PENDAHULUAN
Fluida pemboran disebut juga dengan drilling fluida dan lebih umum disebut
dengan lumpur pemboran. Lumpur memegang peranan penting dalam operasi
pemboran minyak dan gas bumi maupun panas bumi. Fluida pemboran dipompakan
dari permukaan ke dasar lubang melalui rangkaian pemboran. Keluar dari bit dan naik
kembali ke permukaan melalui annulus rangkaian pemboran dengan dinding lubang.
Diwaktu perjalanan lumpur dari dasar lubang menuju permukaan, lumpur
mengangkat cutting dari dalam lubang.
Fungsi utama dari sirkulasi lumpur pemboran adalah mengangkat cutting dari
dasar lubang ke permukaan disaat operasi pemboran berlangsung. Penggunaan
lumpur pemboran dalam operasi pengangkat cutting dari dalam ditemukan oleh
Fauvalle seorang sarjana teknik Perancis di tahun 1845.
Lumpur merupakan fluida yang dapat dipompakan, yang terdiri dari fluida
sebagai fasa yang utama, padatan yang reaktif untuk membuat kekentalan dan
padatan untuk memberikan berat jenis dan additive untuk mengatur sifat-sifat lumpur.
Sifat-sifat lumpur disesuaikan dengan sifat-sifat lapisan formasi yang akan ditembus
agar tidak menimbulkan problem-problem dalam opersi pemboran.
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat cutting.
Lalu
dengan
berkembangnya
pemboran,
lumpur
mulai
digunakan.
Untuk
Fluida formasi bisa berupa minyak, gas, air. Fluida formasi yang masuk
ke dalam disebut influx yang akan bergerak naik dan mendorong lumpur yang
berada di lubang bor serta akan menyemburkannya ke permukaan. Peristiwa ini
disebut dengan blow out atau semburan liar.
Bila fluida berupa gas atau minyak, dengan keadaan sedikit api maka
akan terjadi kebakaran yang sangat dahsyat dan ini merupakan kerugian yang
terbesar dalam operasi pemboran. Api bisa berasal dari knalpot engine,
pergesekan pasir dan pipa, pergesekan pasir dan lainnya.
Tekanan fluida formasi umumnya adalah disekitar 0,465 psi/ft kedalaman.
Pada tekanan yang normal, air dan padatan pemboran telah cukup untuk
menahan tekanan formasi. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal
(subnormal), density lumpur harus diperkecil agar lumpur tak hilang ke
formasi. Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari normal (lebih dari
0,465 psi/ft). Maka barite kadang kadang perlu ditambahkan untuk
memperberat lumpur.
4
kimia dan sifat fisik lumpur. Kesalahan dalam mengontrol sifat sifat fisik lumpur
pemboran akan menyebabkan kegagalan dari fungsi lumpur pada gilirannya dapat
menimbulkan hambatan pemboran (hole problem) dan akhirnya mengakibatkan
kerugian yang sangar besar.
Komposisi lumpur pemboran ditentukan oleh kondisi lubang bor dan jenis
formasi yang ditembus oleh mata bor. Hal yang penting dalam penentuan komposisi
lumpur pemboran, yaitu:
Semakin ringan dan encer suatu lumpur pemboran, semakin besar laju
pemborannya.
Semakin berat dan kental suatu lumpur pemboran, semakin mudah untuk
mengontrol kondisi di bawah permukaan seperti masuknya fluida formasi
bertekanan tinggi (kick). Bila keadaan ini tidak dapat diatasi maka akan
menyebabkan semburan liar (blowout).
Penentuan lumpur pemboran yang digunakan dalam suatu operasi pemboran
didasarkan pada kondisi bawah permukaan dari formasi yang sedang ditembus.
Fluida pemboran yang umum digunakan dalam suatu operasi pemboran dapat
digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:
peralatan sirkulasi ada yang terbuat dari bahan karet maka crude oil diganti
dengan minyak diesel.
Namun saat ini penggunaan minyak diesel telah dilarang karena merusak
lingkungan. Terutama di pemboran lepas pantai ceceran minyak dapat
membunuh biota laut, kalau pun digunakan di darat lumpur minyak tidak boleh
mengalir keluar lokasi pemboran dan setelah pemboran selesai, lumpur minyak
harus dibersihkan dari lokasi. Sekarang digunakan minyak yang ramah terhadap
lingkungan yaitu: mentor dan saraline.
Lumpur minyak digunakan apabila water base mud hanya menimbulkan
problem pemboran juga digunakan pada pemboran dalam, hot holes, formasi
shale, dan sebagainya. Lumpur ini lebih mahal, tetapi akan mengurangi
terjadinya proses pengkaratan (korosi) yang dapat mengakibatkan kerusakan
fatal pada rangkaian peralatan pemboran.
Reaktif solids, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid (clay)
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal.
Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonite mengisap (absorp) air tawar dan
membentuk lumpur. Istilah yield digunakan untuk menyatakan jumlah barrel
lumpur yang dapat dihasilkan dari satu ton clay agar viscositas lumpurnya 15
cp. Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100 bbl/ton. Dalam hal ini bentonite
mengabsorp air tawar pada permukaan pertikel-partikelnya, hingga kenaikan
volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut swelling atau hidrasi.
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik di air tawar atau
di air asin dan karenanya digunakan untuk pemboran dengan salt water muds
baik bentonite atau attapulgite akan memberikan kenaikan viscositas pada
lumpur. Untuk oil base mud, viscositas dinaikan dengan kenaikan kadar air dan
penggunaan asphalt.
density lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (bisa menyebabkan abrasi
dan kerusakan pompa dll).
d
Fasa kimia
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk
mengontrol sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebabkan
partikel-partikel clay) atau flocculation (pengumpulan partkel-partikel clay).
Efeknya terutama tertuju pada pengkoloidan clay yang bersangkutan. Banyak
sekali zat kimia yang digunakan untuk menaikan viscositas, mengurangi water
loss, mengontrol fasa koloid (disebut surface active agent).
Zat-zat kimia yang mendisperse (dengan ini disebut thinner =
menurunkan viscositas, mengencerkan) misalnya :
-
Quobracho (dispersant),
Phosphate,
Lignites,
lingkungan
sistem
lumpur
tersebut
misalnya
dengan