingin
mengetahui di mana Baby Jane berada?
Travis berdiri. Aku baru mau pergi makan malam. Apa kau lapar, Pidge?
Aku sudah makan aku menghela nafas.
Belum, kau belum makan, kata America sebelum menyadari kesalahannya. Oh..eh..ya benar, aku lupa tadi
kau makan eehhmmmpizza? Sebelum kita pergi tadi.
Aku menyeringai padanya yang bermaksud memperbaiki kesalahan besarnya, dan kemudian menunggu reaksi
Travis.
Dia berjalan ke seberang ruangan menuju pintu depan. Ayo. Kau pasti lapar.
Kita mau kemana?
Kemanapun yang kau mau. Kita bisa beli pizza.
Aku melihat pakaianku. Aku tidak memakai pakaian yang pantas untuk pergi.
Dia menilai penampilanku sebentar lalu menyeringai. Kau terlihat sangat baik. Mari kita pergi, aku sudah
kelaparan.
Aku berdiri dan melambai ke arah America, melewati Travis lalu turun tangga. Aku berhenti di tempat parkir,
dan memandang ketakutan ketika dia menaiki motor hitam.
Eeehh aku terdiam, meremas jari kakiku yang terbuka.
Dia memandangku dengan tidak sabar. Ayo, naik. Aku akan hati-hati.
Apa itu? tanyaku, terlambat membaca tulisan yang tertulis di atas tanki bensin. Ini adalah Harley Night
Rod. Dia cinta dalam hidupku, jadi jangan menggores catnya ketika kau naik.
Aku memakai sandal jepit!

Travis memandangku seakan aku berbicara menggunakan bahasa asing. Aku memakai sepatu boot. Ayo
naik.
Dia memakai kacamatanya, dan suara mesin menggeram saat dia menyalakannya. Aku naik dan meraih
sesuatu untuk berpegangan, tapi tanganku tergelincir dari kulit ke cover plastik diatas lampu belakang.
Travis memegang dan memelukkan tanganku di pinggangnya. Tidak ada tempat untuk berpegangan kecuali
aku, Pidge. Jangan lepas, katanya sambil mendorong motor ke belakang dengan kakinya. Dengan sekali
hentakan tangannya, dia mengarah ke jalan, dan melaju seperti roket. Seuntai rambut yang lepas dari ikatannya
menggantung dan memukul-mukul wajahku, aku menunduk di belakang Travis, mengetahui aku akan berakhir
dengan kotoran serangga di kacamataku apabila aku melihat ke depan dari atas bahunya.
Dia memacu klep penutup saat kita berhenti di tempat parkir sebuah restoran, dan ketika dia melambat untuk
berhenti, aku tidak membuang waktu untuk berjalan menuju lantai beton yang aman.
Kau sinting!
Travis tertawa kecil, memiringkan motornya diatas standarnya sebelum turun. Aku hanya mengikuti aturan
batas kecepatan.
Ya, kalau kita di Autobahn! (Jalan Raya dalam bahasa Jerman) kataku sambil menyisir rambutku dengan
jari.
Travis memperhatikanku dan menarik rambut dari wajahku lalu melangkah menuju pintu kemudian membuka
dan menahannya. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada dirimu, Pigeon.
Aku menerobos masuk melewati dirinya ke dalam restoran, kepalaku tidak sejalan dengan kakiku. Wangi
lemak dan bumbu memenuhi udara saat aku mengikutinya melewati karpet yang penuh dengan remah roti. Dia
memilih tempat duduk di pojok, jauh dari gerombolan pelajar dan beberapa keluarga, lalu memesan dua bir.
Aku mengamati ruangan, memperhatikan para orangtua yang membujuk anak yang ribut untuk makan. Aku
mengalihkan pandanganku dari pandangan ingin tahu beberapa murid Eastern.
Tentu, Travis. kata pelayan, menuliskan pesanan minum kami. Pelayan itu tampak sedikit lebih tinggi dari
Travis saat dia kembali ke dapur.
Aku menyelipkan rambutku yang terkena tiupan angin ke belakang telingaku, tiba-tiba merasa malu akan
penampilanku. Sering datang kesini? tanyaku.
Travis bersandar diatas meja, sikunya menahannya di atas meja, mata coklatnya terpaku menatap mataku. So,
ceritakan tentang dirimu, Pidge? Apakah kau selalu membenci pria secara umum, atau hanya membenci
diriku?
Aku pikir aku hanya membenci dirimu. aku menggerutu.
Dia tertawa, geli melihat suasana hatiku. Aku tidak dapat menebak dirimu. Kau wanita pertama yang muak
padaku sebelum tidur denganku. Kau tidak gugup kalau sedang bicara denganku, dan kau tidak mencoba untuk
menarik perhatianku.
Itu bukan taktik. Aku hanya tidak menyukaimu.
Kau tidak akan berada disini kalau tidak menyukaiku.

Rasa tidak sukaku harus diperhalus dan akupun menghela nafas. Aku tidak pernah bilang kau orang yang
jahat. Aku hanya tidak suka menjadi satu akhir yang tidak terelakkan untuk satu alasan karena memiliki
vagina. Aku fokus pada butiran garam yang ada di atas meja hingga mendengar suara tersedak dari arah
Travis.
Matanya melebar dan dia bergetar saat tertawa seperti melolong. Ya Tuhan! Kau membunuhku! Sudah pasti.
Kita harus berteman. Aku tidak akan menerima jawabanmu jika kau menolak.
Aku tidak keberatan kita berteman, tapi itu bukan berarti kau akan berusaha memasuki celana dalamku setiap
lima detik.
Karena kau tidak akan tidur denganku, aku mengerti.
Aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal.
Matanya lebih bersinar. Aku berjanji. Aku tidak akan memikirkan celana dalammu..kecuali kau
menginginkannya.
Aku meletakkan sikuku di atas meja dan bersandar ke depan. Dan itu tidak akan terjadi, so kita bisa menjadi
teman.
Seringai nakal tampak jelas di wajahnya saat dia mendekatiku. Jangan pernah bilang tidak akan.
So, ceritakan tentang dirimu, tanyaku. Apakah kau selalu menjadi Travis Mad Dog Maddox atau julukan
itu ada saat kau kuliah di sini? Aku mengangkat kedua tanganku untuk membuat tanda kutip ketika aku
menyebutkan nama julukannya, dan untuk pertama kalinya rasa percaya dirinya kelihatan berkurang. Dia
tampak sedikit malu. Tidak, Adam yang memulainya setelah pertarungan pertamaku.
Jawaban-jawaban singkatnya mulai menggangguku. Hanya itu? Kau tidak akan menceritakan apapun tentang
dirimu?
Apa yang ingin kau ketahui?"
Hal yang biasa. Kau berasal dari mana, apa cita-citamu saat dewasa nanti..hal-hal seperti itu.
Aku orang sini, lahir dan dibesarkan di sini, dan aku mengambil jurusan Hukum Pidana.
Dengan tarikan nafas panjang, dia membuka bungkusan alat makannya dan menaruhnya di samping piringnya.
Dia melirik ke belakangnya, dan aku menyadari rahangnya sedikit menegang ke arah mereka yang ada di
sekitar kami. Tim sepak bola Eastern duduk di dua meja dan tawa mereka meledak, Travis tampak terganggu
dengan apa yang mereka tertawakan.
Kau bercanda, kataku tak percaya.
Tidak, aku orang sini, katanya, teralihkan.
Maksudku tentang jurusan yang kau ambil. Kau tidak seperti tipe Hukum Pidana.
Alisnya mengkerut, tiba-tiba fokus pada obrolan kami. Kenapa?
Aku mengamati tato di tangannya. Aku hanya bilang kalau kau lebih mirip kriminal daripada hukum.
Aku tidak pernah terlibat masalah..hampir sepanjang waktu. Ayahku sangat keras.

Dimana Ibumu?
Dia meninggal waktu aku masih kecil, dia menjawab.
Maafkan aku kataku, sambil menggelengkan kepalaku. Jawabannya membuatku tidak siap.
Dia menolak rasa simpatiku. Aku tidak mengingatnya. Tapi kakak-kakakku mengingatnya, aku baru berumur
tiga tahun waktu dia meninggal.
Empat kakak laki-laki ya? Bagaimana caramu membuat mereka lurus? aku menggodanya.
Aku membuat mereka lurus dengan siapa yang bisa memukul paling keras, itu juga menimpa dari yang tertua
hingga yang termuda. Thomas, si kembar.. Taylor dan Tyler, lalu Trenton. Kau tidak boleh berada di ruangan
sendirian dengan Taylor dan Ty. Aku mempelajari setengah dari yang aku tahu di The Circle dari mereka.
Trenton adalah yang tubuhnya paling kecil, tapi dia sangat cepat. Dia satu-satunya orang yang bisa
mendaratkan pukulan padaku sekarang.
Aku mengelengkan kepalaku, ternganga membayangkan lima Travis bersaudara berkeliaran di satu rumah.
Apa mereka semua punya tato?
Hampir semua, kecuali Thomas. Dia eksekutif periklanan di California.
Dan ayahmu? Di mana sekarang dia?
Ada dia menjawab. Rahangnya tegang lagi, semakin terganggu oleh tim sepak bola.
Apa yang mereka tertawakan? tanyaku, menunjuk ke arah meja yang gaduh. Dia menggelengkan kepalanya,
sangat jelas tidak ingin memberitahu. Aku melipat tanganku dan menggeliat di tempat dudukku, cemas dengan
apa yang mereka katakan yang membuat dia merasa terganggu. Beritahu aku.
Mereka menertawakan aku membawamu makan malam terlebih dahulu. Itu tidak biasa..bukan kebiasaanku.
Terlebih dahulu? ketika kenyataan terlihat di wajahku, Travis memperhatikan ekspresiku. Aku bicara tanpa
berpikir. Justru aku takut mereka menertawakanmu karena mengajakku makan malam dengan pakaian seperti
ini, dan mereka pikir aku akan tidur denganmu aku bergumam.
Kenapa aku tidak akan pernah terlihat jalan bersamamu?
Apa yang kita bicarakan? tanyaku, mengusir rasa panas yang meningkat di bawah pipiku.
Kau. Apa jurusan yang kau ambil? dia bertanya.
Oh, ehmumum, sekarang. Aku masih belum memutuskan, tapi aku cenderung memilih jurusan Akuntansi.
Kau bukan berasal dari sini kan. Sangat jelas terlihat.
Wichita. Sama dengan America.
Kenapa bisa berada di sini dari Kansas?
Aku mengambil label botol birku. Kami hanya harus pergi dari sana.

Menghindar dari apa?


Orangtuaku.
Oh. Bagaimana dengan America? Dia punya masalah dengan orangtua juga?
Tidak, Mark dan Pam sangat baik. Mereka hampir bisa dibilang yang merawatku. Dia cuma ingin ikut; dia
tidak mau aku pergi sendirian.
Travis mengangguk. Jadi kenapa memilih Eastern?
Ada apa dengan tingkat tiga? tanyaku. Pertanyaannya mulai menyimpang dari pertanyaan biasa ke
pertanyaan yang lebih pribadi, dan aku mulai merasa tidak nyaman.
Beberapa kursi saling membentur ketika tim sepak bola meninggalkan tempat duduk mereka. Mereka saling
melempar lelucon untuk terakhir kalinya sebelum mereka berjalan ke arah pintu keluar. Mereka berjalan lebih
cepat saat Travis berdiri. Mereka yang di belakang mendorong yang di depan agar bisa kabur sebelum Travis
berjalan ke seberang ruangan. Dia duduk, memaksa rasa marah dan frustrasinya pergi.
Aku mengangkat salah satu alisku.
Kau tadi baru akan menjelaskan kenapa kau memilih Eastern, dia memaksa.
Sangat sulit untuk dijelaskan, jawabku sambil mengangkat bahu. Aku hanya merasa ini pilihan yang tepat.
Dia tersenyum saat dia membuka menu. Aku tahu maksudmu.
***
Wajah-wajah yang familiar memenuhi tempat duduk di meja makan. America duduk di sebelahku, dan Finch
duduk di sisi yang lain, dan tempat yang kosong lainnya di duduki Shepley dan saudara perkumpulannya
di Sigma Tau. Sangat sulit untuk mendengar di dalam kafetaria karena bising dan AC sepertinya tidak menyala
lagi. Tercium bau yang menyengat dari makanan yang digoreng dan kulit yang berkeringat di udara, tapi
tampaknya semua orang lebih bersemangat dari biasanya.
Hai, Brazil, kata Shepley, menyapa ke arah pria yang sedang duduk di hadapanku. Kulit kecoklatan dan mata
coklatnya tertutup oleh topi putih tim football Eastern yang ditarik hingga ke bawah dahinya.
Kau menghilang setelah pertandingan hari Sabtu kemarin, Shep. Aku meminum satu sampai enam bir
jatahmu, dia berkata sambil tersenyum lebar. Aku hargai itu. Aku mengajak Mare makan malam, dia
membunguk sedikit kemudian mencium rambut pirang panjang America.
Kau menduduki kursiku, Brazil.
Brazil menoleh dan melihat Travis berdiri di belakangnya, lalu dia memandang ke arahku dengan rasa terkejut.
Oh, apakah dia salah satu dari pacarmu, Trav?
Sama sekali bukan, aku menjawab sambil menggelengkan kepala.
Brazil melihat lagi ke arah Travis yang sedang menatapnya dengan penuh harap. Brazil menarik nafas panjang
lalu membawa nampan makanannya ke ujung meja.
Travis tersenyum padaku ketika dia duduk. Apa kabar, Pidge?

Apa itu? aku bertanya sambil terus melihat ke arah nampannya. Makanan aneh di atas piringnya tampak
seperti lilin.
Travis tertawa sambil meminum air dari gelasnya. Pekerja kafetaria menakutiku. Aku tidak akan mengkritik
keterampilan mereka dalam memasak.
Aku menyadari tatapan menilai dari mereka yang duduk semeja bersama kami. Kelakuan Travis mengusik rasa
ingin tahu mereka, aku tersenyum tenang karena menjadi satu-satunya wanita yang mereka lihat yang
membuat Travis memaksa untuk duduk berdekatan dengannya.
Uuuhh...ujian Biologi nanti setelah makan siang, America menggerutu.
Apa kau sudah belajar? tanyaku.
Tentu saja belum. Aku menghabiskan waktu tadi malam untuk meyakinkan Shepley kalau kau tak akan tidur
dengan Travis.
Pemain football yang duduk di ujung meja kami menghentikan tawanya agar bisa mendengarkan lebih jelas,
membuat semua orang heran. Aku membelalak ke arah America, tapi dia tak peduli pada semua tuduhan,
menyenggol Shepley dengan bahunya.
Ya Tuhan, Shep. Kau mengira akan seburuk itu ya? Travis bertanya, sambil melemparkan sebungkus saos ke
arah sepupunya. Shepley tidak menjawab, tapi aku tersenyum menghargai Travis karena mencoba untuk
mengalihkan perhatian.
America mengusap punggung Shepley. Dia akan baik-baik saja. Hanya saja dia membutuhkan waktu untuk
percaya kalau Abby menolak pesonamu.
Aku belum mencoba untuk menarik perhatiannya, Travis mendengus, tampak tersinggung. Dia temanku.
Aku menatap Shepley. Sudah aku bilang. Tidak perlu khawatir.
Shepley akhirnya menatapku, melihat ekspresi tulusku, matanya bersinar sedikit.
Apa kau sudah belajar? Travis bertanya padaku.
Aku cemberut. Selama apapun aku belajar tidak akan menolong. Biologi bukan pelajaran yang mudah di
pelajari.
Travis berdiri. Ayo.
Apa?
Mari kita ambil catatanmu. Aku akan membantumu belajar.
Travis...
Ayo berdiri, Pidge. kau akan mendapat nilai yang bagus ujian nanti.
Aku menarik salah satu kepang panjang America sambil lewat. Sampai bertemu di kelas Mare.
Dia tersenyum. Aku akan sisakan tempat duduk untukmu. Aku membutuhkan semua bantuan yang bisa aku
dapatkan.

Travis mengikutiku ke kamar, dan aku mengeluarkan buku pelajaranku sementara dia membuka-buka bukuku.
Dia memberikan pertanyaan tanpa henti dan menjelaskan segala sesuatu yang tidak aku mengerti. Dengan
caranya menjelaskan, konsep yang tadinya membingungkan menjadi mudah untuk di mengerti.
...Dan somatik sel menggunakan mitosis untuk berkembang biak. Di situlah terdapat fase-fasenya. Terdengar
seperti nama seorang wanita: Prometa Anatela.
Aku tertawa. Prometa Anatela?
Prophase, Metaphase, Anaphase dan Telophase.
Prometa Anatela, aku mengulangi, sambil mengangguk.
Dia memukulkan kertas ke atas kepalaku. kau sudah hafal semua. kau sudah mempelajari buku panduan
belajar ini berulang-ulang.
Aku menghela nafas. Well, kita lihat nanti.
Aku akan mengantarmu ke kelas. Aku akan menanyakan beberapa pertanyaan sepanjang jalan.
Aku mengunci pintu. kau tidak akan marah kan kalau aku gagal dalam ujian ini?
kau tidak akan gagal, Pidge. Lain kali kita harus belajar lebih awal, dia berkata sambil terus berjalan di
sampingku hingga tiba di gedung sains.
Bagaimana caranya kau akan membantuku belajar, mengerjakan PR mu, belajar dan berlatih bertarung?
Travis tertawa. Aku tidak berlatih. Adam menghubungiku, memberitahu tempat bertarungnya dan aku tinggal
datang.
Aku menggelengkan kepala karena tidak percaya saat dia memegang kertas di depannya dan mengajukan
pertanyaan pertamanya.
Kami hampir selesai untuk kedua kalinya mempelajari buku bimbingan belajar itu saat kami tiba di depan
kelasku.
kau pasti berhasil, dia tersenyum sambil menyerahkan catatanku dan bersandar pada kusen pintu.
Hai, Trav.
Aku berpaling dan melihat pria tinggi dan kurus tersenyum ke arah Travis ketika akan masuk kelas.
Parker, Travis mengangguk.
Matanya berbinar saat melihat ke arahku kemudian tersenyum. Hai, Abby.
Hai, jawabku, terkejut dia tahu namaku. Aku pernah melihatnya di kelas, tapi kita tidak pernah saling
menyapa.
Parker terus berjalan menuju tempat duduknya, bercanda dengan beberapa orang yang duduk di sebelahnya.
Siapa dia? tanyaku.

Travis mengangkat bahunya, tapi kulit di sekitar matanya jadi semakin tegang dari sebelumnya. Parker
Hayes.
Dia salah satu teman perkumpulanku di Sig Tau.
kau ikut frat (fraternity: semacam perkumpulan persaudaraan mahasiswa)? aku bertanya, tidak percaya.
Sigma Tau, sama seperti Shep. kupikir kau tahu itu, dia menjawab sambil melihat ke arah Parker.
Well...kau seperti bukan tipe orang yang ikut perkumpulan, aku berkata, menatap tato di atas tangannya.
Travis kembali memperhatikanku dan menyeringai. Ayahku dulu anggota Sigma Tau, begitu pula semua
kakakku...jadi seperti tradisi.
Dan mereka mengharapkanmu untuk mengikuti sumpah? aku bertanya, skeptis.
Tidak juga. Mereka orang-orang yang baik, dia menjawab sambil mengibaskan kertas catatanku. Sebaiknya
kau masuk kelas.
Terima kasih sudah membantuku, aku berkata, menyenggol dia dengan sikuku. America masuk dan aku
mengikutinya menuju tempat duduk kami.
Bagaimana tadi? dia bertanya.
Aku mengangkat bahu. Dia pengajar yang baik.
Hanya pengajar?
Dia teman yang baik juga.
Dia tampak kecewa, dan aku tertawa melihat ekspresi di wajahnya.
America berharap aku akan berkencan dengan teman, atau teman sekamar-garis miring-sepupunya, dan kalau
itu terjadi akan menjadi seperti jackpot baginya. Dia ingin agar kita satu kamar saat mendaftar di Eastern tapi
aku menolaknya, berharap untuk melebarkan sayap sedikit. Setelah dia berhenti merajuk, dia berusaha
memperkenalkan semua teman Shepley padaku.
Ketertarikan Travis padaku telah melampaui semua idenya.
Aku telah mengerjakan ujianku dan duduk di tangga di luar gedung, menunggu America. Ketika dia merosot
ke bawah duduk di sebelahku, merasa tak dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, aku menunggu dia bicara.
Tadi sangat sulit! dia menangis.
kau harus ikut belajar bersama aku dan Travis. Dia menjelaskan dengan sangat baik.
America mengerang dan bersandar di bahuku. kau tidak membantu sama sekali! Tidak bisakah kau cuma
mengangguk atau semacamnya? Aku memeluk lehernya dan menuntunnya menuju asrama.
***
Selama seminggu berikutnya, Travis membantuku membuat makalah mata kuliah Sejarah dan mengajariku
Biologi. Aku dan Travis mengamati papan nilai di luar kantor Prof Campbell. Nomor mahasiswaku berada di

urutan ketiga dari atas.


Urutan ketiga tertinggi di kelas! Bagus, Pidge! dia berkata sambil memelukku. Matanya bersinar karena
gembira dan bangga, dan situasi menjadi canggung, membuatku mundur satu langkah.
Terimakasih, Trav. Aku tak akan berhasil tanpa bantuanmu, aku berkata sambil menarik bajunya.
Dia memelukku, sambil berjalan ke arah kerumunan di belakang kami. Awas! Minggir! Beri jalan untuk
wanita malang yang menyeramkan, rusak dan berotak encer ini! Dia benar-benar jenius!
Aku tertawa melihat ekspresi senang dan penasaran teman sekelasku.
***
Ketika hari-hari berlalu, kami berhasil menurunkan gosip tentang hubungan kami. Reputasi Travis dapat
menghilangkan gosip itu. Dia tidak pernah setia pada satu wanita lebih dari satu malam, jadi semakin sering
kami terlihat bersama, orang-orang semakin mengerti kalau itu hanya hubungan biasa, tidak lebih. Meskipun
dengan pertanyaan yang sering diajukan tentang hubungan kami, perhatian yang Travis terima dari para
mahasiswi sama sekali tidak surut.
Dia selalu duduk di sampingku setiap mata kuliah Sejarah, dan makan siang bersama. Tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk menyadari kalau aku telah salah menilainya, malah aku selalu membelanya di depan
orang yang tidak mengenal Travis sepertiku.
Di kafetaria, Travis menaruh sekaleng jus jeruk di hadapanku.
kau tak perlu melakukannya. Aku akan mengambilnya sendiri, kataku sambil membuka jaket.
Well, sekarang kau tak perlu lagi mengambilnya, kan? dia berkata, memamerkan lesung pipi di pipi kirinya.
Brazil mendengus. Apa dia telah merubahmu menjadi seorang pesuruh, Travis? Apa selanjutnya, mengipasi
dia dengan daun palem, sambil memakai speedo?
Travis mengarahkan pandangan marah padanya, dan aku melompat berdiri untuk membela Travis. kau tak
akan muat memakai speedo, Brazil. Tutup mulutmu.
Tenanglah, Abby! Aku hanya bercanda! Brazil menjawab sambil mengangkat tangannya.
Pokoknya...jangan bicara seperti itu padanya, kataku sambil mengerutkan dahi.
Ekspresi Travis terkejut bercampur syukur. Sekarang aku sudah melihat semua. Aku dibela oleh seorang
wanita, dia berkata sambil berdiri. Sebelum dia pergi membawa nampannya, dia memberikan tatapan
peringatan pada Brazil, kemudian berjalan keluar untuk merokok bersama sekelompok kecil sesama perokok
di luar gedung.
Aku berusaha untuk tidak memperhatikan dia yang sedang ngobrol dan tertawa. Setiap wanita bersaing untuk
mendapatkan tempat di sampingnya, America menyenggolku dengan sikunya ketika dia menyadari
perhatianku teralihkan.
Apa yang sedang kau lihat, Abby?
Tidak ada. Aku tidak sedang melihat apapun.

Dia meletakan dagunya di atas tangannya dan menggelengkan kepalanya. Mereka sangat mencolok. Lihat si
rambut merah. Dia memainkan jari di rambutnya sebanyak dia berkedip. Aku penasaran apakah Travis pernah
merasa bosan dengan itu.
Shepley mengangguk. Dia pernah. Semua orang menganggap dia bajingan, andaikan mereka tahu bagaimana
sabarnya dia menghadapi semua wanita yang berpikir mereka bisa menjinakkannya...dia tak bisa pergi
kemanapun tanpa gangguan dari mereka. Percayalah; dia jauh lebih sopan dari aku kalau berada di posisinya.
Ah, seperti kau tidak akan menikmatinya saja, America berkata sambil mencium pipinya.
Travis telah selesai merokok di luar kafetaria saat aku melewatinya. Tunggu, Pidge. Aku akan mengantarmu.
kau tidak harus mengantarku ke setiap kelas, Travis. Aku tahu caranya kesana meskipun sendirian.
Travis mudah teralihkan perhatiannya oleh wanita berambut hitam panjang memakai rok pendek yang berjalan
sambil tersenyum padanya. Matanya mengikuti wanita itu dan mengangguk ke arahnya lalu membuang
rokoknya.
Sampai bertemu nanti, Pidge.
Ya, kataku sambil memutar mataku ketika dia berlari ke samping wanita itu.
***
Tempat duduk Travis tetap kosong selama pelajaran berlangsung, dan aku merasa sedikit jengkel padanya
karena bolos untuk wanita yang tak dia kenal. Prof Chaney membubarkan kelas lebih awal, aku bergegas
menyebrangi halaman rumput, karena ada janji dengan Finch jam 3 untuk memberinya catatan Sherri
Cassidys Music Appreciation. Aku melihat jamku dan mempercepat langkahku.
Abby?
Parker berlari menyeberangi halaman rumput untuk berjalan di sampingku. Kupikir kita belum berkenalan
secara resmi, dia berkata sambil mengulurkan tangannya. Parker Hayes.
Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum. Abby Abernathy.
Aku ada di belakangmu ketika kau sedang melihat hasil nilai ujian Biologi. Selamat ya, dia tersenyum
sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya.
Terimakasih. Travis membantuku belajar, kalau tidak, mungkin aku akan berada di urutan paling bawah daftar
nilai itu, percayalah.
Oh, apakah kalian...
Sahabat.
Parker tersenyum dan mengangguk. Apakah dia memberitahumu bahwa akan ada pesta di The House akhir
minggu ini?
Kami kebanyakan hanya membahas Biologi dan makanan.
Parker tertawa. Itu terdengar seperti Travis.

Di depan pintu masuk Aula Morgan, Parker mengamati wajahku dengan mata hijau besarnya. kau harus
datang. Itu akan menyenangkan.
Aku akan bicara dengan America. kupikir kita tak punya rencana apapun.
Apakah kalian merupakan satu paket?
Kita bersumpah musim panas ini. Tak akan datang ke pesta seorang diri.
Pintar, dia mengangguk setuju.
Dia bertemu Shep ketika orientasi, jadi aku jarang bisa bersama dengannya. Ini akan menjadi pertama kalinya
aku meminta bantuannya, jadi kupikir dia akan senang untuk datang. Aku dalam hati meringis. Aku meringis
dalam hati. Aku tidak hanya mengoceh, aku juga membuatnya sangat jelas terlihat kalau aku tidak pernah
diajak ke sebuah pesta.
Bagus. Sampai bertemu di sana, dia berkata. Dia memancarkan kesempurnaan, senyum seperti model
Banana Republic dengan rahang yang kotak dan kulit coklat alaminya, berbalik berjalan menuju kampus.
Aku terus memandanginya ketika dia pergi; dia sangat tinggi, tercukur rapi, memakai kaos bergaris dan celana
jins. Rambutnya yang bergelombang dan pirang gelap bergerak ke atas ke bawah ketika dia berjalan.
Aku menggigit bibirku, tersanjung oleh undangannya.
Nah kalau dia lebih cocok untukmu, Finch berbisik di telingaku.
Dia cakep kan? aku bertanya, tak bisa berhenti tersenyum.
Sudah pasti dia tampan...dalam posisi misionari.
Finch! aku berteriak sambil memukul bahunya.
Apakah kau membawa catatan milik Sherri?
Bawa, aku menjawab sambil mengeluarkannya dari tasku. Dia menyalakan rokok, menghisapnya lalu
memicingkan matanya ke arah kertas.
Benar-benar hebat, dia berkata sambil membolak-balik halamannya. Dia menggulung dan menyimpannya ke
dalam saku kemudian menghisap rokoknya lagi. Untung pemanas air di asrama mati. kau membutuhkan
mandi air dingin setelah bermain mata dengan Parker.
Di asrama tak ada air panas? aku meratap.
Ya benar, Finch berkata sambil mengenakan tas ranselnya. Aku pergi dulu, ada kelas Aljabar. Beritahu
Mare jangan lupakan aku akhir minggu ini.
Aku akan memberitahunya, omelku sambil melihat ke arah dinding antik batu bata asrama. Aku membuka
pintu kamarku dan menerobos masuk, dan menjatuhkan tas ranselku ke lantai.
Tidak ada air panas, Kara bergumam dari meja belajarnya.
Aku sudah tahu.

Handphoneku bergetar dan aku memijit satu tombol untuk membaca SMS America yang memaki-maki karena
pemanas air mati. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu.
America masuk dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidurku, tangannya dilipat. Apa kau percaya omong
kosong ini? Kita sudah membayar mahal tapi tidak bisa mandi air panas?
Kara mendengus, Berhentilah merengek. Kenapa kau tidak tinggal di apartemen pacarmu? Bukannya kau
sering menginap di sana?
America menatap tajam Kara. Ide yang bagus, Kara. Mengingat kau sangat menyebalkan tapi berguna juga
kadang-kadang.
Kara tetap memandangi monitor komputernya, tidak terpengaruh sindiran America.
America mengeluarkan Handphonenya kemudian mengetik SMS dengan ketepatan dan kecepatan yang luar
biasa. Handphonenya berbunyi dan dia tersenyum ke arahku. Kita menginap di tempat Shep dan Travis
sampai pemanas air selesai di perbaiki.
Apa? Aku tak akan ikut, teriakku.
Oh kau ikut. Tidak ada alasan untukmu terkurung di sini dan mandi air dingin sedangkan Travis dan Shep
memiliki dua kamar mandi di apartemennya.
Aku tidak diajak.
Aku mengajakmu. Shep sudah bilang tidak apa-apa. kau bisa tidur di sofa...kalau Travis tidak sedang
memakainya.
Dan kalau dia sedang memakainya?
America mengangkat bahunya. kau bisa tidur di kamar Travis.
Aku tidak mau!
Dia memutar matanya. Jangan seperti anak kecil, Abby. Kalian berteman, kan? Jika dia belum mencoba
melakukan apapun sekarang, berarti dia tidak akan pernah melakukannya.
Kata-katanya membuatku menutup mulutku. Travis bersamaku setiap malam selama seminggu ini. Aku selalu
direpotkan untuk meyakinkan semua orang bahwa kami hanya berteman, tidak pernah muncul di benakku
kalau dia hanya tertarik untuk berteman. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasa sedikit tersinggung.
Kara menatap tidak percaya ke arah kami. Travis Maddox tidak berusaha untuk tidur denganmu?
Kami hanya teman! Aku berkata dengan nada membela diri.
Aku tahu, tapi apakah dia benar tidak pernah...mencoba? Dia tidur dengan semua orang.
Kecuali kita, America berkata lalu memandang Kara. Dan kau.
Kara mengangkat bahu. Well, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku cuma mendengar ceritanya.
Tepat, aku membentaknya, kau bahkan belum mengenalnya.

Kara kembali menatap komputernya, melupakan kehadiran kami.


Aku menghela nafas. Baiklah Mare. Aku akan berkemas dulu.
Pastikan kau membawa pakaian untuk tinggal beberapa hari, siapa yang tahu berapa lama untuk memperbaiki
pemanas airnya, dia berkata sedikit terlalu bersemangat.
Ada sedikit rasa takut seperti akan mengintip daerah musuh. Ya...Baiklah.
America melompat ketika memelukku. Ini akan sangat menyenangkan!
Setengah jam kemudian kami memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil Honda milik America dan
menuju apartemen. America hampir tidak menarik nafas saat dia asyik mengoceh sambil menyetir. Dia
membunyikan klakson saat melambat untuk berhenti di tempat biasa dia parkir. Shepley berlari menuruni
tangga, dan menarik ke dua tas kami dari dalam bagasi, mengikuti kami ke atas.
Tidak dikunci kok, dia terengah.
America membuka pintu dan aku menahan pintunya. Shepley mendengus saat menurunkan tas kami ke lantai.
Ya Tuhan, Sayang! Tasmu 20 pound lebih berat dari tas Abby!
America dan aku terdiam saat seorang wanita keluar dari kamar mandi, sambil mengancingkan kemejanya.
Hai, sapanya, tampak terkejut. Mata dengan maskaranya yang berantakan menatap kami sebelum
mendengus melihat ke arah koper kami. Aku mengenali dia sebagai wanita yang diikuti Travis dari kafetaria.
America membelalak ke arah Shepley.
Dia mengangkat tangannya ke atas. Dia bersama Travis!
Travis keluar dari pojokan hanya memakai celana boxer sambil menguap. Dia melihat pada tamunya, dan
kemudian menepuk pantatnya. Temanku sudah datang. kau sebaiknya pergi.
Gadis itu tersenyum dan memeluk Travis lalu mencium lehernya. Aku akan meninggalkan nomor teleponku
di meja dapur.
Ehm...tidak perlu, kata Travis santai.
Apa? dia bertanya dan melepaskan pelukannya untuk menatap mata Travis.
Selalu seperti ini! Kenapa kau terkejut? Dia adalah Travis Maddox si bajingan! Dia terkenal seperti itu tapi
selalu saja kalian terkejut! America berkata sambil berbalik ke arah Shepley. Dia memeluk America untuk
menenangkannya.
Wanita itu memicingkan matanya ke arah Travis lalu mengambil tasnya dan berlari keluar sambil membanting
pintu di belakangnya.
Travis berjalan menuju dapur dan membuka kulkas seperti tidak terjadi apapun.
America menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju lorong. Shepley mengikuti, memiringkan badannya
untuk mengimbangi berat dari tas America sambil berjalan di belakangnya.
Aku duduk bersandar di kursi malas dan menghela nafas, merasa kalau aku sudah sinting karena setuju untuk

ikut.
Aku tak menyadari sebelumnya kalau apartemen Shepley menjadi seperti pintu putar untuk cewek gampangan
yang tak dikenal.
Travis berdiri di belakang meja dapur, melipat tangannya di atas dada dan tersenyum. Ada apa, Pidge?
Lelah?
Tidak, aku hanya merasa jijik.
Padaku? dia tersenyum. Aku seharusnya tahu dia telah mengharapkan obrolan ini. Itu hanya membuatku
semakin tidak bisa menahan diri.
Ya, padamu. Bagaimana bisa kau memperalat seseorang lalu memperlakukannya seperti itu?
Memang bagaimana aku memperlakukannya? Dia menawarkan nomor teleponnya dan aku menolaknya.
Mulutku menganga karena kurangnya rasa bersalah Travis. kau ingin tidur dengannya tapi tidak mau
menerima nomor teleponnya?
Travis bersandar di meja di atas sikunya. Kenapa aku mau nomor teleponnya kalau aku tak akan pernah
meneleponnya?
Kenapa kau mau tidur dengannya kalau kau tidak akan meneleponnya?
Aku tak menjanjikan apapun pada siapapun, Pidge. Dia tidak menuntut suatu hubungan sebelum bercinta
denganku di sofa.
Aku memandang sofa dengan rasa jijik. Dia anak perempuan dari seseorang, Travis. Bagaimana jika suatu
saat nanti, seseorang memperlakukan anak perempuanmu seperti itu?
Anak perempuanku sebaiknya tidak membuka celana dalamnya untuk seorang bajingan yang baru dia kenal,
mari kita harap begitu.
Aku melipat tanganku, marah akan pikiran Travis. Jadi kau mengakui kalau kau adalah bajingan, kau
mengatakan itu karena kau sudah tidur dengannya dan dia pantas untuk dibuang seperti kucing liar?
Menurutku aku hanya berusaha untuk jujur padanya. Dia sudah dewasa, atas dasar suka sama suka...dia malah
terlalu bersemangat kalau kau ingin tahu yang sebenarnya. kau bersikap seperti aku melakukan suatu tindak
kejahatan.
Dia sepertinya tak mengetahui niatmu yang sebenarnya, Travis.
Wanita selalu membenarkan tindakan mereka dengan apapun yang mereka putuskan di dalam kepala mereka.
Dia tak memberitahu lebih dulu padaku kalau dia mengharapkan suatu hubungan yang lebih, aku sudah
katakan sebelumnya kalau aku hanya ingin seks tanpa ikatan. Apa bedanya?
Dasar Babi.
Travis mengangkat bahunya. Aku pernah dihina lebih parah dari itu.
Aku memandangi sofa yang masih berantakan setelah digunakan Travis tadi. Aku tersentak oleh pikiran sudah
berapa banyak wanita yang menyerahkan dirinya di atas situ. Membuat gatal kulitku.

Kupikir aku akan tidur di kursi malas saja. Aku bergumam.


Kenapa?
Aku melotot padanya, sangat marah karena ekspresi bingungnya. Aku tak akan tidur di sofa itu! Hanya Tuhan
yang tahu apa saja yang ada di atas sofa itu!
Dia mengangkat koperku dari lantai. kau tak akan tidur di sofa ataupun di kursi malas. Kau akan tidur di
kamarku.
Yang aku yakin lebih kotor dari sofa.
Tak ada yang pernah tidur di kamarku selain aku sendiri.
Aku memutar mataku. Yang benar saja!
Aku sangat serius. Aku meniduri mereka di sofa. Aku tak memperbolehkan mereka masuk ke kamarku.
Lalu, kenapa aku diperbolehkan masuk?
Sudut bibirnya membentuk seringai nakal. Apakah kau berencana untuk berhubungan seks denganku malam
ini?
Tidak!
Nah karena itulah. Ayo sekarang berdiri lalu mandi kemudian kita bisa belajar Biologi.
Aku melotot padanya, sesaat kemudian mengikuti perintahnya sambil menggerutu.
***

Aku berdiri dibawah pancuran cukup lama, membiarkan air menghilangkan rasa marahku. Memijat kepalaku
sambil keramas, aku merindukan pada begitu nikmatnya mandi bukan di kamar mandi umum tidak harus
memakai sandal, tidak ada tas peralatan mandi, hanya campuran yang menenangkan dari air dan uap.
Pintu terbuka membuatku terkejut. Mare?
Bukan, ini aku, Travis menjawab.
Otomatis aku menutupi bagian tubuhku yang tak ingin dilihat Travis dengan tanganku. Apa yang kau lakukan
di dalam sini? Cepat keluar!
kau lupa membawa handukmu dan aku membawakan pakaian, sikat gigi dan krem muka aneh ini yang aku
temukan di dalam tasmu.
kau membuka tasku? Aku berteriak. Dia bahkan tidak menjawab. Sebaliknya, justru terdengar suara kran
dibuka dan suara Travis yang sedang menggosok gigi.
Aku mengintip dari balik tirai plastik, menahannya menutupi dadaku. Keluar, Travis.
Dia menatapku dengan busa odolnya di mulutnya. Aku tidak bisa tidur tanpa menggosok gigi.

Jika kau mendekat jarak dua kaki dari tirai ini, aku akan menusuk matamu saat kau tidur.
Aku tidak akan mengintip, Pidge, dia tertawa.
Aku menunggu di bawah pancuran sambil melipat tanganku di atas dadaku. Dia meludah, berkumur dan
meludah lagi lalu pintu tertutup. Aku membersihkan sabun dari tubuhku, mengeringkannya secepat mungkin,
memakai kaos dan celana pendek, mengenakan kacamataku, lalu menyisir rambutku. Pelembab malam yang
Travis bawakan mengalihkan perhatianku, dan aku tidak dapat menahan senyumku. Dia sangat perhatian dan
hampir baik kalau dia menginginkannya.
Travis membuka pintu lagi. Ayo cepat, Pidge! Aku sudah menunggu terlalu lama.
Aku melempar sisir ke arahnya dan dia menghindar, lalu dia menutup pintu dan tertawa sepanjang jalan
menuju kamarnya. Aku menggosok gigiku lalu berjalan menuju lorong melewati kamar Shepley.
Selamat tidur, Abby, America memanggil dari kegelapan.
Selamat tidur, Mare.
Aku ragu-ragu sebelum mengetuk pintu kamar Travis dua kali.
Masuk saja, Pidge. kau tak perlu mengetuk.
Dia membukakan pintu lalu aku melangkah masuk, melihat besi hitam tempat tidurnya yang di tempatkan
sejajar dengan jendela di seberang ruangan. Dindingnya polos kecuali satu sombero yang di gantung di atas
ujung kepala tempat tidur. Aku mengira kamarnya akan dipenuhi poster wanita setengah telanjang, tapi bahkan
aku tidak melihat poster iklan bir di sana. Tempat tidur hitam, karpet abu dan sisanya semua yang ada di kamar
ini berwarna putih. Tampak seperti dia baru saja pindah.
Piyama yang bagus, Travis berkata, memperhatikan celana pendekku yang berwarna kuning kotak-kotak
biru, dan seragam kaos abu-abu Eastern. Dia duduk di atas tempat tidurnya lalu menepuk-nepuk bantal di
sampingnya. Well, ayo naik. Aku tidak akan menggigit.
Aku tidak takut padamu, aku berkata, berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan buku biologiku
disampingnya. Apakah kau punya pulpen?
Dia menggunakan kepalanya untuk menunjuk ke meja. Laci paling atas.
Aku melangkah ke seberang tempat tidur dan menarik laci hingga terbuka, menemukan tiga pulpen, pensil,
satu tube jelly KY, dan mangkuk kaca penuh dengan kondom dari berbagai merk.
Dengan rasa jijik, aku mengambil pulpennya dan menutup laci dengan cepat.
Ada apa? dia bertanya sambil membuka-buka halaman bukuku.
Apakah kau merampok klinik kesehatan?
Tidak, kenapa?
Aku membuka tutup pulpen, tak mampu menyembunyikan rasa muak dari wajahku. Kondom untuk
persediaan seumur hidupmu.

Lebih baik aman daripada menyesal, benar, kan?


Aku memutar mataku. Travis kembali melihat halaman bukuku, senyum nakal muncul di bibirnya. Dia
membacakan catatannya padaku, menandai poin yang penting sambil dia mengajukan beberapa pertanyaan dan
dengan sabar menjelaskan apa yang tidak aku mengerti.
Setelah satu jam berlalu, aku melepas kacamataku dan menggosok mataku. Aku lelah. Tidak dapat mengingat
satu lagi mikromolekul.
Travis tersenyum, menutup bukuku. Baiklah.
Aku terdiam, tidak yakin bagaimana pengaturan tempat tidur kita. Travis meninggalkan kamar menuju lorong,
menggumamkan sesuatu di kamar Shepley sebelum menyalakan pancuran dan mandi. Aku membalikkan
selimut dan menariknya hingga ke atas leherku sambil mendengarkan suara air mengalir di dalam pipa.
Sepuluh menit kemudian, air dimatikan, dan lantai berderak ketika Travis melangkah. Dia berjalan masuk
kamar dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggulnya. Dia mempunyai tato di sisi dadanya,
dan gambar tribal di kedua bahunya yang berotot. Pada tangan sebelah kanannya, garis hitam dan symbolsimbol membentang dari bahu hingga pergelangan, di bagian tangan kirinya, tato hanya sampai ke sikunya,
dengan hanya satu tulisan di bagian dalam lengannya. Aku dengan sengaja membelakangi Travis saat dia
berdiri di depan lemarinya dan menjatuhkan handuknya untuk memakai celana boxernya.
Setelah mematikan lampu, dia merangkak ke atas tempat tidur dan tidur disampingku.
kau tidur di sini juga? aku bertanya sambil berbalik dan menatapnya. Bulan purnama di luar jendela
membuat bayangan di wajahnya. Well, tentu saja. Inikan tempat tidurku.
Aku tahu, tapi aku... aku tidak melanjutkan. Pilihanku satu-satunya hanya sofa atau kursi malas.
Travis tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bukankah seharusnya kau sudah percaya padaku? Aku akan
menjaga kelakuanku, aku janji, dia berkata sambil mengangkat dua jarinya yang aku yakin pramuka di
America tidak pernah berpikir untuk melakukannya.
Aku tidak membantah, hanya berbalik dan berbaring di atas bantal, dan menyelipkan selimut di belakangku
agar ada batas jelas diantara kita.
Selamat tidur, Pigeon, dia berbisik di telingaku. Aku dapat mencium aroma mint nafasnya di pipiku,
membuat bulu di seluruh tubuhku berdiri di setiap jengkal kulitku. Bersyukur saat itu cukup gelap sehingga dia
tak dapat melihat reaksiku yang memalukan atau rona merah di pipiku.
***
Sepertinya aku baru saja tertidur saat alarm berbunyi. Aku meraih untuk mematikannya tapi langsung menarik
tanganku kembali dengan cepat ketika merasakan kulit yang hangat di bawah jariku. Aku mencoba mengingat
di mana aku berada. Ketika aku mengingatnya, membuatku merasa malu kalau sampai Travis berpikir aku
melakukan itu dengan sengaja.
Travis? Alarmmu, aku berbisik. Dia tetap tidak bergerak. Travis! aku memanggilnya lagi sambil
menyikutnya. Ketika dia tetap tidak bergerak, aku meraih alarm itu melewati tubuh Travis, meraba-raba di
kegelapan hingga aku merasakan bagian atasnya jam. Tak yakin bagaimana mematikannya, aku memukulmukul bagian atasnya hingga tombol snooze terpijit dan menjatuhkan diri lagi ke atas bantal dengan gusar.
Travis tertawa.

kau sudah bangun?


Aku sudah berjanji akan menjaga sikapku. Tapi aku tidak bilang apa-apa tentang membiarkanmu berbaring di
atasku.
Aku tidak berbaring di atasmu, protesku. Aku tidak bisa meraih jam itu. Itu adalah alarm yang paling
mengganggu yang pernah aku dengar. Suaranya seperti binatang yang sekarat.
Dia meraih jam itu dan memijit tombolnya. kau mau sarapan?
Aku melotot ke arahnya kemudian menggelengkan kepalaku. Aku tidak lapar.
Well, aku lapar. Kenapa kita tidak pergi ke kafe?
Kupikir aku tidak bisa menerima kurangnya keterampilan menyetirmu sepagi ini, jawabku. Aku
mengayunkan kakiku keluar dari tempat tidur dan memakai sandalku lalu berjalan menuju pintu.
Mau kemana? dia bertanya.
Bersiap-siap ke kampus. Apakah kau butuh rincian kegiatanku selama aku disini?
Travis menggeliat, berjalan menuju ke arahku, masih memakai boxernya. Apakah kau selalu temperamen
seperti ini atau akan mereda setelah kau percaya aku tidak sedang membuat skema yang rumit agar bisa tidur
denganmu? Tangannya memegang bahuku dan aku merasakan ibu jarinya menyentuh kulitku.
Aku tidak temperamental.
Dia membungkuk mendekat dan berbisik di telingaku. Aku tidak akan tidur denganmu, Pidge. Aku terlalu
menyukaimu.
Dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, dan aku diam berdiri, terpana. Ucapan Kara berputar ulang di
pikiranku. Travis Maddox tidur dengan semua orang; aku tak bisa mencegah merasa rendah diri dalam
beberapa hal sampai-sampai dia tak punya keinginan untuk tidur denganku.
Pintu terbuka kembali, dan America berjalan masuk. Wakey, wakey, eggs and bakey! Dia tersenyum lalu
menguap.
kau menjadi seperti ibumu, Mare, aku bergumam sambil mengaduk-aduk tasku.
Ooohh...apakah seseorang ada yang kurang tidur tadi malam?
Dia bahkan tidak bernafas ke arahku, aku berkata.
Senyum penuh arti muncul di wajahnya. Oh.
Oh apa?
Tidak apa-apa, dia menjawab, kembali masuk ke kamar Shepley.
Travis sedang berada di dapur, menyenandungkan lagu asal-asalan sambil membuat telur urak-arik. kau yakin
tidak mau? dia bertanya.

Aku yakin. Terimakasih.


Shepley dan America masuk dan Shepley mengeluarkan dua piring dari dalam lemari, memegangnya ketika
Travis menyendokkan setumpuk telur panas ke atas setiap piring. Shepley meletakan piring di atas meja dapur
lalu dia dan America duduk berdua, memuaskan nafsu lapar mereka setelah beraktivitas tadi malam.
Jangan melihatku seperti itu, Shep. Maafkan aku, aku hanya tak ingin pergi, America berkata.
Sayang, the House mengadakan pesta kencan dua kali dalam setahun, Shepley bicara sambil mengunyah.
Acaranya bulan depan. kau akan punya banyak waktu untuk mencari gaun dan melakukan hal lainnya yang
biasa dilakukan wanita.
Ya benar, Shep...itu sangat manis...tapi aku tidak mengenal siapapun di sana.
Akan ada banyak wanita yang datang tanpa mengenal siapapun di sana, dia berkata, terkejut karena
penolakan America.
America merosot di kursinya. Cewek-cewek sorority (perkumpulan persaudaraan mahasiswi) yang
menyebalkan diundang ke acara seperti itu. Mereka semua mengenal satu sama lain...Itu akan aneh nantinya.
Ayolah, Mare. Jangan biarkan aku pergi sendirian.
Well...mungkin kau bisa menemukan seseorang untuk mengajak Abby? dia berkata sambil melihat padaku
lalu ke arah Travis.
Travis menaikkan satu alisnya, dan Shepley menggelengkan kepalanya. Trav tak pernah datang ke acara
seperti itu. Itu yang harus kau hadiri bersama pacarmu...dan Travis tidak...kau tahu, kan.
America mengangkat bahunya. Kita bisa mengenalkannya pada seseorang.
Aku memicingkan mataku ke arah mereka. Aku bisa mendengarmu, tahu.
America memberiku pandangan yang tidak mungkin aku tolak. Tolonglah, Abby? Kita akan mencarikanmu
seorang pria yang baik, lucu, pintar dan aku akan memastikan dia tampan...Aku berjanji kau akan bersenangsenang! Dan siap tahu, mungkin kau akan cocok dengannya.
Travis meletakan wajan di tempat cuci piring. Aku tidak bilang aku tidak akan mengajak dia.
Aku memutar mataku. Tidak perlu membantuku, Travis.
Bukan itu maksudku, Pidge. Pesta kencan adalah pesta yang didatangi pria dengan kekasihnya, dan seperti
yang sudah kalian tahu, aku tidak pernah pacaran. Tapi aku tak ingin khawatir kau akan mengharapkan cincin
tunangan setelah itu.
America memanyunkan bibirnya. Aku mohon, Abby.
Jangan melihatku seperti itu! Aku mengeluh. Travis tak ingin datang, aku juga tak ingin...kita tidak akan
bersenang-senang.
Travis melipat tangannya dan bersandar di tempat cuci piring. Aku tidak bilang aku tak ingin datang. Kurasa
akan menyenangkan bila kita berempat bisa datang, dia mengangkat bahunya.
Semua mata menatapku, dan aku mundur satu langkah. Kenapa kita tidak hang out di sini saja?

America cemberut dan Shepley bersandar ke depan. Karena aku harus datang, Abby. Aku anggota baru; Aku
harus memastikan semua berjalan lancar, memastikan semua orang memegang bir di tangannya, hal-hal
semacam itu.
Travis berjalan ke luar dapur dan meletakkan tangannya di bahuku, menarikku ke arahnya. Ayolah, Pidge.
Maukah kau pergi denganku?
Aku memandang America, lalu Shepley dan akhirnya ke arah Travis lagi. Ya, aku mau, aku menghela nafas.
America berteriak lalu memelukku, dan aku merasakan tangan Shepley di punggungku. Terimakasih, Abby,
kata Shepley.

***
Finch menghisap sekali lagi. Asap keluar dari hidungnya dalam dua kepulan tebal. Aku mengarahkan wajahku
ke arah matahari saat dia menceritakan tentang acara dansa, minuman keras dan teman barunya yang gigih
selama weekend kemarin.
"Jika kau tidak menyukainya, mengapa kau membiarkannya membelikanmu minuman? aku tertawa.
Jawabannya sederhana, Abby. Aku sedang tidak punya uang.
Aku tertawa lagi, dan Finch menusukan sikunya padaku lalu melihat Travis berjalan ke arah kami.
Hai, Travis, Finch menyapa sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
Finch, dia mengangguk. Dia memegang kunci. Aku akan pulang, Pidge. Apakah kau butuh tumpangan?
Aku baru saja akan ke asrama, jawabku, aku tersenyum padanya sambil memakai kacamataku.
kau tak akan tinggal bersamaku malam ini? dia bertanya, wajahnya tampak terkejut dan kecewa.
Tidak, aku akan menginap di sana. Hanya saja aku harus mengambil beberapa barang yang lupa aku bawa
dari asrama.
Barang apa?
Well, pisau cukurku misalnya. Apa pedulimu?
Memang sudah waktunya kau mencukur bulu kakimu. Karena melukai punyaku, dia berkata sambil
menyeringai nakal.
Mata Finch melotot saat memandangku sekilas, dan aku cemberut ke arah Travis. Itulah awalnya bagaimana
gosip menyebar! aku melihat ke arah Finch dan menggelengkan kepalaku. Aku tidur di tempat
tidurnya...hanya tidur.
Ya, benar, kata Finch sambil tersenyum puas.
Aku memukul tangan Finch sebelum menghentak pintu agar terbuka dan menaiki tangga. Ketika aku tiba di
lantai dua, Travis berada di sampingku.
Oh, jangan marah. Aku hanya bercanda.

Semua orang sudah berpikiran kita berhubungan seks. Dan kau membuatnya semakin parah.
Siapa yang peduli dengan yang apa mereka pikirkan?
Aku, Travis, aku peduli, aku mendorong pintu kamarku hingga terbuka, memasukan barangku ke dalam
sebuah tas kecil, lalu melangkah keluar dan Travis mengikuti di belakang. Dia tertawa saat mengambil tas dari
tanganku dan aku melotot padanya. Itu tidak lucu. Apakah kau ingin semua orang di kampus berpikir kalau
aku adalah salah satu perekmu?
Travis mengerutkan dahinya. Tidak ada seorangpun yang berpikir seperti itu. Dan jika ada, mereka akan
berharap aku tak pernah mendengarnya.
Dia menahan pintu terbuka untukku, dan setelah aku melewatinya, aku berhenti tiba-tiba di depannya.
Aww! dia terkejut saat menabrakku.
Aku membalik tubuhku. Ya Tuhan! Semua orang mungkin berpikir kita pacaran tapi kau tetap
melakukan...gaya hidupmu, tanpa rasa malu sama sekali. Aku pasti terlihat sangat menyedihkan! Aku berkata,
baru menyadarinya saat aku bicara. Kupikir aku tak akan tinggal bersamamu lagi. Kita harus saling menjauh
untuk sementara.
Aku mengambil tas darinya dan dia merebutnya lagi.
Tak ada seorangpun yang berpikir kita pacaran, Pidge. kau tak harus berhenti bicara padaku untuk
membuktikannya.
Kami tarik-menarik memperebutkan tas, dan ketika dia menolak untuk melepaskannya, aku menggeram keras
dengan frustrasi. Apakah pernah ada seorang wanitayang hanya temantinggal bersamamu? Apakah kau
pernah menawarkan tumpangan pada seorang wanita pulang dari kampus? Apa kau makan siang dengannya
setiap hari? Tidak ada yang tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita, meskipun kita telah menjelaskannya!
Dia berjalan ke parkiran sambil memegangiku. Aku akan perbaiki itu, ok? Aku tak ingin ada seseorang yang
berpikiran buruk tentangmu karena aku, dia berkata dengan ekspresi terganggu. Matanya berbinar lalu
tersenyum. Biarkan aku menebusnya. Bagaimana kalau kita pergi ke The Dutch malam ini?
Itu bar untuk para biker, aku mencibir, memperhatikan dia mengikat tasku pada motornya.
Ok, kalau begitu kita pergi ke club. Aku akan mengajakmu makan malam lalu kita ke The Red Door. Aku
traktir.
Bagaimana bisa makan malam dan pergi clubbing akan memperbaiki masalah? Kalau orang lain melihat kita
pergi bersama, itu akan membuatnya semakin buruk.
Dia menaiki motornya. Coba pikir, aku, mabuk, di ruangan penuh wanita setengah telanjang? Tidak akan
membutuhkan waktu yang lama untuk mereka mengetahui bahwa kita bukan pasangan.
Jadi aku harus melakukan apa? Membawa pria pulang dari bar untuk mengantarku pulang?
Aku tidak berkata begitu. Tak perlu terlalu berlebihan, dia berkata sambil mengerutkan dahinya.
Aku memutar mataku lalu naik ke atas motor, dan meletakkan tanganku di pinggangnya. Apakah nanti ada
seorang wanita yang akan ikut kita pulang dari bar? Itu kah caramu menebusnya padaku?

kau tidak cemburu kan, Pigeon?


Cemburu pada apa? Pada pembawa penyakit seksual menular yang bodoh yang akan menyerangmu dan
membuatmu kesal pada pagi harinya?
Travis tertawa, lalu menyalakan Harley-nya. Dia melesat menuju apartemen dengan kecepatan dua kali lipat
dari kecepatan maksimum. Aku menutup mataku agar tidak melihat pada bayangan pohon dan mobil yang
kami lewati.
Saat turun dari motornya, aku memukul bahunya. Apakah kau lupa bahwa ada aku di belakangmu? Apa kau
mencoba untuk membunuhku?
Sangat sulit untuk melupakanmu ada di belakangku saat pahamu menjepitku dengan sangat erat.
Seringai bodoh muncul di wajahnya karena membayangkan yang tidak-tidak. Aku tidak bisa membayangkan
cara untuk mati yang lebih baik dari ini.
Ada yang benar-benar salah dengan dirimu.
Kami baru saja masuk ketika America berjalan keluar dari kamar Shepley. Kami berencana untuk pergi keluar
malam ini, kalian ingin ikut?
Aku memandang Travis dan tersenyum. Kami berencana makan sushi sebelum pergi ke The Red.
America tersenyum lebar. Shep! dia memanggil sambil berlari ke kamar mandi. Kita akan pergi keluar
malam ini!
Aku mendapat giliran terakhir untuk mandi, Shepley, America dan Travis sudah tidak sabar menunggu di
depan pintu ketika aku keluar dari kamar mandi memakai gaun hitam dan sepatu bertumit warna pink.
America bersiul. Sangat seksi!
Aku tersenyum menghargai, dan Travis mengangkat tangannya. Kaki yang indah.
Apakah aku sudah bilang kalau itu pisau cukur ajaib?
Aku pikir bukan karena pisau cukurnya, dia tersenyum sambil menarikku keluar pintu.
Kami merasa terlalu bising dan tidak nyaman di sushi bar, kami sudah cukup banyak minum sebelum pergi ke
The Red Door. Shepley memasuki tempat parkir, berputar-putar mencari tempat untuk parkir.
Cepatlah, Shep, America menggerutu.
***
Heh. Aku harus menemukan tempat yang agak luas untuk parkir. Aku tak ingin orang idiot yang mabuk
merusak cat mobilku.
Setelah kita parkir, Travis memajukan kursinya ke depan dan membantuku keluar. Kalian membuat KTP
palsu dimana? Itu sangat rapi. Sulit untuk mendapatkannya di sini.
Ya, kami memilikinya sudah cukup lama. Itu sangat penting...di Wichita. jawabku.

Penting? Travis bertanya.


Untung kau memiliki koneksi, kata America. Dia cegukan dan menutup bibirnya sambil cekikikan.
Ya ampun, Shepley berkata sambil memegang tangan America saat dia berjalan sempoyongan di atas kerikil.
Kupikir kau sudah terlalu banyak minum malam ini.
Travis penasaran. Apa maksudmu, Mare? Koneksi apa?
Abby mempunyai teman lama yang
Itu KTP palsu, Trav, kataku memotong. kau harus mengenal orang yang tepat agar hasilnya bagus, benar
kan?
America sengaja memalingkan wajahnya dari Travis dan aku menunggu.
Benar, dia menjawab, tangannya memegang tanganku.
Aku memegang tiga jari Travis dan tersenyum, mengetahui ekspresinya yang tak puas atas jawabanku.
Aku membutuhkan minum lagi, kataku sebagai usaha kedua untuk mengubah topik pembicaraan.
Minum! America berteriak.
Shepley memutar matanya. Ya benar, itu yang kau butuhkan, minuman lagi.
Setelah di dalam, Amarica langsung menarikku ke lantai dansa. Rambut pirangnya berantakan, dan aku tertawa
pada bibirnya yang di dorong maju seperti bebek saat dia bergerak mengikuti musik. Ketika lagu berakhir, kita
bergabung dengan Shepley dan Travis di meja bar. Ada seorang wanita yang sangat seksi, berambut pirang
pucat di samping Travis, dan ekspresi mabuk America berubah menjadi rasa jijik.
Akan selalu seperti ini sepanjang malam, Mare. Acuhkan saja mereka, Shepley berkata sambil menunjuk
kearah sekumpulan wanita yang berada tidak jauh dari kami menggunakan kepalanya. Mata mereka
memandangi si pirang, menunggu giliran mereka untuk mendekati Travis.
Seperti Vegas yang memuntahkan domba pada sekawanan burung nasar, America mengejek.
Travis menyalakan rokoknya saat memesan dua botol bir, si pirang sedikit mendesah, membasahi bibirnya lalu
tersenyum. Bartender membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Travis. Si pirang mengambil salah satu
botol bir itu tapi Travis mengambilnya kembali dari tangannya.
Bukan untukmu, Travis berkata padanya lalu menyerahkannya padaku.
Awalnya aku berpikir untuk membuang bir itu ke tempat sampah tapi wanita itu tampak tersinggung, lalu aku
tersenyum dan meminum bir itu. Dia melangkah pergi dengan dongkol dan aku tersenyum karena tampaknya
Travis tak peduli.
Memangnya aku akan membelikan minuman untuk seorang wanita di bar, dia berkata sambil
menggelengkan kepalanya. Aku mengangkat botol bir ku ke atas dan dia tersenyum kecil. kau berbeda.
Aku bersulang dengannya. Untuk menjadi satu-satunya wanita yang tidak diajak tidur oleh pria yang tidak
punya aturan. Kataku sambil meneguk birku.

Apakah kau serius? dia bertanya sambil menarik botol bir dari mulutku. Dan ketika aku tidak menarik
kembali kata-kataku, dia bersandar mendekat ke arahku. Pertama...aku punya aturan. Aku tidak pernah
bersama wanita jelek, tidak pernah. Kedua, aku ingin tidur denganmu. Aku telah membayangkan menidurimu
di sofaku dengan lima puluh cara yang berbeda, tapi aku tidak melakukannya karena aku tidak melihatmu
seperti itu lagi sekarang. Bukan karena aku tidak tertarik padamu, aku hanya berpikir bahwa kau lebih baik
dari itu.
Aku tak dapat menahan senyuman puas yang merayap di wajahku. kau berpikir bahwa aku terlalu baik
untukmu?
Dia menyeringai pada penghinaan keduaku. Aku tak dapat menyebutkan satu priapun yang cukup baik
untukmu.
Kesombonganku mencair hilang dan digantikan oleh perasaan tersentuh dan senyum menghargai.
Terimakasih, Trav, kataku sambil meletakan botol kosongku di atas meja bar.
Travis menarik tanganku. Ayo, dia berkata sambil menarikku ke tengah kerumunan di lantai dansa.
Aku terlalu banyak minum! Aku akan terjatuh!
Travis tersenyum dan menarikku ke arahnya, memegang pinggulku. Diam dan berdansalah.
America dan Shepley muncul di samping kami. Gerakan Shepley seperti dia terlalu banyak nonton video
klipnya Usher. Travis hampir membuatku panik dengan caranya memelukku. Jika dia menggunakan salah satu
dari gerakan ini di sofa, aku dapat mengerti mengapa banyak wanita mau dipermalukan keesokan harinya.
Dia bergerak dengan lincah di pinggulku, dan aku menyadari kalau ekspresinya berbeda, hampir serius. Aku
menggerakan tanganku di atas dadanya yang tanpa cacat dan six-pack yang saat itu meregang dan menjadi
keras di bawah kaos ketatnya mengikuti musik. Aku membelakanginya dan tersenyum ketika dia memeluk
pinggangku. Ditambah alkohol dalam darahku, ketika dia menarik tubuhku ke tubuhnya, aku berpikir itu
semua lebih dari sekedar hanya teman.
Lagu berikutnya terlalu bersemangat untuk kita berdansa, dan Travis tidak menunjukan tanda kalau dia ingin
kembali ke meja bar. Butiran keringat di belakang leherku, lampu sorot warna-warni membuatku sedikit
pusing. Aku menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia memegang tanganku dan
menariknya ke atas lehernya. Tangannya bergerak ke bawah dari tanganku, lalu ke tulang rusukku akhirnya
kembali ke pinggulku. Ketika aku merasakan bibirnya lalu lidahnya di leherku, aku menjauh darinya.
Dia tertawa sedikit terkejut. Ada apa, Pidge?
Kemarahanku menyala, membuat kata-kata pedas yang ingin aku katakan tertahan di tenggorokanku. Aku
kembali menuju bar dan memesan Corona lagi. Travis mengambil tempat duduk di sampingku, mengangkat
jarinya untuk memesan satu lagi. Tak lama setelah bartender meletakan botol di hadapanku, aku meneguk
setengah isinya sebelum membantingnya ke atas meja bar.
Kau pikir itu akan mengubah pikiran semua orang tentang kita? tanyaku sambil menarik rambut untuk
menutupi tempat yang dia cium.
Dia tertawa sekali. Aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan tentang kita.
Aku menatapnya dengan pandangan jijik lalu melangkah pergi.

Pigeon, panggilnya sambil menyentuh tanganku.


Aku menjauh darinya. Jangan. Aku tak akan pernah cukup mabuk untuk membiarkanmu menidurkanku di
sofa itu.
Wajahnya berubah menjadi marah, tapi sebelum dia mengatakan sesuatu, seorang wanita yang sangat menarik
berambut hitam dengan bibir penuh, mata biru yang sangat besar memakai baju yang belahan dadanya sangat
rendah mendekatinya.
Well, ternyata benar ini Travis Maddox, dia berkata sambil menggerakan dadanya naik turun di tempat yang
tepat.
Travis meminum birnya sambil tetap memandang ke dalam mataku. Hai, Megan.
Perkenalkan aku pada pacarmu, dia tersenyum. Aku memutar mataku karena betapa keterus terangannya
menyedihkan.
Travis menengadahkan kepalanya untuk meminum habis birnya lalu mendorong dan luncurkan botol
kosongnya di sepanjang meja bar. Semua orang yang sedang menunggu giliran untuk memesan
memperhatikan botol itu hingga akhirnya jatuh dan masuk ke tempat sampah di ujung meja. Dia bukan
pacarku.
Dia menarik tangan Megan yang dengan senang hati berjalan di belakangnya menuju lantai dansa. Travis
menyerangnya selama lagu pertama, lagu berikutnya, berikutnya. Mereka menarik perhatian dengan cara
Megan membiarkan Travis menggerayanginya dan ketika dia membungkukan Megan, aku berpaling dari
mereka.
kau kelihatan kesal, kata seorang pria yang duduk di sampingku. Apa dia pacarmu?
Bukan, dia hanya temanku, aku menggerutu.
Well, bagus kalau begitu. Karena akan jadi canggung kalau itu adalah pacarmu, dia memandang ke arah
lantai dansa, menggelengkan kepalanya ke arah tontonan itu.
Aku tahu, jawabku sambil meminum habis birku. Aku hampir merasakan efek dari dua minumanku
sebelumnya, dan gigiku mati rasa.
Apakah kau mau minum lagi? dia bertanya. Aku menatapnya dan dia tersenyum. Namaku Ethan.
Aku Abby, jawabku sambil meraih uluran tangannya.
Dia mengangkat dua jarinya untuk memesan dua lagi pada bartender lalu aku tersenyum. Terimakasih.
Apakah kau tinggal di sekitar sini? dia bertanya.
Aku tinggal di asrama Morgan di Eastern.
Aku tinggal di apartemen di Hinley.
kau tinggal di negara bagian lain? aku bertanya. Itu kan...satu jam perjalanan? Apa yang kau lakukan di
sini?

Aku lulus Mei kemarin. Adikku kuliah di Eastern. Aku tinggal dengannya sepanjang minggu ini sambil
mencari pekerjaan.
Oh...menjalani kehidupan nyata ya?
Ethan tertawa. Dan itu sama seperti yang mereka katakan.
Aku mengeluarkan lipgloss-ku dari dalam tas dan memoleskannya di bibirku, menggunakan cermin yang
menempel sepanjang dinding di belakang bar.
Warnanya bagus, dia berkata sambil memperhatikanku menekan bibirku.
Aku tersenyum, merasa marah pada Travis dan karena banyaknya alkohol. Mungkin kau akan mencobanya
nanti.
Mata Ethan berbinar ketika aku mendekat, lalu aku tersenyum ketika dia menyentuh lututku. Dia menarik
tangannya kembali ketika Travis berdiri diantara kami.
kau siap, Pidge?
Aku sedang mengobrol, Travis, kataku sambil mendorongnya. Bajunya basah karena bersirkus di lantai
dansa, lalu aku sengaja mengelapkan tanganku pada rokku.
Travis menyeringai. Apakah kau benar-benar mengenal pria ini?
Namanya Ethan, jawabku, sambil tersenyum semenggoda mungkin ke arah Ethan.
Dia mengedipkan satu matanya padaku, memandang Travis lalu mengulurkan tangannya. Senang bertemu
denganmu.
Travis melihat sekilas ke arahku dan aku mendengus. Ethan ini Travis, aku bergumam pelan.
Travis Maddox, dia menambahkan, menatap tangan Ethan seperti akan merobeknya hingga lepas.
Mata Ethan melebar dan dengan canggung menarik kembali tangannya. Travis Maddox? Travis Maddox dari
Eastern?
Aku meletakan kepalan tanganku di pipiku, takut akan terjadi pertikaian yang dipicu hormon testosteron yang
tidak terelakkan.
Travis meregangkan tangannya di belakangku untuk berpegangan pada meja bar. Ya benar, kenapa?
Aku melihat pertarunganmu dengan Shawn Jenks tahun lalu. Aku pikir aku akan menyaksikan kematian
seseorang!
Travis menatap tajam ke arahnya Apakan kau ingin melihatnya lagi?
Ethan tertawa sekali dan menatap pada kami bergantian. Ketika dia menyadari Travis serius, dia tersenyum
padaku meminta maaf lalu pergi.
kau siap pergi sekarang? Travis membentak.
kau benar-benar brengsek, kau tahu itu?

Aku pernah di panggil lebih parah, dia berkata sambil membantuku turun dari kursi bar.
***
Kami mengikuti America dan Shepley menuju mobil, dan ketika Travis berusaha memegang tanganku untuk
menuntun ke tempat parkir, aku menepiskan tangannya. Dia berbalik dan aku tersentak lalu berhenti, mundur
ke belakang ketika dia hanya beberapa inchi dari wajahku.
Aku harusnya tinggal menciummu dan mengakhiri semua ini! dia berteriak. kau sangat menggelikan! Aku
mencium lehermu, terus kenapa?
Aku dapat mencium bau bir dan rokok dari nafasnya lalu aku mendorongnya. Aku bukan teman berhubungan
seks, Travis.
Dia menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. Aku tidak pernah bilang kau begitu! kau selalu
bersamaku dua puluh empat jam sehari, kau tidur di tempat tidurku tapi sepanjang waktu kau bertingkah
seperti kau tidak ingin terlihat bersamaku!
Aku datang kemari bersamamu!
Aku selalu memperlakukanmu dengan hormat, Pidge.
Aku berdiri tegak. Tidak, kau memperlakukanku seperti aku adalah barang milikmu. kau tidak berhak
mengusir Ethan seperti itu!
Apakah kau tahu Ethan itu siapa? dia bertanya. Ketika aku menggelengkan kepalaku, dia mendekat. Aku
tahu dia siapa. Dia pernah di penjara karena pelecehan seksual, tapi tuntutannya di batalkan.
Aku melipat tanganku. Oh, jadi kalian mempunyai kesamaan?
Mata Travis menyipit, dan otot rahangnya berkedut di bawah kulitnya. Apakah kau memanggilku
pemerkosa? dia bertanya dengan dingin dan pelan.
Aku menekan bibirku, bahkan lebih marah karena Travis benar. Aku sudah bertindak terlalu jauh. Tidak, aku
hanya marah padamu!
Aku habis minum-minum, kulitmu hanya beberapa inchi dari wajahku, kau cantik dan kau sangat wangi saat
berkeringat. Aku menciummu! Maafkan aku! Lupakanlah!
Alasannya membuat bibirku tersenyum. Menurutmu aku cantik?
Dia mengernyit dengan muak. Kau sangat cantik dan kau tahu itu. Apa yang kau tertawakan?
Aku berusaha menyembunyikan rasa kagumku dengan tidak mengakuinya. Tidak ada apa-apa. Ayo pergi.
Travis tertawa satu kali dan menggelengkan kepalanya. Apa..? kau..? kau adalah orang yang sangat
merepotkan! dia berteriak dan melotot padaku. Aku tak bisa berhenti tersenyum, setelah beberapa lama,
Travis mulai tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya lagi dan melingkarkan tangannya di leherku. kau
membuatku gila. Apa kau tahu itu?
***

Tiba di apartemen, kami semua terhuyung di pintu. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bau
asap rokok dari rambutku. Ketika aku keluar dari pancuran, aku lihat Travis telah membawakanku salah satu
kaos dan celana boxernya untuk baju gantiku.
Kaosnya kebesaran dan boxernya menghilang di bawah kaos. Aku berbaring di atas tempat tidur dan menghela
nafas, masih tetap tersenyum mengingat apa yang telah dia katakan di tempat parkir.
Travis menatapku sekilas, dan aku merasakan sengatan di dadaku. Aku hampir merasakan dorongan kuat untuk
menarik wajahnya dan menciumnya, tapi aku melawan aliran alkohol dan hormon yang mengalir di dalam
darahku.
Selamat tidur, Pidge. dia berbisik kemudian membalik.
Aku bergerak dengan gelisah, belum ingin tidur. Trav? aku memanggilnya sambil menyandarkan pipiku di
pundaknya.
Ya?
Aku tahu aku mabuk, dan kita baru saja bertengkar hebat karena masalah ini, tapi...
Aku tidak akan berhubungan seks denganmu, jadi berhentilah bertanya, dia berkata sambil tetap
membelakangiku.
Apa? Bukan itu! Aku berteriak.
Travis tertawa dan berbalik menatapku dengan lembut. Ada apa, Pidge?
Aku mendesah. Ini... kataku sambil membaringkan kepalaku di dadanya dan melingkarkan tanganku di
pinggangnya, meringkuk sedekat mungkin padanya.
Tubuhnya menegang dan tangannya di atas, tak tahu bagaimana harus bereaksi. kau benar-benar mabuk.
Aku tahu, jawabku, terlalu mabuk untuk merasa malu.
Dia meletakkan satu tangannya di punggungku dan tangan satunya di rambut basahku, lalu mencium dahiku.
kau adalah wanita yang paling membuatku bingung yang pernah kutemui.
Setidaknya ini yang bisa kau lakukan setelah menakuti satu-satunya pria yang mendekatiku malam ini.
Maksudmu Ethan si pemerkosa? Ya, aku berhutang padamu untuk itu.
Lupakan saja, kataku mulai merasakan penolakan.
Dia menarik tanganku dan menahannya di atas perutnya mencegah aku untuk melepaskannya. Tidak, aku
serius. kau harus lebih berhati-hati. Jika aku tidak ada di sana...aku bahkan tidak mau memikirkannya. Dan
sekarang kau mengharapkan aku meminta maaf karena mengusirnya?
Aku tak ingin kau meminta maaf. Ini bahkan bukan tentang itu.
Lalu tentang apa? dia bertanya, menatap mataku mencari sesuatu. Wajahnya hanya beberapa inchi dariku
dan aku bisa merasakan nafasnya di bibirku.
Aku cemberut. Aku mabuk, Travis. Hanya itu alasan yang aku punya.

kau hanya ingin aku memelukmu hingga kau tertidur?


Aku tidak menjawab.
Dia bergerak untuk menatap lurus ke mataku. Seharusnya aku menolaknya untuk membuktikan maksudku,
dia berkata, alisnya mengernyit. Tapi aku akan membenci diriku nanti jika aku menolaknya dan kau tak
pernah memintanya lagi.
Aku membaringkan leherku di dadanya, lalu dia mempererat pelukannya, mendesah. kau tidak membutuhkan
alasan, Pidge. Kau hanya tinggal minta.
***
Aku meringis karena sinar matahari menembus jendela dan alarm berbunyi di telingaku. Travis masih tertidur,
memelukku dengan kedua tangan dan kakinya. Aku memutar tanganku untuk meraih dan menekan tombol
tunda. Mengusap wajahku, lalu memandanginya yang sedang tertidur nyenyak di dekatku.
Ya Tuhan, aku berbisik, heran bagaimana kita bisa seperti ini. Aku menarik nafas panjang dan menahannya
saat aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya.
Hentikan, Pidge. Aku sedang tidur. Dia bergumam, semakin erat memelukku.
Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku lepas dari pelukannya lalu duduk di ujung tempat tidur, menatap
tubuhnya yang setengah telanjang tertutup selimut. Aku memandangnya sebentar dan mendesah. Batasnya jadi
semakin tidak jelas dan itu kesalahanku.
Tangannya keluar dari selimut dan menyentuh jariku. Ada apa, Pidge? dia bertanya dengan mata sedikit
terbuka.
Aku akan bawa segelas air minum, apa kau menginginkan sesuatu? Travis menggelengkan kepalanya lalu
memejamkan matanya lagi, pipinya menempel di atas tempat tidur.
Selamat pagi, Abby, Shepley menyapa dari atas kursi malas ketika aku muncul.
Di mana Mare?
Masih tidur. Apa yang kau lakukan sepagi ini? dia bertanya sambil melirik jam.
Alarmnya mati tapi aku selalu bangun pagi setelah mabuk, itu kutukan.
Aku juga, dia mengangguk.
Sebaiknya kau membangunkan Mare. Kita ada kelas dalam satu jam. Aku berkata sambil membuka kran dan
membungkuk untuk minum seteguk.
Shepley mengangguk. Tadinya aku akan membiarkan dia tidur.
Aku menggeleng. Jangan, dia akan marah kalau kesiangan.
Oh, dia berkata lalu berdiri. Sebaiknya membangunkan dia kalau begitu. Dia berbalik, Hey, Abby?
Ya?

Aku tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Travis, tapi aku tahu dia akan melakukan hal yang bodoh untuk
membuatmu kesal. Dia selalu seperti itu. Dia jarang dekat dengan seseorang dan aku tak tahu apa alasannya,
dia membiarkanmu mendekat. Tapi kau harus mengabaikan kelakuan jeleknya. Hanya dengan itu dia akan
tahu.
Tahu apa? aku bertanya sambil mengangkat alisku karena ucapannya yang melodramatis.
Kalau kau bersedia menerima Travis," dia menjawab dengan sungguh-sungguh.
Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. Terserah apa katamu, Shep.
Shepley menghela nafas lalu menghilang masuk ke kamarnya. Aku mendengar keluhan pelan, erangan protes
lalu tawa cekikikan manis America.
Aku mengaduk oatmeal di mangkukku dan menambahkan coklat sirup ke dalamnya saat aku mengaduk.
Sangat menjijikan, Pidge, Travis berkata, hanya memakai celana boxer kotak-kotak hijau. Dia menggosok
matanya lalu mengeluarkan sereal dari dalam lemari.
Selamat pagi juga, kataku sambil menutup botol sirup coklat.
Aku dengar sebentar lagi ulang tahunmu. Kesempatan terakhir di tahun remajamu, dia menyeringai, matanya
merah dan bengkak.
Ya...aku orang yang tidak suka merayakan ulang tahunnya. Aku pikir Mare akan mengajakku makan malam
atau lainnya. Aku tersenyum. kau boleh ikut kalau mau.
Baiklah, dia mengangkat bahunya. Itu seminggu dari hari minggu, kan?
Ya benar. Kapan ulang tahunmu?
Dia menuangkan susu, mencelupkan flake dengan sendoknya. Nanti April, tanggal satu.
Serius?
Aku serius, dia menjawab sambil mengunyah.
Ulang tahunmu tepat pada saat April Fools? aku bertanya lagi sambil mengangkat alisku.
Dia tertawa. Ya benar! kau akan terlambat nanti. Sebaiknya aku bersiap-siap.
Aku akan pergi bersama America.
Aku tahu dia berusaha bersikap tak acuh saat dia mengangkat bahu. Terserah, jawabnya lalu berbalik untuk
menghabiskan serealnya.
***
Dia benar-benar menatap ke arahmu, America berbisik sambil bersandar ke belakang untuk mengintip ke
seberang ruangan.
Berhenti melihat ke arahnya, bodoh, dia akan mengetahuinya nanti.

America tersenyum dan melambaikan tangannya. Dia sudah melihatku tapi dia tetap menatap ke arahmu.
Aku ragu sejenak lalu mengumpulkan keberanian untuk menatap balik ke arahnya. Parker memang sedang
menatapku lalu tersenyum.
Aku membalas senyumannya, lalu pura-pura mengetik sesuatu di laptopku.
Apakah dia masih melihat kemari? aku berbisik.
Ya, America tersenyum.
Setelah kelas selesai, Parker menghentikanku di lorong.
Jangan lupa ada pesta akhir minggu ini.
Aku tidak akan lupa, jawabku sambil berusaha tidak mengedipkan mataku atau melakukan sesuatu yang
bodoh.
Aku dan America berjalan menyeberangi halaman rumput menuju kafetaria, untuk bertemu dengan Travis dan
Shepley lalu makan siang bersama. America masih menertawakan kelakuan Parker tadi ketika Shepley dan
Travis mendekat.
Hai, Sayang, America menyapa lalu mencium tepat di bibir kekasihnya.
Apa yang begitu lucu? Shepley bertanya.
Oh, ada seorang cowok di kelas yang memandangi Abby sepanjang waktu. Sangat manis.
Selama dia hanya memandangi Abby, Shepley mengedipkan sebelah matanya.
Siapa orangnya? Travis mendengus.
Aku mencoba melepaskan tas ranselku, meminta Travis untuk melepaskannya dari tanganku dan
memegangnya. Aku menggelengkan kepalaku. Mare membayangkan yang tidak-tidak.
Abby! kau benar-benar pembohong! Orangnya Parker Hayes dan dia sangat jelas memandanginya. Dia
hampir meneteskan air liurnya.
Ekspresi Travis berubah menjadi rasa jijik. Parker Hayes?
Shepley menarik tangan America. Kita akan makan siang. Apakah kau ingin menikmati masakan kafetaria
sore ini?
America menciumnya lagi sebagai jawaban, Travis dan aku mengikuti di belakang mereka. Aku meletakan
nampanku diantara America dan Finch namun Travis tidak duduk di tempat biasa di depanku. Melainkan dia
duduk beberapa kursi dari tempat biasanya. Baru aku menyadari dia tidak banyak bicara ketika kita berjalan
menuju kafetaria tadi.
Apa kau baik-baik saja, Trav? tanyaku.
Aku? Baik-baik saja, kenapa? dia balik bertanya, melembutkan ekspresi wajahnya.
Kau lebih banyak diam.

Beberapa anggota tim football mendekati meja lalu duduk dan tertawa keras. Travis tampak sedikit terganggu
saat dia memutar-mutar makanan di atas piringnya.
Chris Jenks melemparkan kentang goreng ke dalam piring Travis. Apa kabar, Trav? Aku dengar kau meniduri
Tina Martin. Dia terus-terusan menyebutkan namamu hari ini.
Diam, Jenks, Travis berkata, tetap memandangi makanannya.
Aku bersandar ke depan hingga pria berotot besar di depan Travis dapat dengan jelas melihat tatapan tajamku.
Hentikan, Chris.
Travis memandangku kesal. Aku dapat menjaga diriku sendiri, Abby.
Maafkan aku, aku...
Aku tidak ingin kau minta maaf. Aku tidak ingin apapun darimu. Dia membentak dan mendorong menjauh
dari meja kemudian berjalan cepat keluar pintu.
Finch memandangku lalu mengangkat alisnya. Ya ampun, dia kenapa?
Aku menusuk anggur kecil dengan garpuku dan menghela nafas. Aku tak tahu.
Shepley menepuk punggungku. Bukan karena dirimu, Abby.
Dia hanya sedang punya masalah, America menambahkan.
Masalah apa? tanyaku.
Shepley mengangkat bahunya dan kembali memandangi piringnya. Seharusnya kau sudah terbiasa sekarang
untuk lebih sabar dan memaafkan jika berteman dengan Travis. Dia mempunyai alam semestanya sendiri.
Aku menggelengkan kepalaku. Itu Travis yang orang lain lihat...Travis yang aku kenal tidak seperti itu.
Shepley bersandar ke depan. Tidak ada bedanya. kau harus mengikuti arus.
***
Setelah kelas selesai, aku pulang bersama America ke apartemen dan mengetahui bahwa motor Travis sudah
tidak ada. Aku masuk ke kamarnya dan meringkuk seperti bola di atas tempat tidurnya, menahan kepalaku di
atas tanganku. Travis tampak baik-baik saja tadi pagi. Setelah sekian lama kita bersama, aku tak bisa percaya
bahwa aku tidak melihat ada sesuatu yang mengganggunya. Bukan hanya itu, yang lebih menggangguku saat
America tahu apa yang terjadi sedangkan aku tidak.
Nafasku semakin pelan dan mata semakin berat; tidak begitu lama aku langsung tertidur. Ketika mataku
terbuka lagi, langit malam menggelapkan jendela. Suara bisikan terdengar dari arah lorong di ruang tamu,
termasuk suara berat Travis. Aku berjalan keluar dan membeku saat mendengar namaku.
Abby mengerti, Trav. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Shepley berkata.
Kalian sudah akan pergi ke pesta kencan, kenapa tidak mengajaknya kencan? America bertanya.
Aku menegang menanti jawabannya. Aku tidak ingin berkencan dengannya; Aku hanya ingin ada di

dekatnya. Dia...berbeda.
Berbeda bagaimana? America bertanya terdengar sedikit tidak sabar.
Dia tidak termakan rayuanku, itu sangat menyegarkan untukku. kau sendiri yang bilang, Mare, aku bukan
tipenya. Kita hanya...tidak seperti itu.
kau mendekati tipenya lebih dari yang kau tahu, America berkata.
Aku mundur sepelan mungkin dan ketika lantai kayu berderak di bawah kakiku, aku meraih pintu kamar Travis
untuk menutupnya, lalu melangkah menuju lorong.
Hai, Abby, America tersenyum. Bagaimana tidurmu?
Aku tertidur selama lima jam. Itu lebih seperti koma daripada tidur.
Travis memandangku sejenak dan ketika aku tersenyum padanya, dia melangkah ke arahku, memegang
tanganku dan menarikku sepanjang lorong menuju kamarnya. Dia menutup pintu dan jantungku berdegup
kencang di dadaku, menguatkan diri menunggu dia mengatakan sesuatu untuk menghancurkan egoku.
Dia mengernyit. Maafkan aku, Pidge. Aku sikapku menyebalkan tadi.
Aku sedikit lebih tenang, melihat penyesalan di matanya. Aku tak tahu kalau kau marah padaku.
Aku memang tidak marah padamu. Aku hanya punya kebiasaan melampiaskannya pada orang yang aku
sayangi. Itu alasan yang buruk, aku tahu, tapi aku sangat menyesal. dia berkata sambil mendekapku.
Aku menaruh pipiku di dadanya, merasa nyaman. Apa yang membuatmu marah?
Itu tidak penting. Yang aku khawatirkan hanya dirimu.
Aku mundur untuk memandangnya. Aku bisa menghadapi luapan kemarahanmu.
Dia mengamati wajahku beberapa saat sebelum senyuman kecil muncul di bibirnya.
Aku tak tahu mengapa kau tahan denganku, tak tahu apa yang akan aku lakukan apabila kau tidak tahan.
Aku dapat mencium campuran antara rokok dan mint di nafasnya dan aku menatap bibirnya, tubuhku bereaksi
dengan kedekatan kami. Ekspresi Travis berubah dan nafasnya terengah dia menyadarinya juga.
Dia membungguk semakin dekat padaku, lalu...kita berdua terlonjak karena terkejut ketika handphonenya
berdering. Dia mendengus lalu mengeluarkannya dari saku celananya.
Ya. Hoffman? Ya Tuhan...baiklah. Itu akan menjadi kemenangan yang mudah. Jefferson? Dia melihat ke
arahku dan mengedipkan satu matanya. Kita akan datang. Dia menutup telepon dan menarik tanganku. Ayo
ikut denganku. Dia menarikku ke ruang tamu. Tadi Adam menelepon, dia memberitahu Shepley. Brady
Hoffman akan datang ke Jefferson dalam 90 menit.
Shepley mengangguk dan berdiri, mengambil Handphone dari sakunya. Setelah beberapa lama, dia
mengulangi apa yang di katakan Travis padanya saat menelepon, menutup telepon lalu memutar nomor lain
dan mengulang informasi yang sama sekali lagi. Dia memutar nomor lain lagi saat menutup pintu kamarnya.
Inilah saatnya, America berkata sambil tersenyum. Sebaiknya kita bersiap-siap!

Suasana di apartemen sangat tegang dan tenang pada saat yang sama. Travis tampak tidak terpengaruh,
memakai sepatu bootnya dan tank top putih seperti akan pergi hanya untuk mengurus suatu urusan.
America menuntunku menyelusuri lorong menuju kamar Travis dan mengerutkan dahi. kau harus ganti
pakaianmu, Abby. kau tidak bisa memakai itu ke pertarungan.
Aku memakai cardigan saat terakhir kali ke sana tapi kau tidak bilang apapun! protesku.
Kupikir kau tidak akan datang waktu itu. Ini, dia melempar pakaian ke arahku, Pakai ini.
Aku tak akan memakai ini!
Ayo kita pergi! Shepley memanggil dari ruang tamu.
Ayo cepat! America berteriak, berlari ke kamar Shepley.
Aku mengenakan atasan ketat bertali warna kuning yang belahan di bagian dadanya rendah dan celana low-rise
jins yang tadi America lemparkan ke arahku, memakai sepatu yang berhak agak tinggi, lalu menyisir rambutku
sambil berjalan menuju ruang tamu.
America keluar dari kamar memakai celana pendek, dress baby doll warna hijau dan sepatu berhak dengan
warna senada, dan ketika kita tiba di ruang tamu, Travis dan Shepley sudah berdiri di dekat pintu keluar.
Mulut Travis terbuka. Oh tidak, jangan. Apa kau mau membuatku terbunuh? kau harus ganti pakaianmu,
Pidge.
Apa? Aku bertanya lalu melihat pakaian yang aku pakai.
America menutup mulut dengan tangannya. Dia terlihat cantik, Trav, biarkan saja!
Travis menarik tanganku dan menuntunku menyelusuri lorong. Pakai kaos...dan sepatu kets saja. Sesuatu
yang nyaman dipakai.
Apa? Kenapa?
Karena aku akan lebih khawatir pada orang yang melihat payudaramu dalam pakaian itu bukannya pada
Hoffman, dia berkata lalu berhenti di depan pintu kamarnya.
Aku pikir kau tak peduli pada apa yang orang lain pikirkan?
Ini situasinya berbeda, jadi aku mohon...tolong...aku mohon ganti saja, dia tergagap lalu mendorongku
masuk dan mengurungku di kamar.
Travis! aku berteriak. Aku menendang lepas sepatuku dan menggantinya dengan Converse. Lalu aku
melepas atasanku dan melemparkannya ke ujung kamar. Aku memakai kaos katun pertama yang aku pegang
lalu berlari keluar kamar, berdiri di depan pintu keluar.
Lebih baik? aku mendengus sambil mengikat rambutku.
Ya! Travis menjawab lega. Ayo kita pergi!
***

Kita semua berlari menuju tempat parkir. Aku melompat naik ke atas motor Travis saat dia menyalakan
mesinnya lalu melesat cepat menuju kampus. Aku memeluk erat pinggang Travis untuk antisipasi; karena tadi
terburu-buru keluar telah membuat adrenalin melonjak dalam pembuluh darahku.
Travis memacu motornya melewati trotoar, memarkirkan motornya di bawah bayangan belakang gedung
Liberal Arts Jefferson. Dia mendorong kacamatanya ke atas kepalanya, lalu memegang tanganku dan
tersenyum saat menyelinap ke belakang gedung. Dia berhenti di depan jendela yang terbuka yang berada tidak
jauh dari permukaan tanah.
Ketika menyadari itu jalan untuk masuk, mataku terbelalak. Apa kau bercanda?
Travis tersenyum. Ini pintu masuk VIP. kau harus lihat bagaimana cara orang lain untuk masuk.
Aku menggelengkan kepala ketika dia mencoba mendorong masuk kakinya lalu menghilang. Aku
membungkuk ke bawah dan memanggilnya, merasa ditinggalkan. Travis!
"Kau pasti sudah gila kalau kau pikir aku akan melompat ke lubang gelap!"
Dibawah sini, Pidge. Masuklah dengan posisi kaki terlebih dulu, aku akan menangkapmu.
Aku menarik nafas, menyentuh dahi dengan tanganku. Ini gila!
Aku duduk di lantai, lalu bergeser ke depan sehingga setengah tubuhku menggantung dalam kegelapan. Aku
berbalik telungkup, mengarahkan tumitku untuk merasakan lantai. Aku menunggu sampai tangan Travis
menyentuh kakiku, namun aku kehilangan pegangan, menjerit ketika jatuh kebelakang. Sepasang tangan
memegangku lalu mendengar suara Travis di dalam kegelapan.
kau jatuh seperti cewek, dia tertawa terkekeh.
Dia menurunkan kakiku ke bawah dan menarikku lebih jauh ke dalam kegelapan. Seteleh beberapa langkah,
aku dapat mendengar suara teriakan nomor dan nama yang familiar lalu ruangan menjadi terang. Ada sebuah
lentera dipojok ruangan, cahayanya cukup terang untuk dapat membaca wajah Travis.
Apa yang akan kita lakukan?
Menunggu. Adam harus menyelesaikan ocehannya terlebih dahulu sebelum aku masuk.
Aku duduk dengan gelisah. Apakah aku harus menunggu di sini atau ikut masuk ketika pertarungan di mulai?
Shep dan Mare di mana?
Mereka masuk lewat pintu lain. Ikuti saja aku nanti, aku tidak akan mengirimmu ke sarang hiu tanpa aku.
Berdiri dekat Adam, dia akan membuatmu terhindar dari desakan orang-orang. Aku tidak bisa
memperhatikanmu sambil mengayunkan pukulan dalam waktu yang sama.
Desakan?
Akan ada banyak orang yang datang malam ini. Brady Hoffman dari State. Mereka mengadakan acara
pertarungan sendiri di sana. Maka akan ada penonton mereka dan penonton dari kita sehingga keadaan akan
menjadi gila.
Apakah kau gugup? aku bertanya.

Dia tersenyum sambil menatapku. Tidak. Tapi kau kelihatan sedikit gugup.
Mungkin sedikit, aku mengaku.
Kalau ini membuatmu merasa lebih baik, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku. Aku bahkan tidak
akan membiarkannya meskipun untuk fansnya.
Bagaimana kau akan melakukannya?
Dia mendengus. Biasanya aku membiarkan mereka memukulku satu kali, agar terlihat adil.
kau? kau membiarkan orang lain memukulmu?
Dimana kesenangannya kalau aku membantai orang lain tapi mereka tak pernah bisa membalas pukulanku
sama sekali? Itu tidak bagus untuk bisnis, tidak akan ada orang yang bertaruh melawanku.
Omong kosong macam apa itu, kataku sambil melipat tanganku.
Travis mengangkat alisnya. kau pikir aku bercanda?
Aku sulit untuk percaya kalau kau terkena pukulan hanya karena kau membiarkannya.
Apa kau akan bertaruh untuk itu, Abby Abernathy? dia tersenyum, matanya tampak bersemangat.
Aku tersenyum. Aku terima tantangan itu. Kupikir dia akan memukulmu sekali.
Dan apabila dia tidak berhasil? Apa yang akan aku menangkan? dia bertanya. Aku mengangkat bahu saat
teriakan di dinding sebelah semakin keras terdengar. Adam menyapa penonton, lalu membacakan semua
peraturannya.
Senyuman Travis semakin lebar. Jika kau menang, aku tidak akan berhubungan seks selama satu bulan. Aku
mengangkat sebelah alisku lalu dia tersenyum lagi. Tapi bila aku menang, kau harus tinggal bersamaku
selama satu bulan.
Apa? Tapi aku kan memang tinggal bersamamu sekarang! Taruhan macam apa itu? aku berteriak di antara
suara bising.
Mereka telah memperbaiki pemanas air di asrama hari ini, Travis tersenyum sambil mengedipkan matanya.
Satu senyuman puas terukir di wajahku saat Adam memanggil nama Travis. Apapun berharga untuk
melihatmu berusaha untuk tidak terpukul.
Travis mencium pipiku lalu melangkah keluar, berdiri tegak. Aku mengikutinya di belakang, dan ketika kita
berjalan memasuki ruangan berikutnya, aku terkejut dengan jumlah penonton yang berada di ruangan sekecil
ini. Hanya tersedia sedikit ruang untuk berdiri, tapi desakan dan teriakan semakin keras saat kita memasuki
ruangan. Travis mengangguk ke arahku lalu tangan Adam berada di atas bahuku, menarikku ke sampingnya.
Aku mendekat ke telinga Adam. Aku bertaruh dua untuk Travis, aku berkata.
Alis Adam terangkat saat aku mengeluarkan dua lembar uang bergambar Benjamin (100 dollar) dari sakuku.
Dia mengulurkan telapak tangannya, lalu aku menaruh uangku di tangannya.
Ternyata kau tidak seoptimis yang kukira, dia berkata menatapku sekilas.

Brady setidaknya satu kepala lebih tinggi dari Travis, aku menelan ludah ketika aku melihat mereka berdiri
berhadapan. Brady sangat besar, dua kali lipat dari Travis dengan otot yang sangat besar. Aku tidak dapat
melihat ekspresi Travis, tapi terlihat sangat jelas kalau Brady haus darah.
Adam mendekatkan bibirnya ke telingaku. kau mungkin harus menutup telingamu, nak.
Aku menutup telingaku dan Adam membunyikan terompetnya. Bukannya menyerang, Travis justru mundur
beberapa langkah. Brady mengayunkan pukulannya, dan Travis menghindar ke kanan. Brady mencoba
memukul lagi dan Travis menunduk lalu bergeser ke samping.
Apa ini? Ini bukan pertarungan tinju, Travis! Adam berteriak.
Travis mendaratkan pukulan di hidung Brady. Suara di basement sangat memekakan telinga waktu itu. Travis
kemudian memukul rahang Brady, dan tanganku menutup mulutku saat Brady berusaha memukul lagi
beberapa kali, tidak ada yang kena. Brady terjatuh ke arah rombongannya ketika Travis memukulkan sikunya
ke wajah Brady. Ketika kupikir semua akan berakhir, Brady berdiri dan mengayunkan pukulannya lagi.
Pukulan demi pukulan, Brady tampak tidak dapat mengikuti. Mereka berdua berkeringat, aku terkesiap ketika
Brady meleset lagi, memukul tiang semen. Ketika dia membungkuk memegangi tangannya yang sakit, Travis
menyerang untuk mengakhiri pertarungan.
Tanpa ampun, pertama dia menendangkan dengan lututnya ke wajah Brady, lalu memukulinya terus menerus
hingga Brady terjatuh dan menyentuh lantai. Tingkat kebisingan semakin keras saat Adam meninggalkanku
untuk melempar kain berwarna merah ke wajah Brady yang penuh darah.
Travis menghilang di belakang para fansnya, dan aku bersandar di tembok, mencari jalan kembali ke pintu
tempat kita datang tadi. Merasa lega ketika dapat memegang lentera. Aku khawatir akan terjatuh lalu terinjak.
Mataku fokus menatap pintu keluar, memperhatikan tanda akan semakin bertambahnya orang di dalam
ruangan yang kecil ini. Setelah beberapa menit dan masih tidak ada tanda-tanda dari Travis, aku bersiap untuk
mengingat jalan ke jendela tempat kita masuk tadi. Dengan semakin banyaknya orang yang berusaha keluar
bersamaan, sangat tidak aman untuk hanya diam berdiri.
Ketika aku akan melangkah ke kegelapan, suara langkah terdengar berderak di semen yang lepas di lantai.
Travis menatapku dengan panik.
Pigeon!
Aku di sini! aku menyahut, berlari kepelukannya.
Travis melihat ke bawah dan mengerutkan dahinya. kau membuat aku sangat takut! Aku hampir memulai
perkelahian lagi tadi ketika mencarimu...akhirnya aku tiba di sini tapi kau tidak ada!
Aku senang kau kembali ke sini. Aku tak ingin mencari jalan keluar di kegelapan sendirian.
Semua rasa khawatir di wajahnya menghilang, lalu dia tersenyum lebar. Aku rasa kau kalah taruhan.
Adam melangkah masuk, menatapku lalu menatap tajam ke arah Travis. Kita perlu bicara.
Travis mengedipkan matanya padaku. Diam ditempat. Aku akan segera kembali.
Travis menghilang di kegelapan. Adam meninggikan suaranya beberapa kali, tapi aku tak bisa mendengar apa
yang dia katakan. Travis kembali, memasukan setumpuk uang ke dalam sakunya, lalu dia tersenyum kecil.

kau perlu membawa pakaian tambahan.


kau serius akan membuatku tinggal bersamamu selama sebulan?
Apa kau akan membuatku tidak berhubungan seks selama satu bulan?
Aku tertawa, mengetahui kalau aku akan melakukannya. Kita harus mampir ke asrama dulu.
Travis berseri-seri. Ini akan jadi menarik.
Ketika Adam lewat, dia menyerahkan uang yang aku menangkan ke tanganku, lalu menghilang di tengah orang
banyak.
Travis menaikan satu alisnya. kau ikut bertaruh?
Aku tersenyum dan mengangkat bahuku. Kupikir aku harus mendapatkan pengalaman sepenuhnya.
Dia menuntunku ke jendela lalu merangkak keluar, berbalik untuk menolongku keluar ke udara malam yang
segar. Jangkrik sedang mengerik di kegelapan, berhenti cukup lama untuk membiarkan kami lewat. Rumput
monyet di sepanjang trotoar melambai karena angin sepoi-sepoi, mengingatkanku akan suara laut bila aku
tidak terlalu dekat untuk mendengar suara ombak pecah. Udara tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin; ini
adalah malam yang sempurna.
Jadi, kenapa kau menginginkan aku untuk tinggal bersamamu? aku bertanya.
Travis mengangkat bahunya, memasukan tangan ke dalam sakunya. Aku tak tahu. Semua tampak lebih baik
ketika kau ada didekatku.
Rasa hangat yang tidak jelas yang aku rasakan karena kata-katanya langsung berubah melihat warna merah,
noda kotor di kaosnya. Ih, ada darah di bajumu.
***
Travis melihat kebawah dengan acuh tak acuh, lalu membuka pintu, memberi isyarat agar aku masuk. Aku
melewati Kara yang sedang belajar di atas tempat tidurnya, disibukkan oleh buku pelajaran yang ada di
sekelilingnya.
Pemanas airnya telah diperbaiki pagi ini,
Aku tahu, kataku sambil mengaduk-aduk isi lemariku.
Hai, Travis menyapa Kara.
Wajah Kara berubah saat keadaan Travis yang berkeringat dan berdarah.
Travis, ini teman sekamarku, Kara Lin. Kara, ini Travis Maddox."
Senang berkenalan denganmu, Kara berkata sambil meperbaiki posisi kacamata di hidungnya. Dia melihat
sekilas pada tasku yang menggembung karena penuh barang. Apa kau akan pindah?
Tidak, hanya kalah taruhan.
Tawa Travis terbahak lalu mengambil tasku. Siap?

Ya. Bagaimana cara kita membawa semua barang ini ke apartemen? Kita kan naik motor.
Travis tersenyum lalu mengeluarkan handphonenya. Dia membawa tasku ke luar, dan beberapa menit
kemudian mobil Charger hitam klasik Shepley berhenti.
Jendela di kursi penumpang turun dan America menjulurkan kepalanya keluar. Hai, Chickie!
Hai juga. Pemanas air di asrama sudah diperbaiki, apakah kau tetap akan tinggal dengan Shepley?
Dia berkedip. Ya, kupikir aku akan menginap di sana malam ini. Aku dengar kau kalah taruhan.
Sebelum aku sempat menjawabnya, Travis menutup bagasi mobil lalu Shepley melesat pergi dan America
memekik ketika dia jatuh bersandar di kursinya.
Kami berjalan menuju motor, dan ketika aku memeluk pinggangnya, dia memegang tanganku.
Aku senang kau menginap malam ini, Pidge. Aku tidak pernah merasa begitu senang saat bertarung.
Aku mengangkat kepalaku di bahunya lalu tersenyum. Itu karena kau sedang berusaha memenangkan taruhan
ini.
Dia melirik ke belakang menatapku. Benar, aku benar-benar berusaha untuk menang. Tidak ada kegirangan
di matanya, dia sangat serius dan dia ingin aku melihatnya.
Alisku terangkat. Itu kah sebabnya kau bad mood hari ini? Karena tahu pemanas air di asrama telah di
perbaiki dan aku akan pulang malam ini?
Travis tidak menjawab; dia hanya tersenyum lalu menyalakan motornya. Perjalanan menuju apartemen sangat
lambat. Di setiap stopan, Travis akan memegang tanganku atau lututku. Batasnya tidak jelas lagi, dan aku
khawatir bagaimana kami akan menjalani satu bulan bersama tanpa merusak semuanya. Ujung tali
persahabatan kita bergantung dengan cara yang tidak pernah aku bayangkan.
Ketika kita tiba di tempat parkir apartemen, mobil Shepley terparkir di tempat biasa.
Aku berdiri di depan tangga. Aku tidak suka kalau mereka tiba lebih dulu di rumah. Aku merasa seperti kita
akan mengganggu mereka.
Biasakan. Ini rumahmu untuk empat minggu ke depan, Travis tersenyum dan berbalik menghadapku. Ayo
naik.
Apa? aku tersenyum.
Ayo, aku akan menggedongmu ke atas.
Aku terkekeh dan naik ke atas punggungnya, berpegangan di atas dadanya saat dia berlari ke atas. America
membuka pintu sebelum kami sampai di atas dan tersenyum.
Lihat kalian berdua. Jika aku tidak tahu yang sebenarnya...
Hentikan, Mare, Shepley berteriak dari sofa.
America tersenyum seperti dia telah terlalu banyak bicara, dan membuka pintu dengan lebar agar cukup untuk

kami berdua bisa masuk. Travis ambruk di kursi malas. Aku berteriak ketika dia menindihku di bawah
punggungnya.
kau tampak sangat ceria malam ini, Trav. Ada apa? America bertanya.
Aku duduk tegak untuk melihat wajah Travis. Aku tak pernah melihat dia begitu bahagia.
Aku baru saja memenangkan banyak uang, Mare. Dua kali lipat dari yang aku kira akan dapatkan. Kenapa
tidak bahagia?
Bukan itu, sepertinya ada alasan lain, America berkata lagi ketika melihat tangan Travis membelai pahaku.
Dia benar; Travis berbeda. Ada aura kedamaian di sekitarnya, hampir seperti ada rasa kepuasan baru yang
menghuni di jiwanya.
Mare, Shepley memperingatkan.
Baiklah, aku akan membicarakan hal lain. Bukankah Parker mengundangmu ke pesta Sig Tau akhir minggu
ini, Abby?
Senyum Travis menghilang dan dia melihat padaku, menunggu jawaban.
Ehm...Ya? Bukankah kita semua akan datang?
Aku akan datang, Shepley menjawab, sambil melihat tv.
Dan itu artinya aku juga datang. America tersenyum, memandang Travis penuh harap.
Travis memandangiku sejenak, lalu menyikut kakiku. Apa dia akan menjemputmu?
Tidak, dia hanya memberitahuku tentang pesta itu.
Bibir America tersenyum nakal, hampir seperti mengangguk dalam antisipasi. Tapi kan dia bilang akan
bertemu denganmu di sana, dia sangat manis.
Travis menatap America dengan kesal lalu menatapku. Apa kau akan datang?
Aku bilang padanya aku akan datang, aku mengangkat bahuku. Apa kau akan datang?
Ya, aku akan datang, jawabnya tanpa ragu.
Perhatian Shepley kembali pada Travis, saat itu. Tapi minggu kemarin kau bilang tidak akan datang.
Aku berubah pikiran, Shep, apa masalahnya?
Tidak ada. Dia menggerutu lalu kembali masuk kamarnya.
America cemberut pada Travis. kau tahu masalahnya apa, dia menjawab. Kenapa kau tidak berhenti
membuatnya gila dan menyelesaikan semua. Dia bergabung dengan Shepley di kamarnya, dan suara mereka
menjadi bisikan di belakang pintu yang tertutup.
Well, aku senang semua orang tahu, kataku.
Travis berdiri. Aku akan mandi sebentar.

Apakah mereka sedang ada masalah? tanyaku.


Tidak, dia hanya paranoid.
Karena kita, aku menebak. Mata Travis menyala lalu dia mengangguk.
Apa? aku bertanya, menatapnya curiga.
kau benar. Itu karena kita. Jangan tidur dulu, ya? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.
Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghilang di belakang pintu kamar mandi. Aku memilin
rambutku dengan jari, merenungkan cara dia menekankan kata kita, dan ternyata hanya aku yang menganggap
bahwa Travis dan aku hanya berteman.
Shepley keluar dari kamar, dan America mengejarnya. Shep, jangan! dia memohon.
Shepley melihat ke belakang ke arah pintu kamar mandi lalu menatapku. Suaranya pelan tapi terdengar marah.
kau sudah berjanji, Abby. Ketika aku bilang jangan menghakimi Travis, bukan berarti kalian harus
berhubungan! Kukira kalian hanya berteman!
Kita memang hanya berteman, jawabku, terkejut dengan serangannya.
Tidak, kalian lebih dari teman! dia benar-benar marah.
America menyentuh bahunya. Sayang, aku sudah bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
Dia menjauh dari tangan America. Kenapa kau membiarkan ini, Mare? kau tahu apa yang akan terjadi!
America memegang wajah Shepley dengan dua tangannya. Dan aku bilang itu semua tidak akan terjadi!
Tidakkah kau percaya padaku?
Shepley menghela nafas, memandang ke arah America, lalu padaku, kemudian menghentak masuk ke
kamarnya.
America duduk di sampingku, terengah. Aku tidak bisa membuatnya mengerti bahwa meskipun hubunganmu
dengan Travis berjalan lancar atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi hubungan aku dan dia. Itu karena dia
sudah pernah terluka beberapa kali. Dia tidak percaya padaku.
Apa yang kau bicarakan, Mare? Travis dan aku tidak pacaran. Kita hanya teman. kau dengar yang dia katakan
tadi...dia tidak tertarik padaku seperti itu.
kau mendengarnya?
Well, ya.
Dan kau percaya itu?
Aku mengangkat bahuku. Itu tidak penting. Itu tidak akan terjadi. Dia bilang padaku dia tidak
menginginkanku seperti itu, dia benar-benar fobia pada komitmen. Aku akan sulit mencari teman wanita yang
belum pernah dia tiduri selain dirimu, dan aku tidak bisa mengikuti moodnya yang selalu berubah. Aku tidak
percaya Shep berpikir sebaliknya.

Bukan hanya karena dia mengenal Travis...dia telah bicara dengan Travis, Abby.
Apa maksudmu?
Mare? Shepley memanggilnya dari kamar tidur.
America menghela nafas. Kau adalah sahabatku. kupikir aku lebih mengenalmu dari pada dirimu sendiri
kadang-kadang. Aku telah melihat kalian berdua, dan satu-satunya perbedaan antara aku dan Shep dengan kau
dan Travis adalah kami berhubungan seks. Selain dari itu? Tak ada bedanya.
Ada perbedaan yang sangat, sangat besar. Apakah Shep membawa pulang wanita yang berbeda setiap malam?
Apakah kau akan datang ke pesta besok untung hang out bersama pria yang berpotensi untuk jadi teman
kencan? kau tahu aku tidak bisa berhubungan dengan Travis, Mare. Aku bahkan tak tahu kenapa kita
membicarakan hal ini.
Ekspresi America berubah menjadi kekecewaan. Aku tidak mengada-ada, Abby. kau telah menghabiskan
banyak waktu bersamanya selama sebulan lebih. Mengakulah, kau menyukai dia.
Hentikan, Mare, Travis berkata sambil mengencangkan handuk di pinggangnya.
Aku dan America terkejut mendengar suara Travis, dan ketika mata kita bertemu, aku dapat melihat
kebahagiaan di matanya telah hilang. Dia berjalan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun lagi, lalu
America menatapku dengan ekspresi sedih.
Kupikir kau membuat kesalahan, dia berbisik. kau tak perlu pergi ke pesta itu untuk bertemu seorang pria,
kau sudah memilikinya yang tergila-gila padamu, di sini. Dia berkata lalu meninggalkanku sendiri.
Aku duduk di atas kursi malas, membiarkan apa yang sudah terjadi di minggu-minggu terakhir ini berputar
kembali di pikiranku. Shepley marah padaku, America kecewa terhadapku, dan Travis...dia berubah dari paling
bahagia yang pernah aku lihat menjadi sangat tersinggung hingga membuat dia tidak dapat mengatakan
apapun. Terlalu gugup untuk berbaring bersamanya, aku memandangi jam dari menit ke menit.
Satu jam telah berlalu ketika Travis keluar dari kamarnya, berjalan menelusuri lorong, dan ketika dia muncul,
aku mengharapkan dia menyuruhku tidur, tapi dia telah berpakaian rapi dengan kunci motor di tangannya.
Kacamatanya menyembunyikan matanya, lalu dia memasukan rokok ke mulutnya sebelum memegang
pegangan pintu.
kau akan pergi? aku bertanya sambil duduk tegak. Mau pergi kemana?
Keluar, dia menjawab sambil menghentak pintu hingga terbuka lalu membanting pintu di belakangnya.
Aku terjatuh ke kursi malas kemudian menghela nafas. Entah bagaimana aku merasa seperti penjahat tapi tidak
mengerti kenapa merasa demikian.
Ketika jam di atas televisi menunjukan jam dua pagi, akhirnya aku menyerah dan pergi tidur. Kasur terasa
kosong tanpa dirinya, dan ide untuk menelepon handphone-nya terus muncul di pikiranku. Aku hampir tertidur
ketika motor Travis berhenti di tempat parkir. Dua pintu mobil tertutup tidak lama kemudian lalu beberapa
pasang langkah kaki menaiki tangga. Travis meraba-raba kunci pintu, lalu pintu terbuka. Dia tertawa dan
bergumam, lalu aku mendengar bukan satu tapi dua suara wanita. Cekikikan mereka berganti menjadi suara
ciuman dan erangan. Hatiku hancur, dan aku langsung marah karena merasa seperti itu. Aku menutup rapat
mataku saat salah satu dari wanita itu menjerit, dan aku yakin suara setelah itu adalah suara mereka bertiga
ambruk di atas sofa.

Aku sedang menimbang untuk meminjam mobil pada America, namun kamar Shepley berada tepat di depan
sofa, dan aku tak sanggup menyaksikan pemandangan yang sesuai dengan suara ribut di ruang tamu. Aku
menenggelamkan kepalaku di bawah bantal dan menutup mataku saat pintu terbuka. Travis berjalan melintasi
ruangan lalu membuka laci meja lampu tidur yang paling atas, meraih mangkuk kondomnya kemudian
menutup laci dan berlari kecil keluar. Si wanita cekikikan selama kurang lebih setengah jam lalu hening.
Beberapa lama kemudian, erangan, dengungan dan teriakan terdengar keseluruh ruangan. Terdengar seperti
sedang membuat film porno di ruang tamu. Aku menutup wajah dengan tanganku sambil mengelengkan
kepala. Batas apapun yang hilang atau tidak jelas selama minggu kemarin, telah di gantikan oleh dinding batu
yang tidak bisa di tembus. Aku menepiskan emosi bodohku, memaksaku untuk tenang. Travis adalah Travis,
dan kita...tanpa tanpa diragukan lagi...hanya teman...dan hanya teman.
Teriakan dan suara yang memuakkan berhenti setelah satu jam, diikuti oleh suara merengek lalu menggerutu
dari si wanita setelah diusir keluar. Travis mandi lalu ambruk di sisi tempat tidurnya, membelakangiku.
Meskipun sudah mandi, dia masih tercium seperti dia telah banyak meminum whiskey untuk membuat mabuk
seekor kuda, dan aku marah karena dia mengendarai motornya pulang dalam keadaan seperti itu.
Setelah rasa canggung hilang dan kemarahan berkurang, aku masih belum bisa tidur. Ketika nafas Travis
menjadi dalam dan tetap, aku duduk untuk melihat jam. Matahari sudah akan muncul dalam kurang dari satu
jam. Aku membuka selimut, berjalan menelusuri lorong lalu mengambil selimut dari lemari di lorong. Bukti
dari Travis telah melakukan threesome adalah dua bungkus kondom yang kosong di lantai. Aku melangkah
melewatinya lalu menjatuhkan diri di kursi malas.
Aku menutup mataku. Ketika aku membukanya lagi, America dan Shepley sedang duduk di sofa dengan diam
sambil menonton tv yang dimatikan suaranya. Matahari menerangi apartemen dan aku meringis ketika
punggungku terasa sakit saat aku berusaha bergerak.
Perhatian America tertuju padaku. Abby? dia berkata, melangkah cepat ke arahku. Dia melihatku dengan
waspada. Dia menunggu kemarahan, air mata, atau emosi lainnya untuk keluar.
Shepley tampak tersiksa. Aku menyesal tentang semalam, Abby. Ini adalah salahku.
Aku tersenyum. Tidak apa-apa, Shep. kau tidak perlu minta maaf.
America dan Shepley saling berpandangan lalu America menarik tanganku. Travis sedang pergi ke toko.
Dia...ehm, tidak penting siapa dia. Aku telah mengemas semua barangmu dan aku akan membawamu ke
asrama sebelum dia pulang sehingga kau tidak harus berhadapan dengannya.
Pada saat itulah aku ingin menangis; aku diusir. Aku berusaha agar suaraku tenang sebelum aku bicara. Apa
aku punya waktu untuk mandi terlebih dulu?
America menggelengkan kepalanya. Ayo langsung pergi, Abby. Aku tak ingin kau melihatnya. Dia tidak
pantas untuk,
Pintu terbuka dan Travis berjalan masuk, tangannya penuh dengan tas belanjaan. Dia berjalan langsung menuju
dapur, berusaha menyimpan kaleng dan kotak ke dalam lemari.
Kalau Pidge sudah bangun, beritahu aku ya? dia berkata dengan suara pelan. Aku punya spagheti, pancake,
stroberi dan oatmeal dengan coklat, dan dia suka sereal Fruit Pebles, benar kan, Mare? dia bertanya dan
berbalik.
Ketika dia melihatku, dia terdiam. Setelah jeda yang canggung, ekspresinya mencair dan suaranya menjadi

lembut dan manis. Hai, Pigeon.


Aku tidak akan merasa lebih bingung dari ini kalau saja aku terbangun dan ada di negara asing. Tidak ada yang
masuk akal. Awalnya kupikir aku telah diusir, lalu Travis datang membawa tas yang penuh dengan makanan
kesukaanku.
Dia melangkah ke ruang tamu, dengan gugup memasukan tangan ke sakunya. kau lapar, Pidge? Aku akan
membuatkanmu beberapa pancake. Atau ada...ehm, ada oatmeal. Dan aku membelikanmu busa pink yang biasa
di pakai wanita untuk bercukur, hairdryer danehm...tunggu sebentar, itu ada disini, dia berkata lalu terburuburu menuju kamar tidur.
Pintu terbuka, tertutup dan dia muncul kembali, wajahnya pucat. Dia mengambil nafas panjang dan alisnya
ditarik ke atas. Semua barangmu di kemas.
Aku tahu, jawabku.
kau akan pergi, dia berkata, merasa kalah.
Aku menatap America, yang menatap Travis seperti dia ingin membunuhnya. Apa kau benar-benar berpikir
dia akan tinggal?
Sayang, Shepley berbisik.
Jangan memulai, Shep. Jangan berani-beraninya kau membela dia di depanku, America mendesis marah.
Travis tampak putus asa. Maafkan aku, Pidge. Aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa.
Ayo, Abby, America berkata. Dia berdiri dan menarik tanganku.
Travis menghalangi, namun America menunjuk padanya. Ya Tuhan, Travis! Jika kau berusaha untuk
menghentikan dia, aku akan menyiramkan bensin padamu dan menyalakan api saat kau tidur!
America, Shepley berkata, terdengar sedikit putus asa. Aku dapat melihat dia terkoyak diantara sepupu dan
wanita yang dia cintai, dan aku merasa kasihan padanya. Situasi inilah yang sejak awal ingin dia hindari.
Aku baik-baik saja, aku berkata, putus asa karena ketegangan yang ada di ruangan ini.
Apa maksudmu kau baik-baik saja? Shepley bertanya, hampir berharap.
Aku memutar mataku. Travis membawa wanita dari bar pulang tadi malam, lalu kenapa?
America tampak khawatir. Hah, Abby. Maksudmu kau tidak keberatan dengan apa yang terjadi?
Aku memandang mereka semua. Travis dapat membawa pulang siapapun yang dia mau. Inikan
apartemennya.
America menatapku seperti aku sudah kehilangan akalku, Shepley hampir tersenyum dan Travis tampak lebih
buruk dari sebelumnya.
Bukan kau yang mengemas barangmu? tanya Travis.
Aku menggelengkan kepalaku dan melirik jam; sudah jam 2 siang lewat. Tidak, dan sekarang aku harus
membongkar semuanya lagi. Aku masih harus makan, mandi dan berpakaian... aku berkata sambil melangkah

masuk kamar mandi. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku bersandar di pintu dan terduduk di lantai. Aku
yakin telah membuat America sangat kesal, akan tetapi aku telah berjanji pada Shepley dan aku berniat untuk
menepatinya.
Ketukan pelan di pintu terdengar di atasku. Pidge? Travis memanggil.
Apa? jawabku, berusaha terdengar normal.
Apakah kau akan tetap tinggal di sini?
Aku akan pergi jika kau ingin aku pergi, tapi taruhan tetap taruhan.
Pintu bergetar karena benturan pelan dari dahi Travis pada pintu. Aku tidak ingin kau pergi, tapi aku tidak
akan menyalahkanmu kalau kau pergi.
Maksudmu aku terbebas dari taruhan?
Ada jeda yang cukup lama. Kalau aku bilang ya, apa kau akan pergi?
Well, ya tentu saja. Aku kan tidak tinggal di sini, bodoh, aku menjawab, memaksakan tertawa.
Kalau begitu tidak, taruhan tetap berjalan.
Aku melihat ke atas dan menggelengkan kepala, merasakan air mata mulai turun. Aku tak tahu kenapa aku
menangis, aku tidak bisa menahannya. Bolehkah aku mandi sekarang?
Ya..., dia menghela nafas.
Aku mendengar suara sepatu America memasuki lorong dan menuju ke arah Travis. Dasar bajingan egois
kau, dia menggeram sambil membanting pintu kamar Shepley di belakangnya.
Aku mendorong tubuhku agar berdiri, menyalakan shower, membuka pakaianku lalu menarik tirai di
belakangku.
Setelah beberapa ketukan di pintu, Travis berdehem. Pigeon? Aku membawakan beberapa barangmu.
Simpan saja di wastafel. Nanti aku akan mengambilnya.
Travis masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Aku sangat marah. Aku mendengar kau mengatakan semua
hal yang buruk tentang aku pada America dan itu membuatku sangat kesal. Aku hanya bermaksud untuk pergi
dan minum beberapa gelas dan berusaha memikirkan semuanya, tapi sebelum aku menyadarinya, aku sudah
sangat mabuk dan cewek-cewek itu..., dia terdiam. Aku terbangun pagi ini dan kau tidak ada di tempat tidur,
dan ketika aku menemukanmu di kursi lalu melihat bungkus kondom di lantai, aku merasa mual.
kau bisa bertanya padaku dari pada menghabiskan banyak uang di toko hanya untuk menyuapku agar
tinggal.
Aku tidak peduli tentang uang, Pidge. Aku sangat takut kau akan pergi dan tidak akan pernah bicara padaku
lagi.
Aku merinding karena penjelasannya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana perasaannya ketika
mendengarku bicara tentang betapa tidak pantasnya dia untukku, dan sekarang situasinya terlalu kacau untuk
dapat di selamatkan.

Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, aku berkata dari bawah pancuran air.
Aku tahu itu. Dan aku tahu apapun yang aku katakan tidak akan merubah apapun sekarang, karena aku
mengacaukan semuanya, seperti biasa yang aku lakukan.
Trav?
Ya?
Jangan mengendarai motor sambil mabuk lagi, ya?
Aku menunggu selama satu menit hingga akhirnya dia menarik nafas panjang dan berkata. Ya, baiklah, dia
berkata sambil menutup pintu di belakangnya.
***
Masuklah, aku menjawab ketika mendengar ketukan di pintu.
Travis masuk dan membeku di depan pintu. Wow.
Aku tersenyum dan melihat pakaianku, rok pendek. Kemben (bustier) yang di panjangkan menjadi rok pendek,
harus diakui model ini lebih berani dari yang pernah kupakai sebelumnya. Bahannya tipis, hitam, membuat
kulit telanjangku terlihat. Parker akan ada di pesta nanti, dan aku berniat untuk melakukan apapun untuk
menarik perhatiannya.
Kau terlihat mengagumkan, dia berkata ketika aku sedang memakai sepatu hak tinggiku.
Aku mengangguk setuju pada kemeja dan celana jins yang di pakainya. kau juga terlihat tampan.
Kemejanya di gulung sampai ke siku, memperlihatkan tato rumit di lengan bagian atasnya. Aku melihat dia
memakai ikat pinggang favoritnya yang melingkar di pinggangnya ketika dia memasukan tangannya kedalam
saku.
America dan Shepley telah menunggu kami di ruang tamu.
Parker akan sangat takjub melihat penampilanmu, America cekikikan saat Shepley menuntunnya ke mobil.
Travis membuka pintu mobil Shepley, lalu duduk di kursi belakang. Meskipun sudah beberapa kali duduk di
kursi ini bersamanya, namun sekarang terasa canggung.
Mobil berjejer di pinggir jalan, bahkan ada yang parkir di halaman rumput. The House (Rumah Perkumpulan)
penuh sesak karena banyaknya orang yang datang, dan masih banyak orang sedang berjalan menuju The
House dari asramanya, aku dan America mengikuti para pria masuk.
Travis membawakanku gelas plastik merah berisi bir, membungkuk ke arah telingaku. Jangan menerima bir
pemberian orang lain selain dari aku atau Shepley. Aku tak ingin ada yang memasukan sesuatu pada
minumanmu.
Aku memutar mataku. Tidak akan ada yang memasukan apapun pada minumaku, Travis.
Pokoknya jangan minum apapun selain pemberianku, ok? kau bukan di Kansas sekarang, Pigeon.
Aku belum pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya, aku menjawab dengan nada sinis lalu minum.

Satu jam telah berlalu, Parker masih belum kelihatan. America dan Shepley sedang berdansa diiringi lagu
berirama lambat di ruang tamu ketika Travis menarik tanganku. Mau berdansa?
Tidak, terimakasih, jawabku.
Wajahnya tampak kecewa.
Aku menyentuh bahunya. Aku hanya lelah, Trav.
Dia memegang tanganku dan mulai berbicara, tapi ketika aku menatap kebelakang tubuhnya, aku melihat
Parker sedang berjalan menuju ke arah kami. Travis menyadari ekspresiku lalu melihat ke belakang.
Hai, Abby! kau datang juga! Parker tersenyum.
Ya, kita semua disini kurang lebih dari satu jam yang lalu, jawabku sambil menarik tanganku dari tangan
Travis.
kau terlihat sangat cantik! dia berteriak di antara musik.
Terima kasih! Aku tersenyum lebar, melirik ke arah Travis. Bibirnya tegang, ada sebuah garis di antara
alisnya.
Parker menunjuk ke arah ruang tamu dengan kepalanya lalu tersenyum. Mau berdansa?
Aku mengerutkan hidungku dan menggeleng. Ehm tidak, aku agak lelah.
Lalu Parker menatap Travis. Kupikir kau tidak akan datang.
Aku berubah pikiran, Travis menjawab, merasa terganggu karena harus menjelaskan.
Oh, Parker melihat ke arahku. kau ingin keluar?
Aku mengangguk lalu mengikuti Parker ke atas. Dia menghentikan langkahnya lalu meraih tanganku saat kita
naik ke lantai dua. Ketika kita tiba di lantai atas, dia mendorong pintu yang bergaya Perancis menuju balkon.
Apakah kau kedinginan? dia bertanya.
Sedikit, jawabku lalu tersenyum saat dia melepaskan jaketnya dan mengenakannya di bahuku.
Terimakasih.
kau datang kemari bersama Travis?
Ya, kami naik mobil bersama.
Bibir Parker tersenyum tegang lalu melihat ke arah halaman rumput di bawah. Sekelompok wanita berkerumun
sambil berpegangan tangan untuk melawan udara dingin. Kertas dan kaleng bir berserakan di rumput, bersama
dengan botol kosong minuman keras. Diantara kekacauan itu, anggota Sig Tau berdiri mengelilingi maha karya
mereka berupa piramid terbuat dari tong minuman yang dihiasi lampu putih.
Parker menggelengkan kepalanya. Tempat ini akan sangat berantakan nanti pagi. Tim pembersih akan sangat
sibuk.

Kalian punya tim pembersih?


Ya, dia tersenyum, Kami menyebut mereka freshmen.
Kasihan, Shep.
Dia tidak termasuk. Dia bisa lolos karena sepupunya Travis, dan dia tidak tinggal di sini.
Apa kau tinggal di sini?
Parker mengangguk. Dua tahun terakhir ini. Tapi aku membutuhkan apartemen sendiri sekarang. Aku butuh
tempat yang lebih tenang untung belajar.
Biar aku tebak...jurusan Bisnis?
Biologi, dengan jurusan minor anatomi. Aku punya satu tahun lagi, mengambil tes MCAT(Medical College
Admission Test/Tes Masuk Fakultas Kedokteran) dan aku berharap diterima di Kedokteran Harvard.
kau sudah tahu bahwa kau diterima?
Ayahku kuliah di Harvard. Maksudku, aku tidak tahu pasti, tapi dia alumni yang dermawan, jika kau tahu
maksudku. IPK-ku 4.0, dan mendapat nilai 2200 dalam tes SAT (Tes Akademik), dan nilai 36 untuk ACT-ku
(Tes Penerimaan Perguruan Tinggi Amerika). Aku termasuk dalam posisi yang patut dipertimbangkan untuk
masuk.
Ayahmu seorang dokter?
Parker mengiyakan dengan senyum bangga. Dokter bedah tulang.
Hebat.
Bagaimana denganmu? dia balik bertanya.
Belum ditentukan.
Jawaban standar semua mahasiswa baru.
Aku menghela nafas dengan dramatis. Kurasa aku sudah menghancurkan kesempatanku untuk menjadi
hebat.
Oh tidak, kau tak perlu khawatir tentang itu. Aku sudah memperhatikanmu dari hari pertama kuliah mulai.
Sebagai mahasiswa baru, apa yang kau lakukan di kelas Kalkulus tiga?
Aku tersenyum dan memainkan rambut dengan jariku. Bagiku Matematika sangat mudah. Aku mengambil
semua kelas matematika waktu SMA, dan mengikuti dua mata kuliah pada musim panas di Wichita State."
Itu baru namanya hebat, dia berkata.
Kita berdiri di balkon selama hampir lebih dari satu jam, membicarakan banyak hal, dari restoran lokal hingga
bagaimana awalnya aku dan Travis bisa berteman baik.
Aku awalnya tidak akan mengatakannya, tapi kalian berdua tampaknya menjadi topik pembicaraan.

Baguslah. Aku berbisik.


Hanya tidak biasa saja untuk Travis. Dia tidak berteman dengan wanita. Dia cenderung lebih sering menjadi
musuh mereka daripada berteman.
Oh, aku tak tahu itu. Aku telah melihat beberapa yang kehilangan ingatan jangka pendek atau terlalu
memaafkan kalau menyangkut tentang dia.
Parker tertawa. Giginya yang putih berkilau di atas kulit coklat keemasannya. Orang hanya tidak paham
bagaimana hubungan kalian. Kau harus mengakui bahwa itu sedikit membingungkan.
kau bertanya apa aku tidur dengan Travis?
Dia tersenyum. Kau tidak akan berada di sini kalau kau pernah tidur dengannya. Aku mengenalnya sejak
berumur empat belas tahun, dan aku sangat mengenal bagaimana dia beroperasi. Tapi aku penasaran tentang
hubungan kalian.
Itu seperti hubungan biasa, aku mengangkat bahu. Kita hangout, makan, nonton tv, belajar bersama dan
berdebat. Hanya itu.
Parker tertawa keras sambil menggelengkan kepalanya karena kejujuranku. Aku dengar hanya kau yang bisa
membuat Travis menurut. Itu adalah gelar yang terhormat.
Apapun artinya itu. Dia tidak seburuk yang orang lain kira.
Langit berubah ungu lalu menjadi merah muda saat matahari muncul di batas cakrawala. Parker melihat jam
tangannya, memandang ke arah kerumunan yang mulai berkurang di halaman rumput dari atas pembatas
balkon. Sepertinya pesta sudah usai.
Aku sebaiknya mencari Shep dan Mare.
Apakah kau keberatan kalau aku yang mengantarmu pulang? dia bertanya.
Aku mencoba menyembunyikan rasa senangku. Tidak sama sekali. Aku akan memberitahu America. Aku
berjalan melewati pintu, lalu meringis sebelum berbalik ke belakang. Apa kau tahu tempat tinggal Travis?
Alis Parker yang tebal mengernyit. Ya, kenapa?
Di sana aku tinggal. jawabku, menguatkan diri menunggu reaksinya.
kau tinggal bersama Travis?
Aku semacam kalah taruhan, karena dari itu aku harus tinggal disana selama satu bulan.
Satu bulan?
Ceritanya panjang, aku mengangkat bahu dengan malu.
Tapi kalian berdua hanya berteman?
Benar.

Kalau begitu aku akan mengantarmu ke sana, dia tersenyum.


***
Aku berlari menuruni tangga untuk mencari America, melewati Travis yang kelihatan jengkel karena merasa
terganggu oleh wanita mabuk yang mengajaknya bicara. Dia mengikutiku saat aku menarik gaun America.
Kalian bisa pulang duluan. Parker akan mengantarku pulang.
Apa? America berkata dengan kegembiraan di matanya.
Apa? Travis bertanya dengan marah.
Apakah ada masalah dengan itu? tanya America pada Travis.
Dia menatap America dengan tajam lalu menarikku ke pojok ruangan, rahangnya tegang di bawah kulitnya.
kau bahkan tidak mengenal pria itu.
Aku melepaskan tanganku dari cengkramannya. Ini bukan masalahmu, Travis.
Aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkanmu pulang dengan orang asing. Bagaimana kalau dia mencoba
melakukan sesuatu padamu?
Bagus! Dia tampan!
Ekspresi Travis berubah dari terkejut menjadi marah, aku bersiap dengan apa yang akan dia katakan
selanjutnya. Parker Hayes, Pidge? Serius? Parker Hayes, dia mengulang namanya dengan kebencian.
Nama macam apa itu?
Aku melipat tanganku. Hentikan, Trav. kau bersikap menyebalkan.
Dia membungkuk mendekat, tampak bingung. Aku akan membunuhnya bila dia menyentuhmu.
Aku menyukainya, kataku dengan penekanan pada setiap kata.
Dia tercengang atas pengakuanku, dia berubah bengis. Baiklah. Jika berakhir dengan dia menekan dan
menindihmu di kursi belakang mobilnya, jangan menangis padaku.
Mulutku ternganga, tersinggung dan sangat marah. Jangan khawatir, aku tidak akan menangis padamu,
jawabku sambil melangkah pergi.
Travis mencengkram tanganku lalu mendesah, melihat padaku melalui bahunya. Bukan itu maksudku, Pidge.
Jika dia menyakitimu atau bahkan jika dia membuatmu merasa tidak nyaman beritahu aku.
Rasa marahku mereda, dan bahuku tidak tegang lagi. Aku tahu bukan itu maksudmu. Tapi kau harus
mengurangi rasa over-protectif seperti seorang kakak lelaki padaku.
Travis tertawa. Aku tidak berlagak seperti seorang kakak lelaki, tidak sama sekali.
Parker datang lalu memasukan tangan ke sakunya, menawarkan sikunya padaku. Sudah siap?

Travis mengatupkan rahangnya, dan aku melangkah ke sisi lain dari Parker agar dia tidak melihat ekspresi
Travis. Sudah, mari kita pergi. Aku memegang lengan Parker lalu berjalan beberapa langkah bersamanya
sebelum berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada Travis, tapi dia sedang menatap marah ke arah
belakang kepala Parker. Matanya menatap tajam padaku lalu wajahnya melembut.
Hentikan itu, aku berkata sambil mengatupkan gigiku. Aku mengikuti Parker melewati beberapa kerumunan
yang masih ada untuk menuju ke mobilnya.
Mobilku yang berwarna silver. Lampu depannya berkedip dua kali ketika dia menekan tombol remotenya.
Dia membuka pintu sisi penumpang, dan aku tertawa. kau mengendarai mobil Porsche?
Dia bukan hanya Porsche. Dia Porsche 911 GT 3. Ada bedanya.
Biar aku tebak, ini adalah cinta sejatimu? aku berkata, mengutip pernyataan Travis terhadap motornya.
Bukan, ini hanya mobil. Cinta sejatiku adalah seorang wanita yang akan memakai nama belakangku.
Aku tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh pernyataannya. Dia memegang tanganku
untuk membantuku masuk ke dalam mobil, dan ketika dia meluncur ke belakang kemudi, dia menyandarkan
kepala di kursinya lalu tersenyum padaku.
Apa rencanamu malam ini?
Malam ini? tanyaku.
Sekarang sudah pagi. Aku ingin mengajakmu makan malam sebelum seseorang mendahuluiku.
Senyuman lebar muncul di wajahku. Aku tidak punya rencana apapun.
Aku akan menjemput jam enam?
Baiklah, kataku sambil memperhatikan jarinya yang menggenggam jariku.
Parker langsung mengantarku ke apartemen Travis, menjalankan mobil dengan kecepatan minimum dan
tanganku memegang tangannya. Dia berhenti di belakang Harley, dan seperti sebelumnya, dia membukakan
pintu untukku. Setelah kita berdua tiba di lantai apartemen, dia membungkuk ke bawah dan mencium pipiku.
Beristirahatlah. Kita bertemu nanti malam, dia berbisik di telingaku.
Bye, aku tersenyum, memutar pegangan pintu. Ketika aku mendorong, pintu terbuka lebar dan aku terdorong
ke depan. Travis menangkapku sebelum aku terjatuh. Hati-hati, Sayang.
Aku berbalik untuk melihat Parker yang menatap kami dengan ekspresi tidak nyaman. Dia melihat ke dalam
apartemen. Apa ada wanita yang sedang merasa telah di permalukan dan terlantar di sini yang harus aku antar
pulang?
Travis melotot ke arah Parker Jangan macam-macam padaku.
Parker tersenyum dan mengedipkan matanya. Aku selalu memberi dia kesulitan. Aku tidak harus sering
mengantar mereka karena dia menyadari lebih mudah jika mereka pulang menyetir mobil sendiri.
Aku rasa itu mempermudah semuanya, aku berkata mengolok Travis.

Tidak lucu, Pidge.


Pidge? Parker bertanya.
Itu adalah ehm...kependekan dari Pigeon. Hanya nama panggilan, aku bahkan tak tahu mengapa dia
memanggilku begitu, jawabku. Itu adalah pertama kalinya aku merasa aneh dengan nama yang Travis berikan
padaku di malam pertama kita bertemu.
kau harus menceritakannya padaku kalau sudah tahu alasannya. Kedengarannya menarik, Parker tersenyum.
Selamat malam, Abby.
Maksudmu selamat pagi? kataku, memperhatikan dia yang berjalan cepat menuruni tangga.
Itu juga, dia menjawab sambil tersenyum manis.
Travis membanting pintu, aku harus menarik kepalaku ke belakang sebelum pintunya mengenai wajahku.
Apa? aku membentaknya.
Travis menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju kamarnya. Aku mengikutinya, lalu melompat dengan
satu kaki untuk membuka sepatuku. Dia cowok yang baik, Trav.
Dia menghela nafas dan berjalan ke arahku. kau akan menyakiti dirimu sendiri, dia berkata sambil
mengaitkan satu lengannya di pinggangku dan menarik lepas sepatuku dengan lengan satunya. Dia
melemparkan sepatu itu ke dalam lemari, lalu membuka bajunya dan berjalan menuju tempat tidur.
Aku membuka ritsleting pakaianku dan menggoyangkannya turun dari pinggulku, lalu menendangnya ke pojok
kamar. Aku memasukan kaos ke kepalaku, lalu melepas bra-ku, menariknya keluar melalui lengan bajuku.
Ketika aku mengikat rambutku, aku menyadari dia menatapku.
Aku yakin tidak ada yang aku punya yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Aku berkata sambil memutar
mataku. Aku meluncur ke dalam selimut dan berbaring di atas bantalku, meringkuk seperti bola. Dia membuka
ikat pinggangnya dan menarik lepas celana jinsnya.
Aku menunggu sementara dia diam berdiri sesaat. Aku membelakanginya, membuatku penasaran apa yang
sedang dia lakukan, berdiri di samping tempat tidur dengan diam. Tempat tidur menjadi cekung saat dia
merangkak naik, dan aku menegang ketika dia menaruh tangannya di atas pinggulku.
Aku tidak ikut bertarung malam ini, dia berkata. Adam menelepon, tapi aku tidak datang.
Kenapa? aku bertanya, berbalik menghadapnya.
Aku ingin memastikan kau pulang ke rumah.
Aku mengerutkan hidungku. kau tidak harus menjagaku.
Dia membelai lenganku dengan jarinya, mengirimkan getaran ke punggungku. Aku tahu. Kupikir aku hanya
masih merasa tidak enak dengan kejadian tempo hari.
Aku sudah bilang aku tidak peduli.
Dia bersandar di atas dua sikunya, ada rasa ragu di wajahnya. Apakah itu sebabnya kau tidur di kursi? Karena

kau tidak peduli?


Aku tidak bisa tidur setelah...temanmu pulang.
kau tidur nyenyak di kursi. Kenapa kau tidak bisa tidur denganku?
Maksudmu di samping pria yang baunya seperti dua lalat bar yang baru saja kau suruh pulang? Aku tidak
tahu. Betapa egoisnya aku!
Travis meringis. Aku sudah bilang aku menyesal.
Dan aku sudah bilang aku tidak peduli. Aku berkata dan berbalik membelakanginya.
Beberapa saat berlalu dalam hening. Dia menyelipkan tangannya di atas bantalku dan menaruh tangannya di
atas tanganku. Dia mengelus kulit halus di antara jariku dan mencium rambutku. Aku takut kau tidak akan
pernah bicara padaku lagi...tapi kupikir ini lebih buruk karena ternyata kau tidak peduli.
Aku menutup mataku. Apa yang kau inginkan dariku, Travis? kau tak ingin aku marah atas perbuatanmu, tapi
kau ingin aku peduli. kau mengatakan pada America kalau kau tak ingin berkencan denganku, tapi kau jadi
sangat kesal ketika aku mengatakan hal yang sama padanya, kau pergi dan mabuk. Alasanmu tidak masuk di
akal.
Itukah sebabnya kau mengatakan hal itu pada America? Karena aku berkata tidak ingin berkencan
denganmu?
Gigiku mengatup. Dia baru saja mengatakan padaku bahwa dia mengira aku sedang mepermainkan dirinya.
Aku memberikan jawaban yang paling tegas yang dapat aku pikirkan. Tidak, aku serius dengan apa yang aku
katakan. Aku tidak bermaksud menyinggungmu.
Travis menghela nafas. Aku mengatakan itu hanya karena... dia menggaruk rambut pendeknya dengan
gugup, Aku tak ingin menghancurkan semua yang ada, Pigeon. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya
menjadi seseorang yang pantas untukmu. Aku hanya mencoba membuat itu semua berjalan dengan baik di
kepalaku.
Apapun maksudnya itu. Aku harus tidur. Aku ada kencan nanti malam.
Dengan Parker? dia bertanya, kemarahan menyusup di nada suaranya.
Ya. Bisakah aku tidur sekarang?
Tentu saja, jawabnya sambil mendorong tubuhnya berdiri dari tempat tidur dan membanting pintu di
belakangnya. Kursi malas mendecit karena berat badannya lalu suara samar dari tv terdengar di seluruh
ruangan. Aku memaksa mataku untuk tertutup dan berusaha tenang agar tidur sebentar, meskipun hanya untuk
beberapa jam.
Jam menunjukan jam tiga sore ketika aku membuka mataku. Aku mengambil handuk dan jubahku lalu berjalan
dengan susah payah menuju kamar mandi. Sesaat setelah aku menutup tirai mandi, pintu terbuka lalu menutup.
Aku menunggu beberapa saat untuknya bicara, tapi satu-satunya suara adalah suara tutup toilet membentur
porselen.
Travis?
Bukan, ini aku, America menjawab.

Apa kau harus pipis di sini? kau kan punya kamar mandi sendiri.
Shep berada di kamar mandi sudah hampir setengah jam karena bir yang dia minum. Aku tidak akan masuk
kesana.
Bagus.
Aku dengar kau ada kencan malam ini. Travis sangat marah! dia terdengar senang.
Jam enam nanti! Dia sangat manis, America. Dia sangat... aku terdiam, menghela nafas. Aku tak bisa
mengontrol diriku dan aku biasanya tidak seperti ini. Aku terus memikirkan betapa sempurnanya dia sejak
pertama kita bertemu. Dialah pria yang aku butuhkan, sangat bertolak belakang dengan Travis.
Membuatmu tidak bisa berkata apa-apa? dia terkekeh.
Kepalaku keluar dari balik tirai mandi. Aku tidak ingin pulang! Aku bisa bicara dengannya selamanya!
Kedengarannya menjanjikan. Tapi bukannya sangat aneh kau berada di sini akhirnya?
Aku menunduk di bawah pancuran air, menghilangkan semua busa. Aku telah menjelaskan semua padanya.
Toilet disiram dan kran menyala, membuat air menjadi dingin sesaat. Aku menjerit lalu pintu terbuka.
Pidge? Travis memanggil.
America tertawa. Aku hanya menyiram toilet, Trav, tenanglah.
Oh. kau tidak apa-apa, Pigeon?
Aku tidak apa-apa. Keluar. Pintu tertutup lagi dan aku mengela nafas. Apakah terlalu berlebihan untuk
meminta memasang kunci di pintu? America tidak menjawab. Mare?
Sangat disayangkan kalian berdua tidak bisa bersama. kau satu-satunya wanita yang bisa... dia mendesah.
Lupakanlah. Itu bukan masalah, sekarang.
Aku mematikan air dan membungkus tubuhku dengan handuk. kau sama buruknya dengan dia. Itu
membuatku muak. Tidak ada seorangpun disini yang masuk akal. kau kesal padanya kan, ingat?
Aku tahu, dia mengangguk.
***
Aku menyalakan hair dryer baruku dan mulai berdandan untuk kencanku dengan Parker. Aku mengeriting
rambutku, memoles kuku dan bibirku dengan warna merah tua. Itu memang sedikit berlebihan untuk kencan
pertama. Aku mengerutkan dahi pada diriku sendiri. Bukan Parker yang ingin aku buat terkesan.
Bagaimanapun aku tidak dalam posisi untuk merasa tersinggung ketika Travis menuduhku
mempermainkannya.
Melihat sekali lagi pada cermin, rasa bersalah melandaku. Travis berusaha terlalu keras dan aku seperti anak
bandel keras kepala. Aku melangkah keluar ke ruang tamu dan Travis tersenyum, bukan reaksi yang aku
harapkan sama sekali.

kau...sangat cantik.
Terima kasih, jawabku, bingung karena tidak ada rasa terganggu atau rasa cemburu dalam suaranya.
Shepley bersiul. Pilihan yang bagus, Abby. Cowok suka warna merah.
Dan rambut kritingnya sangat indah, America menambahkan.
Bel pintu berbunyi dan America tersenyum, melambai dengan rasa senang yang berlebihan. Selamat
bersenang-senang!
Aku membuka pintu. Parker memegang satu karangan kecil bunga, dia memakai celana panjang dan dasi.
Matanya melihat pada gaun dan sepatuku lalu kembali ke wajahku.
kau adalah makhluk paling cantik yang pernah kulihat, dia berkata, terpesona.
Aku melihat ke belakang untuk melambai pada America yang sedang tersenyum sangat lebar sehingga aku bisa
melihat semua giginya. Ekspresi Shepley seperti seorang ayah yang bangga pada anak perempuannya, dan
Travis tidak melepaskan pandangannya dari tv.
Parker mengulurkan tangannya, menuntunku ke mobil Porsche-nya yang mengkilap. Setelah kami di dalam
mobil, dia menghembuskan nafasnya.
Kenapa? aku bertanya.
Aku harus bilang, aku sedikit gugup menjemput wanita yang membuat Travis Maddox jatuh cinta...dari
apartemennya. kau tak tahu berapa banyak orang yang mengira aku gila hari ini.
Travis tidak jatuh cinta padaku. Dia hampir tidak pernah tahan berada di dekatku kadang-kadang.
Kalau begitu itu hubungan cinta tapi benci? Karena ketika aku menceritakan pada teman-temanku bahwa aku
mengajakmu kencan malam ini, mereka mengatakan hal yang sama. Kelakuan Travis tidak menentu bahkan
lebih dari biasanya mereka semua menyimpulkan hal yang sama.
Mereka salah. Aku bersikeras.
Parker menggelengkan kepalanya karena aku benar-benar tidak mengerti maksudnya. Dia memegang
tanganku. Sebaiknya kita pergi. Aku sudah memesan tempat.
Di mana?
Biasetti. Aku berinisiatif...aku harap kau suka masakan Italia."
Aku mengangkat satu alisku. Bukankah itu waktu yang singkat untuk melakukan reservasi, tempat itu selalu
penuh.
Well...itu adalah restoran keluargaku. Separuhnya.
Aku suka masakan Italia, aku tersenyum.
***
Parker menyetir ke restoran dengan kecepatan minimal yang sama, memakai lampu sein ketika berbelok dan

memelankan laju mobilnya di saat lampu kuning. Ketika kita bicara, dia sama sekali tidak memalingkan
pandangannya dari jalan. Ketika kita tiba di restoran, aku cekikikan.
Kenapa? dia bertanya.
kau...supir yang sangat berhati-hati. Itu adalah hal yang bagus.
Berbeda dengan duduk di belakang motornya Travis? dia tersenyum.
Aku seharusnya tertawa, namun perbedaanya tidak terasa seperti hal yang bagus. Jangan membahas tentang
Travis malam ini. Ok?
Baiklah, dia menjawab, meninggalkan kursinya untuk membukakan pintu untukku.
Kita langsung mendapat tempat duduk di meja yang besar dekat jendela. Meskipun aku memakai gaun, aku
merasa jauh berbeda dibandingkan dengan para wanita yang ada di restoran. Mereka memakai berlian dan
cocktail dress. Aku belum pernah makan di tempat manapun yang semegah ini.
Kita telah memesan makanan, Parker menutup buku menu lalu tersenyum pada pelayannya. Dan tolong
bawakan kami sebotol Allergrini Amarone.
Baiklah, sir, kata pelayan sambil mengambil buku menu kami.
Tempat ini sangat indah, aku berbisik sambil mecondongkan tubuhku ke arah meja.
Mata hijaunya melembut. Terima kasih, aku akan memberitahu ayahku kau bilang begitu.
Seorang wanita mendekati meja kami. Rambutnya dsanggul kecil dengan rapi, sanggul perancis berwarna
pirang, satu garis abu-abu mengganggu poninya yang berombak halus. Aku mencoba untuk tidak menatap
pada perhiasan yang ada di leher, atau yang berayun ke depan dan kebelakang di telinganya, tapi semua
perhiasan itu dibuat untuk di perhatikan. Mata birunya yang sipit tertuju ke arahku.
Lalu dengan cepat dia menatap ke arah teman kencanku. Siapa temanmu ini, Parker?
Ibu, ini adalah Abby Abernathy. Abby ini adalah ibuku, Vivienne Hayes.
Aku mengulurkan tangan dan dia menggenggamnya sekali. Dengan gerakan yang sudah terlatih, rasa tertarik
palsu menyala di wajahnya yang berfitur tajam, lalu melihat ke arah Parker. Abernathy?
Aku menelan ludah, khawatir dia mengenal nama itu.
Ekspresi Parker menjadi tidak sabar. Dia berasal dari Wichita, bu. Ibu tidak mengenal keluarganya. Dia kuliah
di Eastern.
Oh? Vivienne menatap ke arahku lagi. Parker akan kuliah di Harvard tahun depan.
Itu yang dia bilang padaku. Kupikir itu hebat. Anda pasti bangga padanya.
Ketegangan di sekitar matanya sedikit menghilang, dia sedikit tersenyum. Kami memang bangga.
Terimakasih.
Aku sangat terkesan dengan kata-katanya yang halus namun sedikit menyinggung. Itu bukan keterampilan
yang dapat dipelajari hanya dalam satu malam. Mrs. Hayes pasti telah bertahun-tahun menunjukan

kehebatannya pada orang lain.


Sangat senang bertemu denganmu, Ibu. Selamat malam. Ibunya mencium pipi Parker, lalu menghapus noda
lipstick dengan ibu jarinya kemudian kembali ke mejannya. Maaf, aku tak tahu dia akan berada di sini.
Tidak apa-apa. Dia kelihatannya...baik.
Parker tertawa. Ya, untuk seekor piranha. Aku menahan tawaku dan dia tersenyum minta maaf.
Dia akan terbiasa. Hanya butuh waktu.
Semoga pada saat kau pergi ke Harvard.
Kami berbincang tanpa henti tentang makanan, Eastern, Kalkulus, dan bahkan tentang The Circle (ring
Pertarungan). Parker sangat menawan, lucu, dan selalu mengatakan kata yang tepat. Beberapa orang mendekat
untuk menyapa Parker, dan dia selalu memperkenalkan diriku dengan senyuman bangga. Dia seperti selebriti
di dalam restoran, dan ketika kami pergi, aku merasakan pandangan menilai dari semua orang.
Mau kemana lagi kita? aku bertanya.
Sayangnya aku ada ujian tengah semester mata kuliah Anatomi Vetebrata hari senin pagi. Aku harus belajar,
dia berkata sambil memegang tanganku.
Memang sebaiknya kau belajar, kataku, berusaha tidak terlihat terlalu kecewa.
Dia mengantarku ke apartemen, dan menuntun tanganku ke tangga.
Terimakasih, Parker, aku tersenyum. Aku sangat senang malam ini.
Apakah terlalu cepat untuk mengajakmu kencan kedua?
Tidak sama sekali, aku berseri-seri.
Aku akan meneleponmu besok?
Kedengarannya sempurna.
Lalu ada keheningan yang canggung. Elemen dari berkencan yang aku takutkan. Harus mencium atau tidak,
aku benci pertanyaan itu.
Sebelum aku sempat untuk mencari tahu apa dia akan menciumku atau tidak, dia memegang kedua sisi
wajahku dan menariknya ke arahnya, menekan bibirnya di bibirku. Bibirnya lembut dan hangat dan indah. Dia
melepaskannya sebentar lalu menciumku lagi.
Sampai besok, Abs.
Aku melambai, memperhatikannya turun tangga menuju mobilnya. Bye.
Sekali lagi, ketika aku memutar pegangan pintu, pintu terbuka lebar lalu aku jatuh ke depan. Travis
memegangiku, dan aku berdiri.
kau harus hentikan itu. Aku berkata, menutup pintu di belakangku.

Abs? (otot Perut) Memangnya kau video fitnes? dia mengejek.


Pigeon? aku berkata dengan penghinaan yang sama. Burung yang sangat mengganggu yang membuang
kotoran di trotoar?
kau seperti merpati, dia berkata membela diri. Burung dara, wanita yang menarik, kartu kemenangan dalam
permainan poker, pilih saja sendiri. kau adalah merpatiku.
Aku berpegangan pada tangannya saat melepas sepatuku, lalu melangkah menuju kamarnya. Ketika aku ganti
baju dan memakai piyama, aku berusaha keras untuk tetap marah padanya.
Travis duduk di tempat tidur dan melipat tangannya di dada. Apa kau bersenang-senang?
Ya, menghela nafas, Sangat bersenang-senang. Dia sangat... aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat
yang mampu menggambarkan Parker, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
Dia menciummu?
Aku menggigit bibirku dan mengangguk. Dia memiliki bibir yang sangat lembut.
Travis tersentak. Aku tidak peduli bibir dia seperti apa.
Percayalah padaku, itu sangat penting. Aku merasa gugup pada ciuman pertama, tapi ini tidak terlalu buruk.
kau merasa gugup saat ciuman pertama? dia bertanya, merasa geli.
Hanya pada ciuman pertama. Aku tidak menyukainya.
Aku tidak akan menyukainya juga kalau harus mencium Parker Hayes.
Aku cekikikan dan meninggalkan kamar menuju kamar mandi untuk membersihkan make-up dari wajahku.
Travis mengikuti, bersandar pada kusen pintu. Jadi kalian akan berkencan lagi?
Yup. Dia akan meneleponku besok. Aku mengeringkan wajahku dan berlari menelusuri lorong, melompat ke
tempat tidur.
Travis mebuka celananya sehingga hanya memakai celana boxer, lalu menelungkup membelakangiku. Sedikit
terkulai, terlihat sangat lelah. Otot punggungnya menegang seperti wajahnya, dia melirik ke arahku sekilas.
Jika kalian bersenang-senang, mengapa kau pulang cepat?
Dia ada ujian penting hari senin nanti.
Travis mengerutkan hidungnya. Siapa yang peduli?
Dia berusaha masuk Harvard. Dia harus belajar.
Dia mendengus, menelungkup lagi. Aku melihatnya memasukan tangan ke bawah bantalnya, tampak sedikit
kesal. Ya, itu yang selalu dia pada semua orang.
Jangan jadi menyebalkan. Dia mempunyai prioritas...Kupikir itu bertanggung jawab.
Bukankah harusnya pacarnya menjadi prioritas utama?

Aku bukan pacarnya. Kita baru berkencan satu kali, Trav, aku menggerutu.
Jadi apa saja yang kalian lakukan? Aku menatapnya dengan marah dan dia tertawa. Apa? Aku ingin tahu!
Melihat dia sangat tulus, aku menceritakan semua, dari restoran, makanannya hingga semua hal manis dan
lucu yang Parker ceritakan. Aku tahu aku membeku dengan senyuman bodoh di wajahku namun aku tak dapat
berhenti tersenyum ketika menceritakan malamku yang sempurna.
Travis memandangku dengan senyuman senang ketika aku terus mengoceh, bahkan dia menanyakan beberapa
bertanyaan. Meskipun dia terlihat frustrasi dengan situasi mengenai Parker, aku sangat yakin dia senang
melihatku bahagia.
Travis memperbaiki posisinya di sisi tempat tidurnya, dan menguap. Kami saling memandang beberapa saat
sebelum dia menghela nafas. Aku senang kau bahagia, Pidge. kau berhak untuk itu.
Terima kasih, aku menyeringai. Handphone-ku berbunyi dari atas meja lampu tidur, dan aku tersentak ke
atas untuk melihat layarnya.
Halo?
Ini sudah besok, Parker berkata.
Aku melihat jam dan tertawa. Sekarang jam dua belas malam lewat satu menit. Ya, benar.
Jadi bagaimana kalau hari senin malam? dia bertanya.
Aku menutup mulutku sebentar, lalu menarik nafas yang dalam. Ehm, Ya. Senin malam terdengar bagus.
Bagus. Kita bertemu hari Senin, kata Parker. Aku dapat mendengar senyuman di suaranya.
Aku menutup telepon dan menatap Travis, yang sedang memperhatikanku dengan sedikit kesal. Aku berbalik
membelakanginya dan meringkuk seperti bola, tegang karena terlalu bahagia.
kau seperti anak kecil, Travis berkata, membalik tubuhnya membelakangiku.
Aku memutar mataku lalu menghela nafas.
Dia berbalik lagi, menarikku ke arahnya. kau benar-benar menyukai Parker?
Jangan mengacaukannya, Travis!
Dia menatapku sebentar lalu menggelengkan kepalanya dan berbalik lagi.
Parker Hayes, dia mendengus.
***
Kencan pada Senin malam melebihi semua harapanku. Kami makan makanan Cina sambil aku cekikikan
melihat keterampilan Parker memakai sumpit. Ketika dia mengantarku pulang, Travis membuka pintu sebelum
Parker menciumku. Ketika kami pergi berkencan lagi pada Rabu malam, Parker memastikan untuk menciumku
di dalam mobil.
Hari Kamis saat makan siang, Parker menemuiku di kafetaria dan mengejutkan semua orang ketika dia duduk
di tempat duduk Travis. Ketika Travis selesai merokok dan kembali ke dalam, dia melewati Parker dengan rasa

tidak peduli, kemudian duduk di kursi di ujung meja. Megan mendekatinya, namun segera kecewa ketika
Travis mengusirnya. Semua orang yang duduk satu meja dengannya menjadi diam setelah itu, dan aku merasa
sangat sulit untuk fokus pada semua yang Parker katakan.
"Aku anggap aku tidak diundang, Parker berkata, mendapat perhatianku.
Apa?
Aku dengar hari Minggu pesta ulang tahunmu. Aku tidak diundang?
America melirik pada Travis yang sedang menatap tajam ke arah Parker, dia tampak seperti ingin memotongmotongnya.
Itu seharusnya pesta kejutan, Parker. kata America pelan.
Oh, kata Parker, meringis.
Kau mengadakan pesta kejutan untukku? aku bertanya pada America.
Dia mengangkat bahu. Itu idenya Travis. Di rumah Brazil hari minggu. Jam enam.
Pipi Parker memerah. Aku rasa aku sekarang benar-benar tidak akan diundang.
Tidak! Tentu saja kau diundang! aku menjawab, sambil memegang tangannya di atas meja. Dua belas pasang
mata mengarah ke tangan kami. Aku dapat melihat Parker sama sepertiku merasa tidak nyaman dengan
perhatian itu, jadi aku melepaskan peganganku lalu menarik tangan ke pangkuanku.
Parker berdiri. Aku punya beberapa urusan yang harus aku kerjakan sebelum masuk kelas. Aku akan
meneleponmu nanti.
Baiklah, kataku, memberinya senyuman minta maaf.
Parker mencondongkan tubuhnya di atas meja dan kemudian mencium bibirku. Seluruh kafetaria terdiam, dan
America menyikutku setelah Parker pergi.
Tidakkah menakutkan bagaimana cara semua orang menatapmu? dia berbisik. Dia melirik sekilas ke
sekeliling ruangan sambil mengerutkan dahinya. Apa? America berteriak. Urus urusan kalian sendiri, dasar
mesum! Satu per satu berpaling dan mereka saling berbisik.
Aku menutup mataku dengan tangan. kau tahu, sebelumnya aku sangat menyedihkan dikira sebagai kekasih
Travis yang terlalu polos. Sekarang aku dikira jahat karena semua orang berpikir aku mempermainkan Travis
dan Parker seperti bola ping pong. Ketika America tidak berkomentar, aku melihat padanya. Apa? Jangan
bilang kau juga percaya gosip itu!
Aku tidak mengatakan apa-apa! dia berkata.
Aku menatapnya tidak percaya. Tapi itu yang kau pikirkan kan?
America menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak berbicara. Tatapan dingin dari mahasiswa lain tiba-tiba
terasa sangat jelas lalu aku berdiri, melangkah ke ujung meja.
Kita harus bicara, kataku, menepuk bahu Travis. Aku berusaha terdengar sopan, tapi rasa marah bergejolak
di dadaku. Semua mahasiswa, termasuk sahabatku, berpikir aku telah mempermainkan dua pria. Hanya ada

satu solusi. Bicaralah, Travis menjawab sambil memasukan sesuatu yang dibungkus tepung dan di goreng
ke dalam mulutnya.
Aku gelisah, merasakan tatapan penasaran semua orang yang berusaha mendengarkan. Ketika Travis tetap
tidak bergerak, aku meraih tangannya dan menariknya dengan keras. Dia berdiri dan mengikutiku keluar
dengan seringai di wajahnya.
Ada apa, Pidge? dia bertanya, melihat ke arah tanganku yang memegang tangannya lalu menatapku.
Kau harus membebaskanku dari taruhan ini. Aku memohon.
Wajahnya tampak kecewa. kau ingin pergi? Kenapa? Apa yang telah aku lakukan?"
Kau tidak melakukan apapun, Trav. Tidakkah kau menyadari tatapan semua orang? Aku menjadi sampah
masyarakat di Universitas Eastern.
Travis menggelengkan kepalanya lalu menyalakan rokok. Bukan masalahku.
Itu masalahmu juga, Parker bilang semua orang berpikir dia punya keinginan untuk mati karena kau jatuh
cinta padaku.
Alis Travis terangkat dan dia tersedak asap rokok yang baru saja dia hembuskan. Semua orang mengatakan
itu? dia bertanya sambil batuk.
Aku mengangguk. Dia berpaling dengan mata yang terbelalak, menghisap rokoknya lagi.
Travis! kau harus membebaskanku dari taruhan ini! Aku tidak bisa berkencan dengan Parker dan tetap tinggal
denganmu pada saat yang sama. Itu terlihat mengerikan!
Jadi, berhentilah berkencan dengan Parker.
Aku menatapnya. Bukan itu masalahnya, dan kau tahu itu.
Apa hanya itu alasan kau ingin pergi? Karena apa yang semua orang katakan?
Setidaknya dulu aku dikira polos dan kau sebagai orang jahatnya, aku menggerutu.
Jawab pertanyaanya, Pidge.
Ya, hanya itu!
Travis memperhatikan semua mahasiswa yang masuk dan pergi dari kafetaria. Dia sedang mempertimbangkan,
dan aku sudah tidak sabar ketika dia berlama-lama dalam mengambil keputusan.
Akhirnya, dia berdiri tegak, memutuskan. Tidak.
Aku menggelengkan kepalaku, yakin bahwa aku salah dengar. Maaf, apa?
Tidak mau. kau sendiri bilang taruhan adalah taruhan. Setelah satu bulan habis, kau akan bersama Parker, dia
akan menjadi dokter, kalian akan menikah dan memiliki anak dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu
lagi. Dia meringis pada kata-katanya sendiri. Aku masih punya tiga minggu. Aku tidak akan
menyerahkannya hanya karena gosip pada waktu makan siang.

Aku memandang ke arah jendela kaca dan melihat semua orang di kafetaria memperhatikan kami. Perhatian
yang tidak diinginkan membuat mataku berkaca-kaca. Aku menabrak bahunya Travis sambil berjalan menuju
kelasku berikutnya.
Pigeon, Travis memanggilku.
Aku tidak berpaling.
***
Malam itu, America duduk di lantai kamar mandi, mengoceh tentang Travis dan Shepley ketika aku sedang
berdiri di depan cermin sambil mengikat rambutku. Aku tidak terlalu mendengarkan, memikirkan betapa telah
sabarnya Travispadahal Travismengetahui dia tidak menyukai Parker yang selalu menjemputku dari
apartmentnya setiap malam.
Ekspresi wajahnya Travis terlintas di pikiranku ketika aku memintanya untuk melepaskanku dari taruhan ini,
lalu ketika aku bilang semua orang berpikiran kalau dia jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa berhenti berpikir
mengapa dia tidak membantahnya.
Well, Shep berpikir kau terlalu keras pada Travis. Dia sebelumnya tidak pernah punya seseorang yang sangat
dia sayangi untuk,
Kepala Travis muncul di pintu lalu tersenyum ketika melihatku kesulitan mengatur rambutku. Mau makan
malam? dia bertanya.
America berdiri dan melihat dirinya di cermin, menyisirkan tangannya pada rambut keemasannya. Shep ingin
makan di restoran makanan Mexico baru di kota jika kalian ingin pergi.
Travis menggelengkan kepalanya. Aku pikir aku dan Pidge akan pergi berdua saja malam ini.
Aku ada kencan dengan Parker.
Lagi? dia bertanya dengan kesal.
Lagi, jawabku dengan suara seperti sedang bernyanyi.
Bel pintu berbunyi, dan aku bergegas untuk membuka pintu melewati Travis. Parker berdiri di depanku,
rambut pirang berombaknya tertata rapi diatas wajahnya yang tercukur bersih.
Apa kau pernah kelihatan tidak cantik? Parker bertanya.
Berdasarkan penampilan dia waktu pertama kali datang kemari, aku akan bilang pernah, Travis menjawab
dari belakang.
Aku memutar mataku dan tersenyum, mengangkat jariku untuk memberi signal pada Parker agar menunggu
sebentar. Aku berbalik dan memeluk Travis. Dia membeku karena terkejut lalu kembali tenang, menarikku ke
arahnya dan memeluku dengan erat.
Aku menatap matanya dan tersenyum. Terima kasih sudah mempersiapkan pesta ulang tahun untukku.
Bisakah kita atur ulang jadwal untuk pergi makan malamnya?
Berbagai emosi terlihat di wajahnya, lalu dia tersenyum. Besok?

Aku memeluknya erat dan tersenyum. Boleh. Aku melambaikan tanganku padanya saat Parker memegang
tanganku.
Tentang apa itu? Parker bertanya.
Belakangan ini kami tidak akur. Jadi itu adalah caraku untuk berdamai.
Haruskah aku khawatir? dia bertanya sambil membuka pintu mobil untukku.
Tidak. Aku tersenyum, mencium pipinya.
***
Saat makan malam, Parker membicarakan tentang Harvard, The House, dan rencananya untuk mencari
apartment. Alisnya di tarik. Apakah Travis akan pergi bersamamu ke pesta ulang tahunmu?
Aku tak tahu. Dia belum mengatakan apa-apa tentang itu.
Jika dia tidak keberatan, aku ingin menjemputmu. Dia mengambil tanganku dan mencium jari-jariku.
Aku akan bertanya padanya. Pesta itu kan idenya, jadi
Aku mengerti. Jika tidak bisa, kita akan bertemu di sana saja. Dia tersenyum.
Parker mengantarku ke apartment, memperlambat mobilnya untuk berhenti di tempat parkir. Ketika dia
memberiku ciuman perpisahan, bibirnya berlama-lama menciumku. Dia menarik rem tangan ketika bibirnya
menelusuri rahangku menuju telingaku, dan setengah kebawah leherku. Itu membuatku lengah dan aku
membiarkan desahan lembut keluar dari mulutku.
kau sangat cantik, dia berbisik. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi sepanjang malam, karena rambutmu
yang diikat memperlihatkan lehermu. Dia menghujani leherku dengan ciuman dan aku menarik nafas,
erangan keluar bersamaan dengan nafasku.
Apa yang membuatmu begitu lama? aku tersenyum, mengangkat daguku untuk lebih memberinya jalan agar
bisa menciumku.
Parker fokus pada bibirku. Dia memegang kedua sisi wajahku, menciumku lebih kuat daripada biasanya. Kita
tidak memiliki banyak ruang di dalam mobil, tapi kita berhasil membuat sedikit ruang yang ada menjadi
keuntungan untuk kita. Dia bersandar padaku, aku menekuk lututku ketika jatuh ke arah jendela. Lidahnya
menyusup ke dalam mulutku, dan tangannya memegang mata kakiku lalu menarik keatas kaki dan pahaku.
Jendela menjadi beruap dalam beberapa menit karena nafas hangat kami yang terengah-engah, menempel di
jendela yang dingin. Bibirnya menelusuri tulang leherku, lalu tersentak ketika kaca bergetar karena beberapa
pukulan keras.
Parker kemudian duduk dan aku memperbaiki posisiku dan merapikan bajuku. Aku terloncat ketika pintu
terbuka. Travis dan America berdiri di samping mobil. America mengernyit simpatik, dan Travis tampak
seperti terbang ke dalam kemarahan yang sangat besar.
Apa yang kau lakukan, Travis? Parker membentak.
Situasi tiba-tiba terasa sangat berbahaya. Aku belum pernah mendengar Parker meninggikan suaranya, ibu jari
Travis menjadi putih pucat karena dia mengepalkan tinju di samping tubuhnyadan aku menghalanginya.

Tangan America terlihat sangat kecil ketika menyentuh tangan Travis yang besar, menggelengkan kepalanya
untuk memberi signal pada Parker agar diam.
Ayo, Abby. Aku perlu bicara denganmu, America berkata.
Tentang apa?
Ayo, ikut saja! dia membentak.
Aku menatap Parker, melihat rasa kesal di matanya. Maafkan aku, tapi aku harus pergi.
Tidak apa-apa, silahkan pergi.
Travis membantuku keluar dari mobil, lalu menendang pintu hingga tertutup. Aku berputar dan berdiri diantara
mobil dan Travis, mendorong bahunya. Ada apa denganmu? Hentikan!
America tampak gugup. Tidak butuh lama untuk mengerti mengapa dia merasa gugup. Travis berbau whiskey;
dia telah memaksa untuk menemani Travis atau Travis yang meminta America untuk menemaninya.
Bagaimanapun itu dia menjadi pencegah terjadinya kekerasan.
Suara ban mobil Porsche Parker yang mengkilap berdecit ketika keluar dari tempat parkir, lalu Travis
menyalakan rokok. kau boleh pergi sekarang, Mare.
America menarik rokku. Ayo, Abby.
kau di sini saja, Abs, dia mendesis marah.
Aku mengangguk pada America agar dia masuk duluan dan dengan enggan dia menurut. Aku melipat tanganku
siap untuk pertengkaran, siap untuk mencaci makinya setelah pelajarannya yang tak terelakkan. Travis
menghisap rokoknya beberapa kali, dan ketika terlihat jelas dia tidak akan menjelaskan, kesabaranku habis.
Kenapa kau melakukan itu? aku bertanya.
Kenapa? Karena dia melecehkanmu di depan apartemenku! dia berteriak. Matanya tidak fokus dan aku dapat
melihat dia tidak mampu melakukan percakapan yang rasional.
Aku menahan suaraku agar tetap tenang. Aku memang tinggal denganmu, tapi apa yang aku lakukan dan
dengan siapa aku melakukannya adalah urusanku.
Dia membuang rokoknya ke tanah. kau lebih baik dari itu, Pidge. Jangan biarkan dia menidurimu di mobil
seperti kencan pesta dansa murahan.
Aku memang tidak akan berhubungan seks dengannya!
Dia menunjuk ke arah tempat parkir kosong tempat mobil Parker parkir tadi. Kalau begitu apa yang kau
lakukan tadi?
Apakah kau tidak pernah bercumbu dengan seseorang, Travis? Tidak pernahkah kau melakukannya tanpa
membiarkannya terlalu jauh.
Dia mengererutkan dahi dan menggelengkan kepalanya seolah-olah aku bicara dengan bahasa yang tak di
mengerti. Apa enaknya melakukan itu?

Konsep itu ada untuk semua orangterutama mereka yang berkencan.


Jendela menjadi beruap, mobil bergerak naik turun...bagaimana mungkin aku tahu? dia berkata,
melambaikan tangannya ketempat parkir yang telah kosong.
Mungkin seharusnya kau tidak memata-mataiku!
Dia mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya lagi. Aku tidak tahan lagi, Pigeon. Aku rasa aku akan
menjadi gila.
Aku memukul pahaku. kau tidak tahan apa?
Jika kau tidur dengannya, aku tidak ingin tahu tentang itu. Aku akan masuk penjara sangat lama kalau aku
tahupokoknya jangan beritahu aku.
Travis, aku mendesis marah. Aku tidak percaya kau bicara seperti itu! Itu adalah langkah yang sangat besar
untukku!
Itu yang semua wanita katakan!
Maksudku bukan semua pelacur yang berhubungan denganmu! Tapi aku! aku berkata sambil menunjuk
dadaku.
Aku belum pernah...aahh! Lupakan. Aku melangkah pergi darinya, tapi dia menarik tanganku, memutarku
sehingga berhadapan dengannya.
Kau belum pernah apa? dia bertanya. Aku tidak menjawabaku tidak harus menjawab. Aku dapat melihat
penghargaan menyala di wajahnya lalu dia tertawa sekali. kau masih perawan?
Lalu kenapa kalau aku masih perawan? kataku, darah terbakar di pipiku.
Matanya terhanyut dari mataku, tidak fokus seakan berpikir melalui whiskeynya.
Jadi itu yang membuat America yakin tidak akan terjadi apa-apa.
Aku punya satu orang pacar yang sama selama empat tahun di SMA. Dia calon pendeta pembaptisan remaja!
Itu tidak pernah terpikirkan!
Kemarahan Travis lenyap, digantikan oleh perasaan lega di matanya. Calon Pendeta? Apa yang terjadi setelah
semua pantangan itu?
Dia ingin menikah dan menetap di Kansas. Aku tidak mau itu. Aku sangat ingin mengganti topik
pembicaraan. Rasa senang di mata Travis sudah cukup memalukan. Aku tidak ingin dia menggali terlalu jauh
masa laluku.
Dia mengambil satu langkah ke hadapanku dan memegang kedua sisi wajahku. Perawan, dia berkata,
menggelengkan kepalanya. Aku tidak akan pernah mengira mengingat caramu berdansa di The Red.
Sangat lucu, aku berkata, menginjak tangga.
Travis bermaksud mengikutiku, namun dia terpeleset dan jatuh, terguling lalu tertawa histeris.
Apa yang kau lakukan? Berdiri! kataku, membantunya berdiri.

Dia mengaitkan tangannya di leherku, dan aku membantunya naik ke atas. Shepley dan America sudah tertidur,
jadi dengan tidak adanya bantuan lain, aku menendang sepatu hak tinggiku untuk menghindari mematahkan
pergelangan kakiku ketika menuntun Travis ke tempat tidur. Dia jatuh telentang ke tempat tidur, menarikku
jatuh bersamanya.
Ketika kita mendarat di tempat tidur, wajahku hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya. Ekspresinya tibatiba menjadi serius. Dia mendekat, hampir menciumku, namun aku mendorongnya. Alis Travis mengkerut.
Hentikan, Trav, kataku.
Dia memelukku dengan erat sampai aku berhenti meronta, lalu dia melepaskan tali gaunku, sehingga
menggantung lepas di bahuku. Sejak kata perawan keluar dari bibir indahmuaku tiba-tiba punya dorongan
kuat untuk menolongmu membuka gaun itu.
Well, sayang sekali. kau siap membunuh Parker karena hal yang sama dua puluh menit yang lalu, jadi jangan
munafik.
Persetan dengan Parker. Dia tidak mengenalmu seperti aku.
Ayolah, Trav. Kita buka bajumu lalu pergi tidur.
Itu yang aku pikirkan. Dia tergelak.
Berapa banyak yang kau minum? aku bertanya, menempatkan kakiku di antara kakinya.
Cukup, dia tersenyum sambil menarik-narik ujung gaunku.
Kau mungkin telah melewati kata cukup satu gallon yang lalu, kataku, menepiskan tangannya. Aku berlutut
di tempat tidur di sampingnya, lalu menarik lepas kaosnya dari atas kepalanya. Dia meraihku lagi dan aku
memegang pergelangan tangannnya, mencium bau tajam di udara. Ya Tuhan, Trav, kau bau Jack Daniels.
Jim Beam, dia mengoreksi sambil mengangguk mabuk.
Baunya seperti kayu terbakar dan bahan kimia.
Rasanya juga seperti itu, dia tertawa. Aku membuka dan menarik ikat pinggangnya hingga lepas. Dia tertawa
sambil bangun lalu mengangkat kepalanya ke arahku. Sebaiknya jaga keperawananmu, Pidge. kau tahu aku
suka yang kasar.
Diamlah, kataku, membuka kancing celana jinsnya, membukanya melewati pinggangnya lalu
melepaskannya dari kakinya. Aku melempar celana jinsnya ke lantai lalu berdiri dengan tangan di pinggang,
terengah-engah. Kakinya menggantung di ujung tempat tidur, matanya tertutup, dan dia bernafas dalam dan
berat. Dia telah pingsan.
Aku menarik nafas panjang lalu melangkah menuju lemari, menggoyangkan kepalaku saat menggeledah baju
kami. Aku membuka ritsleting gaunku, mendorongnya turun dari pinggangku, membiarkannya jatuh di kakiku.
Menendangnya ke pojok, aku menarik lepas ikat rambutku, dan mengibaskan rambutku.
Lemarinya penuh oleh bajuku dan baju Travis, aku menghembuskan nafas, meniup rambut dari wajahku saat
mencari kaosku di antara barang yang berantakan di dalam lemari. Saat aku menarik satu kaos lepas dari
gantungannya, Travis menabrakku dari belakang, memeluk pinggangku.

kau membuatku sangat terkejut! aku mengeluh.


Dia menulusuri kulitku dengan jarinya. Aku merasa itu sangat berbeda; pelan dan sangat hati-hati. Aku
menutup mataku ketika dia menarikku ke arahnya dan memendamkan wajahnya di rambutku, mengendus
leherku. Merasakan kulitnya yang telanjang di kulitku, itu membutuhkan beberapa saat untuk protes.
Travis...
Dia menarik rambutku ke satu sisi dan menyeret bibirnya di punggungku dari satu bahuku ke bahu lainnya,
melepas ikatan bra ku. Dia mencium kulit telanjang di bawah leherku dan aku memejamkan mataku,
kehangatan lembut mulutnya terasa begitu nikmat untuk membuatnya berhenti. Erangan lembut keluar dari
tenggorokannya ketika dia menekan tulang pinggulnya padaku, dan aku bisa merasakan betapa dia sangat
menginginkanku melalui celana boxernya. Aku menahan nafasku, mengetahui satu-satunya yang menghalangi
kita dari langkah besar yang aku tolak beberapa waktu sebelumnya adalah dua potong kain tipis.
Travis memutarku menghadapnya, dan menekan tubuhku, menyandarkanku di dinding. Mata kita saling
memandang, dan aku bisa melihat rasa sakit di wajahnya saat dia mengamati kulit telanjangku. Aku telah
melihat dia mendekati wanita sebelumnya, namun ini berbeda. Dia tidak ingin menaklukkanku; dia hanya
ingin aku berkata ya.
Dia mendekat untuk menciumku, berhenti ketika berjarak beberapa inchi. Aku dapat merasakan panas kulitnya
memancar di bibirku, dan aku harus menghentikan diriku untuk tidak menariknya selama ini berlangsung. Dia
tidak tergesa-gesa saat menyentuh kulitku lebih dalam, lalu tangannya melucur dari punggung ke lipatan
celana dalamku. Jari telunjuknya turun ke pinggangku, masuk diantara kulit dan celana rendaku, pada saat
yang sama ketika dia akan memasukan telapak tangannya yang halus diantara kakiku, dia menjadi ragu-ragu.
Ketika aku hampir membuka mulutku untuk berkata ya, dia menutup matanya.
Bukan seperti ini, dia berbisik, mengusapkan bibirnya di bibirku. Aku menginginkanmu, tapi tidak seperti
ini. Dia mundur ke belakang, jatuh terlentang di tempat tidur, dan aku hanya berdiri untuk beberapa saat
dengan tangan di silangkan di atas perutku. Ketika nafasnya menjadi teratur, aku mendorong masuk lenganku
ke dalam kaos yang selama ini ada di tanganku, dan menarik masuk melewati kepalaku. Travis tidak bergerak
dan aku menghembuskan nafasku pelan-pelan ke udara, mengetahui aku tidak akan bisa mengendalikan kita
berdua apabila aku tidur di tempat tidur dan dia akan terbangun dengan pandangan yang kurang hormat.
Aku bergegas menuju kursi dan roboh di atasnya, menutup wajahku dengan tangan. Aku merasakan perasaan
frustrasi yang berlapis-lapis menari dan saling menghancurkan di dalam diriku. Parker pergi merasa di
remehkan, Travis menunggu hingga aku bertemu dengan seseorangseseorang yang bener-benar aku sukai
untuk menunjukan rasa ketertarikannya padaku, dan sepertinya hanya aku yang tidak dia ajak tidur, meskipun
sedang mabuk.
***
Keesokan paginya, aku menuangkan jus jeruk kedalam gelas besar, lalu meminumnya satu teguk sambil
mengayunkan kepalaku mengikuti alunan musik dari IPod-ku. Aku terbangun sebelum matahari terbit dan
menggeliat di kursi hingga jam menunjukan angka delapan. Setelah itu aku memutuskan membersihkan dapur
untuk menghabiskan waktu hingga teman sekamarku yang kurang ambisius terbangun. Aku memasukan piring
kotor ke dalam dishwasher lalu mengelap dan mengepel, lalu mengelap meja. Ketika dapur sudah bersih, aku
mengambil sekeranjang baju bersih lalu duduk di sofa, melipatnya hingga ada beberapa lusin lebih tumpukan
mengelilingiku.
Terdengar suara bisikan dari arah kamar Shepley. America cekikikan lalu hening beberapa saat, diikuti suara
yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman saat sedang duduk sendirian di ruang tamu.

Aku menyusun tumpukan baju yang telah dilipat ke dalam keranjang lalu membawanya ke kamar Travis,
tersenyum ketika aku melihat bahwa dia tidak bergerak dari posisi ketika jatuh tadi malam. Aku menurunkan
keranjang ke bawah dan menarik selimut menutupinya, menahan tawa ketika dia berbalik.
Pemandangan, Pigeon, dia berkata, menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar sebelum nafasnya kembali
pelan dan dalam.
Aku tidak bisa menahannya untuk memperhatikan dia tidur; mengetahui dia memimpikan diriku mengirimkan
getaran ke pembuluh darahku yang tidak dapat aku jelaskan. Travis terbaring diam, maka aku mandi, berharap
suara orang yang sudah bangun dan ada di sekitarnya dapat menghentikan suara erangan Shepley dan America
serta suara berderit dan benturan tempat tidur pada dinding. Ketika aku mematikan pancuran air, aku
menyadari mereka tidak peduli siapa yang mendengar.
Aku menyisir rambutku, memutar mataku saat America memekik dengan suara keras, yang lebih mirip suara
anjing pudel daripada bintang film porno. Bel pintu berbunyi lalu aku mengambil jubah handuk biruku dan
mengikatkan talinya, berlari kecil melintasi lantai ruang tamu. Suara dari arah kamar Shepley langsung
berhenti lalu aku membuka pintu dan melihat wajah Parker yang tersenyum.
Selamat pagi, dia berkata.
Aku menyisir rambut basahku dengan jari. Apa yang kau lakukan disini?
Aku tidak menyukai cara kita mengucapkan selamat tinggal tadi malam. Aku pergi keluar tadi pagi untuk
membeli hadiah ulang tahun untukmu, dan aku tidak sabar untuk memberikannya padamu. Jadi, dia berkata
sambil mengeluarkan kotak mengkilap dari saku jaketnya, Selamat ulang tahun, Abs.
Dia meletakan kotak perak di tanganku dan aku mendekat untuk mencium pipinya. Terimakasih.
Ayo, aku ingin melihat wajahmu saat kau membukanya.
Aku memasukan jariku ke bawah selotip di bawah kotaknya, lalu menarik lepas bungkus kertasnya,
memberikannya pada Parker. Sebuah untaian berlian yang berkilauan menghiasi gelang emas putih.
Parker, aku berbisik.
Dia berseri-seri. kau menyukainya?
Ya, aku menyukainya, jawabku memegangnya di depan wajahku dengan kagum, Tapi ini berlebihan. Aku
tidak dapat menerimanya meskipun kita telah berkencan selama satu tahun, apalagi baru seminggu.
Parker menyeringai. Aku tahu kau pasti berpikir begitu. Aku sudah kemana-mana sepanjang pagi ini untuk
mencari hadiah ulang tahun yang sempurna, dan ketika aku melihat ini, aku tahu hanya ada satu tempat yang
tepat untuknya, dia berkata, mengambilnya dari jariku dan memasangkannya di pergelangan tanganku. Dan
aku benar. Itu terlihat sangat indah dipakai olehmu.
Aku mengangkat pergelangan tanganku lalu menggelengkan kepala, terhipnotis oleh kecemerlangan warnanya
yang bereaksi terhadap sinar matahari. Ini adalah benda yang paling indah yang pernah aku lihat. Tidak
pernah seorangpun memberiku sesuatu yang sangat.., kata mahal terlintas di pikiranku, tapi aku tidak
mengatakannya, rumit. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Parker tertawa lalu mencium pipiku. Katakan kau akan memakainya besok.
Aku tersenyum lebar. Aku akan memakainya besok, aku berkata sambil memandangi pergelangan tanganku.

Aku senang kau menyukainya. Ekspresi wajahmu sebanding dengan tujuh toko yang aku datangi.
Aku menghela nafas. kau mendatangi tujuh toko? Dia mengangguk, dan aku memegang wajahnya.
Terima kasih. Ini sempurna, aku berkata sambil menciumnya.
Dia memelukku dengan erat. Aku harus pergi. Aku akan makan siang dengan orangtuaku, tapi aku akan
meneleponmu nanti, ok?
Ok. Terimakasih! aku berteriak ke arahnya, memperhatikan dia yang berlari kecil menuruni tangga.
Aku langsung masuk ke dalam, tidak bisa berhenti memandangi pergelangan tanganku.
Ya ampun, Abby! America berkata, memegang tanganku. Dari mana kau mendapatkan ini?
Parker yang membelinya. Ini adalah hadiah ulang tahunku dari Parker!
America ternganga, lalu melihat ke arah gelang. Dia membelikanmu berlian sebesar bola tenis? Setelah
seminggu? Jika aku tidak mengenalmu lebih baik, aku akan mengira kau mempunyai selangkangan ajaib!
Aku tertawa keras, memulai festival cekikikan konyol di ruang tamu.
Shepley keluar dari kamarnya, kelihatan lelah tapi puas. Apa yang kalian tertawakan di sini?
America mengangkat pergelangan tanganku. Lihat! Hadiah ulang tahunnya dari Parker!
Shepley memicingkan matanya lalu matanya terbuka lebar. Wow.
Hebat, kan? America berkata sambil mengangguk.
Travis terhuyung keluar dari kamarnya, terlihat sedikit lelah. Kalian sangat berisik, dia mengeluh,
mengancingkan celana jinsnya.
Maaf, kataku, menarik tanganku dari genggaman America. Moment-hampir kita menyelinap di pikiranku,
dan aku tidak mampu menatap matanya.
Dia meminum habis sisa jus jerukku, lalu mengelap mulutnya. Siapa yang membiarkanku minum sangat
banyak tadi malam?
America menyeringai, kau. kau pergi keluar dan membeli lima botol setelah Abby pergi dengan Parker, dan
sudah menghabiskannya saat dia pulang.
Sialan, dia berkata, menggelengkan kepalanya. Apa kau bersenang-senang? dia bertanya, melihat ke
arahku.
Apakah kau serius? aku bertanya, memperlihatkan kemarahanku sebelum berpikir.
Kenapa?
America tertawa. kau menariknya keluar dari mobil Parker, terlihat memerah saat kau mengetahui mereka
bercumbu seperti anak sekolah yang mabuk. Mereka membuat jendela beruap dan semuanya!

Mata Travis tidak fokus, memindai ingatannya tentang yang terjadi tadi malam. Aku berusaha menahan
amarahku. Jika dia tidak ingat menarikku keluar dari mobil, dia tidak akan ingat aku hampir menyerahkan
keperawananku padanya di atas piring perak.
Seberapa kesalnya dirimu? dia bertanya sambil meringis.
Sangat kesal. Aku lebih marah karena perasaanku tidak ada hubungannya dengan Parker. Aku mengikat tali
jubahku lebih erat dan berjalan menelusuri lorong. Langkah Travis berada di belakangku.
Pidge, dia memanggilku, menangkap pintu ketika aku menutupnya di depan wajahnya. Dia perlahan
mendorong pintu terbuka dan berdiri di depanku, menunggu untuk menerima kemarahanku.
Apa kau mengingat semua yang kau katakan padaku tadi malam? aku bertanya.
Tidak, kenapa? Apakah aku kasar padamu? Matanya yang merah terlihat berat karena khawatir, yang hanya
memperkuat rasa marahku.
Tidak, kau tidak kasar padaku! kau...kita... aku mentup mataku dengan tangan, lalu membeku ketika
merasakan tangan Travis di pergelangan tanganku.
Dari mana ini? dia bertanya, memandang ke arah gelang.
Ini punyaku, aku menjawab, menarik tanganku darinya.
Dia tidak melepaskan pandangannya dari pergelangan tanganku. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Itu kelihatannya baru.
Benar.
Dari mana kau mendapatkannya?
Parker memberikannya padaku sekitar lima belas menit yang lalu, aku berkata, melihat wajahnya berubah
dari kebingungan menjadi marah.
Apa yang dilakukan orang brengsek itu di sini? Apa dia menginap di sini? dia bertanya, suaranya semakin
tinggi pada setiap pertanyaan.
Aku menyilangkan tanganku. Dia pergi belanja untuk mencari hadiah ulang tahun untukku lalu membeli ini.
Ini kan belum hari ulang tahunmu. Wajahnya berubah menjadi merah saat dia berusaha mengontrol
emosinya.
Dia tidak tahan menunggu, aku berkata, mengangkat daguku dengan rasa bangga.
Tidak heran aku harus menyeretmu keluar dari mobilnya, kedengarannya kalian sedang... dia terhenti,
menekan bibirnya.
Aku menyipitkan mataku. Apa? Kedengarannya aku sedang apa?
Rahangnya menjadi tegang dan dia menarik nafas panjang, menghembuskannya melalui hidung. Tidak
sedang apa-apa. Aku hanya kesal dan tadi aku akan mengatakan hal yang buruk yang akan aku sesali.
Itu tidak pernah menghentikanmu sebelumnya.

Aku tahu. Aku sedang berusaha memperbaikinya, dia berkata sambil melangkah menuju pintu. Aku akan
membiarkanmu berpakaian.
Ketika dia meraih pegangan pintu, dia berhenti, menggosok tangannya. Ketika dia menyentuh luka lebam
berwarna ungu di kulitnya, dia mengangkat sikunya dan melihat lukanya. Dia memandanginya sesaat, lalu
berbalik ke arahku.
Aku terjatuh di tangga tadi malam. Dan kau membantuku ke tempat tidur dia berkata, menyaring semua
gambaran yang samar di pikirannya.
Jantungku berdebar, aku sulit untuk menelan saat aku melihat kesadaran menyerangnya. Matanya menyipit.
Kita, dia memulai, mengambil satu langkah ke arahku, melihat ke arah lemari lalu ke tempat tidur.
Tidak, kita tidak melakukannya. Tidak ada yang terjadi, kataku sambil menggelengkan kepala.
Dia meringis, ingatannya jelas berputar ulang di pikirannya. kau membuat jendela Parker beruap, aku
menarikmu keluar dari mobil, lalu aku mencoba untuk dia berkata, menggelengkan kepalanya. Dia berbalik
menuju pintu dan menarik pegangan pintu, telapak tangannya menjadi putih. kau membuatku menjadi seperti
orang gila sialan, Pigeon, dia menggerutu. Aku tidak berpikiran lurus ketika berada di dekatmu.
Jadi ini salahku?
Dia berbalik. Matanya menatapku lalu jubahku, pahaku kemudian kakiku, kembali ke mataku. Aku tidak
tahu, ingatanku sedikit kabur...namun aku tidak ingat kau berkata tidak.
Aku melangkah maju, siap untuk mendebat fakta kecil yang tidak relevan itu, tapi aku tidak bisa. Dia benar.
Apa yang kau ingin aku katakan, Travis?
Dia melihat ke arah gelang lalu menatapku dengan pandangan menuduh. kau berharap aku tidak akan
mengingatnya?
Tidak! Aku sangat kesal bahwa kau lupa!
Mata coklatnya menatap mataku. Mengapa?
Karena jika aku telah...kita telahdan kau tidak...aku tidak tahu mengapa! Aku pokoknya kesal!
Dia bergegas menyeberangi ruangan, berhenti beberapa inchi dariku. Tangannya menyentuh kedua sisi
wajahku, dia bernafas cepat saat dia mengamati wajahku. Apa yang sedang kita lakukan, Pidge?
Mataku mulai memandang ikat pinggangnya, naik ke atas ke arah otot dan tato di perut dan dadanya, dan
berakhir di mata coklatnya yang hangat. kau yang beritahu aku.
***
Abby, Shepley memanggilku, mengetuk pintu. Mare akan pergi mengurus sesuatu, dia ingin aku
memberitahumu jika kau ingin ikut pergi.
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. Pidge?
Ya, aku akan ikut, aku berkata pada Shepley. Aku punya beberapa urusan yang harus aku selesaikan.
Baiklah, dia siap pergi kalau kau sudah siap, Shepley berkata, suara langkahnya menghilang di lorong.

Pidge?
Aku menarik beberapa barang dari dalam lemari dan berjalan melewati Travis. Bisakah kita
membicarakannya nanti? Aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.
Tentu, dia berkata sambil tersenyum, senyum yang dibuat-buat.
Aku merasa lega saat masuk kamar mandi, langsung menutup pintu di belakangku. Aku masih punya dua
minggu lagi untuk tinggal di apartemen ini, dan tidak mungkin menunda membahas permasalahan ini selama
itu. Sisi logis pikiranku bersikeras bahwa Parker adalah tipeku; menarik, pintar dan tertarik padaku. Mengapa
aku merasa peduli pada Travis adalah sesuatu yang tidak akan pernah aku mengerti.
Apapun alasannya, itu membuat kita berdua menjadi gila. Aku terbagi menjadi dua manusia yang berbeda;
penurut, wanita yang sopan saat bersama Parker, dan menjadi pemarah, bingung dan orang yang frustrasi saat
berada di dekat Travis. Seluruh kampus telah melihat Travis yang tidak bisa ditebak menjadi hampir mendekati
periang.
Aku berdandan dengan cepat, meninggalkan Travis dan Shepley untuk pergi ke kota dengan America. Dia
tertawa cekikikan saat menceritakan tentang seks anehnya dengan Shepley tadi pagi, dan aku mendengarkan
sambil mengangguk pada setiap saat yang tepat. Sangat sulit untuk fokus pada topik pembicaraan saat berlian
di gelang tanganku menciptakan titik-titik kecil cahaya di atap mobil, mengingatkanku akan pilihan yang harus
aku hadapi. Travis menginginkan jawaban, dan aku tidak memiliki jawabannya.
Ok, Abby. Apa yang sedang kau pikirkan? kau jadi pendiam.
Masalahku dengan Travissangat kacau.
Mengapa? dia bertanya, kacamatanya terdorong ke atas saat dia mengerutkan hidungnya.
Dia bertanya padaku apa yang terjadi diantara kita.
Ada apa diantara kalian berdua? Bukannya kau dengan Parker?
Aku menyukainya tapi ini baru seminggu. Kita belum terlalu serius.
kau menyukai Travis, ya kan?
Aku menggelengkan kepalaku. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya. Aku hanya tahu itu tidak akan
terjadi, Mare. Dia punya terlalu banyak hal yang buruk.
Salah satu dari kalian harus ada yang mengutarakannya lebih dulu, itu masalahnya. Kalian berdua sangat
takut pada apa yang akan terjadi sehingga kalian melawan perasaan itu mati-matian. Aku yakin kalau kau
melihat kedalam mata Travis dan mengatakan padanya kalau kau menginginkannya, dia tidak akan pernah lagi
melirik wanita lain.
Apakah kau yakin?
Ya. Aku punya sumber orang dalam, ingat?
Aku terdiam sambil berpikir beberapa saat. Travis telah memberitahu Shepley tentang aku tapi Shepley tidak
mendukung hubungan ini dengan cara tidak memberitahu America. Dia tahu America akan memberitahuku,
menuntunku pada satu kesimpulan: America tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Aku ingin

menanyakan apa saja yang mereka katakan, tapi lebih baik tidak.
Aku pasti akan patah hati, aku berkata, menggelengkan kepalaku. Kupikir dia tak akan pernah bisa setia.
Dia juga dulu tidak bisa memelihara suatu hubungan dengan seorang wanita, tapi kalian berdua telah
membuat seluruh Eastern terkejut.
Aku menyentuh gelang dengan jariku lalu menghela nafas. Aku tak yakin. Aku tidak keberatan dengan
keadaan seperti sekarang. Kita hanya bisa berteman.
America menggelengkan kepalanya. Tapi kalian bukan hanya sekedar teman, dia menghela nafas. kau tahu,
aku sudah muak membicarakan ini. Ayo kita menata rambut kita dan berdandan. Aku akan membelikanmu
pakaian baru untuk pesta ulang tahun nanti.
Kupikir itu memang yang aku butuhkan, aku tersenyum.
***
Setelah beberapa jam manikur, pedikur, di sikat, di wax dan dibedaki, aku memakai sepatu hak tinggi kuningku
yang mengkilap, dan mengenakan gaun abu-abuku yang baru.
Nah itu Abby yang aku tahu dan sayangi! dia tertawa, menggelengkan kepalanya melihat penampilanku.
kau harus memakai baju itu ke pesta besok.
Bukankah dari tadi memang itu rencananya? kataku, menyeringai. Teleponku berbunyi dari dalam tasku, lalu
aku mengangkatnya ke telingaku. Hallo?
Waktunya makan malam! Kalian berdua pergi kemana? Travis berkata.
Kami sedikit memanjakan diri. Kau dan Shep kan tahu bagaimana caranya untuk makan sebelum bertemu
dengan kami. Aku yakin kalian bisa melakukannya.
Well, yang benar saja. Kami menghawatirkan kalian tahu?
Aku melihat ke arah America lalu tersenyum. Kami baik-baik saja.
Katakan padanya aku akan mengantarmu pulang sebentar lagi. Aku akan ke rumah Brazil dulu sebentar untuk
mengambil beberapa catatan untuk Shep, lalu kita akan pulang.
kau dengar itu? aku bertanya.
Ya. Sampai bertemu nanti, Pidge.
Kami menuju rumah Brazil dalam keheningan. America mematikan mesin mobil, menatap ke arah gedung
apartemen di depan. Aku heran kenapa Shepley meminta America untuk mampir ke rumah Brazil, padahal
jaraknya hanya satu blok dari apartemen Shepley dan Travis.
Kenapa, Mare?
Brazil membuatku takut. Terakhir kali aku kemari dengan Shep, dia merayuku.
Well, aku akan masuk bersamamu. Jika dia terus mengedipkan matanya padamu, aku akan menusuk matanya

memakai sepatu hak tinggi baruku, Ok?


America tersenyum dan memelukku. Terima kasih, Abby!
Kami berjalan ke belakang gedung, dan America menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu. Kami
menunggu, namun tidak ada orang yang datang.
Aku kira dia tidak ada di rumah? aku bertanya.
Dia ada di sini, America berkata, sedikit kesal. Dia memukul pintu kayu dengan kepalan tangannya dan
pintupun terbuka.
SELAMAT ULANG TAHUN! teriak semua orang di dalam.
Tapi ulang tahunku kan besok, aku berkata. Masih terkejut, aku mencoba tersenyum pada semua orang.
Travis mengangkat bahunya. Well, karena ada yang membocorkannya padamu, kami harus membuat
perubahan di menit-menit terakhir untuk memberimu kejutan, terkejut?
Sangat! aku berkata saat Finch memelukku.
Selamat ulang tahun, sayang! Finch berkata sambil mencium bibirku.
America menyikutku dengan sikunya. Untung aku mengajakmu pergi untuk menyelesaikan beberapa urusan
hari ini atau kau akan datang kemari dengan penampilan berantakan!
kau kelihatan sangat cantik, kata Travis, memperhatikan gaunku.
Brazil memelukku, menekan pipinya ke pipiku. Dan aku harap kau tahu yang America katakan tentang Brazil
membuatku takut adalah hanya agar kau datang kemari.
Aku memandang America dan dia tertawa. Itu berhasil, ya kan?
Setelah semua orang bergantian memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, aku mendekati
America dan berbisik di telinganya. Di mana Parker?
Dia akan datang nanti, dia berbisik. Shepley tidak dapat menghubunginya melalui telepon untuk
memberitahunya hingga sore ini.
Brazil memutar volume di stereo menjadi lebih kencang, dan semua orang berteriak. Ayo ke sini, Abby! dia
berkata, berjalan menuju dapur. Dia menyusun gelas sepanjang meja dan mengeluarkan satu botol tequila dari
lemari. Ini hadiah ulang tahun dari tim football, sayang, dia tersenyum, mengisi penuh semua sloki dengan
tequila merk Petron. Ini cara kami merayakan ulang tahun: kau berumur sembilan belas tahun, kau meminum
sembilan belas sloki. kau dapat meminumnya atau memberikannya pada orang lain, tapi semakin banyak kau
minum, semakin banyak kau mendapatkan ini, dia berkata, mengipaskan setumpuk uang duapuluh dolar.
Ya Tuhan! aku memekik.
Minum saja semua, Pidge! kata Travis.
Aku menatap Brazil, curiga. Aku mendapat dua puluh dolar setiap sloki yang aku minum?
Ya benar, enteng. Melihat ukuranmu, kupikir kami hanya akan kehilangan enam puluh dolar sampai tengah

malam nanti.
Pikirkan lagi, Brazil, kataku, mengambil sloki pertama, memutarnya di bibirku, mendongakkan kepalaku ke
belakang untuk mengosongkan gelas lalu menelannya sampai habis dan menjatuhkan gelas ke tanganku yang
lainnya.
Ya ampun! Travis berseru.
Ini akan sangat mudah, Brazil. Kataku, mengelap sudut mulutku. Kau menuangkan Cuervo bukan Petron.
Senyum sombong Brazil menghilang perlahan, dan dia menggelengkan kepalanya lalu mengangkat bahu.
Maka kau akan mendapatkannya setelah ini. Aku punya semua dompet kedua belas pemain football yang
mengatakan kau tidak akan mencapai sepuluh sloki.
Aku memicingkan mataku. Gandakan atau tidak sama sekali apabila aku bisa menghabiskan lima belas
sloki.
Nanti dulu! Shepley berteriak. kau tidak boleh masuk rumah sakit pada hari ulang tahunmu, Abby!
Dia sanggup meminumnya, kata America, menatap ke arah Brazil.
Empat puluh dolar satu sloki? kata Brazil, tak yakin.
kau takut? aku bertanya.
Tentu saja tidak! Aku akan memberimu dua belas sloki, dan ketika kau minum lima belas, aku akan
menggandakan totalnya.
Begitulah cara Kansas merayakan ulang tahun. Kataku sambil menenggak sloki berikutnya.
Satu jam dan tiga sloki berikutnya, aku berada di ruang tamu sedang berdansa dengan Travis. Diiringi lagu
rock balada dan Travis mengatakan sesuatu tanpa suara padaku saat kita berdansa. Dia memiringkanku ke
belakang pada chorus pertama, dan aku membiarkan tanganku jatuh di belakangku. Dia menarikku lagi ke atas
dan aku menghela nafas.
kau tak boleh melakukan itu ketika aku sudah minum dua digit sloki, aku tersenyum cekikikan.
Apa aku sudah bilang kalau kau terlihat sangat cantik malam ini?
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluknya, meletakan kepalaku di bahunya. Dia mengeratkan
pegangannya, dan memendamkan wajahnya di leherku, membuatku lupa tentang keputusan atau gelang atau
dua kepribadianku yang berbeda; aku berada di tempat yang aku inginkan.
Ketika musik berganti menjadi lebih nge-beat, pintu terbuka.
Parker! kataku, berlari untuk memeluknya. kau datang juga!
Maafkan aku terlambat, Abs, dia berkata, mencium bibirku. Selamat ulang tahun.
Terima kasih, kataku, melihat Travis yang sedang memandang ke arah kami dari ujung mataku.
Parker mengangkat pergelangan tanganku. kau memakainya.

Aku kan sudah bilang akan memakainya. Mau berdansa?


Dia menggelengkan kepalanya. Ehm...aku tidak berdansa.
Oh. Well, kau ingin menyaksikanku meminum gelas yang ke enam Pertron? aku tersenyum, memperlihatkan
lima lembar uang dua puluh dolarku. Aku akan mendapatkan double jika aku meminum lima belas sloki.
Bukankah itu agak sedikit berbahaya?
Aku mendekat ke telinganya. Aku benar-benar memperdaya mereka. Aku telah memainkan permainan ini
sejak berumur enam belas tahun bersama ayahku.
Oh, dia berkata, mengkerutkan dahinya karena tidak menyukainya. kau meminum tequila bersama
ayahmu?
Aku mengangkat bahuku . Itu caranya untuk mempererat ikatan.
Parker tampak tidak terkesan saat matanya mengalihkan perhatiannya dariku ke arah kerumunan orang. Aku
tidak bisa lama. Aku akan pergi berburu dengan ayahku besok pagi.
Untung pestanya malam ini, kalau besok, kau pasti tidak bisa datang, aku berkata, terkejut mendengar
rencananya.
Dia tersenyum dan memegang tanganku. Aku akan mengusahakan pulang pada waktunya.
Aku menariknya ke meja, mengangkat sloki berikutnya dan meminumnya, membantingnya terbalik di atas
meja seperti yang sudah aku lakukan lima sloki sebelumnya. Brazil menyerahkan dua puluh dolar lagi padaku,
dan aku menari menuju ruang tamu. Travis menarikku, dan kita berdansa dengan America dan Shepley.
Shepley memukul pantatku. Satu!
America menambahkan pukulan keras kedua di pantatku, lalu semua orang bergabung kecuali Parker.
Pada hitungan ke sembilan belas, Travis menggosok-gosok tangannya. Giliranku!
Aku mengusap pantatku yang sakit. Pelan-pelan! Pantatku sakit!
Dengan seringai jahat, dia mengangkat tangannya jauh ke atas bahunya. Aku menutup rapat mataku. Beberapa
saat kemudian, aku membukanya lagi sedikit. Tepat sebelum tangannya menyentuh pantatku, dia berhenti dan
memberiku pukulan pelan.
Sembilan belas! dia berseru.
Semua tamu bersorak, dan America mulai menyanyikan lagu Happy Birthday sambil mabuk. Aku tertawa saat
bagian menyebutkan namaku, semua orang mengatakan Pigeon.
Lagu slow lainnya mengalun dari stereo, dan Parker menarikku ke lantai dansa yang dibuat seadanya. Tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui alasan mengapa Parker tidak berdansa.
Maaf, dia berkata setelah menginjak kakiku untuk ketiga kalinya.
Aku meletakkan kepalaku di bahunya. Kau berdansa cukup bagus. Aku berbohong.

Dia mencium pelipisku. Apa kau punya rencana Senin malam nanti?
Pergi makan malam denganmu?
Ya. Di apartemen baruku.
kau sudah menemukannya!
Dia tertawa dan mengangguk. Tapi kita akan memesan makanan. Masakanku tidak bisa di makan.
Aku akan memakannya bagaimanapun juga, aku tersenyum padanya.
Parker memandang sekilas ke sekeliling ruangan lalu menuntunku ke lorong. Dia dengan lembut menekanku
ke tembok, menciumku dengan bibir lembutnya. Tangannya ke mana-mana. Awalnya aku mengikuti, namun
saat lidahnya menyusup ke dalam bibirku, aku dengan jelas merasakan bahwa aku telah melakukan kesalahan.
Ok, Parker, kataku menghentikannya.
Semuanya baik-baik saja?
Kupikir tidak sopan jika aku bercumbu denganmu di pojokan yang gelap sementara aku ada tamu di sana.
Dia tersenyum lalu menciumku lagi. kau benar, maafkan aku. Aku hanya ingin memberikanmu ciuman ulang
tahun yang tak akan terlupakan sebelum aku pergi.
kau akan pergi?
Dia menyentuh pipiku. Aku harus sudah bangun tidur dalam waktu empat jam, Abs.
Aku merapatkan bibirku. Baiklah. Kita akan bertemu hari Senin?
kau akan bertemu denganku besok. Aku akan mampir saat pulang nanti.
Dia menuntunku ke pintu lalu mencium pipiku sebelum dia pergi. Aku menyadari Shepley, America dan Travis
sedang memandang ke arahku.
Ayah sudah pergi! Travis berteriak ketika pintu di tutup. Waktunya pesta ini di mulai!
Semua orang bersorak, dan Travis menarikku ke tengah ruangan .
Tunggu sebentar...aku punya jadwal, kataku, menuntunnya ke meja. Aku menghabiskan satu minuman lagi,
dan tertawa ketika Travis juga mengambil satu yang di ujung, menenggaknya hingga habis. Aku mengambil
satu lagi lalu meneguknya, dia juga melakukan hal yang sama.
Tujuh gelas lagi, Abby, kata Brazil, menyerahkan lagi dua lembar duapuluh dolar padaku.
Aku mengelap mulutku saat Travis menarikku kembali ke ruang tamu. Aku berdansa dengan America, lalu
Shepley, namun ketika Chris Jenks dari tim football mencoba berdansa denganku, Travis menarik bajunya ke
belakang dan menggelengkan kepala. Chris mengangkat bahu dan berbalik, berdansa dengan wanita pertama
yang dia lihat.
Minuman yang ke sepuluh memukul dengan keras, dan aku merasa sedikit pusing saat berdiri di atas sofanya
Brazil bersama America, berdansa seperti anak sekolahan yang ceroboh. Kita cekikikan tanpa sebab,

melambaikan tangan kita mengikuti alunan musik.


Aku terhuyung, hampir terjatuh ke belakang dari sofa, namun tangan Travis selalu di pinggangku untuk
memegangiku.
kau sudah membuktikan maksudmu, dia berkata. kau mabuk lebih dari semua wanita yang pernah kita lihat.
Aku akan menghentikannya.
Persetan, kalau berani, aku bicara dengan tidak jelas. Aku punya enam ratus dolar yang menunggu di
bawah sloki itu dan kau diantara semua orang yang tidak boleh melarangku melakukan sesuatu yang ekstrim
untuk uang.
Jika kau begitu kesulitan uang, Pidge
Aku tidak akan meminjam uang darimu, aku menyeringai.
Aku tadinya akan menyarankan untuk menggadaikan gelang itu, dia tersenyum.
Aku memukul tangannya saat America mulai berhitung mundur menuju tengah malam. Ketika jarumnya
menunjukan jam dua belas, kita semua berpesta.
Aku sekarang sembilan belas tahun.
America dan Shepley masing-masing mencium satu pipiku, dan Travis mengangkatku ke atas, lalu memutarmutarku.
Selamat ulang tahun, Pigeon, dia berkata dengan ekspresi yang lembut.
Aku menatap matanya yang coklat dan hangat untuk beberapa saat, merasa tersesat di dalamnya. Waktu seperti
berhenti di ruangan ini saat kita saling menatap satu sama lain, sangat dekat sehingga aku dapat merasakan
nafasnya di kulitku.
Minum! kataku, terhuyung ke meja.
kau terlihat sangat mabuk, Abby. Aku pikir sudah waktunya untuk menghentikannya, kata Brazil.
Aku bukan orang yang mudah menyerah, kataku. Aku ingin melihat uangku.
Brazil meletakan uang dua puluh dolar di bawah dua sloki terakhir, dia lalu berteriak pada teman satu timnya,
Dia akan meminum semuanya! Aku butuh seratus lima puluh dolar!
Mereka semua mengerang dan memutar mata mereka, mengeluarkan dompetnya untuk menyusun setumpuk
uang dua puluh dolar di belakang sloki terakhir. Travis sudah menghabiskan empat sloki lainnya yang tersisa di
luar lima belas sloki minumanku.
Aku tidak pernah percaya akan kalah lima puluh dolar saat taruhan minum lima belas sloki dengan seorang
wanita. Chris mengeluh.
Percayalah, Jenks. Aku berkata, mengangkat dua gelas dengan kedua tanganku.
Aku menenggak masing-masing gelas dan menunggu agar muntahanku yang naik ke tenggorokan untuk turun
kembali.

Pigeon? Travis bertanya, mendekat satu langkah ke arahku.


Aku mengangkat jariku dan Brazil tersenyum. Dia akan memuntahkannya, Brazil berkata.
Tidak, tidak akan, America menggelengkan kepalanya. Tarik nafas panjang, Abby.
Aku menutup mataku lalu menarik nafas, menghabiskan gelas terakhirku.
Sialan, Abby! kau akan mati karena keracunan alkohol! Shepley berteriak.
Dia tidak akan apa-apa, America meyakinkannya.
Aku mendongakkan kepalaku ke belakang dan membiarkan tequila mengalir turun di tenggorokanku. Gigi dan
mulutku sudah mati rasa sejak sloki ke delapan, dan efek dari kadar alkohol 40 persen menendang jauh
sebelum itu kehilangan tepinya. Suasana pesta meledak menjadi suara siulan dan teriakan saat Brazil
menyerahkan setumpuk uang padaku.
Terima kasih, kataku dengan bangga, menyelipkan uang ke dalam braku.
kau benar-benar sangat cantik sekarang, Travis berkata di telingaku saat kita berjalan ke ruang tamu. Kita
berdansa sampai pagi dan tequila yang mengalir di pembuluh darahku berkurang dan terlupakan.
***
Ketika mataku akhirnya terbuka, aku melihat bahwa aku tidur beralaskan kaki yang memakai celana jins.
Travis duduk bersandar pada tub, dan kepalanya ke tembok, tidur kedinginan. Dia kelihatan sama parahnya
denganku. Aku melepas selimutku lalu berdiri, tersentak melihat bayanganku yang menakutkan dalam cermin
di atas wastafel.
Aku terlihat seperti mayat.
Maskara luntur, noda air mata hitam sepanjang pipiku, lipstik belepotan dan ada rambutku diikat seperti buntut
tikus di kedua sisinya.
Ada sprei, handuk dan selimut di sekeliling Travis. Dia membuat alas empuk untuk tidur sementara aku
memuntahkan lima belas sloki tequila yang aku minum tadi malam. Travis memegangi rambutku menjauh dari
toilet dan duduk bersamaku sepanjang malam.
Aku menyalakan kran, menahan tanganku di bawah air hingga temperaturnya sesuai dengan yang aku
inginkan. Menggosok wajahku yang berantakan, aku mendengar erangan dari lantai. Travis bangun,
menggosok matanya, menggeliat lalu melihat ke sampingnya, dia tersentak panik.
Aku di sini, kataku. Kenapa kau tidak pergi ke kamar saja? Untuk tidur lagi?
kau baik-baik saja? dia berkata, mengusap matanya sekali lagi.
Ya, aku baik-baik saja. Well, sebaik yang aku bisa. Aku akan merasa lebih baik setelah mandi nanti.
Dia berdiri. Kau sangat hebat tadi malam, asal kau tahu. Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi aku tidak ingin
kau melakukannya lagi.
Aku sudah terbiasa, Trav. Bukan masalah besar bagiku.
Dia memegang pipiku dengan tangannya lalu menghapus sisa maskara luntur yang masih ada di bawah mataku

dengan ibu jarinya. Itu masalah besar bagiku.


Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Puas?
Ya. Tapi, aku akan memberitahumu sesuatu, tapi janji kau tidak akan panik.
Oh, Tuhan, apa yang telah aku lakukan?
kau tidak melakukan apa-apa, tapi kau harus menelepon America.
Di mana dia?
Di asrama. Dia bertengkar dengan Shep tadi malam.
Aku mandi dengan tergesa-gesa dan memakai baju yang telah Travis siapkan untukku di atas wastafel. Ketika
aku keluar dari kamar mandi, Shepley dan Travis sedang duduk di ruang tamu.
Apa yang telah kau lakukan padanya? aku bertanya.
Wajah Shepley tampak sedih. Dia sangat marah padaku.
Apa yang terjadi?
Aku marah padanya karena mendorongmu untuk minum sebanyak itu. Kupikir kita akan berakhir dengan
membawamu ke rumah sakit. Satu hal mengarah ke hal lainnya, dan selanjutnya yang aku tahu kita sedang
saling berteriak. Kita berdua mabuk, Abby. Aku mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku tarik kembali, dia
menggelengkan kepalanya, menunduk.
Seperti apa? tanyaku, marah.
Aku menyebutnya sesuatu yang tidak aku banggakan lalu menyuruhnya pergi.
Kau membiarkannya pergi dari sini dalam keadaan mabuk? Apakah kau idiot? kataku, lalu mengambil tasku.
Tenang, Pidge. Dia sudah cukup merasa bersalah, kata Travis.
Aku mengeluarkan ponselku dari tas, menghubungi nomor America.
Hallo? dia menjawab. Dia terdengar sangat kacau.
Aku baru saja mendengarnya, aku menghela nafas. Apa kau baik-baik saja? aku berjalan ke luar untuk
mendapatkan privasi, dan sekali lagi melihat ke arah Shepley dengan tatapan marah.
Aku baik-baik saja. Dia brengsek. Kata-katanya kasar tapi aku bisa mendengar rasa sakit dalam suaranya.
America ahli dalam menyembunyikan emosinya, dan dia dapat menyembunyikannya dari semua orang kecuali
aku.
Maafkan aku tidak pergi bersamamu.
kau sedang tidak bisa, Abby, dia berkata dengan acuh.
Kenapa kau tidak menjemputku sekarang? Kita bicarakan masalah ini.

Dia bernafas ke arah telepon. Aku tidak mau. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya.
Aku akan menyuruhnya agar tetap di dalam kalau begitu.
Dia terdiam cukup lama, lalu aku mendengar suara kunci di telepon. Baiklah. Aku akan tiba dalam sepuluh
menit.
Aku masuk ke ruang tamu, mengaitkan tas di bahuku. Mereka mengamatiku membuka pintu untuk menunggu
America, dan Shepley bergeser ke depan di atas sofa.
Dia akan datang kemari?
Dia tidak ingin bertemu denganmu, Shep. Aku bilang padanya kalau kau akan tetap di dalam.
Dia menghela nafas, dan menjatuhkan diri ke kursi. Dia membenciku.
Aku akan bicara dengannya. Tapi sebaiknya kau punya cara yang hebat untuk minta maaf.
Sepuluh menit kemudian, klakson berbunyi dua kali di luar, dan aku menutup pintu di belakangku.
Ketika aku tiba di dasar tangga, Shepley melewatiku dengan cepat menuju mobil Honda merah America, dan
membungkuk untuk melihat ke dalam jendela mobil. Aku berhenti, melihat America mengumpat pada Shepley
sambil melihat lurus ke depan. Dia menurunkan jendelanya, dan Shepley kelihatannya sedang menjelaskan,
lalu mereka mulai berdebat. Aku masuk ke dalam untuk memberi mereka privasi.
Pigeon? Travis memanggil, berlari kecil menuruni tangga.
Kelihatannya buruk.
Biarkan mereka menyelesaikannya. Ayo kita masuk, dia berkata, jarinya meraih jariku dan menuntunku ke
atas.
Apakah seburuk itu? aku bertanya.
Dia mengangguk. Lumayan buruk. Mereka baru saja keluar dari masa bulan madu. Mereka akan
menyelesaikannya.
Buat seseorang yang tidak pernah punya kekasih, kau tampak seperti tahu banyak tentang suatu hubungan.
Aku punya empat saudara laki-laki dan teman yang banyak, dia berkata, menyeringai pada dirinya sendiri.
Shepley masuk ke dalam apartemen lalu membanting pintu di belakangnya. Dia sangat tidak masuk di akal!
Aku mencium Travis di pipi. Itu tandaku.
Semoga berhasil, Travis tersenyum.
Aku meluncur duduk di samping America, dan dia mendengus. Dia sangat tidak masuk di akal!
Aku tertawa, namun dia melotot ke arahku. Maaf, kataku, memaksa senyumku agar hilang.
Kami bersiap-siap untuk pergi dan America berteriak, menangis dan berteriak lagi. Kadang dia mengeluarkan
kata-kata kasar yang ditujukan pada Shepley, seolah dia duduk di tempatku. Aku duduk dengan tenang,

membiarkan dia mengatasinya dengan caranya sendiri.


Dia menyebutku tidak bertanggung jawab! Padaku! Seperti aku tidak mengenalmu! Seperti aku tak pernah
melihatmu merampok minuman keras milik ayahmu berharga ratusan dolar yang jumlahnya dua kali lipat. Dia
tak tahu apa yang dia bicarakan! Dia tak tahu bagaimana kehidupanmu dulu! Dia tak tahu apa yang aku tahu,
dan dia memperlakukanku seperti aku adalah anaknya, bukan kekasihnya! Aku memegang tangannya namun
dia menariknya menjauh. Dia pikir kau yang akan menjadi alasan hubungan kami tidak akan berjalan dengan
baik, tapi justru dia yang melakukannya sendiri. Dan berbicara tentang dirimu, apa yang kau pikirkan tadi
malam bersama Parker?
Pergantian topik pembicaraan yang tiba-tiba ini membuatku terkejut. Apa maksudmu?
Travis mengadakan pesta untukmu, Abby, tapi kau malah pergi dan bercumbu dengan Parker. Dan kau heran
kenapa orang lain membicarakan dirimu!
Tunggu sebentar! Aku memberitahu Parker bahwa kita tidak seharusnya di belakang sana. Apa masalahnya
kalau Travis mengadakan pesta itu untuk aku atau bukan? Aku kan tidak berpacaran dengannya!
America menatap lurus ke depan, menghembuskan udara dari hidungnya.
Baiklah, Mare. Ada apa? kau marah padaku, sekarang?
Aku tidak marah padamu. Aku hanya tidak gaul dengan orang yang benar-benar idiot.
Aku menggelengkan kepalaku, lalu melihat keluar jendela sebelum aku mengatakan sesuatu yang akan aku
sesali...America selalu bisa membuatku merasa buruk saat dia menginginkannya.
Apa kau benar-benar melihat apa yang terjadi? tanyanya. Travis berhenti bertarung. Dia tidak membawa
wanita pulang sejak perek kembar dulu...belum membunuh Parker, dan kau mengkhawatirkan tentang apa
yang dibicarakan orang lain. Kau tahu kenapa itu, Abby? Karena itu adalah kebenaran!
Aku berpaling, menjulurkan leherku dengan pelan ke arahnya, mencoba untuk memberikan tatapan paling
marah yang aku tahu padanya. Ada apa denganmu?
kau berkencan dengan Parker, sekarang, dan kau sangat bahagia, dia berkata dengan nada menghina. Tapi
kenapa kau tidak pulang ke asrama?
Karena aku kalah taruhan, kau tahu itu!
Yang benar saja, Abby! kau bicara tentang betapa sempurnanya Parker, kencanmu dengannya selalu
sempurna, bicara dengannya berjam-jam di telepon, lalu kau tidur di samping Travis tiap malam. Kau melihat
apa yang salah dengan situasi ini? Jika kau benar-benar menyukai Parker, semua barangmu sudah akan berada
di asrama sekarang.
Gigiku terkatup dengan rapat. Kau tahu aku tidak pernah lari saat kalah taruhan, Mare.
Itu yang pikirkan, dia berkata, memutar tangannya dia atas kemudi. Travis adalah orang yang kau inginkan,
sedangkan Parker hanyalah yang kau pikir kau butuhkan.
Aku tahu kelihatannya seperti itu, tapi,
Kelihatan seperti itu oleh semua orang. Jadi jika kau tak suka dengan cara orang lain membicarakan dirimu
rubahlah. Ini bukan kesalahan Travis. Dia berubah 180 derajat untukmu. Kau yang dapat hadiah tapi Parker

yang mendapatkan keuntungannya.


Seminggu yang lalu kau ingin membawaku pergi dan tidak akan pernah membiarkan Travis mendekatiku
lagi! Sekarang kau membelanya?
Abigail! Aku tidak membelanya, bodoh! Aku justru menjagamu! Kalian berdua tergila-gila satu sama lain!
Lakukan sesuatu tentang itu!
Bagaimana bisa kau berpikir aku harus bersamanya? aku meratap. Kau seharusnya menjauhkanku dari
orang seperti dia!
Dia menutup bibirnya rapat, jelas kehilangan kesabarannya. Kau telah bersusah payah untuk menjauh dari
ayahmu. Itu adalah satu-satunya alasan kau mempertimbangkan Parker! Dia bertolak belakang dengan Mick.
Dan kau pikir Travis akan membawamu kembali ke tempat kau dulu berada. Dia bukan ayahmu, Abby.
Aku tidak bilang dia seperti ayahku, tapi itu membuatku dalam posisi harus menuruti segala kemauannya.
Travis tidak akan melakukan itu padamu. Kupikir kau meremehkan betapa berartinya dirimu untuknya. Jika
saja kau memberitahunya,
Tidak. Kita meninggalkan semua di belakang agar semua orang di sini tidak melihatku seperti mereka yang di
Wichita. Kita fokus pada masalah yang ada saja dulu. Shep menunggumu.
Aku tidak ingin membicarakan Shep, dia berkata, melaju pelan untuk berhenti di lampu merah.
Dia menderita, Mare. Dia mencintaimu.
Matanya penuh dengan air mata dan bibir bawahnya bergetar. Aku tidak peduli.
Kau peduli.
Aku tahu, dia berbisik, menyenderkan kepalanya ke bahuku.
Dia menangis sampai lampu berubah, lalu aku mencium kepalanya. Lampu hijau.
Dia duduk, mengelap hidungnya. Aku sangat jahat padanya tadi. Kupikir dia tidak akan mau bicara padaku
sekarang.
Dia akan bicara padamu. Dia tahu kau sedang kesal tadi.
America mengusap wajahnya, lalu berputar arah pelan-pelan. Aku tadinya khawatir harus terus membujuknya
dulu agar dia mau pulang bersamaku, dan Shepley sudah berlari di tangga sebelum America mematikan mesin
mobilnya.
Dia menarik untuk membuka pintu mobil America lalu membantunya berdiri. Maafkan aku, sayang. Aku
harusnya mengurus urusanku sendiri, aku...aku mohon jangan pergi. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa
dirimu.
America memegang wajah Shepley lalu tersenyum. Kau adalah seorang bajingan sombong, tapi aku tetap
mencintaimu.
Shepley menciumnya berkali-kali seolah sudah tidak bertemu dengannya selama berbulan-bulan, dan aku
tersenyum karena berhasil melakukan tugasku. Travis berdiri di pintu masuk, menyeringai saat aku masuk

apartemen. Dan mereka hidup bahagia selamanya, dia berkata, sambil menutup pintu di belakangku. Aku
menjatuhkan diri ke sofa, dan dia duduk di sampingku, menarik kakiku ke atas pangkuannya.
Apa yang ingin kau lakukan hari ini, Pidge?
Tidur. Atau istirahat...atau tidur.
Sebelumnya, bolehkah aku memberikan hadiah untukmu sekarang?
Aku mendorong bahunya. Astaga, kau memberikan aku hadiah?
Mulutnya membentuk satu senyuman gugup. Ini bukan gelang berlian, tapi kupikir kau akan menyukainya.
Aku akan sangat menyukainya, meskipun belum melihatnya.
Dia menurunkan kakiku dari pangkuannya, lalu dia menghilang ke kamar Shepley. Aku mengangkat satu
alisku saat aku mendengar dia bergumam, lalu dia keluar sambil memegang kotak. Dia menaruhnya di bawah
di dekat kakiku, lalu berjongkok di belakangnya.
Cepatlah, aku ingin melihatmu terkejut, dia tersenyum.
Cepat? aku bertanya, membuka tutupnya.
Mulutku menganga, saat sepasang mata hitam besar melihat ke arahku.
Anak anjing? aku menjerit, mengeluarkannya dari kotak. Aku mengangkat mahluk kecil berbulu hitam tebal
di depan wajahku, lalu dia menciumku dengan hangat dan basah di mulutku.
Travis berseri-seri, gembira. Kau menyukainya?
Menyukainya? Aku sangat menyukainya! kau memberiku seekor anak anjing!
Itu anjing jenis Cairn Terrier. Aku harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengambilnya hari
Kamis kemarin sepulang kuliah.
Jadi waktu kau bilang akan pergi bersama Shepley untuk membawa mobilnya ke bengkel
Kami pergi mengambil hadiahmu, dia mengangguk.
Dia menggoyangkan ekornya. Aku tertawa.
Setiap wanita dari Kansas membutuhkan seekor Toto (Jenis anjing dari Kansas), kata Travis, dia
membantukku memegangi bola halus dan menaruhnya di atas pangkuanku.
Dia memang mirip Toto! Aku akan memanggilnya Toto, aku berkata sambil mengerutkan hidungku pada
anak anjing yang sedang menggeliat.
Kau bisa menyimpannya di sini. Aku akan merawatnya untukmu saat kau kembali ke asrama, bibirnya
membentuk senyuman yang dipaksakan, Dan ini akan menjadi jaminanku agar kau datang berkunjung ketika
satu bulan ini berakhir.
Aku menutup rapat bibirku. Bagaimanapun aku akan tetap berkunjung, Trav.

Aku akan melakukan apapun untuk melihat senyuman di wajahmu itu saat ini.
kupikir kau butuh tidur siang, Toto. Ya, kau butuh, aku mengelus Toto.
Travis mengangguk, menarikku ke atas pangkuannya lalu berdiri. Ayo, kita tidur siang kalau begitu.
Dia menggendongku ke kamar, menarik selimut lalu menurunkanku di tempat tidur. Merangkak di atasku, dia
meraih untuk menutup tirai lalu tidur di bantalnya.
Terima kasih untuk tetap bersamaku tadi malam, kataku, membelai bulu halus Toto. kau tidak perlu tidur di
lantai kamar mandi.
Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidupku.
Aku berpaling untuk melihat ekspresinya. Dan ketika aku melihat bahwa dia serius, aku memandangnya
dengan tatapan meragukan.
Tidur di antara toilet dan tub diatas lantai yang dingin dengan seorang idiot yang terus muntah adalah salah
satu malam terbaik dalam hidupmu? Itu menyedihkan, Trav.
Tidak, tinggal bersamamu saat kau mual lalu kau tertidur di atas pangkuanku adalah malam terbaikku.
Memang tidak nyaman, aku tidak bisa tidur nyenyak, tapi aku merayakan ulang tahun kesembilan belasmu
bersamamu, dan kau lumayan manis saat mabuk.
Aku yakin diantara saat aku muntah dan kau membersihkannya aku sangat menawan.
Dia menarikku mendekat, membelai Toto yang berbaring di atas leherku. kau satu-satunya wanita yang aku
tahu yang tetap kelihatan cantik meskipun kepalamu di atas toilet. Itu berarti sesuatu.
Terima kasih, Trav. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi.
Dia berbaring di atas bantalnya. Terserah. Tidak ada yang bisa memegangi rambutmu ke belakang sebaik
aku.
Aku cekikikan lalu menutup mataku, membiarkanku tenggelam dalam kegelapan.
***
Bangun, Abby! America berteriak, membangunkanku.
Toto menjilati pipiku. Aku bangun! Aku bangun!
Kita ada kuliah setengah jam lagi!
Aku melompat dari tempat tidur. Aku sudah tidur selama...empat belas jam? Ya ampun?
Cepat mandi! Jika kau belum siap dalam sepuluh menit, aku akan meninggalkanmu!
Aku tidak punya waktu untuk mandi! aku berkata sambil mengganti baju yang telah aku pakai tidur.
Travis menyangga kepalanya dengan tangan lalu tergelak. Kalian menggelikan, dunia tidak akan kiamat kalau
kalian terlambat masuk satu kelas.

Akan kiamat jika kau adalah America. Dia tidak pernah terlambat dan dia benci kalau harus terlambat.
Kataku sambil mengenakan kaos dan celana jinsku.
Biarkan Mare pergi duluan, aku akan mengantarmu.
Aku memasukan satu kakiku lalu kaki satu lagi, memakai sepatu bootku. Tasku ada di mobilnya, Trav.
Terserah, dia mengangkat bahu, Asal jangan sampai terluka saat kau terburu-buru masuk kelas. Dia
mengangkat Toto, menggendongnya dengan satu tangan seperti membawa bola kecil, lalu membawanya
keluar.
America mendorongku keluar pintu dan masuk ke mobil. Aku tidak percaya dia memberimu anak anjing, dia
berkata sambil melihat ke belakang saat mundur keluar dari tempat parkir.
Travis berdiri di bawah sinar matahari pagi, hanya memakai celana boxer dan bertelanjang kaki, tangannya
memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Dia memperhatikan Toto yang sedang mengendus rumput,
membujuknya seperti seorang ayah yang bangga.
Aku belum pernah memiliki anjing sebelumnya, aku berkata. Ini akan menyenangkan.
America memandang Travis sebelum memasukan persneling mobilnya. Lihat dia, kata America sambil
menggelengkan kepalanya. Travis Maddox; Bapak rumah tangga.
Toto sangat lucu. Bahkan kau akan takluk di bawah tangannya.
kau tidak bisa membawanya ke asrama nanti, kau tahu. Kupikir Travis tidak memikirkan tentang itu.
Travis bilang dia akan memeliharanya di apartemen.
Dia menarik ke atas satu alisnya. Tentu saja. Travis selalu berpikir ke depan, aku salut padanya, America
berkata, sambil menggelengkan kepalanya lalu menginjak gas.
***
Aku terengah-engah, meluncur ke atas kursiku dengan sisa satu menit sebelum kuliah di mulai. Setelah
adrenalin menghilang dari tubuhku, rasa berat dari koma pasca ulang tahun mengambil alih. America
menyikutku ketika kelas bubar, dan aku mengikutinya ke kafetaria.
Shepley menunggu kami di pintu, dan aku langsung menyadari ada yang tidak beres.
Mare, Shepley berkata, memegang tangan America.
Travis berlari ke arah kami, memegang pinggangnya, dia mengambil nafas hingga agak tenang.
Apa ada segerombolan wanita marah yang mengejarmu? aku menggodanya.
Dia menggeleng. Aku mencoba mengejarmu...sebelum kaumasuk, dia menarik nafas.
Apa yang terjadi? America bertanya pada Shepley.
Ada gosip, Shepley mulai bercerita. Semua orang mengatakan bahwa Travis membawa Abby pulang
dan...detilnya berbeda-beda, tapi cukup buruk.

Apa? Serius? aku berteriak.


America memutar matanya. Siapa yang peduli, Abby? Semua orang sudah berspekulasi tentangmu dan Trav
selama beberapa minggu ini. Ini bukan pertama kalinya seseorang menuduh kalian berdua telah tidur
bersama.
Travis dan Shepley saling pandang.
Ada apa? kataku. Ada sesuatu yang lainnya, kan?
Shepley mengernyit. Mereka bilang kau tidur dengan Parker di rumah Brazil, lalu kau membiarkan
Travis...membawamu pulang, jika kau mengerti maksudku.
Mulutku menganga. Bagus! Jadi aku ayam kampus sekarang?
Mata Travis menjadi gelap dan mulutnya tegang. Ini semua salahku. Jika itu orang lain, mereka tidak akan
mengatakan hal itu tentangmu. Dia melangkah masuk ke dalam kafetaria, tangannya mengepal.
America dan Shepley mengikutinya di belakang. Semoga tidak ada orang yang cukup bodoh dan mengatakan
sesuatu pada Travis. America berkata.
Atau pada Abby, Shepley menambahkan.
Travis duduk jauh beberapa kursi di seberang tempat dudukku, melamun sambil menatap roti lapisnya. Aku
menunggunya melihat ke arahku, ingin memberikan senyuman yang menenangkannya. Travis memiliki
reputasi, dan aku membiarkan Parker membawaku ke lorong.
Shepley menyikutku saat aku memandangi sepupunya. Dia hanya merasa tidak enak. Mungkin dia mencoba
untuk meredakan gosip itu.
kau tidak harus duduk jauh di sana, Trav. Ayo, duduk di sini, aku berkata, menepuk tempat kosong di
depanku.
Aku dengar pesta ulang tahunmu sangat berkesan, Abby, kata Chris Jenks sambil melemparkan sepotong
daun selada ke dalam piring Travis.
Jangan macam-macam dengannya, Jenks, Travis memperingatkan, menatapnya tajam.
Chris tersenyum, mengangkat tulang pipinya, pipinya yang berwarna pink. Aku dengar Parker sangat marah.
Dia bilang dia mampir ke apartemenmu kemarin, lalu melihatmu dan Travis masih berada di tempat tidur.
Mereka sedang tidur siang, Chris, America menyeringai.
Mataku langsung menatap Travis. Parker mampir?
Dia bergerak dengan tidak nyaman di kursinya. Aku tadi akan memberitahumu.
Kapan? aku membentak.
America berbisik di telingaku. Parker mendengar gosip itu, lalu datang untuk menanyakannya secara
langsung padamu. Aku mencoba untuk menghentikannya, tapi dia menerobos masuk lalu...benar-benar salah
paham.

Aku meletakan sikuku si atas meja, sambil menutupi wajahku. Ini semua semakin memburuk.
Jadi kalian tidak melakukan hal itu? Chris bertanya. Sialan, itu menyebalkan. Padahal aku sudah berpikir
Abby sangat cocok untukmu setelah semua itu, Trav.
Sebaiknya kau berhenti, sekarang, Chris, Shepley memperingatkan.
Jika kau tidar tidur dengannya, keberatan jika aku yang mencobanya? kata Chris, cekikikan bersama teman
satu timnya.
Wajahku memerah karena malu, namun lalu America berteriak di dekat telingaku karena melihat reaksi Travis
melompat dari tempat duduknya. Dia meraih dari atas meja, memegang leher Chris dengan satu tangan, dan
tangan satu memegang bajunya. Si pemain gelandang di tim football itu terjatuh dari tempat duduknya,
terdengar banyak suara kaki kursi yang bergesekan dengan lantai saat semua orang berdiri untuk melihat.
Travis menonjok wajahnya berkali-kali, sikunya diangkat tinggi di udara sebelum dia mendaratkan setiap
tinjunya. Hanya satu yang bisa Chris dapat lakukan yaitu melindungi wajahnya dengan tangan.
Tidak ada seorangpun yang menyentuh Travis. Dia sudah di luar kendali, dan reputasinya membuat semua
orang takut untuk menghalanginya. Para pemain football hanya menunduk dan meringis saat mereka
menyaksikan temannya diserang tanpa ampun di lantai.
Travis! Aku berteriak, berlari mengitari meja.
Ketika akan memukul lagi, Travis menahan tinjunya lalu melepaskan bajunya Chris, membiarkannya jatuh ke
lantai. Travis terengah-engah saat melihat ke arahku; aku belum pernah melihatnya begitu menakutkan. Aku
menelan ludah dan mundur selangkah ketika Travis menabrakku di bahu saat dia melewatiku.
Aku melangkah untuk mengikutinya, tapi America mencegahnya dengan memegang tanganku. Shepley
mencium America lalu mengikuti sepupunya keluar.
Ya Tuhan, America berbisik.
Kami berpaling dan melihat semua temannya Chris mengangkatnya dari lantai, dan aku meringis saat melihat
wajahnya yang merah dan bengkak. Darah keluar dari hidungnya, dan Brazil memberinya tisu yang ada di atas
meja.
Dasar orang sinting gila! Chris mengerang, duduk di atas kursi sambil memegang wajahnya. Dia menatapku,
lalu. Maafkan aku, Abby. Aku hanya bercanda.
Aku tidak menjawabnya. Aku tidak dapat menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
Dia tidak tidur dengan salah satu dari mereka, America berkata.
kau tidak pernah tahu kapan harus menutup mulut, Jenks, kata Brazil dengan kesal.
America menarik tanganku. Ayo kita pergi.
Dia terburu-buru sambil menarikku ke dalam mobil. Ketika dia memasukan persneling, aku memegang
pinggangnya. Tunggu! Kita akan kemana?
Kita akan ke apartemen Shepley. Aku tidak ingin meninggalkannya berdua dengan Travis. kau tadi lihat dia,
kan? Dia benar-benar lepas kendali!

Well, aku tidak ingin berada di dekatnya juga!


America memandangku tidak percaya. Sangat terlihat jelas ada sesuatu yang mengganggunya. kau tidak ingin
mengetahuinya apa itu?
Rasa untuk menjaga diriku lebih besar dari rasa penasaranku saat ini, Mare!
Satu-satunya yang membuatnya berhenti hanyalah suaramu, Abby. Dia akan mendengarkanmu. kau harus
bicara dengannya.
Aku menghela nafas dan melepaskan pinggangnya, duduk di kursiku. Baiklah, ayo kita pergi.
***
Kita masuk ke tempat parkir, America melaju dengan pelan dan berhenti diantara mobil Shepley dan motor
Travis. Dia berjalan menuju tangga, meletakkan tangan di pinggangnya dengan cara yang dramatis.
Cepat, Abby! America memanggil, membuatku bergerak mengikutinya.
Dengan ragu, aku mengikutinya, langkahku terhenti saat melihat Shepley menuruni tangga untuk berbicara
dengan pelan di telinga America. Dia menatapku, menggelengkan kepalanya lalu berbisik di telinga America
lagi.
Ada apa? aku bertanya.
Shep pikir..., America gelisah, Shep pikir bukan ide yang bagus kalau kita masuk sekarang. Travis masih
sangat marah.
Maksudmu dia pikir aku tidak seharusnya masuk. Aku berkata. America mengangkat bahu dengan malu, lalu
memandang Shepley.
Shepley menyentuh bahuku. Kau tidak melakukan kesalahan, Abby. Dia hanya...dia hanya tidak ingin
bertemu denganmu saat ini.
Jika aku tidak melakukan kesalahan, lalu mengapa dia tidak ingin bertemu denganku?
Aku tak tahu kenapa; dia tidak memberitahuku. Kupikir dia merasa malu karena lepas kendali di depanmu.
Dia lepas kendali di depan semua orang di kafetaria! Apa hubungannya denganku?
Lebih dari yang kau pikir, Shepley berkata, menghindari tatapan mataku.
Aku memandang mereka beberapa saat, lalu mendorong mereka untuk lewat, berlari menaiki tangga. Aku
langsung melewati pintu dan melihat ruang tamu yang kosong. Pintu kamar Travis tertutup rapat, maka aku
mengetuk pintu.
Travis? Ini aku, buka pintunya.
Pergilah, Pidge, dia bicara dari balik pintu.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dia sedang duduk di ujung tempat tidur, menghadap ke jendela. Toto
menggaruk punggungnya, tidak merasa senang karena di abaikan.

Apa yang terjadi pada dirimu, Trav? aku bertanya. Dia tidak menjawab, maka aku berdiri di sampingnya,
melipat tangan di dadaku. Wajahnya tegang, tapi ekspresinya sudah tidak semenakutkan seperti tadi di
kafetaria. Dia kelihatan sedih. Sangat putus asa.
kau tidak akan membicarakan ini denganku?
Aku menunggu, namun dia tetap diam. Aku berbalik menuju pintu dan akhirnya dia menghela nafas. Kau
ingat kemarin saat Brazil bicara yang tidak-tidak tentangku dan kau langsung membelaku? Well...ini
kejadiannya seperti itu. Namun aku sedikit keterlaluan.
Kau sudah marah sebelum Chris mengatakan sesuatu, aku berkata, kembali duduk di sampingnya di atas
tempat tidur.
Dia kembali menatap jendela. Aku serius dengan yang aku katakan tadi. kau harus pergi, Pidge. Tuhan tahu
aku tidak bisa pergi darimu.
Aku menyentuh lengannya. Kau tidak serius ingin aku pergi.
Wajah Travis kembali tegang, lalu memelukku. Dia terdiam beberapa saat lalu mencium keningku, menekan
pipinya ke pelipisku. Tidak peduli seberapa kerasnya aku berusaha. kau akan membenciku setelah aku
memberitahumu.
Aku memeluknya. Kita harus bersahabat. Aku tak akan menerima kata tidak sebagai jawaban.
Alisnya naik lalu dia memelukku lagi dengan kedua tangannya, sambil tetap melihat ke jendela. Aku
memandangimu saat kau tidur. Kau selalu terlihat sangat damai. Aku tak pernah merasa damai seperti itu. Aku
selalu merasa marah dan kesal yang bergejolak di dalam dirikukecuali saat aku melihatmu yang sedang
tertidur. Itu yang sedang aku lakukan saat Parker masuk, dia melanjutkan. Aku sudah bangun dan dia masuk,
namun hanya berdiri di pintu dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Aku tahu apa yang dia pikirkan, tapi aku
tidak meluruskannya. Aku tidak menjelaskan karena aku ingin dia berpikir telah terjadi sesuatu di antara kita.
Sekarang seluruh kampus berpikir kau melakukannya dengan kami berdua dalam satu malam yang sama.
Toto menyeruduk ke pangkuanku, dan aku mengusap telinganya. Travis meraih untuk membelainya sekali, lalu
memegang tanganku. Maafkan aku.
Aku mengangkat bahu. Jika dia percaya gosip itu, itu salahnya sendiri.
Sulit untuk berpikir hal lain saat dia melihat kita di atas tempat tidur.
Dia tahu aku tinggal bersamamu. Lagi pula aku masih berpakaian lengkap.
Travis menghela nafas. Dia mungkin sudah terlalu kesal untuk menyadarinya. Aku tahu kau sangat
menyukainya, Pidge. Aku seharusnya menjelaskan padanya. Aku berhutang begitu banyak padamu.
Itu bukan masalah.
kau tidak marah? dia bertanya, terkejut.
Itukah yang tadi membuatmu kesal? kau berpikir aku akan marah padamu setelah kau memberitahuku yang
sebenarnya?
Seharusnya kau marah. Jika ada seseorang yang menjatuhkan reputasiku, aku akan sangat marah.

Kau tidak peduli tentang reputasi. Apa yang terjadi dengan Travis yang tidak peduli dengan apa yang orang
lain pikirkan? aku meledek sambil menyikutnya.
Itu sebelum aku melihat ekspresi wajahmu saat mendengar apa yang dibicarakan semua orang. Aku tak ingin
kau tersakiti karena aku.
kau tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan menyakitiku.
Aku lebih baik memotong tanganku daripada melakukannya. Dia menghela nafas.
Dia meletakan pipinya di rambutku. Aku tidak menjawab, dan Travis sepertinya sudah mengatakan semua
yang ingin dia katakan, jadi kita hanya duduk dan terdiam. Sesekali Travis memelukku dengan erat di
sampingnya. Aku berpegangan pada kaosnya, tak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatnya merasa lebih
baik selain hanya membiarkannya memelukku.
Ketika matahari tenggelam, aku mendengar ketukan di pintu. Abby? suara America terdengar pelan di balik
pintu.
Masuklah, Mare, Travis menjawab.
America masuk bersama dengan Shepley, dan dia tersenyum melihat kami yang berpegangan tangan. Kita
akan pergi makan. Kalian mau makan di Pei Wei?
Aahhmakanan Asia lagi, Mare? Serius? Travis bertanya.
Aku tersenyum. Dia sudah terdengar seperti dirinya lagi.
America menyadarinya juga. Ya, serius. Kalian ikut atau tidak?
Aku sangat lapar. kataku.
Tentu saja kau lapar, kau tidak sempat makan siang, Travis berkata sambil merengut. Dia berdiri,
mengajakku bersamanya. Ayo kita pergi cari makan untukmu.
Dia terus memelukku dan tidak melepaskannya hingga kita tiba di Pei Wei.
Sesaat setelah Travis pergi ke kamar mandi, America mendekat. Jadi? Apa yang dia katakan?
Tidak mengatakan apa-apa. aku mengangkat bahu.
Dia mengangkat alisnya. kau berada di kamarnya selama dua jam. Dia tidak mengatakan apapun?
Dia biasanya begitu kalau sedang marah. Shepley berkata.
Dia pasti mengatakan sesuatu. America mendesak.
Dia bilang dia agak kelewat batas dalam membelaku, dan bahwa dia tidak memberitahu Parker yang
sebenarnya ketika dia melihat kami. Hanya itu, kataku sambil merapikan botol garam dan merica.
Shepley menggelengkan kepala dan menutup matanya.
Kenapa, sayang? America berkata, duduk dengan tegak.

Travis.., dia menghela nafas, memutar matanya. Lupakan saja.


Ekspresi America keras kepala. Oh tidak, kau tidak bisa,
Dia berhenti saat Travis duduk dan mengayunkan tangannya di belakangku. Sialan! Makanannya belum
datang juga?
***
Kami tertawa dan bercanda hingga restoran tutup, lalu kita masuk ke dalam mobil untuk pulang. Shepley
menggendong America ke atas di atas punggungnya, namun Travis tetap diam di belakang, menarikku agar aku
tidak mengikuti mereka ke atas. Dia melihat ke atas memperhatikan mereka hingga mereka menghilang di
belakang pintu, lalu memberiku senyuman menyesal. Aku berhutang permintaan maaf hari ini, jadi maafkan
aku.
kau sudah meminta maaf. Itu tidak apa-apa.
Belum, tadi aku meminta maaf karena Parker. Aku tidak ingin kau berpikir aku adalah orang gila yang suka
menyerang orang lain hanya karena masalah kecil, dia berkata, tapi aku berhutang permintaan maaf karena
aku tidak membelamu untuk alasan yang tepat.
Dan itu adalah aku mendesak.
Aku menyerangnya karena dia bilang dia ingin menjadi yang berikutnya, bukan karena dia mengganggumu.
Menyindir itu ada batasnya, banyak alasan untukmu untuk membelaku.
Itu maksudku. Aku kesal karena aku menganggap dia ingin tidur denganmu.
Setelah memproses apa yang Travis maksudkan, aku menarik ujung kaosnya lalu meletakan kepalaku di
dadanya. kau tahu? Aku tak peduli, kataku, menatap wajahnya. Aku tak peduli apa yang orang lain katakan,
atau saat kau kehilangan kendali, atau mengapa kau merusak wajah Chris. Hal yang tak ingin aku miliki adalah
reputasi yang buruk, namun aku lelah harus menjelaskan hubungan persahabatan kita pada semua orang.
Persetan dengan mereka.
Mata Travis melembut, dan ujung bibirnya terangkat ke atas. Persahabatan kita? Kadang aku bertanya kapan
kau benar-benar mau mendengarkanku.
Apa maksudmu?
Ayo kita masuk. Aku lelah.
Aku mengangguk. Dan dia memelukku di sampingnya sampai kita masuk ke apartemen. America dan Shepley
sudah masuk ke dalam kamar tidur mereka, lalu aku mandi. Travis dan Toto menunggu di luar saat aku
mengenakan piyamaku, dalam waktu setengah jam, kami berdua sudah berada di tempat tidur.
Aku membaringkan kepala di atas tanganku, menghembuskan nafas panjang, mengeluarkan hembusan udara
keluar. Hanya tinggal dua minggu. Apa yang akan kau lakukan untuk drama ketika aku pindah kembali ke
asrama?
Aku tak tahu, dia berkata. Aku bisa melihat garis tersiksa di wajahnya, meskipun di dalam kegelapan.
Hey, aku menyentuh tangannya. Aku hanya becanda.

Aku menatapnya lama, bernafas, berkedip dan berusaha untuk tenang. Dia sedikit gelisah lalu melihat ke
arahku. Kau percaya padaku, Pidge?
Ya, kenapa?
Kemarilah, dia berkata, menarikku mendekat ke arahnya. Aku menjadi tegang beberapa saat sebelum
membaringkan kepalaku di atas dadanya. Apapun yang terjadi padanya, dia membutuhkanku di dekatnya, dan
aku merasa tidak keberatan walaupun aku menginginkannya. Terasa sangat tepat berbaring di sampingnya.
***
Finch menggelengkan kepalanya. Jadi, kau bersama Parker atau Travis? Aku bingung.
Parker tidak mau bicara denganku, jadi seperti mengambang di udara saat ini, aku berkata sambil
memantulkan tubuhku untuk membetulkan posisi tas ranselku.
Dia menghembuskan asap rokok, lalu mengeluarkan sepotong kecil tembakau dari yang menempel di lidahnya.
Jadi kau bersama Travis?
Kami hanya teman, Finch.
kau sadar kan semua orang berpikir bahwa kalian berdua mempunyai semacam hubungan teman-tapi-mesra
yang tidak kau akui?
Aku tidak peduli. Mereka bisa berpikir apa saja yang mereka mau.
Sejak kapan? Apa yang terjadi dengan Abby yang gugup, misterius, dan selalu berhati-hati yang aku tahu dan
sayangi?
Dia telah mati akibat stress karena semua gosip dan asumsi yang ada.
Sayang sekali. Aku akan merindukan menertawakan dirinya.
Aku memukul lengan Finch, dan dia pun tertawa. Bagus. Sudah waktunya kau berhenti berpura-pura. dia
berkata.
Maksudmu apa?
Sayang, kau sedang bicara dengan orang yang hampir seumur hidupnya berpura-pura. Aku dapat
mengenalimu dari jauh.
Apa yang kau maksud, Finch? Bahwa aku diam-diam menyukai sesama jenis?
Bukan, bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Wanita yang memakai cardigan, pendiam, dan pergi ke restoran
mewah saat bersama Parker Hayesitu bukan dirimu. Entah itu kau penari telanjang dari kota kecil atau kau
pernah masuk klinik rehab. Tebakanku sih yang terakhir.
Aku tertawa terbahak-bahak. Kau adalah seorang tukang tebak yang payah.
Jadi, apa rahasiamu?
Kalau aku memberitahumu, namanya bukan rahasia, ya kan?

Wajahnya dipertajam oleh seringai nakalnya. Aku sudah memberitahumu rahasiaku, sekarang beritahu aku
rahasiamu.
Aku tidak suka menjadi orang yang membawa kabar buruk, namun orientasi seksualmu bukanlah merupakan
sebuah rahasia, Finch.
Sial! Padahal kupikir aku memiliki daya tarik seksual pada diriku, dia berkata sambil menghisap rokoknya
lagi.
Aku meringis sebelum aku bicara. Apakah kau mempunyai kehidupan yang bahagia di rumah, Finch?
Ibuku orang yang hebatAku dan ayahku mempunyai banyak masalah untuk di selesaikan, tapi kami baikbaik saja saat ini.
Aku mempunyai Mick Abernathy sebagai ayah.
Siapa itu?
Aku cekikikan. Lihat? Itu bukan masalah besar jika kau tak tahu siapa dia.
Siapa dia?
Sebuah masalah. Suka judi, minum, dan pemarah...Itu sudah menjadi keturunan di keluargaku. Aku dan
America datang kemari agar aku dapat memulai hidup baru, tanpa membawa stigma anak dari seorang
pemabuk seperti dulu.
Seorang mantan penjudi dari Wichita?
Aku lahir di Nevada. Pada saat itu, semua yang Mick sentuh selalu berubah menjadi emas. Ketika aku
berumur tiga belas tahun, keberuntungannya berubah.
Dan dia menyalahkanmu.
America mengorbankan banyak hal untuk datang kemari bersamaku agar aku dapat melarikan diri, namun
saat aku tiba di sini aku bertemu dengan Travis.
Dan saat kau melihat Travis
Semua sangat familiar.
Finch mengangguk, membuang rokoknya ke tanah. Sial, Abby. Itu menyebalkan.
Aku menyipitkan mataku. Jika kau memberitahu orang lain apa yang aku katakan padamu, aku akan
memanggil mafia. Aku kenal beberapa dari mereka, kau tahu.
Omong kosong.
Aku mengangkat bahu. "Percayalah semaumu."
Finch memandangku curiga lalu tersenyum. kau adalah orang yang paling keren yang aku kenal.
Itu sangat menyedihkan, Finch. kau harus keluar lebih sering, kataku, sambil berhenti di depan pintu masuk
kafetaria.

Dia mengangkat daguku ke atas. Semua akan berjalan dengan baik. Aku adalah orang yang sangat percaya
pada pepatah semua terjadi karena suatu alasannya. kau datang kemari, America bertemu dengan Shep, kau
tahu tentang The Circle, sesuatu tentangmu membuat dunia Travis jungkir balik. Pikirkanlah,
Katanya sambil mendaratkan ciuman singkat di bibirku.
Hey! kata Travis. Dia memegang pinggangku, mengangkatku ke atas, lalu menurunkanku di belakangnya.
kau adalah orang terakhir yang aku khawatirkan akan melakukan hal itu, Finch! Yang benar saja! dia
menggodanya.
Finch mendekat ke samping Travis lalu berkedip. Sampai nanti, Cookie.
Ketika Travis melihat ke arahku, senyumnya menghilang. Kenapa merengut?
Aku menggeleng, membiarkan adrenalin mengalir. Aku hanya tidak suka dipanggil dengan sebutan itu. Punya
kenangan buruk pada nama itu.
Panggilan sayang dari pendeta muda-mu?
Bukan, aku menggerutu.
Travis mengepalkan tinjunya. kau ingin aku memukuli Finch? Memberikan pelajaran padanya? Aku akan
mengalahkannya.
Aku tidak bisa menahan senyum. Jika aku ingin mengalahkan dia, aku hanya tinggal bilang kalau Prada
bangkrut, dan dia akan menyelesaikan sendiri sisanya.
Travis tertawa, mendorong pintu agar terbuka. Ayo! Aku menjadi kurus, di sini!
***
Kami duduk di meja yang sama, saling mengejek satu sama lain, saling cubit, menyikut tulang rusuk. Mood
Travis optimis seperti saat aku kalah taruhan. Semua orang di meja kami menyadarinya, dan saat Travis
memulai perang makanan denganku, hal itu menarik perhatian semua orang di sekitar meja kami.
Aku memutar mataku. Aku merasa seperti hewan di kebun binatang.
Travis memandangku sebentar, menyadari semua tatapan itu, lalu berdiri. I CANT! dia berteriak. Aku
menatapnya terpesona saat seluruh ruangan tersentak melihat ke arahnya. Travis mengayunkan kepalanya
beberapa kali mengikuti ketukan lagu di kepalanya.
Shepley menutup matanya. Oh, tidak.
Travis tersenyum. get no..sa..tis..faction, dia bernyanyi. I cant get no..sat-is-fac-tion. Cuz Ive tried...and
Ive triedIve triedIve tried, dia naik ke atas meja saat semua orang menatap. I CANT GET NO!
Dia menunjuk ke arah pemain football yang berada di ujung meja dan mereka tersenyum, I CANT GET
NO! mereka berteriak bersamaan. Lalu, semua orang bertepuk tangan mengiringi.
Travis bernyanyi menaruh tangan didepannya, seolah-olah itu itu adalah mikrofon, When Im drivin in my
car, and a man comes on the..ra-di-ohes tellin me more and moreabout some useless in-for-ma-tion!
Supposed to fire my im-agin-a-tion! I CANT GET NO!

Uh no, no, no! dia menari melewatiku, bernyanyi ke arah mikrofon khayalannya.
Semua orang bernyanyi dalam harmoni, HEY, HEY, HEY!
Thats what Ill say! Travis bernyanyi.
Travis menghentakkan pinggulnya, lalu suara siulan dan jeritan dari beberapa para cewek di dalam ruangan
terdengar. Dia berjalan melewatiku lagi, menyanyikan chorus lagunya di bagian belakang ruangan, para
pemain football menjadi pengiringnya.
Aku akan membantumu! seorang wanita berteriak dari belakang.
cuz I tried, and I tried, and I tried dia bernyanyi.
I CANT GET NO! I CANT GET NO! penyanyi latarnya bernyanyi.
Travis berhenti di hadapanku dan membungkuk ke bawah. When Im watchin my tvand a.man comes on
and tells mehow white my shirt can be! Well he cant be a man, cause he doesnt smokethe same
cigarettes as me! I cantget no! Uh no, no, no!
Semua orang bertepuk tangan mengiringi dan para pemain football bernyanyi, HEY, HEY, HEY!
Thats what Ill say!" Travis bernyanyi, menunjuk ke arah penontonnya yang bertepuk tangan. Beberapa
orang berdiri dan menari bersamanya, tapi kebanyakan hanya melihat dengan terpesona dan merasa terhibur.
Dia melompat ke meja sebelah dan America menjerit dan bertepuk tangan, menyikutku. Aku menggelengkan
kepalaku; aku seperti mati dan terbangun di High School Musical.
Para pemain football menyenandungkan nada dasar, Na, na, nanana! Na, na, na! Na, na, nanana!
Travis mengangkat tinggi mikrofon khayalannya, When Imridin round the worldand Im doin this
and Im signin that!
Dia melompat turun, lalu mendekati wajahku melewati meja, And Im tryin to make some girltell me, uh
baby better come back, maybe next week, cuz you see Im. On. A losin streak! I CANT GET NO! Uh no, no,
no!
Seluruh ruangan bertepuk tangan mengikuti ketukan, para pemain football meneriakkan bagiannya, HEY,
HEY, HEY!
I cant get no! I cant get no! Satis-faction! dia bersenandung ke arahku, tersenyum dan terengah.
Satu ruangan bertepuk tangan, dan bahkan ada beberapa orang yang bersiul. Aku menggeleng setelah dia
mencium dahiku, lalu dia berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Ketika dia kembali ke tempat duduknya di depanku, dia cekikikan.
Mereka sekarang tidak lagi menatapmu, ya kan? dia terengah-engah.
Terima kasih. kau seharusnya tidak perlu melakukan itu, aku tersenyum.
Abs?

Aku melihat ke atas dan melihat Parker berdiri di ujung meja. Semua mata menatap ke arahku sekali lagi.
Kita harus bicara, Parker berkata, terlihat gugup. Aku melihat ke arah America, Travis, lalu kembali ke arah
Parker. Aku mohon? dia berkata, memasukkan tangannya ke dalam sakunya.
Aku mengangguk, mengikutinya ke luar. Dia berjalan melewati jendela untuk mendapat privasi di samping
gedung. Aku tidak bermaksud untuk menarik perhatian kembali padamu. Aku tahu betapa kau
membencinya.
Maka seharusnya kau menelepon saja jika kau ingin bicara, aku berkata.
Dia mengangguk, lalu melihat ke bawah. Aku tidak sengaja melihatmu di kafetaria. Aku menyaksikan
kegaduhan tadi, lalu melihatmu dan aku langsung masuk. Maafkan aku.
Aku menunggu, lalu dia bicara lagi, Aku tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Travis. Itu bukan
urusankuKita baru berkencan beberapa kali. Awalnya aku sempat merasa kesal namun aku kemudian
menyadari bahwa itu tidak akan menggangguku jika aku tidak menyukaimu.
Aku tidak tidur dengannya, Parker. Dia memegangi rambutku saat aku memuntahkan segelas Petron di
toiletnya. Hanya seromantis itu.
Dia tertawa sekali. Aku pikir kita tidak mendapat kesempatan yang adiltidak saat kau tinggal bersama
Travis. Sebenarnya, Abby, aku menyukaimu. Aku tak tahu mengapa tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan
dirimu. Aku tersenyum dan dia memegang tanganku, menyentuh gelangku dengan jarinya. Aku mungkin
menakutimu dengan hadiah bodoh ini, tapi aku belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Aku
merasa aku selalu harus bersaing dengan Travis untuk menarik perhatianmu.
Kau tidak menakutiku dengan gelang ini.
Dia menutup rapat bibirnya. Aku ingin mengajakmu berkencan lagi dua minggu dari sekarang, setelah
taruhanmu dengan Travis berakhir. Pada saat itu kita bisa berkonstrasi untuk saling mengenal satu sama lain
tanpa gangguan."
Cukup adil.
Dia mendekat dan menutup matanya, lalu mencium bibirku. Aku akan meneleponmu secepatnya.
Aku melambaikan tangan saat berpisah dengannya, lalu kembali ke kafetaria, melewati Travis.
Dia memegangku, menarikku ke pangkuannya. Putus cinta itu sulit ya?
Dia ingin mencoba lagi kalau aku sudah kembali ke asrama.
Sialan, aku harus mulai memikirkan taruhan lainnya, dia berkata, menarik piringku ke hadapanku.
***
Dua minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Selain untuk kuliah, aku menghabiskan semua waktuku bersama
Travis, dan kebanyakan kami habiskan berdua. Dia membawaku pergi makan malam, minum, dan berdansa di
The Red, bowling, dan dia dipanggil untuk bertarung dua kali. Saat kami tidak sedang menertawakan
kebodohan kami sendiri, Kami bermain gulat, atau meringkuk di sofa bersama Toto, menonton film. Dia
membuktikan maksudnya untuk mengacuhkan semua wanita yang menggodanya, dan semua orang

membicarakan Travis yang baru.


Malam terakhirku di apartemen, America dan Shepley entah mengapa tidak ada, dan Travis berusaha
mengadakan makan malam terakhir yang spesial. Dia membeli wine, menyusun serbet di meja, dan bahkan
membeli peralatan makan perak yang baru untuk acara ini. Dia menaruh piring kami di meja tempat kami
sarapan dan menarik bangkunya ke sisi lainnya dari meja agar duduk berhadapan denganku. Untuk pertama
kalinya, aku mendapat firasat kuat kalau kami sedang berkencan.
Ini sangat enak, Trav. kau tidak memberitahu sebelumnya kalau kau pandai memasak, aku berkata sambil
mengunyah Cajun Chicken Pasta yang dia masak.
Dia memaksakan satu senyuman, dan aku dapat melihat bahwa dia berusaha untuk membuat percakapan tetap
santai. Jika aku memberitahumu sebelumnya, kau akan mengharapkan ini setiap malam. Senyumnya
menghilang dan matanya menatap meja.
Aku memutar-mutar makanan dalam piringku. Aku akan merindukanmu, juga, Trav.
kau akan tetap datang berkunjung, kan?
kau tahu aku akan datang berkunjung. Dan kau akan ke asrama untuk membantuku belajar seperti
sebelumnya.
Tapi itu tidak akan sama, dia menghela nafas. kau akan berkencan dengan Parker, kita akan sibukberjalan
ke arah yang berbeda.
Tidak akan berubah sebanyak itu.
Dia berhasil tersenyum. Siapa yang akan mengira pada saat kita bertemu pertama kali bahwa kita akan duduk
di sini? kau seharusnya memberitahuku tiga bulan yang lalu bahwa aku akan menderita seperti ini karena
mengucapkan selamat tinggal pada seorang gadis.
Perutku merosot. Aku tidak ingin kau menderita.
Maka, jangan pergi, dia berkata. Ekspresinya sangat putus asa mengakibatkan rasa bersalah membentuk
gumpalan di tenggorokanku.
Aku tidak bisa pindah ke sini, Travis. Itu gila.
Kata siapa? Aku baru saja merasakan dua minggu terindah dalam hidupku.
Aku juga.
Lalu mengapa aku merasa seperti tidak akan pernah melihatmu lagi?
Aku tidak mempunyai jawaban. Wajahnya tegang, namun dia tidak marah. Dorongan untuk meghampirinya
sangat kuat, maka aku berdiri dan berjalan mengitari meja, duduk di pangkuannya. Dia tidak menatapku, maka
aku memeluk lehernya, menempelkan pipiku ke pipinya.
kau akan menyadari betapa menyebalkannya aku, lalu kau akan melupakan semua tentang merindukan
diriku, kataku di telingannya.
Dia menghembuskan nafasnya ke udara saat mengusap punggungku. Janji?

Aku bersandar dan menatap matanya, menyentuh wajahnya dengan tanganku. Aku membelai rahangnya
dengan ibu jariku; ekspresinya sangat menghancurkan hati. Aku menutup mataku dan mendekat untuk
mencium ujung bibirnya, namun dia berpaling sehingga aku mencium bibirnya lebih dari yang dimaksud.
Meskipun ciuman ini membuatku terkejut, aku tidak langsung mundur.
Travis membiarkan bibirnya di atas bibirku, namun dia tidak bertindak lebih jauh.
Aku akhirnya menjauh, lalu tersenyum. Besok hari yang besar untukku. Aku akan membereskan dapur lalu
pergi tidur.
Aku akan membantumu, dia berkata.
***
Kami mencuci piring bersama sambil terdiam membisu, dan Toto tertidur di bawah kaki kami. Dia
mengeringkan piring terakhir dan menaruhnya di rak, lalu menuntunku menelusuri lorong, memegang
tanganku sedikit terlalu erat. Jarak antara ujung lorong dengan kamarnya tampak dua kali lebih jauh. Kami
berdua tahu bahwa perpisahan hanya tinggal beberapa jam lagi.
Dia bahkan tidak berusaha berpura-pura tidak melihat saat aku mengganti pakaianku ke dalam salah satu kaos
tidurnya. Dia membuka pakaiannya sehingga tinggal memakai celana boxernya, lalu masuk ke bawah selimut,
menungguku bergabung dengannya.
Setelah aku naik, Travis mematikan lampu, dan menarikku mendekat padanya tanpa meminta izin atau
permintaan maaf. Dia menegangkan tangannya dan menghela nafas, dan aku meletakkan wajahku di lehernya.
Aku menutup mataku rapat, berusaha untuk menikmati saat ini. Aku tahu aku akan mengharapkan momen ini
terulang lagi setiap hari selama hidupku, maka aku menjalaninya dengan semua yang aku punya.
Dia menatap keluar jendela. Pepohonan membuat bayangan di wajahnya. Travis menutup rapat matanya, dan
perasaan tenggelam menetap di diriku. Sangat menyakitkan melihatnya menderita, mengetahui bukan hanya
aku yang mengakibatkannyaaku juga satu-satunya yang dapat menghilangkannya.
Trav? Apa kau baik-baik saja? aku bertanya.
Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya dia berbicara. Aku tidak pernah merasa kurang baik dari ini
selama hidupku.
Aku menekan dahiku pada lehernya, dan dia memelukku lebih erat. Ini sangat konyol, kataku.
Kita tetap akan bertemu setiap hari.
kau tahu itu tidak benar.
Besarnya rasa duka yang kami berdua rasakan telah menghancurkan kami, dan kebutuhan tak tertahankan
untuk menyelamatkan kami berdua muncul di dalam diriku.
Aku mengangkat dahuku, namun ragu; apa yang akan aku lakukan akan merubah segalanya. Aku beralasan
bahwa Travis menganggap hubungan intim bukan apa-apa selain hanya untuk menghabiskan waktu, lalu aku
menutup mataku lagi dan menelan rasa takutku. Aku harus melakukan sesuatu, mengetahui kami berdua masih
terbangun, takut pada setiap menit yang berlalu hingga pagi.
Hatiku berdebar kencang saat aku menyentuh lehernya dengan bibirku, lalu merasakan kulitnya dalam ciuman

pelan dan lembut. Dia melihat ke bawah dengan rasa terkejut, lalu matanya melembut saat menyadari apa yang
aku inginkan.
Dia mendekat, menekan bibirnya di bibirku dengan rasa manis yang lembut. Kehangatan dari bibirnya
mengalir sampai kakiku, dan aku menariknya lebih dekat.
Sekarang setelah kami mengambil langkah pertama, aku tidak punya keinginan untuk menghentikannya.
Aku membuka bibirku, membiarkan lidah Travis masuk. Aku menginginkanmu, aku berkata.
Tiba-tiba, ciumannya menjadi pelan, dan dia berusaha menjauh. Bertekad untuk menyelesaikan apa yang aku
mulai, mulutku menciumnya lebih gugup lagi. Akibatnya, Travis mundur hingga dia berlutut. Aku bangkit
mengikutinya, menjaga agar mulut kami tetap menyatu.
Dia mencengkeram ke dua bahuku untuk menahanku. Tunggu sebentar, dia berbisik dengan senyuman
senang di wajahnya, terengah-engah. kau tidak harus melakukan ini, Pidge. Ini bukan maksud dari malam
ini.
Dia menahan, namun aku dapat melihat di matanya bahwa pengendalian dirinya tidak akan bertahan lama.
Aku mendekat lagi, dan kali ini tangannya memberi jalan untuk bibirku menyentuh bibirnya. Jangan
membuatku memohon. Aku berbisik di mulutnya.
Dengan empat kata itu, keberatannya hilang. Dia menciumku, dengan keras dan bersemangat. Jariku
menelusuri punggungnya dan berhenti di atas karet celana boxernya, dengan gugup menelusuri celana
boxernya. Bibirnya menjadi tidak sabar, lalu, aku terjatuh di tempat tidur saat dia menindihku. Lidahnya
menemukan jalannya untuk masuk sekali lagi, dan ketika aku mendapat keberanian untuk memasukan
tanganku di antara kulit dan celana boxernya, dia mengerang.
Travis menarik lepas kaos dari atas kepalaku, lalu tangannya dengan tidak sabar bergerak ke bagian bawahku,
memegang celana dalamku dan melepasnya dari kakiku dengan satu tangan. Bibirnya kembali ke bibirku saat
tangannya meluncur ke dalam pahaku, dan aku mengeluarkan nafas panjang yang terengah saat jarinya
mengembara di tempat di mana tidak ada seorang priapun yang pernah menyentuhnya sebelumnya. Lututku
terangkat dan mengejang pada setiap gerakan tangannya, dan saat aku mencengkeram kulitnya, dia
memposisikan dirinya di atasku.
Pidgeon. Dia berkata, terengah, Ini tidak harus malam ini. Aku akan menunggu hingga kau siap.
Aku melihat ke atas kepalaku dan meraih laci teratas di meja lampu tidurnya, menariknya hingga terbuka.
Merasakan plastik di antara jariku, aku meletakkan ujungnya di bibirku, merobek bungkusnya terbuka
menggunakan gigiku. Tangannya yang bebas meninggalkan punggungku, dan dia menurunkan celana
boxernya, menendangnya lepas seolah dia tidak tahan itu berada di antara kami.
Bungkusnya bergemericik di ujung jarinya, dan setelah beberapa saat, aku merasakannya di antara pahaku.
Aku menutup mataku.
Tataplah aku, Pigeon.
Aku menatapnya, matanya tajam dan lembut pada saat yang sama. Dia memiringkan kepalanya, berbaring
mendekat untuk menciumku dengan lembut, lalu tubuhnya menjadi tegang, mendorong dirinya ke dalam diriku
dengan gerakan kecil dan pelan. Ketika dia menarik kembali, aku menggigit bibirku karena merasa tidak
nyaman; saat dia bergoyang ke dalam tubuhku lagi, aku menutup rapat mataku karena kesakitan. Pahaku
menjadi tegang di sekeliling pinggangnya, dan dia menciumku lagi.

Tataplah aku, dia berbisik.


Ketika aku membuka mataku, dia menekan ke dalam lagi, dan aku menjerit karena itu mengakibatkan rasa
terbakar yang nikmat. Setelah aku tenang, gerakan tubuhnya dan tubuhku menjadi lebih berirama.
Rasa gugup yang awalnya aku rasakan telah hilang, dan Travis mencengkeram kulitku seolah dia tidak pernah
merasa cukup. Aku menariknya masuk kedalam diriku, dan dia mengerang ketika itu terasa semakin nikmat.
Aku menginginkanmu sudah sangat lama, Abby. Hanya kau yang aku inginkan, dia bernafas di mulutku.
Dia memegang pahaku dengan satu tangan dan menyangga tubuhnya dengan sikunya, hanya beberapa inchi di
atasku. Keringat tipis mulai menetes di atas kulit kami, dan aku mengangkat punggungku saat bibirnya
menelusuri wajahku lalu ke leherku.
Travis, aku mendesah.
Saat aku menyebut namanya, dia menekan pipinya di pipiku, dan gerakannya menjadi semakin keras. Suara
dari tenggorokannya semakin kencang, dan dia akhirnya menekan di dalam diriku sekali lagi, mengerang, dan
bergetar di atas tubuhku.
Setelah beberapa saat, dia menjadi tenang dan membuat nafasnya teratur.
Tadi itu adalah ciuman pertama yang hebat, aku berkata dengan sedikit lelah, dengan ekspresi rasa puas.
Dia mengamati wajahku dan tersenyum. Ciuman pertama terakhirmu.
Aku terlalu terkejut untuk menjawab.
Dia ambruk telungkup di sampingku, membentangkan tangannya di atas pinggangku, meletakkan dahinya di
dekat pipiku. Jariku bergerak menelusuri kulit punggung telanjangnya hingga aku mendengar nafasnya
semakin pelan.
Aku tetap terjaga selama beberapa jam, mendengarkan nafas Travis yang dalam dan angin menggerakkan
pepohonan di luar. America dan Shepley masuk lewat pintu depan dengan pelan, lalu aku mendengar langkah
jinjit mereka di sepanjang lorong, bergumam satu sama lain.
Kami sudah mengepak barang-barangku tadi, aku meringis membayangkan akan merasa tidak nyaman nanti
pagi. Kupikir setelah Travis tidur denganku, rasa penasarannya akan terpuaskan, namun dia justru
membicarakan tentang selamanya. Mataku langsung tertutup karena memikirkan ekspresinya saat mengetahui
apa yang telah terjadi di antara kami bukan merupakan suatu permulaan, namun penutupan. Aku tidak bisa
menjalani hubungan itu dan dia akan membenciku saat aku memberitahunya.
Aku bergerak keluar dari bawah tangannya lalu berpakaian, membawa sepatuku keluar menuju kamar Shepley.
America sedang duduk di tempat tidur dan Shepley sedang membuka kaosnya di depan lemari.
Semua baik-baik saja, Abby? Shepley bertanya.
Mare? aku berkata, memberinya tanda untuk mengikutiku ke lorong.
Dia mengangguk, melihatku dengan tatapan curiga. Apa yang terjadi?
Aku ingin kau mengantarku ke asrama sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai besok.

Satu sudut wajahnya terangkat karena senyuman. kau tidak pernah bisa menangani perpisahan.
Shepley dan America membantuku membawa tasku, dan aku memandang keluar jendela mobil America dalam
perjalananku menuju asrama. Saat kami menurunkan tas terakhir di kamarku, America memegangku.
Akan terasa sangat berbeda sekarang di apartemen.
Terima kasih sudah mengantarku pulang. Matahari akan terbit beberapa jam lagi. Sebaiknya kau pergi, aku
berkata sambil meremas tangannya sekali lagi sebelum melepaskannya.
America tidak melihat ke belakang lagi saat dia meninggalkan kamar, dan aku menggigit bibirku dengan
gugup, menyadari akan sangat marahnya dia saat dia menyadari apa yang telah aku lakukan.
Kaosku mengeluarkan suara seperti sobek saat aku menariknya dari atas kepalaku, listrik statis di udara telah
meningkat karena musim dingin yang semakin dekat. Merasa sedikit tersesat, aku meringkuk di bawah selimut
tebalku, dan menarik nafas melalui hidungku; aroma wangi tubuh Travis masih terasa di kulitku.
Tempat tidur terasa dingin dan asing, sangat kontras dengan kehangatan tempat tidurnya Travis. Aku telah
menghabiskan tiga puluh hari di apartemen sempit dengan lelaki brengsek yang paling terkenal di Eastern,
meskipun dengan semua pertengkaran dan tamu tengah malam, di sanalah satu-satunya tempat di mana aku
ingin berada.
***
Telepon berbunyi mulai dari jam delapan pagi, lalu menjadi setiap lima menit sekali selama satu jam.
Abby! Kara mengeluh. Angkat telepon bodohmu!
Aku meraih teleponku dan mematikannya. Sesaat setelah aku mematikan teleponku aku mendengar ada yang
menggedor pintu dan aku menyadari aku tidak akan bisa menghabiskan hariku di atas tempat tidur seperti yang
sudah aku rencanakan.
Kara membuka pintu. Apa?
America mendorongnya lalu masuk melewatinya, dan berdiri di samping tempat tidurku. Sialan, apa sih yang
terjadi? dia membentak. Matanya merah dan bengkak, dan dia masih memakai piyamanya.
Aku bangun. Kenapa, Mare?
Travis mengamuk! Dia tidak mau memberitahu kami, dia menghancurkan apartemen, melempar stereo ke
seberang ruangan...Shep tidak bisa membujuknya!
Aku menggosok mata dengan telapak tanganku, lalu berkedip. Aku tidak tahu.
Omong kosong! kau akan memberitahuku apa yang telah terjadi, dan kau akan memberitahukannya
sekarang!
Kara mengambil peralatan mandinya lalu pergi. Dia membanting pintu di belakangnya, dan aku merengut,
khawatir dia akan memberitahu penasehat mahasiswa, atau lebih parah lagi, memberitahu Dekan mahasiswa.
Pelankan suaramu, America, ya Tuhan, aku berbisik.

Dia menutup rapat bibirnya. Apa yang telah kau lakukan?


Kupikir dia hanya akan marah padaku; aku tak tahu dia akan mengamuk.
Akutidak tahu, aku menelan ludah.
Dia melayangkan tinjunya ke arah Shepley ketika dia tahu kami membantumu pergi. Abby! Kumohon
beritahu aku! Matanya berkaca-kaca. "Itu menakutiku."
Rasa ngeri di matanya membuatku memberitahukan hanya sebagian dari yang terjadi sebenarnya. Aku hanya
tidak dapat mengucapkan selamat tinggal. kau tahu itu berat untukku.
Bukan itu, pasti ada yang lain, Abby. Dia menjadi gila! Aku mendengarnya memanggil namamu, lalu dia
berlari ke seluruh sudut apartemen mencari dirimu. Dia menerobos masuk ke kamar Shepley, memaksa ingin
mengetahui keberadaanmu. Lalu dia mencoba meneleponmu. Lagi, dan lagi dan lagi, dia menghela nafas.
Wajahnya sangat..ya Tuhan, Abby. Aku belum pernah melihatnya seperti itu.
Dia merobek sprei tempat tidurnya, lalu melemparnya, melempar bantalnya, menghancurkan cerminnya
dengan tinjunya, menendang pintumelepasnya dari engsel! Itu adalah kejadian yang paling menakutkan
dalam hidupku!
Aku menutup mataku, sehingga air mata di ujung mataku turun ke pipiku.
America memberikan teleponnya padaku. kau harus meneleponnya. kau setidaknya harus memberitahunya
bahwa kau baik-baik saja.
Ok, aku akan meneponnya.
Dia menyodorkan teleponnya lagi padaku. Tidak, kau harus meneleponnya, sekarang.
Aku mengambil teleponnya dan menekan tombolnya, berusaha memikirkan apa yang bisa aku katakan
padanya. Dia merebut teleponnya dari tanganku, menekan nomor lalu menyerahkannya padaku. Aku
memegang telepon di telingaku, dan mengambil nafas panjang.
Mare? Travis menjawab teleponnya, suaranya sangat cemas.
Ini aku.
Teleponnya hening sesaat sebelum akhirnya dia mulai bicara. Apa yang terjadi padamu tadi malam? Aku
terbangun pagi ini, kau tidak ada dan kaupergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal? Mengapa?
Maafkan aku. Aku,
kau minta maaf? Aku menjadi gila! kau tidak menjawab teleponmu, menyelinap pergi dan, apakenapa?
Kupikir kita akhirnya menyadari semuanya!
Aku hanya membutuhkan waktu untuk berpikir.
Berpikir tentang apa? dia terhenti. Apa aku telah menyakitimu?
Tidak! Bukan itu! Aku benar-benar..benar-benar minta maaf. Aku yakin America telah memberitahumu. Aku
tidak mampu mengucapkan selamat tinggal.

Aku harus bertemu denganmu, dia berkata, suaranya terdengar putus asa.
Aku menghela nafas. Banyak yang harus aku kerjakan hari ini. Aku harus membongkar barangku dan aku
punya setumpuk baju yang harus di cuci.
kau menyesalinya, dia berkata, suaranya terdengar hancur.
Bukanbukan karena itu. Kita berteman. Dan itu tidak akan berubah.
Berteman? Lalu kau pikir tadi malam itu apa? dia berkata, kemarahan terdengar dalam suaranya.
Aku menutup rapat mataku. Aku tahu apa yang kau inginkan. Aku hanya tidak bisa.melakukannya saat
ini.
Jadi kau hanya membutuhkan waktu? dia bertanya dengan suara yang lebih tenang. Kau seharusnya
memberitahuku. kau tidak perlu lari dariku.
Itu adalah cara yang paling mudah.
Paling mudah untuk siapa?
Aku tidak bisa tidur. Aku terus berpikir tentang bagaimana rasanya nanti pagi, saat memasukkan tasku ke
dalam mobil America danaku tidak bisa melakukannya, Trav, Kataku.
Itu sudah cukup buruk bahwa kau tidak akan berada di sini lagi. kau tidak bisa langsung menghilang dari
hidupku.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Kita akan bertemu besok. Aku tidak ingin semua jadi aneh, OK? Aku
hanya ingin memikirkan beberapa masalah dulu. Hanya itu.
OK, dia berkata.Aku bisa melakukan itu.
Aku menutup telepon, dan America membelalak ke arahku. kau TIDUR dengannya? Sialan kau! kau bahkan
tidak akan memberitahuku?
Aku memutar mataku dan ambruk di atas bantal. Ini bukan tentang dirimu, Mare. Ini menjadi satu masalah
sulit dan rumit.
Apanya yang sulit tentang itu? Kalian berdua seharusnya sangat bahagia, bukannya merusak pintu atau
bersembunyi di kamarmu!
Aku tidak boleh bersamanya, aku berbisik, terus memandangi langit-langit.
Tangannya memegang tanganku, dia bicara dengan lembut. Bersama Travis memang butuh banyak usaha.
Percayalah padaku, aku mengerti pada semua rasa ragumu padanya, tapi lihat bagaimana dia telah berubah
begitu banyak untukmu. Pikirkan tentang dua minggu yang lalu, Abby. Dia tidak seperti Mick.
Aku yang seperti Mick! Aku terlibat dengan Travis dan semua yang telah kami lakukanlenyap! aku
menjentikkan jariku. Begitu saja!
Travis tidak akan membiarkan itu terjadi.

Itu bukan tergantung padanya sekarang, ya kan?


kau akan menghancurkan hatinya, Abby. kau akan menghancurkan hatinya! Satu-satunya wanita yang dia
percaya untuk dicintai, dan kau akan sangat menyakitinya!
Aku berpaling darinya, tidak mampu melihat ekspresinya yang datang bersamaan dengan nada pembelaan di
suaranya.
Aku ingin akhir yang bahagia. Itu alasan kita datang kemari.
kau tidak harus melakukan ini. Semua akan berjalan lancar.
Hingga keberuntunganku habis.
America mengangkat tangannya ke atas, dan menjatuhkannya di pangkuannya. Ya Tuhan, Abby, jangan bicara
tentang omong kosong itu lagi. Kita sudah membahasnya tentang ini.
Teleponku berbunyi, dan aku melihat nama di layarnya. Itu Parker.
Dia menggelengkan kepalanya. Kita masih belum selesai bicara.
Halo? aku menjawab, menghindari tatapan America.
Abs! Ini hari pertama dari kebebasanmu! Bagaimana rasanya? dia berkata.
Itu terasabebas, aku berkata, tidak bisa mengeluarkan sedikit pun nada antusias.
Makan malam besok malam? Aku merindukanmu.
Ya, aku mengelap hidungku dengan tangan bajuku. Besok kedengaran sempurna.
Setelah aku menutup telepon, America merengut. Travis akan bertanya padaku saat aku pulang, dia berkata.
Dia akan bertanya apa saja yang kita bicarakan. Apa yang harus aku katakan padanya?
Katakan padanya bahwa aku menepati janjiku. Saat besok tiba, dia tidak akan merindukanku.
***
Dua meja di depan, satu meja di belakang. America dan Shepley hampir tidak terlihat dari tempat aku duduk,
dan aku membungkuk, melihat Travis menatap kursi kosong tempat aku biasa duduk sebelum dia duduk di
ujung meja. Aku merasa konyol karena bersembunyi, tapi aku merasa belum siap untuk duduk di hadapannya
selama satu jam penuh. Ketika aku telah menghabiskan makananku, aku mengambil nafas panjang dan
melangkah keluar ke arah Travis yang sedang menghabiskan rokoknya.
Aku telah menghabiskan sepanjang malam berusaha untuk membuat satu rencana yang akan membawa kami
pada keadaan sebelumnya. Jika aku menganggap pertemuan kami seperti dia menganggap seks adalah hal yang
biasa, aku akan mempunyai kesempatan yang lebih baik. Semua rencanaku beresiko akan kehilangan dia, tapi
aku harap ego lelakinya yang besar akan memaksanya untuk menerima itu seperti hal yang biasa juga.
Hai, aku tersenyum.
Dia menyeringai. Hai. Kupikir kau sedang makan siang.
Aku buru-buru, harus belajar, aku mengangkat bahu, berusaha sebaik mungkin terlihat biasa.

Butuh bantuan?
Itu mata kuliah Kalkulus. Kupikir aku bisa mengatasinya.
Aku bisa datang hanya untuk memberikan bantuan moral. dia tersenyum, memasukan tangannya ke dalam
saku. Ototnya yang kekar di tangannya menjadi tegang karena melakukan itu, dan memikirkannya meregang
ketika dia mendorong dirinya masuk kedalam diriku berputar kembali dengan jelas di dalam kepalaku.
Ehm..apa? aku bertanya, bingung karena pikiran erotis yang tiba-tiba terlintas di pikiranku.
Apakah kita harus berpura-pura yang terjadi kemarin malam tidak pernah terjadi?
Tidak, kenapa? aku pura-pura bingung dan dia menghela nafas, frustrasi karena kelakuanku.
Aku tak tahukarena aku mengambil keperawananmu? dia mendekat ke arahku, mengatakan kata itu
dengan suara berbisik.
Aku memutar mataku. Aku yakin itu bukan pertama kalinya kau mengambil keperawanan seorang cewek,
Trav.
Seperti yang aku takutkan, sikapku yang seperti tidak terjadi apapun telah membuatnya marah. Sebenarnya,
itu adalah yang pertama.
Ayolahaku sudah bilang aku tidak ingin kita jadi canggung.
Travis mengambil satu lagi hisapan terakhir rokoknya lalu membuangnya ke bawah. Well, jika aku telah
belajar sesuatu beberapa hari terakhir ini, itu adalah bahwa kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan.
Hai, Abs, Parker berkata sambil mencium pipiku.
Travis melotot ke arah Parker dengan ekspresi kejam.
Aku akan menjemputmu sekitar jam enam? kata Parker.
Aku mengangguk. Jam enam.
Sampai bertemu sebentar lagi, dia berkata, berjalan menuju kelasnya. Aku memperhatikan dia pergi, takut
pada konsekuensi yang akan di dapat karena sepuluh detik terakhir tadi.
Kau akan pergi kencan bersamanya malam ini? Travis mendesis marah. Mulutnya tertutup rapat, dan aku
dapat melihat dia menggertakkan gigi di bawah kulitnya.
Aku sudah bilang padamu dia akan mengajakku kencan lagi setelah aku kembali ke asrama. Dia meneleponku
kemarin.
Apakah kau tidak berpikir semua sedikit berubah setelah pembicaraan itu?
kenapa?
Dia pergi menjauhiku, dan aku menelan ludah, berusaha menahan air mata yang akan menetes. Travis berhenti
dan kembali, mendekat pada wajahku. Itu sebabnya kau berkata aku tidak akan merindukanmu lagi setelah
hari ini! Kau tahu bahwa aku akan mengetahui tentang kau dan Parker, dan kau pikir aku akanapa?
Melupakanmu? kau tidak percaya padaku, atau karena aku kurang pantas untukmu? Beritahu aku, sialan!

Beritahu apa yang telah aku lakukan padamu yang membuatmu melakukan ini padaku!
Aku berdiri tegak, menatap langsung ke matanya. Kau tidak melakukan apapun padaku. Sejak kapan seks
menjadi masalah hidup dan mati untukmu?
Sejak itu bersamamu!
Aku melihat sekeliling, menyadari kalau kami menarik perhatian orang lain. Orang-orang berjalan pelan,
menatap dan berbisik satu sama lain. Aku rasa telingaku menjadi merah, dan menyebar ke wajahku, membuat
mataku berair.
Dia menutup matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum mulai bicara lagi. Apa memang
begitu? Kau pikir itu tidak berarti apapun bagiku?
Kau adalah Travis Maddox.
Dia menggelengkan kepalanya, merasa jijik. Kalau aku tidak tahu lebih baik, aku akan berpikir kau sedang
mengingatkan aku akan masa laluku.
Kupikir empat minggu yang lalu bukan merupakan masa lalu. Wajahnya mengernyit dan aku tertawa. Aku
bercanda! Travis, semua baik-baik saja. Aku baik-baik saja, kau baik-baik saja. Tidak perlu terlalu membesarbesarkan masalah ini.
Semua amarah hilang dari wajahnya lalu dia mengambil nafas panjang dari hidungnya. Aku tahu apa yang
sedang kau lakukan. Matanya menerawang sesaat, terhanyut dalam pikirannya sendiri. Aku harus
membuktikannya padamu kalau begitu. Matanya tajam saat melihat ke dalam mataku, bertekad seperti saat
sebelum dia bertarung. Jika kau pikir aku akan langsung kembali berhubungan seks dengan semua orang, kau
salah. Aku tidak menginginkan orang lain. Kau ingin kita hanya berteman? Baiklah, kita berteman. Tapi kau
dan aku tahu apa yang telah terjadi bukan hanya sekedar seks.
Dia bergegas pergi melewatiku dan aku menutup mataku, menghembuskan nafas yang tanpa aku sadari telah
aku tahan. Travis memandang kembali ke arahku, lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas selanjutnya. Air
mata yang tidak dapat aku tahan turun di pipiku dan aku langsung menghapusnya. Pandangan ingin tahu dari
teman sekelasku menusuk tajam di punggungku saat aku bersusah payah masuk kelas.
Parker ada di barisan kedua dan aku langsung duduk di sampingnya.
Senyuman terlihat di wajahnya. Aku tidak sabar menunggu nanti malam.
Aku menarik nafas lalu tersenyum, berusaha merubah moodku setelah berbicara dengan Travis tadi.
Apa rencananya?
Well, aku telah selesai membereskan apartemenku. Aku ingin kita makan malam di sana.
Aku juga sudah tidak sabar menunggu nanti malam. Aku berkata, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
***
Karena America menolak untuk membantu, Kara dengan enggan menjadi asisten yang membantuku memilih
gaun untuk kencanku dengan Parker. Setelah aku memakainya, aku langsung melepaskannya lagi dan malah
memakai celana jins saja. Setelah merenungi tentang rencanaku yang gagal sepanjang sore, aku tidak bisa
menyuruh diriku untuk berdandan. Mengingat udara yang dingin, aku mengenakan sweater kasmir tipis

berwarna gading di atas tank top coklatku, lalu menunggu di pintu. Ketika mobil porsche Parker yang
mengkilap berhenti di depan asrama, aku langsung keluar sebelum dia sempat berjalan menghampiriku.
Aku tadi akan menghampirimu, dia berkata, merasa kecewa saat dia membukakan pintu mobil untukku.
kau kan jadi tidak perlu berjalan, aku berkata sambil memakai sabuk pengamanku.
Dia duduk di sampingku dan mendekat, memegang kedua sisi wajahku, menciumku dengan bibir lembutnya.
Wow, dia menarik nafas, Aku merindukan bibirmu.
Nafasnya beraroma mint, colognenya sangat wangi, tangannya hangat dan lembut dan dia terlihat tampan
memakai celana jins dengan kemeja hijaunya, tapi aku tidak dapat menghilangkan perasaanku yang merasa ada
sesuatu yang hilang. Kegembiraan yang aku rasakan dulu telah hilang, dan aku diam-diam mengutuk Travis
karena telah menghilangkan perasaan itu.
Aku memaksakan satu senyuman. Aku anggap itu sebagai pujian.
Apartemennya sama seperti yang telah aku bayangkan: Rapi, bersih, dengan barang-barang elektronik yang
mahal di setiap sudut, yang sepertinya di dekorasi oleh ibunya.
Jadi? Bagaimana menurutmu? dia berkata, tersenyum seperti anak kecil yang sedang memamerkan mainan
barunya.
Sangat indah, aku mengangguk.
Ekspresinya berubah dari bermain-main menjadi intim, dan dia menarikku ke dalam pelukannya, mencium
leherku. Semua otot dalam tubuhku menjadi tegang.
Aku ingin berada di tempat lain selain di apartemen ini.
Teleponku berbunyi, dan aku memberinya senyuman minta maaf sebelum menjawab teleponku.
Bagaimana kencanmu, Pidge?
Aku membalikkan tubuhku dari Parker dan berbisik ke arah telepon. Apa yang kau butuhkan, Travis? aku
mencoba agar suaraku terdengar tegas, tapi itu malah menjadi lembut karena lega mendengar suaranya.
Aku akan pergi bowling besok. Aku membutuhkan partner.
Bowling? kau tidak bisa meneleponku nanti? aku merasa seperti orang munafik karena mengatakan hal itu,
mengetahui aku mengharapkan alasan untuk membuat bibir Parker jauh dariku.
Bagaimana aku tahu kalau kau telah selesai? Oh. Itu tidak terdengar tepat dia berhenti, terdengar kagum
pada dirinya sendiri.
Aku akan meneleponmu besok lalu kita akan membicarakan ini nanti, OK?
Tidak, itu tidak OK. kau bilang ingin kita bersahabat, tapi kita tidak bisa hang out? aku memutar mataku dan
Travis menghela nafas. Jangan memutar matamu padaku. Kau ikut apa tidak?
Bagaimana kau tahu aku memutar mataku? Apa kau membuntutiku? aku bertanya, melihat ke arah tirai.
kau selalu memutar matamu. Ikut? Tidak? kau membuang waktu berkencanmu yang berharga.

Dia sangat mengenalku. Aku melawan keinginan untuk memintanya menjemputku nanti. Aku tidak dapat
menahan senyumku karena berpikir seperti itu.
Ya! aku berkata dengan suara berbisik, berusaha untuk tidak tertawa. Aku akan ikut.
Aku akan menjemput jam tujuh.
Aku berbalik ke arah Parker, tersenyum seperti kucing Cheshire.
Travis? dia bertanya dengan ekspresi ingin tahu.
Ya, aku merengut, tertangkap basah.
Kalian masih hanya bersahabat?
Masih hanya bersahabat, aku mengangguk sekali.
Kami duduk di meja, memakan masakan cina yang tadi di beli. Aku menjadi lebih hangat padanya setelah
beberapa saat, dan dia mengingatkanku betapa menawannya dia. Aku merasa lebih ringan, hampir cekikikan,
berubah dari sebelumnya. Sekuat apapun aku mendorong pikiran itu keluar dari kepalaku, aku tidak bisa
menyangkal bahwa rencanaku dengan Travislah yang membuat moodku lebih baik.
Setelah makan malam, kami duduk di sofa menonton film, namun sebelum daftar pemain selesai, Parker
membaringkanku di sofa. Aku lega aku memilih memakai celana jins; aku tidak akan mampu menangkisnya
kalau memakai gaun. Bibirnya turun menelusuri tulang leherku, dan tangannya berada di atas ikat pinggangku.
Dengan kikuk dia berusaha menarik lepas ikat pinggang itu, dan setelah lepas, aku meluncur keluar dari
bawahnya lalu berdiri.
OK! Kurasa base pertama adalah satu-satunya yang kau dapat malam ini, aku berkata sambil memasang
kembali ikat pinggangku.
Apa?
Base pertamabase kedua? Lupakanlah. Ini sudah malam, aku sebaiknya pergi.
Dia terduduk bangun dan memegang kakiku. Jangan pergi, Abs. Aku tak ingin kau berpikir ini alasan aku
membawamu kemari.
Bukankah itu alasannya?
Tentu bukan, dia berkata, menarikku ke pangkuannya. Hanya kau yang aku pikirkan selama dua minggu
ini. Maaafkan aku karena menjadi tidak sabar.
Dia mencium pipiku, dan aku bersandar di dadanya, tersenyum saat nafasnya menggelitik leherku. Aku
berpaling ke arahnya dan menekan bibirku di bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk merasakan sesuatu
tapi aku tidak merasakannya. Aku menjauh darinya dan menghela nafas. Parker mengernyitkan alisnya. Aku
sudah bilang aku menyesal.
Aku bilang ini sudah larut.
***

Kami naik mobil ke asrama, dan Parker meremas tanganku setelah menciumku. Mari kita mencoba lagi. Ke
Biasetti besok?
Aku menutup rapat bibirku. Aku akan pergi bowling dengan Travis besok.
Rabu kalau begitu?
Rabu boleh, aku berkata, memberinya senyuman yang di buat-buat.
Parker bergeser di tempat duduknya. Dia mengusahakan sesuatu. Abby? Ada pesta kencan di The House dua
minggu dari sekarang
Dalam hati aku meringis, takut akan diskusi yang mau tak mau akan kami lakukan.
Ada apa? dia bertanya, tertawa gugup.
Aku tidak bisa pergi denganmu, aku berkata, sambil keluar dari mobil.
Dia mengikuti hingga pintu masuk asrama. Kau sudah punya rencana?
Aku meringis. Aku punya rencanaTravis sudah mengajakku pergi ke sana,
Travis mengajakmu ke mana?
Ke pesta kencan, aku menjelaskan, sedikit frustrasi.
Wajah Parker memerah, dan dia menggeser tubuhnya. Kau akan pergi ke pesta kencan dengan Travis? Dia
tidak pernah datang ke acara seperti itu. Dan kalian hanya berteman. Sangat tidak masuk akal kalau kau pergi
bersamanya.
America tidak mau pergi bersama Shepley, kecuali aku ikut.
Dia sedikit tenang. Kalau begitu pergilah denganku, dia tersenyum sambil memegang tanganku.
Aku meringis akan keputusannya. Aku tidak bisa membatalkan pergi dengan Travis lalu pergi bersamamu.
Aku tidak melihat masalahnya, dia mengangkat bahunya. kau bisa berada di sana untuk America, Travis
bisa lepas dari kewajibannya untuk pergi kesana. Dia sama sekali tidak pernah datang ke acara pesta kencan.
Menurutnya itu hanya salah satu cara untuk para wanita memaksa kami agar mengumumkan hubungan kami.
Aku yang tidak ingin pergi. Dia memaksaku untuk ikut.
Sekarang kau punya alasan, dia mengangkat bahu. Dia jadi menjengkelkan karena merasa yakin kalau aku
akan merubah pikiranku.
Aku tidak ingin pergi sama sekali.
Kesabaran Parker sudah habis. Aku hanya ingin menjelaskan; kau tidak ingin pergi ke pesta kencan. Travis
ingin pergi, dia mengajakmu, dan kau tidak ingin membatalkan pergi dengannya untuk pergi denganku,
meskipun kau pada awalnya tidak ingin pergi?
Aku kesulitan menatap balik matanya. Aku tidak bisa melakukan itu kepadanya, Parker, maafkan aku.

Apakah kau tahu pesta kencan itu apa? Seharusnya kau pergi kesana bersama kekasihmu.
Nada suaranya yang merendahkan membuat empati yang aku rasakan padanya telah hilang. Well, aku tidak
punya kekasih, jadi secara teknis aku tidak harus pergi sama sekali.
Kupikir kita akan mencoba lagi. Aku pikir kita memiliki sesuatu.
Aku sedang mencoba.
Apa yang kau harap aku lakukan? Duduk di rumah sendirian sementara kau pergi ke pesta kencan yang
diadakan perkumpulan persaudaraanku bersama orang lain? Apa aku harus mengajak wanita lain?
Aku tidak melarangmu pergi ke pestamu sendiri. Kita akan bertemu di sana.
kau ingin aku mengajak wanita lain? Dan kau pergi bersama Travis. Apa kau tidak lihat betapa anehnya itu?
Aku menyilangkan tanganku, siap untuk pertengkaran. Aku bilang padanya aku akan pergi dengannya
sebelum kita berkencan, Parker. Aku tidak bisa membatalkannya.
kau tidak bisa, atau tidak mau?
Perbedaan yang sama. Aku menyesal kau tidak mengerti. Aku mendorong pintu asrama hingga terbuka, dan
Parker menahanku.
Baiklah, dia menarik nafas menyerah. Ini jelas adalah satu masalah yang harus aku mengerti. Travis adalah
salah satu sahabatmu, aku sangat mengerti itu. Aku tidak ingin ini mempengaruhi hubungan kita. OK?
OK, kataku sambil mengangguk.
Dia membukakan pintu dan menyuruhku masuk, mencium leherku sebelum aku berjalan masuk. Sampai
bertemu hari Rabu jam enam?
Jam enam. aku tersenyum, melambai ke arahnya saat aku menaiki tangga.
***
America sedang berjalan keluar dari kamar mandi ketika aku berbelok, matanya bersinar ketika dia melihatku.
Hai, chickie! Bagaimana kencanmu?
Biasa saja, kataku datar.
Uh oh.
Jangan beritahu Travis, OK?
Dia mendengus. Tidak akan, apa yang terjadi?
Parker mengajakku ke pesta kencan.
America mengencangkan handuknya. Kau tidak akan membatalkan pergi dengan Trav kan?
Tidak, dan Parker tidak senang karena itu.

Bisa dipahami, dia berkata, mengangguk. Itu juga sangat buruk.


America menarik rambutnya yang panjang dan basah ke sisi salah satu bahunya, dan butiran air menetes di
kulit telanjangnya. Dia kontradiksiku yang berjalan. Dia melamar masuk Eastern agar kami bisa tinggal
bersama. Dia adalah suara hatiku, akan turun tangan saat aku menyerah pada kecenderunganku yang tertanam
untuk pergi keluar jalur. Semua berlawanan dengan yang telah kam bicarakan tentang aku berhubungan dengan
Travis, dan dia telah menjadi penyemangat Travis yang terlalu antusias.
Aku bersandar ke dinding. Apa kau akan marah kalau aku tidak jadi pergi?
Tidak, aku akan sangat kesal hingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Di sana akan banyak terjadi
perkelahian antar wanita, Abby.
Kalau begitu aku akan pergi, aku berkata, memasukkan kunciku ke pintu. Teleponku berbunyi, dan terlihat
foto Travis yang sedang membuat wajah yang lucu di layar.
Halo?
kau sudah di rumah, belum?
Ya, dia mengantarku pulang lima menit yang lalu.
Aku akan tiba di sana lima menit lagi.
Tunggu! Travis? aku berkata saat dia menutup telepon.
America tertawa. kau baru pulang dari kencan yang mengecewakan dengan Parker, tapi kau tersenyum saat
Travis menelepon. Apakah kau begitu bodoh?
Aku tidak tersenyum, protesku. Dia akan kemari. Maukah kau menemuinya di luar dan bilang padanya
kalau aku sudah tidur?
Kau tadi tersenyum, dan tidak maubilang saja sendiri.
Ya, Mare, seperti akan berhasil baik kalau aku bilang sendiri bahwa aku sudah tidur. Dia meninggalkanku,
berjalan ke kamarnya. Aku mengangkat tanganku dan memukul pahaku. Mare! Ku mohon?
Selamat bersenang-senang, Abby, dia tersenyum, menghilang ke dalam kamarnya.
Aku menuruni tangga dan melihat Travis di atas motornya, sedang parkir di depan tangga masuk. Dia memakai
kaos putih dengan gambar berwarna hitam, membuat tatoo di tangannya semakin kelihatan.
Apakah kau tidak kedinginan? aku bertanya, menarik jaketku lebih kencang.
kau kelihatan cantik. Apakah kau bersenang-senang?
Uhya, terima kasih, aku berkata, salah tingkah. Apa yang kau lakukan di sini?
Dia menstarter motornya, dan mesinnya hidup. Aku akan berkeliling naik motor untuk menjernihkan
pikiranku. Aku ingin kau ikut denganku.
Tapi dingin, Trav.

kau mau aku meminjam mobilnya Shepley?


Kita akan pergi bowling besok. Tidak bisakah kau menunggu hingga besok?
Aku dari yang bertemu denganmu setiap detik sepanjang hari menjadi hanya bertemu denganmu selama
sepuluh menit, itu juga kalau aku beruntung.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Ini baru dua hari, Trav.
Aku merindukanmu. Ayo cepat naik dan kita pergi.
Aku tidak bisa membantah. Aku juga merindukannya. Lebih dari yang akan aku akui padanya. Aku
menyeletingkan jaketku dan naik ke belakangnya, memasukkan jariku ke tempat ikat pinggang celana jinsnya.
Dia menarik pergelangan tanganku ke dadanya dan melipatnya satu di atas yang lain. Setelah dia merasa puas
karena aku telah memeluknya erat, dia melaju pergi, melaju cepat di jalan.
Aku menyandarkan pipiku di punggungnya dan menutup mataku, menghirup aroma wangi tubuhnya. Itu
mengingatkanku pada apartemennya, sprei dan wangi tubuhnya saat dia berjalan dengan hanya memakai
handuk di pinggangnya. Pemandangan kota kelihatan tidak jelas saat kami lewat, dan aku tidak peduli seberapa
cepat dia menyetir, atau seberapa dingin angin saat menyentuh kulitku; aku bahkan tidak memperhatikan ke
mana kami pergi. Yang aku pikirkan hanya tubuhnya menempel ditubuhku. Kami tidak memiliki tujuan
ataupun jangka waktu, dan kami berkeliling hingga tidak ada orang lagi di jalan selain kami.
Travis berhenti di pom bensin lalu parkir. kau menginginkan sesuatu? dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala, turun dari motor untuk meluruskan kakiku. Dia memperhatikanku yang sedang
menyisirkan jari di rambutku, dan tersenyum.
Hentikan itu. Kau sudah terlihat sangat cantik.
Tunjukan saja padaku video musik rock tahun delapan puluhan yang terdekat, aku berkata.
Dia tertawa, lalu menguap sambil mengusir ngengat yang berdengung di sekitarnya. Mulut pipa bensin
berbunyi, terdengar lebih keras dari seharusnya di malam yang hening. Kami tampaknya menjadi satu-satunya
orang di dunia.
Aku mengeluarkan teleponku untuk melihat jam. Ya Tuhan, Trav. Ini sudah jam tiga pagi.
kau ingin pulang? dia bertanya, wajahnya tampak kecewa.
Aku menutup rapat bibirku. Sebaiknya kita pulang.
Kita masih akan pergi bowling malam ini?
Aku sudah bilang aku akan ikut.
Dan kau tetap akan pergi ke Sig Tau bersamaku kan dua minggu lagi?
Apa kau menyindirku bahwa aku tidak akan menepati janjiku? Aku merasa sedikit tersinggung.
Dia menarik keluar mulut pipa bensin dari tankinya dan menggantung di tempatnya. Aku hanya tidak tahu
lagi apa yang akan kau lakukan.

Dia duduk di atas motornya dan membantuku naik di belakangnya. Aku mengaitkan jariku di tempat ikat
pinggangnya namun aku pikir lebih baik aku melingkarkan tanganku di tubuhnya.
Dia menghela nafas dan menegakkan motornya, dengan berat hati menyalakan mesinnya. Telapak tangannya
menjadi putih saat dia memegang stang motor. Dia mengambil nafas, dan mulai berbicara lalu menggelengkan
kepalanya.
Kau sangat berarti untukku, kau tahu, aku berkata, memeluknya lebih erat.
Aku tidak mengerti dirimu, Pigeon. Ku pikir aku mengenal wanita, tapi dirimu benar-benar sangat membuat
bingung hingga aku tak tahu harus bagaimana.
Aku juga tidak mengerti dirimu. Kau seharusnya menjadi kekasih semua wanita di Eastern. Aku belum
mendapat semua pengalaman seorang mahasiswa baru yang mereka tawarkan di brosur, aku menggodanya.
Well, itu yang pertama. Aku belum pernah bertemu wanita yang mau tidur denganku hanya agar aku tidak
mengganggunya lagi, dia berkata, tetap membelakangiku.
Bukan itu maksudnya, Travis, aku berbohong, merasa malu karena dia dapat menebak maksudku tanpa
menyadari seberapa benarnya dia.
Dia menggelengkan kepalanya lalu menyalakan mesin motornya, melaju ke jalan. Dia menjalankan motornya
dengan pelan tidak seperti biasa, berhenti di setiap lampu kuning, mengambil jalan yang terjauh menuju
kampus.
Kami berhenti di depan pintu masuk asrama, kesedihan yang sama yang aku rasakan di malam aku pergi
meninggalkan apartemen menelanku. Mengetahui itu tampak konyol untuk merasa begitu emosional, namun
setiap kali aku melakukan sesuatu untuk mendorongnya pergi, aku sangat takut itu akan benar-benar
membuatnya pergi.
Dia mengantarku ke pintu, aku mengeluarkan kunciku, menghindari tatapannya. Saat aku merogoh kunci,
tangannya tiba-tiba ada di daguku, ibu jarinya menyentuh bibirku dengan lembut.
Apakah dia menciummu? dia bertanya.
Aku mundur menjauh, terkejut karena jarinya mengakibatkan rasa terbakar yang membakar semua saraf dari
mulut hingga ujung kakiku. Kau benar-benar tahu bagaimana caranya mengacaukan malam yang sempurna,
ya?
Kau berpikir malam ini sempurna, ya? Apa itu berarti kau merasa senang?
Aku selalu merasa senang saat bersamamu.
Dia melihat ke bawah dan alisnya mengernyit. Apakah tadi dia menciummu?
Ya, aku menghela nafas, merasa terganggu.
Matanya tertutup. Apakah hanya itu?
Itu sama sekali bukan urusanmu! aku berkata sambil menarik pintu hingga terbuka.
Travis mendorongnya hingga tertutup dan menghalangi jalan masukku, ekspresinya seperti meminta maaf.

Aku harus tahu.


Tidak, kau tidak harus tahu! Minggir, Travis!
Pigeon,
Kau pikir karena aku bukan lagi perawan, aku akan tidur dengan semua orang yang ada? Terima kasih! aku
berkata sambil mendorongnya.
Aku tidak mengatakan itu, sialan! Apakah itu terlalu berlebihan untuk ditanyakan agar pikiranku tenang?
Mengapa itu akan membuat pikiranmu tenang jika mengetahui apa aku tidur dengan Parker?
Bagaimana kau tidak tahu? Itu terlihat sangat jelas untuk semua orang kecuali dirimu! dia berkata, putus asa.
Kalau begitu mungkin hanya karena aku adalah orang yang tolol. kau mabuk malam ini, Trav, aku berkata
sambil meraih pegangan pintu.
Dia menahan bahuku. Perasaan aku padamusangat membuatku gila.
Bagian gila itu memang benar, aku membentak, melepaskan diri darinya.
Aku sudah melatih ini di pikiranku sepanjang waktu kita di motor tadi, jadi dengarkanlah aku, dia berkata.
Travis,
Aku tahu kita sangat kacau, kan? Aku impulsif, cepat marah, dan aku selalu memikirkan dirimu. kau bersikap
seperti membenciku menit ini, lalu menit berikutnya kau membutuhkanku. Aku tak pernah melakukan hal yang
benar, dan aku tidak pantas untukmutapi aku benar-benar mencintaimu, Abby. Aku mencintaimu lebih dari
aku mencintai seseorang atau sesuatu, sebelumnya. Saat kau ada di sisiku, aku tidak membutuhkan minuman
keras, uang, pertarungan, atau hubungan seks satu malamyang aku butuhkan hanya dirimu. Hanya kau yang
aku pikirkan. Hanya kau yang aku mimpikan. Hanya kau yang aku inginkan.
Rencanaku untuk bersikap seolah tidak peduli gagal total. Aku tidak bisa berpura-pura tidak terpengaruh saat
dia mengungkapkan semua perasaannya. Saat kami bertemu pertama kali, sesuatu di dalam diri kami berubah,
dan apapun itu, membuat kami saling membutuhkan. Untuk alasan yang tidak aku ketahui, aku adalah
pengecualiannya, dan sekuat apapun aku mencoba melawan perasaanku, dia adalah pengecualianku.
Dia menggelengkan kepalanya, memegang kedua sisi wajahku, dan menatap langsung ke mataku. Apakah
kau tidur dengannya?
Air mata yang hangat memenuhi mataku saat aku menggelengkan kepalaku. Dia langsung menciumku, dan
lidahnya masuk ke dalam mulutku tanpa rasa ragu. Tidak dapat mengontrol diriku sendiri, aku mencengkram
kaosnya di dalam kepalan tanganku, dan menariknya ke arahku. Dia mendesah karena rasa takjubnya, suara
yang berat, dan mencengkeramku sangat erat hingga membuat sulit untuk bernafas.
Dia mundur, terengah. Telepon Parker. Katakan padanya kau tidak ingin berkencan dengannya lagi. Katakan
padanya kau bersamaku sekarang.
Aku menutup mataku. Aku tidak bisa bersamamu, Travis.
Kenapa tidak bisa? dia berkata, melepaskan tangannya.

Aku menggelengkan kepalaku, takut pada reaksinya saat mengetahui yang sebenarnya.
Dia tertawa sekali. Tak bisa dipercaya. Satu-satunya gadis yang aku inginkan, tapi dia tidak menginginkan
aku.
Aku menelan ludah, mengetahui aku harus lebih banyak mengungkapkan kebenaran daripada yang seharusnya
selama bulan-bulan terakhir ini.
Ketika aku dan America pindah kemari, itu dengan pengertian hidupku akan berjalan sesuai rencanaku. Atau
tidak akan berjalan di luar rencanaku. Pertarungan, perjudian, minumanitu semua yang aku tinggalkan.
Ketika aku berada di dekatmuitu semua terbungkus dalam satu paket tatoo yang tidak bisa aku tolak. Aku
tidak pindah ratusan kilometer hanya untuk menjalaninya sekali lagi.
Dia mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku tahu kau berhak mendapatkan yang lebih
baik daripada aku. kau pikir aku tak tahu itu? Tapi jika ada satu wanita yang tercipta untukkuwanita itu
adalah dirimu. Aku akan melakukan apapun yang harus aku lakukan, Pidge. kau dengar aku? Aku akan
melakukan apapun.
Aku berbalik dari cengkramannya, merasa malu karena tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Akulah yang
tidak pantas untuknya. Aku akan menjadi orang yang menghancurkan semuanya; menghancurkan dia. Dia
akan membenciku suatu hari nanti, dan aku tidak akan bisa melihat ke dalam matanya saat dia pada akhirnya
menyadari itu.
Dia menahan pintu tertutup dengan tangannya . Aku akan berhenti bertarung setelah aku lulus. Aku tidak
akan minum minuman keras satu tetes pun lagi. Aku akan memberimu akhir yang bahagia selamanya, Pigeon.
Jika kau mempercayaiku, aku akan dapat melakukannya.
Aku tidak ingin kau berubah.
Lalu katakan aku harus melakukan apa. Katakan padaku dan aku akan melakukannya, dia memohon.
Semua pikiran untuk bersama Parker telah lama hilang, dan aku tahu sebabnya karena perasaanku pada Travis.
Aku membayangkan tentang jalan berbeda yang aku akan ambil sejak saat itu mempercayai Travis dengan
sebuah lompatan keyakinan dan mengambil resiko untuk yang tidak pasti, atau mendorongnya menjauh dan
mengetahui dengan pasti aku akan berakhir di mana, yang termasuk hidup tanpa dirinya kedua keputusan
itu membuatku sangat takut.
Boleh aku meminjam teleponmu? aku bertanya.
Travis mengeryit, bingung. Tentu, dia berkata, mengeluarkan telepon dari dalam sakunya, memberikannya
padaku.
Aku menekan nomor, lalu menutup mata saat itu berdering di telingaku.
Travis? Ada apa? kau tahu jam berapa ini? Parker menjawab. Suaranya dalam dan serak, dan aku langsung
merasa hatiku bergetar di dadaku. Tidak terpikir olehku bahwa dia akan mengetahui aku menelepon dari
teleponnya Travis.
Kata berikutnya akhirnya menemukan cara untuk keluar dari bibirku yang gemetar. Maafkan aku
meneleponmu malam-malam, tapi ini tidak bisa menunggu. Aku.tidak bisa pergi makan malam denganmu
hari Rabu nanti.
Ini sudah hampir jam empat pagi, Abby. Apa yang terjadi?

Aku tidak bisa pergi lagi denganmu, sebenarnya.


Abs
Akusangat yakin aku jatuh cinta pada Travis, aku berkata, bersiap untuk reaksinya.
Setelah beberapa saat hening, dia menutup telepon di telingaku.
Mataku masih fokus melihat trotoar, aku menyerahkan kembali telepon pada Travis, lalu dengan enggan
menatap wajahnya. Kombinasi antara bingung, kaget, dan rasa kagum terlihat di wajahnya.
Dia menutup teleponnya. Aku menyeringai.
Dia menatap wajahku dengan harapan yang hati-hati di matanya. kau mencintaiku?
Itu karena tatoonya, aku mengangkat bahuku.
Senyuman lebar terlihat di wajahnya, membuat lesung pipinya menjadi jelas terlihat. Mari pulang
bersamaku, dia berkata, mendekapku di tangannya.
Alisku naik. Kau mengatakan semua itu untuk membawaku ke tempat tidur? Aku pasti telah membuat kesan
yang hebat.
Satu-satunya yang aku pikirkan sekarang adalah memelukmu sepanjang malam.
Mari kita pergi. Aku tersenyum.
***
Walaupun sudah melaju dengan kecepatan yang maksimal dan jalan pintas, perjalanan menuju apartemen
seperti tak berujung. Ketika akhirnya kami tiba, Travis menggendongku ke atas. Aku cekikikan sambil
menciumnya saat dia meraba-raba untuk membuka pintu. Ketika dia menurunkanku dan menutup pintu di
belakang kami, dia menghembuskan nafas lega yang panjang.
Ini tidak seperti rumah lagi setelah kau pergi, dia berkata, mencium bibirku.
Toto berlari menelusuri lorong dan menggoyangkan ekornya, mengais-ngais kakiku. Aku mengelusnya saat
mengangkatnya dari lantai.
Tempat tidur Shepley berderit, dan terdengar suara kakinya terhuyung di lantai. Pintunya terbuka saat dia
memicingkan matanya karena sinar lampu. Sialan jangan, Trav, kau tidak boleh melakukan ini! Karena kau
jatuh cinta pada Ab..., matanya menjadi fokus dan dia menyadari kesalahannya, by. Hai, Abby.
Hai, Shep, aku tersenyum sambil menurunkan Toto ke lantai.
Travis menarikku melewati sepupunya yang masih terkejut, dan menendang pintu tertutup di belakang kami,
menarikku ke pelukannya, dan menciumku tanpa pikir dua kali, seolah kami sudah melakukannya sejuta kali
sebelumnya. Aku melepas kaosnya, dan dia mencopot jaket dari bahuku. Aku berhenti menciumnya cukup
lama untuk melepas sweater dan tank topku, lalu menciumnya lagi. Kami saling melepas baju satu sama lain,
dan dalam hitungan detik dia membaringkanku di tempat tidur. Aku meraih ke atas kepalaku untuk membuka
laci dan memasukan tanganku ke dalam, mencari sesuatu yang bergemericik.

Sialan, dia berkata, terengah dan frustrasi. Aku membuangnya semua.


Apa? Semua? aku menarik nafas.
Aku pikir kau tidakjika aku tidak bersamamu, aku tidak akan membutuhkannya.
kau bercanda! aku berkata, menjatuhkan kepalaku di atas kepala tempat tidur.
Dahinya terkulai di dadaku. Mengingat dirimu adalah kebalikan dari satu kepastian.
Aku tersenyum, dan menciumnya. kau belum pernah melakukannya dengan seseorang tanpa memakainya?
Dia menggelengkan kepalanya. Tidak pernah. Aku melihat sekeliling sesaat, hanyut dalam pikiran. Dia
tersenyum sekali melihat ekspresiku. Apa yang sedang kau lakukan?
Ssstt, aku sedang berhitung. Travis memperhatikanku sebentar, lalu mendekat untuk mencium leherku. Aku
tidak bisa konsentrasi kalau kau melakukan it, aku mendesah, hari ke dua puluh lima dan dua hari, aku
menarik nafas.
Travis terkekeh. Apa yang kau katakan?
Kita akan baik-baik saja, aku berkata, bergeser turun sehingga aku berada tepat di bawahnya.
Dia menekan dadanya di dadaku, dan menciumku dengan lembut. Apakah kau yakin?
Aku membiarkan tanganku meluncur dari bahu ke pantatnya dan menekannya ke tubuhku. Dia menutup
matanya, dan mengeluarkan erangan panjang yang berat.
Ya Tuhan, Abby, dia menarik nafas. Dia bergoyang untuk masuk ke dalam diriku lagi, dan satu erangan lagi
keluar dari tenggorokannya. Ya ampun, kau terasa sangat menakjubkan.
Apakah terasa berbeda?
Dia menatap mataku. Terasa berbeda bersamamu, bagaimanapun juga, tetapi, dia mengambil nafas panjang
dan menegang lagi, menutup matanya untuk sesaat, Aku tak akan pernah sama lagi setelah ini.
Bibirnya mencium setiap inci leherku, dan ketika dia menemukan jalannya kembali ke dalam mulutku, aku
mencengkeram otot bahunya dengan semua ujung jariku, aku terhanyut dalam intensitas ciuman itu.
Travis membawa tanganku ke atas kepalaku dan memegang jariku dengan jarinya, meremas tanganku pada
setiap dorongan. Gerakannya menjadi sedikit lebih kasar, dan aku menancapkan kukuku di tangannya, bagian
dalam tubuhku menegang bersamaan dengan dorongan yang kuat.
Aku berteriak, menggigit bibirku dan menutup rapat mata.
Abby, dia berbisik, terdengar ragu, Aku mau..aku akan,
Jangan berhenti, aku memohon.
Dia bergoyang ke dalam tubuhku lagi, mengerang sangat kencang hingga aku menutup mulutnya. Setelah
beberapa nafas yang sesak, dia menatap mataku lalu menciumku lagi dan lagi. Tangannya memegang kedua
sisi wajahku lalu menciumku lagi dengan lebih pelan, lebih lembut. Dia menyentuhkan bibirnya ke bibirku,
lalu ke leher, kening, hidung lalu terakhir kembali ke bibirku.

Aku tersenyum dan mendesah, rasa lelah mulai terasa. Travis menarik tubuhku ke sampingnya, membetulkan
selimut di atas kami. Aku mengistirahatkan pipiku di dadanya, dan dia mencium keningku sekali lagi,
mengunci jarinya di belakang punggungku.
Kali ini jangan pergi, OK? Aku ingin terbangun seperti ini nanti pagi.
Aku mencium dadanya, merasa bersalah karena membuat dia harus meminta. Aku tidak akan pergi kemanamana.
***
Aku terbangun dengan posisi telungkup, telanjang, dan terbungkus seprainya Travis. Aku tetap menutup
mataku, merasakan jarinya membelai lengan dan punggungku.
Dia menarik nafas panjang, dengan sedikit desahan lalu berbisik. Aku mencintaimu, Abby. Aku akan
membuatmu bahagia, aku bersumpah.
Tempat tidur bergerak saat dia bergeser, lalu bibirnya mencium punggungku dengan perlahan. Aku tetap diam
tidak bergerak, dan setelah dia mencium kulit di belakang telingaku, dia pergi keluar kamar. Langkah kakinya
santai menelusuri lorong, lalu terdengar suara pipa saat terkena tekanan air pancuran.
Aku membuka mata lalu duduk, menggeliat. Setiap otot tubuhku sakit, otot yang aku tidak pernah tahu ada
sebelumnya. Aku menahan seprai di dadaku, melihat keluar jendela, memperhatikan daun yang berwarna
merah kekuningan jatuh dari dahannya ke tanah.
Telepon Travis bergetar di suatu tempat, dan setelah mencari dengan asal di atas baju kusut di lantai, aku
menemukannya di dalam saku celana jinsnya. Layarnya menyala hanya menampilkan nomor, tidak ada nama.
Halo?
Apa ehm...Apa Travis ada? seorang wanita bertanya.
Dia sedang mandi, ada pesan?
Tentu saja dia sedang mandi. Katakan padanya kalau Megan menelepon, mau kan?
Travis melangkah masuk, mengencangkan handuk di pinggangnya yang basah, tersenyum saat aku
menyerahkan telepon padanya.
Ini untukmu, aku berkata.
Dia menciumku sebelum melihat ke arah layar, lalu menggelengkan kepalanya. Yeah? Itu tadi adalah
kekasihku, apa yang kau butuhkan, Megan? dia mendengarkan sesaat lalu tersenyum, Well, Pigeon spesial,
apa yang bisa aku katakan? Setelah diam beberapa saat, dia memutar matanya. Aku hanya bisa
membayangkan apa yang sedang Megan katakan. Jangan jadi menyebalkan, Megan. Dengar, kau tidak boleh
meneleponku lagiWell, cinta akan melakukannya padamu, dia berkata, menatap ke arahku dengan ekspresi
lembut. Ya, dengan Abby. Aku serius, Meg, jangan menelepon lagisudah dulu ya.
Dia melempar teleponnya ke atas tempat tidur, lalu duduk di sampingku. Dia sedikit menyebalkan. Apakah
dia mengatakan sesuatu padamu?
Tidak, dia hanya menanyakan dirimu.

Aku menghapus beberapa nomor di teleponku, tapi aku kira itu tidak menghentikan mereka meneleponku.
Jika mereka tidak menyadarinya sendiri, aku akan memberitahu mereka.
Dia menatapku dengan penuh harap, dan aku tidak bisa menahan senyumku. Aku belum pernah melihat sisi
Travis yang ini.
Aku mempercayaimu, kau tahu.
Dia menutup rapat mulutnya. Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau mengharapkanku untuk berusaha
untuk mendapatkan kepercayaan itu.
Aku harus segera mandi. Aku sudah bolos satu mata kuliah hari ini.
Lihat? Aku sudah menjadi pengaruh yang baik.
Aku berdiri dan dia menarik seprai. Megan bilang akan ada pesta Halloween minggu ini di The Red Door.
Aku pergi bersamanya tahun lalu, lumayan menyenangkan.
Aku yakin begitu, aku berkata sambil mengangkat alisku.
Maksudku banyak orang yang datang. Mereka mengadakan pertandingan billiar dan menyediakan bir
murahmau pergi kesana?
Tidak terlaluaku tidak berdandan untuk Halloween. Tidak pernah.
Aku juga tidak, aku hanya datang, dia mengangkat bahunya.
Apakah kita tetap akan pergi bowling nanti malam? tanyaku, ingin tahu apakah ajakan yang hanya untuk
mendapat waktu berduaan denganku sudah tidak dia butuhkan lagi.
Well, tentu saja! Aku juga akan mengalahkanmu!
Aku memicingkan mataku. Kali ini aku tidak akan kalah. Aku punya kekuatan super.
Dia tertawa. Dan apakah itu? Kata-kata kasar?
Aku mendekat ke arahnya untuk mencium lehernya, lalu menjilatkan lidahku ke telinganya, mencium daun
telinganya. Dia langsung membeku.
Pengalih perhatian. aku bernafas di telinganya.
Dia menarik lenganku dan membalik tubuhku hingga telentang. kau akan bolos satu mata kuliah lagi.
***
Akhirnya setelah membujuk Travis cukup lama untuk pergi keluar dari apartemen untuk menghadiri kelas
Sejarah, kami dengan cepat pergi ke kampus, duduk di kursi tepat sebelum Prof. Cheney mulai mengajar.
Travis membalik topi baseball merahnya agar dapat mencium bibirku, di depan mata semua orang yang berada
di kelas.
Dalam perjalanan kami menuju kafetaria, dia memegang tanganku, menggenggam erat jariku saat kami
berjalan. Dia kelihatan sangat bangga karena dapat memegang tanganku, mengumumkan pada seluruh dunia
bahwa akhirnya kami bersama. Finch menyadarinya, melihat ke arah tangan kami, lalu menatap ke arahku

dengan senyuman bodoh. Bukan hanya dia, pertunjukan sederhana kasih sayang kami membuat semua orang
yang kami temui menatap atau berbisik-bisik.
Di pintu kafetaria, Travis menghembuskan asap terakhir rokoknya, menatapku yang sedang merasa ragu.
America dan Shepley sudah ada di dalam, dan Finch menyalakan rokok lagi, sehingga aku masuk kafetaria
hanya dengan Travis berdua. Aku yakin gosip telah menyebar setelah Travis menciumku di depan semua orang
di dalam kelas Sejarah tadi, dan aku merasa takut melangkah ke atas panggung di dalam kafetaria.
Ada apa, Pigeon? dia berkata, menarik tanganku.
Semua orang memperhatikan kita.
Dia menarik tanganku lalu menciumnya, Mereka akan melupakannya. Itu hanya karena mereka terkejut. Ingat
saat kita pertama kali hang out? Rasa ingin tahu mereka hilang setelah beberapa saat dan mereka menjadi
terbiasa melihat kita bersama. Ayolah, dia berkata sambil menarikku ke pintu.
Salah satu alasan aku memilih Universitas Eastern karena orang-orangnya yang sopan, tapi rasa tertarik yang
berlebihan terhadap skandal yang ada sangat melelahkan. Itu adalah lelucon; semua orang tahu betapa
bodohnya tukang gosip itu namun mereka tetap saja tanpa rasa malu ikut bergosip.
Kami duduk di tempat biasa kami membawa makanan kami. America tersenyum dengan ekspresi sudah tahu.
Dia mengobrol seperti semua biasa saja, namun para pemain football yang berada di ujung meja menatapku
seolah aku sedang terbakar.
Travis menepuk apelku dengan garpunya. Apakah kau akan memakannya, Pidge?
Tidak, kau boleh memakannya, sayang."
Telingaku memerah saat America tersentak kaget dan menatapku.
Itu hanya spontan keluar, aku berkata, menggelengkan kepalaku. Aku melirik ke arah Travis, yang
ekspresinya campur aduk antara merasa geli dan kagum.
Kami saling memanggil dengan sebutan itu beberapa kali tadi pagi, dan tidak terpikir olehku kalau itu
merupakan hal baru untuk semua orang hingga sesaat setelah itu keluar dari mulutku.
Kalian berdua dalam tahap mengganggu yang lucu. America menyeringai.
Shepley menepuk bahuku. kau akan menginap malam ini? dia bertanya, kata-katanya terdengar tidak jelas
karena dia sambil mengunyah roti di mulutnya. Aku janji tidak akan keluar dari kamarku lalu memakimu
lagi.
kau sedang membela kehormatanku, Shep. kau dimaafkan, aku berkata.
Travis menggigit sepotong apel lalu mengunyahnya, terlihat sangat bahagia, aku tidak pernah melihatnya
seperti itu. Rasa damai di matanya telah kembali terlihat, bahkan saat semua orang memperhatikan setiap
gerakan kami, semua terasa begitubenar.
Aku memikirkan tentang selama ini aku selalu bersikeras bahwa berhubungan dengan Travis adalah keputusan
yang buruk, dan berapa waktu yang terbuang percuma untuk melawan perasaanku terhadapnya. Melihat ke
seberang meja ke arah matanya yang lembut berwarna coklat, dan lesung pipi yang bergerak-gerak saat dia
mengunyah, aku tidak bisa mengingat apa yang membuat aku sangat khawatir.

Dia terlihat sangat bahagia. Apa kau akhirnya tidur dengannya, Abby? Chris berkata sambil menyikut
temannya.
kau tidak terlalu pintar ya, Jenks? Shepley berkata, mengernyit.
Darah langsung naik ke pipiku, lalu aku melihat Travis yang di matanya ada rasa ingin membunuh.
Rasa marah Travis melebihi rasa maluku, dan aku menggelengkan kepalaku tanda tidak setuju. Abaikan dia.
Setelah beberapa saat yang menegangkan, bahunya menjadi sedikit lebih santai, dan dia mengangguk sekali,
lalu mengambil nafas panjang. Setelah beberapa detik, dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku meraih ke seberang meja, menyelipkan jariku di jarinya. kau serius dengan yang kau katakan tadi malam,
kan?
Dia mulai bicara, namun suara tawa Chris terdengar ke seluruh kafetaria. Ya Tuhan, Travis Maddox menjadi
penurut?
Apakah kau serius dengan ucapanmu waktu bilang kau tidak ingin aku berubah? dia bertanya, meremas
tanganku.
Aku melihat ke arah Chris yang sedang tertawa bersama teman satu timnya, lalu kembali melihat ke arah
Travis. Tentu saja. Beri orang brengsek itu pelajaran.
Seringai nakal terlihat di wajahnya, lalu dia berjalan ke meja tempat Chris duduk. Ruangan langsung hening,
dan Chris berhenti tertawa.
Hey, aku hanya bercanda, Travis, dia berkata, melihat ke arah Travis.
Minta maaflah pada Pidge, Travis berkata, menatap tajam ke arahnya.
Chris melihat ke arahku sambil tersenyum gugup. Akuaku hanya bercanda, Abby. Maafkan aku.
Aku melotot ke arahnya saat dia melihat ke arah Travis untuk meminta persetujuan. Ketika Travis melangkah
pergi, Chris mencibir, dan dia membisikkan sesuatu pada Brazil. Hatiku mulai berdegup kencang ketika aku
melihat Travis berhenti melangkah dan tangannya mengepal di samping tubuhnya.
Brazil menggelengkan kepalanya dan mendengus dengan jengkel. Ingat saat kau sadar nantikau sendiri
yang menyebabkannya.
Travis mengangkat nampan Finch dari meja dan mengayunkannya ke wajah Chris, membuat Chris terjatuh
dari kursi. Chris berusaha masuk ke bawah meja namun Travis menarik kakinya lalu mulai memakinya.
Chris meringkuk seperti bola, lalu Travis menendang punggungnya. Chris melengkung dan berbalik,
mengangkat tangannya di luar, membuat Travis mampu untuk mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya.
Darah mulai mengalir, dan Travis pun berdiri, kehabisan nafas.
Jika kau bahkan hanya melihat ke arah Abby, dasar brengsek, aku akan mematahkan rahangmu.
Wanita yang bekerja di kafetaria berlari keluar, terkejut melihat darah berceceran di lantai.
Maaf, Travis berkata, mengelap darah Chris dari pipinya.

Beberapa mahasiswa berdiri agar dapat melihat dengan lebih jelas; yang lainnya tetap duduk, melihat dengan
biasa saja. Tim football hanya memandangi tubuh Chris yang terkulai lemas di lantai, sambil menggelengkan
kepala mereka.
Travis berbalik, dan Shepley berdiri, lalu memegang tanganku dan America, menarik kami keluar pintu dan
berjalan di belakang sepupunya. Kami mengambil jalan pintas menuju aula, aku dan America duduk di tangga
masuk, memperhatikan Travis yang sedang berjalan mondar-mandir.
kau baik-baik saja, Trav? tanya Shepley.
Beri akubeberapa menit, dia berkata, meletakkan tangannya di pinggang saat berjalan mondar-mandir.
Shepley memasukan tangannya ke dalam saku. Aku terkejut kau bisa berhenti memukul.
Pidge hanya bilang untuk memberinya pelajaran, Shep, bukan membunuhnya. Aku berusaha sekuat tenaga
untuk berhenti tadi.
America memakai kacamata kotak besarnya saat melihat pada Travis. Apa yang telah Chris katakan sehingga
membuatmu marah?
Sesuatu yang tidak akan dia katakan lagi, Travis mendengus marah.
America menatap Shepley yang mengangkat bahunya. Aku tidak mendengarnya.
Tangan Travis mengepal lagi. Aku akan kembali ke dalam.
Shepley menyentuh bahu Travis. Kekasihmu ada di sini. kau tidak perlu kembali ke sana.
Travis menatapku, memaksa dirinya untuk tenang. Chris berkatasemua orang pikir Pidge memilikiya
Tuhan, aku tidak bisa mengatakannya.
Katakan saja, America bergumam, sambil menggigit kukunya.
Finch berjalan dari arah belakang Travis, sangat jelas merasa senang karena kejadian tadi. Semua lelaki
normal di Eastern ingin merasakan tidur dengan Abby karena dia berhasil menaklukan Travis Maddox, dia
mengangkat bahu. Setidaknya itu yang mereka bicarakan di sana sekarang.
Travis menabrak bahu Finch saat melewatinya, berjalan menuju kafetaria. Shepley berlari mengejarnya,
memegangi tangannya. Aku menutup mulutku dengan tangan saat Travis mengayunkan tinjunya, namun
Shepley menghindar. Aku memandang ke arah America yang tampaknya tidak bereaksi, karena sudah terbiasa
dengan kejadian seperti itu.
Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk menghentikan Travis. Aku berlari dari tangga ke arah Travis,
mengitarinya. Aku melompat ke arahnya, meletakan kakiku di pinggangnya, dan dia memegang pahaku saat
aku memegang kedua sisi wajahnya, lalu menciumnya bibirnya. Aku dapat merasakan kemarahannya mulai
hilang saat dia membalas ciumanku, lalu aku melepaskannya, aku tahu aku telah menang.
Kita tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, ingat? kau jangan mulai peduli sekarang, aku berkata
sambil tersenyum untuk meyakinkan. Ternyata aku dapat mempengaruhi dia lebih dari yang aku sadari.
Aku tidak bisa membiarkan mereka membicarakanmu seperti itu, Pigeon, dia berkata dengan wajah frustrasi,
sambil menurunkanku.

Aku memasukan tanganku di bawah tangannya, mengunci tanganku di punggungnya. Seperti apa? Mereka
pikir aku punya sesuatu yang spesial karena kau belum pernah berpacaran sebelumnya. Apa kau tidak setuju?
Tentu saja aku setuju, aku hanya tidak tahan memikirkan bahwa semua pria di kampus ingin tidur denganmu
karena itu. Dia menekan dahinya di dahiku. Ini akan membuatku gila. Aku tahu itu.
Jangan biarkan mereka mengganggumu, Travis, Shepley berkata. kau tidak bisa melawan semua orang.
Travis menghela nafas. Semua orang. Bagaimana perasaanmu kalau semua orang memikirkan tentang
America seperti itu?
Siapa bilang mereka tidak memikirkan hal itu? America berkata, sedikit tersinggung. Kami semua tertawa,
dan America cemberut. Aku tidak bercanda.
Shepley membantunya berdiri lalu mencium pipinya. Kami tahu, sayang. Aku sudah berhenti merasa cemburu
sejak lama. Karena aku tidak akan sempat melakukan apapun kalau aku terus merasa cemburu.
America tersenyum karena senang, lalu memeluknya. Shepley punya bakat yang luar biasa untuk membuat
semua orang di sekitarnya merasa nyaman, tidak diragukan mungkin itu karena harus tumbuh bersama Travis
dan semua kakaknya. Itu bisa menjadi satu alat untuk membela diri lebih dari apapun.
Travis menciumi telingaku, dan aku cekikikan lalu aku melihat Parker datang mendekat. Perasaan mendesak
seperti yang aku rasakan saat Travis ingin kembali ke kafetaria datang lagi, aku langsung melepaskan Travis
dan langsung berjalan sejauh sepuluh kaki atau lebih untuk mencegat Parker.
Aku harus bicara denganmu, dia berkata.
Aku melirik ke belakang, dan menggelengkan kepalaku sebagai peringatan. Sekarang bukan waktu yang
tepat, Parker. Ini adalah waktu yang sangatsangat tidak tepat sebenarnya. Travis dan Chris baru saja
berkelahi tadi saat makan siang, dan dia masih sedikit kesal. kau harus pergi.
Parker menatap Travis, lalu kembali mengalihkan perhatiannya kepadaku, bertekad. Aku baru saja mendengar
apa yang terjadi di kafetaria. Aku pikir kau tidak menyadari kau terlibat dengan apa. Travis itu adalah berita
buruk, Abby. Semua orang tahu itu. Tidak ada yang membicarakan betapa hebatnya dirimu yang telah
merubahnyamereka semua hanya menunggunya melakukan apa yang paling bisa dia lakukan dengan baik.
Aku tidak tahu apa yang dia katakan padamu, tapi kau tidak tahu orang macam apa dia.
Aku merasakan tangan Travis di bahuku. Mengapa tidak kau beritahu dia kalau begitu?
Parker bergerak dengan gugup. kau tahu berapa banyak wanita yang sudah merasa dipermalukan yang harus
aku antar pulang dari sebuah pesta setelah mereka menghabiskan beberapa jam berdua di dalam kamar
bersama dengan Travis? Dia akan menyakitimu.
Jari Travis semakin menegang mendengarnya, dan aku menyentuh tangannya hingga dia kembali tenang. kau
harus pergi, Parker.
Kau harus mendengar apa yang akan aku katakan, Abs.
Jangan panggil dia dengan nama itu, Travis geram.
Parker tidak melepaskan pandangannya dariku. Aku mengkhawatirkan dirimu.
Aku hargai itu, tapi itu tidak perlu.

Parker menggelengkan kepalanya. Dia melihatmu hanya sebagai tantangan jangka panjang, Abby. Dia harus
membuatmu berpikir bahwa kau berbeda dari wanita lain agar dia bisa menidurimu. Dia akan bosan padamu.
Dia punya rentang perhatian seperti anak kecil.
Travis berjalan mengitariku, berdiri sangat dengan Parker sehingga hidung mereka hampir bersentuhan. Aku
sudah membiarkanmu mengatakan apa yang ingin kau katakan. Kesabaranku sudah habis. Parker berusaha
memandangku, namun Travis menghalanginya. Jangan berani-berani kau memandangnya. Lihat aku, dasar
kau orang hina yang manja. Parker menatap ke arah mata Travis lalu menunggu. Meskipun kau hanya
bernafas ke arahnya, aku akan memastikan kau akan pincang selama kuliah kedokteran.
Parker mundur beberapa langkah sehingga aku terlihat olehnya. Aku pikir kau lebih pintar dari ini, dia
berkata sambil menggelengkan kepalanya sebelum berbalik pergi.
Travis memperhatikan dia pergi, lalu berbalik, menatapku. kau tahu kan kalau itu hanya omong kosong? Itu
tidak benar.
Aku yakin itu yang semua orang pikirkan, aku menggerutu, mengetahui semua itu akan berlalu.
Aku akan membuktikan mereka salah.
***
Seminggu berlalu, Travis membuktikan janjinya dengan serius. Dia tidak lagi bercanda dengan wanita yang
menghentikannya saat menuju kelas atau keluar kelas, kadang malah dia kasar pada mereka. Saat kami
berjalan masuk ke The Red pada pesta Halloween, aku sedikit gugup tentang bagaimana dia berencana untuk
membuat mahasiswi yang mabuk agar tidak mengganggunya.
Aku, America, dan Finch sedang duduk di meja yang terdekat sambil memperhatikan Shepley dan Travis
bermain billiar melawan dua orang temannya dari Sig Tau.
Ayo, sayang! America berteriak, berdiri di atas tangga bangkunya.
Shepley mengedipkan satu matanya pada America, lalu gilirannya memasukan bola, memasukkannya ke dalam
lubang kanan yang cukup jauh.
Horeeee! dia menjerit.
Tiga orang wanita berdandan sebagai Charlies Angels datang mendekati Travis saat dia sedang menunggu
gilirannya, dan aku tersenyum ketika dia berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikan mereka. Ketika salah
satu dari mereka menyentuh salah satu tato di lengannya, Travis menarik lengannya. Travis mengusirnya agar
menjauh sehingga dia dapat memasukan bola, wanita itu merajuk pada temannya.
Bisakah kau percaya bagaimana bodohnya mereka? Wanita di sini pada tidak tahu malu. America berkata.
Finch menggelengkan kepalanya karena kagum. Penyebabnya adalah Travis. Aku pikir karena image bad-boy
nya. Mereka ingin menyelamatkannya atau mereka pikir mereka kebal terhadap kelakuan nakalnya. Aku tidak
yakin yang mana.
Mungkin karena keduanya, aku tertawa, cekikikan melihat pada semua wanita yang menunggu Travis untuk
memperhatikan mereka. Bisa kau bayangkan bagaimana mereka berharap akan menjadi orang yang Travis
pilih? Mengetahui bahwa kau akan diperalat hanya untuk seks?

Karena kurang kasih sayang dari seorang ayah, America berkata sambil meneguk minumannya.
Finch mematikan rokoknya, lalu menarik baju kami. Ayo, girls! The Finch ingin berdansa!
Hanya jika kau berjanji tidak akan memanggil dirimu The Finch lagi selamanya, kata America.
Finch cemberut, dan America tertawa. Ayo, Abby. kau tidak ingin membuat Finch menangis, kan?
Kami bergabung dengan orang yang berdandan seperti polisi dan vampir di lantai dansa, dan Finch
mengeluarkan jurus seperti Justin Timberlake-nya. Aku melihat sekilas ke arah Travis dan menangkap basah
dirinya yang sedang memperhatikanku dari sudut matanya, berpura-pura memperhatikan Shepley yang sedang
memasukan bola delapannya dan memenangkan permainan. Shepley mengumpulkan uang hasil kemenangan
mereka, dan Travis berjalan ke meja yang panjang tapi rendah yang membatasi lantai dansa, sambil membawa
minuman. Finch menghentak lantai dansa, akhirnya dia berdansa di tengah di antara aku dan America. Travis
memutar matanya, tertawa sambil berjalan kembali menuju meja kami bersama dengan Shepley.
Aku akan mengambil minum lagi, ada yang mau sesuatu? America berteriak di antara musik.
Aku akan pergi denganmu, kataku, melihat ke arah Finch sambil menunjuk ke arah bar.
Finch menggelengkan kepalanya sambil terus berdansa. Aku dan America melewati kerumunan banyak orang
saat menuju ke bar. Bartendernya kewalahan, maka kami menunggu agak lama.
Travis dan Shepley mendapat banyak uang malam ini, America berkata.
Aku mendekat ke telinganya. Kenapa ada orang yang mau bertaruh melawan Shepley, aku tidak akan pernah
mengerti.
Dengan alasan yang sama mereka bertaruh melawan Travis. Mereka adalah orang-orang yang tolol, dia
tersenyum.
Seorang pria yang memakai baju toga bersandar di meja bar di samping America dan tersenyum. Apa yang
kalian minum malam ini?
Kami membeli minuman kami sendiri, thanks, America berkata sambil tetap menatap ke depan.
Aku Mike, dia berkata, lalu menunjuk ke arah temannya, Ini Logan.
Aku tersenyum agar terlihat sopan, melihat ke arah America yang ekspresinya terlihat seolah ingin mengusir
mereka untuk pergi. Bartender melayani kami lalu mengangguk, berbalik ke belakang untuk membuat minum
pesanan America. Dia kembali sambil membawa gelas kotak berisi penuh cairan berbusa berwarna pink dan
tiga botol bir. Mike memberinya uang dan dia mengangguk.
Itu minuman yang tidak biasa, Mike berkata sambil mengamati kerumunan.
Yah, America berkata, merasa terganggu.
Aku melihatmu berdansa tadi, Logan bicara padaku, menunjuk dengan kepalanya ke arah lantai dansa. kau
terlihat cantik.
Hm...terima kasih, aku berkata, berusaha untuk tetap sopan, tetap waspada mengetahui bahwa Travis berada
tidak jauh.

kau mau berdansa? dia bertanya.


Aku menggelengkan kepala. Tidak, terima kasih. Aku di sini bersama,
Kekasihnya, Travis berkata, muncul tiba-tiba. Dia menatap tajam ke arah pria yang berdiri di hadapan kami,
lalu mereka mundur sedikit, merasa terintimidasi.
America tidak dapat menahan senyumnya saat Shepley memeluknya. Travis menunjuk keluar dengan
kepalanya. Pergilah, sekarang.
Kedua pria itu menatap aku dan America, lalu melangkah mundur sebelum menghilang di kerumunan.
Shepley mencium America. Aku tidak bisa membawamu ke mana-mana! America cekikikan, dan aku
tersenyum pada Travis, yang melotot ke arahku.
Apa?
Kenapa kau membiarkan mereka membelikanmu minuman?
America melepaskan Shepley, mengetahui mood Travis. Kami tidak mengizinkannya, Travis. Aku sudah
bilang jangan pada mereka.
Travis mengambil salah satu botol dari tanganku. Lalu ini apa?
Apakah kau serius? tanyaku.
Ya, aku benar-benar serius, dia berkata, menuang isi botol bir ke tempat sampah. Aku sudah
memberitahumu ratusan kalikau tidak boleh menerima minuman dari sembarang orang. Bagaimana kalau
dia menaruh sesuatu dalam minuman itu?
America mengangkat gelasnya. Semua minumannya tidak pernah lepas dari pengawasan kami, Trav. kau
terlalu berlebihan.
Aku tidak bicara denganmu, Travis berkata, matanya menatap tajam ke arahku.
Heh! kataku, langsung marah. Jangan bicara seperti itu padanya.
Travis, Shepley memperingatkan, Sudahlah.
Aku tidak suka kalau kau membiarkan pria lain membelikanmu minuman, Travis berkata.
Aku mengangkat alisku. Apa kau mencoba untuk memulai pertengkaran?
Apakah tidak mengganggumu saat kau pergi ke bar dan melihatku sedang berbagi minuman dengan wanita
lain?
Aku mengangguk sekali. Baiklah. kau mengabaikan semua wanita lain. Aku mengerti. Aku juga harus
melakukan hal yang sama.
Itu akan lebih baik. Sangat jelas dia berusaha menahan amarahnya, dan itu sedikit menakutkan untuk berada
di sisi lain dan melawan kemarahannya. Matanya masih menyala karena marah, masih ingin mengungkapkan
kemarahannya.

Kau harus meredam rasa cemburumu, Travis. Aku tidak melakukan kesalahan.
Travis menatapku dengan tidak percaya. Aku berjalan kemari dan ada pria lain sedang membelikanmu
minuman!
Jangan berteriak padanya! America berkata.
Shepley memegang bahu Travis. Kita semua sudah terlalu banyak minum. Mari kita pergi dari sini. Efek
menenangkan Shepley tidak berpengaruh pada Travis, dan aku merasa terganggu karena amukannya
mengakhiri acara kita malam ini.
Aku harus memberitahu Finch bahwa kita akan pergi, aku menggerutu, menabrak bahu Travis saat berjalan
menuju lantai dansa.
Tangan yang hangat memeluk pinggangku. Aku berbalik, dan melihat jari Travis terkunci di pinggangku tanpa
rasa menyesal. Aku akan pergi bersamamu.
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku bisa berjalan beberapa kaki sendiri, Travis. Ada apa
denganmu?
Aku melihat Finch berada di tengah lantai dansa, dan aku melepaskan diri saat berjalan ke arahnya.
Kami akan pergi!
Mengapa?
Travis sedang dalam mood kesal! Kami akan pergi!
Finch memutar matanya dan menggelengkan kepala, dan aku melambai saat meninggalkan lantai dansa. Saat
aku melihat America dan Shepley, aku ditarik ke belakang oleh pria yang memakai kostum bajak laut.
Mau pergi kemana? dia tersenyum, menabrakku.
Aku tertawa dan menggelangkan kepalaku karena wajahnya yang tampak lucu. Saat aku berbalik pergi, dia
memegang tanganku. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa dia bukan memegang tanganku
tapi memegangi tanganku agar aku tidak jatuh.
Awas! dia berteriak, melihat ke belakangku dengan mata terbelalak.
Travis bergegas menuju lantai dansa, dan menjatuhkan tinjunya tepat ke wajah bajak laut, kekuatannya
menjatuhkan kami berdua ke lantai. Dengan telapak tanganku mendarat di lantai kayu, aku mengejapkan
mataku terpana tidak percaya. Merasakan sesuatu yang hangat dan basah di tanganku, aku membalik tanganku
dan merasa takut. Tanganku berlumuran darah dari hidung pria itu. Tangannya menutup wajahnya, namun
cairan merah terang mengalir ke tangannya saat dia menggeliat di lantai.
Travis langsung mengangkatku, sama terkejutnya denganku. Ya Tuhan, kau tidak apa-apa, Pidge?
Ketika aku sudah berdiri, aku menepiskan tanganku dari genggamannya. Apakah kau sinting?
America memegang pinggangku dan menarik tubuhku melewati kerumunan menuju tempat parkir. Shepley
membuka kunci mobil dan setelah aku duduk di kursiku, Travis melihat ke belakang ke arahku.
Maafkan aku, Pigeon, aku tidak tahu dia sedang memegangimu.

Tinjumu hanya berjarak dua inchi dari wajahku! aku berkata sambil menangkap handuk untuk mengelap oli
yang dilemparkan oleh Shepley padaku. Aku mengelap darah dari tanganku, merasa jijik.
Seriusnya situasi ini membuat wajahnya lebih gelap dan dia meringis. Aku tidak akan memukul kalau aku
tahu itu akan memukulmu juga. kau tahu itu kan?
Diamlah, Travis. Diam, aku berkata sambil menatap bagian belakang kepala Shepley.
Pidge, Travis mulai bicara lagi.
***
Shepley memukul kemudi mobil dengan ujung telapak tangannya. Diamlah, Travis! kau sudah bilang kau
menyesal, sekarang tutup mulutmu!
Perjalanan ke rumah sangat hening. Shepley menarik kursinya ke depan untuk membiarkanku keluar dari
mobil, dan aku memandang ke arah America yang menggangguk mengerti.
Dia mencium kekasihnya. Sampai bertemu besok, sayang.
Shepley mengangguk pasrah lalu menciumnya. Aku mencintaimu.
Aku berjalan melewati Travis menuju mobil America, dan dia berlari mengikutiku. Ayolah. Jangan pergi saat
sedang marah.
Oh. Aku bukan pergi karena marah. Aku sangat marah.
Dia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Travis, America memperingatkan, membuka kunci
mobilnya.
Ketika kunci pintu penumpang terbuka, Travis menahan pintu dengan tangannya. Jangan pergi, Pigeon. Aku
sudah keterlaluan. Maafkan aku.
Aku mengangkat tanganku, memperlihatkan sisa darah kering di telapak tanganku padanya. Hubungi aku saat
kau sudah dewasa.
Dia menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. kau tidak boleh pergi.
Aku mengangkat alisku, dan Shepley berlari mengitari mobil dan berdiri di samping kami. Travis, kau
mabuk. kau akan melakukan kesalahan besar. Biarkan dia pulang untuk menenangkan dirikalian berdua bisa
bicara lagi besok saat kau sudah sadar.
Ekspresi Travis menjadi putus asa. Dia tidak boleh pergi, dia berkata, menatap mataku.
Itu tidak akan berhasil, Travis, aku berkata, sambil menarik pintu. Minggir!
Apa maksudmu tidak akan berhasil? Travis bertanya, sambil memegang tanganku.
Maksudku wajah memelasmu. Aku tidak akan merasa kasihan, aku berkata, menjauh darinya.
Shepley memperhatikan Travis sebentar, lalu berbalik menatapku. Abbyini adalah momen yang aku
bicarakan. Mungkin kau harus,

Jangan ikut campur, Shep, America membentak, menyalakan mesin mobil.


Aku akan mengacau. Aku akan sering mengacau, Pidge, tapi kau harus memaafkanku.
Aku akan memiliki memar yang besar di pantatku nanti pagi! kau memukul pria itu karena kau kesal padaku!
Itu memberitahuku apa? Itu memberiku peringatan kalau bahaya akan selalu ada!
Aku tidak pernah memukul seorang wanita selama hidupku, dia berkata, terkejut karena kata-kataku.
Dan aku tidak ingin menjadi yang pertama! aku berkata, menarik pintu mobil agar terbuka. Minggir,
sialan!
Travis mengangguk, lalu mundur selangkah. Aku duduk di samping America, membanting pintu. Dia
memundurkan mobil, dan Travis membungkuk untuk melihatku dari jendela.
kau akan meneleponku besok, kan? dia berkata sambil memegang kaca depan mobil.
Ayo cepat maju, Mare, aku berkata, menghindari tatapan mata Travis.
***
Malam terasa sangat panjang. Aku terus melihat jam, dan meringis setiap aku melihat satu jam lagi telah
berlalu. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Travis dan apakah aku harus meneleponnya atau tidak, ingin tahu
apakah dia masih belum tidur juga. Akhirnya terpaksa aku memasang earphone Ipod di telingaku dan
mendengarkan semua lagu berirama kencang yang ada di playlistku.
Terakhir aku melihat jam, jam menunjukan jam empat lewat. Beberapa burung sudah mulai berkicau di luar
jendelaku, dan aku tersenyum saat mataku mulai terasa berat. Seperti baru beberapa menit aku tertidur saat aku
mendengar ada yang mengetuk pintu, dan America menerobos masuk. Dia menarik earphone dari telingaku
lalu duduk di kursi meja belajarku.
Selamat pagi, sayang. kau tampak berantakan, dia berkata sambil meniup gelembung pink dari mulutnya lalu
membiarkannya meletus dengan suara yang keras.
Diamlah, America! Kara berkata dari bawah selimutnya.
kau sadar kan orang sepertimu dan Travis akan bertengkar? America berkata, mengikir kukunya sambil
mengunyah permen karet di mulutnya.
Aku berbalik di tempat tidur. kau resmi dipecat. kau seharusnya membelaku.
Dia tertawa. Aku sangat mengenalmu. Jika aku memberimu kunci mobilku sekarang, kau akan langsung pergi
menuju rumah Travis.
Tidak, tidak akan!
Terserah saja, dia terlihat senang.
Ini baru jam delapan pagi, Mare. Mereka mungkin masih tertidur pulas.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan pelan di pintu. Lengan Kara keluar dari selimut dan memutar
pegangan pintu. Pintu dengan pelan terbuka, memperlihatkan Travis yang sedang berdiri di depan pintu.

Bolehkah aku masuk? dia bertanya dengan suara pelan dan serak. Bulatan ungu di bawah matanya
memberitahu kurang tidurnya dia, jika memang dia sempat tidur.
Aku duduk di tempat tidur, terkejut oleh penampilannya yang berantakan. kau tidak apa-apa?
Dia melangkah masuk dan berlutut di hadapanku. Aku sangat menyesal, Abby. Maafkan aku. Dia berkata,
memeluk pinggangku dan menenggelamkan kepalanya di pangkuanku.
Aku memeluk kepalanya dan melihat ke arah America.
Aku ehm...aku akan pergi, dia berkata, meraba-raba mencari pegangan pintu dengan canggung.
Kara menggosok matanya lalu menghela nafas, kemudian mengambil tas peralatan mandinya. Aku selalu
sangat bersih kalau kau ada di sini, Abby, dia menggerutu, membanting pintu di belakangnya.
Travis melihat ke atas ke arahku. Aku tahu aku menjadi gila kalau itu tentangmu, tapi Tuhan tahu aku
berusaha, Pidge. Aku tidak mau mengacaukan ini.
Kalau begitu jangan.
Ini sangat sulit untukku, kau tahu. Aku merasa setiap saat kau akan menyadari betapa tidak berharganya aku
lalu meninggalkanku. Ketika kau berdansa tadi malam, aku melihat banyak pria berbeda yang
memperhatikanmu. kau pergi ke bar, dan aku melihat kau berterimakasih pada pria itu untuk minumanmu.
Lalu orang brengsek yang di lantai dansa itu memegangmu.
kau tidak melihatku memukuli setiap wanita yang berbicara denganmu. Aku tidak bisa selalu diam di
apartemen sepanjang waktu. kau harus bisa untuk dapat mengontrol emosimu.
Aku akan bisa mengontrolnya. Aku tidak pernah ingin punya kekasih sebelumnya, Pigeon. Aku tidak terbiasa
merasa seperti ini tentang seseorangtentang siapapun. Jika kau mau bersabar terhadapku, aku bersumpah
akan mengatasinya.
Mari kita luruskan beberapa hal; kau bukan orang yang tidak berguna, kau adalah orang yang sangat
mengagumkan. Tidak peduli siapa yang membelikanku minuman, atau yang mengajakku berdansa, atau yang
mencoba merayuku. Aku akan pulang bersamamu. kau minta aku untuk mempercayaimu, tapi kau tampak
tidak percaya padaku.
Dia cemberut. Itu tidak benar.
Jika kau pikir aku akan meninggalkanmu untuk pria yang datang padaku berikutnya, itu berati kau tidak
mempercayaiku.
Dia mempererat pegangannya. Aku tidak cukup baik untukmu, Pidge. Itu bukan berarti aku tidak percaya
padamu, aku hanya bersiap untuk hal yang sudah pasti akan terjadi.
Jangan berkata seperti itu. Saat kita berdua, kau sangat sempurna. Kita sangat sempurna. Tapi kau
membiarkan orang lain menghancurkannya. Aku tidak mengharapkan kau berubah seratus delapan puluh
derajat, tapi kau harus memilih mana hal yang lebih penting. kau tidak bisa selalu memukul setiap orang yang
melihatku.
Dia mengangguk. Aku akan melakukan apapun maumu. Tapikatakan bahwa kau mencintaiku.

Kau tahu itu.


Aku ingin mendengar kau mengatakannya, dia berkata, alisnya terangkat.
Aku mencintaimu, aku berkata sambil menciumnya. Sekarang berhentilah berkelakuan seperti anak kecil.
Dia tertawa, merangkak naik ke tempat tidurku. Kami menghabiskan waktu selama satu jam di tempat yang
sama di bawah selimut, cekikikan dan berciuman, hampir tidak menyadari saat Kara kembali dari kamar
mandi.
Bisakah kau keluar? Aku harus berpakaian, Kara berkata pada Travis, mengencangkan jubah mandinya.
Travis mencium pipiku, lalu melangkah keluar kamar. Sampai bertemu sebentar lagi.
Aku menjatuhkan kepalaku ke atas bantal saat Kara menggeledah lemarinya. Kenapa kau kelihatan sangat
senang, Abby? Kekasihmu adalah contoh utama, yang menakutkan mengingat dia dari yang tidak pernah
menghormati wanita sama sekali menjadi yang berpikir bahwa dia membutuhkanmu untuk bernafas.
Mungkin dia memang begitu. aku berkata, tidak akan membiarkan dia merusak moodku.
Apa kau tidak ingin tahu mengapa bisa seperti itu? Maksudku.dia pernah tidur dengan sebagian dari wanita
yang ada di kampus ini. Kenapa kau yang dia pilih?
Dia bilang aku berbeda.
Tentu saja saja dia bilang begitu. Tapi kenapa?
Kenapa kau peduli? aku membentak.
Sangat berbahaya untuk membutuhkan seseorang sebegitu besarnya. kau berusaha untuk menolongnya dan
dia berharap kau dapat menolongnya. Kalian berdua adalah musibah.
Aku tersenyum sambil melihat langit-langit. Tidak penting apa atau mengapa begitu. Ketika itu berjalan
dengan baik, Karaitu sangat indah.
Dia memutar matanya. kau memang tidak ada harapan.
Travis mengetuk pintu, dan Kara membiarkan dia masuk.
Aku akan ke ruang makan untuk belajar. Semoga beruntung, dia berkata dengan suara paling tulus yang dia
bisa kerahkan.
Semoga beruntung untuk apa? Travis bertanya.
Dia bilang kita berdua adalah musibah.
Beritahu aku sesuatu yang tidak aku ketahui, dia tersenyum. Matanya tiba-tiba menjadi fokus, dan dia
mencium bagian belakang telingaku. Kenapa kau tidak pulang bersamaku?
Aku menaruh tanganku di belakang lehernya dan mendesah karena bibirnya yang lembut di kulitku. Aku pikir
aku akan tinggal di sini. Aku selalu berada di apartemenmu.
Kepalanya terangkat. Terus kenapa? kau tidak suka berada di sana?

Aku menyentuh pipinya lalu menghela nafas. Dia sangat cepat cemas. Tentu saja aku senang berada di sana,
tapi aku tidak tinggal di sana.
Dia mengusapkan ujung hidungnya di leherku. Aku ingin kau berada di sana. Aku menginginkanmu di sana
setiap malam.
Aku tidak akan tinggal bersamamu, aku berkata sambil menggelengkan kepala.
Aku tidak memintamu untuk tinggal bersamaku. Aku hanya bilang aku ingin kau ada di sana.
Sama saja! aku tertawa.
Travis cemberut. Kau serius tidak akan menginap bersamaku malam ini?
Aku menggelengkan kepala, dan matanya bergerak menatap dinding kamarku lalu ke langit-langit. Aku hampir
dapat melihat roda yang berputar di dalam kepalanya. Kau sedang memikirkan apa? aku bertanya,
memicingkan mataku.
Aku berusaha memikirkan tentang membuat taruhan baru.
***
Aku memasukan satu pil kecil ke dalam mulutku dan menelannya bersama dengan satu gelas besar air. Aku
berdiri di tengah kamar Travis dengan hanya memakai bra dan celana dalam, bersiap untuk memakai
piyamaku.
"Apa itu?" Travis bertanya dari atas tempat tidur.
"Ehmpil ku?"
Dia merengut. "Pil apa?"
"Pil, Travis. kau belum mengisi kembali laci atasmu dan hal terakhir yang aku butuhkan adalah khawatir
tentang apakah aku akan mendapat menstruasiku atau tidak."
"Oh."
"Salah satu dari kita harus bertanggung jawab," aku berkata sambil mengangkat alisku.
"Ya Tuhan, kau sangat seksi," Travis berkata, menahan kepala di atas tangannya. "Wanita tercantik di Eastern
adalah kekasihku. Itu gila."
Aku memutar mataku dan memasukkan baju sutra ke kepalaku, merangkak naik ke sampingnya di atas tempat
tidur. Aku duduk di atas pangkuannya dan mencium lehernya, cekikikan saat dia menyandarkan kepalanya di
kepala tempat tidur. "Lagi? kau akan membunuhku, Pidge."
"kau tidak akan mati," aku berkata sambil menciumi wajahnya. "kau terlalu berharga."
"Bukan, aku tidak bisa mati karena terlalu banyak orang brengsek yang berusaha untuk merebut posisiku! Aku
harus hidup selamanya untuk membuat mereka iri."
Aku cekikikan di mulutnya dan dia membalik tubuhku sehingga aku terbaring di atas tempat tidur. Tangannya
meluncur ke bawah tali ungu lembut yang terikat di atas bahuku dan melepasnya dari tanganku, lalu menciumi

bahuku.
"Mengapa aku, Trav?"
Dia terduduk, menatap mataku. "Apa maksudmu?"
"Kau telah bersama banyak wanita, tidak mau berpacaran, bahkan menolak saat di beri nomor teleponjadi
mengapa aku yang kau pilih?"
"Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini?" dia bertanya, ibu jarinya membelai pipiku.
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya ingin tahu."
"Mengapa aku? Ada separuh dari pria di Eastern yang sedang menungguku melakukan kesalahan."
Aku mengerutkan hidungku. "Itu tidak benar. Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Itu benar. Jika aku tidak mengejarmu dari awal kuliah, kau akan bersama Parker Hayes yang mengikutimu
kemana-mana. Dia terlalu mementingkan diri sendiri untuk merasa takut padaku."
"Kau menghindari pertanyaanku!"
"Baiklah. Mengapa dirimu?" Senyuman lebar terukir di wajahnya lalu dia mendekat dan mencium bibirku.
"Aku merasakan sesuatu padamu sejak kau menonton pertarungan malam itu."
"Apa?" aku berkata dengan ekspresi meragukan.
"Ya, benar. Kau memakai cardigan dengan noda percikan darah di seluruh tubuhmu? kau terlihat sangat
menggelikan." Dia tertawa kecil.
"Terima kasih."
Senyumnya menghilang. "Pada saat kau melihat ke arahku. Pada saat itulah. Mata lebar, wajah yang polos
tidak berpura-pura. kau tidak melihatku sebagai Travis Maddox," dia berkata, memutar matanya pada katakatanya sendiri, "kau melihatku sebagaiaku tak tahu, sebagai seorang manusia mungkin."
"Sekilas info, Trav. Kau memang seorang manusia."
Dia mengusap poni dari wajahku. "Bukan, sebelum kau ada, Shepley satu-satunya orang yang
memperlakukanku tidak seperti orang lain memperlakukanku. kau tidak canggung, menggoda, atau
memainkan rambutmu. kau benar-benar melihat aku."
"Aku sudah benar-benar jahat padamu, Travis."
Dia mencium leherku. "Itu yang membuatku menyukaimu."
Tanganku membelai punggungnya lalu masuk ke dalam celana boxernya. "Aku harap ini menjadi masalah
lama. Aku tidak akan pernah merasa bosan padamu."
"Janji?" dia bertanya sambil tersenyum.
Telepon Travis bergetar di atas meja lampu tempat tidur dan dia tersenyum, mengangkatnya ke telinga.
"Yah?...Oh, tentu saja tidak, aku bersama Pidge di sini. Kami baru akan tidurTutup mulutmu, Trent, itu tidak

lucuSerius? Apa yang dia lakukan di sini?" Dia melihat ke arahku lalu menghela nafas. "Baiklah. Kami akan
tiba dalam setengah jamkau dengar aku, sialan. Karena aku tak akan pergi kemana pun tanpa dia, itu
alasannya. Kau ingin aku menghantamkan wajahmu saat aku tiba di sana?"
Travis menutup telepon dan menggelengkan kepala.
Aku mengangkat alisku. "Itu adalah percakapan yang paling aneh yang pernah aku dengar."
"Itu adalah Trent. Thomas sedang berada di sini dan sekarang adalah malam Poker di rumah ayahku."
"Malam Poker?" aku menelan ludah.
"Ya, mereka biasanya memenangkan semua uangku. Dasar bajingan curang."
"Aku akan bertemu keluargamu dalam tiga puluh menit?"
Dia melihat jam tangannya. "Dua puluh tujuh menit lagi tepatnya."
"Ya Tuhan, Travis!" aku meratap, melompat dari tempat tidur.
"Apa yang kau lakukan?" dia menghela nafas.
Aku menggeledah lemari dan mengenakan celana jeans, melompat berkali-kali untuk menariknya ke atas, lalu
melepas baju tidurku, melemparnya ke wajah Travis. "Aku tidak percaya kau memberitahuku hanya dua puluh
lima menit sebelum aku bertemu keluargamu! Aku ingin membunuhmu sekarang!"
Dia menyingkirkan baju tidurku dari matanya lalu tertawa karena melihat usaha putus asaku untuk terlihat rapi.
Aku mengambil kaos v-neck lalu memakainya, kemudian lari menuju kamar mandi, menggosok gigiku, dan
menyisir rambutku. Travis berjalan di belakangku, sudah mengganti pakaiannya dan siap untuk pergi, lalu
memeluk pinggangku.
"Aku terlihat berantakan!" kataku, mengernyit di depan cermin.
"Apa kau tidak sadar betapa cantiknya dirimu?" dia bertanya, mencium leherku.
Aku mendengus, berlari ke kamar Travis untuk mencari sepatu hak tinggi lalu memakainya, kemudian
memegang tangan Travis saat dia menuntunku ke luar pintu. Aku berhenti berjalan, menarik ritsleting jaket
kulitku lalu mengikat rambutku bersiap untuk perjalanan yang akan berangin kencang menuju rumah ayahnya
Travis.
"Tenanglah, Pigeon. Di sana hanya akan ada beberapa pria yang duduk mengelilingi meja."
"Ini pertama kalinya aku bertemu Ayah dan seluruh kakakmusemua dalam waktu yang bersamaandan kau
memintaku agar tenang?" aku berkata sambil naik ke atas motor.
Dia memiringkan lehernya, menyentuh pipiku saat dia menciumku. "Mereka akan mencintaimu, seperti aku."
***
Ketika kami tiba, aku mengurai rambutku dan menyisirnya menggunakan jariku beberapa kali sebelum Travis
menuntunku ke pintu.
"Ya Tuhan! Itu si bodoh!" satu dari mereka berteriak.

Travis mengangguk sekali. Dia berusaha untuk terlihat kesal, namun aku bisa melihat dia senang bertemu
dengan semua saudaranya. Rumahnya usang, dengan wallpaper kusam berwarna kuning dan coklat dan karpet
berbulu kasar berwarna coklat bergradasi. Kami berjalan menelusuri lorong yang menuju langsung ke sebuah
ruangan dengan pintu yang terbuka lebar. Bau rokok tercium di lorong, Ayah dan kakak Travis sedang duduk
mengelilingi meja kayu bundar di atas kursi yang tidak serasi.
"Heh, heh.jaga bahasamu di depan seorang wanita," Ayah Travis berkata, cerutu bergerak naik turun di
mulutnya saat dia berbicara.
"Pidge, ini ayahku, Jim Maddox. Ayah, ini Pigeon."
"Pigeon?" Jim bertanya, ekspresi kagum di wajahnya.
"Abby," aku tersenyum, menjabat tangannya.
Travis menunjuk ke arah saudaranya. "Itu Trenton, Taylor, Tyler, dan Thomas."
Semua mengangguk, semua kecuali Thomas yang terlihat seperti Travis namun lebih tua; rambut cepak, mata
coklat, kaos mereka kelihatan ketat diatas otot mereka yang menonjol dan penuh tatoo.
Thomas memakai kemeja dan dasi yang di longgarkan, matanya hijau kecoklatan, dan rambutnya yang pirang
gelap lebih panjang satu inchi dari Travis dan Thomas.
"Apa Abby mempunyai nama belakang?" Jim bertanya.
"Abernathy," aku mengangguk.
"Senang bertemu denganmu, Abby," Thomas berkata sambil tersenyum.
"Sangat senang," Trent berkata sambil menatap nakal. Lalu Jim memukul belakang kepalanya dan dia
berteriak. "Memang aku ngomong apa?" dia berkata sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
"Silahkan duduk, Abby. Perhatikan kami mengambil uang Travis." kata salah satu dari si kembar. Aku tidak
bisa membedakan; mereka sangat mirip satu sama lain, bahkan tatoo mereka sama.
Di ruangan itu terpajang foto-foto pertandingan poker lama, foto legenda poker yang berpose bersama Jim
dengan seseorang yang aku perkirakan adalah kakek Travis, dan kartu antik di sepanjang lemari.
"Anda mengenal Stu Unger?" aku berkata sambil menunjuk ke arah foto yang berdebu.
Mata sipitnya Jim berbinar. "kau tahu siapa Stu Unger?
Aku mengangguk. "Ayahku juga penggemarnya."
Jim berdiri, menunjuk ke arah foto berikutnya. "Dan di sana itu adalah Doyle Brunson."
Aku tersenyum. "Ayahku pernah melihat pertandingannya, sekali. Dia sangat luar biasa."
"Kakeknya Travis adalah pemain poker professionalkami bermain poker dengan serius di sini," Jim
tersenyum.
Aku duduk di antara Travis dan salah satu dari si kembar sementara Trenton mengocok setumpuk kartu dengan

cukup lihai. Mereka menaruh uang mereka dan Jim membagikan chip.
Trenton menarik salah satu alisnya. "kau ingin ikut bermain, Abby?"
Aku tersenyum sopan dan menggelengkan kepala. "Kupikir seharusnya tidak."
"kau tak tahu cara mainnya?" Jim bertanya.
Aku tidak bisa menahan senyum. Jim tampak serius, nyaris kebapakan. Aku tahu jawaban apa yang dia
harapkan, dan aku tidak mau mengecewakannya.
Travis mencium keningku. "Ikut bermain sajaaku akan mengajarimu."
"Sekarang kau akan mengucapkan selamat tinggal pada uangmu, Abby," Thomas tertawa.
Aku menutup rapat bibirku dan meraih ke dalam tas, mengeluarkan dua lembar uang lima puluh dolar. Aku
menyerahkannya pada Jim dan menunggu dengan sabar saat dia menukarnya dengan kepingan chip. Bibir
Trenton tersenyum dengan sombong, namun aku mengacuhkannya.
"Aku percaya pada keahlian mengajar Travis." Kataku.
Salah satu dari si kembar bertepuk tangan. "Hore! Aku akan bertambah kaya malam ini!"
"Kali ini mulai dengan taruhan kecil," Jim berkata sambil melempar chip lima dollar.
Trenton membagikan kartu, dan Travis membuka lebar tanganku. "Apakah kau pernah bermain kartu
sebelumnya?"
"Sudah lama tidak." Aku mengangguk.
"Cangkulan tidak di hitung," Kata Trenton sambil melihat kartunya.
"Tutup mulutmu, Trent," kata Travis, melirik ke arah kakaknya sebelum melihat kembali ke arah tanganku.
"Kau mengharapkan kartu dengan angka yang lebih besar, berurutan, dan jika kau benar-benar beruntung,
memperoleh daun yang sama."
Putaran pertama, Travis melihat kartuku dan aku melihat kartunya. Aku sebagian besar hanya mengangguk dan
tersenyum, bermain saat disuruh. Aku dan Travis kalah, kepingan chipku sudah berkurang saat putaran pertama
berakhir.
Setelah Thomas membagikan kartu untuk putaran kedua, aku tidak membiarkan Travis melihat kartuku.
"Kurasa aku sudah mengerti sekarang." Kataku.
"kau yakin?" dia bertanya.
"Aku yakin, sayang." Aku tersenyum.
Pada tiga putaran berikutnya, aku telah memenangkan kembali semua chipku dan mengambil tumpukan chip
yang lain dengan sepasang As, straight (seri), dan kartu yang angkanya tinggi.
"Sialan!" Trenton merengek. "Keberuntungan pemula menyebalkan."
"kau punya murid yang cepat mengerti, Trav," Jim berkata sambil menggigit cerutu di mulutnya.

Travis meminum birnya. "kau membuatku bangga, Pigeon!" matanya bersinar karena merasa senang, dan
senyumnya berbeda dari yang pernah aku lihat sebelumnya.
"Terima kasih," aku tersenyum.
"Orang yang tidak bisa main poker tapi mengajari orang lain." Thomas berkata sambil menyeringai.
"Sangat lucu, brengsek," Travis menggerutu.
Empat putaran berikutnya, aku meminum bir terakhirku dan memicingkan mataku ke arah satu-satunya pria di
meja yang belum menyerah. "Kau tinggal memilih, Taylor. kau akan menjadi seperti anak kecil atau akan
menambah taruhanmu seperti seorang pria?"
"Terserah," dia berkata sambil melempar chip terakhirnya.
Travis menatapku, matanya terlihat bersemangat. Itu mengingatkanku pada ekspresi semua orang saat melihat
dia bertarung.
"Apa yang kau punya, Pigeon?"
"Taylor?" aku mendorongnya.
Senyuman lebar terukir di wajahnya. "Flush!" dia tersenyum, membuka kartunya di atas meja.
Lima pasang mata menatapku. Aku melihat ke arah meja lalu membanting kartuku. "Lihat dan menangislah,
boys! 3 As dan 2 delapan!" kataku sambil tertawa cekikikan.
"Full house? Kok bisa?" Trent berteriak.
"Maafkan. Aku selalu ingin mengatakan itu," aku berkata sambil menarik semua chipku.
Mata Thomas memicing. "Ini bukan keberuntungan pemula. Dia memang bisa main."
Travis menatap Thomas beberapa saat lalu melihat ke arahku. "Apa kau pernah main sebelumnya, Pidge?"
Aku mengatupkan mulutku lalu mengangkat bahu, memberikan senyuman tanpa dosa terbaikku. Kepala Travis
terkulai ke belakang, tertawa terbahak-bahak. Dia mencoba berbicara tapi dia tidak bisa, lalu memukul meja
dengan tangannya.
"Kekasihmu menipu kita!" kata Taylor sambil menunjuk ke arahku.
"TIDAK MUNGKIN!" Trenton mengeluh lalu berdiri.
"Rencana yang bagus, Travis. Membawa pemain poker ahli ke malam poker," kata Jim, sambil mengedipkan
sebelah matanya padaku.
"Aku tidak tahu!" katanya, menggelengkan kepala.
"Omong kosong," kata Thomas, menatapku.
"Aku benar-benar tidak tahu!" dia bicara di sela tawanya.

"Aku tidak suka mengatakannya, Bro. Tapi aku pikir aku jatuh cinta pada kekasihmu," kata Tyler.
"Heh, enak saja," kata Travis, senyumnya langsung hilang jadi meringis.
"Cukup. Aku tadi bersikap lunak padamu, Abby, tapi aku akan memenangkan semua uangku kembali
sekarang," Trentron memperingatkan.
Travis tidak ikut bermain di beberapa putaran terakhir, memperhatikan semua kakaknya melakukan yang
terbaik untuk mengambil kembali uang mereka. Putaran ke putaran berikutnya, aku memenangkan chip
mereka, putaran ke putaran berikutnya, Thomas memperhatikanku lebih teliti. Setiap kali aku membuka
kartuku Jim dan Travis tertawa, Taylor memaki, Tyler mengungkapkan cinta matinya padaku, dan Trent
mengamuk.
Aku menukar semua chipku dan memberi mereka tiap orang seratus dollar ketika kami semua duduk di ruang
tamu. Jim menolaknya sedangkan yang lain menerimanya dengan senang. Travis menarik lenganku dan kami
berjalan ke pintu. Aku dapat melihat dia tidak senang, maka aku meremas jarinya.
"Ada apa, sayang?"
"kau baru saja memberikan empat ratus dolar, Pidge!" Travis merengut.
"Kalau ini malam poker di Sig Tau, aku akan menyimpannya. Aku tidak bisa mengambil uang saudaramu di
hari pertama aku bertemu mereka."
"Mereka akan mengambil uangmu!" Travis berkata.
"Dan aku juga tidak akan mengalah lagi nanti," Tyler tertawa.
Thomas menatapku dengan diam dari pojok ruangan.
"Mengapa kau terus memandangi kekasihku, Tommy?"
"Apa tadi kau bilang nama belakangmu?" Thomas bertanya.
Aku bergerak dengan gugup. Travis menyadari ketidaknyamananku, berpaling ke arah saudaranya lalu
memeluk pinggangku. Aku merasa tidak yakin dia melakukannya karena ingin melindungiku atau karena
bersiap-siap untuk mendengar apa yang saudaranya akan katakan.
"Abernathy, memang kenapa?"
"Aku mengerti mengapa kau tidak mengatakannya sampai sekarang, Trav, tapi sekarang kau tidak bisa
mengelak." Thomas berkata, puas pada diri sendiri.
"Apa yang kau bicarakan?" tanya Travis.
"Apa kau ada hubungannya dengan Mick Abernathy?" tanya Thomas.
Semua kepala berpaling padaku dan aku dengan gugup mengaruk kepalaku. "Bagaimana kau mengenal
Mick?"
Travis memiringkan kepalanya untuk melihat mataku. "Dia satu-satunya pemain poker terbaik yang pernah
ada. kau mengenalnya?"

Aku meringis, mengetahui akhirnya aku di pojokan untuk memberitahu yang sebenarnya. "Dia adalah
ayahku."
Satu ruangan meledak.
"TIDAK MUNGKIN!"
"AKU SUDAH MENGIRA!"
"KITA SUDAH DIPERMAINKAN OLEH ANAKNYA MICK ABERNATHY!"
"MICK ABERNATHY? YA TUHAN!"
Hanya Thomas, Jim, dan Travis yang tidak berteriak. "Aku tadi kan sudah bilang aku tidak harus ikut
bermain," kataku.
"Jika tadi kau mengatakan kalau kau anaknya Mick Abernathy, kupikir kita akan lebih serius melawanmu."
kata Thomas.
Aku melirik Travis, yang menatapku dengan kagum. "kau adalah si Lucky Thirteen?" tanyanya, matanya
sedikit kabur.
Trenton berdiri dan menunjuk ke arahku, mulutnya terbuka lebar. "Lucky Thirteen ada di rumah kita! Tidak
mungkin! Aku tak bisa mempercayainya!"
"Itu julukan yang Koran berikan padaku. Dan ceritanya tidaklah begitu akurat," kataku, gelisah.
"Aku harus membawa Abby pulang, guys," kata Travis, masih menatapku.
Jim menatapku dari kacamatanya. "Kenapa tidak akurat?"
"Aki tidak mengambil keberuntungan ayahku. Maksudku, itu sangat konyol," aku tertawa kecil, memainkan
rambut dengan jariku.
Thomas menggelengkan kepalanya. "Tidak, Mick pernah di wawancara. Dia bilang saat tengah malam pada
ulang tahunmu yang ke tiga belas keberuntungannya hilang."
"Dan keberuntunganmu bertambah," Travis menambahkan.
"Kau dibesarkan oleh anggota mafia!" kata Trent, tersenyum dengan senang,
"Ehm..tidak," Aku tertawa sekali. "Mereka tidak membesarkanku, mereka hanya sering ada bersamaku."
"Sangat di sayangkan, Mick menjelekkan namamu di semua koran seperti itu. kau masih anak-anak waktu itu,"
kata Jim, menggelengkan kepalanya.
"Mungkin tadi itu hanya keberuntungan pemula," kataku, dengan putus asa berusaha menyembunyikan rasa
maluku.
"Kau diajari oleh Mick Abernathy," kata Jim, menggelengkan kepalanya dengan kagum. "Kau bermain secara
professional, dan menang, pada umur tiga belas tahun demi Tuhan." Dia melihat ke arah Travis lalu tersenyum.
"Jangan bertaruh melawannya, nak. Dia tidak pernah kalah."

Travis menatapku, saat itu, ekspresinya masih terkejut dan bingung. "Ehmkami harus pergi, ayah. Selamat
tinggal, guys."
***
Keriuhan ocehan keluarga Travis menghilang saat dia menarikku keluar pintu menuju motornya. Aku mengikat
rambutku dan menaikan ritsleting jaketku, menunggunya bicara. Dia naik ke motornya tanpa sepatah katapun,
aku duduk di belakangnya.
Aku yakin dia merasa aku tidak jujur padanya, dan dia mungkin merasa malu karena mengetahui tentang
bagian penting dari hidupku di saat yang sama dengan keluarganya. Aku menanti perdebatan yang hebat saat
kami tiba di apartemen, dan aku sudah memikirkan beberapa cara yang berbeda untuk meminta maaf di
kepalaku sebelum kami tiba di pintu depan.
Dia menuntun tanganku menelusuri lorong, membantuku membuka jaket.
Aku menarik tali rambut coklat dari atas kepalaku, dan rambutku terurai di atas bahuku. "Aku tahu kau
marah," kataku, tidak sanggup menatap matanya. "Maafkan aku tidak memberitahumu, tapi itu bukan topik
yang ingin aku bicarakan."
"Marah padamu?" Travis berkata. "Aku sangat terangsang hingga aku tidak bisa melihat dengan lurus. kau
baru saja merampok semua saudaraku yang brengsek tanpa harus menggodanya, kau mendapatkan status
legenda dari ayahku dan aku tahu kebenarannya bahwa kau dengan sengaja kalah dalam taruhan yang kita buat
sebelum pertarunganku."
"Aku tidak akan menyebutnya seperti itu."
Dia mengangkat dagunya. "Apa kau pikir kau akan menang?"
"Welltidak, tidak begitu yakin," kataku, melepas sepatuku.
Travis tersenyum. "Jadi kau memang ingin bersamaku di sini. Kurasa aku baru saja jatuh cinta padamu sekali
lagi."
"Kenapa kau tidak marah?" aku bertanya, melempar sepatuku ke dalam lemari.
Dia menghela nafas dan mengangguk. "Itu hal yang penting, Pidge. kau seharusnya memberitahuku. Tapi aku
mengerti kenapa kau tidak memberitahuku. Kau datang kemari untuk menghindari semua itu. Ini seperti langit
yang terbuka.semua masuk akal sekarang."
"Well, itu membuatku lega."
"Lucky Thirteen," dia berkata, menggelengkan kepalanya dan melepas kaosku.
"Jangan panggil aku itu, Travis. Itu bukan hal yang bagus."
"kau sangat terkenal, Pigeon!" dia berkata, terkejut pada kata-kataku. Dia melepas kancing celana jeansku dan
menariknya ke bawah mata kaki, lalu membantuku melangkah keluarnya.
"Ayahku membenciku karena itu. Dia masih menyalahkanku atas semua masalahnya."
Travis melepas kaosnya lalu memelukku. "Aku masih tidak percaya anaknya Mick Abernathy berdiri di
hadapanku, dan aku bersamanya selama ini tanpa menyadarinya."

Aku mendorongnya menjauh. "Aku bukan anaknya Mick Abernathy, Travis! Itu yang aku tinggalkan di
belakang. Aku adalah Abby. Hanya Abby!" aku berkata sambil berjalan menuju lemari. Aku menarik kaos dari
gantungan baju dan memgenakannya.
Dia menghela nafas. "Maafkan aku. Aku hanya sedikit terpukau oleh seorang bintang."
"Ini cuma aku!" aku meletakan tanganku di dadaku, putus asa membuatnya agar mengerti.
"Ya, tapi"
"Tidak ada tapi. Caramu melihatku sekarang? Inilah alasan yang membuatku tidak memberitahumu." Aku
menutup mataku. "Aku tak mau hidup seperti itu lagi, Trav. Meskipun bersamamu."
"Wow! Tenanglah, Pigeon. Jangan terlalu jauh." Matanya fokus menatapku dan dia berjalan ke arahku lalu
memelukku. "Aku tidak peduli siapa kau dulu. Aku hanya menginginkan dirimu."
"Kalau begitu kita menginginkan hal yang sama."
Dia menuntunku ke tempat tidur, tersenyum ke arahku. "Hanya kau dan aku melawan dunia, Pidge."
Aku meringkuk di sampingnya. Aku tidak merencanakan siapapun untuk mengetahui tentang Mick selain aku
dan America, dan aku tak pernah mengira kekasihku berasal dari keluarga penggemar poker. Aku
menghembuskan nafas panjang, menekan pipiku di dadanya.
"Ada apa?" dia bertanya.
"Aku tidak ingin siapapun tahu tentang ini, Trav. Aku bahkan tidak ingin kau mengetahuinya."
"Aku mencintaimu, Abby. Aku tidak akan menyebutkan hal itu lagi, OK? Rahasiamu aman bersamaku," dia
berkata sambil mencium keningku.
***
"Mr. Maddox, bisakah kau berhenti sebentar hingga kelas usai?" kata Prof. Chaney, bereaksi karena
mendengarku cekikikan saat Travis menciumi leherku.
Aku berdehem, merasa malu.
"Saya rasa tidak akan bisa, Dr. Chaney. Apakah anda sudah melihat dengan baik wajah kekasihku?" kata Travis
sambil menunjuk padaku.
Suara tawa bergema di seluruh ruangan dan wajahku merah padam. Prof. Chaney melihat sekilas ke arahku
dengan sedikit tersenyum, dengan sedikit canggung dia menggelengkan kepalanya pada Travis.
"Lakukan sebisa mungkin," kata Chaney.
Seluruh kelas tertawa lagi, dan aku merosot di kursiku. Travis meletakkan tangannya di atas sandaran kursiku,
dan pelajaran pun di lanjutkan. Setelah kelas selesai, Travis mengantarku ke kelas berikutnya.
"Maaf kalau aku sudah membuatmu malu. Aku tidak bisa menahan diriku."
"Berusahalah."

Parker berjalan melewati kami, lalu ketika aku membalas anggukannya dengan senyuman, matanya jadi
bersinar.
"Hai, Abby. Sampai bertemu di dalam." Dia masuk ke dalam kelas, Travis menatap tajam ke arahnya untuk
beberapa saat yang menegangkan.
"Hey," aku menarik tangan Travis hingga dia melihat ke arahku. "Lupakan dia."
"Dia cerita pada semua orang di The House kalau kau masih menelponnya."
"Itu tidak benar," kataku, tidak terpengaruh.
"Aku tahu itu, tapi mereka tidak. Dia bilang dia hanya menunggu waktunya. Dia mengatakan pada Brad kalau
kau menunggu waktu yang tepat untuk mencampakkan aku, dan bagaimana kau meneleponnya untuk bilang
betapa kau tidak bahagia. Dia mulai membuatku kesal."
"Dia benar-benar punya imajinasi." Aku menatap Parker dan ketika mata kami bertemu dan dia tersenyum, aku
melotot ke arahnya.
"Apakah kau akan marah kalau aku membuatmu malu sekali lagi?"
Aku mengangkat bahuku dan tanpa membuang waktu Travis menuntunku ke dalam kelas. Dia berhenti di
tempat dudukku, lalu menaruh tasku di lantai. Dia melihat ke arah Parker lalu menarikku ke pelukannya, satu
tangannya di leherku, dan tangan satunya di punggungku lalu menciumku, dalam dan bertekad. Dia
menciumku seperti saat kami sedang berada di kamarnya, dan aku tidak bisa menahannya selain menarik
kaosnya dengan kedua tanganku.
Suara bisikan dan cekikikan semakin terdengar keras saat Travis dengan jelas tidak akan melepaskanku dalam
waktu dekat.
"Aku rasa dia baru saja membuatnya hamil!" kata seseorang di belakang kelas, tertawa.
Aku menjauh dari Travis dengan mata tertutup, berusaha untuk tenang kembali. Saat aku melihat Travis, dia
sedang menatapku mencoba untuk menahan dirinya juga.
"Aku hanya ingin menekankan maksudku," dia berbisik.
"Bagus," aku mengangguk.
Travis tersenyum, mencium pipiku lalu melihat ke arah Parker yang terlihat sangat marah di kursinya.
"Sampai bertemu nanti saat makan siang," Travis mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku duduk di kursiku lalu menghela nafas, berusaha untuk menghilangkan rasa menggelitik di antara pahaku.
Aku berusaha konsentrasi pada pelajaran Kalkulus, dan ketika kelas usai aku menyadari Parker berdiri di
tembok dekat pintu.
"Parker," aku mengangguk, bertekad untuk tidak memberinya reaksi yang dia harapkan.
"Aku tahu kau berpacaran dengannya. Dia tidak harus melecehkanmu seperti itu di depan seluruh kelas hanya
untuk memberitahuku."

Aku berhenti berjalan dan siap untuk menyerang. "Mungkin seharusnya kau berhenti untuk mengatakan pada
semua temanmu kalau aku meneleponmu. kau akan mendorongnya terlalu jauh dan aku tidak akan
mengasihanimu kalau sampai dia menendangmu."
Dia mengerutkan hidungnya. "Dengarkan dirimu. kau terlalu sering bersama Travis."
"Tidak, inilah aku. Ini hanya bagian dari aku yang kau tidak tahu sama sekali."
"kau tidak memberiku kesempatan, kan?"
Aku menghela nafas. "Aku tidak ingin bedebat denganmu, Parker. Hanya saja itu tidak akan berjalan dengan
baik, OK?"
"Tidak, itu tidak baik. kau pikir aku menikmati ditertawakan oleh seluruh Eastern? Travis Maddox adalah
seseorang yang kami hargai karena membuat kami terlihat baik. Dia memperalat wanita, lalu
mencampakkannya, dan bahkan orang paling brengsek di seluruh Eastern pun tampak seperti Pangeran
Tampan di samping Travis."
"Kapan kau akan membuka matamu dan menyadari kalau dia berbeda sekarang?"
"Dia tidak mencintaimu, Abby. kau hanya mainan baru baginya. Bahkan setelah kejadian tadi di kelas, aku
beranggapan kau bukan lagi mainan barunya."
Aku menampar wajahnya diikuti suara keras sebelum aku menyadari apa yang telah aku lakukan.
"Jika kau menunggu beberapa saat, aku akan melakukannya untukmu, Pidge," kata Travis sambil menarikku ke
belakangnya.
Aku menarik lengannya. "Travis, jangan."
Parker terlihat sedikit gugup saat garis merah bekas telapak tanganku muncul di wajahnya.
"Aku sudah memperingatkanmu," kata Travis, mendorong Parker dengan kasar ke tembok.
Rahang Parker menjadi tegang lalu dia melihat ke arahku. "Anggap ini sebagai penutupan, Travis. Aku tahu
sekarang kalau kalian berdua memang serasi satu sama lain."
"Terima kasih." kata Travis, meletakkan tangannya memeluk bahuku.
Parker menjauh dari tembok lalu dengan cepat berbelok ke pojok untuk menuruni tangga, memastikan Travis
tidak mengikuti dengan melihat sekilas ke belakang.
"kau tidak apa-apa?" tanya Travis.
"Tanganku sakit."
Dia tersenyum. "Itu tadi hebat, Pidge. Aku terkesan."
"Dia mungkin akan menuntutku dan aku akan berakhir membiayai kuliahnya di Harvard. Apa yang kau lalukan
di sini? Kupikir kita akan bertemu di kafetaria?"
Bibirnya tersenyum nakal. "Aku tidak bisa berkonsentrasi di kelas tadi. Aku masih merasakan ciuman tadi."

Aku melihat ke sekeliling lorong lalu menatapnya. "Ayo, ikut aku."


Alisnya terangkat karena tersenyum. "Apa?"
Aku berjalan mundur, menariknya bersamaku hingga aku merasakan pegangan pintu ruangan laboratorium
Fisika. Pintunya terbuka, dan aku melihat ke belakang, melihat ruangan yang kosong dan gelap. Aku menarik
lengannya, cekikikan karena ekspresi bingungnya, lalu mengunci pintu dan mendorongnya ke pintu.
Aku menciumnya dan dia tertawa pelan. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak ingin kau sulit berkonsentrasi di kelas," jawabku, sambil menciuminya lagi. Dia mengangkatku dan
menaruh kakiku di sekeliling tubuhnya.
"Aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan tanpamu," dia berkata sambil memelukku dengan satu tangannya
dan membuka ikat pinggangnya dengan tangan satunya lagi, "tapi aku tak pernah ingin mengetahuinya. Kau
adalah segalanya yang aku inginkan, Pigeon."
"Ingat itu saat aku mengambil semua uangmu saat malam poker berikutnya," aku berkata sambil membuka
kaosku.
***
Aku berputar-putar, meneliti bayanganku di cermin dengan pandangan ragu. Warnanya putih dan backless,
sangat pendek, dan bagian badannya di tahan oleh untaian pendek berlian imitasi yang membentuk tali di
leherku.
Wow! Travis akan kencing di celana kalau dia melihat kau memakai itu! kata America.
Aku memutar mataku. Sangat romantis.
kau harus membeli itu. Tidak usah mencoba yang lain, itu yang terbaik, dia berkata sambil bertepuk tangan
dengan gembira.
kau tidak berpikir ini terlalu pendek? Mariah Carey saja memakai yang lebih panjang dari ini.
America menggelengkan kepalanya. Aku memaksa.
Aku gantian duduk di bangku saat America mencoba beberapa gaun, lebih sulit saat harus memilih untuk diri
sendiri. Dia memilih gaun yang sangat pendek, ketat, sewarna dengan kulitnya dan salah satu bahunya tidak
tertutup.
Kami mengendarai mobil Hondanya America ke apartemen dan mengetahui mobil Shepley tidak ada dan Toto
di tinggal sendiri.
America mengeluarkan teleponnya lalu menelepon, tersenyum saat Shepley menjawab teleponnya.
Kau pergi kemana, sayang? dia mengangguk lalu melihat ke arahku. Kenapa aku akan marah? Kejutan
apa? dia bertanya, hati-hati. Dia melihat ke arahku lagi lalu masuk ke kamar Shepley, menutup pintunya.
Aku mengusap telinga Toto yang berwarna hitam saat America bisik-bisik di kamar. Saat dia keluar, dia
berusaha menahan senyum di wajahnya.
Apa yang mereka lakukan sekarang? tanyaku.

Mereka dalam perjalanan pulang. Aku akan membiarkan Travis yang memberitahumu, dia berkata sambil
tersenyum lebar.
Ya Tuhanapa? tanyaku.
Aku tidak bisa memberitahumu. Ini kejutan.
Aku memainkan rambutku dengan gelisah dan mengikir kukuku, tidak bisa duduk diam saat menunggu Travis
mengungkapkan kejutannya. Pesta ulang tahun, anak anjingaku tidak bisa membayangkan apa lagi. Suara
keras mesin mobil Shepley memberitahu kalau mereka telah tiba, mereka tertawa saat berjalan naik di tangga.
Mereka sedang dalam mood yang bagus. kataku. Pertanda baik.
Shepley masuk lebih dulu. Aku hanya tidak ingin kau berpikir kenapa dia melakukannya sedangkan aku
tidak.
America berdiri menyambut kekasihnya, lalu memeluknya. Jangan konyol, Shep. Aku tidak akan marah
karena hal itu. Jika aku ingin kekasih yang sinting aku akan berpacaran dengan Travis, kata America,
tersenyum saat memiringkan kepalanya untuk mencium Shepley.
Itu tidak ada hubungannya dengan perasaanku padamu, Shepley menambahkan.
Travis melangkah masuk dengan perban kain kasa kotak di pergelangan tangannya. Dia tersenyum padaku lalu
berbaring di sofa, meletakkan kepalanya di pangkuanku.
Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari perban itu. Okapa yang telah kau lakukan?
Travis tersenyum dan menarikku ke bawah untuk menciumnya. Aku dapat merasakan rasa gugup memancar
darinya. Di luar dia tersenyum, namun aku dapat merasakan dia merasa tidak yakin dengan bagaimana
reaksiku nanti terhadap apa yang telah dia lakukan.
Aku membeli beberapa barang hari ini.
Barang apa? tanyaku, curiga.
Travis tertawa. Tenanglah, Pidge. Itu bukan sesuatu yang buruk.
Apa yang terjadi dengan pergelangan tanganmu? aku berkata, sambil menarik tangannya.
Suara menggelegar mesin diesel terdengar di luar dan Travis melompat dari sofa, untuk membuka pintu.
Sudah waktunya mereka datang! Aku sudah di rumah setidaknya lima menit! dia berkata sambil tersenyum.
Seorang pria berjalan mundur, menggotong sofa berwarna abu-abu yang di tutupi plastik, diikuti seorang pria
lagi yang memegang bagian belakangnya. Shepley dan Travis memindahkan sofadengan aku dan Toto masih
terduduk di atasnyake depan, lalu sofa baru diletakkan di tempat sofa lama sebelumnya berada. Travis
menarik plastiknya dan menggendongku di tangannya, lalu mendudukanku di sofa baru yang lembut.
kau membeli yang baru? kataku, tersenyum lebar.
Ya, dan beberapa barang lainnya juga. Terima kasih, guys, dia berkata saat pria yang mengangkut sofa tadi
mengangkat sofa lama lalu pergi.

Hilanglah semua kenangan, aku menyeringai.


Itu semua bukan kenangan yang ingin aku ingat. Dia duduk di sampingku sambil menghela nafas,
memperhatikanku beberapa saat sebelum dia menarik lepas plester yang menahan kain kasa di pergelangan
tangannya. Jangan panik.
Pikiranku terus memikirkan apa yang ada di bawah perban itu. Aku membayangkan luka bakar, luka yang
dijahit atau sesuatu yang sama mengerikannya.
Dia menarik perban dan aku terkesiap saat melihat tatoo tulisan sederhana di bagian bawah pergelangan
tangannya, kulit di sekitarnya merah dan mengkilap karena antibiotik yang dia oleskan. Aku menggelengkan
kepalaku tidak percaya saat membaca tulisannya.

Pigeon
kau menyukainya? tanyanya.
kau membuat tatoo namaku di pergelangan tanganmu? aku mengatakan itu tapi tidak terdengar seperti
suaraku. Pikiranku tidak bisa fokus, tapi aku berusaha tetap bicara dengan suara tenang.
Ya, dia berkata sambil mencium pipiku saat aku menatap tidak percaya pada tinta permanen di kulitnya.
Aku berusaha melarangnya, Abby. Dia sudah beberapa lama tidak melakukan sesuatu yang gila. Aku pikir dia
akan menjadi gila, kata Shepley, menggelengkan kepalanya.
Bagaimana menurutmu? Travis meminta jawaban.
Aku tidak tahu harus bagaimana, kataku.
kau seharusnya meminta izin pada Abby sebelumnya, Trav, kata America, menggelengkan kepalanya dan
menutup mulut dengan jarinya.
Minta izin untuk apa? Untuk membuat tatoo? dia mengernyit, melihat padaku lagi. Aku mencintaimu. Aku
ingin semua orang tahu bahwa aku adalah milikmu.
Aku bergerak dengan gugup,Tapi itu permanen, Travis,
Begitu juga dengan hubungan kita, permanen, dia berkata sambil menyentuh pipiku.
Perlihatkan padanya yang satu lagi, kata Shepley.
Satu lagi? aku berkata sambil melihat pergelangan tangannya yang satu lagi.
Travis berdiri, mengangkat kaosnya. Perut six-pack nya terlihat mengagumkan dan kencang saat dia bergerak.
Travis berputar, dan di sisi tubuhnya ada tatoo lain yang membentang sepanjang tulang rusuknya.
Apa itu? aku berkata sambil memicingkan mataku pada simbol vertikal di tubuhnya.
Itu bahasa Ibrani, Travis tersenyum.
Apa artinya itu?

Artinya, Aku milik kekasihku dan kekasihku adalah miliku.


Mataku menatap matanya. kau tidak puas dengan satu tatoo, jadi harus membuat dua tatoo?
Ini adalah sesuatu yang selalu aku katakan akan aku lakukan saat menemukan orang yang tepat. Aku bertemu
denganmuaku melakukannya dan membuat tatoo ini. Senyumnya hilang saat dia melihat ekspresiku. kau
marah? dia berkata sambil menurunkan kaosnya.
Aku tidak marah. Aku hanyabingung.
Shepley memeluk America dengan satu tangannya dengan erat. kau harus mulai membiasakan diri dengan ini,
Abby. Travis orangnya impulsif dan bersungguh-sungguh terhadap apapun. Ini akan membuatnya tenang
hingga dia bisa menyematkan cincin di jarimu.
Alis America terangkat, melihat ke arahku lalu pada Shepley. Apa? Mereka baru saja mulai berpacaran!
Akupikir aku perlu minum, kataku sambil melangkah ke dapur.
Travis tertawa geli, memperhatikanku menggeledah lemari. Dia bercanda, Pidge.
Apa aku bercanda? tanya Shepley.
Dia tidak bilang dalam waktu dekat, Travis membela diri. Dia berpaling pada Shepley sambil menggerutu,
Terima kasih banyak, brengsek.
Mungkin sekarang kau akan berhenti membicarakan hal itu, Shepley menyeringai.
Aku menuangkan satu sloki tequila ke dalam gelas lalu menenggaknya, dan menelannya sekaligus. Aku
menekan wajahku saat tequila membakar tenggorokanku.
Travis memeluk pinggangku dari belakang dengan lembut. Aku bukan melamar, Pidge. Ini hanya tatoo.
Aku tahu, kataku, menganggukan kepalaku sambil menuang satu gelas minuman lagi.
Travis mengambil botol dari tanganku lalu menutupnya, memasukannya kembali ke lemari. Ketika aku tidak
berbalik, dia memutar badanku hingga berhadapan dengannya.
Ok. Aku seharusnya membicarakan ini denganmu terlebih dahulu, tapi aku memutuskan membeli sofa, lalu
satu hal menuju hal lainnya. Aku jadi bersemangat.
Ini terlalu cepat untukku, Travis. kau sudah menyebutkan tentang tinggal bersama, kau baru saja menandai
dirimu dengan namaku, kau memberitahuku bahwa kau mencintaikuini semua terlalucepat.
Travis cemberut. kau panik. Aku sudah bilang jangan panik.
Sangat sulit untuk tidak panik! kau mengetahui tentang ayahku dan semua yang kau rasakan sebelumnya tibatiba menjadi semakin kuat!
Siapa ayahmu? tanya Shepley, sangat jelas merasa tidak senang karena tidak tahu apa-apa tentang itu. Ketika
aku tidak menjawab pertanyaannya, dia menghela nafas. Siapa ayahnya Abby? dia bertanya pada America.
America mengelengkan kepala agar Shepley diam.
Ekspresi Travis terlihat kesal. Perasaanku padamu tidak ada hubungannya dengan ayahmu.

Kita akan ke pesta kencan besok. Itu seharusnya menjadi hal yang penting di mana kita mengumumkan
hubungan kita, dan sekarang namaku terukir di tanganmu dan semua pembicaraan tentang bagaimana kita
saling memiliki satu sama lain! Itu menakutkan, ok? Dan aku panik!
Travis menarik wajahku lalu mencium bibirku, kemudian mengangkatku dari lantai, mendudukanku di meja
dapur. Lidahnya memohon untuk masuk ke dalam mulutku, dan ketika aku mengizinkannya masuk, dia
mengerang.
Jarinya masuk ke pangkal pahaku, menarikku lebih dekat. kau sangat seksi kalau sedang marah, dia berkata
sambil tetap menciumku.
Ok, aku menarik nafas, aku sudah tidak marah.
Dia tersenyum, merasa senang karena rencananya untuk mengalihkan telah berhasil. Semua tetap sama,
Pidge. Masih tetap hanya kau dan aku.
Kalian berdua memang sinting, kata Shepley, menggelengkan kepalanya.
America memukul pelan bahu Shepley. Abby juga membeli sesuatu untuk Travis hari ini.
America! aku menegurnya.
kau sudah menemukan gaun? tanya Travis, tersenyum.
Ya, aku melingkarkan kaki dan tanganku di tubuhnya. Besok giliran kau yang akan panik.
Aku tidak sabar ingin melihatnya, dia berkata sambil mengangkatku dari atas meja dapur. Aku melambai
pada America saat Travis menggendongku menelusuri lorong.
***
Hari Jumat setelah kelas usai, aku dan America menghabiskan sore di pusat kota, memanjakan diri dan
berdandan. Kuku kaki dan tangan di kuteks, menghilangkan bulu yang tidak diinginkan, kulit diberi warna
coklat mengkilap, dan rambut di cat warna terang. Saat kami kembali ke apartemen, semua permukaannya
sudah tertutupi oleh beberapa karangan bunga mawar. Berwarna merah, pink, kuning, dan putihtampak
seperti toko bunga.
Ya Tuhan! jerit America saat dia berjalan masuk melewati pintu.
Shepley melihat ke sekelilingnya, berdiri dengan bangga. Kami pergi untuk membeli dua bunga, tapi kami
berdua berpikir satu karangan bunga tidak akan cukup.
Aku memeluk Travis. Kalian sangatmengagumkan. Terima kasih.
Travis memukul pantatku. Tiga puluh menit sebelum pesta di mulai, Pidge.
Para pria berganti pakaian di kamar Travis sementara aku dan America berdandan di kamar Shepley. Pada saat
aku akan mengenakan sepatu hak tinggiku yang berwarna silver, seseorang mengetuk pintu.
Waktunya pergi, ladies, kata Shepley.
America melangkah keluar, dan Shepley pun bersiul.

Di mana dia? tanya Travis.


Abby mempunyai sedikit kesulitan mengenakan sepatunya. Dia akan keluar sebentar lagi, America
menjelaskan.
Rasa tegang ini membunuhku, Pidge. teriak Travis.
Aku melangkah keluar, gelisah dengan gaunku sementara Travis berdiri di hadapanku, tanpa ekspresi.
America menyikutnya dan dia pun berkedip. Ya ampun.
Apakah kau siap untuk merasa panik? tanya America.
Aku tidak panik, dia terlihat sangat mengagumkan, kata Travis.
Aku tersenyum lalu perlahan berputar untuk memperlihatkan padanya model belakang gaunku yang backless.
Ok, sekarang aku panik, Travis berkata sambil berjalan ke arahku dan memutarku.
kau tidak menyukainya? tanyaku.
kau harus pakai jaket. Dia berlari kecil ke rak baju lalu dengan tergesa-gesa membungkus bahuku dengan
jaketku.
Dia tidak bisa memakai itu semalaman, Trav, America tertawa geli.
kau terlihat cantik, Abby, kata Shepley sebagai permintaan maaf atas kelakuan Travis.
Ekspresi Travis terluka saat dia bicara. Kau memang cantik. kau terlihat luar biasatapi kau tidak bisa
memakai itu. Rok mu..wow, kakimu sangatrok mu terlalu pendek dan itu hanya setengah gaun. Itu bahkan
tidak ada punggungnya!
Aku tidak dapat menahan senyumku. Modelnya memang seperti ini, Travis.
Apa kalian hidup untuk saling menyiksa satu sama lain? Shepley mengernyit.
Apa kau punya gaun lain yang lebih panjang? tanya Travis.
Aku melihat ke bawah. Sebenarnya bagian depan terlihat cukup sederhana. Hanya bagian belakangnya saja
yang terbuka dan memperlihatkan punggungku.
Pigeon, Travis meringis pada saat mengatakan kata berikutnya, Aku tidak ingin kau marah, tapi aku tidak
bisa membawamu ke rumah perkumpulanku seperti itu. Aku akan berkelahi pada lima menit pertama kita tiba
di sana, Sayang.
Aku mendekatinya lalu berjinjit kemudian mencium bibirnya. Aku percaya kau tidak akan begitu.
Malam ini akan menyebalkan. gerutunya.
Malam ini akan luar biasa, kata America, merasa tersinggung.
Pikirkan saja bagaimana mudahnya nanti melepas gaun ini, kataku, mencium lehernya.

Itulah masalahnya. Semua pria lain di sana juga akan memikirkan hal yang sama.
Tapi hanya kau yang akan membuktikannya, kataku riang. Dia tidak menjawab, dan aku mendekat lagi
untuk menafsirkan ekspresinya. Apa kau benar-benar ingin aku mengganti pakaianku?
Travis memperhatikan wajahku, gaunku, kakiku, lalu dia menghembuskana nafasnya. Apapun yang kau
pakai, kau tetap cantik. Aku hanya harus terbiasa dengan itu, kan? dia mengangkat bahunya dan
menggelengkan kepala. Baiklah, kita sudah terlambat. Mari kita pergi.
Aku merapatkan tubuhku pada tubuh Travis agar merasa hangat saat kami berjalan ke mobil Shepley menuju
Sigma Tau.
***
Udaranya penuh dengan asap, namun hangat. Musik menggelegar dari ruang bawah tanah, dan kepala Travis
bergerak mengikuti irama. Semua orang langsung berpaling bersamaan. Aku tidak yakin mereka berpaling
karena Travis datang ke acara pesta kencan, karena dia memakai celana panjang katun longgar, atau karena
gaunku, tapi mereka semua menatap.
America mendekat dan berbisik di telingaku. Aku sangat senang kau ada di sini, Abby. Aku merasa seperti
masuk ke dalam filmnya Molly Ringwald.
Senang bisa membantu, kataku, mengerutu.
Travis dan Shepley melepas jaket kami, lalu menuntun kami melewati ruangan itu menuju dapur. Shepley
membawa empat botol bir dari kulkas dan menyerahkan satu pada America lalu padaku. Kami berdiri di dapur,
mendengarkan saudara perkumpulan Travis membicarakan pertarungan terakhirnya. Mahasiswi perkumpulan
yang menemani mereka kebetulan wanita yang sama yang diikuti Travis masuk ke kafetaria saat pertama kali
kami mengobrol, wanita yang berdada besar dan pirang.
Lexie sangat mudah di kenali. Aku tidak dapat melupakan wajahnya saat Travis mendorongnya jatuh dari
pangkuannya karena menghina America. Dia memandangiku penuh rasa ingin tahu, terlihat seperti
memperhatikan semua kata-kataku. Aku tahu dia merasa penasaran mengapa Travis Maddox berpendapat
bahwa aku menarik, dan aku berusaha untuk menunjukan alasannya. Aku terus memegangi Travis, mengatakan
gurauan pintar pada saat yang tepat dalam percakapan, dan bercanda dengan Travis tentang tatoo barunya.
Dude, kau mengukir nama kekasihmu di pergelangan tanganmu? Apa yang merasukimu hingga melakukan
hal itu? kata Brad.
Dengan bangga Travis membalik tangannya untuk memperlihatkan tatoo namaku. Aku tergila-gila padanya,
Travis berkata sambil melihatku dengan tatapan yang lembut.
kau belum begitu mengenalnya, Lexie mendengus.
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. Kami menghabiskan tiap detik bersama. Aku mengenalnya.
Dia mengerutkan alisnya, Aku pikir tadi tatoo ini membuatmu panik. Sekarang kau membanggakannya?
Aku mendekat dan mencium pipinya sambil mengangkat bahuku. Lama kelamaan aku jadi menyukainya.
Shepley dan America menuruni tangga dan kami mengikutinya, sambil berpegangan tangan.
Semua kursi digeser ke tembok untuk membuat lantai dansa sementara, dan pada saat kami sedang menuruni

tangga, lagu berirama pelan diputar.


Tanpa ragu Travis menarikku ke tengah lantai dansa, memelukku erat dan meletakkan tanganku di dadanya.
Aku bersyukur belum pernah datang ke acara ini sebelumnya. Sehingga hanya kau yang pernah aku ajak ke
acara ini.
Aku tersenyum dan meletakkan pipiku di dadanya. Dia meletakkan tangannya di bawah punggungku, terasa
hangat dan lembut di punggungku yang terbuka.
Semua memandangmu karena memakai gaun ini, kata Travis. Aku melihat ke atas, mengira akan melihat
ekspresi yang tegang, namun dia sedang tersenyum. Aku rasa itu kerenberada bersama wanita yang
diinginkan semua orang.
Aku memutar mataku. Mereka tidak menginginkanku. Mereka hanya penasaran kenapa kau menginginkanku.
Dan lagi pula, aku merasa kasihan pada siapapun yang berpikir mereka punya kesempatan. Aku benar-benar
dan sepenuhnya jatuh cinta padamu.
Wajahnya tampak sedih. kau tahu mengapa aku menginginkanmu? Aku tidak tahu bahwa aku tersesat hingga
kau menemukanku. Aku tidak tahu rasanya kesepian hingga malam pertama yang aku lalui tanpa dirimu di
tempat tidurku. kau adalah satu-satunya yang aku rasa tepat dalam hidupku. kau adalah yang selalu aku
nantikan, Pidge.
Aku meraih ke atas untuk memegang wajahnya di tanganku dan dia memelukku, mengangkatku dari lantai.
Aku mencium bibirnya, dan dia menciumku dengan emosi dari semua yang telah dia katakan tadi. Pada saat
itulah aku menyadari mengapa dia membuat tatoo itu, kenapa dia memilihku dan mengapa aku berbeda. Itu
bukan hanya karena diriku, bukan juga hanya karena dirinya, itu karena bagaimana saat kami bersama yang
menjadi pengecualian.
Lagu berirama lebih cepat terdengar dari speaker, dan Travis menurunkanku. Masih ingin berdansa?
America dan Shepley muncul di samping kami dan aku mengangkat alisku. Jika kau pikir bisa
mengimbangiku.
Travis menyeringai. Coba saja.
Aku menggerakkan pinggulku di pinggulnya dan tanganku bergerak naik di atas kemejanya, membuka dua
kancing teratasnya, Travis tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya, lalu aku berbalik, bergerak menempel
tubuhnya tapi membelakanginya mengikuti irama. Dia menarik pinggulku dan aku meraih ke belakang,
menarik pantatnya. Aku condong ke depan dan dia meremas erat diriku. Ketika aku berdiri tegak, dia
menyentuh bibir lalu telingaku.
Kalau terus seperti itu, maka kita akan pulang lebih awal.
Aku berbalik dan tersenyum, meletakan tanganku di lehernya. Dia mendekatkan tubuhnya padaku dan aku
mengangkat kemejanya, memasukan tanganku ke atas di punggungnya, menekan jariku ke ototnya yang
ramping, lalu tersenyum karena suara yang dia keluarkan saat aku merasakan lehernya.
Ya Tuhan, Pigeon, kau membuatku tidak tahan, katanya, mencengkram rokku, mengangkatnya cukup untuk
menyentuh pahaku dengan ujung jarinya.
Aku rasa kita tahu itu terlihat seperti apa, Lexie mengejek dari belakang kami.
America berputar, melangkah ke depan tepat di hadapannya. Shepley menariknya tepat waktu.

Katakan sekali lagi! kata America. Ayo kalau berani, dasar pelacur!
Lexie bersembunyi ketakutan di belakang kekasihnya, terkejut karena ancaman America.
Sebaiknya kau membeli penutup mulut untuk teman kencanmu, Brad, Travis memperingatkan.
Dua lagu kemudian, rambut di belakang leherku sudah berat dan basah. Travis mencium di bawah telingaku.
Ayo, Pidge. Aku ingin merokok.
Dia menuntunku menaiki tangga, lalu membawa jaketku sebelum naik ke lantai dua. Kami berjalan keluar ke
balkon dan menemukan Parker dengan teman kencannya. Wanita itu lebih tinggi dariku, rambutnya pendek
dan lurus, berwarna hitam, diikat ke belakang dengan jepit rambut. Aku melihat sepatu hak tingginya yang
runcing, dengan kakinya melingkar di pinggul Parker. Dia berdiri dengan punggungnya bersandar di tembok,
dan ketika Parker menyadari kami melangkah keluar, dia menarik tangannya dari bawah rok wanita itu.
Abby, kata Parker, terkejut dan terengah.
Hai, Parker, kataku, menahan tawa.
Bagaimana, ehbagaimana kabarmu?
Aku tersenyum dengan sopan. Aku baik-baik saja, kau?
Ehm, dia melihat teman kencannya, Abby ini Amber. AmberAbby.
Abby Abby? tanyanya.
Parker mengangguk tidak nyaman dengan singkat. Amber menjabat tanganku dengan ekspresi muak di
wajahnya, lalu melihat pada Travis seperti dia baru bertemu dengan musuhnya. Senang bertemu
denganmu...kurasa.
Amber, Parker memperingatkan.
Travis tertawa satu kali, lalu membukakan pintu agar mereka bisa lewat. Parker menarik tangan Amber dan
mundur masuk ke dalam.
Itu tadi sangatcanggung, kataku, menggelengkan kepala sambil melipat tanganku di dada, bersandar pada
pagar balkon. Saat itu dingin dan hanya ada beberapa pasangan yang berada di luar.
Travis selalu tersenyum. Bahkan Parker tidak merusak mood nya. Setidaknya dia sudah tidak berusaha
melakukan hal yang paling bodoh untuk mendapatkanmu kembali.
Aku rasa dia tidak berusaha untuk mendapatkanku kembali seperti dia berusaha untuk menjauhkanku
darimu.
Travis mengerutkan hidungnya. Dia mengantar satu wanita untukku sekali. Sekarang dia bertingkah seperti
itu adalah kebiasaannya untuk menyelinap dan menyelamatkan semua mahasiswi baru yang aku tiduri.
Aku melihatnya dengan tatapan sinis dari ujung mataku. Bukankah aku sudah pernah bilang aku membenci
kata itu?
Maaf, Travis berkata sambil menarikku ke sampingnya. Dia menyalakan rokoknya dan menarik nafas

panjang. Asap yang dia hembuskan lebih tebal dari biasanya, bercampur dengan udara musim dingin. Dia
membalikkan tangannya dan menatap lama pergelangan tangannya. Aneh tidak apabila tatoo ini bukan hanya
menjadi favorit baruku, tapi ini juga membuatku nyaman mengetahui itu ada di pergelangan tanganku?
Sangat aneh. Travis mengangkat alisnya dan aku tertawa. Aku hanya bercanda. Aku tidak bisa bilang aku
mengerti itu, tapi itu sangat manismenurut caranya Travis Maddox.
Jika rasanya sesenang ini hanya karena membuat tatoo ini di tanganku, aku tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya nanti saat memasangkan cincin di jarimu.
Travis.
Dalam waktu empat, atau mungkin lima tahun lagi, dia menambahkan.
Aku menarik nafas. Kita harus pelan-pelan. Sangat, sangat pelan.
Jangan memulai, Pidge,
Jika kita selalu secepat ini, aku akan bertelanjang kaki dan hamil sebelum aku lulus kuliah. Aku belum siap
untuk tinggal bersamamu, aku belum siap untuk cincin, dan aku sama sekali belum siap untuk berumah
tangga.
Travis mencengkram bahuku dan memutarku agar berhadapan dengannya. Ini bukan pidato aku ingin
berpacaran dengan orang lain dulu, kan? Karena aku tidak akan membagi dirimu. Tidak akan mungkin.
Aku tidak ingin orang lain, kataku, jengkel. Dia menjadi tenang dan melepaskan bahuku, lalu memegang
pagar balkon.
Lalu apa maksudmu kalau begitu? tanyanya, melihat ke angkasa.
Maksudku kita harus melangkah perlahan. Hanya itu maksudku. Dia mengangguk, sangat jelas tampak tidak
senang. Aku menyentuh tangannya. Jangan marah.
Kita seperti berjalan satu langkah ke depan tapi mundur dua langkah, Pidge. Setiap kali aku pikir kita berada
dalam satu halaman, kau mendirikan dinding pembatas. Aku tidak mengertikebanyakan wanita memaksa
kekasih mereka untuk serius, agar membicarakan perasaan mereka, memaksa untuk mengambil langkah
selanjutnya
Aku pikir kita tahu aku tidak seperti wanita kebanyakan?
Dia menundukkan kepalanya, merasa frustrasi. Aku lelah harus terus menebak. kau melihat hubungan ini
mengarah kemana, Abby?
Aku mencium dadanya. Ketika aku memikirkan masa depanku, aku melihat dirimu.
Travis menjadi tenang, mendekapku erat. Kami berdua memandangi awan malam bergerak di langit. Lampu
sekolah menerangi blok yang gelap, dan orang yang datang ke pesta ini melipat tangannya di atas jaket mereka
yang tebal, bergegas masuk ke dalam rumah perkumpulan.
Aku melihat kedamaian yang sama di mata Travis yang pernah aku lihat hanya beberapa kali, dan itu
menyadarkanku seperti beberapa malam yang lalu, bahwa ekspresinya begitu karena kepastian dariku.
Aku pernah merasa tidak aman, dan itu meninggalkan satu pukulan ketidakberuntungan pada orang lain; orang

yang takut pada bayangannya sendiri. Sangat mudah untuk takut pada sisi gelap dari Vegas, yang tidak pernah
tersentuh oleh sisi terangnya. Namun Travis tidak takut untuk berkelahi atau untuk membela seseorang yang
dia sayangi, atau untuk melihat ke dalam mata wanita hina yang merasa dipermalukan dan marah. Dia dapat
masuk ke dalam ruangan dan memandang rendah orang yang berukuran dua kali lebih besar dari tubuhnya,
percaya bahwa tidak ada yang dapat menyentuhnyabahwa dia tidak dapat dikalahkan oleh apapun yang akan
menjatuhkannya.
Dia tidak takut pada apapun. Hingga dia bertemu denganku.
Aku adalah bagian dari hidupnya yang tidak dia ketahui, kartu liarnya, variable yang tidak dapat dia kontrol.
Terlepas dari rasa damai yang aku berikan padanya, pada momen lain di hari lain, kekacauan yang dia rasakan
saat aku tidak ada jadi sepuluh kali lebih buruk saat aku ada. Rasa marah yang dulu mencengkramnya sekarang
menjadi lebih sulit untuk dia tangani. Menjadi pengecualian tidak lagi misterius, atau hal yang spesial. Aku
telah menjadi kelemahannya.
Sama seperti aku bagi ayahku.
Abby! Disini rupanya kau! Aku sudah mencari kau ke mana-mana! kata America, berteriak dari pintu. Dia
mengangkat handphone nya. Aku baru di telepon ayahku. Mick menghubungi mereka tadi malam.
Mick? Wajahku kacau karena merasa jijik. Mengapa dia menelepon mereka?
America mengangkat alisnya seolah aku mengetahui jawabannya. Ibumu selalu menutup telepon dari
ayahmu.
Apa yang dia inginkan? kataku, merasa mual.
Dia menutup bibirnya rapat. Untuk menanyakan kau berada di mana.
Mereka tidak memberitahunya kan?
Wajah America murung. Dia ayahmu, Abby. Ayahku pikir dia punya hak untuk tahu.
Dia akan datang kemari, kataku, merasakan mataku mulai perih. Dia akan datang kemari, Mare!
Aku tahu! Maafkan aku! kata Amerika, mencoba untuk memelukku. Aku menjauh darinya dan menutup
wajahku dengan tangan.
Sepasang tangan kuat, protektif yang aku kenal memegang bahuku. Dia tidak akan menyakitimu, Pigeon,
kata Travis. Aku tidak akan membiarkannya.
Dia akan mencari cara untuk menyakitinya, kata Amerika, memandangku dengan mata berair. Dia selalu
begitu.
Aku harus pergi dari sini. Aku menarik jaket dan memakainya lalu menarik pegangan pintu. Aku terlalu
kesal untuk bergerak perlahan untuk dapat mengkoordinasikan agar tidak mendorong pegangan pintu ke bawah
sambil menarik pintu dalam waktu yang bersamaan. Pada saat airmata frustrasi mengalir turun di pipiku yang
beku, tangan Travis berada di atas tanganku. Dia menekan ke bawah, membantuku menekan pegangan pintu
kebawah, lalu dengan tangan satunya lagi, dia mendorong pintu agar terbuka. Aku memandangnya, sadar akan
kelakuan bodoh yang aku lakukan, menunggu untuk melihat ekspresi yang bingung atau tidak setuju di
wajahnya, namun dia melihat kebawah ke arahku hanya dengan ekspresi pengertian.
***

Travis memelukku dan kami menelusuri The House, menuruni tangga dan menerobos sekumpulan orang
menuju pintu depan. Mereka bertiga berusaha mengimbangi langkahku saat aku bergegas menuju mobil.
Tangan America menunjuk ke depan dan menarik jaketku, menghentikan langkahku. Abby! dia berbisik
sambil menunjuk ke arah sekumpulan kecil orang.
Mereka mengerumuni lelaki tua lusuh yang menunjuk dengan ketakutan ke arah The House, sambil memegang
sebuah foto. Pasangan itu mengangguk, mendiskusikan foto itu bersama yang lain.
Aku melompat ke arah pria itu dan menarik foto itu dari tangannya. Apa yang kau lakukan disini?
Kerumunan orang itu pun bubar, melangkah masuk ke The House, Shepley dan America berdiri di samping
kanan dan kiriku. Travis memegangi bahuku dari belakang.
Mick melihat ke arah gaunku dan mendecakkan lidahnya tanda tidak setuju. Well, well, Cookie. kau memang
tidak bisa lepas dari Vegas
Diam. Tutup mulutmu, Mick. Pergilah, aku menunjuk ke belakang Mick, dan kembalilah ke tempatmu
berasal. Aku tidak ingin kau berada di sini.
Aku tidak bisa, Cookie. Aku butuh pertolonganmu.
Selalu seperti itu, tidak ada yang lain? America mencibir.
Mick memicingkan matanya ke arah America lalu melihat padaku lagi. kau terlihat sangat cantik. kau sudah
tumbuh dewasa. Aku tidak akan bisa mengenalimu kalau kita berpapasan di jalan.
Aku menghela nafas, tidak sabar dengan basa-basinya. Apa yang kau inginkan?
Dia menahan tangannya dia atas dan mengangkat bahunya. Aku terlibat satu masalah, kiddo. Ayahmu yang
sudah tua ini membutuhkan uang.
Aku menutup mataku. Berapa banyak?
Aku awalnya baik-baik saja, benar-benar baik. Aku hanya perlu meminjam sedikit untuk meningkatkan
taruhan dankau tahu.
Aku tahu, bentakku. Berapa banyak yang kau butuhkan?
Dua puluh lima.
Ya ampun, Mick, dua ribu lima ratus dolar? Jika kau berjanji akan keluar dari sini..aku akan memberikannya
padamu sekarang, kata Travis sambil mengeluarkan dompetnya.
Maksud dia dua puluh lima ribu dollar, aku melotot ke arah ayahku.
Mata Mick menatap Travis. Siapa badut ini?
Travis mengangkat pandangan dari dompetnya dan aku merasakan berat badannya di punggungku saat dia
menahan emosinya. Aku tahu sekarang, mengapa orang yang pintar seperti dirimu menurun menjadi orang
yang meminjam uang pada anaknya yang masih remaja.
Sebelum Mick bicara, aku mengeluarkan handphone ku. kau berutang pada siapa sekarang, Mick?

Mick menarik rambutnya yang berminyak dan beruban. Well, ceritanya lucu, Cookie,
Siapa? aku berteriak.
Benny.
Mulutku menganga dan aku mundur satu langkah, menabrak Travis. Benny? kau berutang pada Benny?
Kenapa juga kau aku menarik nafas, merasa tidak ada gunanya bila di lanjutkan. Aku tidak punya uang
sebanyak itu, Mick.
Dia tersenyum. Sesuatu mengatakan kau memilikinya.
Well, aku tidak punya! kau benar-benar dalam masalah kali ini, kan? Aku tahu kau tidak akan berhenti sampai
kau mati terbunuh!
Dia bergeser, seringai sombong di wajahnya menghilang. Berapa yang kau punya?
Aku menutup rapat rahangku. Sebelas ribu dolar. Aku sedang menabung untuk membeli mobil.
Mata America menusukku. kau dapat dari mana sebelas ribu dolar, Abby?
Dari pertarungan Travis, kataku, menatap mata Mick.
Travis menarik bahuku dan menatap mataku. Kau dapat sebelas ribu dari pertarunganku? Kapan kau
bertaruhnya?
Aku dan Adam saling mengerti, kataku, tidak peduli dengan rasa terkejut Travis.
Mata Mick tiba-tiba bersemangat. Kau dapat melipat gandakan itu pada akhir pekan ini, Cookie. Dan kau
akan mendapatkan untukku dua puluh lima ribu pada hari minggu, sehingga Benny tidak akan mengirimkan
premannya padaku.
Tenggorokanku terasa kering dan sempit. Itu akan menghabiskan semua uangku, Mick. Aku harus bayar
kuliahku.
Oh, kau akan mendapatkan uang lagi nanti, katanya, melambaikan tangannya tidak peduli.
Kapan tenggat waktunya? tanyaku.
Senin pagi. Tengah malam, dia berkata tanpa rasa menyesal.
kau tak perlu memberinya sepeserpun, Pigeon, kata Travis, menarik lenganku.
Mick menarik pinggangku. Setidaknya itu yang bisa kau lakukan! Aku tidak akan berada di sini kalau bukan
karena dirimu!
America menepiskan tangan Mick lalu mendorongnya. Jangan berani-beraninya kau mulai membicarakan
omong kosong itu lagi, Mick! Dia tidak memaksamu meminjam uang dari Benny!
Dia menatapku dengan rasa benci di matanya. Jika bukan karena dia, aku akan memiliki uang sendiri. kau
mengambil segalanya dariku, Abby. Aku sekarang tidak memiliki apapun!

Aku pikir berada jauh dari Mick akan mengurangi rasa sakit yang aku rasakan karena menjadi anaknya, namun
airmata yang menetes dari mataku mengatakan hal sebaliknya. Aku akan mengantar uangnya pada Benny hari
minggu. Dan pada saat itu, aku ingin kau meninggalkanku sendiri. Aku tidak akan melakukannya lagi, Mick.
Mulai dari sekarang, kau sendirian, kau dengar aku? Pergi. Menjauh.
Dia menutup rapat mulutnya lalu mengangguk. Terserah kau saja, Cookie.
Aku berbalik dan berjalan menuju mobil, mendengar America di belakangku. Kemasi barang-barangmu,
boys. Kita akan pergi ke Vegas.
***
Travis meletakkan tas kami dan melihat ke sekeliling ruangan. Bagus, kan?
Aku melotot padanya dan dia mengangkat alisnya. Apa?
Aku membuka ritsleting tas ku dan menggelengkan kepala. Pikiran tentang beberapa strategi yang berbeda dan
kurangnya waktu memenuhi kepalaku. Ini bukan liburan. Kau seharusnya tidak berada di sini, Travis.
Beberapa saat kemudian dia sudah berada di belakangku, memeluk pinggangku. Aku pergi kemanapun kau
pergi.
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya lalu menghela nafas. Aku harus langsung turun. kau bisa diam di
sini atau menonton pertunjukan penari telanjang. Aku akan menemuimu lagi nanti, ok?
Aku akan pergi bersamamu.
Aku tak ingin kau berada di sana, Trav. Ekspresi terluka terlihat di wajahnya dan aku menyentuh lengannya.
Jika aku ingin memenangkan empat belas ribu dolar dalam waktu singkat, aku harus berkonsentrasi. Aku
tidak menyukai siapa aku saat aku ada di meja judi, dan aku tak ingin kau melihatku saat seperti itu, ok?
Dia mengusap rambut dari mataku lalu mencium pipiku. Baiklah, Pidge.
Dia melambaikan tangan pada America saat dia meninggalkan kamar, dan America mendekatiku, masih
memakai baju yang sama dengan yang dia pakai ke pesta kencan. Aku mengganti pakaianku dengan celana
pendek berwarna emas lalu memakai sepatu hak tinggi, meringis saat melihat ke cermin. America mengikat
rambutku ke belakang lalu menyodorkan tabung hitam padaku.
Kau membutuhkan sekitar lima lapis maskara lagi, dan mereka akan langsung membuang KTP mu jika kau
tidak memoles perona pipimu lebih tebal lagi. Apa kau sudah lupa bagaimana memainkan permainan ini?
Aku mengambil maskara dari tangannya dan menghabiskan sepuluh menit lagi untuk memperbaiki make-up
ku. Setelah aku selesai, mataku mulai berkaca-kaca. Sialan, Abby, jangan menangis, kataku, melihat ke atas
dan menyeka bagian bawah mataku dengan tisu.
kau tidak harus melakukan ini, Abby. kau tidak berhutang apapun pada Mick, kata America, memegang
bahuku saat aku berdiri di depan cermin untuk terakhir kalinya.
Dia berhutang uang pada Benny, Mare. Jika aku tidak melakukan ini, mereka akan membunuhnya.
Ada sedikit rasa kasihan di ekspresi wajahnya. Aku sudah sering melihat dia menatapku seperti itu
sebelumnya, namun kali ini dia putus asa. Dia sudah melihat Mick menghancurkan hidupku lebih sering dari
yang kami berdua bisa hitung. Bagaimana berikutnya? Terus berikutnya? kau tidak bisa terus melakukan ini.

Dia berjanji untuk menjauh dariku. Mick Abernathy memang sudah melakukan banyak hal, tapi dia selalu
menepati janjinya.
***
Kami berjalan menelusuri lorong dan melangkah masuk ke dalam lift yang kosong. Kau sudah membawa
semua yang kau butuhkan? tanyaku, selalu mengingat ada kamera.
America mengetuk SIM palsunya dengan kuku lalu tersenyum. Namanya Candy. Candy Crawford, dia
berkata dengan aksen selatan yang sempurna.
Aku mengulurkan tanganku. Jesica James. Senang bertemu denganmu, Candy.
Kami berdua memakai kaca mata kami dan berdiri diam seperti batu saat pintu lift terbuka, memperlihatkan
cahaya lampu neon dan kesibukan di dalam kasino. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat berjalan ke
arah yang berbeda. Vegas merupakan surganya neraka, satu-satunya tempat di mana kita dapat menemukan
penari memakai pakaian bulu yang mencolok warnanya dan make-up panggung, para pelacur yang hampir
tidak mengenakan pakaian namun dapat terima, para pengusaha yang memakai jas mahal, dan sebuah keluarga
dalam satu gedung. Kami berjalan pelan di lorong yang di batasi oleh tali berwarna merah, dan menyerahkan
tanda pengenal kami pada pria yang memakai jaket merah. Dia memandangku untuk beberapa saat dan aku
menurunkan kaca mataku.
Bisakah sedikit agak cepat, itu akan sangat membantu, kataku, berusaha terlihat bosan.
Dia mengembalikan tanda pengenal kami lalu menyingkir ke samping, membiarkan kami lewat. Kami
melewati beberapa lorong mesin slot, meja permainan black jack, lalu berhenti di permainan roulette. Aku
memandang ke sekeliling ruangan memperhatikan beberapa meja poker, lalu memutuskan untuk bermain di
mana beberapa pria yang sudah tua sedang duduk.
Meja yang itu. kataku, mengangguk ke seberang ruangan.
Mulai dengan agresif, Abby. Mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka.
Tidak. Mereka sudah lama di Vegas. Aku harus bermain pintar kali ini.
Aku berjalan menuju meja itu, memamerkan senyumanku yang paling mempesona. Orang lokal dapat
mencium seorang penipu dari jauh, tapi aku punya dua hal yang membantuku yang akan menutupi aroma
penipu manapun: Mudadan payudara.
Selamat malam, Gentlemen. Keberatankah kalau aku bergabung bersama kalian?
Mereka tidak melihat ke atas. Tentu, Sweet cheeks. Ambil kursi dan tampil cantik. Hanya saja jangan
bersuara.
Aku ingin ikut bermain, menyerahkan kacamataku pada America. Tidak banyak aksi di permainan black
jack.
Salah satu dari mereka mengunyah cerutunya. Ini permainan poker, Princess. Ambil lima kartu. Coba
keberuntunganmu di mesin slot.
Aku duduk di atas satu-satunya kursi yang kosong, membuat pertunjukan memperlihatkan kakiku. Aku selalu
ingin bermain poker di Vegas. Dan aku masih memiliki semua chip ini, aku berkata sambil menyusun
chipku di atas meja, dan aku sangat bagus saat bermain online.

Kelima pria itu melihat chipku lalu melihat ke arahku. Ada minimal taruhan, Sugar, kata orang yang
membagikan kartu.
Berapa?
Lima ratus, Peach. Dengaraku tak ingin membuatmu menangis. Bantulah dirimu sendiri dan pilihlah salah
satu mesin slot.
Aku mendorong ke depan chip ku, mengangkat bahuku dengan cara wanita ceroboh dan terlalu percaya diri
sebelum menyadari dia telah kehilangan uang kuliahnya. Mereka saling melihat satu sama lain. Orang yang
membagikan kartu mengangkat bahunya dan melemparkan chip miliknya.
Jimmy, dia mengulurkan tangannya. Ketika aku menjabat tangannya, dia menunjuk pada pria lainnya. Mel,
Pauly, Joe, dan itu Winks. Aku melihat ke arah pria yang mengunyah tusuk gigi, dan seperti yang telah aku
kira, dia mengedipkan satu matanya padaku.
Aku mengangguk dan menunggu dengan antisipasi palsu saat Jimmy mengocok kartu putaran pertama. Aku
sengaja kalah pada dua putaran pertama, tapi pada putaran ke empat, aku sudah bangkit. Tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk veteran Vegas mengetahui rahasiaku sama seperti Thomas.
kau bilang kau bermain secara online? tanya Pauly.
Ya, bersama ayahku.
kau berasal dari Vegas? tanya Jimmy.
Dari Wichita, aku tersenyum.
Dia bukan pemain online, aku beritahu itu, Mel menggerutu.
Satu jam berikutnya, aku telah mengambil dua ribu tujuh ratus dolar dari lawanku, dan mereka mulai
berkeringat.
Menyerah, kata Jimmy, melempar kartunya dengan muka masam.
Jika aku tidak melihatnya sendiri, aku tidak akan pernah percaya, aku mendengar suara di belakangku.
Aku dan America berbalik bersamaan, dan aku tersenyum lebar. Jesse, aku menggelengkan kepala. Apa
yang kau lakukan di sini?
Ini tempat milikku yang kau tipu, Cookie. Apa yang kau lakukan di sini?
Aku memutar mataku dan melihat ke arah teman baruku yang menatapku curiga. kau tahu aku membenci
nama panggilan itu, Jess.
Maafkan kami, kata Jesse, menarik lenganku agar aku berdiri, America memperhatikanku dengan waspada
saat aku digiring pergi beberapa kaki.
Ayah Jesse mengelola kasino ini, dan aku sangat terkejut dia mau bergabung dalam bisnis keluarga. Dulu kami
saling kejar-kejaran sepanjang lorong hotel di lantai atas, dan aku selalu mengalahkannya saat kami berlomba
menuju lift. Dia sudah tumbuh dewasa sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku mengingat dia sebagai remaja
pra puber yang kurus; pria di hadapanku berpakaian seperti pit boss (film seri Amerika), tidak lagi kurus dan

sudah menjadi pria dewasa. Dia masih memiliki kulit coklat yang halus dan mata hijau yang aku ingat, namun
yang lainnya benar-benar kejutan yang menyenangkan.
Matanya yang hijau berkilau di bawah sinar lampu. Ini nyata. Aku tahu itu kau ketika aku lewat tapi aku tidak
dapat meyakinkan diriku sendiri bahwa kau akan datang kemari lagi. Ketika aku melihat Tinkerbell ini
menyapu bersih meja poker, aku langsung tahu itu kau.
Ini aku, aku tersenyum.
kau terlihatbeda.
kau juga. Bagaimana ayahmu?
Pensiun, dia tersenyum. Berapa lama kau akan berada di sini?
Hanya sampai hari Minggu. Aku harus kembali kuliah.
Hai, Jess, kata America, memegang tanganku.
America, dia tertawa geli. Aku seharusnya tahu. Kalian selalu bersama-sama seperti bayangan.
Jika orangtuanya tahu aku membawanya kemari, semua itu akan berakhir dari dulu.
Sangat senang bertemu denganmu, Abby. Kenapa kita tidak pergi makan malam? dia bertanya sambil
memperhatikan pakaianku.
Aku ingin sekali, tapi aku di sini bukan untuk bersenang-senang, Jess.
Dia mengangkat tangannya ke atas dan tersenyum. Begitu juga aku. Serahkan tanda pengenalmu.
Kepalaku menunduk, mengetahui ada pertarungan di tanganku. Jesse tidak akan terpengaruh oleh pesonaku
dengan mudah. Aku tahu aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Jesse. Aku berada di sini untuk Mick.
Dia sedang dalam masalah.
Jesse bergeser. Masalah apa?
Yang biasa.
Aku harap aku bisa membantu. Mengingat masa lalu, dan kau tahu aku menghormati ayahmu, tapi kau tahu
aku tidak bisa membiarkanmu tinggal."
Aku menarik lengannya dan meremasnya. Dia berhutang uang pada Benny.
Jesse menutup matanya lalu menggelengkan kepalanya. Ya Tuhan.
Aku punya waktu sampai besok. Anggap saja aku berhutang padamu, Jesse. Tapi biarkan aku tinggal sampai
besok.
Dia menyentuhkan telapak tangannya ke pipiku. Begini sajajika kau makan malam denganku besok, aku
akan memberi kau waktu sampai tengah malam nanti.
Aku melihat ke arah America lalu melihat pada Jesse. Aku kemari bersama seseorang.

Dia mengangkat bahunya. Terima atau pergi, Abby. kau tahu bagaimana di sinikau tidak bisa mendapatkan
apapun secara gratis.
Aku menghela nafas, merasa kalah. Baiklah. Aku akan menemuimu besok malam di Ferraros jika kau
memberiku waktu sampai tengah malam.
Dia membungkuk ke bawah lalu mencium pipiku. Aku sangat senang bertemu denganmu lagi. Sampai
bertemu besokjam lima, ok? Aku kerja jam delapan.
Aku tersenyum saat dia melangkah pergi, tapi senyumku langsung hilang saat aku melihat Travis menatapku
dari meja Roulette.
Oh sialan, kata America, menarik lenganku.
Travis menatap tajam ke arah Jesse saat dia melewatinya, lalu berjalan ke arahku. Dia memasukkan tangannya
ke saku dan melihat sekilas ke arah Jesse yang sedang memperhatikan kami dari ujung matanya.
Siapa itu?
Aku mengangguk ke arah Jesse. Itu adalah Jesse Viveros. Aku mengenalnya sejak lama.
Berapa lama?
Aku melihat ke arah meja poker. Travis, aku tidak punya waktu untuk ini.
Aku rasa dia membuang cita-citanya untuk menjadi pendeta, kata America, mengirimkan seringai menggoda
ke arah Jesse.
Tadi itu adalah mantan pacarmu? tanya Travis, seketika itu juga marah. kau bilang dia dari Kansas?
Aku mendelik pada America lalu memegang dagu Travis dengan tanganku, memaksanya untuk memperhatikan
aku. Dia tahu aku belum cukup umur untuk berada di sini, Trav. Dia memberiku waktu sampai tengah malam.
Aku akan menjelaskan semuanya nanti, sekarang aku harus kembali bermain, ok?
Rahang Travis bergetar di bawah kulitnya, lalu dia menutup matanya, menarik nafas panjang. Baiklah.
Sampai bertemu tengah malam nanti. Dia membungkuk lalu menciumku, namun bibirnya terasa dingin dan
menjaga jarak. Semoga berhasil.
Aku tersenyum saat dia menghilang di keramaian, lalu mengalihkan perhatianku kembali kepada semua pria di
meja poker. Gentlemen?
Silahkan duduk Sherly Temple, kata Jimmy. Kami akan mengambil uang kami kembali, sekarang. Kami
tidak suka ditipu.
Lakukan yang terbaik. Aku tersenyum, mengocok kartu dengan mahir lalu membagikannya pada semua
pemain dengan teliti.
Waktunya tinggal sepuluh menit, bisik America.
Aku tahu, kataku.
Aku sudah memenangkan enam ribu dolar. Aku berusaha tidak memikirkan waktu yang tersisa namun lutut
America bergerak naik turun dengan gugup di bawah meja. Tumpukan chip taruhan para pemain sekarang

lebih tinggi dari sebelumnya, taruhannya semua atau tidak sama sekali.
Aku belum pernah melihat pemain sepertimu, Nak. kau hampir selalu memenangkan permainan. Dan dia
tidak menunjukkan satu gerakan apapun yang mengindikasikan kartu yang dia tidak pegang, Winks. kau
memperhatikan itu? kata Pauly.
Winks mengangguk, sikap riangnya sedikit berkurang pada setiap putaran. Aku tahu. Tidak satu garukan
ataupun senyuman, bahkan pandangan matanya tetap sama. Itu tidak normal. Semua orang pasti punya
satu Tell*.
Tidak semua orang, kata America dengan sombong.
Aku merasakan sepasang tangan yang aku kenal menyentuh bahuku. Aku tahu itu Travis tapi aku tidak berani
melihat ke belakang, tidak dengan tiga ribu dolar yang berada di tengah meja.
Call (Ikut bertaruh), kata Jimmy.
Mereka yang berkerumun di sekitar meja kami bertepuk tangan saat aku meletakkan kartuku. Jimmy adalah
satu-satunya yang hampir mengalahkanku dengan three-of-a-kind (kartu triple). Tapi tidak ada yang bisa
mengalahkan kartu straight-ku (Kartu berurutan).
Luar biasa! kata Pauly, melempar dua kartu angka duanya ke atas meja.
Aku keluar, Joe menggerutu, sambil berdiri lalu menghentakkan kakinya melangkah menjauhi meja.
Jimmy sedikit lebih ramah. Aku boleh mati malam ini karena merasa telah bermain melawan orang yang
sepadan, nak. Sangat menyenangkan, Abby.
Aku membeku. kau mengenalku?
Jimmy tersenyum, bertahun-tahun menghisap cerutu dan minum kopi meninggalkan noda di giginya yang
besar. Aku pernah melawanmu sebelumnya. Enam tahun yang lalu. Aku sudah lama ingin bertanding ulang.
Jimmy mengulurkan tangannya. Jaga dirimu baik-baik, nak. Sampaikan salamku pada ayahmu.
America membantuku mengumpulkan chip yang aku menangkan, aku berbalik ke belakang dan melihat Travis,
melirik jam tanganku. Aku membutuhkan sedikit waktu lagi.
Ingin mencoba bermain black jack?
Aku tidah boleh kehilangan uang, Trav.
Dia tersenyum. kau tidak akan pernah kalah, Pidge.
America menggelengkan kepalanya. Dia tidak terlalu bisa bermain black jack.
Travis mengangguk. Aku menang sedikit. Aku mendapat enam ratus. kau boleh mengambilnya.
Shepley menyerahkan chipnya padaku. Aku hanya mendapat tiga ratus. Ini untukmu.
Aku menghela nafas. Terima kasih, guys, tapi masih kurang lima ribu.
Aku melirik jam tanganku lagi lalu melihat ke atas dan melihat Jesse mendekat. Bagaimana? dia bertanya

sambil tersenyum.
Masih kurang lima ribu, Jess. Aku membutuhkan waktu lagi.
Aku sudah melakukan yang aku bisa, Abby.
Aku mengangguk, aku tahu aku sudah meminta terlalu banyak. Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal.
Mungkin aku bisa meminta ayahku untuk bicara kepada Benny untukmu?
Ini masalah Mick. Aku akan meminta pada Benny perpanjangan waktu.
Jesse menggelengkan kepalanya. kau tahu itu tidak akan mungkin terjadi, Cookie, tidak peduli berapa banyak
yang kau bawa. Kalau kurang dari yang dia pinjam, Benny akan mengirimkan seseorang. kau harus
menjauhinya sebisa mungkin.
Aku merasakan mataku menjadi perih. Aku harus mencoba.
Jesse mendekat satu langkah, membungkuk untuk berbisik. Naik pesawat dan pulanglah, Abby. kau dengar
aku?
Aku mendengarmu, bentakku.
Jesse menghela nafas dan ada rasa simpati di tatapan matanya. Dia memelukku dan mencium rambutku.
Maafkan aku. Jika bukan pekerjaanku taruhannya, kau tahu aku akan memikirkan jalan lain.
Aku mengangguk, melepaskan diri darinya. Aku tahu. kau sudah melakukan apa yang kau bisa.
Dia mengangkat daguku dengan jarinya. Sampai bertemu besok jam lima. Dia membungkuk untuk mencium
ujung bibirku lalu berjalan melewatiku tanpa berkata apapun lagi.
Aku melihat ke arah America, yang sedang memperhatikan Travis. Aku tidak berani menatap mata Travis; aku
tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah marahnya.
Ada apa jam lima? tanya Travis, suaranya terhambat karena rasa emosi yang dia tahan.
Dia setuju untuk makan malam dengan Jesse jika dia diizinkan tinggal. Dia tidak punya pilihan, Trav, kata
America. Aku dapat mengira dari nada hati-hati America kalau Travis sedang lebih dari marah.
Aku menatap tajam Travis, dan dia melotot ke arahku dengan ekspresi yang sama dengan Mick saat dia
menyadari aku mengambil keberuntungannya, merasa dikhianati.
kau punya pilihan.
Apakah kau pernah berhubungan dengan mafia, Travis? Maafkan aku jika perasaanmu tersakiti, tapi makan
gratis dengan teman lama bukanlah harga yang mahal untuk dibayar untuk membuat Mick tetap hidup.
Aku dapat melihat bahwa Travis ingin menyerangku, namun tidak ada yang dapat dia katakan.
"Ayolah, guys, kita harus mencari Benny, kata America, menarik lenganku.
***

Travis dan Shepley mengikuti di belakang tanpa berkata apapun saat kami melewati pertunjukan penari
telanjang menuju gedung milik Benny. Lalu lintasbaik mobil maupun orang di jalan yang ramai mulai
tumpah. Pada setiap langkah, aku merasa semakin mual, seperti ada lubang di perutku, pikiranku berlomba
untuk memikirkan argumen kuat yang dapat membuat Benny mengerti alasannya. Pada saat kami mengetuk
pintu besar berwarna hijau yang sudah pernah aku lihat beberapa kali sebelumnya, aku harus bicara sesedikit
mungkin seperti uang yang aku bawa.
Itu bukan suatu kejutan untuk melihat penjaga pintu yang bertubuh sangat besarhitam, menakutkan,
berbadan lebar dan juga tingginamun aku terkejut melihat Benny berdiri di sampingnya.
Benny. Aku menarik nafas.
My, mykau bukan Lucky Thirteen lagi, sekarang, ya kan? Mick tidak mengatakan kalau kau tumbuh
menjadi wanita yang cantik. Aku sudah menunggumu, Cookie. Aku dengar kau membawa uang untuk
membayar hutang padaku.
Aku mengangguk dan Benny menunjuk ke arah teman-temanku. Aku mengangkat daguku agar terlihat seolah
aku percaya diri. Mereka bersamaku.
Aku rasa semua temanmu harus menunggu di luar, kata si penjaga pintu dengan suara bass yang abnormal.
Travis langsung memegang tanganku. Dia tidak akan masuk ke sana sendirian. Aku akan ikut dengannya.
Benny memandang Travis dan aku menelan ludah. Ketika Benny melihat ke arah penjaga pintu dan ujung
bibirnya sedikit terangkat, aku sedikit agak tenang.
Cukup adil, kata Benny. Mick akan senang mengetahui kau mempunyai teman yang sangat baik
bersamamu.
Aku mengikutinya masuk ke dalam, melihat ke belakang dan melihat rasa khawatir di wajah America. Travis
tetap memegang lenganku dengan erat, dengan sengaja berdiri di antara aku dengan si penjaga pintu. Kami
mengikuti Benny masuk ke dalam lift, naik empat lantai dalam keheningan, lalu pintu pun terbuka.
Terdapat meja mahoni yang besar di tengah ruangan yang luas. Benny tertatih menuju kursi mewahnya lalu
duduk, memberi isyarat pada kami untuk duduk di dua kursi kosong yang berhadapan dengan mejanya. Ketika
aku duduk, bahan kulit kursinya terasa dingin di bawahku, dan aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang
pernah duduk di kursi ini, beberapa saat sebelum kematian mereka. Aku meraih untuk menarik tangan Travis,
dan dia meremas tanganku untuk menenangkanku.
Mick berhutang padaku sebesar dua puluh lima ribu. Aku yakin kau membawa uang sebesar itu, kata Benny,
menulis sesuatu di buku catatannya.
Sebenarnya, aku terhenti, membersihkan tenggorokanku, Aku kekurangan lima ribu, Benny. Tapi aku
punya satu hari lagi besok untuk mendapatkan sisanya. Dan lima ribu itu mudah, benar kan? kau tahu aku
pandai dalam hal itu.
Abigail, kata Benny, merengut, kau mengecewakanku. kau mengetahui peraturanku lebih baik dari itu.
A...aku mohon, Benny. Aku mintamu untuk menerima yang sembilan puluh sembilan persennya, dan aku
akan menyerahkan sisanya padamu besok.
Mata bulatnya Benny menusukku lalu melihat ke arah Travis dan kembali lagi padaku. Dan pada saat itulah

aku mengetahui ada dua pria melangkah ke depan, keluar dari sudut yang gelap di ruangan itu. Pegangan
Travis di tanganku semakin erat, dan aku menahan nafasku.
kau tahu aku tidak akan menerima sedikitpun selain dari pembayaran full. Fakta bahwa kau memberiku
kurang dari itu memberitahuku sesuatu. kau tahu itu memberitahuku apa? Bahwa kau tidak yakin akan
mendapatkan sisanya.
Kedua pria tadi mendekat satu langkah lagi ke depan.
Aku akan mendapatkan uangmu, Benny, aku tertawa dengan gugup. Aku memenangkan delapan ribu
sembilan ratus dalam waktu enam jam.
Jadi apa kau mengatakan kalau kau akan membawa delapan ribu sembilan ratus lagi untukku dalam waktu
enam jam? Benny memberikan senyum jahatnya.
Tenggat waktunya baru tengah malam besok, kata Travis, melihat ke belakang kami dan memperhatikan
bayangan kedua pria itu mendekat.
Aapa yang kau lakukan, Benny?" tanyaku, tubuhku kaku.
Mick meneleponku tadi. Dia mengatakan bahwa kau akan mengambil alih hutangnya.
Aku hanya membantunya. Aku tidak berhutang padamu. Aku berkata dengan tegas, insting bertahanku
muncul.
Benny meletakkan kedua sikunya yang berlemak, pendek, dan gemuk di atas meja. Aku berpikir untuk
memberi Mick sebuah pelajaran, dan aku penasaran seberapa beruntungnya dirimu, nak.
Travis melonjak keluar dari kursinya, menarikku bersamanya. Dia mendorongku ke belakangnya, berjalan
mundur menuju pintu.
Ada Josiah di luar pintu, anak muda. kau pikir kau akan kabur kemana?
Aku sudah melakukan kesalahan. Ketika aku berpikir tentang membujuk Benny untuk mengerti alasannya, aku
seharusnya mengantisipasi keinginan Mick untuk bertahan hidup, dan kegemaran Benny untuk menghukum.
Travis, aku memperingatkan, melihat anak buahnya Benny mendekat.
Travis mendorongku menjauh darinya beberapa kaki di belakangnya dan berdiri tegak. Aku harap kau tahu,
Benny, bahwa ketika aku mengalahkan anak buahmu, aku bukan bermaksud untuk tidak hormat. Tapi aku
sangat mencintai wanita ini, dan aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya.
Benny langsung tertawa terbahak-bahak. Aku serahkan padamu, nak. kau mempunyai keberanian paling besar
dari orang-orang yang melewati pintu itu. Aku memperingatkanmu pada apa yang akan kau dapatkan. Orang
yang agak besar di samping kananmu adalah Davis, dan jika dia tidak bisa mengalahkanmu dengan tinjunya,
dia akan menggunakan pisau yang tergantung di ikat pinggangnya. Orang yang di samping kirimu adalah
Dane, dan dia adalah petarung terbaikku. Dia akan bertarung besok, dan sejujurnya dia tidak pernah kalah.
Ingat untuk tidak menyakiti tanganmu, Dane. Aku sudah mempertaruhkan banyak uang untukmu.
Dane tersenyum liar pada Travis, matanya girang. Ya, tuan.
Benny, hentikan! Aku akan mendapatkan uang itu! teriakku.

Oh tidakini akan menjadi lebih menarik dengan cepat, Benny terkekeh, bersandar di kursinya.
David berlari ke arah Travis dan tanganku menutup mulutku. Orang itu kuat, tapi ceroboh dan lambat. Sebelum
David memukul atau meraih pisaunya, Travis melumpuhkannya, mendorong wajah David langsung ke
lututnya. Ketika Travis melayangkan tinjunya, dia tidak membuang waktu, melayangkan semua kekuatannya
ke wajah orang itu. Lalu dua pukulan dan satu pukulan menggunakan sikunya, David terbaring di lantai dalam
genangan darah.
Kepala Benny bersandar ke belakang, tertawa histeris dan memukul-mukul meja dengan senang seperti anak
kecil yang sedang menonton kartun pada Sabtu pagi. Well, lanjutkan, Dane. Dia tidak membuatmu takut
kan?
Dane mendekati Travis lebih hati-hati, dengan fokus dan perhitungan seorang petarung profesional. Tinjunya
melayang ke wajah Travis dengan kecepatan yang luar biasa, namun Travis dapat menghindar, menyeruduk
Dane menggunakan bahunya dengan kekuatan penuh. Mereka jatuh di atas meja Benny, lalu Dane
mencengkram Travis dengan kedua tangannya, melemparkannya ke lantai. Mereka baku hantam di lantai
beberapa saat, lalu Dane berdiri, memposisikan dirinya untuk memukul Travis saat dia terjebak di antara Dane
dan lantai. Aku menutup wajahku, tidak sanggup melihat.
Aku mendengar erangan kesakitan, lalu aku mengangkat kepalaku dan melihat Travis seperti melayang di atas
Dane, menahannya dengan mencengkeram rambut shaggynya, memukulkan beberapa tinjunya ke samping
kepala Dane. Setiap pukulan, membuat wajah Dane membentur bagian depan meja Benny, lalu Dane bergegas
berdiri, kehilangan arah dan berdarah.
Travis memperhatikannya beberapa saat, lalu menyerang lagi, mendengus setiap menyerang, sekali lagi
menggunakan kekuatan penuh. Dane menghindar sekali dan mendaratkan pukulannya di rahang Travis.
Travis tersenyum dan mengangkat satu jarinya. Itu adalah satu-satunya kesempatanmu memukulku.
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Travis sudah membiarkan anak buahnya Benny memukulnya. Dia
menikmatinya. Aku tidak pernah melihat Travis bertarung tanpa batasan; itu sedikit menakutkan untuk
melihatnya melepaskan semua yang dia punya melawan pembunuh yang terlatih dan punya keahlian ini.
Sebelumnya, aku tidak menyadari apa yang dapat Travis lakukan.
Dengan suara tawa Benny yang mengganggu di belakang, Travis menghabisi Dane, mendaratkan sikunya di
tengah-tengah wajahnya, menjatuhkannya sebelum dia menyentuh lantai. Aku mengamati tubuhnya saat
memantul satu kali di atas karpet import milik Benny.
Luar biasa, anak muda! Sangat menakjubkan! kata Benny, bertepuk tangan dengan senang.
Travis menarikku ke belakangnya saat Josiah muncul di ambang pintu dengan tubuhnya yang besar.
Haruskah aku mengurus yang satu ini, Tuan?
Tidaktidaktidak, kata Benny, masih merasa limbung karena pertunjukan spontan tadi. Siapa
namamu?
Travis masih terengah-engah. Travis Maddox, jawab Travis, mengelap darah Dane dan David di tangan ke
celana jinsnya.
Travis Maddox, aku yakin kau dapat menolong kekasih kecilmu.
Bagaimana caranya? Travis terengah.

Dane seharusnya bertarung besok malam. Aku sudah bertaruh banyak padanya, dan tampaknya Dane tidak
akan cukup kuat untuk memenangkan pertarungan dalam waktu dekat. Aku sarankan kau menggantikannya,
memenangkan uang untukku, dan aku akan melupakan sisa hutang Mick yang lima ribu seratus itu.
Travis berpaling padaku. Pigeon?
kau baik-baik saja? aku bertanya sambil mengelap darah dari wajahnya. Aku menggigit bibirku, merasa
wajahku kusut karena gabungan antara rasa takut dan lega.
Travis tersenyum. Itu bukan darahku, sayang. Jangan menangis.
Benny berdiri. Aku orang yang sibuk, nak. Lewat atau main?
Aku akan melakukannya, kata Travis. Beritahu kapan dan di mana aku akan berada di sana.
kau akan melawan Brock McMann. Dia bukan orang biasa. Dia pernah dilarang mengikuti UFC tahun lalu.
Travis tidak terpengaruh. Katakan saja di mana aku harus berada.
Seringai hiu Benny terukir di wajahnya. Aku menyukaimu, Travis. Aku rasa kita akan menjadi teman baik.
Aku rasa tidak akan, Travis berkata sambil membuka pintu untukku dan tetap dalam posisi melindungi
hingga kami sampai di pintu depan.
***
Ya Tuhan! America menjerit karena melihat cipratan darah di atas baju Travis. Kalian baik-baik saja? dia
menarik bahuku dan memeriksa wajahku.
Aku baik-baik saja. Seperti hari biasa di kantor. Untuk kami berdua, aku berkata sambil mengusap mataku.
Travis memegang tanganku dan kami bergegas menuju hotel bersama Shepley dan America yang mengikuti di
belakang. Tidak banyak yang memperhatikan penampilan Travis. Dia berlumuran darah dan hanya beberapa
turis dari luar kota yang menyadarinya.
Apa yang terjadi di dalam sana tadi? akhirnya Shepley bertanya.
Travis membuka bajunya hingga tinggal pakaian dalamnya lalu menghilang ke kamar mandi. Pancuran air
menyala dan America menyodorkan sekotak tisu padaku.
Aku baik-baik saja, Mare.
Dia menghela nafas dan mendorong kotak itu padaku sekali lagi. kau tidak baik-baik saja.
Ini bukan rodeo pertamaku dengan Benny, kataku, ototku terasa nyeri karena rasa tegang yang aku rasakan
dalam dua puluh empat jam terakhir ini.
Ini pertama kalinya kau melihat Travis benar-benar lepas kendali terhadap seseorang, kata Shepley. Aku
pernah melihatnya satu kali, dan itu bukan pemandangan yang bagus.
Apa yang telah terjadi? America memaksa.

Mick menelepon Benny. Mengalihkan tanggung jawab hutangnya padaku.


Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuh orang sialan yang menyedihkan itu! teriak America.
Benny tidak menganggapku yang bertanggung jawab, tapi dia bermaksud memberikan Mick sebuah pelajaran
karena mengirim anak perempuannya untuk membayar hutangnya. Dia memanggil dua anjingnya dan Travis
mengalahkan mereka. Mereka berdua. Dalam waktu kurang dari lima menit.
Jadi Benny melepaskanmu? tanya America.
Travis keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggangnya, satu-satunya bukti dari perkelahiannya adalah
tanda merah kecil pada tulang pipi di bawah mata kanannya. Salah satu dari mereka yang aku kalahkan harus
bertarung besok malam. Aku akan menggantikannya dan sebagai imbalannya Benny akan melupakan lima ribu
terakhir sisa dari hutangnya Mick.
America berdiri. Ini sangat konyol! Kenapa kita membantu Mick, Abby? Dia sudah melemparkanmu pada
serigala! Aku akan membunuhnya!
Tidak jika aku membunuhnya lebih dulu, Travis mendidih.
Mengantrilah. kataku.
Jadi kau bertarung besok? tanya Shepley.
Di tempat yang bernama Zeros. Jam enam. Melawan Brock McMann, Shep.
Shepley menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Itu sangat tidak mungkin, Trav. Orang itu sinting!
Ya, Travis tersenyum, tapi dia tidak bertarung untuk kekasihnya, kan? Travis memelukku di dalam
lengannya, menciumi rambutku. kau baik-baik saja, Pigeon?
Ini adalah kesalahan. Ini salah dalam segala level. Aku tidak tahu mana dulu yang harus di pikirkan masakmasak.
Apa kau tidak melihat aku tadi? Aku akan baik-baik saja. Aku pernah melihat Brock bertarung sebelumnya.
Dia tangguh tapi bukan berarti tidak bisa di kalahkan.
Aku tidak ingin kau melakukan ini, Trav.
Well, aku juga tidak ingin kau pergi makan malam bersama mantan pacarmu besok. Aku rasa kita berdua
harus melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk menyelamatkan ayahmu yang tidak berguna itu.
Aku sudah pernah melihat itu sebelumnya. Vegas merubah seseorang, menciptakan banyak monster dan orangorang bejat. Sangat mudah untuk membiarkan cahaya lampu dan mimpi curian meresap ke dalam darahmu.
Aku pernah melihat semangat itu, rasa tidak akan terkalahkan di wajah Travis semakin besar, dan satu-satunya
obat untuk itu adalah perjalanan pulang dengan pesawat.
***
Aku melirik jam tanganku lagi.
Kau harus pergi ke tempat lain, Cookie? tanya Jesse, terlihat geli.

Aku mohon berhentilah memanggilku Cookie, Jess. Aku tidak menyukainya.


Aku juga tidak suka kau pergi. Tapi itu tidak menghentikanmu.
Ini percakapan yang basi dan melelahkan. Mari kita makan saja, ok?
Baiklah, mari bicarakan tentang pacar barumu. Siapa namanya? Travis? Aku mengangguk dan dia
tersenyum. Apa yang kau lakukan bersama orang sakit jiwa yang bertatoo itu? Dia tampak seperti salah satu
anggota keluarga Manson (Penjahat di Amerika).
Jaga sikapmu, Jesse, atau aku pergi dari sini.
Aku tidak bisa melupakan betapa berbedanya penampilanmu. Aku juga tidak akan melupakan bahwa kau
duduk di depanku.
Aku memutar mataku. Lupakanlah.
Itu dia, kata Jesse. Wanita yang aku kenal.
Aku melihat jam tanganku. Pertarungan Travis dua puluh menit lagi. Aku harus pergi.
Kita masih harus makan makanan penutupnya.
Aku tidak bisa, Jesse. Aku tidak ingin dia khawatir jika aku tidak datang. Ini sangat penting.
Bahu Jesse turun. Aku tahu. Aku merindukan hari-hari saat aku penting untukmu.
Aku memegang tangannya. Kita masih anak kecil waktu itu. Itu beberapa tahun yang lalu.
Kapan kita tumbuh dewasa? kau berada di sini adalah pertanda, Abby. Aku pikir aku tidak akan pernah
melihatmu lagi tapi sekarang kau duduk di sini. Bersamaku.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, tidak ingin menyakiti perasaan teman lamaku. Aku mencintainya,
Jess.
Rasa kecewanya terlihat dari senyuman kecil di wajahnya. Kalau begitu sebaiknya kau pergi.
Aku mencium pipinya lalu pergi dari restoran, memanggil taksi.
***
Tujuannya ke mana? tanya supir taksi.
Zeros.
Supir taksi melihat ke belakang ke arahku, bertanya sekali lagi. kau yakin?
Aku yakin! Ayo jalan! kataku, melemparkan uang ke tempat duduknya.
***
Akhirnya Travis menerobos kerumunan dengan tangan Benny di atas bahunya, berbisik di telinganya. Travis
mengangguk dan menjawabnya, dan darahku menjadi dingin melihatnya sangat ramah pada pria yang telah
mengancam kami kurang dari dua puluh empat jam sebelumnya. Travis merasa senang karena tepuk tangan

dan ucapan selamat atas kemenangannya saat semua orang bersorak. Dia berjalan lebih tegak, senyumnya
lebih lebar, dan ketika dia tiba di dekatku, dia mendaratkan ciuman cepat di bibirku.
Aku dapat merasakan keringatnya yang asin bercampur dengan rasa tembaga dari darah yang ada di bibirnya.
Dia telah memenangkan pertarungan, tapi dengan beberapa luka seperti habis perang di tubuhnya.
"Tentang apa semua itu?" tanyaku, memperhatikan Benny yang sedang tertawa bersama para pengikutnya.
"Aku akan memberitahumu nanti. Kita punya banyak hal yang harus dibicarakan," dia berkata sambil
tersenyum lebar.
Seorang pria menepuk punggung Travis.
"Terima kasih," kata Travis, melihat ke arahnya dan menjabat tangan yang diulurkannya.
"Aku menantikan untuk melihat pertarunganmu berikutnya, Nak," kata pria itu, menyerahkan sebotol bir pada
Travis. "Tadi itu luar biasa."
"Ayo, Pidge." Dia meminum satu teguk birnya, berkumur lalu memuntahkannya, cairan berwarna kuning di
lantai bercampur dengan darah. Dia berbelok-belok menerobos kerumunan, lalu menarik nafas panjang ketika
kami tiba di trotoar di luar. Dia menciumku sekali, lalu menuntunku menelusuri tempat pertunjukan penari
telanjang, langkahnya cepat dan terarah.
***
Di dalam lift hotel, dia mendorongku ke dinding cermin, menarik kakiku lalu mengangkatnya dengan gerakan
cepat ke atas pinggangnya. Mulutnya melumat bibirku, dan aku merasakan tangannya di bawah lututku
meluncur ke atas ke pahaku dan mengangkat rokku.
"Travis, ada kamera di dalam sini," aku berkata sambil mengelap mulutku dan melihat ke bawah, ada goresan
merah di tanganku.
"Ada apa denganmu, Pigeon? kau menang, aku menang, kita membayar lunas hutang Mick dan aku baru saja
mendapatkan tawaran sekali seumur hidup."
Pintu lift terbuka dan aku berdiri diam di tempat saat Travis melangkah keluar menuju lorong. "Tawaran apa?"
tanyaku.
Travis mengulurkan tangannya, tapi aku mengacuhkannya. Aku memicingkan mataku, sudah tahu apa yang
akan dia katakan.
Dia menghela nafas. "Aku sudah mengatakannya padamu, kita akan membicarakannya nanti."
"Mari kita bicarakan sekarang."
Dia mendekat lalu menarikku di pinggang menuju lorong, lalu mengangkatku dari lantai ke dalam pelukannya.
"Aku akan menghasilkan uang yang cukup untuk menggantikan uang yang Mick ambil darimu, untuk
membayar sisa biaya kuliahmu, melunasi motorku, dan membeli mobil baru untukmu," katanya, menggesekan
kunci kartu di pintu. Dia mendorong pintu terbuka dan menurunkanku. "Dan itu baru awalnya saja!"
"Dan bagaimana kau akan melakukan itu semua?" dadaku menegang dan tanganku mulai gemetar.

Dia memegang wajahku di tangannya, merasa senang. "Benny akan mengizinkanku bertarung di Vegas. Enam
digit satu kali pertarungan, Pidge. Enam digit sekali bertarung!"
Aku menutup mata dan menggelengkan kepalaku, menghalangi kegembiraan di matanya. "Apa yang kau
katakan pada Benny?" Travis mengangkat daguku lalu aku membuka mataku, takut kalau dia telah
menandatangani sebuah kontrak.
Dia tertawa geli. "Aku bilang padanya kalau aku akan memikirkannya."
Aku menghembuskan nafas yang dari tadi aku tahan. "Oh, untunglah. Jangan menakutiku seperti itu, Trav. Aku
pikir kau serius."
Travis menyeringai dan memantapkan dirinya sebelum bicara. "Aku memang serius, Pigeon. Aku mengatakan
padanya bahwa aku harus membicarakannya denganmu terlebih dahulu, tapi aku pikir kau akan senang. Dia
menjadwalkan satu pertarungan sebulan. kau tahu berapa banyak uang itu? Tunai!"
"Aku bisa berhitung, Travis. Aku juga bisa mempertahankan akal sehatku ketika aku berada di Vegas, yang
jelas-jelas kau tidak bisa. Aku harus membawamu keluar dari sini sebelum kau melakukan hal yang bodoh."
Aku berjalan menuju lemari dan melepaskan semua pakaian kami dari gantungan baju, dengan marah
memasukkannya ke dalam koper.
Travis dengan lembut menarik lenganku lalu memutarku. "Aku bisa melakukannya. Aku bisa bertarung untuk
Benny selama satu tahun maka kita akan hidup mapan untuk waktu yang sangat lama."
"Apa yang akan kau lakukan? Keluar kuliah lalu pindah kemari?"
"Benny akan memberiku tiket pesawat, bertarung berdasarkan jadwalku."
Aku tertawa satu kali, meragukannya. "Kau tidak mungkin selugu itu, Travis. Saat kau digaji oleh Benny, kau
tidak akan bertarung sebulan sekali untuknya. Apa kau lupa tentang Dane? kau akan berakhir menjadi salah
satu premannya!"
Dia menggelengkan kepalanya. "Kami sudah mendiskusikan tentang itu, Pidge. dia tidak ingin aku melakukan
apapun selain bertarung."
"Dan kau mempercayainya? kau tahu di sini dia itu dijuluki Si Curang Benny!"
"Aku ingin membelikanmu mobil, Pigeon. Yang bagus. Uang kuliah kita berdua akan dibayar lunas."
"Oh? Mafia itu sekarang memberikan beasiswa?"
Rahang Travis terkatup rapat. Dia merasa kesal karena harus meyakinkan aku. "Ini bagus untuk kita berdua.
Aku bisa menabung sampai saatnya untuk kita membeli sebuah rumah. Aku tidak bisa menghasilkan uang
sebanyak ini di tempat lain."
"Bagaimana dengan gelar sarjana Hukum Pidanamu? kau akan sering bertemu dengan teman-teman lamamu
saat bekerja untuk Benny, aku yakin itu."
"Sayang, aku mengerti keberatanmu, sungguh. Tapi ini hal yang bagus. Aku akan melakukannya selama satu
tahun, lalu kita berhenti dan melakukan apapun yang kita inginkan."
"Kau tidak bisa berhenti begitu saja dengan Benny, Trav. Hanya dia yang bisa memutuskan kapan kau berhenti.
kau tak tahu sedang berurusan dengan siapa! Aku tidak percaya kau akan mempertimbangkan hal ini! Bekerja

pada orang yang akan memukuli kita berdua tadi malam jika kau tidak menghentikannya?"
"Tepat sekali. Aku menghentikannya."
"kau menghentikan dua orang preman kelas ringannya, Travis. Apa yang akan kau lakukan jika ada sebelas
orang seperti mereka? Apa yang akan kau lakukan jika mereka mengejarku pada saat kau sedang bertarung?"
"Tidak masuk akal dia akan melakukan hal itu. Aku akan mendatangkan banyak uang untuknya."
"Pada saat kau memutuskan berhenti, kau akan dihabisi. Itulah bagaimana mereka bekerja."
Travis menjauhiku dan melihat keluar jendela, gemerlap lampu menghiasi wajahnya yang bertentangan. Dia
telah membuat keputusan sebelum membicarakannya denganku.
"Semuanya akan baik-baik saja, Pigeon. Aku akan pastikan itu. Lalu kita akan mapan."
Aku menggelengkan kepala dan berbalik, memasukkan pakaian kami ke dalam koper. Ketika kami mendarat di
aspal landasan saat sampai di rumah, dia akan menjadi dirinya sendiri lagi. Vegas melakukan hal yang aneh
pada manusia, dan aku tidak bisa berargumen dengannya saat dia masih mabuk oleh aliran uang yang banyak
dan whiskey.
***
Aku menolak untuk membahasnya lebih jauh hingga kami naik pesawat, takut Travis akan membiarkanku
pergi tanpa dirinya. Aku memakai sabuk pengamanku dan gigiku terkatup rapat, memperhatikan dia yang
sedang menatap penuh kerinduan keluar jendela saat kami naik ke angkasa malam. Dia sudah mulai
merindukan kejahatan dan godaan tak terbatas yang Vegas telah tawarkan.
"Itu uang yang banyak, Pidge."
"Tidak."
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku. "Ini keputusanku. Kupikir kau tidak melihat gambaran besarnya."
"Kupikir kau sudah kehilangan akal sehatmu."
"Kau bahkan tidak akan mempertimbangkannya?"
"Tidak, dan begitu juga denganmu. Kau tidak akan bekerja untuk penjahat yang kejam di Las Vegas, Travis. Itu
bener-benar bodoh jika kau pikir aku akan mempertimbangkannya."
Travis menghela nafas dan melihat keluar jendela. "Pertarungan pertamaku tiga minggu lagi."
Mulutku menganga. "Kau sudah menyetujuinya?"
Dia mengedipkan satu matanya. "Belum."
"Tapi kau akan menyetujuinya?"
Dia tersenyum. "Kau akan berhenti marah saat aku membelikanmu mobil Lexus."
"Aku tidak ingin mobil Lexus." aku mendesis marah.

"Kau bisa membeli apapun yang kau mau, sayang. Bayangkan bagaimana rasanya mendatangi dealer manapun
yang kau mau, dan yang harus kau lakukan hanya tinggal memilih warna favoritmu."
"Kau tidak melakukan ini untukku. Berhentilah berpura-pura seolah kau melakukan ini untukku."
Dia mendekatiku, mencium rambutku. "Tidak, aku melakukan ini untuk kita. kau hanya tidak melihat
bagaimana hebatnya nanti."
Menggigil karena dingin terpancar dari dadaku, bergerak turun ke punggung terus ke kakiku. Dia tidak akan
melihat alasannya hingga kami tiba di apartemen, dan aku takut kalau Benny sudah memberikan tawaran yang
tidak bisa dia tolak. Aku membuang semua rasa takutku; aku harus percaya bahwa Travis sangat mencintaiku,
cukup untuk melupakan uang dan janji palsu yang sudah Benny berikan.
"Pidge? kau tahu cara memasak seekor kalkun?"
"Kalkun? Kataku, tidak siap oleh perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba.
Dia meremas tanganku. "Well, liburan Thanksgiving akan segera tiba, dan kau tahu kalau ayahku
menyukaimu. Dia ingin kau datang saat Thanksgiving, namun kami selalu berakhir dengan memesan pizza dan
menonton pertandingan. Kupikir mungkin aku dan kau akan mencoba memasak kalkun bersama. Kau tahu,
makan malam kalkun sungguhan sekali ini di rumah keluarga Maddox."
Aku menutup rapat bibirku, berusaha agar tidak tertawa. "Kau hanya tinggal mencairkan kalkunnya dan
menaruhnya di dalam panci lalu memasaknya di oven seharian. Tidak banyak yang harus di lakukan."
"Jadi kau akan datang? kau akan membantuku?"
Aku mengangkat bahuku. "Tentu saja."
Perhatiannya teralihkan dari lampu di bawah yang memabukkan, dan aku membiarkan diriku untuk berharap
bahwa dia akan melihat betapa salahnya dia tentang Benny.
***
Travis meletakkan koper di atas tempat tidur lalu menjatuhkan tubuhnya di samping koper. Dia belum
mengungkit masalah Benny, dan aku harap Vegas mulai tersaring keluar dari sistemnya. Aku memandikan
Toto, merasa jijik karena dia bau asap rokok dan kaus kaki kotor karena berada di apartemen Brazil selama
akhir pekan, lalu mengeringkannya dengan handuk di dalam kamar.
"Oh! kau lebih wangi sekarang!" aku tertawa geli saat dia menggoyangkan tubuhnya, mencipratkan tetesan air
padaku. Dia berdiri di atas kaki belakangnya, menciumiku dengan ciuman kecil anak anjing. "Aku juga
merindukanmu."
"Pigeon?" tanya Travis, meremas-remas jarinya dengan gugup.
"Ya?" jawabku, menggosok Toto dengan handuk lembut berwarna kuning di tanganku.
"Aku ingin melakukannya. Aku ingn bertarung di Vegas."
"Tidak boleh," aku berkata sambil tersenyum pada wajah senang Toto.
Dia menghela nafas. "Kau tidak mendengarkan. Aku akan melakukannya. Kau akan lihat dalam beberapa
bulan bahwa itu adalah keputusan yang tepat."

Aku menatapnya. "Kau akan bekerja untuk Benny?"


Dia mengangguk dengan gugup lalu tersenyum. "Aku hanya ingin memenuhi segala kebutuhanmu, Pidge."
Air mata mengaburkan pandanganku, mengetahui dia telah memutuskan. "Aku tidak ingin apapun yang dibeli
dengan uang itu, Travis. Aku tidak ingin berhubungan dengan Benny atau Vegas atau apapun yang
berhubungan dengan itu semua."
"Kau tidak memiliki masalah dengan pemikiran untuk membeli mobil menggunakan uang dari hasil
pertarunganku di sini."
"Itu berbeda dan kau tahu itu."
Dia cemberut. "Semua akan baik-baik saja, Pidge. Kau akan lihat."
Aku memandangnya untuk beberapa saat, berharap rasa senang di matanya meredup sedikit, menunggunya
mengatakan bahwa dia hanya bercanda. Ketidakpastian dan keserakahan terlihat di matanya.
"Mengapa kau bertanya padaku kalau begitu, Travis? Kau akan bekerja untuk Benny tidak peduli apapun yang
aku katakan."
"Aku ingin kau mendukung ini, tapi ini uang yang terlalu banyak untuk ditolak. Aku berarti gila jika
menolaknya."
Aku duduk beberapa saat, terpana. Setelah semua tenggelam, aku mengangguk. "Baiklah. kau sudah membuat
keputusan."
Travis berseri-seri. "Kau akan lihat, Pigeon. Semua akan menjadi menyenangkan." Dia bangun dari tempat
tidur, melangkah ke arahku lalu mencium tanganku. "Aku sangat lapar. Kau lapar?"
Aku menggelengkan kepala dan dia mencium keningku sebelum berjalan menuju dapur. Begitu langkah
kakinya tidak terdengar lagi, aku menarik semua bajuku dari gantungannya, bersyukur ada tempat kosong di
koperku untuk semua barang-barangku. Air mata marah mengalir turun di pipiku. Aku tahu lebih banyak untuk
tidak membawa Travis ke tempat itu. Aku sudah berjuang mati-matian untuk menjauhkannya dari jurang gelap
hidupku, dan pada saat kesempatan itu datang, aku menyeretnya ke tengah semua yang aku benci tanpa harus
berpikir dua kali.
Travis akan menjadi bagian dari semua itu, dan jika aku tidak bisa menyelamatkannya, aku harus
menyelamatkan diriku sendiri.
Kopernya sudah sangat penuh, dan aku menutup ritsletingnya melewati isinya yang menggembung. Aku
mengangkatnya dari tempat tidur dan menelusuri lorong, melewati dapur tanpa melirik ke arahnya. Aku
bergegas menuruni tangga, merasa lega melihat America dan Shepley masih berciuman dan tertawa di tempat
parkir, memindahkan barang America dari mobil Shepley ke mobilnya.
"Pigeon?" Travis memanggil dari pintu apartemen.
Aku menyentuh pergelangan tangan America, "Aku ingin kau mengantarku ke asrama sekarang, Mare."
"Apa yang terjadi?" kata America, meyadari seriusnya situasi dari ekspresiku.
Aku melihat ke belakang untuk melihat Travis yang sedang berlari menuruni tangga dan menyebrangi rumput

menuju tempat kami semua berdiri.


"Apa yang kau lakukan?" kata Travis, menunjuk ke arah koperku.
Jika aku memberitahunya saat itu, semua harapan untuk menjauhkan diriku dari Mick, Vegas, Benny dan
semua yang tidak aku inginkan akan hilang. Travis tidak akan membiarkanku pergi, dan nanti pagi aku akan
meyakinkan diriku sendiri untuk menerima keputusannya.
Aku menggaruk kepalaku lalu tersenyum, berusaha mengulur waktu untuk memikirkan satu alasan.
"Pidge?"
"Aku membawa barang-barangku ke asrama. Mereka memiliki mesin cuci dan pengering dan aku punya
beberapa pakaian yang harus di cuci."
Dia cemberut. "Kau akan pergi tanpa memberitahuku?"
Aku melihat ke arah America lalu kembali ke Travis, berusaha mencari alasan bohong yang bisa di terima.
"Dia akan kembali lagi, Trav. kau sangat paranoid," America berkata sambil tersenyum acuh yang selalu dia
gunakan untuk membohongi orang tuanya beberapa kali.
"Oh," katanya, merasa tidak yakin. "Kau menginap di sini malam ini?" dia bertanya padaku sambil memainkan
jaketku.
"Aku tidak tahu. Aku pikir itu tergantung kapan cucianku selesai."
Travis tersenyum, menarik tubuhku ke tubuhnya. "Dalam tiga minggu aku akan membayar seseorang untuk
mencuci pakaianmu. Atau kau bisa membuang baju kotormu lalu membeli yang baru."
"Kau bertarung untuk Benny lagi?" tanya America, terkejut.
"Dia memberiku tawaran yang tidak bisa aku tolak."
"Travis," Shepley memulai.
"Kalian jangan mulai juga ya. Jika aku tidak mengubah keputusanku demi Pidge, aku tak akan merubah
pikiranku demi kalian."
America menatap mataku dengan pengertian, "Well, kita sebaiknya pergi, Abby. Cucian sebanyak itu akan
membutuhkan waktu yang lama untuk selesai."
Aku mengangguk dan Travis membungkuk untuk menciumku. Aku menariknya lebih dekat, mengetahui ini
akan menjadi terakhir kalinya aku merasakan bibirnya di bibirku. "Sampai bertemu nanti," dia berkata. "Aku
mencintaimu."
Shepley mengangkat koperku ke dalam bagian belakang mobilnya America, lalu America meluncur ke tempat
duduknya di sampingku. Travis melipat tangan di atas dadanya sambil mengobrol dengan Shepley saat
America menyalakan mesin.
"Kau tidak bisa tinggal di kamarmu malam ini, Abby. Dia akan langsung menuju ke sana ketika dia
menyadarinya," kata America saat dia dengan perlahan memundurkan keluar mobilnya dari tempat parkir.

Mataku penuh dengan airmata lalu tumpah, mengalir turun di pipiku. "Aku tahu."
Ekspresi bahagia Travis berubah saat dia melihat wajahku. Dia langsung berlari ke arah jendela mobil
tempatku duduk. "Ada apa, Pidge?" tanyanya, mengetuk di kaca.
"Jalan, Mare," kataku, mengelap mataku. Aku menatap lurus ke jalan di depan saat Travis berlari di samping
mobil.
"Pigeon? America! Hentikan mobilnya!" teriaknya, memukulkan telapak tangannya ke kaca. "Abby, jangan
lakukan ini!" dia berkata, kesadaran dan ketakutan terlihat di wajahnya.
America berbelok ke jalan utama dan menginjak gas. "Aku tidak ingin mendengar bagaimana akhirnya ini
asal kau tahu saja."
"Aku sangat, sangat menyesal, Mare."
Dia melirik ke kaca spion dan mendorong kakinya ke lantai. "Ya Tuhan, Travis," dia bergumam di antara
nafasnya.
Aku melihat ke belakang dan melihatnya berlari dengan cepat di belakang kami, menghilang dan kembali
terlihat di antara lampu dan bayangan lampu jalan. Setelah dia sampai di ujung blok, dia berbalik ke arah yang
berlawanan, berlari ke apartemen.
"Dia kembali untuk mengambil motornya. Dia akan mengikuti kita ke asrama dan akan menarik banyak
perhatian."
Aku menutup mataku. "Cepatlah. Aku akan tidur di kamar asramamu malam ini. Kau pikir Vannesa tidak akan
keberatan?"
"Dia tidak pernah ada di sana. Travis serius ingin bekerja untuk Benny?"
Kata-kata tersangkut di tenggorokanku, jadi aku hanya mengangguk.
America menarik tanganku dan meremasnya. "Kau membuat keputusan yang tepat, Abby. Kau tidak boleh
mengalaminya lagi. Jika dia tidak mendengarkanmu, dia tidak akan mendengarkan orang lain."
Handphoneku berbunyi. Aku melihat wajah konyol Travis, lalu menekan tombol ignore. Kurang dari lima
detik berikutnya, itu berbunyi lagi. Aku mematikannya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ini akan menjadi kekacauan yang sangat mengerikan," kataku, menggelengkan kepala dan mengelap mataku.
"Aku tidak menginginkan berada dalam posisimu untuk seminggu ke depan atau lebih. Aku tidak bisa
membayangkan putus dengan seseorang yang menolak untuk menjauh. kau tahu nanti akan bagaimana, kan?"
Kami berhenti di tempat parkir asrama, dan America menahan pintu terbuka saat aku menyeret koperku masuk
ke dalam. Kami bergegas masuk ke kamarnya dan aku menghembuskan nafas, menunggunya membuka kunci
pintu. Dia menahannya terbuka lalu melemparkan kuncinya padaku.
"Travis akan berakhir dengan di penjara atau lainnya."
***
America berlari menelusuri lorong dan aku melihatnya berlari menyeberangi tempat parkir dari balik jendela,

masuk ke dalam mobilnya saat Travis menghentikan motornya di samping mobilnya. Dia berlari ke pintu
penumpang lalu membuka pintunya, melihat ke pintu asrama saat dia menyadari aku tidak ada di dalam mobil.
America memundurkan mobilnya saat Travis berlari ke dalam gedung, aku berbalik dan menatap ke pintu.
Di lorong, Travis sedang menggedor pintu kamarku, memanggil-mangil namaku. Aku tak tahu apakah Kara
ada di sana, tapi jika dia ada di sana, aku merasa kasihan atas apa yang akan dia tanggung beberepa menit ke
depan hingga Travis menerima bahwa aku tidak berada di kamarku.
"Pidge? Buka pintunya, sialan! Aku tidak akan pergi hingga kau bicara padaku! Pigeon!" dia berteriak sambil
memukul-mukul pintu dengan sangat keras sehingga seluruh gedung dapat mendengarnya.
Aku merasa ngeri saat aku mendengar suara pemalu Kara.
"Apa?" geramnya.
Aku menekankan telingaku ke pintu, berusaha mendengar suara pelan Travis. Aku tidak harus berusaha keras
begitu lama.
"Aku tahu dia ada di dalam! Teriaknya. "Pigeon?"
"Dia tidakHey!" Kara memekik.
Pintu membentur dinding semen kamar kami dan aku tahu Travis memaksa masuk. Setelah beberapa menit
hening, aku mendengar Travis berteriak di lorong. "Pigeon! Di mana dia?"
"Aku belum melihatnya!" teriak Kara, lebih marah daripada yang aku pernah dengar sebelumnya. Pintu di
banting tertutup dan tiba-tiba rasa mual muncul saat aku menunggu apa yang akan Travis lakukan berikutnya.
Setelah beberapa menit hening, aku membuka pintu sedikit, mengintip ke lorong yang luas. Travis duduk
bersandar ke dinding dengan tangan menutupi wajahnya. Aku menutup pintu sepelan mungkin, khawatir polisi
kampus sudah di panggil. Setelah satu jam, aku melihat ke lorong lagi. Travis masih ada di situ, tidak bergerak.
Aku melihatnya dua kali lagi sepanjang malam itu, dan akhirnya tertidur sekitar jam empat. Aku sengaja
bangun siang, mengetahui aku akan bolos kuliah hari itu. Aku menyalakan handphoneku untuk memeriksa
sms, melihat Travis sudah membanjiri kotak masukku. Teks panjang yang dia kirimkan padaku sepanjang
malam bermacam-macam dari permintaan maaf hingga kata-kata kasar.
Aku menelepon America pada sore hari, berharap Travis tidak menyita handphonenya. Ketika dia menjawab,
aku merasa lega.
"Hai."
America menjaga agar suaranya tetap pelan. "Aku belum memberitahu Shepley di mana kau berada. Aku tak
ingin dia berada di tengah-tengah masalah ini. Travis sangat kesal padaku saat ini. Aku mungkin akan tinggal
di asrama malam ini."
"Jika Travis belum tenangsemoga berhasil untuk bisa tidur dengan tenang di sini. Dia melakukan hal yang
patut di beri penghargaan Oscar di lorong tadi malam. Aku terkejut tidak ada satupun yang menelepon
keamanan."
"Dia di usir keluar dari kelas Sejarah hari ini. Ketika kau tidak datang, dia menendang meja kalian. Shep
dengar dia menunggumu di setiap kelasmu. Dia lepas kendali, Abby. Aku memberitahunya bahwa kau sudah
merasa cukup pada saat dia memutuskan untuk bekerja pada Benny. Aku tidak percaya dia mengira bahwa kau

akan dapat menerima hal itu."


"Kalau begitu sampai bertemu nanti di sini. Kupikir aku belum bisa kembali ke kamarku saat ini."
***
Aku dan America tinggal satu kamar selama seminggu lebih, dan dia selalu memastikan Shepley tidak
mengetahui aku berada di mana sehingga dia tidak akan tergoda untuk memberitahu Travis tentang
keberadaanku. Ini menjadi pekerjaanku sepenuhnya untuk menghindari bertemu dengannya. Aku menghindari
kafetaria, kuliah Sejarah, dan aku bermain aman dengan meninggalkan semua kelas lebih awal. Aku tahu aku
harus bicara dengan Travis pada akhirnya, tapi aku tidak bisa melakukannya sebelum dia cukup tenang untuk
menerima keputusanku.
Aku duduk sendirian pada Jumat malam, berbaring di tempat tidur, memegang telepon di telingaku. Aku
memutar mataku ketika perutku berbunyi.
"Aku bisa menjemputmu dan mengajakmu makan malam di satu tempat," kata America.
Aku membalik buku Sejarahku, melewati halaman di mana Travis mencorat-coret dan menuliskan kata-kata
cinta di marginnya. "Tidak usah, ini malam pertamamu bersama Shep dalam seminggu ini, Mare. Aku akan
mampir ke kafetaria saja."
"Kau yakin?"
"Ya. Sampaikan salamku untuk Shep."
Aku berjalan perlahan ke kafetaria, tidak terburu-buru untuk mendapat tatapan dari orang-orang yang duduk di
kafetaria. Seluruh kampus terkejut saat mendengar kabar kami putus, dan kelakuan kasar Travis tidak
membantu. Pada saat lampu kafetaria terlihat, aku melihat sosok gelap mendekat.
"Pigeon?"
Terkejut, aku tersentak berhenti. Travis melangkah ke dalam cahaya lampu, tidak bercukur dan pucat. "Ya
Tuhan, Travis! kau menakutiku!"
"Jika kau menjawab teleponmu ketika aku menelepon, aku tidak akan mengendap-endap di kegelapan."
"kau terlihat seperti baru kembali dari neraka (berantakan)," kataku.
"Aku memang sepertinya pergi ke sana satu atau dua kali minggu ini."
Aku memeluk tubuhku lebih erat. "Sebenarnya aku sedang mencari sesuatu untuk dimakan. Aku akan
meneleponmu nanti, ok?"
"Tidak. Kita harus bicara."
"Trav"
"Aku sudah menolak Benny. Aku meneleponnya hari Rabu kemarin dan mengatakan tidak padanya." Ada
secercah harapan di matanya, namun langsung hilang saat dia menyadari ekspresiku.
"Aku tak tahu kau ingin aku mengatakan apa, Travis."

"Katakan kau memaafkan aku. Katakan kau akan menerimaku kembali."


Aku mengatupkan gigiku dengan rapat, melarang diriku sendiri untuk menangis. "Aku tidak bisa."
Wajah Travis kusut dan aku mengambil kesempatan untuk berjalan mengitarinya, namun dia melangkah ke
samping untuk menghalangi jalanku. "Aku tidak tidur, atau makanaku tidak bisa konsentrasi. Aku tahu kau
mencintaiku. Semua akan kembali seperti semula jika kau menerimaku kembali."
Aku menutup mataku. "Kita berdua sama-sama disfungsional, Travis. Kupikir kau hanya terobsesi dengan
pemikiran untuk memilikiku lebih dari apapun."
"Itu tidak benar. Aku mencintaimu lebih dari hidupku, Pigeon," dia berkata, merasa sakit.
"Itulah maksudku. Itu pembicaraan yang gila."
"Itu bukan gila. Itu yang sebenarnya."
"Baiklahjadi apa urutan yang sebenarnya untukmu? Apakah uang, aku, hidupmuatau ada lagi sebelum
uang?"
"Aku menyadari yang telah aku lakukan, ok? Aku mengerti mengapa kau berpikir begitu, tapi jika aku tahu
kau akan meninggalkanku, aku tak akan pernahaku hanya ingin mengurus segala keperluanmu."
"Kau sudah pernah mengatakan itu."
"Aku mohon jangan lakukan ini. Aku tak tahan merasa seperti iniiniini membunuhku," dia berkata sambil
menarik nafas seolah udara melumpuhkannya.
"Aku sudah merasa cukup, Travis."
Dia meringis. "Jangan mengatakan itu."
"Semua sudah berakhir. Pulanglah ke rumah."
Alisnya ditarik masuk. "Kau adalah rumahku."
Kata-katanya memotongku, dadaku menjadi sangat tegang hingga sangat sulit untuk bernafas. "Kau sudah
menentukan pilihanmu, Trav. Aku menentukan pilihanku," aku berkata sambil memaki dalam hati karena
suaraku yang gemetar.
"Aku akan menjauhi Vegas, dan Bennyaku akan menyelesaikan kuliahku. Tapi aku membutuhkanmu. Aku
membutuhkan dirimu. Kau adalah sahabatku." Suaranya terdengar putus asa dan hancur, sama dengan
ekspresinya.
Di remang-remang cahaya aku dapat melihat air mata jatuh dari matanya, dan dalam sekejap dia meraihku dan
aku berada dalam pelukannya, dia mencium bibirku. Dia memelukku dengan erat di dadanya saat dia
menciumku, lalu menahan wajahku dengan tangannya, menekan bibirnya lebih keras di bibirku, memaksa
untuk mendapatkan reaksi dariku.
"Cium aku," dia berbisik sambil menempelkan bibirnya di bibirku. Aku tetap menutup mata dan bibirku,
merasa tenang di dalam pelukannya. Dengan sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak membalas ciumannya,
karena telah merindukan bibirnya selama satu minggu ini. "Cium aku," dia memohon. "Aku mohon, Pigeon!
Aku sudah mengatakan tidak pada Benny!"

Ketika aku merasakan hangatnya air mata di wajahku yang dingin, aku mendorongnya. "Tinggalkan aku
sendiri, Travis!"
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika dia menarik pergelangan tanganku. Lenganku meregang, terentang
di belakangku. Namun aku tidak melihat ke belakang.
"Aku mohon padamu." Lenganku merendah dan tertarik saat dia berlutut. "Aku mohon padamu, Abby. Jangan
lakukan ini."
Aku berbalik dan melihat ekspresinya yang penuh penderitaan, lalu pandanganku tertuju ke lenganku lalu ke
arah lengannya Travis, melihat namaku dalam huruf hitam tebal meregang di pergelangan tangannya. Aku
berpaling, ke arah kafetaria. Dia telah membuktikan padaku yang aku takuti selama ini. Sebesar apapun dia
mencintaiku, ketika berhubungan dengan uang, aku akan menjadi urutan kedua. Sama seperti aku dan Mick.
Jika aku menyerah, dia akan merubah pikirannya lagi tentang Benny, atau dia akan membenciku setiap kali
uang akan membuat hidupnya lebih mudah. Aku membayangkan dia bekerja sebagai pegawai biasa, pulang ke
rumah dengan pandangan yang sama di matanya sama seperti Mick saat dia pulang setelah malamnya yang
tidak beruntung. Dia akan menyalahkanku karena hidupnya tidak seperti yang dia inginkan, dan aku tidak bisa
membiarkan masa depanku terganggu oleh kepahitan dan penyesalan yang aku dulu tinggalkan di belakang.
"Lepaskan aku, Travis."
Setelah beberapa saat akhirnya dia melepaskan lenganku. Aku berlari menuju pintu kaca, mendorongnya
terbuka tanpa melihat ke belakang. Semua orang di ruangan itu menatapku saat aku berjalan ke meja
prasmanan, dan ketika aku mencapai tujuanku, aku memiringkan kepalaku melihat ke luar jendela dimana
Travis masih berlutut, telapak tangan di atas jalan beraspal.
Melihat dia berlutut membuat air mata yang aku tahan dari tadi mengalir deras di wajahku. Aku melewati
tumpukan piring dan nampan, berlari di lorong menuju kamar mandi. Sudah cukup buruk semua orang
menyaksikan adegan antara aku dan Travis. Aku tidak bisa membiarkan mereka melihatku menangis.
***
Aku meringkuk di dalam bilik kamar mandi selama satu jam, menangis tak terkendali hingga aku mendengar
ketukan pelan di pintu.
"Abby?"
Aku terisak. "Apa yang kau lakukan di sini, Finch? kau ada di kamar mandi wanita."
"Kara melihatmu datang lalu dia menjemputku ke asrama. Biarkan aku masuk," dia berkata dengan suara yang
lembut.
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu dia tidak bisa melihatku, tapi aku tidak dapat mengeluarkan satu patah
katapun. Aku mendengar dia menarik nafas lalu telapak tangannya menepuk lantai saat dia merangkak di
bawah bilik.
"Aku tidak percaya kau membuatku melakukan ini," kata Finch, menarik tubuhnya ke bawah dengan
tangannya. "Kau akan menyesal tidak membukakan pintu, karena aku baru saja merangkak melewati lantai
yang berlumuran air kencing dan aku sekarang akan memelukmu."
Aku tertawa satu kali, lalu wajahku seperti ditekan di sekitar bibirku saat Finch menarikku ke dalam

pelukannya. Aku berdiri, dan Finch menurunkanku ke lantai, menarikku ke atas pangkuannya.
"Sssshh," dia berkata sambil menggoyang-goyangkanku di pelukannya. Dia menarik nafas dan menggelengkan
kepala. "Ya ampun, Girl. Apa yang harus kulakukan padamu?"
***
Aku mencorat-coret bagian depan buku catatanku, membuat kotak dalam kotak, menghubungkan semuanya
untuk membentuk kotak tiga dimensi sederhana. Sepuluh menit sebelum kuliah dimulai, tapi ruangan kelas
masih kosong. Hidup sudah mulai dalam tahap normal, tapi aku masih membutuhkan beberapa menit untuk
terbiasa berada di dekat orang lain selain Finch dan America.
Hanya karena kita sudah tidak berkencan lagi, bukan berarti kau tidak bisa memakai gelang yang aku berikan
padamu, Parker berkata sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.
Aku bermaksud untuk bertanya padamu apakah kau menginginkan itu dikembalikan.
Dia tersenyum, membungkuk ke atas meja untuk menambahkan gambar pita kupu-kupu di atas salah satu
gambar kotakku. Itu adalah hadiah, Abs. Aku tidak memberikan hadiah dengan persyaratan.
Dr. Ballard menggelengkan kepalanya saat dia duduk di depan kelas, membolak-balik kertas yang ada di atas
mejanya yang berantakan. Ruangan seketika gaduh karena suara orang-orang yang sedang mengobrol,
bergema karena memantul di jendela besar yang terciprat air hujan.
Aku dengar kau dan Travis putus beberapa minggu yang lalu. Parker mengangkat tangannya melihat
ekspresiku yang tidak sabar. Itu sama sekali bukan urusanku. Kau hanya terlihat sangat sedih, dan aku ingin
memberitahumu kalau aku ikut sedih.
Terima kasih, aku bergumam sambil membalik halaman buku catatanku.
Dan aku juga bermaksud untuk meminta maaf atas kelakuanku sebelumnya. Yang aku katakan dulu sangat
kasar. Aku merasa marah dan melampiaskannya padamu. Itu tidaklah adil dan aku minta maaf.
"Aku tidak tertarik untuk berkencan, Parker, aku memperingatkannya.
Dia tertawa geli. Aku tidak berusaha untuk mengambil keuntungan. Kita masih berteman dan aku ingin
memastikan bahwa kau baik-baik saja.
Aku baik-baik saja.
Apa kau akan pulang ke rumah saat libur Thanksgiving?
Aku akan ke rumah America. Aku biasanya merayakan Thanksgiving di rumahnya.
Parker mulai bicara lagi namun Dr. Ballard mulai mengajar. Topik tentang Thanksgiving membuatku berpikir
tentang rencanaku sebelumnya untuk membantu Travis memasak kalkun. Aku membayangkan bagaimana
rasanya itu, dan aku menemukan diriku merasa khawatir mereka akan memesan pizza lagi. Perasaan seperti
tenggelam mulai menghampiriku. Aku langsung mengeluarkannya dari kepalaku, berusaha sebisa mungkin
untuk berkonsentrasi pada semua perkataan Dr. Ballard.
Setelah kelas bubar, wajahku merona saat melihat Travis berlari ke arahku dari tempat parkir. Dia sudah
bercukur bersih lagi, memakai sweater lengan panjang yang ada penutup kepalanya dan topi baseball merah
favoritnya, menundukkan kepalanya menghindari air hujan.

Sampai bertemu lagi setelah liburan usai, Abs, kata Parker, menyentuh punggungku.
Aku menunggu tatapan marah dari Travis, tapi tampaknya dia tidak melihat Parker saat dia mendekat. Hai,
Pidge.
Aku memberinya senyuman canggung, dan dia memasukan tangannya ke dalam saku depan sweaternya. Kata
Shepley kau akan pergi dia dan America ke Wichita besok.
Ya?
Kau akan menghabiskan liburanmu di rumah America?
Aku mengangkat bahuku, berusaha terlihat biasa. Aku sangat dekat dengan orangtuanya.
Bagaimana dengan ibumu?
Dia seorang pemabuk, Travis. Dia tidak akan menyadari kalau itu Thanksgiving.
Dia tiba-tiba gugup, dan perutku terasa sakit karena kemungkinan untuk putus di depan banyak orang untuk
kedua kalinya. Petir bergulung di atas kami dan Travis melihat ke atas, memicingkan matanya saat tetesan air
jatuh di wajahnya.
Aku membutuhkan bantuanmu, dia berkata. Kemarilah. Dia menarikku ke tempat berteduh yang terdekat
dan aku mengikutinya, berusaha untuk menghindari adegan lain yang akan menarik perhatian banyak orang.
Bantuan macam apa? tanyaku, merasa curiga.
Aku ehm dia bergeser. Ayah dan semua saudaraku masih mengharapkan kau datang Kamis nanti.
Travis! aku merengek.
Dia menatap kakinya. Kau bilang kau akan datang.
Aku tahu, tapiitu sedikit tidak pantas sekarang, bukankah begitu?
Dia tampak tidak terpengaruh. Kau bilang kau akan datang.
Kita masih berpacaran saat aku setuju untuk datang ke rumahmu. Kau tahu aku tidak akan datang.
Aku tak tahu, dan sekarang bagaimanapun sudah terlambat. Thomas sudah naik pesawat kemari, dan Tyler
sudah mengambil cuti. Semua orang mengharapkan kau datang.
Aku meringis, memutar-mutar rambut basah di jariku. Mereka tetap akan datang bagaimanapun juga, ya
kan?
Tidak semua orang. Kami sudah bertahun-tahun tidak kumpul semua saat Thanksgiving. Mereka
mengusahakan untuk datang karena aku menjanjikan makanan sungguhan. Belum pernah ada wanita di dapur
kami sejak ibu meninggal dan
Itu bukan diskriminasi gender atau sejenispun.
Dia memiringkan kepalanya. Bukan itu maksudku, Pidge, yang benar saja. Kami semua menginginkanmu
datang. Hanya itu maksudku.

Kau belum memberitahu mereka tentang kitaya kan?" Aku berkata dengan nada menuduh.
Dia gelisah beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya. Ayah akan menanyakan alasannya, dan aku belum
siap untuk membicarakan masalah itu dengannya. Aku akan terus-menerus mendengarnya mengatakan
bagaimana bodohnya aku. Aku mohon datanglah, Pidge.
Aku harus memasukan kalkun jam enam pagi. Kita harus pergi jam lima...
Atau kita bisa menginap di sana.
Alisku naik. Tidak! Sudah cukup buruk aku harus berbohong pada keluargamu dan berpura-pura kita masih
berpacaran.
Kau bersikap seperti aku memintamu membakar dirimu dalam api.
Kau seharusnya memberitahu mereka!
Aku akan memberitahu mereka. Setelah Thanksgivingaku akan memberitahu mereka.
Aku menghela nafas, melihat ke arah lain. Jika kau berjanji bahwa ini bukan satu aksi agar kita kembali
bersama, aku akan melakukannya.
Dia mengangguk.Aku berjanji.
Meskipun dia berusaha untuk menyembunyikannya, aku dapat melihat kilauan di matanya. Aku menutup
bibirku rapat, berusaha untuk tidak tersenyum. Sampai bertemu jam lima.
Travis membungkuk untuk mencium pipiku, bibirnya berlama-lama di atas kulitku. Terima kasih, Pigeon.
America dan Shepley menungguku di pintu kafetaria lalu kami berjalan masuk bersama. Aku menarik sendok
dari tempatnya dengan kasar lalu menjatuhkan piring di atas nampanku.
Ada apa denganmu, Abby? tanya America.
Aku tidak akan pergi bersama kalian besok.
Mulut Shepley menganga. Kau akan pergi ke rumah keluarga Maddox?
America menatap tajam ke arahku. Kau, apa?
Aku menghela nafas dan memberikan uang pada kasir. Aku berjanji akan datang pada Travis saat di pesawat,
dan dia memberitahu mereka aku akan datang.
Alasannya, Shepley mulai bicara, Dia tidak berpikir kalian akan benar-benar putus. Dia pikir kau akan
kembali lagi. Dan sudah terlambat saat dia menyadari bahwa kau serius.
Itu omong kosong, Shep, dan kau tahu itu, America mendesis marah. Kau tidak harus pergi jika kau tidak
ingin pergi, Abby.
Dia benar. Itu bukan seperti aku tidak punya pilihan. Tapi aku tidak bisa melakukannya pada Travis. Aku tidak
akan melakukannya meskipun aku membencinya. Dan aku tidak membencinya.

Jika aku tidak pergi, dia harus menjelaskan pada mereka mengapa aku tidak datang, dan aku tidak ingin
menghancurkan acara Thanksgivingnya. Mereka semua pulang karena mereka pikir aku akan berada di sana.
Shepley tersenyum, Mereka semua menyukaimu, Abby. Jim baru-baru ini ngobrol dengan ayahku
membicarakan tentang dirimu.
Bagus, aku bergumam.
Abby benar, sayang, kata Shepley. Jika dia tidak pergi, Jim akan menghabiskan waktunya untuk memarahi
Trav. Tidak ada alasan untuk mengancurkan acara mereka.
America menaruh tangannya di bahuku. Kau masih bisa ikut bersama kami. Kau sudah tidak berpacaran lagi
dengannya. Kau tidak harus selalu menyelamatkannya.
Aku tahu, Mare. Tapi ini hal yang tepat untuk dilakukan.
***
Matahari menghilang di belakang gedung di luar jendela, dan aku berdiri di depan cerminku, menyisir
rambutku sambil berusaha memutuskan bagaimana caranya untuk berpura-pura masih berpacaran dengan
Travis.
Ini hanya satu hari, Abby. Kau bisa mengatasi satu hari, aku berbicara pada cermin.
Berpura-pura bukanlah merupakan suatu masalah untukku. Saat Travis mengantarku sesudah makan malam
nanti, aku akan membuat keputusan. Satu keputusan yang akan dipatahkan oleh rasa bahagia palsu yang akan
kami perlihatkan pada keluarganya.
Tok, tok.
Aku berpaling, melihat ke pintu. Kara belum kembali ke kamar dari tadi malam, dan aku tahu kalau America
dan Shepley sudah berada di jalan. Aku tidak bisa menebak siapa yang ada di pintu. Aku meletakan sisirku di
atas meja dan membuka pintu.
Travis, aku terkejut.
Apakah kau sudah siap?
Aku mengangkat alisku. Siap untuk apa?
Kau bilang jemput jam lima.
Aku melipat tangan di atas dadaku. Maksudku jam lima pagi.
Oh, kata Travis, terlihat kecewa. Aku rasa aku harus menelepon ayahku dan memberitahunya kita tidak
akan menginap.
Travis, aku meratap.
Aku meminjam mobil Shepley sehingga kita tidak harus repot membawa barang kita di atas motor. Ada
kamar kosong untuk kau tidur. Dan kita bisa nonton film atau,
Aku tidak akan menginap di rumah ayahmu!

Dia terlihat kecewa. Baiklah. Aku akan ehmaku akan menemuimu besok pagi.
Dia mundur satu langkah lalu aku menutup pintu, bersandar di pintu. Semua emosi yang aku punya campur
aduk dan keluar dari bagian dalam diriku, dan aku menarik satu nafas kesal. Karena ekspesi kecewa Travis
terlintas di pikiranku, aku menarik pintu terbuka dan melangkah keluar, melihat dia berjalan pelan di lorong
sambil menekan nomor telepon.
Travis, tunggu. Dia berbalik dan harapan di matanya membuat dadaku sakit. Berikan aku beberapa menit
untuk mengemas beberapa barang.
Senyuman lega dan berterima kasih terukir di wajahnya dan dia mengikutiku ke kamar, memperhatikan aku
memasukkan beberapa barang ke dalam tas yang ada di pintu masuk.
Aku masih mencintaimu, Pidge.
Aku tidak melihat ke atas. Jangan. Aku melakukan ini bukan untukmu.
Dia menarik nafas. Aku tahu.
Kami melaju dalam keheningan menuju rumah ayahnya. Mobil terasa seperti diisi oleh energi gugup, dan
sangat sulit untuk tetap duduk diam di kursi kulit yang dingin. Saat kami tiba, Trenton dan Jim berjalan keluar
ke teras, semua tersenyum. Travis membawa tas kami dari mobil, dan Jim menepuk punggungnya.
Senang bertemu denganmu, Nak. Senyumnya menjadi lebih lebar saat melihatku. Abby Abernathy. Kami
tak sabar untuk makan malam besok. Sudah cukup lama sejakWell. Sudah cukup lama.
Aku mengangguk dan mengikuti Travis masuk ke dalam rumah. Jim meletakkan tangannya di atas perut
besarnya dan tersenyum. Aku menyiapkan kamar kalian di kamar tidur tamu, Trav. Aku pikir kau tidak ingin
berkelahi dengan si kembar di kamarmu.
Aku melihat ke arah Travis. Sangat berat untuk melihat Travis berusaha untuk bicara. Abby ehmdia akan
ehmtidur di kamar tamu. Aku akan tidur di kamarku.
Wajah Trenton berubah. Kenapa? Dia selalu menginap di apartemenmu, kan?
Tidak akhir-akhir ini, jawab Travis, berusaha sebisa mungkin menghindari untuk mengatakan yang
sebenarnya.
Jim dan Trenton saling berpandangan. Sudah satu tahun kamar Thomas menjadi gudang, jadi aku
membiarkannya tidur di kamarmu. Aku rasa dia bisa tidur di sofa, kata Jim, melihat ke arah sofa usang yang
warnanya sudah pudar di ruang tamu.
Tidak usah khawatir tentang itu, Jim. Kami hanya berusaha untuk menghormatimu, aku tersenyum,
menyentuh lengannya.
Suara tawanya terdengar ke seluruh ruangan, dan dia menepuk tanganku. Kau sudah bertemu dengan semua
anakku, Abby. Kau seharusnya sudah tahu bahwa hampir tidak mungkin untuk membuatku tersinggung.
Travis menganggukkan kepala ke arah tangga, dan aku mengikutinya. Dia mendorong pintu terbuka dengan
kakinya dan meletakkan tas kami di lantai, melihat ke arah tempat tidur lalu ke arahku. Kamar itu dihiasi panel
berwarna coklat, karpet coklat yang usang dan sobek. Dindingnya putih kotor, catnya mengelupas di beberapa
tempat. Aku hanya melihat satu bingkai foto di dinding, memperlihatkan foto ayah dan ibu Travis. Latar

belakangnya adalah layar biru umum yang ada di studio foto, rambut memakai jepit berbulu dan muda, wajah
yang tersenyum. Pasti foto itu diambil sebelum mereka punya anak, mereka berdua tidak mungkin lebih tua
dari dua puluh tahun.
Maafkan aku, Pidge. Aku akan tidur di lantai.
Tentu saja kau akan tidur di lantai, kataku, mengikat rambutku. Aku tak percaya aku membiarkanmu
memaksaku melakukan ini.
Dia duduk di tempat tidur dan mengusap wajahnya dengan rasa frustrasi. Ini akan menjadi sangat kacau. Aku
tak tahu apa yang aku pikirkan.
Aku tahu pasti apa yang telah kau pikirkan. Aku tidak bodoh, Travis.
Dia menatapku dan tersenyum. Tapi kau tetap datang.
Aku harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok, kataku, membuka pintu.
Travis berdiri. Aku akan membantumu.
***
Kami mengupas setumpuk kentang, memotong sayuran, meletakkan kalkun agar mencair, dan membuat
pingggiran pie. Satu jam pertama lebih dari tidak nyaman, namun ketika si kembar datang, semua berkumpul
di dapur. Jim menceritakan tentang semua anaknya, dan kami tertawa pada cerita bencana Thanksgiving
sebelumnya ketika mereka berusaha untuk melakukan sesuatu selain memesan pizza.
Diane sangat pandai memasak, Jim merenung. Trav tidak mengingatnya, tapi tidak ada artinya mencoba
setelah dia meninggal.
Tidak ada tekanan, Abby, Trenton cekikikan, mengambil bir dari kulkas. Mari kita keluarkan kartu. Aku
ingin mencoba memenangkan kembali uang yang telah Abby ambil.
Jim mengibaskan jarinya ke arah Trenton. Tidak ada poker minggu ini, Trent. Aku membeli kartu domino,
siapkan saja itu. Tidak ada taruhan, dan aku serius.
Trenton menggelengkan kepala. Baiklah, ayah, baiklah. Kakaknya Travis berkelok-kelok keluar dari dapur,
dan Trent mengikuti, melihat ke belakang. Ayo, Trav.
Aku sedang membantu Pidge.
Sudah tidak banyak yang harus dikerjakan, sayang, kataku. Pergilah.
Matanya menjadi lebih lembut karena kata-kataku, dan dia menyentuh pinggangku. Kau yakin?
Aku mengangguk dan dia membungkuk untuk mencium pipiku, meremas pinggangku dengan jarinya sebelum
mengikuti Trenton ke ruang permainan.
Jim memperhatikan anak-anaknya berjalan keluar pintu, menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Yang kau
lakukan sangat luar biasa, Abby. Aku pikir kau tidak menyadari betapa kami semua menghargainya.
Ini idenya Travis. Aku senang aku bisa membantu.

Tubuhnya bersandar di meja dapur, menenggak birnya sambil merenungkan kata berikutnya. Kau dan Travis
tidak banyak bicara. Kalian punya masalah?
Aku menuangkan sabun cuci piring ke dalam wastafel dan mengisinya dengan air hangat, berusaha untuk
memikirkan sesuatu untuk dikatakan yang bukan kebohongan. Segalanya sedikit berbeda, aku rasa.
Itu yang aku pikirkan. Kau harus sabar menghadapi Travis. Dia tidak ingat banyak tentang itu, tapi dia sangat
dekat dengan ibunya, dan setelah kami kehilangan dirinya, Travis berubah. Aku pikir dia akan tumbuh dengan
kenangan itu, kau tahu, karena dia masih sangat kecil. Sangat sulit bagi kami semua, tapi Travdia berhenti
berusaha mencintai seseorang setelah itu. Aku terkejut dia membawamu kemari. Cara dia besikap di dekatmu,
cara dia melihatmu; aku tahu kau sangat spesial.
Aku tersenyum, tapi tetap melihat ke piring kotor yang sedang aku gosok.
Travis akan mengalami hari yang sulit. Dia akan membuat banyak kesalahan. Dia tumbuh bersama
sekumpulan pria tanpa ibu dan kesepian, lelaki tua yang cepat marah sebagai ayahnya. Kami semua sedikit
tersesat setelah Diane meninggal, dan aku pikir aku tidak membantu mereka mengatasinya seperti seharusnya.
"Aku tahu sangat sulit untuk tidak menyalahkannya, tapi kau harus mencintainya, bagaimanapun, Abby. Kau
adalah satu-satunya wanita yang dia cintai selain ibunya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kalau
kau meninggalkan dia juga.
Aku menahan airmataku dan mengangguk, tidak mampu untuk menjawab. Jim meletakkan tangannya di atas
bahuku dan meremasnya. Aku belum pernah melihat dia tersenyum seperti saat dia sedang bersamamu. Aku
harap semua anak lelakiku menemukan Abby-nya suatu hari nanti.
Langkah kakinya menghilang di lorong dan aku berpegangan pada ujung wastafel tempat cuci piring, berusaha
untuk bernafas. Aku tahu menghabiskan liburan bersama Travis dan keluarganya akan sesulit ini, namun aku
tidak berpikir aku akan patah hati untuk kedua kalinya. Para pria bercanda dan tertawa di ruangan sebelah saat
aku mencuci dan mengeringkan piring, menyimpannya. Aku membersihkan dapur lalu mencuci tanganku,
berjalan menuju tangga untuk tidur.
Travis menarik tanganku. Ini belum terlalu terlalu malam, Pidge. Kau tidak akan pergi tidur, kan?
Ini hari yang panjang. Aku lelah.
Kami sedang bersiap nonton film. Kenapa kau tidak turun dan bergabung?
Aku melihat ke atas tangga dan melihat ke bawah ke arah senyum penuh harapnya. Baiklah.
Dia menuntun tanganku ke sofa, lalu kami duduk bersama saat nama para pemain berputar.
Matikan lampunya, Taylor, perintah Jim.
Travis meletakkan tangannya di atasku, di atas bagian belakang sofa. Dia masih berpura-pura sambil tetap
memenuhi keinginanku. Dia sangat berhati-hati untuk tidak mengambil keuntungan dari situasi ini, dan aku
merasa bertentangan, antara bersyukur dan kecewa.
Duduk begitu dekat padanya, mencium wangi campuran tembakau dan cologne nya, sangat sulit bagiku untuk
menjaga jarak, baik itu secara fisik maupun emosional. Seperti yang aku takutkan, keteguhan hatiku mulai
goyah dan aku berusaha untuk memblokir semua yang Jim katakan tadi di dapur. Setelah film berjalan
setengahnya, pintu depan terbuka dan Thomas muncul di pojok, tas di tangannya.

Happy Thanksgiving! dia berkata sambil meletakan tasnya di lantai.


Jim berdiri dan memeluk anak tertuanya, dan semua kecuali Travis berdiri untuk menyambutnya.
Kau tidak akan menyapa Thomas? bisikku.
Dia tidak melihat padaku ketika dia bicara, memperhatikan keluarganya berpelukan dan tertawa. Aku punya
satu malam bersamamu. Aku tidak akan menyia-nyiakan satu detikpun.
Hai, Abby. Sangat senang bertemu denganmu lagi, Thomas tersenyum.
Tangan Travis menyentuh lututku dan aku melihat ke bawah, lalu ke arah Travis. Menyadari ekspresiku, Travis
menarik tangannya dari kakiku lalu meletakkannya di pangkuannya.
Uh oh. Ada masalah di surga? tanya Thomas.
Tutup mulutmu, Tommy, Travis menggerutu.
Mood di ruangan itu berubah, dan aku merasakan semua mata melihat ke arahku, menunggu penjelasan. Aku
tersenyum gugup dan memegang tangan Travis dengan kedua tanganku.
Kami hanya lelah. Kami mempersiapkan makanan sepanjang sore, kataku, menyandarkan kepalaku di bahu
Travis.
Travis melihat tangan kami di bawah lalu meremasnya, alisnya ditarik sedikit.
Bicara tentang lelah, aku kehabisan tenaga, aku menarik nafas. Aku akan tidur, Sayang. Aku melihat ke
semua orang. Selamat malam, guys.
Selamat malam, Sis, kata Jim.
Semua kakaknya Travis mengucapkan selamat malam, dan aku berjalan menuju tangga.
Aku akan menyerah juga, aku mendengar Travis bicara.
Aku yakin kau begitu, Trenton menggodanya.
Bajingan yang sangat beruntung, Tyler menggerutu.
Heh. Kita tidak akan membicarakan saudara perempuanmu seperti itu, Jim memperingatkan.
Perutku merosot. Satu-satunya keluarga yang aku punya selama bertahun-tahun adalah orangtua America, dan
meskipun Mark dan Pam selalu merawatku dengan kebaikan yang tulus, mereka hanya pinjaman. Enam pria
yang sulit di atur, suka bicara kasar, namun mudah untuk dicintai di bawah telah menerimaku dengan tangan
terbuka, dan besok aku akan mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
Travis menahan pintu kamar sebelum tertutup lalu terdiam. Apa kau ingin aku menunggu di lorong saat kau
berganti pakaian?
Aku akan mandi dulu. Aku akan ganti baju di kamar mandinya saja.
Dia mengusap leher belakangnya. Baiklah. Aku akan menyiapkan alas tidurku kalau begitu.

Aku mengangguk, berjalan menuju kamar mandi. Aku menggosok tubuhku yang telanjang di bawah pancuran
yang bobrok, fokus pada noda air dan busa sabun untuk melawan rasa cemas berlebih yang aku rasakan pada
malam ini dan pagi hari nanti. Ketika aku kembali ke kamar, Travis menjatuhkan bantal ke lantai ke atas alas
tidurnya. Dia memberi senyuman lemah sebelum meninggalkanku untuk mandi.
Aku naik ke tempat tidur, menarik selimut menutupi dadaku, berusaha tidak peduli pada selimut yang ada di
lantai. Ketika Travis kembali, dia menatap alas tidurnya dengan tatapan sedih seperti aku tadi, lalu mematikan
lampu, membaringkan kepalanya di bantal.
Hening untuk beberapa saat, lalu aku mendengar Travis menarik nafas sedih. Ini malam terakhir kita bersama,
ya kan?
Aku menunggu sesaat, berusaha memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. Aku tak ingin bertengkar,
Trav. Tidurlah.
Mendengar dia bergeser, aku berbalik di tempat tidur agar bisa melihatnya, menekan pipiku di atas bantal. Dia
menahan kepala dengan tangannya dan menatap mataku.
Aku mencintaimu.
Aku menatapnya beberapa saat. Kau sudah berjanji.
Aku berjanji ini bukan usaha agar kita kembali bersama. Ini bukan itu. Dia mengangkat tangannya ke atas
untuk menyentuh tanganku. Tapi jika ini berarti bersama denganmu lagi, aku tidak bisa mengatakan aku tidak
akan memikirkannya.
Aku peduli padamu. Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku seharusnya menuruti kata hatiku dari awal. Kalau
ini tidak akan berhasil.
Tapi kau mencintaiku, kan?
Aku menekan bibirku. Aku masih.
Matanya berkilau dan dia meremas tanganku. Bolehkah aku minta sesuatu?
Aku memang sedang melakukan hal terakhir yang kau minta aku lakukan, aku tersenyum.
Wajahnya sudah terlatih, tidak terpengaruh oleh ekspresiku. Jika ini benar-benar itujika kau merasa cukup
dengankuakankah kau membiarkan aku memelukmu malam ini?
Kurasa itu bukan ide yang bagus, Trav.
Tangannya mencengkram tanganku lebih erat. Aku mohon? Aku tidak bisa tidur mengetahui kau hanya
beberapa kaki jauhnya, dan aku tidak akan mendapatkan kesempatan ini lagi.
Aku menatap ke dalam matanya yang putus asa untuk beberapa saat lalu merengut. Aku tidak akan
berhubungan seks denganmu.
Dia menggelengkan kepala. Itu bukan yang aku minta.
Aku mencari cahaya remang di kamar dengan mataku, memikirkan konsekuensinya, bagaimana jika aku tidak
bisa berkata tidak ketika dia berubah pikiran. Aku menutup mataku lalu bergeser dari ujung tempat tidur, dan
menurunkan selimut. Dia naik ke tempat tidur di sampingku, dengan cepat menarikku erat di tangannya. Dada

telanjangnya turun naik karena nafasnya yang tidak teratur, dan aku memaki diriku karena merasa sangat
damai berdekatan dengan kulitnya.
Aku akan merindukan ini, kataku.
Dia mencium rambutku dan menarikku lebih dekat, tidak dapat lebih dekat lagi padaku. Dia menenggelamkan
kepalanya di dadaku dan aku meletakan tanganku di punggungnya dengan nyaman, meskipun aku patah hati
seperti dirinya. Dia menarik nafas dari hidungnya, dan menekan dahinya di leherku, menekankan jarinya ke
dalam kulit punggungku. Sama menderitanya seperti saat malam terakhir taruhan, ini jauhjauh lebih buruk.
Akuaku pikir aku tidak bisa melakukan ini, Travis.
Dia menarikku lebih dekat dan aku merasakan air mata pertama jatuh dari mata ke pelipisku. Aku tidak bisa
begini, kataku, menutup rapat mataku.
Kalau begitu jangan, dia berkata di dekat kulitku. Berikan aku satu kesempatan lagi.
Aku mencoba menjauh darinya, tapi cengkeramannya sangat kuat untuk mencegah aku melepaskan diri. Aku
menutup wajah dengan dua tanganku saat isakan pelanku mengguncang kami berdua. Travis melihat ke atas ke
arahku, matanya bengkak dan basah.
Dengan jarinya yang besar, dan lembut, dia menarik tanganku menjauh dari mataku lalu mencium telapak
tanganku.
Aku menarik nafas saat dia menatap bibirku lalu kembali menatap mataku. Aku tidak pernah mencintai
seseorang seperti aku mencintaimu, Pigeon.
Aku bergeser dan menyentuh wajahnya. Aku tidak bisa.
Aku tahu, kata Travis, suaranya terbata. Aku tak pernah sekalipun merasa yakin kalau aku cukup pantas
untukmu.
Wajahku mengkerut dan aku menggelengkan kepala. Itu bukan hanya karena dirimu, Trav. Kita tidak cocok
satu sama lain.
Dia menggelengkan kepala, ingin mengatakan sesuatu, namun memikirkannya lagi. Setelah menarik nafas
dalam, dia mengistirahatkan kepalanya di dadaku. Ketika angka berwarna hijau di jam menunjukan jam
sebelas, nafas Travis akhirnya menjadi pelan dan teratur. Mataku menjadi berat, dan aku berkedip beberapa
kali sebelum hilang kesadaran.
***
Ow! jeritku, menarik tanganku dari kompor dan secara otomatis aku menghisap luka bakar dengan mulutku.
Kau baik-baik saja, Pidge? tanya Travis, berjinjit di lantai dan memasukan kaos ke kepalanya. Sialan!
Lantainya sangat dingin! aku menahan senyum geliku saat aku melihatnya melompat dengan satu kaki lalu
kaki satu lagi hingga telapak kakinya terbiasa dengan lantai yang dingin.
Matahari baru saja mengintip di tirai, dan Maddox yang lain masih tertidur dengan nyenyak di kamar mereka.
Aku mendorong panci timah antik lebih jauh ke dalam oven lalu menutup pintunya, berbalik untuk
mendinginkan jariku di wastafel.
Kau boleh kembali tidur. Aku hanya harus meletakkan kalkun ke dalam oven.

Apa kau akan ikut tidur? dia bertanya, memeluk dadanya dengan tangan untuk menangkal rasa dingin di
udara.
Ya.
Silahkan duluan, kata Travis, mengayunkan tangannya ke arah tangga.
Travis menarik lepas kaosnya saat kami berdua memasukan kaki di bawah selimut, menariknya hingga leher.
Dia mengencangkan tangannya di sekelilingku saat kami berdua menggigil, menunggu panas tubuh kami
menghangatkan jarak kecil di antara kulit kami dan selimut.
Aku merasakan bibirnya di rambutku, lalu tenggorokannya bergerak saat dia berbicara. Lihat, Pidge. Salju
turun. Aku memalingkan wajahku ke jendela. Butiran putih hanya terlihat di bawah cahaya lampu jalan.
Rasanya seperti Natal, kataku, kulitku akhirnya menjadi hangat di dekatnya. Dia menghela nafas dan aku
berpaling untuk melihat ekspresinya. Kenapa?
Kau tidak akan di sini saat Natal.
Aku di sini, sekarang. Dia menarik ke atas satu sisi bibirnya lalu mendekat untuk mencium bibirku. Aku
menjauh ke belakang dan menggelengkan kepala. Trav
Cengkeramannya semakin erat dan dia merendahkan dagunya, matanya yang coklat sudah bertekad. Aku
punya kurang dari dua puluh empat jam bersamamu, Pidge. Aku akan sering menciummu hari ini. Sepanjang
hari. Setiap ada kesempatan. Jika kau ingin aku berhenti, tinggal katakan saja, tapi hingga kau mengatakannya,
aku akan membuat setiap detik hari terakhirku bersamamu berarti.
Travis, aku memikirkannya beberapa saat, dan aku beralasan bahwa dia sedang merasa kecewa tentang
apa yang akan terjadi saat dia mengantarku pulang. Aku harus datang ke sana berpura-pura, dan sesulit apapun
untuk kami berdua nantinya, aku tidak ingin mengatakan tidak padanya.
Ketika dia menyadari aku menatap bibirnya, ujung bibirnya naik lagi, dan dia mendekat untuk menekan bibir
halusnya di bibirku. Awalnya lembut dan murni, namun setelah bibirnya terbuka, aku membelai lidahnya
dengan lidahku. Tubuhnya langsung menegang, dan dia menarik nafas dari hidungnya, mendekatkan tubuhnya
padaku. Aku membiarkan lututku jatuh ke samping dan dia berada di atasku, tidak melepaskan bibirnya dari
bibirku.
Dia tidak membuang waktu untuk membuka pakaianku, dan pada saat tidak ada lagi kain di antara kami, dia
mencengkeram ornamen tumbuhan merambat yang terbuat dari besi di kepala tempat tidur dengan kedua
tangannya, dan dengan gerakan cepat, dia sudah berada di dalam tubuhku. Aku menggigit bibirku dengan kuat,
menahan jeritan yang merangkak ke atas tenggorokanku. Travis mengerang di bibirku, dan aku menekan
kakiku ke tempat tidur, menahan tubuhku sehingga aku dapat mengangkat pinggulku untuk bertemu
pinggulnya.
Satu tangan di besi dan satu lagi di tengkukku, dia bergoyang di atasku berkali-kali, dan kakiku bergetar
karena gerakannya yang kuat dan keras. Lidahnya mencari bibirku, dan aku bisa merasakan getaran
erangannya yang dalam di dadaku saat dia menepati janjinya untuk membuat hari terakhir kami tidak akan
terlupakan. Aku dapat menghabiskan seribu tahun mencoba menghalangi momen itu dari ingatanku, dan itu
akan tetap membekas di pikiranku.
Satu jam telah berlalu saat aku menutup rapat mataku, setiap urat sarafku fokus pada getaran di dalam tubuhku.
Travis menahan nafasnya saat dia mendorong ke dalam tubuhku untuk terakhir kalinya, aku ambruk di atas
tempat tidur, benar-benar kehabisan tenaga. Travis mendesah dengan nafas yang dalam, terdiam dan

berkeringat.
Aku dapat mendengar suara-suara di bawah dan aku menutup mulutku dengan tangan, tertawa geli karena
kelakuan nakal kami. Travis menyamping, memeriksa wajahku dengan matanya yang berwarna coklat dan
lembut.
Kau bilang hanya akan menciumku, aku tersenyum.
Saat aku berbaring di dekat tubuhnya yang telanjang, melihat cinta yang tulus di matanya, aku menghilangkan
rasa kecewa, kemarahanku, dan pendirianku yang keras kepala. Aku mencintainya, dan tak peduli apapun
alasanku untuk hidup tanpa dirinya, aku tahu bukan itu yang aku mau. Bahkan jika aku tidak berubah pikiran,
sangat tidak mungkin bagi kami untuk menjauhi satu sama lain.
Kenapa kita tidak diam di tempat tidur saja seharian? dia tersenyum.
Aku datang kemari untuk memasak, ingat?
Bukan, kau datang kemari untuk membantuku memasak, dan aku baru akan mengerjakan tugasku delapan
jam lagi.
Aku menyentuh wajahnya, dorongan untuk mengakhiri penderitaan kami menjadi tidak tertahankan. Saat aku
mengatakan padanya aku merubah pikiranku dan keadaan itu akan kembali normal, kami tidak harus
menghabiskan hari dengan berpura-pura. Sebaliknya kami dapat menghabiskannya dengan merayakannya.
Travis, aku pikir kita
Jangan katakan itu, ok? Aku tak ingin memikirkan tentang itu hingga pada saatnya. Dia berdiri dan
mengenakan celana boxernya, berjalan menuju tasku. Dia melemparkan pakaianku ke atas tempat tidur lalu
menarik masuk kaos ke kepalanya. Aku ingin mengingat ini sebagai hari yang indah.
Aku memasak telur untuk sarapan dan sandwiches untuk makan siang, dan ketika pertandingan dimulai, aku
menyiapkan makan malam. Travis berdiri di belakangku dalam setiap kesempatan, lengannya memeluk
pinggangku, bibirnya di leherku. Aku menangkap basah diriku melirik jam, ingin sekali menemukan momen
berdua dengannya untuk memberitahunya keputusanku. Aku tidak sabar untuk melihat ekspresi wajahnya dan
untuk kembali ke keadaan semula.
Hari itu diisi dengan suara tawa, mengobrol, dan keluhan yang terus menerus dari Tyler karena Travis yang
terus menunjukan rasa sayangnya.
Carilah kamar kosong, Travis! Ya Tuhan! Tyler mengeluh.
Kau berubah jadi iri setengah mati, Thomas menggodanya.
Itu karena mereka membuat aku mual. Aku tidak iri, brengsek, Tyler mendesis marah.
Biarkan mereka, Ty, Jim memperingatkan.
Saat kita duduk untuk menikmati makan malam, Jim memaksa Travis untuk memotong kalkunnya, dan aku
tersenyum saat dia dengan bangga berdiri dan mematuhinya. Aku sedikit cemas hingga pujian menghilangkan
rasa cemasku. Pada saat aku menghidangkan pie, tidak ada sepotong makanan pun yang tersisa di meja.
Apa aku cukup membuatnya? Aku tertawa.

Jim tersenyum, menarik garpu dari mulutnya untuk bersiap memakan makanan penutup. Kau membuatnya
cukup banyak, Abby. Kami hanya memuaskan diri hingga tahun depan lagikecuali kau ingin melakukan ini
lagi saat Natal. Kau seorang Maddox sekarang. Aku mengharapkan kedatanganmu setiap hari libur, dan bukan
untuk memasak.
Aku melirik ke arah Travis yang senyumannya telah hilang, dan hatiku tenggelam. Aku harus cepat
memberitahunya. Terima kasih, Jim.
Jangan bilang begitu padanya, Ayah, kata Trenton. Dia harus masak. Aku belum pernah makan seperti ini
sejak aku berumur lima tahun! Dia memasukkan setengah potong pie kacang pikan ke dalam mulutnya,
bersenandung dengan penuh kenikmatan.
Aku merasa seperti di rumah, duduk di meja bersama sekumpulan pria yang semuanya bersandar di kursi,
mengusap perutnya yang penuh. Emosi membanjiriku saat aku membayangkan Natal, dan Paskah, dan semua
hari libur yang akan aku habiskan di meja ini. Aku tidak menginginkan lain selain ingin menjadi bagian dari
keluarga kacau dan berisik yang aku kagumi ini.
Ketika pie habis, saudaranya Travis membersihkan meja dan si kembar bertugas mencuci piring.
Aku yang akan mengerjakannya, aku berkata sambil berdiri.
Jim mengelengkan kepala. Tidakk usah. Mereka akan mengerjakannya. Kau ajak saja Travis ke sofa dan
beristirahat. Kalian berdua sudah bekerja keras, Sis.
Si kembar saling mencipratkan air cucian piring dan Trenton mengumpat ketika dia tergelincir di atas
genangan air dan menjatuhkan satu piring. Thomas memarahi saudaranya, mengambil sapu dan pengki untuk
membersihkan pecahan kaca. Jim menepuk bahu anaknya, lalu memelukku sebelum masuk ke kamarnya untuk
tidur.
Travis menarik kakiku ke atas pangkuannya dan melepaskan sepatuku, memijit telapak kakiku dengan ibu
jarinya. Aku menyandarkan kepalaku ke belakang dan menghela nafas.
Ini adalah Thanksgiving terbaik kami setelah ibu meninggal.
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ekspresinya. Dia tersenyum, namun diwarnai oleh kesedihan. Aku
senang aku berada di sini untuk melihatnya.
Ekspresi Travis berubah dan aku menyiapkan diriku pada apa yang akan dia katakan. Jantungku berdebar di
dadaku, berharap dia akan memintaku kembali sehingga aku bisa mengatakan ya. Las Vegas tampak seperti
sudah sangat lama, duduk di rumah keluarga baruku.
Aku berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku di Vegas. Itu bukan diriku. Aku berpikir tentang segala
sesuatu yang bisa kita beli dengan uang itu, dan hanya itu yang aku pikirkan. Aku tidak melihat betapa itu
menyakitimu karena aku ingin mengajakmu kembali ke sana, tapi di dalam hatiku, aku pikir aku tahu. Aku
pantas untuk ditinggalkan olehmu. Aku pantas menerima semua waktu tidurku yang hilang, dan rasa sakit yang
aku rasakan. Aku membutuhkannya untuk menyadari betapa aku membutuhkanmu, dan apa yang akan aku
lakukan untuk membuatmu tetap berada dalam hidupku.
Aku menggigit bibirku, tidak sabar menunggu saat aku akan berkata ya. Aku ingin dia membawaku kembali ke
apartemennya dan menghabiskan sisa malam ini dengan merayakannya. Aku tidak sabar untuk bersantai di
sofa barunya bersama Toto, menonton film dan tertawa seperti kita yang dulu.
Kau bilang kau sudah merasa cukup denganku, dan aku menerima itu. Aku orang yang berbeda setelah

bertemu denganmu. Aku berubahmenjadi lebih baik. Tapi tidak peduli sekeras apapun aku berusaha, aku
sepertinya tidak dapat melakukan hal yang benar di matamu. Kita berteman awalnya, dan aku tidak bisa
kehilanganmu, Pigeon. Aku akan selalu mencintaimu, tapi jika aku tidak bisa membuatmu bahagia, tidak
masuk akal untukku berusaha mendapatkanmu kembali. Aku tidak bisa membayangkan untuk bersama orang
lain, tapi aku akan bahagia selama kita masih berteman.
Kau ingin kita berteman? tanyaku, kata itu membakar mulutku.
Aku ingin kau bahagia. Apapun resikonya.
Bagian dalam diriku terluka karena kata-katanya, dan aku terkejut akan rasa sakit yang sangat besar yang aku
rasakan. Dia melepaskan diriku, dan itu tepat pada saat aku tidak menginginkannya. Aku dapat mengatakan
padanya bahwa aku telah merubah pikiranku dan dia akan menarik kembali semua yang telah dia katakan, tapi
aku tahu kalau itu tidak adil untuk kami berdua untuk bertahan pada saat dia telah melepaskan.
Aku tersenyum untuk menahan air mata. Lima puluh dolar kau akan berterima kasih padaku untuk ini pada
saat kau bertemu calon istrimu nanti.
Alis Travis menyatu saat wajahnya terlihat sedih. Itu taruhan yang mudah. Satu-satunya wanita yang aku
ingin nikahi baru saja mematahkan hatiku.
Aku tidak dapat tersenyum setelah itu. Aku mengusap mataku lalu berdiri. Aku pikir sudah waktunya kau
mengantarku pulang.
Ayolah, Pigeon. Aku minta maaf, itu tadi tidak lucu.
Bukan karena itu, Trav. Aku hanya lelah, dan aku sudah siap untuk pulang.
Dia menarik nafas dan mengangguk, berdiri. Aku memeluk saudaranya untuk berpamitan, dan meminta
Trenton untuk mengatakan selamat tinggal pada Jim untukku. Travis berdiri di pintu dengan tas kami saat
mereka semua setuju untuk pulang saat Natal, dan aku menahan senyumku cukup lama untuk keluar dari pintu.
Ketika Travis mengantarku ke asrama, wajahnya masih tetap terlihat sedih, namun rasa tersiksanya sudah
hilang. Akhir pekan ini bukan satu usaha untuk mendapatkanku kembali. Melainkan penutupan.
Dia membungkuk untuk mencium pipiku dan menahan pintu terbuka untukku, memperhatikan saat aku
berjalan masuk. Terima kasih untuk hari ini. Kau tak tahu betapa kau telah membuat keluargaku bahagia.
Aku berhenti di dasar tangga. Kau akan memberitahu mereka besok, kan?
Dia melihat keluar ke tempat parkir lalu melihat ke arahku. Aku sangat yakin mereka sudah mengetahuinya.
Kau bukan satu-satunya yang bisa poker face (wajah yg tak menunjukkan emosi), Pidge."
Aku menatapnya, terpana, dan untuk pertama kalinya sejak aku bertemu dengannya, dia pergi meninggalkanku
tanpa melihat ke belakang.
***
Ujian akhir semester adalah sebuah kutukan bagi semua orang, kecuali diriku. Aku tetap sibuk, belajar
bersama Kara dan America di kamarku atau di perpustakaan. Ketika jadwal kuliah berubah saat ujian, aku
bertemu Travis hanya sambil lalu. Aku pulang bersama America saat liburan musim semi, bersyukur karena
Shepley tetap tinggal bersama Travis sehingga aku tidak harus menderita karena melihat pertunjukan kasih
sayang mereka.

Empat hari sebelum liburan usai aku terkena flu, memberiku alasan bagus untuk tetap di atas tempat tidur.
Travis bilang dia ingin menjadi teman, tapi dia belum menelepon. Sangat lega memiliki beberapa hari untuk
berkubang dalam perasaan kasihan pada diri sendiri. Aku ingin mengeluarkan ini dari sistemku sebelum
kembali kuliah.
Perjalanan kembali ke Eastern terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar ingin memulai semester di musim
semi ini, namun aku lebih tidak sabar untuk bertemu dengan Travis lagi. Meskipun aku menyadari beberapa
kali bertemu dengannya dia tidak terpengaruh oleh beberapa wanita yang mendekatinya setelah mendengar
kabar tentang putusnya kami, dia tampak puas dengan pertemanan baru kami. Kami menghabiskan waktu satu
bulan berjauhan, membuatku cemas dan tidak tahu bagaimana harus bersikap di dekatnya.
Aku gelisah menunggu Travis saat makan siang, namun saat dia datang dia hanya mengedipkan satu matanya
padaku lalu duduk di ujung meja bersama teman-teman perkumpulannya. Aku berusaha untuk berkonsentrasi
pada pembicaraan America dan Finch tentang pertandingan football terakhir di musim ini, namun suara Travis
terus menarik perhatianku. Dia sedang menceritakan petualangan dan gesekannya dengan hukum yang dia
alami saat liburan, dan tentang kekasih barunya Trenton, mereka bertemu suatu malam saat mereka sedang
berada di di The Red Door. Aku menguatkan diri untuk mendengar nama seorang wanita yang dia bawa pulang
atau temui, tapi jika dia begitu, dia tidak menceritakan itu pada teman-temannya.
Bola berwarna merah dan emas metalik masih tergantung di langit-langit kafetaria, tertiup oleh pemanas
ruangan yang menyala. Aku menarik cardiganku, dan Finch melihatnya, memelukku di dekatnya dan
menggosok-gosok lenganku. Aku tahu aku terlalu banyak melihat ke arah Travis, menunggunya melihat ke
arahku, tapi dia tampak sudah lupa kalau aku duduk di meja ini.
Setelah dia menyelesaikan makan siangnya, hatiku bergetar saat dia berjalan di belakangku dan meletakan
tangannya di bahuku.
"Bagaimana pelajaranmu, Shep?" tanyanya.
Wajah Shepley seperti dicubit. "Hari pertama sangat menyebalkan. Berjam-jam kurikulum dan peraturan kelas.
Aku bahkan tak tahu mengapa aku kuliah pada minggu pertama. Bagaimana denganmu?"
"Ehmitu semua bagian dari permainan. Bagaimana denganmu, Pidge?" tanyanya.
"Sama," kataku, menjaga suaraku tetap kasual.
"Apakah liburanmu menyenangkan?" dia bertanya sambil mengoyangkanku ke kanan dan ke kiri.
"Lumayan menyenangkan," aku tersenyum.
"Baguslah. Aku ada kelas lain. Sampai nanti."
Aku melihatnya berlari menuju pintu, mendorong keduanya hingga terbuka, lalu menyalakan rokok sambil
jalan.
"Huh," kata America dengan nada tinggi. Dia memperhatikan Travis memotong jalan berumput melewati salju,
lalu menggelengkan kepalanya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Shepley.
America meletakan dagunya di atas telapak tangannya, merasa penasaran. "Itu sangat aneh, kan?"
"Kenapa?" Shepley bertanya sambil mengibaskan kepang pirang America ke belakang agar dia bisa

menyapukan bibirnya di leher America.


America tersenyum dan lebih mendekat pada ciuman Shepley. "Dia kelihatan hampir normalsenormal yang
Travis bisa. Ada apa dengannya?"
Shepley menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya. "Aku tak tahu. Dia sudah seperti itu lumayan lama."
"Bagaimana bisa terbalik denganmu, Abby? Dia baik-baik saja, sedangkan kau menderita," kata America, tidak
merasa khawatir akan terdengar orang lain.
"Kau menderita?" tanya Shepley dengan ekspresi terkejut.
Mulutku menganga dan wajahku terbakar karena rasa malu. "Aku tidak menderita!"
America memainkan salad di mangkuknya. Well, dia hampir sangat gembira."
"Sudahlah, Mare," aku memperingatkan.
Dia mengangkat bahunya dan memakan saladnya lagi. "Aku rasa dia berpura-pura."
Shepley menyikut America. "America? kau akan pergi ke pesta kencan pada hari Valentine bersamaku atau
tidak?"
"Tidak bisakah kau bertanya padaku seperti seorang kekasih yang normal? Dengan baik-baik?"
"Aku sudah menanyakannya padamuberkali-kali. kau terus mengatakan padaku untuk bertanya lagi nanti."
America merosot di kursinya, cemberut. "Aku tidak ingin pergi tanpa Abby."
Wajah Shepley menjadi kacau karena frustrasi. "Dia selalu bersama Travis sepanjang waktu terakhir kali kita
datang ke pesta itu.Kau hampir tidak bertemu dengannya."
"Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Mare," kataku, melemparkan sebatang seledri padanya.
Finch menyikutku. "Aku ingin mengajakmu, Cupcake, tapi aku tidak menyukai semua hal tentang kelompok
persaudaraan mahasiswa, maaf."
"Itu merupakan ide yang sangat bagus," kata Shepley, matanya berbinar.
Finch meringis pada pemikiran itu. "Aku bukan Sig Tau, Shep. Aku bukan apa pun. Kelompok persaudaraan
bertentangan dengan agamaku."
"Aku mohon, Finch?" America meminta.
"Dj vu," gerutuku.
Finch melihatku dari ujung matanya lalu menghela nafas. "Ini bukan masalah pribadi, Abby. Aku tidak bisa
mengatakan aku pernah pergi berkencandengan seorang wanita."
"Aku tahu." Aku menggelengkan kepala dengan acuh, menghilangkan rasa maluku. "Tidak apa-apa. Serius."
"Aku membutuhkanmu di sana," kata America. "Kita sudah bersumpah, ingat? Tidak boleh datang ke pesta
sendirian."

"Kau tidak benar-benar sendirian, Mare. Berhentilah menjadi terlalu dramatis," kataku, menjadi merasa tidak
nyaman dengan pembicaraan ini.
"Kau ingin yang dramatis? Aku membuang sampah dari tempat sampah yang ada di samping tempat tidurmu,
memegangi satu kotak tisu untukmu semalaman, dan terbangun untuk mengambilkan obat batuk untukmu dua
kali waktu kau sakit saat liburan! kau berhutang padaku!"
Aku merengut. "Aku sangat sering memegangi rambutmu agar tidak terkena muntahmu, America Mason!"
"kau bersin di wajahku!" kata America, menunjuk ke hidungnya.
Aku meniup poni dari mataku. Aku tidak bisa berdebat dengannya apabila dia sudah bertekad untuk
mendapatkan keinginannya. "Baiklah," kataku sambil menutup rapat gigiku.
"Finch?" aku bertanya padanya dengan senyuman terbaikku yang di paksakan. "Maukah kau pergi ke pesta
Valentine bodohnya Sig Tau bersamaku?"
Finch memelukku di sampingnya. "Ya. Tapi hanya karena kau menyebutnya pesta bodoh."
***
Aku berjalan bersama Finch ke kelas setelah makan siang, mendiskusikan tentang pesta kencan dan bagaimana
kami berdua mencemaskan itu. Kami memilih sepasang meja di kelas Fisiologi, dan aku menggelengkan
kepala saat Profesor memulai kurikulum keempatku hari itu. Salju mulai turun lagi, melayang mengenai
jendela, yang dengan sopan memohon masuk lalu jatuh dengan rasa kecewa ke tanah.
Setelah kuliah usai, seorang pria yang aku temui hanya satu kali di Sig Tau mengetuk mejaku saat dia berjalan
melewatiku, mengedipkan satu matanya padaku. Aku memberinya senyuman sopan lalu melihat ke arah Finch.
Dia melemparkan satu senyuman masam padaku, dan aku membereskan buku dan laptopku, memasukkannya
ke dalam tas ranselku dengan sedikit usaha.
Aku menyeret tas di atas bahuku, berjalan dengan susah payah menuju asrama di sepanjang jalan yang di beri
garam (agar salju mencair). Sekelompok kecil mahasiswa mulai saling melempar salju di atas rumput, dan
Finch bergidik karena penampilan mereka yang berlumuran bubuk putih.
Lututku gemetar, saat menemani Finch menghisap rokoknya. America bergegas ke samping kami, mengosokgosokkan kedua telapak tangannya yang memakai sarung tangan.
"Di mana Shep?" tanyaku.
"Dia pulang ke rumah. Travis membutuhkan bantuannya untuk sesuatu, kurasa."
"kau tidak pergi bersamanya?"
"Aku tidak tinggal di sana, Abby."
"Hanya dalam teori," Finch mengedipkan sebelah matanya pada America.
America memutar matanya. "Aku senang menghabiskan waktu bersama kekasihku, tuntut saja aku."
Finch membuang rokoknya ke salju. "Aku akan pergi dulu, Ladies. Sampai bertemu saat makan malam?"

Aku dan America mengangguk, tersenyum saat Finch mencium pipiku lalu pipi America. Dia berjalan di jalan
yang basah, berhati-hati agar dia tidak terpeleset dan menginjak salju.
America menggelengkan kepalanya saat melihat usahanya. "Dia sangat konyol."
"Dia orang Florida, Mare. Dia tidak terbiasa dengan salju."
Dia tertawa geli lalu menarikku ke pintu.
"Abby!"
Aku melihat ke belakang dan melihat Parker berlari melewati Finch. Dia berhenti, terengah berusaha mengatur
nafasnya beberapa saat sebelum mulai bicara. Jaket abu gembungnya bergerak naik turun pada setiap tarikan
nafasnya, dan aku tertawa geli melihat tatapan rasa ingin tahu America saat dia memperhatikan Parker.
"Aku inginwhew! Aku ingin bertanya apakah kau mau makan malam bersamaku malam ini."
"Oh. Aku ehmAku sudah berjanji pada Finch untuk makan bersamanya nanti malam."
"Baiklah, tidak masalah. Aku hanya ingin mencoba tempat burger baru di pusat kota. Semua orang bilang
sangat enak."
"Mungkin lain kali," kataku, lalu menyadari kesalahanku. Aku harap dia tidak akan menganggap jawabanku
yang asal sebagai penangguhan. Dia mengangguk dan memasukkan tangan ke sakunya, berjalan kembali ke
arah dia datang dengan cepat.
Kara sedang membaca buku barunya, meringis saat melihat aku dan America melangkah masuk. Sikapnya
tidak berubah sejak kami kembali dari liburan.
Sebelumnya, aku menghabiskan sebagian besar waktuku di apartemen Travis sehingga komentar dan sikap
Kara yang ketus dapat ditoleransi. Menghabiskan sore dan malam hari bersamanya selama dua minggu
sebelum semester berakhir, dan aku mulai menyesali keputusanku untuk tidak satu kamar dengan America.
"Oh, Kara. Betapa aku merindukanmu," kata America.
"Aku juga sama," Kara bergumam, matanya tetap pada buku.
America membicarakan tentang hari dan rencananya dengan Shepley untuk akhir pekan ini. Kami menjelajahi
internet mencari video lucu, tertawa sangat kencang hingga kami menghapus air mata di mata kami. Kara
mendengus beberapa kali karena kami mengganggunya, tapi kami mengabaikannya.
Aku bersyukur atas kunjungan America. Beberapa jam berlalu dengan cepat sehingga aku tidak menghabiskan
waktu sedikit pun untuk bertanya-tanya apakah Travis akan menelepon hingga America memutuskan untuk
kembali ke kamarnya.
America menguap dan melihat jam tangannya. "Aku akan pergi tidur, Abaw, sialan!" katanya, menjentikkan
jarinya. "Aku meninggalkan tempat make-up ku di apartemen Shepley."
"Itu bukan sebuah tragedi, Mare." Aku berkata, masih tertawa geli karena video terakhir yang kami tonton.
"Itu tidak akan menjadi tragedi jika aku tidak menyimpan pil KB-ku di situ. Ayo. Aku harus mengambilnya."
"Tidak bisakah kau menyuruh Shepley mengantarnya kemari?"

"Travis meminjam mobilnya. Travis sedang di The Red bersama Trent."


Aku merasa mual. "Lagi? Kenapa dia sering hang out bersama Trent?"
America mengangkat bahunya. "Apakah itu penting? Ayolah!"
"Aku tidak ingin bertemu Travis. Itu akan terasa aneh."
"Apakah kau pernah mendengarkan aku? Dia tidak ada di sana, dia sedang berada di The Red. Ayolah!" dia
merengek, menarik-narik lenganku.
Aku berdiri dengan sedikit perlawanan saat dia menarikku keluar dari kamar.
"Akhirnya," kata Kara.
***
Kami menepi di apartemen Travis, dan aku perhatikan motor Harley terparkir di bawah tangga dan bahwa
mobil Charger Shepley tidak ada. Aku bernafas lega, dan mengikuti America naik ke tangga yang licin.
"Hati-hati," dia memperingatkan.
Jika aku tahu betapa resahnya untuk kembali menginjakkan kaki di apartemen lagi, aku tidak akan
membiarkan America memaksaku datang kemari. Toto berlari dari pojok dengan kecepatan penuh, menerjang
kakiku ketika cakar kecilnya tidak dapat berhenti di lantai pintu masuk. Aku mengangkatnya, membiarkannya
menciumku dengan ciuman kecil. Setidaknya dia tidak melupakanku. Aku membawanya berkeliling
apartemen, menunggu saat America mencari tas itu.
"Aku tahu aku meninggalkannya di sini!" dia berkata dari kamar mandi, berjalan ke lorong menuju kamar
Shepley.
"Apa kau sudah mencari di lemari yang di bawah wastafel?" tanya Shepley.
Aku melihat jam tanganku. "Cepatlah, Mare. Kita harus pergi."
America menarik nafas frustrasi di kamar tidur.
Aku melihat jam tanganku lagi, lalu melompat kaget saat pintu depan terbuka di belakangku. Travis melangkah
masuk, tangannya memeluk Megan, yang cekikikan di depan mulutnya. Kotak di tangan Megan menarik
perhatian mataku, dan aku merasa mual saat aku menyadari itu apa: kondom. Tangan satu laginya di belakang
leher Travis, dan aku tidak dapat membedakan lengan siapa menggantung pada siapa.
Travis terkejut saat dia melihatku berdiri sendirian di tengah ruang tamu, dan ketika dia membeku, Megan
melihat ke atas dengan senyuman yang masih tersisa di wajahnya.
"Pigeon," kata Travis, terpana.
"Aku menemukannya!" kata America, berlari dari kamar Shepley.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Travis. Bau whiskey tercium bersamaan dengan salju yang tiba-tiba
turun, dan rasa marahku yang tidak terkontrol mengalahkan rasa tidak peduliku yang pura-pura.

"Senang melihatmu sudah merasa seperti dirimu yang dulu, Trav," kataku. Rasa panas yang terpancar dari
wajahku membakar mataku dan mengaburkan penglihatanku.
"Kami baru saja akan pergi," America menggeram, menarik tanganku saat kami melangkah melewati Travis.
Kami berlari menuruni tangga menuju mobil, dan aku bersyukur karena tinggal beberapa langkah lagi, air mata
menggenang di mataku. Aku hampir terjatuh terjengkang saat jaketku tersangkut di tengah tangga. Tangan
America terlepas dari tanganku dan dia berbalik ke belakang bersamaan denganku.
Tangan Travis mencengkeram jaketku, dan telingaku terbakar, tersengat udara malam yang dingin. Di bibir dan
tulang leher Travis terdapat bekas lipstick norak berwarna merah tua.
"Kau mau kemana?" tanya Travis, matanya terlihat setengah mabuk, dan setengah bingung.
"Pulang," bentakku, merapikan jaketku saat dia melepaskanku.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Aku dapat mendengar tumpukan salju yang hancur di bawah kaki America saat dia melangkah di belakangku,
dan Shepley berlari menuruni tangga untuk berdiri di belakang Travis, mata waspadanya melihat ke arah
kekasihnya.
"Maafkan aku. Jika aku tahu kau akan berada di sini, aku tidak akan datang."
Dia memasukkan tangan ke saku jaketnya. "Kau boleh datang kemari kapan saja kau mau, Pidge. Aku tidak
pernah menginginkanmu menjauh."
Aku tidak bisa mengendalikan keasaman dalam suaraku. "Aku tidak ingin mengganggu." Aku melihat ke
puncak tangga di mana Megan berdiri dengan ekspresi sombong. "Selamat menikmati malammu," aku berkata
sambil berbalik ke belakang.
Dia mencengkeram tanganku. "Tunggu. kau marah?"
Aku menarik jaketku dari genggamannya. "Kau tahuaku bahkan tidak tahu mengapa aku terkejut."
Alisnya ditarik masuk. "Aku tidak bisa menang denganmu. Aku tidak bisa menang denganmu! kau bilang kau
sudah muakaku sangat menderita di sini! Aku harus menghancurkan teleponku menjadi kepingan kecil agar
tidak meneleponmu setiap menit setiap hari aku harus berpura-pura semuanya baik-baik saja di kampus
agar kau bahagiadan kau marah padaku? kau menghancurkan hatiku!" kata terakhirnya itu bergema di
kegelapan malam.
"Travis, kau mabuk. Biarkan Abby pulang," kata Shepley.
Travis mencengkram bahuku dan menarikku ke arahnya. "Kau menginginkan aku, atau tidak? kau tak bisa
terus melakukan ini padaku, Pidge!"
"Aku tidak datang untuk menemuimu," kataku, mendelik padanya.
"Aku tidak menginginkan Megan," kata Travis, menatap bibirku. "Aku sangat tidak bahagia, Pigeon."
Pandangannya tidak peduli lalu dia mendekat, memiringkan kepalanya untuk menciumku.
Aku memegang dagunya, menahannya. "Ada bekas lipstiknya di bibirmu, Travis," kataku, merasa jijik.

Dia mundur satu langkah dan menarik kaosnya, mengelap bibirnya. Dia menatap garis merah di kain putih lalu
menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin melupakannya. Hanya untuk satu malam."
Aku mengelap air mata yang lolos. "Kalau begitu jangan biarkan aku menghentikanmu."
Aku mencoba untuk mundur ke mobil, tapi Travis menarik tanganku lagi. Pada saat berikutnya, America
dengan keras memukulkan kepalan tangannya ke lengan Travis. Travis melihat ke arah America, mengedipkan
matanya beberapa kali, tertegun tidak percaya. America mengepalkan tangannya lalu memukulkannya ke dada
Travis hingga dia melepaskanku.
"Tinggalkan dia sendiri, brengsek!"
Shepley menarik tangan Mare dan dia mendorongnya, berbalik untuk menampar wajah Travis. Suara
tangannya di pipi Travis sangat cepat dan kencang, dan aku tersentak mendengarnya. Semua orang membeku
beberapa saat, terkejut atas kemarahan America yang tiba-tiba.
Travis meringis, namun dia tidak membela dirinya sendiri. Shepley mencengkeram America lagi, memegang
pergelangan tangannya dan menariknya ke dalam mobil saat America memaki-maki.
America melawan, rambut pirangnya bergerak-gerak karena usahanya untuk melepaskan diri. Aku merasa
takjub pada tekadnya untuk memukul Travis. Rasa benci yang murni terpancar dari mata yang biasanya manis
dan riang.
"Teganya dirimu? Dia pantas mendapatkan yang lebih baik darimu, Travis!"
"America, STOP!" teriak Shepley, lebih kencang dari yang biasa aku dengar.
Lengannya jatuh di samping tubuhnya saat dia menatap tidak percaya pada Shepley. "kau membelanya?"
Walaupun dia terlihat gugup, dia berdiri tegak. "Abby sudah putus dengan dia. Dia hanya berusaha untuk
melanjutkan hidupnya."
Mata America menyipit lalu menarik lengannya dari genggaman Shepley. "Kalau begitu kenapa kau tidak pergi
mencari PELACUR secara acak," dia melihat ke arah Megan, "di The Red lalu membawanya pulang
untuk ditiduri, lalu beritahu aku jika itu membantumu melupakanku."
"Mare," Shepley menariknya tapi America menghindarinya, membanting pintu saat dia duduk di belakang
kemudi. Aku duduk di sampingnya, berusaha untuk tidak menatap Travis.
"Sayang, jangan pergi," Shepley memohon sambil membungkuk di jendela.
America menyalakan mobil. "Ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah di sini, Shep. Dan kau berada di
pihak yang salah."
"Aku berada di sisimu," dia berkata, matanya terlihat putus asa.
"Sudah tidak lagi," dia berkata sambil memundurkan mobil.
"America? America!" Shepley memanggilnya saat dia melaju dengan cepat, meninggalkan Shepley di
belakang.
Aku menarik nafas. "Mare, kau tidak bisa putus dengannya karena hal ini. Dia benar."

America menyentuh tanganku dan meremasnya. "Tidak, dia salah. Tidak ada satu pun hal yang benar dari apa
yang terjadi tadi."
***
Saat kami menepi di tempat parkir samping asrama, telepon America berbunyi. Dia memutar mata saat
menjawabnya. "Aku tidak ingin kau meneleponku lagi. Aku serius, Shep," kata America. "Tidak kau tidak
akankarena aku tidak ingin kau melakukannya, itu alasannya. Kau tidak bisa membela apa yang telah dia
lakukan, kau tidak bisa membenarkannya menyakiti Abby seperti itu dan tetap bersamakuitulah yang aku
maksud, Shepley! Itu bukan alasan! kau tidak melihat Abby meniduri pria pertama yang dia lihat! Bukan
Travis yang jadi masalahnya, Shepley. Dia tidak memintamu untuk membelanya! Ahaku muak
membicarakan ini. Jangan menelepon aku lagi. Selamat tinggal."
Dia mendorong dirinya keluar dari mobil dan melompat ke jalan lalu menaiki tangga, aku mencoba untuk
mengikuti langkahnya, menunggu untuk mendengar sisi lain pembicaraan.
Ketika teleponnya berbunyi lagi, dia mematikannya. "Travis meminta Shepley untuk mengantar Morgan
pulang. Dia ingin mampir saat dia menuju pulang."
"kau harus mengizinkannya, Mare."
"Tidak. kau sahabatku. Aku tidak bisa menerima apa yang telah aku lihat malam ini, dan aku tidak bisa
bersama seseorang yang membelanya. Akhir dari pembicaraan, Abby, aku serius."
Aku mengangguk dan dia memeluk bahuku, menarikku ke sampingnya saat kami berjalan menaiki tangga
menuju kamar kami. Kara sudah tidur, dan aku tidak mandi, naik ke tempat tidur dengan masih memakai
pakaian lengkap, jaket dan semuanya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan saat Travis melangkah masuk
bersama Megan, atau bekas lipstik di wajahnya. Aku mencoba untuk memblokir bayangan menjijikkan tentang
apa yang akan terjadi jika aku tidak berada di sana, dan aku melintasi beberapa emosi, menetap di
keputusasaan.
Shepley benar. Aku tidak berhak untuk marah, namun itu tidak membantu untuk mengabaikan rasa sakitnya.
***
Finch menggelengkan kepalanya ketika aku duduk di sampingnya. Aku tahu aku terlihat berantakan; aku
hampir tidak mempunyai energi untuk berganti pakaian atau menggosok gigi. Aku hanya tidur selama satu jam
tadi malam, tidak mampu menghilangkan pemandangan lipstik merah di bibir Travis dan rasa bersalah karena
mengakibatkan America dan Shepley putus.
America memilih untuk tetap berada di atas tempat tidur, menyadari setelah rasa marahnya hilang, rasa sedih
akan muncul. Dia mencintai Shepley, dan meskipun dia bertekad untuk mengakhirinya karena Shepley telah
memilih pihak yang salah, dia telah siap untuk merasakan reaksi dari keputusannya.
Setelah kelas usai, Finch berjalan bersamaku menuju kafetaria. Seperti yang aku takutkan, Shepley sedang
menunggu America di pintu. Ketika dia melihatku, dia tidak sungkan.
"Di mana Mare?"
"Dia tidak kuliah pagi ini."
"Dia di kamarnya?" dia berkata sambil berjalan ke asrama.

"Maafkan aku, Shepley," aku memanggilnya.


Dia berhenti dan berbalik arah, dengan wajah orang yang sudah mencapai batasnya. "Aku harap kau dan Travis
akan menyelesaikan masalah kalian! kau seperti tornado yang menyebalkan! Saat kau bahagia, penuh cinta,
kedamaian, dan kupu-kupu. Saat kau marah, kau membawa seluruh dunia menderita bersamamu!"
Dia berderap pergi dan aku menghembuskan nafas yang telah aku tahan dari tadi. "Itu berjalan dengan lancar."
Finch menarikku ke dalam kafetaria. "Seluruh dunia. Wow. kau pikir kau bisa membuat voodoomu bekerja
sebelum ujian hari Jumat?"
"Aku akan lihat apa yang bisa aku lakukan."
Finch memilih meja yang berbeda, dan aku merasa lebih dari senang mengikutinya ke sana. Travis duduk
bersama teman perkumpulannya, namun dia tidak membawa nampan dan dia tidak tinggal lama. Dia melihatku
hanya pada saat dia akan pergi, namun dia tidak berhenti.
"Jadi America dan Shepley putus juga, huh?" tanya Finch sambil mengunyah.
"Kami ke rumah Shep tadi malam dan Travis pulang bersama Megan dansemua menjadi kacau. Mereka
masing-masing berpihak.
"Aw."
"Tepat sekali. Aku merasa sangat tidak enak."
Finch menepuk punggungku. "kau tidak bisa mengontrol keputusan yang mereka buat, Abby. Jadi aku rasa ini
berarti kita tidak akan datang ke acara Valentine di Sig Tau?"
"Sepertinya begitu."
Finch tersenyum. "Aku tetap akan mengajakmu keluar. Aku akan mengajak kalian berdua, kau dan America
keluar. Itu akan menyenangkan."
Aku bersandar di bahunya. "kau memang yang terbaik, Finch."
Aku tidak peduli tentang Valentine, tapi aku senang aku punya rencana. Aku tidak dapat membayangkan
bagaimana menderitanya perasaan yang akan aku rasakan apabila harus melewatinya hanya berdua dengan
America, mendengar ocehannya tentang Shepley dan Travis sepanjang malam. Dia masih akan melakukannya
dia bukan America kalau tidak melakukannyasetidaknya itu akan sedikit berkurang apabila kita berada di
tempat umum.
***
Minggu demi minggu telah berlalu di bulan Januari, dan setelah usaha Shepley yang patut diacungi jempol
namun gagal untuk mendapatkan America kembali, aku menjadi lebih jarang bertemu mereka berdua, Shepley
dan Travis. Pada bulan Februari, mereka berdua tidak pernah datang lagi ke kafetaria, dan aku hanya melihat
Travis beberapa kali saat aku akan masuk kelas.
Seminggu sebelum hari Valentine, America dan Finch memaksaku pergi ke The Red, dan kami semua naik
mobil ke sana, aku sangat takut akan bertemu dengan Travis di sana. Kami melangkah masuk, dan aku
bernafas lega ketika melihat tidak ada tanda-tanda Travis berada di sana.

"Putaran pertama aku yang traktir," kata Finch, menunjuk sebuah meja lalu berjalan menerobos kerumunan
menuju bar.
Kami duduk dan memperhatikan lantai dansa yang awalnya kosong menjadi sangat penuh oleh mahasiswa/i
yang mabuk. Setelah putaran kelima kami, Finch menarik kami ke lantai dansa, dan aku akhirnya merasa
cukup santai untuk menikmatinya. Kami tertawa-tawa dan membentur satu sama lain, tertawa histeris ketika
seorang pria mengayunkan pasangan dansanya dan dia terlepas dari tangan pria itu, sehingga jatuh dan
meluncur di lantai dalam posisi menyamping.
America mengangkat tangan di atas kepalanya, menggoyangkan rambut keritingnya mengikuti musik. Aku
tertawa karena dansa ciri khasnya itu, lalu langsung berhenti ketika aku melihat Shepley berjalan di belakang
America. Shepley membisikkan sesuatu di telinganya dan America pun melihat ke belakang. Mereka berdebat
lalu America menarik tanganku, menuntunku ke meja kami.
"Tentu saja. Malam pertama kita pergi keluar, dan dia muncul," gerutunya.
Finch membawakan kami dua minuman lagi, dan juga tiga sloki minuman untuk kita bertiga. "Aku pikir kalian
membutuhkannya."
"Kau benar." America menenggak minumannya sebelum kami sempat bersulang dan aku menggelengkan
kepala, mendentingkan gelasku pada gelas Finch. Aku berusaha untuk tetap menatap wajah teman-temanku,
khawatir apabila Shepley berada di sini, Travis tidak akan berada jauh di belakangnya.
Lagu berikutnya terdengar dari speaker dan America berdiri. "Masa bodoh. Aku tidak akan duduk di sini
sepanjang malam.
"Bagus, girl!" Finch tersenyum, mengikutinya ke lantai dansa.
Aku mengikuti mereka, melihat sekeliling mencari Shepley. Dia telah menghilang, dan aku santai kembali,
berusaha menghilangkan perasaan kalau Travis akan muncul di lantai dansa bersama Megan. Seorang pria
yang biasa aku lihat di sekitar kampus berdansa di belakang America, dan dia tersenyum, menyambut
pengalihan perhatian itu. Aku curiga dia berusaha untuk memperlihatkan bahwa dia menikmatinya, dengan
harapan Shepley akan melihatnya. Aku berpaling sebentar, dan saat aku melihat kembali ke arah America,
pasangan dansanya telah menghilang. Dia mengangkat bahunya, terus menggoyangkan pinggulnya mengikuti
irama.
Lagu berikutnya diputar dan pria berbeda muncul di belakang America, temannya berdansa di sampingku.
Setelah beberapa saat, pasangan dansaku bermanuver di belakangku, dan aku merasa sedikit tidak nyaman saat
aku merasakan tangannya di pinggulku. Seperti dia membaca pikiranku, tangannya melepaskan pinggangku.
Aku melihat ke belakang, dan dia sudah menghilang. Aku melihat ke arah America, dan pria di belakang
America juga menghilang.
Finch tampak sedikit gugup, namun saat America menarik naik alisnya karena ekspresinya, Finch
menggelengkan kepalanya dan melanjutkan berdansa.
Ketika lagu ketiga, aku sudah berkeringat dan lelah. Aku kembali ke meja kami, meletakkan kepalaku yang
terasa berat di atas tanganku, dan tertawa saat aku melihat pria penuh harap lain lagi mengajak America
berdansa. America mengedipkan satu matanya padaku dari lantai dansa, dan aku terdiam membeku saat pria itu
ada yang menarik ke belakang dan menghilang di kerumunan.
Aku berdiri dan berjalan mengelilingi lantai dansa, mataku tetap menatap ke arah lubang tempat pria itu
ditarik, dan merasakan andrenalin terbakar bercampur dengan alkohol di pembuluh darahku saat melihat
Shepley memegang leher pria yang tampak terkejut itu. Travis berada di belakangnya, tertawa histeris hingga

dia melihat ke atas dan melihatku memperhatikan mereka. Dia memukul lengan Shepley, dan ketika Shepley
melihat ke arahku, dia mendorong korbannya ke lantai.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengerti apa yang sedang terjadi: mereka telah menarik semua
pria yang berdansa bersama kami keluar dari lantai dansa dan mengancam mereka agar menjauh dari kami.
Aku memicingkan mataku pada mereka berdua lalu berjalan ke arah America. Kerumunan orang sangat
banyak, dan aku harus mendorong beberapa orang agar tidak menghalangi jalanku. Shepley menarik tanganku
sebelum aku tiba di lantai dansa.
"Jangan beritahu dia!" kata Shepley, mencoba menahan senyumnya.
"Apa sebenarnya yang kau pikir kau lakukan, Shep?"
Dia mengangkat bahunya, masih merasa bangga pada dirinya sendiri. "Aku mencintainya. Aku tidak bisa
membiarkan pria lain berdansa dengannya."
"Lalu apa alasanmu untuk menarik pria yang berdansa denganku?" tanyaku, menyilangkan lengan di dadaku.
"Itu bukan aku," kata Shepley, dengan cepat melirik ke arah Travis. "Maaf, Abby. Kami hanya bersenangsenang."
"Tidak lucu."
"Apa yang tidak lucu?" tanya America, mendelik ke arah Shepley.
Dia menelan ludah, memberi pandangan memohon padaku. Aku berhutang budi padanya, maka aku menutup
mulutku.
Dia menarik nafas lega ketika menyadari aku tidak akan mengadukannya, lalu dia melihat ke arah America
dengan tatapan kagum yang manis. "Mau berdansa?"
"Tidak, aku tidak mau berdansa," jawabnya, berjalan kembali ke meja kami. Dia mengikutinya, meninggalkan
aku dan Travis berdiri bersama.
Travis mengangkat bahunya. "Mau berdansa?"
"Apa? Megan tidak ada di sini?"
Dia menggelengkan kepala. "Kau dulu manis kalau sedang mabuk."
"Senang rasanya telah mengecewakanmu," kataku, melangkah ke arah bar.
Dia mengikuti, menarik dua pria dari tempat duduknya. Aku menatap tajam ke arahnya beberapa saat, namun
dia mengabaikanku, duduk lalu memperhatikanku dengan ekspresi penuh harap.
"Apa kau tidak akan duduk? Aku akan membelikanmu bir."
"Kupikir kau tidak pernah membelikan minuman untuk wanita yang berada di bar."
Dia memiringkan kepalanya ke arahku dan merengut tidak sabar. "Kau berbeda."
"Itu yang selalu kau katakan padaku."

"Ayolah, Pidge. Katanya kita akan berteman?"


"Kita tidak bisa berteman, Travis. Sangat jelas."
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak ingin melihatmu melecehkan wanita yang berbeda setiap malam, dan kau tidak membiarkan
seorangpun berdansa denganku."
Dia tersenyum. "Aku mencintaimu. Aku tidak bisa membiarkan pria lain berdansa denganmu."
"Oh ya? Seberapa besar kau mencintaiku saat membeli sekotak kondom itu?"
Dia meringis dan aku berdiri, berjalan ke meja. Shepley dan America sedang berpelukan erat, dan menarik
perhatian saat mereka berciuman dengan penuh gairah.
"Aku rasa kita akan tetap pergi ke pesta kencan Valentine Sig Tau," kata Finch sambil mengernyit.
Aku menghela nafas. "Sialan."
***
America belum kembali lagi ke asrama sejak reuninya dengan Shepley. Dia sering tidak datang saat makan
siang, dan jarang menelepon. Aku tidak keberatan mereka menghabiskan waktu untuk menebus waktu yang
mereka habiskan saat putus. Sejujurnya, aku senang America terlalu sibuk untuk meneleponku dari apartemen
Shepley dan Travis. Terasa canggung bila mendengar suara Travis di belakang, dan aku merasa sedikit iri
bahwa dia menghabiskan waktu bersama Travis sedangkan aku tidak.
Aku dan Finch semakin sering bertemu, dan dengan egois bersyukur bahwa dia juga tidak punya kekasih
seperti aku. Kami masuk kelas, makan, dan belajar bersama, bahkan Kara mulai terbiasa melihatnya.
Jari-jariku mulai mati rasa karena udara dingin saat aku berdiri di luar gedung asrama sementara Finch
merokok.
"Maukah kau mempertimbangkan untuk berhenti merokok sebelum aku terkena hipotermia karena berdiri di
sini untuk memberimu dukungan moral?" tanyaku.
Finch tertawa. "Aku mencintaimu, Abby. Sangat mencintaimu, tapi tidak. Aku tidak akan berhenti."
"Abby?"
Aku berpaling dan melihat Parker berjalan di trotoar dengan tangan di dalam sakunya. Bibirnya yang penuh
terlihat kering di bawah hidungnya yang merah, aku tertawa ketika dia seolah meletakan rokok khayalan di
mulutnya dan menghembuskan kepulan udara yang berkabut.
"Kau akan menghemat banyak uang bila seperti ini, Finch," dia tersenyum.
"Kenapa hari ini semua orang mengejek kebiasaan merokokku?" dia bertanya, merasa terganggu.
"Ada apa, Parker?" tanyaku.
Dia mengeluarkan dua tiket dari sakunya. "Film Vietnam baru itu sudah keluar. Tempo hari kau bilang ingin
menontonnya, jadi kupikir aku akan membeli tiket untuk kita malam ini."

"Tidak ada tekanan," kata Finch.


"Aku bisa pergi bersama Brad jika kau sudah punya rencana," dia berkata sambil mengangkat bahu.
"Jadi ini bukan kencan?" tanyaku.
"Bukan, hanya teman."
"Dan kita lihat bagaimana ini berhasil untuk kalian." Ledek Finch.
"Tutup mulutmu!" aku tertawa cekikikan. "Itu kedengarannya menyenangkan, Parker, terima kasih."
Matanya berbinar. "Apa kau ingin makan pizza atau sesuatu sebelumnya? Aku tidak terlalu suka makanan di
bioskop."
"Pizza boleh," aku mengangguk.
"Itu uhitu bagus, kalau begitu. Filmnya mulai jam sembilan, jadi aku akan menjemputmu sekitar jam enam
tiga puluh?"
Aku mengangguk lagi dan Parker melambaikan tangan selamat tinggal.
"Ya Tuhan," kata Finch. "Kau wanita yang rakus, Abby. Kau tahu itu tidak akan berjalan dengan baik saat
Travis mendengarnya."
"Kau dengar Parker bilang tadi. Itu bukan kencan. Dan aku tidak bisa membuat rencana berdasarkan apa yang
bisa Travis terima atau tidak. Dia juga tidak meminta izinku dulu saat dia membawa Megan pulang."
"Kau tidak akan pernah melupakannya, ya?"
"Kemungkinannya tidak, tidak akan."
***
Kami duduk di pojok, dan aku menggosok-gosok tanganku yang memakai sarung tangan, agar hangat. Aku
tidak bisa menahan karena mengetahui kami duduk di tempat yang sama dengan aku dan Travis saat kami
pertama bertemu, lalu tersenyum karena teringat hari itu.
"Apa yang lucu?" tanya Parker.
"Aku menyukai tempat ini. Saat yang menyenangkan."
"Aku lihat gelangnya di pakai," kata Parker
Aku melihat ke bawah pada berlian yang mengkilap di pergelangan tanganku. "Sudah kubilang padamu aku
menyukainya."
Pelayan menyerahkan pada kami daftar menunya dan mengambil pesanan minuman kami. Parker
memberitahuku tentang jadwal musim Seminya, dan membicarakan tentang perkembangan pelajarannya untuk
MCAT (Ujian MAsuk Fakultas Kedokteran). Pada saat pelayan menyajikan bir pesanan kami, Parker masih
terus bicara. Dia terlihat gugup, dan aku bertanya-tanya apakah menurut Parker kami sedang berkencan,
mengingat apa yang telah dia katakan.

Dia berdehem. "Maafkan aku. Aku rasa aku memonopoli pembicaraan terlalu lama." Dia meminum birnya dan
menggelengkan kepala. "Hanya saja aku sudah lama tidak mengobrol denganmu, sehingga banyak yang ingin
aku bicarakan."
"Tidak apa-apa. Memang sudah sangat lama kita tidak mengobrol."
Tak lama kemudian, pintu berdenting. Aku berpaling lalu melihat Travis dan Shepley masuk. Hanya
membutuhkan satu detik bagi Travis untuk balik menatapku, namun dia tidak terlihat terkejut.
"Ya Tuhan," aku bergumam.
"Kenapa?" tanya Parker, berpaling ke belakang dan melihat mereka duduk di seberang kami.
"Ada tempat makan burger di seberang jalan yang bisa kita datangi," kata Parker dengan suara berbisik. Dia
masih segugup sebelumnya, itu telah membawanya ke level baru.
"Kurasa itu akan semakin canggung apabila kita pergi sekarang," gumamku.
Wajahnya terlihat sedih, merasa kalah. "Kau mungkin benar."
Kami mencoba melanjutkan pembicaraan kami, tapi terasa seperti dipaksakan dan menjadi tidak nyaman.
Pelayan menghabiskan waktu lebih lama di meja Travis, menyisirkan jari ke rambutnya dan bergeser dari satu
kaki ke kaki satu lagi. Dia akhirnya ingat untuk mengambil pesanan kami saat Travis menerima telepon.
"Aku pesan tortellini," kata Parker, melihat ke arahku.
"Dan aku memesan" aku berhenti bicara. Teralihkan saat Travis dan Shepley berdiri.
Travis mengikuti Shepley ke pintu, namun dia ragu-ragu, berhenti, dan berbalik. Ketika dia melihatku
memperhatikannya, dia berjalan lurus menelusuri ruangan. Pelayan itu tersenyum penuh harap, sepertinya dia
berpikir Travis mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Dia langsung kecewa saat Travis
berdiri di sampingku tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.
"Aku ada pertarungan dalam empat puluh lima menit, Pidge. Aku ingin kau berada di sana,"
"Trav"
Wajahnya sangat pandai mengendalikan emosinya, namun aku dapat melihat rasa tegang di sekitar matanya.
Aku tak yakin apa dia tidak ingin meninggalkan makan malamku dengan Parker berlanjut, atau dia benarbenar menginginkanku berada di sana bersamanya, tapi aku sudah membuat keputusan sesaat setelah dia
meminta.
"Aku membutuhkanmu untuk berada di sana. Ini pertarungan ulang dengan Bradly Peterson, anak dari State.
Penonton akan penuh, banyak uang yang beredardan Adam bilang Bradly sudah berlatih."
"Kau sudah pernah melawannya sebelumnya, Travis, kau tahu akan menang dengan mudah."
"Abby," kata Parker pelan.
"Aku membutuhkanmu di sana," kata Travis, rasa percaya dirinya menghilang.

Aku melihat Parker dengan senyuman menyesal. "Maafkan aku."


"Apakah kau serius?" tanyanya, alisnya naik ke atas. "Kau akan pergi di tengah-tengah makan malam?"
"Kau masih bisa menelepon Brad, kan?" tanyaku sambil berdiri.
Ujung bibir Travis naik saat dia melemparkan uang dua puluh dolar ke atas meja.
"Ini akan mengganti kerugianmu."
"Aku tidak peduli dengan uangnyaAbby"
Aku mengangkat bahuku. "Dia sahabat baikku, Parker. Jika dia membutuhkanku di sana, aku harus pergi."
Aku merasakan tangan Travis membungkus tanganku saat dia menuntunku. Parker memperhatikan dengan
pandangan terpana di wajahnya. Shepley sudah menghubungi orang-orang dari dalam mobilnya, menyebarkan
berita.
Travis duduk di belakang bersamaku, tetap memegang tanganku dengan erat.
"Aku baru menutup telepon dari Adam, Trav. Dia bilang anak-anak State datang dalam keadaan mabuk dan
membawa banyak uang. Mereka sudah mulai kesal, jadi mungkin kau ingin menjauhkan Abby dari mereka."
Travis mengangguk. "Kau dapat menjaganya."
"America di mana?" tanyaku.
"Dia sedang belajar untuk ujian Fisika."
"Lab nya sangat bagus," kata Travis. Aku tertawa satu kali lalu melihat ke arah Travis yang sedang tersenyum
kecil.
"Kapan kau melihat lab nya? kau tidak mengambil mata kuliah Fisika," tanya Shepley.
Travis tertawa geli dan aku menyikutnya. Dia menutup rapat bibirnya hingga keinginan tertawanya hilang lalu
mengedipkan satu matanya padaku, meremas tanganku sekali lagi. Jari-jarinya terjalin dengan jariku, dan aku
mendengar desahan pelan dari bibirnya. Aku tahu apa yang dia pikirkan karena aku merasakan hal yang sama.
Dalam sepotong waktu itu, seperti tidak ada yang berubah.
Kami menepi di tempat yang gelap di tempat parkir, dan Travis menolak untuk melepaskan tanganku hingga
kita merangkak ke dalam jendela bawah tanah di Gedung Sains Hellerton. Gedung itu di bangun setahun yang
lalu, sehingga udara belum lembab dan berdebu seperti ruang bawah tanah lainnya yang telah kami masuki.
Saat kita memasuki lorong, gemuruh penonton terdengar di telinga kami. Aku mengintipkan kepalaku keluar
untuk melihat lautan manusia, banyak dari mereka yang tidak kukenal. Semua orang memegang satu botol bir
di tangannya, namun mahasiswa State sangat mudah di bedakan dalam kerumunan. Mereka yang berjalan
terhuyung dengan mata sedikit tertutup.
"Tetap berada di dekat Shepley, Pigeon. Akan menjadi sedikit gila di sini," dia berkata dari belakangku. Dia
memeriksa kerumunan, menggelengkan kepala karena penonton yang banyak.
Bawah tanah Hellerton adalah tempat yang paling luas di kampus, sehingga Adam sering menjadwalkan
pertarungan di sini saat dia menginginkan penonton yang banyak. Bahkan dengan ruang tambahan, orang-

orang masih terhimpit diantara tembok dan harus mendorong orang lain untuk mendapat tempat yang bagus.
Adam muncul di pojok dan tidak berusaha untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya saat melihat aku berada
di situ. "Kupikir aku sudah bilang padamu bahwa kau tidak bisa membawa kekasihmu ke pertarungan lagi,
Travis."
Travis mengangkat bahunya. "Dia bukan lagi kekasihku."
Aku menjaga penampilanku tetap tenang, namun dia telah mengatakan itu dengan blak-blakan, itu
mengakibatkan rasa terusuk di dadaku.
Adam melihat ke arah jari kami yang terjalin lalu menatap Travis. "Aku tak akan pernah mengerti kalian
berdua." Dia menggelengkan kepala lalu melihat ke arah kerumunan. Orang-orang masih berdatangan dari
arah tangga, dan mereka yang di bawah sudah penuh sesak. "Kita melawan penghisap ganja gila malam ini,
jadi jangan macam-macam, ok?"
"Aku akan memastikan mereka terhibur, Adam."
"Bukan itu yang aku khawatirkan. Brady sudah berlatih."
"Begitu juga aku."
"Omong kosong," Shepley tertawa.
Travis mengangkat bahunya. "Aku berkelahi dengan Trent minggu kemarin. Bajingan itu sangat cepat."
Aku tertawa geli dan Adam menatap tajam ke arahku. "Kau sebaiknya menganggap ini serius, Travis," dia
berkata sambil menatap mata Travis. "Aku bertaruh banyak pada pertarungan ini."
"Dan aku tidak?" kata Travis, merasa kesal karena ceramah Adam.
Adam berbalik, memegang pengeras suara di mulutnya saat dia berdiri di atas kursi di atas banyaknya
penonton yang mabuk. Travis menarikku ke sampingnya saat Adam menyapa penonton lalu membacakan
peraturannya.
"Semoga berhasil," kataku, menyentuh dadanya. Aku tak pernah merasa cemas melihat pertarungannya sejak
pertarungannya dengan Brady dulu, namun aku tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak yang aku
rasakan sejak kami menginjakan kaki di Hellerton. Ada sesuatu yang salah, dan Travis merasakannya juga.
Travis menarik bahuku dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Dia menjauh dengan cepat, mengangguk
satu kali. "Hanya itu keberuntungan yang aku butuhkan."
Aku masih terpana pada hangat bibirnya Travis saat Shepley menarik lenganku ke dinding di belakang Adam.
Aku ditabrak dan disikut, mengingatkanku pada malam pertama aku menonton pertarungan Travis, namun
kerumunan mulai tidak sabar, dan beberapa mahasiswa State mulai berkelahi. Mahasiswa Eastern bersorak dan
bersiul pada Travis saat dia menerobos masuk The Circle, sedangkan mahasiswa State antara mencemooh
Travis dan bersorak pada Brady.
Aku berada di posisi terbaik untuk melihat Brady yang lebih tinggi dari Travis, berkedut tidak sabar untuk
mendengar pengeras suara berbunyi. Seperti biasa, ada seringai kecil di wajah Travis, tidak terpengaruh oleh
kegilaan di sekitarnya. Ketika Adam memulai pertarungan, Travis dengan sengaja membiarkan pukulan
pertama Brady masuk. Aku terkejut ketika wajahnya tersentak dengan keras ke samping karenanya. Brady
telah berlatih.

Travis tersenyum, giginya merah terang, lalu dia fokus mengikuti setiap pukulan yang Brady ayunkan.
"Mengapa dia membiarkan Brady memukulnya beberapa kali?" tanyaku pada Shepley.
"Aku rasa dia bukan membiarkannya lagi," kata Shepley, menggelengkan kepalanya. "Jangan khawatir, Abby.
Dia sedang bersiap-siap untuk menyamakan kedudukan."
Setelah sepuluh menit Brady sudah kehabisan nafas, namun dia masih tetap dapat mendaratkan pukulan keras
pada Travis. Travis memegang sepatu Brady saat dia mencoba menendangnya, dan menahan kakinya lebih
tinggi dengan satu tangan, mengakibatkan dia kehilangan keseimbangan. Penonton meledak saat Brady jatuh,
namun dia tidak lama berada di bawah. Dia berdiri, dengan dua garis merah tua mengalir dari hidungnya.
Beberapa saat berikutnya, dia mendaratkan dua pukulan lagi di wajah Travis. Darah keluar dari luka di alis
Travis dan menetes di pipinya.
Aku menutup mataku lalu berpaling berharap Travis akan mengakhiri pertarungan dengan cepat. Gerakan kecil
tubuhku membuatku berada di antara penonton, dan sebelum aku dapat memperbaiki posisiku, aku sudah
beberapa kaki jauhnya dari Shepley yang tengah asyik menonton pertarungan. Aku berusaha menerobos
kerumunan dengan sia-sia, hingga aku dapat merasakan dinding di belakangku.
Seorang pria kehilangan keseimbangannya dan menggunakan bajuku untuk membantunya berdiri,
menumpahkan bir di tubuhku. Aku basah kuyup dari leher ke pinggang, berbau pahit dan amis bir murah. Pria
itu masih memegang bajuku tergenggam di tangannya saat dia berusaha menarik dirinya dari lantai, dan aku
melepaskan dua jarinya sekaligus hingga dia melepaskanku. Dia tidak melihat dua kali ke arahku, mendorong
dirinya ke depan menuju kerumunan.
"Hey! Aku mengenal dirimu!" teriak seseorang di telingaku.
Aku menjauh, langsung mengenalinya. Itu adalah Ethan, pria yang Travis ancam di barpria yang entah
bagaimana caranya lolos dari tuntutan pelecehan seksual.
"Ya," kataku, mencari celah di antara kerumunan saat aku merapikan bajuku.
"Itu gelang yang bagus," dia berkata, jarinya menelusuri lenganku dan menarik pinggangku.
"Heh," aku memperingatkan, menarik lenganku menjauh.
Dia mengusap lenganku, terhuyung dan menyeringai. "Kita dihentikan dengan tidak sopan terakhir kali aku
mencoba bicara denganmu."
Aku berjinjit, melihat Travis mendaratkan dua pukulan di wajah Brady, sambil memeriksa kerumunan di selaselanya. Dia mencariku bukannya fokus pada pertarungan. Aku harus kembali ke tempatku sebelum dia terlalu
teralihkan perhatiannya.
Aku hampir berhasil berjalan menuju kerumunan saat jari Ethan masuk ke bagian belakang celana jinsku.
Punggungku menabrak dinding sekali lagi.
"Aku belum selesai bicara denganmu," kata Ethan, menatap baju basahku dengan niat cabul.
Aku menarik tangannya dari belakang jinsku, menancapkan kukuku. "Lepaskan!" aku berteriak ketika dia
menolak.
Dia tertawa, dan aku mencari wajah yang aku kenal di kerumunan saat dia menarik ku ke arahnya. "Aku tidak

akan melepaskanmu."
Aku mencoba mendorong Ethan, namun lengannya sangat berat dan genggamannya sangat erat. Karena panik,
aku tidak dapat membedakan mana mahasiswa Eastern mana mahasiswa State. Tidak ada yang menyadari
pergumulanku dengan Ethan, dan karena sangat berisik, tidak ada seorangpun yang dapat mendengar protesku
juga. Dia mendekat, tangannya meraih bagian belakangku dan meremasnya.
"Aku selalu berpikir pantatmu sangat indah." Dia berkata sambil menghembuskan bau bir basi di wajahku.
"LEPASKAN!" aku berteriak, mendorongnya.
Aku melihat ke arah Shepley, dan melihat Travis akhirnya melihatku di kerumunan. Dia langsung mendorong
beberapa orang di sekitarnya.
"Travis!" aku berteriak, namun teredam oleh suara yang bersorak. Aku mendorong Ethan dengan satu tangan
dan berusaha meraih Travis dengan tangan lain.
Travis membuat sedikit kemajuan sebelum di dorong kembali ke dalam The Circle. Brady mengambil
keuntungan dari perhatian Travis yang teralihkan dan menghunjamkan sikunya ke samping kepala Travis.
Penonton lebih tenang sedikit saat Travis menonjok seseorang di kerumunan, mencoba satu kali lagi mendekat
ke arahku.
"Pergi menjauh darinya!" teriak Travis.
Di antara jarak aku dengan usaha putus asa Travis untuk menggapaiku, beberapa kepala berpaling melihat ke
arahku. Ethan tidak menyadarinya, tetap berusaha menahanku cukup lama untuk menciumku. Dia
mengusapkan hidungnya di sepanjang tulang pipiku lalu menuju leherku.
"Kau sangat wangi," dia melantur.
Aku mendorong wajahnya agar menjauh, namun dia mencengkram pergelangan tanganku, tidak terpengaruh.
Dengan mata terbuka lebar, aku mencari Travis lagi. Dia berusaha keras mengarahkan Shepley padaku. "Bawa
dia! Shep! Bawa Abby!" dia berkata, masih berusaha menerobos kerumunan. Bradly menariknya kembali ke
The Circle dan menonjoknya lagi.
"Kau sangat seksi, kau tahu itu?" kata Ethan.
Aku menutup mataku saat aku merasakan bibirnya di leherku. Rasa marah muncul di dalam diriku dan aku
mendorongnya lagi. "Aku bilang LEPASKAN!" teriakku, menghunjamkan lututku ke selangkangannya.
Dia membungkuk, satu tangan dengan otomatis melayang ke sumber rasa sakit, tangan satunya lagi tetap
mencengkram bajuku, menolak untuk melepaskan.
"Sialan kau!" teriaknya.
Beberapa saat berikutnya, aku sudah terlepas. Mata Shepley tampak liar, menatap Ethan saat dia mencengkram
lehernya bajunnya. Dia menahan Ethan di dinding dan meninju wajahnya beberapa kali, berhenti hanya pada
saat darah mengalir dari mulut dan hidung Ethan.
Sheple menarikku ke tangga, mendorong siapapun yang menghalanginya. Dia membantuku naik ke jendela
yang terbuka, lalu menuruni tangga darurat, menangkapku saat aku melompat beberapa kaki ke tanah.

"Kau baik-baik saja, Abby? Apa dia menyakitimu?" tanya Shepley.


Satu lengan sweater putihku sobek dan hanya tergantung pada seutas benang, selain itu aku tidak terluka. Aku
mengelengkan kepala, masih terguncang.
Shepley memegang pipiku dengan lembut, menatap ke dalam mataku. "Abby, jawab aku. Apa kau baik-baik
saja?"
Aku mengangguk. Saat andrenalin meresap ke aliran darahku, air mata mulai mengalir. "Aku baik-baik saja."
Dia memelukku, menekan pipinya di dahiku, lalu menegang. "Sebelah sini, Trav!"
Travis berlari dengan kecepatan penuh, berhenti hanya pada saat dia mendekapku di pelukannya. Dia
berlumuran darah, yang menetes dari matanya dan ada noda darah di bibirnya.
"Ya Tuhan apa dia terluka?" tanyanya.
Tangan Shepley masih di atas punggungku. "Dia bilang dia baik-baik saja."
Travis berhadapan denganku sambil memegang bahuku dan mengerutkan dahinya. "Apa kau terluka, Pidge?"
Pada saat aku menggelengkan kepala, aku melihat gerombolan pertama dari bawah tanah muncul dari tangga
darurat. Travis tetap memelukku dengan erat, dengan diam memperhatikan wajah mereka. Seorang pria yang
gemuk dan pendek melompat dari tangga dan terdiam membeku saat dia menyadari kami berdiri di trotoar.
"Kau," kata Travis, geram.
Dia melepaskanku, berlari menyebrangi rumput, menjatuhkan pria itu ke tanah.
Aku melihat ke arah Shepley, merasa bingung dan ngeri.
"Itu pria yang terus mendorong Travis kembali masuk ke The Circle," kata Shepley.
Kerumunan kecil berkumpul di sekitar mereka saat mereka baku hantam di tanah. Travis memukul wajah
orang itu terus-menerus. Shepley menarikku ke dadanya, masih terengah-engah. Pria itu berhenti melawan, dan
Travis meninggalkannya di tanah dalam genangan darah. Mereka yang berkerumun di sekitarnya bubar,
memberi Travis jalan, melihat kemarahan di matanya.
"Travis!" teriak Shepley, menunjuk ke arah lain gedung.
Ethan tertatih-tatih di tempat gelap, menggunakan dinding bata gedung Hellerton untuk menahannya tetap
berdiri. Saat dia mendengar Shepley berteriak pada Travis, dia berbalik tepat pada saat penyerangnya
menyerang. Dia terkulai di halaman, melempar botol bir di tangannya ke bawah dan bergerak secepat kaki bisa
membawanya ke jalan. Saat dia tiba di mobilnya, Travis menangkap dan membantingnya ke mobil.
Ethan memohon pada Travis, bahkan ketika Travis mencengkram bajunya dan menghantamkan kepalanya ke
pintu mobil. Dia berhenti memohon ketika suara bergedebuk yang keras dari kepalanya yang mendarat di
jendela depan mobil, lalu Travis menariknya ke depan mobil dan menghancurkan lampu depan mobil dengan
wajahnya Ethan. Travis meluncurkan Ethan di atas kap mobil, menekan wajah Ethan ke bemper sambil
memaki-makinya.
"Sialan," kata Shepley. Aku berpaling dan melihat Hillerton berkilau berwarna merah dan biru berasal dari

lampu mobil patroli polisi yang dengan cepat mendekat. Semua berbondong-bondong melompat dari puncak
tangga, seperti air terjun orang-orang menuruni tangga darurat, dan mahasiswa yang kebingungan berlari ke
segala arah.
"Travis!" aku berteriak.
Travis meninggalkan tubuh Ethan yang terkulai di kap mobil dan berlari ke arah kami. Shepley menarikku ke
tempat parkir, membuka pintu mobilnya. Aku melompat ke kursi belakang, tidak sabar menunggu mereka
berdua masuk ke dalam mobil. Mobil seperti terbang dari tempat parkir ke jalan, berdecit saat berhenti karena
mobil polisi kedua memblokir jalan.
Travis dan Shepley duduk di kursi mereka, dan Shepley memaki saat dia melihat mobil yang terjebak mundur
dari satu-satunya jalan keluar. Dia menginjak gas, dan mobil Charger Shepley naik turun saat melewati trotoar.
Dia berputar di atas rumput, dan melaju diantara dua gedung, mobilnya memantul lagi saat dia mencapai jalan
di belakang kampus.
Ban bedecit dan mesin mobil meraung saat Shepley menginjakan kakinya di atas pedal gas. Aku meluncur dari
kursi ke badan mobil ketika kita berbelok, sikuku yang sudah bengkak terbentur. Lampu jalan terlihat seperti
coretan karena kita melaju dengan cepat ke apartemen, tampak seperti satu jam telah berlalu pada saat kita
menepi ke tempat parkir.
Shepley memarkirkan mobilnya lalu mematikan mesin. Mereka membuka pintu mobil dalam keheningan, dan
Travis meraih ke kursi belakang, mengangkat tubuhku.
***
"Apa yang terjadi? Ya ampun, Trav, apa yang terjadi pada wajahmu?" tanya America, berlari menuruni tangga.
"Aku akan menceritakannya di dalam," kata Shepley, menuntunnya ke pintu.
Travis mengangkatku ke atas, melewati ruang tamu dan menelusuri lorong tanpa sepatah katapun,
menidurkanku di tempat tidur. Toto mencakar-cakar kakiku, melompat ke tempat tidur untuk menjilat
wajahku.
"Jangan sekarang, buddy," kata Travis dengan suara pelan, membawanya ke luar lalu menutup pintu.
Dia berlutut di hadapanku, menyentuh lengan bajuku yang sobek. Matanya mulai dalam tahap memar, merah
dan bengkak. Kulit marah di atasnya sobek dan basah karena darah. Bibirnya berlumuran darah, dan beberapa
ruas jarinya sobek. Kaosnya yang berwarna putih sekarang kotor karena campuran darah, rumput dan tanah.
Aku menyentuh matanya dan dia meringis, menjauh dari tanganku. "Maafkan aku, Pigeon. Aku mencoba
untuk meraihmu. Aku mencoba" dia mendehem karena rasa marah dan cemas yang mencekiknya.
"Aku tidak bisa meraihmu."
"Maukah kau meminta America mengantarku ke asrama?" tanyaku.
"kau tidak bisa kembali kesana malam ini. Tempat itu di kelilingi banyak polisi. Tingalah di sini. Aku akan
tidur di sofa."
Aku menarik nafas bimbang, berusaha menahan air mata. Dia sudah cukup merasa buruk. Travis berdiri dan
membuka pintu.

"Kau mau kemana?" tanyaku.


"Aku mau mandi. Aku akan segera kembali."
America menerobos masuk melewati Travis, duduk di sampingku di atas tempat tidur, menarikku ke dadanya.
"Maafkan aku karena tidak ada di sana!" dia menangis.
"Aku baik-baik saja," kataku, menghapus noda air mata di wajahku.
Shepley mengetuk pintu saat dia masuk, membawakanku gelas kecil yang setengahnya terisi whiskey.
"Ini," dia berkata sambil menyerahkannya pada America. Dia meletakan tanganku di gelas dan
membangkitkanku.
Aku menenggak minumanku, membiarkan cairan itu mengalir di tenggorrokanku. Wajahku berkerut saat
whiskey membakar jalannya menuju perutku. "Terima kasih," kataku, menyerahkan gelas kembali pada
Shepley.
"Aku seharusnya mendapatkan dia lebih cepat. Aku tidak menyadari kau tidak ada. Maafkan aku, Abby. Aku
seharusnya"
"Itu bukan kesalahanmu, Shep. Itu bukan kesalahan siapapun."
"Itu kesalahan Ethan," geramnya. "Bajingan itu menghimpitnya di dinding."
"Sayang!" kata America, menarikku ke sampingnya.
"Aku ingin minuman lagi," kataku, mendorong gelas kosongku pada Shepley.
"Aku juga," kata Shepley, kembali ke dapur.
Travis masuk ke kamar memakai handuk di pinggangnya, memegang bir dingin yang di letakan di atas
matanya. America keluar kamar tanpa mengatakan satu patah katapun lalu Travis memakai celana boxernya,
kemudian dia menarik bantalnya. Shepley membawa empat gelas kali ini, semua penuh hingga meluap terisi
cairan berwarna kuning tua. Kami semua meminumnya tanpa ragu.
"Sampai bertemu besok pagi," kata America, mencium pipiku.
Travis mengambil gelasku, menaruhnya di meja lampu tidur. Dia memperhatikanku beberapa saat lalu berjalan
menuju lemarinya, menarik kaos dari gantungan baju dan melemparnya ke tempat tidur.
"Maafkan aku mengacaukan semuanya," dia berkata, memegang bir di matanya.
"kau terlihat berantakan. kau akan merasa sangat sakit besok."
Dia menggelengkan kepala, merasa jijik. "Abby, kau dilecehkan malam ini. Jangan khawatirkan aku."
"Sangat sulit kalau matamu sangat bengkak," kataku, meletakan kaosnya di pangkuanku.
Rahangnya tegang. "Ini semua tidak akan terjadi kalau aku meninggalkanmu bersama Parker. Tapi aku tahu
jika aku mengajakmu, kau akan ikut. Aku ingin membuktikan padanya kalau kau masih milikku, tapi kau jadi
terluka."

Aku tidak siap untuk mendengar kata itu, seolah aku salah mendengar. "Itu alasanmu mengajakku datang
malam ini? Untuk membuktikan sesuatu pada Parker?"
"Itu sebagian alasanku mengapa mengajakmu," dia berkata dengan sedikit malu.
Darah terkuras dari wajahku. Untuk pertama kalinya sejak kita bertemu, dia membodohiku. Aku pergi ke
Hellerton bersamanya berpikir kalau dia membutuhkanku, berpikir terlepas dari semuanya, kita kembali pada
keadaan kita sebelumnya. Aku hanya seperti hydrant air; dia sedang menandai wilayahnya, dan aku
membiarkannya melakukan itu.
Mataku berkaca-kaca. "Keluar!"
"Pigeon," dia berkata sambil maju satu langkah ke arahku.
"KELUAR!" kataku, mengambil gelas dari meja dan melemparkannya ke arah Travis. Dia menghindar, dan
gelasnya hancur terkena dinding menjadi ratusan serpihan kecil. "Aku benci kau!"
Dia menghela nafas seolah udara melumpuhkannya, dan dengan ekspresi terluka, dia meninggalkanku sendiri.
Aku melepas pakaianku dan memakai kaos tadi. Suara yang meledak keluar dari tenggorokanku
mengejutkanku. Sudah lama sejak terakhir aku menangis terisak tidak terkendali. Tidak lama kemudian,
America berlari masuk ke dalam kamar. Dia naik ke atas tempat tidur dan melingkarkan tangannya di
sekelilingku. Dia tidak bertanya ada apa atau mencoba menghiburku, dia hanya memelukku saat aku
membiarkan air mata membuat sarung bantal basah kuyup.
***
Sesaat sebelum matahari menembus cakrawala, aku dan America diam-diam meninggalkan apartemen. Kami
tidak bicara selama perjalanan ke asrama, dan aku merasa bersyukur karena keheningan itu. Aku tak ingin
bicara, ataupun berpikir, aku hanya ingin memblokir dua belas jam terakhir ini. Badanku terasa berat dan
pegal, seolah aku telah mengalami kecelakaan mobil. Saat kami masuk ke kamarku, aku melihat tempat tidur
Kara sudah rapi.
"Bolehkan aku meminjam catokanmu?" tanya America.
"Mare, aku baik-baik saja. Pergilah kuliah."
"Kau tidak baik-baik saja. Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian saat ini."
"Hanya itu yang aku inginkan saat ini."
Dia membuka mulutnya untuk berdebat, namun dia menghela nafas. Tidak akan ada yang dapat mengubah
pikiranku. "Aku akan kembali untuk memeriksamu sepulang kuliah. Beristirahatlah."
Aku mengangguk, mengunci pintu di belakangnya. Tempat tidur berderak di bawahku saat aku menjatuhkan
diri di atas tempat tidur dengan gusar. Selama ini aku percaya bahwa aku penting untuk Travis; bahwa dia
membutuhkanku. Namun saat ini, aku merasa seperti mainan baru Travis seperti yang pernah Parker katakan.
Dia ingin membuktikan pada Parker bahwa aku masih miliknya. Miliknya.
"Aku bukan milik siapapun," aku berkata pada kamar yang kosong.
Saat kata-kata itu meresap, aku diliputi kesedihan yang kurasakan dari malam sebelumnya. Aku bukan milik
siapa-siapa.

Aku tidak pernah merasa kesepian seperti ini selama hidupku.


***
Finch meletakan botol berwarna coklat di hadapanku. Kita berdua merasa tidak ingin merayakannya, namun
setidaknya aku terhibur dengan fakta bahwa, menurut America, Travis akan menghindari pesta kencan ini
apapun yang terjadi. Kertas kraf berwarna merah dan pink membungkus kaleng bir kosong yang tergantung di
langit-langit, dan gaun berwana merah dalam berbagai model berlalu-lalang. Semua meja di taburi kertas foil
kecil berbentuk hati, dan Finch memutar matanya karena dekorasi yang konyol ini.
"Hari Valentine di rumah perkumpulan mahasiswa. Romantis," dia berkata sambil memperhatikan sepasang
kekasih yang melintas.
Shepley dan America sudah berada di lantai bawah berdansa dari semenjak kami tiba, aku dan Finch
memprotes kehadiran kami dengan cemberut di dapur. Aku meminum isi botol dengan cepat, bertekad untuk
mengaburkan ingatan pesta kencan terakhir yang aku datangi.
Finch membuka tutup botol lain dan memberiku satu botol lagi, menyadari kebutuhanku untuk melupakan.
"Aku akan mengambil lagi," kata Finch, kembali menuju kulkas.
"Bir yang di dalam tong yang untuk tamu, yang di botol untuk anggota Sig Tau," kata seorang wanita ketus di
sampingku.
Aku melihat ke arah gelas merah di tangannya. "Atau mungkin kekasihmu memberitahumu itu hanya karena
ingin kencan yang murah."
Dia memicingkan matanya dan pergi menjauh dari meja dapur, membawa gelasnya ke tempat lain.
"Siapa itu?" tanya Finch, meletakkan empat botol lagi.
"Hanya salah seorang gadis dari perkumpulan mahasiswi murahan," kataku, memperhatikan wanita itu
menjauh.
Pada saat Shepley dan America bergabung bersama kami, sudah ada enam botol kosong di meja di sampingku.
Gigiku mati rasa, dan terasa lebih mudah untuk tersenyum. Aku sudah lebih merasa lebih nyaman, bersandar
ke meja dapur. Travis sudah membuktikan tidak akan muncul, sehingga aku bisa menjalani sisa waktu pesta
dengan tenang.
"Apa kalian akan berdansa atau tidak?" tanya America.
Aku melihat ke arah Finch. "Apakah kau mau berdansa denganku, Finch?"
"Apa kau akan mampu berdansa?" dia bertanya, mengangkat alisnya.
"Hanya ada satu cara untuk mencari tahu," kataku, mendorongnya menuruni tangga.
Kami melompat dan bergoyang hingga keringat terbentuk di bawah gaunku. Pada saat aku pikir paru-paruku
akan meledak, lagu berirama pelan terdengar dari speaker. Finch menatap tidak nyaman ke sekeliling kami,
melirik setiap pasangan saling mendekat.
"Kau akan memaksaku berdansa diiringi lagu ini, kan?" tanyanya.
"Ini hari Valentine, Finch. Anggap saja aku seorang pria."

Dia tertawa, menarikku ke pelukannya. "Sangat sulit melakukannya saat kau mengenakan gaun pendek
berwarna pink."
"Terserah saja. Seperti kau tidak pernah melihat seorang pria memakai gaun saja."
Dia mengangkat bahunya. "Benar juga."
Aku tertawa geli, menyandarkan kepalaku di bahunya. Alkohol membuat tubuhku terasa berat dan lesu saat
aku mencoba bergerak diiringi tempo yang lambat.
"Keberatan jika aku menyela, Finch?"
Travis berdiri di samping kami, setengah senang dan setengah bersiap menunggu reaksiku. Darah di pipiku
langsung terbakar.
Finch melihat ke arahku, lalu pada Travis. "Tidak."
"Finch," aku mendesis saat dia berjalan menjauh. Travis menarikku mendekat padanya dan aku berusaha
menjaga jarak sebisa mungkin. "Kupikir kau tak akan datang."
"Tadinya aku tidak akan datang, tapi aku tahu kau akan berada di sini. Aku harus datang."
Aku melihat sekeliling ruangan, menghindari matanya. Setiap gerakannya, membuatku selalu waspada.
Tekanan jari-jarinya berubah saat dia menyentuhku, kakinya bergerak di samping kakiku, lengannya bergerak,
mengusap gaunku. Terasa sangat konyol untuk berpura-pura tidak merasakannya. Matanya sudah sembuh,
memarnya sudah hampir hilang, bercak merah di wajahnya sudah tidak ada seolah aku hanya mengada-ada.
Semua bukti dari malam yang mengerikan itu telah hilang, hanya meninggalkan kenangan yang menyakitkan.
Dia memperhatikan setiap tarikan nafasku, dan saat lagu hampir berakhir, dia menghela nafas. "Kau terlihat
sangat cantik, Pidge."
"Jangan."
"Jangan apa? Jangan mengatakan kalau kau cantik?"
"Pokoknya...jangan."
"Aku tidak sungguh-sungguh."
Aku menarik nafas frustrasi. "Terima kasih."
"Tidakkau terlihat cantik. Aku sungguh-sungguh. Aku membicarakan tentang yang aku katakan di kamar.
Aku tak akan bohong. Aku menikmati menarikmu dari kencanmu bersama Parker"
"Itu bukan kencan, Travis. Kami hanya makan. Dia tidak mau berbicara denganku sekarang, berkat dirimu."
"Aku sudah dengar. Aku menyesal."
"Tidak, kau tidak menyesal."
"Kau...kau benar," kata Travis, tergagap saat melihat ekspresi tidak sabarku. "Tapi akuitu bukan satu-satunya
alasanku membawamu ke pertarungan. Aku menginginkanmu untuk berada di sana bersamaku, Pidge. Kau

adalah jimat keberuntunganku."


"Aku bukan apa-apamu," bentakku, melotot ke arahnya.
Alisnya ditarik ke bawah dan dia berhenti berdansa. "Kau adalah segalanya untukku."
Aku menutup rapat bibirku, berusaha untuk tetap memperlihatkan rasa marahku, namun sangat sulit untuk
tetap marah padanya saat dia menatapku seperti itu.
"Kau tidak sunguh-sungguh membenciku, kan?" dia bertanya.
Aku berpaling darinya, membuat jarak yang lebih jauh di antara kita. "Kadang aku berharap aku membencimu.
Itu akan membuat semuanya lebih mudah."
Senyum hati-hati terukir di bibirnya, membentuk garis halus. "Jadi apa yang membuatmu lebih kesal? Apa
yang telah aku lakukan hingga membuatmu ingin membenciku? Atau mengetahui kau tidak bisa
membenciku?"
Rasa marahku kembali. Aku mendorongnya lalu melewatinya, berlari ke atas menuju dapur. Mataku mulai
berkaca-kaca tapi aku tidak ingin terlihat berantakan karena menangis terisak di pesta kencan. Finch sedang
berdiri di samping meja dan aku menghela nafas lega saat dia memberiku bir lagi.
Satu jam berikutnya, aku melihat Travis menolak semua wanita yang mendekat sambil meminum whiskey di
ruang tamu. Setiap kali dia melihat ke arahku, aku berpaling, bertekad untuk melewati malam ini tanpa
kejadian yang akan menarik perhatian orang banyak.
"Kalian berdua terlihat menderita." kata Shepley.
"Mereka tidak akan terlihat sebosan itu apabila mereka melakukan ini dengan sengaja," gerutu America.
"Jangan lupa...kami berdua tidak ingin datang," Finch mengingatkan mereka.
America memperlihatkan wajah terkenalnya yang membuatku terkenal karena menurutinya. "Kau bisa
berpura-pura menikmatinya, Abby. Demi aku."
Pada saat aku akan membuka mulutku untuk memberinya jawaban yang pedas, Finch menyentuh lenganku.
"Kurasa kita sudah cukup menjalankan tugas kita. Kau siap untuk pergi, Abby?"
Aku meminum sisa birku dengan ayunan cepat lalu memegang tangan Finch. Secepat apapun aku ingin pergi,
kakiku membeku saat lagu yang sama dengan lagu saat aku dan Travis berdansa di pesta ulang tahunku
terdengar ke atas. Aku mengambil botol Finch dan meminumnya, berusaha untuk memblokir ingatan yang
datang bersama lagu itu.
Brad bersandar di meja dapur di sampingku. "Ingin berdansa?"
Aku tersenyum padanya, menggelengkan kepala. Dia akan mulai bicara lagi, namun ada yang memotongnya.
"Dansa denganku." Travis berdiri beberapa kaki dariku, tangannya meraih tanganku.
America, Shepley, dan Finch mereka semua menatapku, menunggu jawabanku dengan cemas sama seperti
Travis.
"Tinggalkan aku sendiri, Travis," kataku, menyilangkan tanganku.

"Ini lagu kita, Pidge."


"Kita tidak punya lagu."
"Pigeon"
"Tidak."
Aku melihat pada Brad dan memaksakan sebuah senyuman. "Aku ingin sekali berdansa, Brad."
Bintik-bintik di wajah Brad meregang di pipinya saat dia tersenyum, menunjuk agar aku berjalan duluan ke
tangga.
Travis mundur, ekspresi terluka Travis sangat jelas terlihat di matanya. "Bersulang!" teriaknya.
Aku terlonjak, menoleh tepat pada saat dia duduk di atas kursi, merebut bir dari salah satu anggota Sig Tau
yang terkejut yang berada di dekatnya. Aku melirik America, yang memperhatikan Travis dengan ekspresi
sedih.
"Untuk orang bodoh!" dia berkata sambil menunjuk pada Brad. "Dan untuk wanita yang telah menghancurkan
hatimu," dia menundukkan kepalanya padaku. Matanya hilang fokus. "Dan untuk ketakutan absolut kehilangan
teman baikmu karena kau cukup bodoh untuk jatuh cinta padanya."
Dia meminum lagi birnya, menghabiskan sisanya, lalu membuang botolnya ke lantai. Ruangan itu hening,
hanya terdengar suara musik dari lantai bawah, dan semua orang menatap Travis dengan bingung.
Merasa dipermalukan, aku menarik tangan Brad dan menuntunnya ke bawah ke lantai dansa. Beberapa
pasangan mengikuti kami, memperhatikanku untuk melihat air mata atau reaksi apapun terhadap ocehan
Travis. Aku menenangkan ekspresiku, menolak untuk memberikan apa yang mereka inginkan.
Kami berdansa beberapa langkah kaku dan Brad menghela nafas. "Itu tadi sedikit agakaneh."
"Selamat datang dalam hidupku."
Travis mendorong pasangan yang ada di lantai dansa untuk memberinya jalan, lalu berhenti di sampingku.
Membutuhkan beberapa waktu baginya untuk berdiri tegak. "Aku akan menyela."
"Tidak, ya Tuhan!" kataku, menolak melihat ke arahnya.
Setelah beberapa saat yang tegang aku melihat ke atas, melihat mata Travis yang menatap tajam mata Brad.
"Jika kau tidak menjauh dari kekasihku, aku akan menyobek tenggorokanmu. Di sini, di lantai dansa ini."
Brad tampak kebingungan, matanya dengan gugup melihat ke arahku lalu pada Travis. "Maaf, Abby," dia
berkata sambil perlahan menarik lengannya menjauh dariku. Dia mundur ke tangga dan aku berdiri sendirian,
merasa di permalukan.
"Bagaimana perasaanku sekarang padamu, Travis...hampir sama dengan benci."
"Berdansalah denganku," dia memohon, sambil berayun untuk menjaga keseimbangannya.
Lagunya berakhir dan aku menghela nafas lega. "Pergi minum sebotol whiskey lagi sana, Trav." Aku berbalik
untuk berdansa dengan satu-satunya pria yang berdansa sendiri di lantai dansa.

Iramanya sedikit lebih cepat, dan aku tersenyum pada pasangan baruku yang terkejut, berusaha mengabaikan
fakta bahwa Travis berada beberapa kaki di belakangku. Anggota lain Sig Tau berdansa di belakangku,
memegang pinggulku. Aku meraih ke belakang, menariknya lebih dekat. Itu mengingatkanku pada bagaimana
Travis berdansa dengan Megan di The Red malam itu, dan aku berusaha sebisa mungkin menciptakan kembali
pemandangan yang aku harap dalam berbagai keadaan aku dapat melupakannya. Dua pasang tangan berada
dekat pada setiap bagian tubuhku, dan sangat mudah untuk mengabaikan sisi pendiamku dengan jumlah
alkohol di dalam tubuhku.
Tiba-tiba, aku berada di udara. Travis melemparku ke atas bahunya, pada saat yang sama mendorong teman
perkumpulannya dengan keras, menjatuhkannya ke lantai.
"Turunkan aku!" aku berkata sambil memukul-mukul punggungnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri karena aku," dia menggeram, melompati dua
tangga sekaligus.
Setiap pasang mata yang kami temui melihatku menendang dan berteriak saat Travis membawaku melintasi
ruangan. "Kau pikir," aku berkata sambil memberontak, "Ini tidak memalukan? Travis!"
"Shepley! Apakah Donnie di luar?" tanya Travis, menghindar dari tanganku yang memukul-mukul.
"Uh...ya?" kata Shepley.
"Turunkan dia!" kata America, maju satu langkah ke arah kami.
"America," aku menggeliat, "Jangan hanya berdiri di situ! Tolong aku!"
Bibirnya naik dan dia tertawa satu kali. "Kalian berdua terlihat konyol."
Alisku tertarik ke dalam karena kata-katanya, antara terkejut dan marah karena dia menganggap situasi ini
lucu.
Travis berjalan menuju pintu dan aku melotot ke arah America. "Terima kasih banyak, teman!"
Udara dingin menyerang bagian kulitku yang terbuka, dan aku protes lebih kencang. "Turunkan aku, sialan!"
Travis membuka pintu mobil dan melemparku ke kursi belakang, duduk di sampingku. "Donnie, kau yang
mengantar orang-orang yang mabuk malam ini?"
"Ya," jawabnya, gugup melihatku yang berusaha untuk kabur.
"Aku ingin kau mengantar kami ke apartemenku."
"Travis...kupikir..."
Suara Travis tenang, tapi menakutkan. "Lakukan, Donnie, atau aku akan memukulkan tinjuku ke belakang
kepalamu, aku bersumpah demi Tuhan."
Donnie menjauh dari kekangan Travis dan aku menerjang pegangan pintu. "Aku tak akan pergi ke
apartemenmu!"
Travis memegang satu pergelangan tanganku lalu yang satunya lagi. Aku membungkuk untuk menggigit

lengannya. Dia menutup matanya, lalu suara mengaduh pelan keluar dari rahangnya yang tertutup rapat saat
gigiku menancap di kulitnya.
"Melawanlah sesukamu, Pidge. Aku sudah bosan dengan omong kosongmu."
Aku melepaskan gigitanku dan menarik paksa lenganku, lepas dari genggamannya. "Omong kosongku?
Biarkan aku keluar dari mobil ini!"
Dia menarik pergelangan tanganku dekat ke wajahnya. "Aku mencintaimu, sialan! Kau tak akan pergi kemanamana hingga kau tidak mabuk lalu kita akan coba memahaminya."
"Kau satu-satunya yang belum memahami ini, Travis!" kataku. Dia melepaskan pergelangan tanganku dan aku
menyilangkan tanganku di dada, cemberut sepanjang sisa perjalanan ke apartemen.
Ketika mobil berjalan pelan untuk berhenti, aku condong ke depan. "Bisakah kau mengantarku pulang,
Donnie?"
Travis menarik tanganku agar keluar dari mobil lalu dia mengayunku ke atas bahunya lagi, membawaku ke
atas. "Selamat malam, Donnie."
"Aku akan mengadukan ini pada ayahmu!" teriakku.
Travis tertawa terbahak-bahak. "Dan dia mungkin akan menepuk bahuku dan mengatakan padaku bahwa
sudah waktunya aku melakukan ini."
Dia berusaha untuk membuka kunci pintu saat aku menendang dan menggerak-gerakkan tanganku, berusaha
untuk lepas.
"Hentikan, Pidge, atau kita berdua akan jatuh ke bawah!" Setelah dia membuka pintu, dia berjalan ke kamar
Shepley.
"Turunkan. Aku. Ke bawah!" teriakku.
"Baiklah," dia berkata sambil menjatuhkanku di atas tempat tidur Shepley. "Tidurlah. Kita akan bicara nanti
pagi."
Kamarnya gelap; satu-satunya lampu berasal dari lampu persegi panjang yang menyorot pintu masuk kamar
dari lorong. Aku berusaha untuk fokus dalam kegelapan, bir, dan kemarahan, lalu saat dia menyalakan lampu,
itu menerangi senyuman puasnya.
Aku memukul tempat tidur dengan kepalan tanganku. "Kau tidak bisa lagi memberitahuku apa yang harus aku
lakukan, Travis! Aku bukan milikmu!"
Dalam sekejap itu membuatnya berbalik dan berhadapan denganku, ekspresinya berubah menjadi kemarahan.
Dia berjalan ke arahku, meletakkan tangan di atas tempat tidur dan mendekat ke wajahku.
"WELL, AKU MILIKMU!" Urat di lehernya menonjol saat dia berteriak, dan aku menatap balik matanya,
tidak bergeming. Dia menatap bibirku, terengah-engah. "Aku milikmu," dia berbisik, kemarahannya hilang
saat dia menyadari betapa dekatnya kami.
Sebelum aku dapat memikirkan satu alasan untuk tidak melakukannya, aku memegang wajahnya, dan
mencium bibirnya. Tanpa ragu, Travis mengangkatku ke dalam pelukannya. Dengan beberapa langkah
panjang, dia membawaku ke kamarnya, kami berdua jatuh di atas tempat tidur.

Aku menarik lepas bajunya, meraba-raba dalam kegelapan membuka ikat pinggangnya. Dia menyentaknya
terbuka, melepasnya dan melemparnya ke lantai. Dia mengangkatku dari tempat tidur dengan satu tangan, dan
membuka ritsleting gaunku dengan tangan satunya lagi. Aku menariknya dari atas kepalaku, melemparnya ke
tempat yang gelap, lalu Travis menciumku, mengerang di bibirku. Dengan beberapa gerakan cepat, celana
boxernya pun terlepas dan dia menekan dadanya di dadaku. Aku mencengkeram bagian belakangnya, namun
dia menahannya ketika aku berusaha menariknya agar memasukiku.
"Kita berdua sedang mabuk," dia berkata sambil terengah-engah.
"Aku mohon." Aku menekan kakiku di pinggulnya, tidak sabar ingin menghilangkan rasa terbakar yang terasa
di antara kedua pahaku. Travis mengatakan kita kembali bersama, dan aku tidak ada keinginan untuk melawan
yang tidak terelakkan, maka aku lebih dari siap untuk menghabiskan malam ini terbalut seprai tempat tidurnya.
"Tidak boleh terjadi seperti ini," kata Travis.
Dia berada di atasku, menekan dahinya di atas dahiku. Aku harap ini hanya protes setengah hati, dan entah
bagaimana aku akan bisa meyakinkannya bahwa dia salah. Melihat bagaimana kita tidak bisa saling menjauhi
satu sama lain tidak dapat dijelaskan, namun aku tidak membutuhkan satu penjelasan lagi. Aku bahkan tidak
membutuhkan alasan. Saat ini, aku hanya membutuhkannya.
"Aku menginginkanmu."
"Aku ingin kau mengatakannya," kata Travis.
Bagian dalam dari diriku berteriak membutuhkannya, dan aku tak dapat menahannya lebih lama lagi. "Aku
akan mengatakan apapun yang kau mau."
"Kalau begitu katakan kau milikku. Katakan bahwa kau menerimaku kembali. Aku tidak akan melakukan ini
kecuali kita bersama lagi."
"Kita tidak pernah benar-benar berpisah, kan?" tanyaku, berharap itu cukup.
Dia menggelengkan kepala, bibirnya menyapu bibirku dengan lembut. "Aku ingin mendengar kau
mengatakannya. Aku ingin tahu bahwa kau benar-benar milikku."
"Aku telah menjadi milikmu dari detik pertama kita bertemu."
Suaraku bernada memohon. Pada waktu lain aku mungkin akan merasa malu, namun aku sedang merasa lebih
dari menyesal. Aku telah melawan perasaanku, menjaganya, dan menutupnya rapat. Aku telah mengalami
momen yang paling menyenangkan dalam hidupku selama di Eastern, semuanya bersama Travis. Bertengkar,
tertawa, mencintai dan menangis, jika itu bersamanya, aku berada di tempat yang aku inginkan.
Satu sisi bibirnya tertarik ke atas saat dia menyentuh wajahku, lalu bibirnya menyentuh bibirku dengan ciuman
lembut. Saat aku menarik tubuhnya padaku, dia tidak melawan. Ototnya menegang, dan dia menahan nafasnya
saat dia mendorong ke dalam tubuhku.
"Katakan sekali lagi," dia berkata.
"Aku milikmu," aku terengah. Setiap sarafku, di dalam dan di luar terasa sakit karena menginginkan lebih.
"Aku tidak ingin berpisah lagi darimu."
"Berjanjilah padaku," dia berkata, sambil mengerang saat mendorong lagi.

"Aku mencintaimu. Aku akan mencintaimu selamanya." Kata-kata itu lebih terdengar seperti desahan, namun
aku menatap matanya ketika aku mengatakannya. Aku dapat melihat ketidakpastian di matanya menghilang,
dan meskipun dalam cahaya redup, wajahnya terlihat bersinar.
Akhirnya merasa puas, dia mencium bibirku.
***
Travis membangunkanku dengan ciuman. Kepalaku terasa berat dan berkabut karena beberapa minuman yang
aku minum tadi malam, namun satu jam sebelum aku jatuh tertidur berputar kembali di pikiranku dengan detil
yang sangat jelas. Ciuman lembut menghujani setiap inchi tangan, lengan, dan leherku, lalu dia mencium
bibirku, aku tersenyum.
"Selamat pagi," aku berkata sambil menciumnya.
Dia tidak menjawab; bibirnya terus menciumi bibirku. Tangannya yang kekar membungkusku, lalu dia
membenamkan wajahnya di leherku.
"Kau pendiam pagi ini," aku berkata, sambil membelaikan tanganku di kulit punggungnya yang telanjang. Aku
terus membelainya hingga bagian belakangnya, lalu aku mengaitkan kakiku di atas pinggulnya, mencium
lehernya.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin seperti ini," dia berbisik.
Aku mengerutkan dahi. "Apakah aku melewatkan sesuatu?"
"Aku tidak bermaksud untuk membangunkanmu. Kenapa kau tidak kembali tidur?"
Aku bersandar ke belakang ke atas bantal, mengangkat dagunya. Matanya merah, kulit di sekelilingnya merah
dan bernoda.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyaku, waspada.
Dia meletakkan tanganku di atas tangannya lalu menciumnya, menekan dahinya ke leherku. "Kembalilah tidur,
Pidge. Aku mohon?"
"Apakah terjadi sesuatu? Apakah America?" pada pertanyaan terakhir, aku terduduk. Meskipun melihat
ketakutan dalam mataku, ekspresinya tidak berubah. Dia hanya menghela nafas dan duduk bersamaku, melihat
pada tanganku yang ada di tangannya.
"Tidak...America baik-baik saja. Mereka pulang ke rumah sekitar pukul empat pagi ini. Mereka masih tidur. Ini
masih terlalu pagi, kembalilah tidur."
Merasakan jantungku berdebar di dadaku, aku tahu tidak akan mungkin kembali tidur. Travis menaruh
tangannya di kedua sisi wajahku dan menciumku. Bibirnya bergerak dengan berbeda, seolah dia menciumku
untuk terakhir kalinya. Dia menurunkanku di bantal, menciumku sekali lagi, lalu menyandarkan kepalanya di
dadaku, memelukku erat dengan kedua lengannya.
Semua kemungkinan yang membuat Travis bersikap seperti ini terlintas di pikiranku seperti channel televisi.
Aku memeluknya erat, merasa takut untuk bertanya. "Apakah kau tidak tidur?"
"Aku...tidak bisa. Dan aku tidak ingin..." suaranya melemah.

Aku mencium keningnya. "Apapun itu, kita akan melaluinya, ok? Kenapa kau tidak tidur sebentar? Kita akan
membicarakannya setelah kau bangun."
Kepalanya terangkat dan dia memeriksa wajahku. Aku melihat ketidakpercayaan dan harapan di matanya.
"Apa maksudmu kita akan melaluinya?"
Alisku ditarik masuk, merasa bingung. Aku tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi pada saat aku
tidur yang membuatnya sangat menderita seperti ini. "Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku ada di sini."
"Kau ada di sini? Seperti kau tinggal? Bersamaku?"
Aku tahu bahwa ekspresiku pasti terlihat konyol, namun kepalaku berputar karena alkohol dan pertanyaan
Travis yang aneh. "Ya. kupikir kita sudah membicarakannya tadi malam?"
"Kita sudah membicarakannya," dia mengangguk.
Aku melihat sekeliling kamar, berpikir. Dindingnya tidak lagi polos seperti dulu saat kami pertama bertemu.
Sekarang dindingnya dihiasi pernak-pernik dari tempat kami menghabiskan waktu bersama, dan cat putihnya
terganggu oleh bingkai hitam yang memajang fotoku, kami, Toto, dan semua teman kami. Bingkai lebih besar
yang memasang foto kami berdua saat ulang tahunku menggantikan topi sombrero yang dulu tergantung
dengan paku di atas ujung kepala tempat tidur.
Aku memicingkan mataku padanya. "Kau pikir aku akan terbangun dan merasa kesal padamu, ya kan? Kau
pikir aku akan pergi?"
Dia mengangkat bahunya, melakukan sedikit usaha untuk terlihat tidak peduli yang biasanya sangat mudah
untuknya. "Kau terkenal begitu."
"Itukah yang membuatmu kesal? Kau terjaga semalaman mengkhawatirkan apa yang akan terjadi saat aku
terbangun?"
Dia bergeser seolah kata berikutnya begitu sulit. "Aku tidak bermaksud tadi malam terjadi seperti itu. Aku
sedikit mabuk, dan aku mengikutimu seperti penguntit, lalu aku menyeretmu keluar dari sana, di luar
keinginanmulalu kita," dia menggelengkan kepala, sangat jelas merasa jijik saat kejadian itu berputar di
pikirannya.
"Merasakan seks terbaik dalam hidupku?" aku tersenyum, meremas tangannya.
Travis tertawa satu kali, ketegangan di sekitar matanya perlahan menghilang. "Jadi kita baik-baik saja?"
Aku menciumnya, menyentuh satu sisi wajahnya dengan lembut. "Ya, bodoh. Aku sudah berjanji, bukan
begitu? Aku mengatakan padamu semua yang ingin kau dengar, kita kembali bersama, dan kau masih belum
merasa senang?"
Wajahnya ditahan di sekitar senyumnya.
"Sayang, hentikan. Aku mencintaimu," aku berkata, melembutkan garis-garis khawatir di sekitar matanya.
"Pertengkaran menggelikan ini seharusnya dapat berakhir pada hari Thanksgiving, tapi"
"Tunggu...apa?" dia memotong, bersandar ke belakang.

"Aku sudah siap untuk menyerah saat Thanksgiving, tapi kau bilang kau sudah cukup berusaha untuk
membuatku bahagia, dan aku terlalu gengsi untuk mengatakan padamu bahwa aku menginginkanmu kembali."
"Apakah kau bercanda? Aku hanya mencoba untuk membuat segalanya lebih mudah untukmu! Kau tahu
bagaimana telah menderitanya aku?"
Dahiku berkerut. "Kau terlihat baik-baik saja setelah liburan."
"Itu demi kau! Aku takut aku akan kehilanganmu kalau aku tidak berpura-pura menerima bahwa kita hanya
teman."
"Aku..." Aku tidak bisa membantahnya; dia benar. Aku telah membuat kami berdua menderita, dan aku tidak
bisa menyangkalnya. "Aku menyesal, maafkan aku."
"Kau menyesal? Aku nyaris membuatku mati karena mabuk, aku hampir tidak bisa turun dari tempat tidur, aku
menghancurkan teleponku menjadi jutaan serpihan kecil pada Malam Tahun Baru agar tidak meneleponmu
dan kau menyesal?"
Aku menggigit bibirku dan mengangguk, merasa malu. Aku tidak pernah tahu apa yang telah dia lalui, dan
mendengar dia mengatakan itu membuat rasa sakit seperti tertusuk benda tajam di dadaku. "Aku benar-benar
minta maaf."
"Kau dimaafkan." Dia berkata sambil tersenyum. "Jangan pernah lakukan itu lagi."
"Tidak akan. Aku berjanji."
Dia memperlihatkan lesung pipinya sambil menggelengkan kepala. "Aku benar-benar mencintaimu."
***
Beberapa minggu telah berlalu, dan aku terkejut bagaimana cepatnya Liburan Musim Semi sudah hampir tiba.
Aliran gosip dan tatapan yang telah kami perkirakan sudah mulai hilang, dan kehidupan sudah kembali ke
normal. Ruang bawah tanah Eastern tidak mengadakan pertarungan sudah berminggu-minggu. Adam
menegaskan untuk tetap low profile setelah insiden penangkapan yang menimbulkan pertanyaan apa
sebenarnya yang telah terjadi pada malam itu, dan Travis menjadi mudah marah karena menunggu telepon
yang akan memanggilnya untuk melakukan pertarungan terakhir tahun ini; pertarungan yang membayar
hampir semua tagihannya selama musim panas, dan untuk hidup enak selama musim gugur.
Salju masih tebal di atas tanah, dan pada hari Jumat sebelum libur, pertarungan bola salju terakhir terjadi di
halaman yang tertutupi es seperti kristal. Aku dan Travis menghindari salju yang berterbangan saat berjalan ke
kafetaria, dan aku berpegangan erat pada lengan Travis, berusaha menghindari salju dan agar tidak terjatuh ke
tanah.
"Mereka tidak akan melemparnya padamu, Pidge. Mereka tahu itu," kata Travis, menempelkan hidung merah
dan dinginnya di pipiku.
"Arah lemparan mereka tidak sama dengan rasa takut mereka terhadap kemarahanmu, Trav."
Dia memelukku erat di sampingnya, menggosok-gosok lengan jaketku dengan tangannya saat dia menuntunku
melewati kekacauan itu. Kami tiba-tiba berhenti berjalan saat beberapa wanita yang melintas berteriak karena
dilempari bola salju tanpa ampun oleh tim baseball. Setelah mereka pergi, Travis membawaku dengan aman ke
pintu.
"Lihat kan? Aku sudah bilang kita akan berhasil," dia berkata sambil tersenyum.

Rasa girangnya menghilang saat bola salju padat mengenai pintu, tepat di antara wajah kami. Mata Travis
menatap memeriksa halaman, ada beberapa mahasiswa menatap ke arah lain karena takut pada keinginan
Travis untuk membalas dendam.
Dia menarik pintu terbuka, memperhatikan salju yang mencair meluncur ke bawah pintu besi yang di cat ke
tanah. "Ayo kita masuk."
"Ide yang bagus," aku mengangguk.
Dia menuntun tanganku ke jalur prasmanan, menempatkan berbagai macam makanan kukus dalam satu
nampan. Kasir sudah menghentikan ekspresi tercengangnya yang sudah diperkirakan oleh kami dari beberapa
minggu yang lalu, karena sudah terbiasa dengan kebiasaan kami.
"Abby." Brazil mengangguk padaku lalu mengedipkan sebelah matanya pada Travis. "Kalian berdua sudah
punya rencana minggu depan?"
"Kami akan tinggal di sini. Kakak-kakakku akan datang kemari," kata Travis, mengalihkan perhatiannya saat
dia mengatur makan siang kami, membagi dua piring styrofoam kecil di hadapan kami di atas meja.
"Aku akan membunuh Davis Lapinski!" America mengumumkan, membersihkan salju dari rambutnya saat dia
mendekat.
"Tepat sasaran!" Shepley tertawa. America memandangnya dengan tatapan peringatan dan tawanya berubah
menjadi cekikikan gugup. "Maksudkudasar brengsek dia."
Kami tertawa melihat ekspresi menyesalnya saat dia memperhatikan America melangkah menuju jalur
prasmanan, Shepley langsung mengikutinya.
"Dia benar-benar takut pada America," kata Brazil dengan ekspresi sebal di wajahnya.
"America sedikit tegang," Travis menjelaskan. "Dia akan bertemu orangtua Shepley minggu ini."
Brazil mengangguk, alisnya terangkat ke atas. "Jadi mereka akan"
"Menuju ke sana," kataku, mengangguk bersamanya."Ini permanen."
"Wow," kata Brazil. Keterkejutan tidak hilang dari wajahnya saat dia menyuapkan makanan, dan aku dapat
melihat rasa bingung di sekitarnya. Kami semua masih muda, dan Brazil tidak mengerti komitmen Shepley.
"Ketika kau merasakannya, Brazilkau akan mengerti rasanya," kata Travis sambil tersenyum padaku.
Kafetaria bising oleh kegembiraan, karena pertarungan bola salju di luar dan beberapa jam terakhir menuju
liburan yang berlalu dengan cepat. Saat tempat duduk penuh, suara mengobrol yang mengalir dengan stabil
berubah menjadi suara keras yang bergema, volume meningkat saat semua orang mulai berbicara melawan
kebisingan.
Pada saat Shepley dan America kembali sambil membawa nampan, mereka telah berbaikan. Dengan senang
dia duduk di sampingku, berceloteh tentang momen bertemu-orangtua mendatangnya. Mereka akan pergi sore
ini untuk bertemu orangtua Shepley, alasan sempurna untuk menjadi salah satu krisis America yang terkenal.
Aku memperhatikannya memilih roti saat dia mencemaskan apa yang harus dikemas dan berapa banyak tas
yang bisa dia bawa tanpa kelihatan berlebihan, namun dia terlihat berusaha menahannya.

"Aku sudah mengatakannya padamu, sayang. Mereka akan mencintaimu. Mencintaimu seperti aku
mencintaimu, aku mencintaimu," kata Shepley, menyelipkan rambut America ke belakang telinganya. America
menarik nafas dan ujung bibirnya tertarik ke atas seperti biasanya setelah Shepley membuatnya lebih tenang.
Telepon Travis bergetar, menyebabkannya meluncur beberapa inchi di atas meja. Dia mengabaikannya, terus
membicarakan dengan antusias tentang permainan poker pertama kami dengan semua kakaknya Travis kepada
Brazil. Aku melirik sekilas pada layar, menepuk bahu Travis saat aku membaca nama di layar.
"Sayang?"
Tanpa permisi pada Brazil, dia berpaling dari Brazil lalu memberiku perhatian penuhnya. "Ya, Pigeon?"
"Kau mungkin ingin menjawabnya."
Dia melihat ke bawah pada handphone-nya dan menghela nafas, "Atau tidak."
"Itu mungkin penting."
Dia mengerutkan bibirnya sebelum mengangkat telepon ke telinganya. "Ada apa, Adam?" Matanya melihat ke
sekeliling ruangan sambil mendengarkan, mengangguk sesekali. "Ini pertarungan terakhirku, Adam. Aku
masih belum yakin. Aku tidak akan pergi tanpanya dan Shepley akan pergi ke luar kota. Aku tahuaku
mendengarmu. Hmmmitu sebenarnya bukan ide yang buruk."
Alisku ditarik masuk, melihat matanya bersinar karena apa pun ide Adam telah membuatnya ceria. Ketika
Travis menutup telepon, aku menatapnya penuh harap. "Itu akan cukup untuk membayar uang sewa selama
delapan bulan ke depan. Adam mendapatkan John Savage. Dia sedang berusaha untuk menjadi petarung
profesional."
"Aku belum pernah melihat dia bertarung, apakah kau sudah pernah?" tanya Shepley, bersandar ke depan.
Travis mengangguk. "Pernah satu kali di Springfield. Dia bagus."
"Tidak cukup bagus," kataku. Travis mendekat dan mencium lembut keningku dengan apresiasi. "Aku bisa
tinggal di rumah, Trav."
"Tidak," dia berkata sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak ingin kau terkena pukulan seperti waktu itu karena kau mengkhawatirkan aku."
"Tidak, Pidge."
"Aku akan menunggumu," aku tersenyum, berusaha terlihat lebih bahagia pada ide itu dari yang sebenarnya
aku rasakan.
"Aku akan meminta Trent untuk datang. Dia satu-satunya orang yang aku percaya sehingga aku bisa
berkonsentrasi pada pertarungan."
"Terima kasih banyak, bajingan," Shepley menggerutu.
"Hey, kau sudah mendapatkan kesempatanmu," kata Travis, hanya setengah meledeknya.
Bibir Shepley ditarik ke samping karena menyesal. Dia masih merasa bersalah karena kejadian malam itu di

Hellerton. Dia meminta maaf padaku setiap hari selama seminggu, akhirnya rasa bersalahnya bisa dikendalikan
menjadi hanya menderita dalam diam. Aku dan America berusaha meyakinkannya bahwa dia tidak bersalah,
namun Travis selalu menganggap bahwa Shepley-lah yang bertanggung jawab.
"Shepley, itu bukan salahmu. Kau menariknya menjauh dariku, ingat?" kataku, meraih ke belakang America
untuk menepuk lengan Shepley. Lalu aku melihat pada Travis, "Kapan pertarungannya?"
"Minggu depan," dia mengangkat bahunya. "Aku ingin kau ada di sana. Aku membutuhkanmu untuk berada di
sana."
Aku tersenyum, meletakkan daguku di bahunya. "Kalau begitu aku akan berada di sana."
Travis mengantarku ke kelas, genggamannya menjadi lebih erat beberapa kali setiap kali aku tergelicir di atas
salju. "Kau harus lebih berhati-hati," ledeknya.
"Aku melakukannya dengan sengaja, bodoh."
"Jika kau ingin aku memelukmu, kau hanya tinggal bilang," Travis berkata sambil menarikku ke pelukannya.
Kami tidak mempedulikan mahasiswa yang melintas dan bola salju yang melayang di atas kepala kami saat dia
mencium bibirku. Kakiku terangkat dari tanah dan dia terus menciumku, mengangkatku dengan mudah
melintasi kampus. Saat dia menurunkanku di depan pintu kelas, dia menggelengkan kepalanya.
"Nanti saat kita mengatur jadwal kita semester depan, akan lebih bagus kalau kita mengambil lebih banyak
mata kuliah yang sama."
"Aku setuju," jawabku, memberinya sebuah ciuman lagi sebelum menuju tempat dudukku.
Aku melihat ke atas, dan Travis memberiku satu senyuman lagi sebelum berjalan menuju kelasnya di gedung
sebelah. Orang-orang di sekitarku sudah terbiasa melihat pertunjukan kasih-sayang kami yang tidak tahu malu
seperti teman sekelas Travis yang sudah terbiasa melihatnya terlambat masuk kelas beberapa menit.
Aku terkejut waktu berlalu dengan cepat. Aku menyerahkan jawaban ujian terakhirku hari ini dan berjalan
menuju aula asrama. Kara sedang duduk di tempat biasanya di atas tempat tidur, membaca, saat aku
menggeledah laciku mencari beberapa barang yang aku butuhkan.
"Kau akan pergi ke luar kota?" tanya Kara.
"Tidak, aku hanya membutuhkan beberapa barang. Aku akan ke gedung Sains untuk menjemput Travis, lalu
aku akan berada di apartemennya selama seminggu."
"Aku sudah menduganya," dia berkata, masih tetap melihat ke halaman bukunya.
"Semoga liburanmu menyenangkan, Kara."
"Mmmmm."
Kampus hampir kosong, masih ada beberapa orang yang keluyuran. Saat aku berbelok, aku melihat Travis
berdiri di luar, menghabiskan rokoknya. Dia memakai topi rajutan di atas kepala yang rambutnya telah di
cukur habis dan satu tangannya masuk ke dalam saku jaket kulit berwarna coklat tua yang dipakainya. Asap
keluar dari lubang hidungnya saat dia melihat ke bawah, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Hingga tinggal
beberapa kaki aku darinya, baru aku menyadari betapa kacau pikirannya.

"Apa yang sedang kau pikirkan, sayang?" tanyaku. Dia tidak mengangkat kepalanya ke atas. "Travis?"
Matanya berkedip beberapa kali ketika suaraku terdengar olehnya dan ekspresi sedihnya berganti menjadi
sebuah senyuman yang dipaksakan. "Hai, Pigeon."
"Semuanya baik-baik saja?"
"Semua baik-baik saja sekarang," jawab Travis, menarikku ke pelukannya.
"Baiklah. Ada apa?" aku berkata sambil cemberut dan mengangkat alisku, memperlihatkan rasa raguku.
"Hanya sedang memikirkan banyak hal," dia menghela nafas. Ketika aku menunggu dengan harap, dia
melanjutkan. "Tentang minggu ini, pertarungan, dan tentang kau akan berada di sana nanti"
"Aku sudah bilang kalau aku akan tinggal di rumah saja."
"Aku membutuhkanmu di sana, Pidge." dia berkata sambil membuang rokok ke bawah. Dia
memperhatikannya menghilang ke dalam jejak kaki di salju lalu memegang tanganku, menarikku ke tempat
parkir.
"Apakah kau sudah bicara dengan Trent?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku sedang menunggu dia menelepon balik."
America menurunkan jendela mobilnya dan menjulurkan kepalanya keluar dari mobilnya Shepley. "Cepatlah!
Di sini sangat dingin!"
Travis tersenyum dan mempercepat langkahnya, membukakan pintu mobil untukku. Shepley dan America
mengulangi pembicaraan yang sama yang telah mereka bicarakan beberapa kali sejak America mengetahui
akan bertemu dengan orangtua Shepley sementara aku memperhatikan Travis yang sedang memandang keluar
jendela. Pada saat kami berhenti di tempat parkir apartemen, telepon Travis berbunyi.
"Apa yang terjadi, Trent?" dia berkata saat menjawab teleponnya. "Aku meneleponmu empat jam yang lalu,
seperti orang sibuk saja. Terserahlah. Dengar, aku membutuhkan bantuanmu. Aku akan bertarung minggu
depan. Aku ingin kau datang. Aku belum tahu kapan waktunya, tapi saat aku meneleponmu nanti, aku ingin
kau datang dalam waktu satu jam. Bisakah kau melakukannya untukku? Bisa apa tidak, bodoh? Karena aku
ingin kau menjaga Pigeon. Ada orang brengsek yang menyentuhnya terakhir kali danya." Nada suaranya
menjadi menakutkan. "Aku sudah membereskannya. Jadi kalau aku menelepon? Thank's Trent."
Travis menutup telepon dan menyandarkan kepalanya di kursi mobil.
"Sudah merasa lebih tenang?" tanya Shepley, melihat Travis dari kaca spion.
"Yap. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan kalau dia tidak datang."
"Aku sudah mengatakannya padamu." Aku memulai.
"Pidge, berapa kali aku harus mengatakannya padamu?" dia merengut.
Aku menggelengkan kepala karena nada kesalnya. "Aku tidak mengerti. Kau tidak membutuhkanku di sana
dulu."
Jarinya dengan lembut memegang pipiku. "Karena aku belum mengenalmu dulu. Kalau kau tidak berada di

sana aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku bertanya-tanya kau ada di mana, apa yang sedang kau lakukanjika
kau di sana dan aku bisa melihatmu, aku bisa fokus. Aku tahu ini gila, tapi itu yang terjadi."
"Dan gila seperti itulah yang aku sukai," aku tersenyum, mendekat untuk mencium bibirnya.
"Tentu saja," America bergumam pelan.
***
Di bawah bayangan gedung aula Keaton, Travis memelukku erat di sampingnya. Uap dari nafasku bersatu
dengan uap nafasnya di udara malam yang dingin, dan aku dapat mendengar percakapan pelan terdengar dari
pintu samping yang hanya berjarak beberapa kaki, tidak menyadari kehadiran kami.
Keaton adalah gedung tertua di Eastern, dan meskipun The Circle pernah diadakan di sana sebelumnya, ada
perasaan tidak enak mengenai tempatnya. Adam mengharapkan penonton yang banyak, dan ruang bawah tanah
Keaton bukanlah ruang bawah tanah yang paling luas di kampus. Beberapa balok disusun menjadi kotak
sepanjang dinding bata tua, sebagai tanda gedung ini sedang di renovasi.
"Tempat ini adalah ide terburuk Adam," Travis menggerutu.
"Sudah terlambat untuk mengubahnya sekarang." Aku berkata sambil memandangi perancah.
Telepon Travis menyala dan dia melihat pada layar. Wajahnya menjadi berwarna biru karena lampu dari layar,
dan aku dapat melihat dua garis khawatir di antara alisnya yang aku sudah tahu ada di sana. Dia memijit
tombol dan menutup teleponnya, memelukku lebih erat.
"Kau tampak gugup malam ini," bisikku.
"Aku akan merasa lebih tenang kalau si bodoh Trent sudah ada di sini."
"Aku di sini, dasar kau gadis kecil cengeng," kata Trent, dengan suara pelan. Aku hampir tidak dapat
melihatnya di kegelapan, namun senyumnya bersinar di bawah sinar bulan.
"Bagaimana kabarmu, Sis?" kata Trent. Dia memelukku dengan satu tangan, dan mendorong Travis dengan
tangan satunya.
"Aku baik-baik saja, Trent."
Travis langsung terlihat tenang, lalu dia menuntun tanganku ke belakang gedung.
"Jika ada polisi dan kita terpisah, kita bertemu di asrama , ok?" kata Travis pada kakaknya. Kami berhenti di
depan jendela yang terbuka yang menuju ruang bawah tanah, tanda bahwa Adam sudah berada di dalam dan
sedang menunggu.
"Kau serius?" kata Trent, menatap jendela. "Abby saja tidak akan muat ke jendela itu."
"Kau akan muat," Travis meyakinkannya, merangkak ke bawah masuk ke dalam kegelapan. Seperti
sebelumnya, aku membungkuk dan mendorong mundur tubuhku, tahu Travis akan menangkapku.
Kami menunggu beberapa saat, lalu mendengar Trent menggerutu saat melewati jendela kecil itu dan mendarat
di lantai, hampir kehilangan keseimbangan saat kakinya mendarat di lantai semen.
"Kau beruntung aku mencintai Abby. Aku tidak akan melakukan ini untuk orang lain," Trent menggerutu,

membersihkan baju dengan tangannya.


Travis melompat ke atas, dengan gerakan cepat dia menarik jendela hingga tertutup. "Lewat sini," kata Travis,
mengarahkan kami di kegelapan.
Dari lorong ke lorong, aku berpegangan dengan erat pada lengan Travis, merasakan Trent berpegangan pada
ujung bajuku. Aku dapat mendengar kerikil semen yang terinjak di lantai. Mataku terbuka lebih lebar, berusaha
untuk menyesuaikannya dengan kegelapan ruang bawah tanah, namun tidak ada sedikitpun cahaya yang dapat
membuat kami fokus.
Trent menghela nafas saat kami berbelok untuk ketiga kalinya. "Kita tidak akan menemukan jalan keluar dari
sini."
"Ikuti aku saja nanti. Semua akan baik-baik saja," kata Travis, merasa terganggu karena keluhan Trent.
Ketika lorong menjadi sedikit terang, aku tahu kami sudah semakin dekat. Saat gemuruh pelan penonton
terdengar menjadi teriakan gelisah yang meneriakan nama dan angka, aku tahu kami sudah sampai. Di ruangan
tempat Travis menunggu dipanggil biasanya hanya terdapat satu lentera dan satu kursi, namun karena sedang
renovasi, ruangan ini dipenuhi oleh meja, kursi dan beberapa peralatan yang ditutupi kain putih.
Travis dan Trent sedang mengatur strategi untuk pertarungan saat aku mengintip keluar. Di luar sama penuh
dan kacaunya seperti pada saat pertarungan terakhir waktu itu, tapi dengan ruangan yang lebih kecil. Perabotan
ditutupi kain berdebu berderet di dekat dinding, yang disingkirkan untuk memberi ruang untuk para penonton.
Ruangan itu lebih gelap dari pada biasanya, dan aku rasa Adam hanya ingin berhati-hati untuk tidak menarik
perhatian pada apa yang sedang kami lakukan. Lentera digantung di langit-langit, menciptakan efek terlihat
lebih kumal pada uang yang diangkat ke atas saat taruhan masih dibuka.
"Pigeon, kau mendengar apa yang aku katakan?" tanya Travis, menyentuh lenganku.
"Apa?" aku bertanya sambil berkedip.
"Aku ingin kau berdiri di dekat pintu ini, ok? Berpegangan pada lengan Trent sepanjang waktu."
"Aku tidak akan bergerak. Aku janji.
Travis tersenyum, lesung pipi sempurnanya terlihat di pipinya. "Sekarang kau yang terlihat gugup."
Aku melirik ke arah pintu lalu kembali menatap Travis. "Perasaanku tidak enak, Trav. Bukan karena
pertarungannya, tapi karenasesuatu. Tempat ini membuatku takut."
"Kita tidak akan lama di sini." Kata Travis berusaha menenangkanku. Suara Adam terdengar dari pengeras
suara, lalu sepasang tangan hangat yang aku kenal memegang kedua sisi wajahku. "Aku mencintaimu," kata
Travis sambil mengangkatku dari lantai, memelukku erat saat dia menciumku. Dia menurunkanku ke lantai
lalu meletakkan tanganku di lengan Trent. "Jangan lepaskan pandanganmu darinya," kata Travis pada
kakaknya. "Walaupun hanya satu detik, tempat ini akan menjadi kacau setelah pertarungan dimulai."
"mari kita sambut penantang kita malam iniJOHN SAVAGE!"
"Aku akan menjaganya dengan hidupku, adikku," kata Trent sambil menarik-narik lenganku. "Sekarang pergi
kalahkan orang itu agar kita bisa cepat pergi dari sini."
"TRAVIS MAD DOG MADDOX!" Adam berteriak di pengeras suara.

Suara di ruangan itu memekakkan telinga saat Travis berjalan menerobos kerumunan. Aku melihat ke arah
Trent, ada senyuman kecil di wajahnya. Orang lain mumgkin tidak akan melihatnya, tapi aku dapat melihat
rasa bangga di matanya.
Saat Travis masuk ke tengah The Circle, aku menelan ludah. Tubuh John tidak lebih besar dari Travis, namun
dia terlihat berbeda dari orang yang pernah Travis lawan sebelumnya, bahkan dari pria yang Travis lawan di
Vegas. Dia tidak berusaha mengintimidasi Travis dengan tatapan menakutkan seperti yang lain; dia sedang
mempelajari gerakan Travis, mempersiapkan cara untuk bertarung melawan Travis di dalam pikirannya.
Matanya selain terlihat sedang menganalisa, itu juga terlihat kosong. Aku tahu sebelum pertarungan dimulai
bahwa Travis tidak hanya akan sekedar bertarung, dia sedang berdiri berhadapan dengan iblis.
Travis tampaknya menyadari perbedaannya juga. Seringai yang biasanya ada sekarang tidak ada, digantikan
dengan tatapan intens. Saat tanda pertarungan dimulai, John menyerang.
"Ya Tuhan," aku berkata sambil mencengkeram kuat lengan Trent.
Trent bergerak seperti Travis, seolah mereka adalah orang yang sama. Aku semakin tegang setiap John
mengayunkan pukulannya, melawan dorongan untuk menutup mataku. Tidak ada gerakan yang sia-sia; John
sangat lihai dan penuh perhitungan. Kalau dibandingkan, lawan Travis yang lain terlihat sangat ceroboh.
Kekuatan yang belum terlatih di balik setiap pukulan pria itu saja sudah membuat kagum, seolah semuanya
telah diatur dan dilatih agar sempurna.
Udara di ruangan itu menjadi berat dan pengap; debu dari kain penutup beterbangan dan masuk ke
tenggorokanku setiap kali aku menarik nafas. Semakin lama pertarungan berlangsung, semakin tidak enak
perasaanku. Aku tidak bisa menghilangkannya, namun aku memaksa diriku untuk tetap diam di tempatku agar
Travis dapat berkonsentrasi.
Pada satu waktu, aku terhipnotis oleh pemandangan di tengah ruang bawah tanah, saat berikutnya, aku
didorong dari belakang. Kepalaku tersentak karenanya, namun aku mencengkram lebih erat, menolak untuk
bergerak dari tempat yang sudah aku janjikan. Trent melihat ke belakang dan menarik baju dua orang pria di
belakang kami lalu mendorongnya ke lantai seolah mereka hanyalah boneka kain.
"Mundur atau aku akan membunuhmu!" dia berteriak pada mereka yang menatap dua pria yang jatuh itu. Aku
mencengkram lengannya lebih erat dan dia menepuk tanganku. "Aku akan melindungimu, Abby. Tonton saja
pertarungannya."
Travis melakukannya dengan baik, dan aku menarik nafas saat dia melukai pria itu. Penonton semakin histeris,
namun peringatan Trent membuat orang-orang di sekitar kami menjaga jarak aman. Travis mendaratkan
pukulan kuat lalu melirik padaku, langsung mengembalikan perhatiannya pada John. Gerakannya gesit, hampir
penuh perhitungan, terlihat seperti dapat meramalkan serangan John, bahkan sebelum John melakukannya.
Karena John sudah tidak sabar, dia melilitkan tangannya ke tubuh Travis, menariknya ke bawah. Seperti satu
kesatuan, kerumunan yang mengelilingi ring buatan menjadi semakin berdesakan, semua ingin melihat ke
dalam ring saat pertarungan terjadi di lantai.
"Aku tidak bisa melihatnya, Trent!" aku berteriak sambil berjinjit.
Trent melihat sekeliling, menemukan kursi kayu Adam. Dengan gerakan seperti sedang berdansa, dia
memindahkanku dari tangan satu ke tangan yang satunya, membantuku naik kursi sehingga aku sekarang
berada di atas penonton. "Bisakah kau melihatnya?"
"Ya!" aku berkata sambil memegang tangan Trent agar tidak jatuh. "Dia berada di atas John, tapi kakinya John

melilit leher Travis!"


Tubuh Trent miring ke depan sambil berjinjit, meletakkan tangannya yang bebas di sekitar mulutnya,
"BANTING PANTATNYA, TRAVIS!"
Aku melirik sekilas pada Trent di bawah lalu memiringkan tubuhku ke depan agar dapat melihat lebih jelas
pada ke dua pria yang berada di lantai. Tiba-tiba Travis berdiri, kaki John masih berada di lehernya.
Travis kemudian terjatuh di atas lututnya, membanting punggung dan kepala John ke lantai semen dengan
keras. Kaki John terkulai, melepaskan leher Travis, lalu Travis memundurkan sikunya, memukuli John terus
menerus dengan kepalan tangannya yang dikepalkan dengan rapat hingga Adam menariknya menjauh dari
John, melemparkan kain merah kotak ke arah tubuh John yang terkulai.
Kegembiraan meledak di ruangan itu saat Adam mengangkat tangan Travis ke udara. Trent memeluk kakiku,
sambil berteriak mengucapkan selamat atas kemenangannya pada adiknya. Travis melihat ke atas ke arahku
sambil tersenyum lebar dan berdarah; mata kanannya mulai bengkak.
Saat uang berpindah tangan dan kerumunan mulai berpencar dan bersiap untuk keluar, mataku melihat ke arah
lentera yang berkelap-kelip dan bergoyang ke depan dan ke belakang tak terkendali di ujung ruangan di
belakang Travis. Cairan menetes dari dasarnya, membasahi kain penutup di bawahnya. Perutku langsung mual.
"Trent?"
Setelah mendapat perhatiannya, aku menunjuk ke ujung ruangan. Pada saat itu juga, lentera jatuh dari
gantungannya, ke atas kain penutup di bawahnya, langsung meledak menjadi kobaran api.
"Ya Tuhan!" Trent berkata sambil memegang kakiku.
Beberapa pria yang ada di sekitar api langsung loncat menjauh, melihat terpana pada api saat merembet pada
kain di dekatnya. Asap hitam keluar dari pojok, dan dengan bersamaan, semua orang di ruangan ini menjadi
panik, saling mendorong untuk keluar.
Aku menatap mata Travis, dan pandangan ketakutan terlihat di wajahnya.
"Abby!" dia berteriak, mendorong lautan manusia yang ada diantara kami.
"Ayo!" Trent berteriak sambil menarikku dari kursi ke sampingnya.
Ruangan menjadi gelap, dan suara keras seperti ada yang meledak terdengar dari sisi lain ruangan. Lentera lain
memicu dan membuat api semakin besar dengan ledakan kecil. Trent menarik lenganku, menarikku di
belakangnya saat dia berusaha menerobos orang-orang untuk keluar.
"Kita tidak bisa keluar lewat situ! Kita harus kembali ke jalan tempat kita masuk tadi!" aku berteriak,
memberontak.
Trent melihat ke sekeliling, membuat rencana untuk keluar di tengah-tengah kebingungan. Aku melihat pada
Travis lagi, melihatnya berusaha melintasi ruangan. Saat orang-orang semakin banyak, Travis terdorong
semakin jauh. Teriakan gembira sebelumnya berganti menjadi jeritan ketakutan dan keputusasaan saat semua
orang berusaha untuk keluar.
Trent menarikku ke pintu, dan aku melihat ke belakang, "Travis!" aku berteriak, mencoba meraihnya.
Dia terbatuk, menggerak-gerakkan tangannya agar asap menjauhinya.

"Ke arah sini, Trav!" Trent memanggilnya.


"Bawa saja dia keluar dari sini, Trent! Bawa Pigeon keluar!" dia berkata sambil terbatuk-batuk.
Merasa ragu, Trent melihat ke arahku. Aku dapat melihat rasa takut di matanya. "Aku tidak tahu jalan keluar!"
Aku melihat ke arah Travis sekali lagi, dia berada di dekat api yang sudah menyebar kemana-mana. "Travis!"
"Cepat pergi! Kita akan bertemu di luar!" suaranya tenggelam di antara kekacauan yang ada di sekitar kami,
dan aku menarik lengan baju Trent.
"Lewat sini, Trent!" kataku, merasakan airmata dan asap membakar mataku. Banyak orang yang panik di
antara Travis dengan satu-satunya pintu untuk dia keluar.
Aku menarik tangan Trent, mendorong semua orang yang menghalangiku. Kami tiba di pintu keluar, lalu aku
melihat ke depan dan ke belakang. Dua lorong gelap menjadi remang-remang diterangi api yang ada di
belakang kami.
"Lewat sini!" Kataku, menarik tangannya lagi.
"Kau yakin?" tanya Trent, suaranya terdengar sangat ragu dan ketakutan.
"Ayo!" kataku menarik tangannya sekali lagi.
Semakin jauh kami berlari, lorong menjadi semakin gelap. Setelah beberapa saat, aku benafas semakin mudah
karena asap berada jauh di belakang, namun suara jeritan tidak berkurang, malah semakin kencang dan panik
dari sebelumnya. Suara mengerikan di belakang kami menguatkan tekadku, membuat langkahku semakin
cepat tapi terarah. Pada belokan ke dua, kami berjalan tanpa bisa melihat apa pun dalam kegelapan. Aku
meletakkan tangan di depanku, merasakan dinding sepanjang jalan dengan tanganku yang bebas,
mencengkeram tangan Trent dengan tangan yang lain.
"Apa kau pikir dia berhasil keluar?" tanya Trent.
Pertanyaannya merusak konsentrasiku, dan aku berusaha mendorong keluar jawabannya dari pikiranku. "Terus
berjalan," kataku, tercekat.
Trent berhenti sebentar, namun saat aku menariknya lagi, ada cahaya remang-remang. Dia memegang
pemantik api, memicingkan mata untuk mencari jalan keluar. Aku mengikuti cahaya saat dia menggerakkannya
mengelilingi lorong, dan aku terkesiap saat pintu keluar terlihat.
"Lewat sini!" aku berkata sambil menariknya lagi.
Saat aku bergegas melintasi ruangan berikutnya, segerombolan orang menabrakku, membuatku terjatuh ke
lantai. Tiga wanita dan dua pria, semua wajahnya kotor dan mata yang lebar dan ketakutan menatapku.
Salah satu pria menarikku untuk membantuku berdiri. "Ada beberapa jendela di sana yang bisa kita lalui untuk
keluar." dia berkata.
"Kami baru saja datang dari arah sana, tidak ada apa-apa di sana," aku berkata sambil menggelengkan kepala.
"Kau pasti tadi tidak melihatnya. Aku tahu itu ada di sana!"

Trent menarik tanganku. "Ayo, Abby, mereka tahu jalan keluar!"


Aku menggelengkan kepala. "Kita masuk dari sini bersama Travis. Aku tahu itu."
Trent memegangku lebih erat. "Aku sudah berjanji pada Travis untuk selalu bersamamu. Kita akan pergi
bersama mereka."
"Trent, kita tadi dari sanatidak ada jendela di sana!"
"Ayo kita pergi, Jason!" teriak salah satu wanita.
"Kami akan pergi," kata Jason, melihat ke arah Trent.
Trent menarik tanganku lagi dan aku melepaskannya. "Trent, aku mohon! Lewat sini, aku yakin!"
"Aku akan pergi bersama mereka," kata Trent, "Aku mohon ikutlah bersamaku."
Aku menggelengkan kepala, air mata jatuh di pipiku. "Aku sudah pernah kemari sebelumnya. Itu bukan jalan
untuk keluar!"
"Kau harus ikut bersamaku!" dia membentak sambil menarik lenganku.
"Trent, hentikan! Kita pergi ke arah yang salah!" aku menangis.
Kakiku terseret di atas lantai semen saat dia menarikku bersamanya. Dan ketika bau asap semakin kuat, aku
menarik lepas tanganku, berlari ke arah yang berlawanan.
"ABBY! ABBY!" Trent memanggilku.
Aku terus berlari, sambil meletakkan tangan di depanku, agar tidak menabrak dinding.
"Ayo pergi! Dia akan membuatmu terbunuh!" teriak seorang wanita.
Bahuku menabrak dinding dan aku berputar, terjatuh ke lantai. Aku merangkak di atas lantai, sambil tetap
meletakkan tangan di depanku. Ketika jariku menyentuh eternit, aku menelusurinya lalu berdiri. Ujung pintu
terasa di bawah sentuhanku dan aku mengikutinya ke ruangan sebelah.
Kegelapan tiada akhir, namun aku berusaha menghilangkan rasa panikku, dengan hati-hati menjaga agar
langkahku tetap lurus, mengapai dinding berikutnya. Beberapa menit berlalu, dan aku merasakan ketakutan
yang mucul di dalam diriku saat suara ratapan terdengar.
"Aku mohon," aku berbisik di dalam kegelapan, "Jadikan ini jalan keluar."
Aku merasakan ujung pintu lain, dan saat aku masuk, seberkas cahaya berwarna perak bersinar di hadapanku.
Cahaya bulan masuk menerobos kaca jendela, dan isak tangis keluar dari tenggorokanku.
"T-TRENT! Ada di sini!" aku memanggil ke belakangku. "TRENT!"
Aku memicingkan mataku, melihat gerakan kecil di kejauhan. "Trent?" panggilku, jantungku berdegup
kencang di dadaku. Dalam sekejap, sebuah bayangan menari di dinding, dan mataku terbelalak ngeri ketika
aku menyadari bahwa apa yang tadi aku kira adalah bayangan seseorang ternyata adalah kobaran api.
"Ya Tuhan," aku berkata sambil melihat ke arah jendela. Travis tadi menutupnya, dan itu terlalu tinggi untuk

bisa aku raih.


Aku melihat sekeliling mencari sesuatu untuk dinaiki. Ruangan itu penuh dengan perabotan kayu yang ditutupi
kain putih. Kain yang sama yang akan dilahap api hingga ruangan ini menjadi seperti neraka.
Aku menarik sepotong kain putih, melepasnya dari sebuah meja. Debu beterbangan di sekitarku saat kain itu
dilempar ke bawah lalu menyeret kayu berukuran besar itu melintasi ruangan ke bawah jendela. Aku
mendorongnya menempel ke dinding dan aku menaikinya, terbatuk karena asap yang perlahan menyusup ke
dalam ruangan. Jendela itu masih beberapa kaki di atasku.
Aku mendengus setiap kali mencoba untuk mendorongnya terbuka, dengan asal memutar kunci ke depan dan
ke belakang sambil mendorong. Jendela itu sama sekali tidak bergeming.
"Ayolah, sialan!" aku berteriak, bersandar di lenganku.
Aku miring ke belakang, menggunakan seluruh berat badanku dengan sedikit kekuatan yang dapat aku
usahakan untuk memaksanya terbuka. Ketika itu tidak berhasil, aku memasukan kukuku ke dalam celah
jendela, mencongkel dan menariknya hingga aku rasa kukuku terangkat dari kulitku. Cahaya berkelebat di
ujung mataku, dan aku berteriak ketika aku melihat api merembet ke kain putih sepanjang lorong yang aku
lalui tadi.
Aku melihat ke jendela, sekali lagi menancapkan kukuku ke ujung jendela. Darah menetes dari ujung jariku,
ujung jendela yang terbuat dari besi menyayat kulitku. Instingku muncul mengalahkan semua akal sehatku,
dan aku mengepalkan tanganku, memukul-mukul kaca. Kaca jendelanya sedikit retak, diikuti percikan darahku
setiap kali memukul.
Aku memukul kacanya sekali lagi dengan kepalan tanganku, lalu melepas sepatuku, membantingnya ke
jendela dengan kekuatan penuh. Suara sirene terdengar di kejauhan dan aku terisak menangis, memukulmukulkan telapak tanganku ke jendela. Sisa hidupku hanya berjarak beberapa inchi, di balik jendela. Aku
mencongkel jendela sekali lagi, lalu mulai memukul kaca dengan kedua tanganku.
"TOLONG AKU!" aku berteriak, melihat api yang sudah semakin mendekat. "SIAPAPUN, TOLONG AKU!
Suara batuk samar-samar terdengar di belakangku. "Pigeon?"
Aku langsung berputar karena mendengar suara yang aku kenal. Travis muncul dari pintu di belakangku, wajah
dan bajunya penuh dengan abu.
"TRAVIS!" aku menangis. Aku bergegas turun dari meja dan berlari menuju tempat dia berdiri, kehabisan
tenaga dan kotor.
Aku berlari ke arahnya, dan dia memelukku, terbatuk saat dia menarik nafas. Tangannya memegang kedua
pipiku.
"Di mana Trent?" tanyanya, suaranya serak dan lemah.
"Dia mengikuti mereka!" aku menjawab sambil menangis, air mata mengalir di wajahku. "Aku sudah mencoba
membujuknya untuk ikut denganku, tapi dia tidak mau!"
Travis melihat ke bawah ke arah api yang semakin mendekat. Aku menarik nafas, terbatuk ketika asap
memenuhi paru-paruku. Dia melihat ke arahku, matanya berkaca-kaca. "Aku akan mengeluarkan kita dari sini,
Pidge." Dia menciumku dengan gerakan cepat dan kuat, lalu dia naik ke atas tangga buatanku.

Dia mendorong jendela, dan memutar kuncinya, semua ototnya bergetar saat dia mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk mendorong kaca.
"Mundur, Abby! Aku akan memecahkan kacanya!"
Takut untuk bergerak, aku hanya bisa menjauh satu langkah dari satu-satunya jalan kami untuk keluar. Sikunya
Travis ditekuk saat dia mengangkat kepalan tangannya ke belakang, berteriak saat dia memukulkannya ke
jendela. Aku berpaling, menutup wajah dengan tanganku yang berdarah saat kaca pecah di atasku.
"Ayo!" dia berteriak, mengulurkan tangannya padaku. Panas api memenuhi ruangan, dan aku melayang di
udara saat dia mengangkatku dari lantai dan mendorongku keluar.
Aku menunggu sambil berlutut saat Travis memanjat keluar, lalu membantunya berdiri. Suara sirene
menggelegar dari belakang gedung, dan cahaya merah biru dari lampu mobil pemadam kebakaran dan polisi
menari di dinding bata gedung sebelah.
Kami berlari menuju kerumunan orang yang berdiri di depan gedung, mencari wajah kotor Trent. Travis
meneriakkan nama kakaknya, suaranya semakin terdengar putus asa pada setiap panggilan. Dia mengeluarkan
handphonenya untuk memeriksa apakah ada missed call lalu menutupnya, menutup mulut dengan tangannya
yang hitam.
"TRENT!" Travis berteriak, memanjangkan lehernya saat dia mencarinya di kerumunan.
Mereka yang telah berhasil keluar berpelukan dan merintih di belakang mobil ambulans, menatap ngeri saat
mobil pemadam kebakaran menyemprotkan air melalui jendela dan para pemadam kebakaran berlari ke dalam,
menarik selang di belakang mereka.
Travis mengacak-acak rambut pendek di atas kepalanya, menggelengkan kepalanya. "Dia tidak berhasil
keluar," dia berkata dengan suara pelan. "Dia tidak berhasil keluar, Pidge."
Nafasku tercekat saat aku melihat abu di pipinya tercoreng oleh air mata. Dia jatuh berlutut dan aku
mengikutinya.
"Trent pintar, Trav. Dia pasti berhasil. Dia pasti menemukan jalan keluar lain," aku berkata, mencoba
meyakinkan diriku juga.
Travis roboh di pangkuanku, mencengkeram bajuku dengan kedua tangannya. Aku memeluknya. Aku tidak
tahu apalagi yang harus aku lakukan.
Satu jam telah berlalu. Kami memandang dengan harapan yang semakin menipis saat pemadam kebakaran
membawa keluar dua orang, masuk lalu keluar lagi tanpa membawa apapun. Ketika paramedis mengobati
orang yang terluka dan ambulans melaju di kegelapan malam membawa korban yang terbakar, kami
menunggu. Setengah jam kemudian, pemadam kebakaran membawa keluar mayat-mayat orang yang tidak
terselamatkan. Korban tewas dijajarkan di atas tanah, jumlahnya melebihi jumlah orang yang selamat. Travis
tetap menatap ke arah pintu, menunggu mereka mengeluarkan kakaknya dari abu.
"Travis?"
Kami menoleh bersamaan dan melihat Adam berdiri di samping kami. Travis berdiri, menarikku bersamanya.
"Aku senang melihat kalian berhasil keluar," kata Adam, terlihat terpana dan kebingungan.
"Di mana Trent?"

Travis tidak menjawab.


Pandangan kami kembali ke arah aula Keaton yang hangus terbakar, asap tebal masih membumbung dari
jendela. Aku memendamkan kepalaku di dada Travis, menutup rapat mataku, berharap aku akan segera
terbangun dari mimpi.
"Aku harus uhaku harus menelepon ayahku," kata Travis, alisnya menyatu saat dia membuka
handphonenya.
Aku mengambil nafas, berharap suaraku terdengar lebih kuat dari yang aku rasakan. "Mungkin kau harus
menunggu, Travis. Kita belum mengetahui apapun."
Matanya tidak berpaling dari tombol angka, dan bibirnya gemetar. "Ini tidak mungkin terjadi. Dia seharusnya
tidak berada di sana."
"Itu kecelakaan, Travis. Kau tidak bisa mengetahui hal seperti ini akan terjadi," aku berkata sambil menyentuh
pipinya.
Wajahnya ditahan, matanya tertutup rapat. Dia menarik nafas panjang dan mulai menghubungi nomor telepon
ayahnya.
***
Nomor di layar berganti menjadi sebuah nama ketika telepon berdering, dan mata Travis terbelalak saat dia
membacanya. Telepon berada di atas telinganya dengan gerakan cepat.
"Trent?" suara tawa tidak percaya keluar dari bibirnya, dan sebuah senyuman terlihat di wajahnya saat dia
melihat ke arahku, "Ini Trent!" Aku menarik nafas dan meremas lengannya ketika dia berbicara. "Di mana
kau? Apa maksudmu kau di asrama? Aku akan ke sana sekarang, jangan kemana-mana!"
Aku tersentak ke depan, mencoba mengikuti langkah Travis saat dia berlari dengan cepat melintasi kampus,
menyeretku di belakangnya. Ketika kami tiba di asrama, paru-paruku berteriak menginginkan udara. Trent
berlari menuruni tangga, menabrak kami berdua.
"Ya Tuhan, bro! Kupikir kau sudah terbakar!" Trent berkata sambil memeluk kami berdua dengan erat hingga
aku kesulitan untuk bernafas.
"SIALAN kau!" Travis berteriak sambil mendorong kakaknya menjauh. "Aku pikir kau sudah mati! Aku
menunggu pemadam kebakaran membawa tubuhmu yang hangus terbakar keluar dari Keaton!"
Travis mengerutkan dahinya pada Trent untuk beberapa saat, lalu menarik dan memeluknya. Tangannya
menjulur keluar, meraba-raba hingga dia merasakan bajuku, lalu menarikku juga ke pelukannya. Setelah
beberapa saat, Travis melepaskan Trent, namun tetap menggandengku di sampingnya.
Trent melihatku dengan tatapan meminta maaf. "Maafkan aku, Abby. Aku panik."
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku senang kau tidak apa-apa."
"Aku? Aku akan lebih memilih mati jika Travis melihatku keluar dari gedung itu tanpa dirimu. Aku berusaha
menemukanmu setelah kau lari, tapi aku tersesat dan harus mencari jalan lain. Aku berjalan menelusuri gedung
mencari jendela itu, tapi aku bertemu dengan beberapa orang polisi dan mereka memaksaku keluar. Aku
diangkut keluar dari sana!" kata Trent, mengacak-acak rambut pendeknya.

Travis mengelap pipiku dengan jempolnya, lalu menarik kaosnya, menggunakannya untuk membersihkan abu
dari wajahnya. "Ayo kita pergi dari sini. Sebentar lagi akan banyak polisi berkeliaran di tempat ini."
Setelah memeluk kakaknya sekali lagi, kami berjalan menuju mobil Honda milik America. Travis
memperhatikanku memasang sabuk pengaman lalu mengerutkan dahinya saat aku terbatuk.
"Mungkin aku harus membawamu ke rumah sakit. Untuk memeriksamu."
"Aku baik-baik saja," jawabku, menggenggam jarinya di jariku. Aku melihat ke bawah, ada luka yang dalam di
ruas jarinya. "Itu akibat pertarungan atau jendela?"
"Jendela," jawabnya, merengut saat melihat kukuku yang berdarah.
"Kau menyelamatkan hidupku, kau tahu."
Dia merengut. "Aku tidak akan keluar tanpa dirimu."
"Aku tahu kau akan datang," aku tersenyum, meremas jarinya.
***
Kami tetap berpegangan tangan hingga kami tiba di apartemen. Aku tidak tahu darah siapa saat aku
membersihkan noda merah dan abu dari tubuhku di bawah pancuran. Menjatuhkan diri ke atas tempat tidur
Travis, aku masih dapat mencium bau asap dan kulit yang terbakar.
"Nih," kata Travis, menyodorkan gelas pendek yang terisi cairan berwarna kuning tua, "Ini akan membuatmu
tenang."
"Aku tidak lelah."
Dia menyodorkan gelas itu lagi. Matanya tampak lelah, merah, dan berat. "Cobalah untuk beristirahat, Pidge."
"Aku merasa takut untuk menutup mataku," aku berkata sambil mengambil gelas itu dan meminumnya.
Dia mengambil gelas yang sudah kosong dan meletakkannya di meja, duduk di sampingku. Kami duduk
terdiam, membiarkan beberapa jam yang lalu tercerna. Aku menutup rapat mataku saat teringat jerit ketakutan
dari mereka yang terjebak di bawah tanah memenuhi pikiranku. Aku tak yakin berapa lama bagiku untuk bisa
melupakannya, atau aku mungkin tak akan pernah melupakannya.
Tangan hangat Travis di lututku menarikku dari mimpi burukku. "Banyak orang yang meninggal malam ini."
"Aku tahu."
"Besok baru kita akan tahu jumlahnya berapa banyak."
"Aku dan Trent berpapasan dengan sekelompok orang saat akan keluar. Aku penasaran apa mereka berhasil
keluar. Mereka tampak sangat ketakutan"
Aku merasakan air mata memenuhi mataku, namun sebelum mereka turun di pipiku, tangan kekar Travis
memelukku. Aku langsung merasa terlindungi, berdekatan dengan tubuhnya. Merasa seperti di rumah saat
berada dalam pelukannya yang dulu membuatku takut. Namun saat ini, aku bersyukur aku bisa merasa aman
setelah mengalami kejadian yang sangat menyeramkan. Hanya ada satu alasan mengapa aku merasa seperti itu.

Aku miliknya.
Saat itulah aku tahu. Tanpa keraguan di pikiranku, tanpa merasa khawatir akan apa yang akan dipikirkan orang
lain, dan tidak merasa takut salah atau menerima konsekuensinya, aku tersenyum pada apa yang akan aku
katakan.
"Travis?" aku berkata di dadanya.
"Apa, sayang?" jawabnya pelan.
Telepon kami berbunyi bersamaan, dan aku menyerahkan telepon Travis padanya saat aku mengangkat
teleponku. "Halo?"
"ABBY?" America memekik.
"Aku baik-baik saja, Mare. Kami baik-baik saja."
"Kami baru mendengarnya! Ada di semua berita!"
Aku dapat mendengar Travis yang sedang menjelaskan bagaimana kejadiannya pada Shepley di sampingku,
dan aku berusaha sebaik mungkin untuk menenangkan America. Menjawab semua pertanyaannya, berusaha
menjaga suaraku tetap tenang saat menceritakan kembali kejadian yang paling menakutkan dalam hidupku,
aku merasa tenang sesaat setelah Travis memegang tanganku.
Aku seperti sedang menceritakan pengalaman orang lain, duduk dengan nyaman di apartemen Travis, berada
jauh dari mimpi buruk yang bisa saja membuat kami berdua kehilangan nyawa. America menangis ketika aku
selesai, menyadari bagaimana nyarisnya kami kehilangan nyawa kami.
"Aku akan mulai berkemas sekarang. Kami akan pulang besok pagi," America terisak.
"Mare, tidak perlu pulang cepat. Kami baik-baik saja."
"Aku harus melihatmu. Aku harus memelukmu sehingga aku yakin kau tidak apa-apa," dia menangis.
"Kami baik-baik saja. Kau bisa memelukku hari Jumat."
Dia terisak lagi. "Aku menyayangimu."
"Aku juga menyayangimu. Selamat bersenang-senang."
Travis melihat ke arahku lalu menekan teleponnya dengan kuat di telinganya, "Sebaiknya kau memeluk
kekasihmu, Shep. Dia terdengar sedih. Aku tahu, manaku juga. Sampai bertemu nanti."
Aku menutup telepon beberapa detik sebelum Travis, dan kami duduk terdiam beberapa saat, masih
memproses apa yang telah terjadi. Setelah beberapa lama, Travis bersandar ke bantal, lalu menarikku ke atas
dadanya.
"America baik-baik saja?" dia bertanya sambil memandangi langit-langit.
"Dia sangat sedih. Tapi dia akan baik-baik saja."
"Aku sangat lega mereka tak ada di sini."

Aku menutup rapat gigiku. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi seandainya mereka tidak
sedang berada di rumah orang tua Shepley. Pikiranku kembali pada ekspresi ketakutan para wanita yang ada di
ruang bawah tanah, melawan para pria untuk keluar. Mata ketakutan America menggantikan wanita tanpa
nama di ruangan itu. Aku merasa mual memikirkan rambut pirangnya yang indah menjadi kotor dan hangus
bersama dengan mayat-mayat yang tergeletak di halaman.
"Aku juga." Aku berkata sambil gemetar.
"Kau sudah melalui banyak hal malam ini. Aku seharusnya tidak menambah bebanmu."
"Kau juga berada di sana, Trav."
Dia terdiam beberapa saat, dan pada saat aku membuka mulutku lagi untuk bicara, dia menarik nafas.
"Aku jarang merasa takut," dia akhirnya bicara. "Aku takut pada saat pertama kali aku terbangun di pagi hari
dan kau tidak ada di sini. Aku takut ketika kau meninggalkanku sepulang dari Las Vegas. Aku takut saat aku
pikir aku harus memberitahu ayahku bahwa Trent meninggal di dalam gedung itu. Tapi pada saat aku
melihatmu melewati api di ruang bawah tanahaku merasa sangat ketakutan. Aku berhasil mendekati pintu,
beberapa kaki dari pintu keluar, dan aku tidak bisa melangkah keluar."
"Apa maksudmu? Apa kau gila?" kataku, kepalaku tersentak ke atas untuk menatap matanya.
"Aku tak pernah merasa seyakin ini tentang apapun dalam hidupku. Aku berbalik, berjalan menuju ruangan
tempat kau berada. Aku tidak mempedulikan yang lain. Aku bahkan tak tahu apakah kita akan selamat atau
tidak, aku hanya ingin bersamamu, apa pun artinya itu. Satu-satunya yang aku takutkan adalah untuk hidup
tanpamu, Pidge."
Aku mendekat, mencium bibirnya dengan lembut. Saat bibir kami terpisah, aku tersenyum. "Kalau begitu tidak
ada yang perlu kau takuti lagi. Kita untuk selamanya."
Dia menghela nafas. "Aku akan melakukannya lagi, kau tahu. Aku tidak akan menukar satu detik pun jika itu
artinya kita akan berada di sini, saat ini."
Mataku terasa berat, dan aku menarik nafas dalam. Paru-paruku memprotes, masih merasa terbakar karena
asap. Aku terbatuk sedikit, lalu merasa tenang, merasakan bibir hangat Travis di keningku. Tangannya di atas
rambutku yang basah, dan aku dapat mendengar detak jantungnya yang teratur di dadanya.
"Ini dia" dia berkata sambil menghela nafas.
"Apa?"
"Momen ini. Ketika aku memandangimu yang sedang tidurkedamaian di wajahmu? Ini dia. Aku tidak
pernah merasakannya setelah ibuku meninggal, tapi aku dapat merasakannya lagi." Dia kembali menarik nafas
dalam dan menarikku lebih dekat. "Aku langsung tahu begitu melihatmu ada sesuatu tentangmu yang aku
butuhkan. Ternyata sama sekali bukan sesuatu tentangmu. Tapi dirimu."
Ujung bibirku terangkat ke atas saat aku menyembunyikan wajahku di dadanya. "Itulah kita, Trav. Tidak ada
yang masuk akal, kecuali kita bersama. Apakah kau menyadari itu?"
"Menyadari? Aku telah mengatakannya padamu sepanjang tahun!" dia meledek. "Sudah resmi. Wanita
murahan, pertarungan, perpisahan, Parker, Vegasbahkan apihubungan kita dapat menghadapi apapun."
Aku mengangkat kepalaku lagi, melihat kepuasan di matanya saat dia menatapku. Itu sama dengan kedamaian

yang aku pernah lihat di wajahnya sesaat setelah aku kalah taruhan dan harus tinggal bersamanya di
apartemen, setelah aku mengatakan padanya kalau aku mencintainya untuk pertama kali, dan pada pagi hari
setelah acara Valentine. Itu semua mirip, tapi berbeda. Yang ini mutlakpermanen. Harapan hati-hatinya telah
menghilang dari matanya, kepercayaan tanpa syarat menggantikannya.
Aku mengenali itu karena matanya mencerminkan apa yang aku rasakan.
"Vegas?" tanyaku.
Alisnya mengernyit, tidak yakin apa maksudku. "Ya?"
"Apakah kau pernah berpikir untuk kembali ke sana?"
Alisnya mengernyit lagi. "Kupikir itu bukan ide yang bagus untukku."
"Bagaimana kalau kita pergi kesana hanya untuk satu malam?"
Dia melihat ke sekeliling ruangan yang gelap, merasa bingung. "Satu malam?"
"Menikahlah denganku," aku mengatakannya tanpa ragu. Aku terkejut karena betapa cepat dan mudahnya
kata-kata itu keluar.
Bibirnya terbuka menjadi sebuah senyuman lebar. "Kapan?"
Aku mengangkat bahuku. "Kita dapat memesan tiket pesawat untuk besok. Sekarang sedang Libur Musim
Semi. Tidak ada yang harus aku lakukan besok, apakah ada yang harus kau lakukan besok?"
"Aku akan menerima gertakanmu," dia berkata sambil mengangkat telepon. "American Airlines," dia berkata
sambil memperhatikan reaksiku dengan teliti saat panggilannya tersambung. "Aku membutuhkan dua tiket ke
Vegas. Besok. Hmmmmm," dia melihat ke arahku, menungguku berubah pikiran. "Dua hari, pulang-pergi.
Apapun yang anda punya."
Aku meletakkan daguku di dadanya, menunggunya memesan tiket. Semakin lama aku membiarkannya
menelepon, semakin lebar juga senyumannya.
"Yauh, tunggu sebentar," dia berkata sambil menunjuk ke dompetnya. "Tolong ambil kartu kreditku, Pidge?"
dia menunggu reaksiku lagi. Dengan senang aku mengambilnya keluar dari dompet dan menyerahkannya pada
Travis.
Travis menyebutkan nomornya pada agen, melihat ke arahku setiap dia menyebutkan satu angka. Saat dia
menyebutkan tanggal berlaku kartu dan melihat aku tidak memprotesnya, dia menutup bibirnya rapat. "Ehm,
ya. Kami akan mengambilnya ke sana. Terima kasih."
Dia menyerahkan teleponnya padaku dan aku meletakkannya di atas meja, menunggunya berbicara.
"Kau baru saja memintaku untuk menikahimu," dia berkata, masih menungguku untuk mengakui kalau itu
adalah tipuan.
"Aku tahu."
"Itu tadi serius, kau tahu. Aku baru saja memesan dua tiket ke Vegas untuk besok sore. Itu artinya kita akan
menikah besok malam."

"Terima kasih."
Dia memicingkan matanya. "Kau akan menjadi Mrs. Maddox ketika kau mulai kuliah hari senin."
"Oh," aku berkata sambil melihat sekeliling.
Alis Travis naik. "Berubah pikiran?"
"Aku akan mengurus perubahan dokumen penting minggu depan."
Dia mengangguk pelan, dengan hati-hati berharap. "Kau akan menikahiku besok?"
Aku tersenyum. "Ah ha."
"Kau serius?"
"Yap."
"Aku sangat mencintaimu!" dia menarik kedua sisi wajahku, menciumku dengan keras. "Aku sangat
mencintaimu, Pigeon," dia berkata sambil terus menerus menciumiku.
"Ingat selalu itu selama lima puluh tahun mendatang saat aku masih mengalahkanmu dalam permainan poker,"
aku tersenyum geli.
Dia tersenyum, penuh kemenangan. "Jika itu berarti enam atau tujuh puluh tahun bersamamu, Sayangkau
mendapat izinku untuk melakukan sebisamu."
Aku menaikkan satu alisku, "Kau akan menyesali itu."
"Kau mau taruhan?"
Aku tersenyum sejahat mungkin yang aku bisa. "Apa kau cukup yakin untuk mempertaruhkan motor
mengkilap yang di luar itu?"
Dia menggelengkan kepalanya, ekspresi serius mengantikan senyum menggodanya yang dia berikan beberapa
detik yang lalu. "Aku akan mempertaruhkan semua yang aku punya. Aku tak menyesali satu detik pun saat
bersamamu, Pidge, dan aku tak akan pernah."
Dia memegang tanganku dan menariknya tanpa ragu, menggoyangkannya sekali, lalu mendekatkannya ke
mulutnya, menekan bibirnya dengan lembut di tanganku. Kamar menjadi hening, bibirnya meninggalkan
kulitku dan satu-satunya suara yang terdengar adalah suara udara yang meninggalkan paru-parunya.
"Abby Maddox," kata Travis, senyumnya berkilau di bawah sinar bulan.
Aku menekan pipiku ke dadanya yang telanjang. "Travis dan Abby Maddox. Harus punya cincin yang bagus
untuk itu."
"Cincin?" kata Travis, merengut.
"Kita akan pikirkan tentang cincin nanti, Sayang. Aku hanya asal bicara."
"Ehm" dia terdiam, memperhatikanku menunggu reaksiku.

"Apa?" aku bertanya, merasa tegang.


"Jangan panik ya," dia berkata saat dia bergeser dengan gugup. Pegangannya padaku menjadi lebih erat.
"Sepertinyaaku sudah menangani masalah itu."
"Masalah apa?" tanyaku, aku memanjangkan leherku untuk melihat wajahnya.
Dia menatap langit-langit lalu menghela nafas. "Kau pasti akan panik."
"Travis"
Aku cemberut saat dia melepaskan satu tangannya dariku, meraih laci di meja lampu tidurnya. Dia merabaraba beberapa saat dan aku meniup poni basah dari mataku.
"Apa? Kau membeli kondom?"
Dia tertawa satu kali, "Bukan, sayang." Alisnya bersatu saat dia terus mencari, meraih lebih jauh ke dalam laci.
Setelah dia menemukan apa yang dia cari, perhatiannya beralih, dan dia menatapku saat menarik satu kotak
kecil dari tempat persembunyiannya.
Aku melihat ke bawah saat dia meletakkan kotak beludru di atas dadanya, lalu meletakkan tangan di belakang
kepalanya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Kelihatannya apa?"
"Ok. Aku akan mengulang pertanyaankukapan kau membelinya?"
Travis menarik nafas, dan saat dia melakukan itu, kotak itu naik bersamaan dengan dadanya, dan turun saat dia
mengeluarkan udara dari paru-parunya. "Beberapa saat yang lalu."
"Trav,"
"Aku hanya kebetulan melihatnya pada suatu haridan aku langsung tahu ada satu tempat di mana seharusnya
itu beradadi jari kecilmu yang indah."
"Suatu hari kapan?"
"Apakah itu penting?" bantahnya. Dia meringis sedikit, dan aku tidak dapat menahan tawaku.
"Bolehkah aku melihatnya?" aku tersenyum, tiba-tiba merasa pening.
Dia juga tersenyum, dan melihat ke arah kotak. "Bukalah."
Aku menyentuhnya dengan satu jari, merasakan beludru tebal di bawah ujung jariku. Aku menggenggam kotak
berwarna emas itu dengan kedua tanganku, perlahan membuka tutupnya. Aku melihat cahaya kelap-kelip di
dalamnya dan aku langsung menutupnya lagi.
"TRAVIS!" aku menjerit.
"Aku tahu kau akan panik!" Travis berkata sambil terduduk dan memegang tanganku.

Aku dapat merasakan kotak itu di dalam genggaman tanganku, seperti sebuah granat berduri yang dapat
meledak kapan saja. Aku menutup mata dan menggelengkan kepalaku. "Apakah kau gila?"
"Aku tahu. Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku harus membelinya. Itu adalah cincin yang paling tepat.
Dan aku benar. Aku bahkan belum pernah menemukan yang sesempurna ini lagi."
Aku membuka mataku dan bukannya sepasang mata coklat cemas yang aku lihat, matanya justru berkilau
karena bangga. Dengan perlahan dia melepas genggaman tanganku dari kotak lalu membuka tutupnya,
menarik cincin dari celah kecil yang menahannya. Berlian bulat besar berkilau meskipun dalam cahaya yang
redup, setiap fasetnya menangkap sinar bulan.
"Ituya Tuhan, sangat menakjubkan," aku berbisik saat dia mengambil tanganku.
"Bolehkah aku menyematkannya di jarimu?" dia bertanya, melihat ke arahku. Ketika aku mengangguk, dia
menutup rapat bibirnya, memasukkan lingkaran berwarna perak ke jariku, menahannya untuk beberapa saat
sebelum melepaskannya. "Sekarang baru menakjubkan."
Kami berdua memandangi tanganku untuk beberapa saat, sama-sama terkejut karena betapa kontrasnya berlian
yang besar berada di atas jariku yang kecil. Lingkaran itu membentang di bagian bawah jariku, terbagi menjadi
dua lingkaran yang menyatu di ujung tempat berlian besar itu berada, berlian yang lebih kecil berjajar di setiap
lingkaran yang terbuat dari emas putih.
"Kau bisa membayar uang muka untuk sebuah mobil dengan ini," kataku, berbisik, tidak mampu lagi
menambah kekuatan pada suaraku.
Mataku mengikuti tanganku yang Travis dekatkan ke bibirnya. "Aku telah membayangkan seperti apa jadinya
saat ini berada di jarimu jutaan kali. Sekarang cincin ini sudah di situ"
"Kenapa?" aku tersenyum, melihatnya menatap tanganku dengan senyuman emosional.
Dia menatapku. "Kupikir aku harus berusaha selama lima tahun sebelum aku dapat merasakan hal ini."
"Aku sangat menginginkan ini sama sepertimu. Hanya saja aku memiliki poker face," aku tersenyum lalu
menciumnya.
***
Travis meremas tanganku saat aku menahan nafasku. Aku berusaha menjaga agar wajahku tetap terlihat
tenang, namun ketika aku meringis, genggaman tangannya semakin erat. Langit-langit putih ternoda oleh
bekas bocor di beberapa tempat. Selain dari itu, ruangan ini sempurna. Tidak ada kekacauan, atau peralatan
yang berserakan. Semua berada di tempatnya, membuatku cukup nyaman tentang situasi ini. Aku telah
membuat keputusan. Aku akan melakukannya.
"Sayang," Travis berkata sambil meringis.
"Aku bisa melakukannya," kataku, melihat pada noda di langit-langit. Aku terlonjak saat ujung jari menyentuh
kulitku, namun aku berusaha untuk tidak tegang. Aku dapat melihat rasa cemas di mata Travis saat suara
berdengung terdengar.
"Pigeon?" kata Travis mulai bicara lagi, namun aku menggelengkan kepala untuk membuatnya diam.
"Baiklah. Aku siap." Aku menjauhkan telepon dari telingaku, meringis karena sakit dan karena ceramah yang
tidak bisa dihindari.

"Aku akan membunuhmu, Abby Abernathy!" jerit America. "Membunuhmu!"


"Secara teknis, aku Abby Maddox sekarang," aku berkata sambil melirik pada suami baruku.
"Itu tidak adil!" dia merengek, sudah tidak terdengar marah lagi. "Aku kan seharusnya menjadi pendamping
pengantin wanitamu! Aku seharusnya berbelanja baju bersamamu, mengadakan pesta lajang dan memegangi
karangan bungamu!"
"Aku tahu," kataku, melihat senyum Travis menghilang saat aku meringis lagi.
"Kau tidak harus melakukan ini, kau tahu," dia berkata sambil menarik alisnya menjadi satu.
Aku meremas jarinya dengan tanganku yang bebas. "Aku tahu."
"Kau sudah mengatakan itu tadi!" America membentak.
"Aku tidak sedang bicara padamu."
"Oh, kau sedang bicara denganku," dia mulai marah lagi. "Kau sangat sedang bicara denganku. Kau tidak akan
pernah mendengar akhir dari ini, kau dengar aku? Aku selamanya tidak akan pernah memaafkanmu!"
"Kau pasti akan memaafkanku."
"Kau! Kau adalah seorang! Kau sangat jahat, Abby! Kau adalah sahabat yang buruk!"
Aku tertawa, membuat pria yang duduk di sampingku tersentak. "Jangan bergerak, Mrs. Maddox."
"Maaf," kataku.
"Siapa itu?" bentak America.
"Itu Griffin."
"Siapa Griffin? Biar aku tebak, kau mengundang orang asing ke pernikahanmu bukannya sahabatmu?" nada
suaranya semakin tinggi pada setiap pertanyaan.
"Tidak. Dia tidak datang ke pernikahan," kataku, menarik nafas.
Travis menghela nafas dan bergeser dengan gugup di atas kursinya, meremas tanganku.
"Aku yang seharusnya melakukan itu, ingat?" aku berkata sambil tersenyum padanya dalam kesakitan.
"Maaf. Kupikir aku tidak bisa menahannya," kata Travis, suaranya terdengar penuh dengan penderitaan. Dia
melonggarkan cengkeramannya lalu melihat ke arah Griffin.
"Cepatlah sedikit,"
Griffin menggelengkan kepalanya. "Penuh dengan tatoo, tapi tidak tahan ketika melihat kekasihmu membuat
tatoo berupa tulisan yang sederhana. Aku akan selesai sebentar lagi, Mate."
Travis merengut. "Istri. Dia istriku."
America menarik nafas saat pembicaraan itu terproses di pikirannya. "Kau membuat sebuah tatoo? Ada apa

denganmu, Abby? Apakah kau menghirup asap beracun di kebakaran itu?"


Aku melihat perutku, ke arah lumuran tinta hitam berantakan di atas tulang pinggul bawahku kemudian
tersenyum. "Trav punya tatoo namaku di pergelangan tangannya," aku menarik nafas lagi ketika suara
berdengung berlanjut. Griffin mengelap kelebihan tinta dari kulitku dan mulai lagi. Aku berbicara sambil
menutup rapat gigiku, "Kami sudah menikah. Aku ingin melakukannya juga."
Travis menggelengkan kepala. "Kau tidak harus melakukannya."
Aku memicingkan mataku. "Jangan mulai lagi. Kita sudah membahas masalah ini."
America tertawa satu kali. "Kau sudah gila. Aku akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa saat kau pulang
nanti." Suaranya tetap terdengar tajam dan jengkel.
"Itu bukan gila. Kami saling mencintai. Kami sudah seperti tinggal bersama hampir sepanjang tahun. Jadi
kenapa tidak?"
"Karena kau baru sembilan belas tahun, idiot! Karena kau kabur dan tidak memberitahu siapapun, dan karena
aku tidak ada di sana!" teriaknya.
"Maafkan aku, Mare, aku harus pergi. Sampai bertemu besok, ok?"
"Aku tidak tahu apa aku ingin bertemu denganmu besok! Aku rasa aku tidak ingin bertemu Travis lagi
selamanya!" Dia mencibir.
"Aku akan menemuimu besok, Mare. Kau pasti ingin melihat cincinku."
"Dan tatoomu," kata America, terdengar ada sebuah senyuman dalam suaranya.
Aku menutup telepon, menyerahkannya pada Travis. Suara berdengung terdengar lagi, dan perhatianku fokus
pada rasa seperti terbakar yang diikuti perasaan lega yang manis saat Griffin mengelap sisa tinta. Travis
memasukan teleponku ke dalam sakunya, memegang tanganku dengan kedua tangannya, bersandar mendekat
ke arahku lalu menempelkan dahinya di dahiku.
"Apakah kau merasa ketakutan seperti ini saat kau membuat tatoo mu?" aku bertanya padanya, tersenyum
melihat ekspresi cemas di wajahnya.
Dia bergeser, terlihat seperti merasakan rasa sakitku seribu kali lebih besar. "Uhtidak. Ini berbeda. Ini lebih,
lebih parah."
"Selesai!" kata Griffin, suaranya sama leganya dengan ekspresi Travis.
Aku menjatuhkan kepalaku ke sandaran kursi. "Terima kasih Tuhan!"
"Terima kasih Tuhan!" Travis menghela nafas, menepuk tanganku.
Aku melihat ke bawah ke arah garis hitam indah di atas kulitku yang merah:
Mrs.Maddox
"Wow," kataku, mengangkat kedua sikuku untuk dapat melihat dengan lebih baik.
Kerutan dahi Travis berubah menjadi senyum penuh kemenangan. "Itu sangat indah."

Griffin menggelengkan kepalanya. "Jika aku mendapat satu dolar setiap istri yang di bawa suami barunya
kemari untuk di tatoo dan merasa lebih takut dari istrinyawell. Aku tidak perlu mentatoo siapapun lagi
selamanya."
"Katakan saja berapa harus aku bayar, bodoh," Travis menggerutu.
"Bonnya ada di meja kasir," kata Griffin, merasa geli mendengar jawaban Travis.
Aku melihat ke sekeliling ruangan lalu pandanganku tertuju pada krom mengkilap dan poster contoh tatoo di
tembok, lalu kembali melihat perutku. Nama terakhir baruku bersinar dalam bentuk huruf hitam tebal.
Travis melihatku dengan bangga, lalu memandang ke bawah ke arah cincin kawinnya yang terbuat dari
titanium.
"Kita berhasil, Sayang," dia berkata dengan suara berbisik. "Aku masih tidak percaya kau sekarang adalah
istriku."
"Percayalah," aku berkata sambil tersenyum.
Dia membantuku bangkit dari kursi dan aku berhati-hati dengan bagian kanan tubuhku, menyadari semua
gerakan yang aku lakukan membuat celana jinsku bergesekan dengan kulitku yang lecet. Travis mengeluarkan
dompetnya, menandatangani bon dengan cepat sebelum menuntun tanganku menuju taksi yang sudah
menunggu di luar. Handphoneku berbunyi lagi, dan ketika aku mengetahui bahwa itu America, aku tidak
mengangkatnya.
"Dia akan membuat kita merasa sangat bersalah karena ini, ya kan?" Travis berkata sambil mengernyit.
"Dia akan cemberut selama dua puluh empat jam setelah dia melihat semua foto ini, tapi dia akan
melupakannya."
Travis memberiku seringai nakal. "Apakah kau yakin, Mrs. Maddox?"
"Apakah kau akan pernah berhenti memanggilku seperti itu? Kau telah mengatakannya ratusan kali sejak kita
meninggalkan chapel."
Dia menggelengkan kepalanya saat dia menahan pintu taksi terbuka untukku. "Aku akan berhenti
memanggilmu itu saat aku benar-benar yakin kalau ini semua adalah nyata."
"Oh, ini memang nyata," kataku, meluncur ke tengah tempat duduk untuk memberi tempat untuk Travis. "Aku
punya kenangan tentang malam pernikahan kita untuk membuktikannya."
Dia bersandar padaku, menelusuri kulit leherku yang sensitif hingga telingaku dengan hidungnya. "Aku yakin
kita punya."
"Aw," aku meringis saat dia tidak sengaja menekan perbanku.
"Oh, sial, maafkan aku, Pidge."
"Kau dimaafkan," aku tersenyum.
***

Kami melaju menuju bandara sambil berpegangan tangan, dan aku tertawa geli saat melihat Travis terus
memandangi cincin kawinnya. Matanya memancarkan perasaan yang damai dan sekarang aku sudah terbiasa
melihatnya.
"Saat kita tiba di apartemen, akhirnya aku akan tersadar, dan aku akan berhenti menjadi orang yang
menyebalkan."
"Janji?" aku tersenyum.
Dia mencium tanganku, lalu meletakkannya di atas pangkuannya sambil tetap memegangnya. "Tidak."
Aku tertawa, menyandarkan kepalaku di bahunya hingga taksi melaju perlahan untuk berhenti di depan
bandara. Handphoneku berbunyi lagi, memperlihatkan nama America lagi.
"Dia tidak kenal lelah. Biar aku bicara dengannya," kata Travis, mengambil teleponku.
"Halo?" kata Travis, menunggu suara melengking America. Dia tersenyum, "Karena aku suaminya. Aku boleh
menjawab teleponnya sekarang." Dia melirik ke arahku, lalu mendorong pintu taksi terbuka, mengulurkan
tangannya. "Kami sedang di bandara, America. Kenapa kau dan Shep tidak menjemput kami saja dan kau bisa
memarahi kami berdua dalam perjalanan ke rumah? Ya, selama perjalanan ke rumah. Kami tiba sekitar jam
tiga. Baiklah, Mare. Sampai bertemu nanti." Dia meringis karena kata-kata tajam America lalu menyerahkan
kembali teleponku padaku. "Kau tidak bercanda. Dia benar-benar kesal."
Dia membayar supir taksinya lalu mengangkat tas ke bahunya, menarik pegangan tasku yang ada rodanya ke
atas agar bisa menariknya. Tatoo di tangannya meregang saat dia menarik tasku, tangannya yang bebas meraih
untuk memegang tanganku.
"Aku tidak percaya kau akan mengizinkan dia memarahi kita selama satu jam penuh," aku berkata sambil
mengikutinya menuju pintu putar.
"Kau tidak benar-benar percaya aku akan membiarkannya memarahi istriku, kan?"
"Kau sangat menikmati itu."
"Aku pikir sudah waktunya aku mengakuinya. Aku tahu kau akan menjadi istriku sesaat setelah aku melihatmu
pertama kali. Aku tidak akan berbohong dan berkata aku tidak menunggu hari di mana aku dapat mengatakan
itumaka aku akan terus-menerus memanggilmu dengan sebutan itu. Kau seharusnya sudah terbiasa dengan
itu sekarang." Dia mengatakan hal itu seperti sedang berlatih pidato.
Aku tertawa, meremas tangannya. "Aku tidak keberatan."
Dari sudut matanya dia melihat ke arahku. "Kau tidak keberatan?" Aku menggelengkan kepala dan dia
menarikku lebih dekat ke sampingnya, mencium pipiku. "Bagus. Kau akan merasa muak pada hal itu dalam
beberapa bulan lagi, tapi maklumi aku ya?"
Aku mengikutinya ke lorong, naik eskalator, dan mengantri di keamanan. Saat Travis berjalan melewati metal
detektor, alarm berbunyi dengan keras. Ketika keamanan bandara meminta Travis untuk melepas cincin
kawinnya, wajahnya menjadi keras.
"Aku akan memeganginya, sir." Kata petugas keamanan.. "Hanya untuk beberapa saat."
"Aku sudah berjanji pada istriku tidak akan melepaskannya," Travis berkata sambil menutup rapat giginya.

Petugas keamanan itu mengulurkan telapak tangannya, kerutan tipis sabar dan perasaan geli terlihat di sekitar
matanya.
Travis dengan berat hati melepas cincinnya, menaruhnya dengan kasar di tangan petugas keamanan, lalu
menghela nafas ketika dia berjalan melewati metal detektor, kali ini tanpa membuat alarm menyala lagi. Aku
melewatinya tanpa ada insiden, menyerahkan cincinku juga pada petugas keamanan. Ekspresi Travis masih
tegang, namun saat kami diperbolehkan masuk, bahunya sedikit santai.
"Tidak apa-apa, sayang. Itu sudah ada di jarimu lagi," kataku, tertawa geli karena reaksi Travis yang
berlebihan.
Dia mencium keningku, menarikku ke sampingnya saat kami berjalan menuju terminal. Ketika aku bertatapan
dengan orang yang berpapasan dengan kami, aku bertanya-tanya apakah terlihat jelas kalau kami adalah
pengantin baru, atau mereka hanya melihat seringai konyol di wajah Travis, yang sangat kontras dengan
rambutnya yang dicukur habis, tangan bertatoo dan ototnya yang kekar.
Bandara bising dengan suara turis yang bersemangat, bunyi bip, dan suara dering mesin slot, dan orang-orang
berlalu-lalang ke semua arah. Aku tersenyum pada pasangan muda yang sedang berpegangan tangan, terlihat
sesenang dan segugup aku dan Travis saat kami baru tiba. Aku yakin mereka akan pulang dengan perasaan
lega bercampur bingung seperti yang kami rasakan, setelah menyelesaikan apa yang menjadi tujuan kami
datang kemari.
Di terminal, aku membolak-balik majalah, dan dengan lembut menyentuh lutut Travis yang bergerak naik
turun. Kakinya berhenti bergerak dan aku tersenyum, kembali menatap gambar selebriti di majalah. Dia gugup
tentang sesuatu, tapi aku menunggunya memberitahuku, mengetahui dia sedang mencoba mengatasinya
sendiri. Setelah beberapa menit, lututnya bergerak lagi, namun kali ini dia berhenti sendiri, kemudian dengan
perlahan merosot ke bawah di kursinya.
"Pigeon?"
"Ya?"
Beberapa saat berlalu, lalu dia menghela nafas. "Tidak apa-apa."
Waktu berlalu terlalu cepat, dan kami seperti baru saja duduk saat nomor penerbangan kami terdengar. Satu
barisan terbentuk, dan kami berdiri, menunggu giliran kami untuk memperlihatkan tiket dan berjalan
menelusuri lorong menuju pesawat yang akan membawa kami pulang.
Travis ragu-ragu. "Aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini," dia berkata sambil berbisik.
"Apa maksudmu? Perasaan tidak enak?" aku bertanya, tiba-tiba menjadi cemas.
Dia melihat ke arahku dengan perasaan khawatir di matanya, "Aku punya perasaan yang gila bahwa setelah
kita tiba di rumah, aku akan terbangun dari mimpi ini. Seolah ini semua tidak nyata."
Aku memeluk pinggangnya, membelai otot punggungnya. "Apakah itu yang membuatmu khawatir?"
Dia menatap pergelangan tangannya, lalu melihat pada cincin berwarna perak tebal di jari kirinya. "Aku tidak
bisa menghilangkan perasaan bahwa gelembung ini akan meletus, dan aku akan terbaring di tempat tidurku
seorang diri, berharap kau ada di sana bersamaku."
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan padamu, Trav! Aku telah mencampakkan seseorang untukmu

dua kaliaku telah pergi ke Vegas bersamamudua kaliaku secara harfiah telah masuk neraka dan kembali
lagi, menikahimu dan menandai tubuhku dengan namamu. Aku kehabisan ide untuk membuktikan bahwa aku
adalah milikmu."
Sebuah senyuman terukir di wajahnya. "Aku sangat suka ketika kau mengatakan itu."
"Bahwa aku milikmu?" tanyaku. Aku berjinjit lalu mencium bibirnya. "Aku. Adalah. Milikmu. Mrs. Maddox,
selalu dan selamanya."
Senyuman kecil di wajahnya menghilang saat dia melihat boarding gate lalu melihat ke arahku. "Aku pasti
akan mengacaukannya, Pigeon. Kau akan muak dengan kelakuanku."
Aku tertawa. "Aku muak sama kelakuanmu saat ini. Tapi kita masih tetap bersama."
"Aku pikir setelah kita menikah, aku akan merasa lebih yakin tidak akan pernah kehilanganmu. Tapi aku
merasa kalau kita naik ke dalam pesawat ini"
"Travis? Aku mencintaimu. Ayo kita pulang."
Alisnya mengernyit. "Kau tidak akan meninggalkanku, kan? Meskipun aku menyebalkan?"
"Aku sudah bersumpah di hadapan Tuhandan Elvisbahwa aku tidak akan meninggalkanmu, kan?"
Dia sudah tidak terlalu cemberut. "Ini untuk selamanya?"
Satu ujung bibirku terangkat ke atas. "Apakah kau akan merasa lebih baik kalau kita taruhan?"
Penumpang lain mulai melewati kami, namun dengan perlahan, memperhatikan dan mendengarkan
pembicaraan konyol kami. Seperti beberapa waktu lalu, aku mendelik menyadari tatapan mata orang lain,
namun kali ini berbeda. Satu-satunya yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya mengembalikan kedamaian
di mata Travis.
"Suami macam apa aku jika bertaruh melawan pernikahannya sendiri?"
Aku tersenyum. "Suami yang bodoh. Apakah kau tidak mendengarkan ayahmu saat dia bilang padamu untuk
tidak bertaruh melawanku?"
Dia mengangkat satu alisnya. "Jadi kau seyakin itu, hah? Kau akan bertaruh untuk itu?"
Aku memeluk lehernya dan tersenyum sambil mencium bibirnya. "Aku bertaruh demi kelahiran pertamaku.
Seyakin itulah aku."
Lalu kedamaian kembali.
"Kau tidak mungkin seyakin itu," kata Travis, rasa cemasnya hilang dari suaranya.
"Aku mengangkat satu alisku, sambil menyeringai. "Mau taruhan?"
-THE END-

Anda mungkin juga menyukai