Anda di halaman 1dari 12

III

OPTIK
Tugas saya adalah mencoba membuat anda dapat melihat
D.W. Griffith, sutradara film
Dalam rangka memahami cara menggunakan retinoskopi untuk mendeteksi dan
mengoreksi kelainan refraksi, pertama kita perlu memahami beberapa pengertian dasar, oleh
karena itu, dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai beberapa pengertian dasar yang
penting. Saya sengaja tidak menggunakan persamaan, jadi jangan sampai salah dalam mengikuti
diskusi yang serius mengenai optik. Referensi yang dikutip telah menerangkan konsep tersebut
secara jelas.
Bacalah dengan cermat dan pelajari diagram.
REFRAKSI
Cahaya bergerak dalam gelombang seperti riak air di kolam. Wavefront terdiri dari sinar
perpendicular pada permukaannya. Sumber cahaya yang selalu memancarkan sinar yang
menyebar (divergen), disebut vergensi negative (Gambar 3-1A). Ketika lensa mengumpulkan
sinar, disebut lensa positif (Gambar 3-1B). Kelengkungan wavefront tersebut tergantung pada
jaraknya, jika lebih jauh dari asalnya berarti kelengkungannya berkurang. Wavefront dari sumber
tak terhingga merupakan sinar yang yang sejajar, dan bisa dikatakan tidak memiliki vergensi
(plano) (Gambar 3-1C).

Gambar 3-1. Vergensi sinar dari sumber cahaya mempengaruhi kelengkungan dari wavefront
1

Dioptri menunjukkan ukuran dari vergensi. Kelengkungan dari wavefront tergantung dari
vergensi, dan kita menghitung kelengkungan tersebut dalam dioptri (D). Kelengkungan atau
vergensi berbanding terbalik dengan jarak dari sumbernya (contohnya, semakin dekat jaraknya,
vergensinya semakin besar). Karena vergensi berbanding terbalik dengan jarak, kita dapat
menggunakan dioptri sebagai patokan dalam mengukur jarak tersebut. Gelombang cahaya yang
berjarak 1 meter dari sumbernya memiliki kelengkungan sebesar 1 dioptri (1 D). Kelengkungan
dari jarak 0,5 meter berarti 2 D. Di sisi lain, kelengkungan pada jarak 2 meter hanya 0,5 D dan
pada jarak 6 meter 0 D.
Dioptri menunjukkan ukuran jarak. Karena kita mendeskripsikan vergensi dalam positif
dan negative, kita juga melakukan hal yang sama dalam dioptri (perhatikan tanda positif dan
negatif dalam Gambar 3-2). Dioptri positif menunjukkan konvergen dan dioptri negatif
menunjukkan menunjukkan divergen. Sebagai contoh, sinar divergen dari satu titik memiliki
kelengkungan sebesar 1 D pada jarak 1 m, pada jarak setengahnya, besarnya 2 kali (- 2 D)
(Gambar 3-2A). Sebaliknya, kita dapat menyebutkan bahwa sinar sejajar yang konvergen pada
satu titik fokus pada jarak 1-4 meter, memiliki vergensi positif sebesar +4 D (Gambar 3-2B).
Jadi, kita dapat menyimpulkan jarak 1 dioptri (1 m) atau jarak 4 dioptri (0,25 m).

Gambar 3-2. Dioptri berkaitan dengan vergensi dan jarak dengan kelengkungan wavefront

Refraksi adalah pembiasan sederhana dari sinar cahaya, yang menyebabkan pengubahan
vergensinya. Ketika sinar datang lurus melewati kaca yang tidak memiliki daya bias,
vergensinya tidak berubah, tidak terjadi refraksi. Jika sinar melewati kaca yang memiliki
pembiasan medium, vergensinya berubah. Segala sesuatu yang mengubah vergensi cahaya
disebut lensa. Jika lensa mengumpulkan cahaya sejajar, kita katakana lensa tersebut memiliki
kekuatan positif, jika menyebarkan cahaya, lensa tersebut berarti memiliki kekuatan negatif.
Dioptri menunjukkan ukuran kekuatan lensa. Dioptri tidak hanya menunjukkan ukuran
dari vergensi dan jarak, tetapi juga menunjukkan kekuatan dari lensa, oleh karena itu dikatakan
2

sebagai kekuatan lensa dalam membiaskan cahaya. Kekuatan lensa adalah jarak dioptri dari titik
fokus dalam meter. Sebagai contoh, lensa + 1 D mengumpulkan sinar sejajar ke titik 1 meter
(Gambar 3-3A).

Gambar 3-3. Lensa 1 dioptri:memberikan efek vergensi pada sinar-sinar sejajar. (A) lensa 1 D
mengumpulkan sinar-sinar sejajar pada satu titik pada jarak 1 meter. (B) lensa -1D menyebarkan sinarsinar yang datang dari titik jauh yang berjarak 1 meter dari lensa .

Karena kekuatan dioptri adalah berbanding terbalik dengan jarak dalam meter (sebagai
contoh, semakin dekat jaraknya, semakin besar ukuran dioptrinya), hal tersebut menunjukkan
bahwa lensa +10 D mengumpulkan sinar sejajar pada titik fokus 0,10 meter (10 cm). Lensa 5
D memiliki kemampuan divergen sekitar 1-5 meter (20 cm). Tabel 3-1 menunjukkan daftar jarak
dioptri yang biasanya digunakan dalam refraksi.

Dioptri menunjukkan ukuran kelengkungan. Kemampuan lensa untuk membiaskan


cahaya berhubungan dengan kelengkungan dari permukaannya, terutama pada permukaan antara
udara-lensa. Derajat refraksi meningkat berbarengan dengan meningkatnya kelengkungan
permukaan lensa, lensa dengan kelengkungan tinggi (salah satunya dengan radius yang pendek)
merefraksikan lebih banyak daripada lensa yang kelengkungannya datar. Kekuatan akhir lensa
ditentukan oleh kelengkungan depan dan belakang, tetapi dalam kesempatan kali ini cukup
diingat bahwa permukaan conveks dari kornea menghasilkan kekuatan positif terhadap cahaya
yang melewatinya.
Dalam merefraksikan cahaya, mata memiliki tugas untuk memfokuskan sinar tepat pada
retina. Mata harus dapat mengatur supaya cahaya sejajar yang masuk dapat tepat jatuh pada
fovea 22 mm di belakang kornea. Kekuatan positif yang digunakan oleh kornea manusia dan
lensa sebanding dengan 60 D.
KELAINAN REFRAKSI
Kelainan refraksi (anomali) memiliki beberapa definisi, dari buku-buku sekolah yang
sudah familiar diagram mata yang panjang dan pendek sampai model matematika kompleks dari
Gullstrand dan yang lainnya. Karena dalam bidang optik memiliki beberapa sudut dalam melihat
situasi yang sama ( dalam beberapa istilah seperti titik fokus, vergensi, fokus konjugasi, dll),
sehingga menyebabkan definisi dari ametropi menjadi tumpang tindih.
Untuk mencapai tujuan kita, kita akan mengevaluasi
kelainan refraksi mengenai istilah titik jauh. Titik
jauh (FP) mata didefinisikan sebagai titik di fovea
saat terjadi pembiasan sinar tanpa akomodasi

Konjugasi, seperti yang kita gunakan dalam masalah optik, berarti menggabungkan
dengan, dan hal tersebut merupakan konsep penting dalam memahami retinoskopi. Ketika objek
yang mengkilap ditempatkan sehingga cahaya yang melewati lensa membentuk bayangan pada
sisi yang berbeda, objek dan bayangan digabungkan satu sama lain (Gambar 3-4A). Konjugasi
memerlukan kemampuan memutar balikkan dari hubungan tersebut, jika kita sekarang bergerak
ke objek yang mengkilap menuju titik bayangan, cahaya akan dipantulkan kembali melewati titik
focus lensa pada lokasi dimana objek sebelumnya berada, hal tersebut sebagai titik jauh (FP)
(Gambar 3-4B). Jika kita dapat menghitung vergensi dari lensa dari sisi lainnya, maka kita dapat
menempatkan titik jauhnya, sebagai contoh, kita akan tahu kekuatan dari lensa tersebut.

Gambar 3-4. Titik konjugasi: (A) hubungan benda dan bayangan, dimana benda berada pada titik jauh
(FP); (B) kebalikan dari sebelumnya, dimana bayangan berada pada titik jauh

Kita tidak dapat dengan mudah mempelajari kekuatan mata secara menyeluruh, tetapi
kita dapat menggunakan konjugasi dalam mengukur kekuatan nya dari luar. Dalam retinoskopi,
kita dapat mengandalkan reversibiliti dari titik konjugasi hanya dalam kesempatan kali ini, kita
menyinari retina dan menempatkan titik jauh pada ruang dimana konjugasi berlangsung. Setelah
mengetahui lokasi dari titik jauhnya, kita dapat mengetahui kekuatan optik dari system mata.
Kemudian kembali kepada evaluasi kita mengenai kelainan refraksi, kita bertanya:
darimana cahaya yang difokuskan pada fovea retina berasal? Jika sinar sampai fovea berasal
dari jauh tak terhingga, kita menyebutnya sebagai emetropia (tidak ada kelainan refraksi). Jika
sinar yang dikosukan pada fovea tidak berasal dari jauh tak terhingga, maka disebut sebagai
ametropia. Akibatnya wajar adanya pertanyaan: Dimanakah sinar dari jauh tak terhingga
difokuskan di mata?. Kembali lagi, jika sinar tersebut jatuh tepat pada fovea, itu disebut sebagai
emetropia, jika sebaliknya, maka disebut ametropia. Mari kita lakukan pemeriksaan spesifik pada
contoh ilustrasi lokasi dari titik jauh.
EMETROP
Emetropia berarti tidak adanya kelianan mata, sinar sejajar (dari jauh tak terhingga)
difokuskan tepat di fovea. Retina dikonjugasikan dengan tak terbatas, sehingga titik jauh pada
mata emetropia itu jauh tak terhingga (Gambar 3-5).
Lensa tidak diperlukan dalam menempatkan ttitik jauh tak terhingga, sehingga itu disebut
tidak terdapat kelainan refraksi. Kita katakan refraksinya adalah plano( flat) untuk
mendeskripsikan bahwa tidak ada koreksi lensa.

Gambar 3-5.Emetropia. sinar sejajar yang masuk lensa dibiaskan tepat pada fovea

AMETROP
Kategori ini mencakup semua kelainan refraktif, sinar yang sejajar tidak difokuskan tepat
pada fovea, sehingga titik jauhnya tidak jauh tak terhingga.
Ametropia dapat timbul karena:
-

Variasi axial length dari mata


Kelainan dari kelengkungan permukaan media refrakta
Variasi dari indeks refraksi
Pergeseran lokasi lensa
Kombinasi dari penyebab di atas

Ametropia memerlukan koreksi lensa untuk membuat konjugasi retina pada jauh tak
terhingga ( untuk menggeser titik jauh pada jauh tak terhingga). Tanda dan kekuatan lensa
ditetapkan dan diukur kelainan refraksinya. Itu merupakan hal yang simple dan tidak dibutuhkan
perhitungan matematika.
AMETROP SPHERIS:
Jika permukaan media refrakta dari mata kelengkungannya sama pada semua meridian
(seperti permukaan lensa spheris), kita dapat mengatakan bahwa mata tersebut seperti refraksi
spheris. Sinar yang sejajar masuk direfraksikan pada semua meridian yang sama dan menuju satu
titik fokus. Pada ametropia spheris, titik fokusnya bukan pada fovea.
HIPEROPIA
Untuk beberapa alasan yang sudah diterangkan sebelumnya, mata hyperopia
memiliki kekurangan dalam kekuatan refraksi, yaitu tidak cukupnya vergensi positif atau
kekuatan plus (Gambar 3-6).
Sinar sejajar direfraksikan fokus di belakang mata (Gambar3-6A). Retina
dikonjugasikan dengan titik yang lebih jauh tak terhingga, jadi kita mendeskripsikan titik
jauhnya sebagai titik semu (sebenarnya tidak nyata). Koreksi lensa plus mengumpulkan
cahaya yang masuk ke retina. Hal tersebut menyebabkan fovea berkonjugasi jauh tak
terhingga , sehingga titik jauh nya menjadi jauh tak terhingga (Gambar3-6B).

Gambar 3-6.Hyperopia. (A) sinar sejajar yang masuk lensa dibiaskan di belakang retina. (B)
setelah dikoreksi dengan lensa plus.

MYOPIA
Sebagai konsekuensi dari variabel yang sudah didaftar, mata myopia relative
memiliki kekuatan yang berlebihan, yang berarti terlalu banyak kekuatan plus (Ga,bar 37).
Sinar sejajar yang masuk direfraksikan terlalu banyak dan fokusnya berada di
depan retina(Gambar 3-7A). Retina dikonjugasikan dengan titik dekat jauh tak terhingga,
shingga titik jauhnya berada di antara mata dan jauh tak terhingga. Koreksi menggunakan
lensa negative yang menyebarkan sinar yang masuk sehingga tepat pada retina. Hal
tersebut menyebabkan fovea berkonjugasi dengan tak terhingga, sehingga titik jauhnya
sekarang menjadi jauh tak terhingga (Gambar 3-7B).

Gambar 3-7.Myopia. (A) sinar sejajar yang masuk lensa dibiaskan di depan retina, (B) setelah
dikoreksi dengan lensa minus

AMETROP ASPHERIS
7

Permukaan media refrakta dari mata (terutama, kornea anterior) tidak selalu memiliki
radius kelengkungan yang sama pada semua meridian, hal tersebut berarti tidak spheris. Dalam
hal ini, kita mengatakan bahwa refraksi aspheris. Contohnya permukaan disebut toric (toroidal),
dan kamu dapat mengerti itu dengan baik dengan cara membayangkan potongan bola (Gambar
3-8).

Gambar 3-8. Potongan bola seperti permukaan toric.

Karena refraksi berhubungan dengan permukaan kelengkungan (meningkat jika


kelengkungannya meningkat),masing-masing bagian meridian akan merefraksikan sinar berbedabeda. Jika permukaan kornea seperti gambaran bola tersebut, kamu dapat melihat bahwa bagian
paling datar horizontal (1800) meridian merefraksikan paling sedikit, sedangkan bagian paling
tinggi vertical (900) meridian merefraksikan lebih (Gambar 3-9)

Gambar 3-9. Permukaan media refrakta toric: sinar sejajar yang jatuh pada meridian 90 0 akan
direfraksikan lebih daripada sinar yang jatuh pada meridian 180 0.

Masinng-masing bagian meridian menghasilkan vergensi yang berbeda-beda, sehingga


terdapat dua bagian titik focus pada mata. Hal tersebut disebut astigmatisme.

Pada Gambar 3-10, perhatikan bagian yang tinggi pada meridian 90 0 mengumpulkan
sinar ke retina, sedangkan bagian datar pada meridian 180 0 (kekurangan vergensi) merefraksikan
sinar melebihi retina. Kita mengatakan bahwa pada meridian 90 0 adalah emetropia, sedangkan
pada meridian 1800 adalah hyperopia.

Gambar. 3-10.Astigmatisme. dimana permukaan media refraksi jatuh pada beberapa macam titik fokus
pada masing-masing meridian

Bagian-bagian meridian pada astigmatisme bisa jadi myopia, hyperopia, atau kombinasi
dari keduanya. Klasifikasi yang bagus sekali tampak seperti di bawah in:
-

Astigmatisme hyperopia simpel (SHA).


Pada kondisi ini, salah satu meridian hyperopia, dan bagian meridian yang lain emetropia
(dapat dilihat pada Gambar 3-10)
Astigmatisme hyperopia compositus ( CHA).
Kedua meridian merupakan hyperopia.
Astigmatisme myopia simpel (SMA).
Salah satu meridian adalah myopia, dan meridian yang lain emetropia.
Astigmatisme myopia compositus (CMA).
Kedua meridian myopia.
Astigmatisme mixtus (MIX-A).
Salah satu meridian myopia, dan yang lain hyperopia.
Kita akan menjelaskan klasifikasi di atas secara detail kemudian.

Kita mengoreksi astigmatisme dengan menggunakan lensa silinder. Silinder dapat positif
maupun negatif, tetapi masing-masing hanya memiliki kekuatan pada satu meridian yang
perpendikuler terhadap axis dari silindernya. Axis dari meridian adalah flat (datar/ plano) dan
tidak memiliki kekuatan (Gambar 3-11).

Objek pada astigmatisme dikoreksi dengan lensa silindris untuk menyeimbangkan


kekuatan dari dua meridian selain untuk mendapatkan refraksi spheris. Ketika kita mengoreksi
astigmatisme dengan lensa silinder plus, kita ingin menambahkan kekuatan refraksi pada
meridian refrakta yang paling sedikit. Kita membiarkan meridian refrakta yang paling banyak.
Silinder ideal untuk tujuan kita, karena silinder hanya menambahkan kekuatan hanya pada satu
meridian.
Salah satu contoh mudah dari astigmatisme akibat kornea toric, kita akan meletakkan axis
silinder koreksi (kekuatan zero) pada meridian yang paling banyak, sehingga kekuatan
kelengkungan akan jatuh pada meridian refrakta yang paling sedikit.

Gambar 3-11. Lensa silinder positif (planoconvex) ditempatkan di axis vertikal. Hanya permukaan
convex yang merefraksikan cahaya. Sinar datang yang sejajar yang melewati permukaan lensa plano tidak
direfraksikan, axis pada meridian tersebut tidak memiliki kekuatan refraksi.

Contoh dalam menggunakan bola sepak, pada bagian paling datar pada meridian 180 0,
kami meletakkan lensa silinder plus dengan axis pada 900 selain itu dapat menambah kekuatan
plus pada 1800 (Gambar 3-12).

10

Gambar 3-12. Pengoreksian terhadap astigmatisme kornea dengan menggunakan lensa silinder plus. Axis
disesuaikan dengan meridian yang paling besar, sehingga kekuatannya bisa ditambahkan pada meridian
yang mempunyai kekuatan refraksi lemah.

Ketika kita menambah kekuatan pada meridian yang lemah untuk membuat meridian
tersebut seimbang dengan meridian yang kuat, kita menetralisasi astigmatisme, dan mendapatkan
refraksi spheris. Kita kemudian dapat mengoreksi sisa kelainan spheris dengan lensa spheris
minus atau plus seperti yang sudah diterangkan sebelumnya.
Kelainan refraksi yang berkaitan dengan istilah titik jauh, kita
dapat pahami jika titik FP lebih dekat daripada tak terhingga
kita menyebutnya myopia jika jika titik jauhnya berada di jauh
tak terhingga maka disebut hyperopia. Jika titik FP berada
semakin jauh dari tak terhingga, maka kelainan refraksi
semakin besar. Mata yang spheris memiliki satu titik FP,
sedangkan pada astigmatisme memiliki dua titik FP.

KOREKSI AMETROP
Lensa dapat mengubah vergensi dari sinar yang masuk dan mengoreksi kelainan refraksi,
dimana dapat juga membuat retina mengkonjugasi dengan tak terhingga (titik jauh di jauh tak
terhingga). Tanda (+ atau -) dari hasil koreksi lensa menegaskan adanya kelainan refraksi,
kekuatan lensa menunjukkan kuantitas dari kelain refraksi. Dioptri menunjukkan ukuran
kekuatan lensa dengan mendeskripsikan vergensinya (positif atau negatif) dimana lensa
digunakan pada sinar yang melewatinya.
Dengan adanya penilaian lensa dalam dioptri, sehingga ametropia dapat dikoreksi. Jika
lensa + 2 D diletakkan pada mata pada titik jauh tak terhingga, mata pasti menjadi hyperopia
sebesar 2 D. jika lensa 3 D membuat fovea konjugasi secara tak terhingga, mata berada dalam
kondisi myopia 3 D. Retinoskopi berdasarkan dari prinsip penemuan lensa yang diletakkan pada
titik jauh tak terhingga.
11

Kita juga menggunakan dioptri untuk menentukan jarak untuk mendeskripsikan vergensi
dari gelombang cahaya. Sinar yang berasal dari jarak 40 cm dari mata masuk dengan vergensi
2,5D, sehingga mata berakomodasi (memfokuskan) lensa pada +2,5D agar tepat jatuh pada
fovea.
Dioptri dapat diubah-ubah sesuai dengan ukuran kekuatan lensa, kelainan refraksi,
vergensi dan jarak. Mata yang membutuhkan lensa -4 D untuk menempatkan FP pada jauh tak
terhinggadisebut myopia 4D, tidak dikoreksi, sehingga FP sebesar 4D pada jarak 25 cm.
Kesimpulannya, dioptri dapat menunjukkan ukuran kekuatan refraksi kornea berdasarkan
kelengkungan kornea tersebut. Kami mengasumsikan bahwa kornea dengan jarak anterior
sebesar 7,5 mm memiliki vergensi sebesar +45D. Sehingga kita dapat menggunakan skala dioptri
(meletakkan tanda +) ketika mengukur kelengkungan lensa menggunakan keratometer
(ophtalmometer). Ketika keratometer membaca 55 D pada meridian 180 0 dan 46 D pada
meridian 900, dapat disimpulkan bahwa terdapat astigmatisme dengan lokasi refraksi terbesar
terjadi pada meridian vertikal. Oleh karena itu, kita dapat memperkirakan bahwa lensa silinder
+2D diletakkan pada axis 900 akan menyebabkan penambahan kekuatan sebesar +2D pada axis
1800, dan dapat sekaligus mengoreksi toricsitas dari kornea. Yang perlu diperhatikan lagi bahwa
kelebihan axis yang diletakkan pada meridian yang kuat akan memberikan kekuatan pada
meridian yang lemah.

SUMBER
1. Michels DD. Visual Optics and Refraction, A Clinical Approach. St Louis,Mo: CV Mosby;
1975:201.
2. Rubin ML. Optics for Clinicians. 2nd ed. Gainesville, Fla:Triad Science Publishers; 1974

12

Anda mungkin juga menyukai