Anda di halaman 1dari 12

Empirisme

Empirisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar


ialah yang logis dan ada bukti empiris. Dengan empirisme aturan (untuk
mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Empirisme juga memiliki kekurangan
yaitu ia belum terukur. Empirisme hanya sampai pada konsep-konsep yang
umum.[6] Seorang empirisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan
indera.[7]
1. Kelebihan empirisme adalah pengalaman indera merupakan sumber
pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta
yang terjadi di lapangan.
2. Kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil..
b. ndera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulanya rasanya pahit,
udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan
empiris yang salah juga.
c. Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu
sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia
membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
d. Indera dan objek sekaligus. Empirisme lemah karena keterbatasan
indera manusia.[8]
Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat
pencari

dan

pengukur

pengetahuan.

Pengetahuan

dicari

dengan

akal,

temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan
berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak.
Bila logis, benar; bila tidak, salah. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur
manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber
pada akal.[1] Rasionalisme itu berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada
akal. Bukan karena Rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.[2]
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason)
adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan.[3]

1.

Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan


pemahaman-pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan
kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah masalah
filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi
sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia, mampu menyusun
sistem-sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia.[4]

2.

Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan


rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam,
sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang
kurang setuju dengan sistem-sistem filosofis yang subjektif tersebut, doktrindoktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek,
sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja
yang benar, tanpa memerhatikan objek objek rasional secara peka.[5]

Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri.
Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan
objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan
dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan suatu proses yang
berkembang

terus-menerus.

Dan

dalam

proses

itulah

keaktivan

dan

kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan dalam


perkembangan pengetahuannya.
Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J.
Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme
dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori
perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang
biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap

organisme

selalu

beradaptasi

dengan

lingkungannya

untuk

dapat

mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur


pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan
skema

pengetahuan

yang

telah

dipunyai

seseorang

ditantang

untuk

menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu


skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah
total.

Bagi

Piaget,

pengetahuan

selalu

memerlukan

pengalaman,

baik

pengalaman fisis maupun pengalaman mental.


Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld
(1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada
abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan

oleh

Jean

Piaget.

Namun

sebenarnya

gagasan

pokok

konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia.


Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima
Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan
bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Bagi
Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain
halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus
menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal
orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan
estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget
ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Untuk memahami teori Piaget , perlu kita mengetahui beberapa istilah baku
yang digunakannya untuk menjelaskan proses seseorang mencapai pengertian
1. Skema/schemata
Pikiran kita mempunyai struktur yang disebut skema/schemata (jamak).
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya
seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasikan dengan
lingkungan sekitarnya. Skemata itu akan beradaptasi dan berubah selama
perkembangan mental anak.

Skemata

adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi

hipotesis, seperti intelek, kreativitas,, kemampuan dan naluri ( Wadsworth


dalam Suparno 2008). Skemata merupakan hasil suatu konstruksi kognitif
manusia yang selalu berubah selama perkembangan manusia tentang
lingkungan sekitarnya

sehingga seseorang dapat beradaptasi dan

berkoordinasi dengan lingkungan sekitarnya.


2. Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru kedalam
skema yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi tidak mengubah
schemata melainkan memperkembangkan schemata (Wadsworth dalam
Suparno 2008).
Seseorang akan mengalami asimilasi dengan mengaitkan kembali suatu
pengalaman baru dengan skema yang sudah ada.
3. Akomodasi
Seseorang terkadang tidak bisa mengasimilasikan pengalaman baru
kedalam skemata yang sudah ada, karena mungkin tidak cocok. Sehingga
seseorang tersebut akan mengadakan akomodasi dengan cara, membentuk
skema baru yang cocok maupun memodifikasi skema sehingga cocok
dengan rangsangan baru.
4. Equilibriation
Equilibriation merupakan pengaturan diri secara mekanis untuk
mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Equilibriation
membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya (skemata).
Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan
awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator
bagi ide-ide dan pengalaman baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan
mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman
baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi
dan akomodasi. Bila pengalaman itu masih bersesuaian dengan skema yang
dipunya seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses
asimilasi. Bila pengalaman baru itu sungguh berbeda dengan skema yang
ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi untuk menghadapi

pengalaman yang baru, skema yang lama diubah sampai ada kesimbangan
lagi. Inilah proses akomodasi.
Contoh:
Seseorang mempunyai gambaran bahwa semua burung dapat terbang
dalam perkembang-biakannya. Pada suatu hari

ia melihat dengan mata

kepala sendiri bahwa penguin tidak bisa terbang. Orang ini menjadi bingung
dan mengalami ketidakseimbangan dalam pikirannya. Ia mulai tidak yakin
akan gambaran awalnya. Ia mengalami bahwa gambarannya tentang
semua burung bisa

terbang

tidak jalan lagi berhadapan dengan

pengalaman baru ini. Orang ini akhirnya mengubah gambaran awalnya


dengan menyatakan tidak semua burung bisa terbang. Orang ini sekarang
membentuk pengetahuan yang baru. Ia telah mengubah skema lama dan
membentuk skema baru yang lebih cocok dengan pengalaman barunya.

Belajar merupakan perubahan konsep, didalam proses tersebut, si belajar


setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema
mereka. Belajar merupakan proses yang tidak berkesudahan dan terus-menerus.
Piaget membedakan antara

dua aspek berpikir yang saling melegkapi:

aspek figurative dan aspek operatif. Aspek figuratif merupakan imitasi keadaan
sesaat dan statis. Sedangkan aspek operatif berkaitan dengan transformasi dari
level pemikiran

tertentu ke level yang lain. Setiap level keadaan

dimengerti sehingga akibat dari transformasi

dapat

tertentu atau sebagai titik tolak

transformasi lain. Aspek operatif lebih esensial dari pemikiran dan sangat
berperan dalam pembentukan pengetahuan seseorang.
Mengetahui
transformasi.

adalah

mengasimilasikan

realitas

dalam

sistem-sistem

Mengetahui adalah mentransformasikan realitas untuk dapat

dimengerti bagaimana suatu keadaan tertentu itu terbentuk. Mengetahui sesuatu


adalah bertindak atas sesuatu itu, membentuk sistem transformasi yang dapat
menjelaskan objek.
Bagi Piaget, semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari
kegiatan/tindakan seseorang . Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari
waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah merupakan proses konstruksi dan reorganisasi

yang terus-menerus. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada diluar, tetapi ada
dalam diri seseorang yang membentuknya. Setiap pengetahuan mengandalkan
suatu interaksi dengan pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak
tidak dapat mengkonstruksi gambaran korespondensi satu-satu

dalam

matematika untuk memahami pengertian bilangan (Piaget dalam Suparno 2008).


Heuristik
Heuristik adalah seni dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
suatu penemuan. Kata ini berasal dari akar yang sama dalam bahasa Yunani
dengan kata "eureka", berarti 'untuk menemukan'. Heuristik yang berkaitan
dengan pemecahan masalah adalah cara menujukan pemikiran seseorang
dalam melakukan proses pemecahan sampai masalah tersebut berhasil
dipecahkan. Ini berbeda dari algoritma di mana hanya dipergunakan sebagai
peraturan atau garis pedoman, bertentangan dengan prosedur invarian.
Heuristik mungkin tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan atau
memecahkan masalah atau mungin justru menimbulkan masalah baru untuk
dipecahkan, tetapi proses heuristik ini dapat teramat berharga pada proses
berpikir seseorang dimana pada proses pemecahan masalah banyak menuntut
pemikiran relasional antar komponen yang membentuk masalah tersebut
sehingga dapat meningkatkan kualitas pemikiran yang lebih tinggi. Heuristik yang
baik secara dramatis bisa mengurangi waktu yang diharuskan memecahkan
masalah

dengan

menghapuskan

keperluan

untuk

mempertimbangkan

kemungkinan atau relasi antar komponen pembentuk masalah yang mungkin


tidak relevan digunakan.

Gerakan Renaissance
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Latin renaitre yang berarti hidup
kembali atau lahir kembali. Pengertian renaissance adalah menyangkut
kelahiran atau hidupnya kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi dalam
kehidupan masyarakat Barat.
Dalam pengertian yang lebih spesifik, Renaissance diartikan sebagai suatu
periode sejarah di mana perkembangan kebudayaan Barat memasuki periode
baru dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti ilmu-ilmu pengetahuan,

teknologi, seni dalam semua cabang, perkembangan sistem kepercayaan,


perkembangan sistem politik, institusional, bentuk-bentuk sistem kepercayaan
yang baru dan lain-lain.
Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu
zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban.
Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali pada sumber-sumber murni bagi
pengetahuan dan keindahan. Dengan demikian orang memiliki norma-norma
yang senantiasa berlaku bagi hikmat dan kesenian manusia.
Pemakaian kata Renaissance pertama kali oleh Jules Michelet, seorang
sejarawan Perancis yang lahir di abad ke-18 dan mulai terkenal di dunia Barat
pada abad ke-19 karena karyanya yang berjudul History of France yang
menekankan bahwa masa romatik Abad Pertengahan bukanlah sama sekali
tidak berguna bagi perkembangan kebudayaan Barat.
Jules Michelet membedakan antara masyarakat Renaissance dengan
masyarakat Abad Pertengahan adalah pada penafsiran pelaksanaan agama
dalam kehidupan masyarakat.
Di dalam buku History of France itulah terdapat kata Renaissance yang
digunakan untuk menyebutkan jaman setelah Abad Pertengahan. Menurut Jules
Michelet, Abad Pertengahan ditandai oleh faktor dogmatis, sedangkan manusia
Renaissance ditandai oleh faktor humanis.
Setelah Jules Michelet menggunakan kata Renaissance dalam tulisannya,
selanjutnya dipopulerkan oleh penulis-penulis Eropa lainnya, seperti Jacob
Burckhardt, dengan buku berjudul The Civilization of the Renaissance in Italy.
Jacob Burckhardt mengemukakan definisi Renaissance sebagai gerakan
yang menemukan dunia dan manusia yang sebenarnya. Burckhardt memandang
Renaissancelah yang menyelami manusia dan dunia, artinya Renaissance
dipandang sebagai masa individualistis, masa kemajuan dari berbagai ikatan dan
kewajiban lama. Subjek manusia pribadi menuntut haknya. Manusia tidak lagi
berpaling dari dunia tetapi sebaliknya menghadapi dunia. Agama Kristen tidak
menjadi dasar hidup lagi. Gereja bukan satu-satunya tempat keselamatan.

Renaissance mempunyai arti penting dalam sejarah kebudayaan Barat.


Renaissance adalah masa kekuasaan, kesadaran, keberanian, kepandaian yang
luar biasa, kebebasan dan seringkali semua itu tidak ada batasnya.
Manusia Renaissance ditandai dengan pemilikan ilmu pengetahuan lebih
dari satu, maksudnya menguasai banyak ilmu pengetahuan. Agama menjadi hal
yang hanya mengenai individu, perhatian orang lebih banyak ditujukan untuk
dunia.
Di jaman Renaissance, manusia hidup bebas dalam menentukan corak
hidupnya dan tidak lagi terikat oleh doktrin gereja. Pengaruh Renaissance makin
lama makin meresap di berbagai bidang hidup, sehingga bertambah banyak
orang, teristimewa dari golongan cendekiawan, mulai melepaskan diri dari kuasa
Firman Tuhan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan umum mulai memisahkan diri
dari ajaran dan dogma agama Kristen. Terutama ilmu alam yang berdasarkan
ilmu pasti, mulai bertentangan dengan pandangan Gereja yang sampai masa itu
diajarkan dan dipercaya sebagai kebenaran ilahi.

Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani; hermencuein,yang artinya
diterjemahkan "menafsirkan", kata bendanya: hermeneia artinya "tafsiran".
Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu
mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to
translate). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata Inggris diekspresikan
dengan kata: to interpret, Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk
pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang
masuk akal (areasonable explanation), dan terjemahan dari bahasa lain (a
translation from another language), atau mengekspresikan.[1]
Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science
of interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred
scripture, and equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya
tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama
sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika
merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan

"understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap


teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta
situasi sosial yang asing bagi paia pembacanya.
Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nam a Hermes, tokoh
dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan
manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya definisi hermeutika ini
mengalami perkembangan, yang semula hermeneutika dipandang sebagai ilmu
tentang penafsiran (science of interpretation). Dalam perkembangan selanjutnya
definisi hermeneutika menurut Richard E. Palmer dibagi menjadi enam, yakni:[2]
1. Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)
2. Sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3. Sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic
understanding).
4. Sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological
foundation of Geisteswissenschaften)
5. Sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology
of existence dan of existential understanding)
6. sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah,
melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu
teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang
sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang
berbeda,

namun

dapat

dipertanggungjawabkan,

dari

tindakan

manusia

menafsirkan, terutama penafsiran teks.Tulisan ini mau memberikan kerangka


menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi
sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.
[1] Palmer, R.E. 1969. Hermeneutiks: Interpretation Theory in

Schleiermacher,

Dilthey,

Heidegger,

and

Gadamer.

Evanston,

III:Northwestern Univ. Press. h. 23.

Ontologi
Ontologi adalah analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan, yaitu
hal-hal atau benda-benda empiris. Ontologis membahas tentang apa yang ingin

diketahui. Ontologi menganalisa tentang objek apa yang diteliti ilmu? Bagaimana
wujud yang sebenar-benarnya dari objek tersebut? bagaimana hubungan antara
objek tadi dengan daya tangkap manusia (misalnya: berpikir, merasa dan
mengindera) yang menghasilkan pengetahuan.

Epistemologi
Berasal dari kata Yunani, Episteme dan Logos. Episteme artinya adalah
pengetahuan. Logos artinya teori. Epistemologi adalah sebuah kajian yang
mempelajari asal mula, atau sumber, struktur dan metode pengetahuan.
Epistemologi berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal
apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau tehnik
atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu.

Aksiologi
Aksiologi membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkannya. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan
seperti yang dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan,
seperti kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik material (Koento, 2003:
13).
Definisi Kattsoff (2004: 319), aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.
Scheleer

dan

Langeveld

(Wiramihardja,

2006:

155-157)

Scheleer

mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang


tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori
mengenai tindakan baik secara moral.

Langeveld berpendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama: etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan
perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan
penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.

[1]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Hlm. 30


[2]Louis O.Kattsoff, Pengantar filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Hlm.
139
[3]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan hati sejak thales sampai capra,
Bandung: Rosda, 1990. Hlm. 127
[4]http://mahrusali611.blogspot.com/2013/04/kelebihan-dan-kelemahanaliran.html
[5]http://mahrusali611.blogspot.com/2013/04/kelebihan-dan-kelemahanaliran.html

[6]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Hlm. Hlm.
31-32
[7]Louis O.Kattsoff, Pengantar filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Hlm.
136
[8]http://mahrusali611.blogspot.com/2013/04/kelebihan-dan-kelemahanaliran.html
[9]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Hlm. 32-33

Anda mungkin juga menyukai