LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Nama
: An. A
Umur
: 2 bulan 7 hari
Jenis kelamin
: Perempuan
: 3400 gram
Panjang Badan
: cm
Agama
: Islam
Alamat
: 00-72-78-03
MRS
: 21 Februari 2011
Riwayat Pengobatan
Tidak dalam kontrak pengobatan.
Riwayat Kehamilan
Ibu rutin kunjungan ANC ke dokter. Tidak pernah sakit keras selama kehamilan
Riwayat Persalinan
Bayi lahir spontan dengan berat badan lahir 2500 gr dan panjang badan 49 cm. Saat lahir
tidak meangis dan di diagnose dokter sebagai asfiksia. Skor APGAR 6/10
Riwayat Makanan
Masih diberikan ASI eksklusif
Riwayat Imunisasi
BCG
Hepatitis B 1
DPT 1
Polio 2
Kesan: Riwayat imunisasi lengkap
: 21 Februari 2011
TB/U
: 39 cm Normal
: Compos Mentis
Tanda Vital
Nadi
: 167 x/menit
RR
: 58 x/menit
Suhu
: 36,8C
STATUS GENERALIS
Kulit
Kepala
: Normosefal
Mata
Hidung
Mulut
: Mukosa lembab
Leher
Thorax
Paru
Inspeksi:
Bentuk
: Simetris
Pergerakan
Retraksi
Auskultasi:
Pernafasan
: Vesikuler
Wheezing
: -/-
Rhonki
: +/+
Jantung
Bunyi jantung I & II murni. Murmur (+) grade II/6, gallop (-). Dextrokardia
Abdomen :
Inspeksi:
Contour abdomen
: Supel
Distensi abdomen
: Negatif
Auskultasi
Bising usus
: Positif normal
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab. Patologi Klinik RSIJ Cempaka Putih (20-2-2011)
: 13,0 g/dL
Leukosit
: 14,12 ribu/l
Hitung Jenis
Basofil
: 0%
Eosinofil
: 1%
Neutrofil batang : 3%
Neutrofil segmen: 60%
Limfosit
: 29%
Monosit
: 7%
: 546 ribu/l
Hematokrit
: 39%
RESUME
Seorang bayi perempuan berusia 2 bulan 7 hari dengan berat badan 3400 gram , panjang
badan cm, masuk RSI Jakarta Cempaka Putih dengan keluhan batuk dan sesak 3 hari SMRS.
Dari anamnesis didapatkan bayi batuk berdahak, sesak, dan demam 3 hari SMRS. Satu hari
SMRS bayi BAB cair lebih dari 3x tanpa lendir dan darah. Pada saat MRS, bayi demam, suhu
mencapai 38 C.
Pada pemeriksaan umum, kesadaran sadar, HR 167 x/menit, pernafasan 52 x/menit.
Terdapat retraksi di epigastrium, interkosta, dan parasternal. Pernafasan cuping hidung. Letak
jantung bayi pada posisi dekstrokardia.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium, eosinofil 1% dan monosit 7%.
ASSESMENT
Pneumonia e.c infeksi bakteri dengan dekstrokardia
PLANNING
Foto toraks
Cek HHTL
IVFD Asering 24 tpm mikro.
Sanmol drops 3x0,6 cc.
Mucopect drops 3x5 tetes.
Fenistil drops 3x3 tetes.
Injeksi Soclaf 3x100 mg.
Injeksi Alostil 2x17,5 mg.
Oksigen 1 liter/menit.
Inhalasi 2x/hari
o Ventolin
o Bisolvon 4 tetes
o NaCl 1cc
FOLLOW UP
Follow up Pasien Selama Dirawat
1. Tanggal 21-2-2011
kanan dengan DD/ pneumonia kanan, agenesis paru kanan, (2) Bronkopneumonia kiri.
Diet ASI 50-60 cc/2 jam
Inhalasi 3x/hari
Terapi lanjut
2. Tanggal 22-2-2011
S
Nadi: 140
x/menit
Atelektasis paru
Terapi lanjutkan.
kanan dengan
Konsul ke rehab
Suhu: 36,5C
Bronkopneumonia
RR : 54 x/menit
Retraksi
medik
epigastrium
Krepitasi +/+
Rhonki +/+
Pernafasan
cuping hidung
Akral hangat
3. Tanggal 23-2-2011
S
Suhu: 36C
RR : 54 x/menit
Retraksi epigastrium
Krepitasi +/+
bakteri
Atelektasis
Terapi lanjutkan
paru kanan
Infus RL 16 tpm
Bronkopneumo
Rhonki +/+
Dekstrokardia.
Pernafasan cuping
Suspek TGA.
mikro
R/ Soclaf 1 gr No. I
hidung
Akral hangat
4. Tanggal 24-2-2011
S
Suhu: 36,7C
RR : 52 x/menit
Retraksi epigastrium
Krepitasi +/+
Dekstrokardia.
Rhonki +/+
Suspek TGA
Atelektasis paru
Terapi lanjutkan
kanan
Cek AGD,
Bronkopneumonia
Ekokardiografi
ke RSCM,
Oksigen 2
L/menit
Pernafasan cuping
hidung
Akral hangat
: 37 C
pH
: 7,194 ()
pCO2
: 106,8 mmHg ()
pO2
: 46,5 mmHg ()
SaO2
: 69,3% ()
HCO3
: 40,2 mmol/L ()
BE (ecf.)
: 12,10 mmol/L ()
BE (B)
: 7,5 mmol/L ()
CO2 total
: 43,50 mmol/L ()
5. Tanggal 25-2-2011
S
Suhu: 36,8C
RR : 55 x/menit
Retraksi epigastrium
Krepitasi +/+
Dekstrokardia.
Rhonki +/+
Suspek TGA
Atelektasis paru
Terapi lanjutkan
kanan
Cek AGD
Bronkopneumonia
Hitung protein,
albumin
Cateter,
Pernafasan cuping
Pasang Dauer
Cek darah
hidung
lengkap,
Akral hangat
kreatinin,
Kolesterol, dan
Urin lengkap.
R/ Lasik 2x2,5
mg
Beri albumin
25%, 15 cc.hari
Infus stop
sementara
: 37 C
pH
: 7,262 ()
pCO2
: 71,7 mmHg ()
pO2
: 75,1 mmHg ()
SaO2
: 92,5% ()
HCO3
: 31,6 mmol/L ()
BE (ecf.)
: 4,5 mmol/L ()
BE (B)
: 2,2 mmol/L ()
CO2 total
: 33,80 mmol/L ()
Kimia Klinik
Nilai Rujukan
Protein total
: 5,4 gr/dL
(6,0-8,0)
Albumin
: 3,5 gr/dL
(4,0-5,2)
Urin Lengkap
pH
: 8,0
8
Protein
: +2
6. Tanggal 26-2-2011
S
Suhu: 36C
RR : 35 x/menit
Retraksi epigastrium
Krepitasi +/+
Dekstrokardia.
Rhonki +/+
Suspek TGA
Atelektasis paru
kanan
Bronkopneumonia
e.c infeksi bakteri
Pernafasan cuping
hidung
Akral hangat
: 13,0 g/dL
Leukosit
: 14,12 ribu/l
Hitung Jenis
Basofil
: 0%
Eosinofil
: 1%
Neutrofil batang : 3%
Neutrofil segmen: 59%
Limfosit
: 29%
Monosit
: 8%
Trombosit
: 283 ribu/l
Hematokrit
: 41%
Kimia Klinik
Ureum darah
Nilai Rujukan
: 12 mg/dL
10-50 mg/dL
Turunkan lasix
1x2,5 mg
7. Tanggal 27-2-2011
S
Suhu: 36,6C
RR : 33 x/menit
Retraksi epigastrium
Krepitasi +/+
Rhonki +/+
Atelektasis paru
kanan
R/ Soclaf 1 gr
No. I
Bronkopneumonia
Terapi lanjut
Dekstrokardia.
NGT off
Suspek TGA
Lasix stop
Rontgen toraks
Pernafasan cuping
hidung
Akral hangat
8. Tanggal 28-2-2011
S
Batuk (+),
sesak (+),
Suhu: 36,4C
pilek (-).
RR : 40 x/menit
Bayi
Retraksi epigastrium
sianosis
Akral hangat
bakteri
saat
menangis.
Rontgen: Kesan
BAB 1x
lunak
bronkopneumonia
Atelektasis
paru kanan
Terapi lanjutkan
Infus RL 16 tpm
Bronkopneu
mikro
Oksigen 1
liter/menit
Dekstrokardi
a.
Suspek TGA
9. Tanggal 1-3-2011
S
10
Suhu: 36C
saat menangis.
RR : 33x/menit
BAB 3x lunak.
Retraksi epigastrium
mg p.o. No. XX
BAK 2x ganti
Akral hangat
bakteri
Captopril 2x0,5 mg
popok.
Dekstrokardia.
Ekokardiografi:
Duktus
Atelektasis
paru kanan
Bronkopneumo
Arteriosus
Persisten sedang
sedang
Hipertensi
pulmoner sedang.
TINJAUAN PUSTAKA
ATELEKTASIS
11
Terapi lanjutkan
kecuali sanmol.
R/ Lasix 2x1,5
p.o. No. XX
Ekokardiografi
ulang 2 minggu lagi
Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolapsnya jaringan dan
mengkerutnya paru akibat sumbatan aliran udara (bronkus ataupun bronkiolus). Atelektasis
umum ditemukan pada anak-anak. Atelektasis terjadi karena adanya obstruksi dari sakkus
alveolus. Segmental, lobular, atau kolaps seluruh paru berhubungan dengan absorpsi udara pada
alveolus, yang tidak lagi terventilasi (1).
Patofisiologi
Penyebab atelektasis dapat dibagi menjadi lima grup (lihat tabel). Sumbatan mukus yang
diakibatkan oleh seluruh mikroorganisme merupakan faktor predisposisi yang umum untuk
atelektasis. Kolaps masif satu atau seluruh paru umumnya diakibatkan oleh komplikasi tindakan
operasi, namun bisa juga disebabkan oleh trauma, asma, pneumonia, atau tension pneumotoraks,
aspirasi benda asing, paralisis, atau setelah ekstubasi. Atelektasis masif umumnya disebabkan
oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk immobilisasi atau penurunan penggunaan diafragma
dan otot-otot pernafasan, obstruksi cabang bronkial, menahan refleks batuk. Sebab utama dari
atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2 cabang utama dari trakea
yang langsung menuju ke paru-paru.1
Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa
disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam
bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau
pembesaran kelenjar getah bening.1
Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran
darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya
terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi.1
Tabel Penyebab anatomis atelektasis
Penyebab
Contoh Klinis
diafragmatika
Obstruksi endobronchial,
mukus, bronkolitiasis
12
Penyebab
Contoh Klinis
udara masuk
Obstruksi intraluminal
bronkus
Obstruksi Intrabronkial
Manifestasi Klinis
Gejala bervariasi tergantung penyebab dan luasnya atelektasis. Area yang kecil, biasanya
tidak mempunyai gejala. Ketika terkena area luas, paru normal menjadi atelektasis, terutama saat
akut, dispneu yang diikuti oleh pernafasan yang dangkal, takikardi, batuk, dan sianosis bisa
terjadi. Jika obstruksi dihilangkan, gejalanya hilang secara berkala. Meskipun dulu dipercaya
atelektasis bisa menyebabkan demam, penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan
antara demam dan atelektasis. Pemeriksaan fisik ditemukan keterbatasan pernafasan,
pengurangan intensitas suara nafas, dan adanya krepitasi. Suara nafas berkurang atau tidak
terdengar pada daerah paru yang atelektasis.1
Atelektasis masif biasanya mempunyai gejala dispnea, sianosis, dan takikardia. Anak yang
sakit akan merasa rewel dan, pada anak yang lebih dewasa, akan mengeluhkan nyeri dada. Dada
akan terlihat datar pada area yang atelektasis, bunyi perkusi yang pekak, suara nafas yang lemah
atau menghilang.
Diagnosis
Diagnosis atelektasis biasanya dapat ditegakkan oleh foto toraks, yang dapat ditemukan
hilangnya daerah paru yang tertutupi oleh perselubungan putih dan tertariknya trakea atau
jantung ke arah yang sakit. Atelektasis yang hanya mengenai satu lobus berhubungan dengan
pneumotoraks. Pada aspirasi benda asing, dapat ditemukan corpus alienum pada area yang sakit.
Pada pemeriksaan bronkoskopi dapat ditemukan kolapsnya bronkus jika obstruksinya terdapat
pada carina.1
13
Gambaran atelektasis pulmoner masif pada foto toraks dapat ditemukan peninggian
diafragma, penyempitan sela-sela interkostalis, dan penarikan struktur mediastinum dan jantung
ke arah yang sakit.
Gambar 1. (a) Atelektasis masif pada paru kanan. Pasien mengeluh asma, dan penarikan struktur mediastinum dan
jantung ke arah yang sakit. (b) Gambaran paru normal setelah sumbatan mukus di lobus kanan paru di ambil.
Pengobatan
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana fisiologik
yang sebaik-baiknya, agar bayi/anak mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain,
sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. 2 Jika atelektasis disebabkan
oleh sumbatan mukus, aspirasi bronkoskopi dapat langsung digunakan. Penatalaksanaan
penderita atelektasis tergantung dari penyebabnya, sehingga penatalaksanaan yang dapat
dilakukan terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus. 2 Tujuan penatalaksanaan umum ini
ialah mengusahakan agar:3
-
Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu intervensi dapat
dilakukan sedini mungkin (Usha Raj, 1988).
Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan
penunjang pada penderita berat.2 Tindakan umum yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap
dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan meletakan bayi dalam inkubator. Humiditas
ruangan juga harus adekuat (70-80 %) (3,4).
2. Pada bayi, makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang
disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan untuk
memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi,
mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan
asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan terdiri dari
glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hr. Dengan pemberian secara ini
diharapkan kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hr) untuk mencegah katabolisme tubuh
dapat dipenuhi 2.
Tindakan khusus meliputi :
1.
Pemberian O2
Setiap penderita atelektasis hampir selalu membutuhkan O2 tambahan. Pemberian O2
pada bayi baru lahir perlu dilakukan secara hati-hati, karena O2 punya pengaruh yang
kompleks terhadap bayi baru lahir.2
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi retrolental) dan lain-lain.
Untuk mencegah komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan
tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar
cukup untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan
tekanan gas arterial tidak ada,O2 dapat diberikan sampai gejala sianosis hilang.4 Untuk
mencapai tekanan, O2 ini kadang-kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %.
Konsentrasi demikian biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup
dan tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter hidung biasa. Pada
15
16
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki
dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.4 Pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh
harus diperiksa secara teratur agar NaHCO3 dapat disesuaikan dengan rumus:2,4
Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)
Konsentrasi NaHCO3 yang diberikan biasanya antara 7,5-8,4 % dan kebutuhan yang
diperlukan sebagian dapat diberikan langsung intravena dan sisanya diberikan secara
tetesan.2 Tujuan pemberian NaHCO3 adalah untuk mempertahankan pH darah antara 7,357,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam basa tidak ada, NaHCO 3 dapat
diberikan dengan tetesan. Cairan yang digunakan berupa campuran larutan glukosa 5-10 %
dengan NaHCO3 1,5 % dalam perbandingan 4 : 1. Pada asidosis yang berat penilaian klinis
yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup
adekuat.4
TINJAUAN PUSTAKA
BRONKOPNEUMONIA
17
Pendahuluan
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim
paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1. Pneumonia lobaris.
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis).
3. Bronkopneumonia.
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang
terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering
menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak
dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang
dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim
paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah
penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (5).
Definisi
Bronkopneumonia
adalah
peradangan
pada
parenkim
paru
yang
melibatkan
RSV,
Cytomegalovirus.
o Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
o Bakteri: Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, Mycobacterium
tuberculosis, Bordetella pertusis.
Pada anak-anak:
o Virus: Parainfluenza, Influenza Virus, Adenovirus, RSP.
o Organisme atipikal: Mycoplasma pneumoniae.
o Bakteri: Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosis.
Pada anak besar dewasa muda :
o Organisme atipikal : Mycoplasma pneumoniae, C. trachomatis.
o Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi:
1. Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid:
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk
jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak
binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti
AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.
Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi
yang lebih relevan.
19
Blastomycosis, Cryptoccosis.
Corpus alienum.
Aspirasi
Pneumonia hipostatik
Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain:6
Inhalasi langsung dari udara.
Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
Penyebaran secara hematogen
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari :
20
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai
ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
1) Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti).
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2) Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium
ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3) Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4) Stadium IV (7 11 hari)
21
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.
Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39 - 40C dan mungkin disertai kejang
karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Inspeksi: pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi: Sonor memendek sampai beda
Auskultasi: Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki basah
gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar
suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi, ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat
terjadi antara 2-3 minggu.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 40.000/mm3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi
virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur
dahak, biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
22
5. Analisa gas darah arteri (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada
bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen
dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru,
pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin
biasanya normal atau sedikit menurun.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena
pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab
tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata
laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan
berdasarkan (6):
1. Bronkopneumonia sangat berat
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di
rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat
Bronkiolitis.
Aspirasi pneumonia.
Tb paru primer
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bronkopneumonia tergantung pada penyebab yang sesuai dengan hasil
dari pemeriksaan sputum, yang mencakup (5):
Anak dengan sesak nafas, memerlukan cairan IV jenis cairan yang digunakan adalah
campuran Glukosa 5% dan NaCl 0,9% ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus
dosis.
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak
dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek
diberikan pengobatan spektrum luas. Untuk kasus pneumonia community base:
o Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
o Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia hospital base:
Komplikasi
Otitis media
Bronkiektasis
Abses paru
Empiema
Prognosis
24
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan
malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita
atau
mengobati
secara
dini
penyakit-penyakit
yang
dapat
menyebabkan
terjadinya
bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi
dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lain-lain.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara
lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenzae
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.
Kesimpulan
Dengan gambaran klinis secara umum berupa adanya infeksi traktus respiratorius yang
selanjutnya menimbulkan demam mendadak, adanya tanda kesukaran bernafas, batuk yang
dalam perjalanan lanjut menjadi batuk yang produktif, disertai dengan adanya pemeriksaan fisik
berupa suara redup saat perkusi dan ronki basah halus saat auskultasi, dapat dimungkinkan
pasien menderita Bronchopneumonia. Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
maka mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%.
25
TINJAUAN PUSTAKA
DUKTUS ARTERIOSUS PERSISTEN
Pendahuluan
DAP merupakan PJB non-sianotik yang relatif sering ditemukan. Secara embriologis
selama dalam kehidupan intrauterin semua janin memiliki pembuluh darah ini, namun pada bayi
normal pembuluh darah ini akan menutup secara spontan umumnya dalam waktu 24 jam sampai
7 hari setelah lahir. 8, 9
Penutupan duktus arteriosus terjadi dalam dua fase, yaitu fase pertama, terjadi konstriksi
otot pada duktus tersebut beberapa jam setelah lahir dikarenakan menurunnya kadar
prostaglandin E2 (PGE2) dan meningkatnya kadar oksigen dalam darah sesaat setelah lahir. 8 Fase
kedua, dilanjutkan dengan involusi tunika intima dan pelipatan tunika media duktus yang terjadi
beberapa hari atau minggu setelah lahir sehingga terjadi penutupan anatomi duktus.
8,9
Duktus
arteriosus persisten (DAP) masih mungkin normal pada bayi baru lahir karena biasanya duktus
arteriosus akan menutup secara spontan pada hari keempat. 9 Penyebab pasti DAP hingga kini
masih belum diketahui. Tidak terjadinya penutupan duktus arteriosus dapat mengakibatkan
gangguan hemodinamik yang cukup signifikan karena meningkatkan beban volume di jantung
kiri yang dikhawatirkan akan mengakibatkan gagal jantung. Insiden DAP merupakan 2% - 15%
kasus PJB. 10,11,12
Pada bayi prematur 10-70% biasanya menderita DAP akibat kadar prostaglandin yang
masih tinggi dalam darah.
13,14
dengan obat anti-prostaglandin, namun jika gagal dan bayi dalam keadaan gagal jantung yang
sulit diatasi dengan obat anti-gagal jantung, perlu tindakan bedah ligasi DAP. Obat yang
biasanya digunakan untuk merangsang penutupan DAP pada bayi prematur adalah indometasin
ataupun ibuprofen. 13
Kasus DAP, dilaporkan antara 28-88% disertai kelainan jantung bawaan yang lain (PJB
kompleks) ataupun kelainan bawaan non-jantung, dan 8-11% penderita DAP memiliki kelainan
26
kromosom. 15,16 DAP tidak dapat diidentifikasi saat ibu memeriksakan janinnya pada waktu ANC
dengan menggunakan Ultrasonografi atau Ekokardiografi untuk fetus/janin karena pembuluh ini
normal pada janin dalam kandungan. Diagnosis DAP dapat ditegakkan setelah lahir dengan
bantuan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna. DAP dapat terlihat
dengan ditemukan aliran kontinyu di arteri pulmonalis. Lesi/kelainan lain di dalam jantung juga
dapat terdeteksi oleh pemeriksaan ini. Dengan pemeriksaan Doppler berwarna dapat dideteksi
aliran abnormal yang sangat kecil pada arteri pulmonalis, walaupun tidak terdeteksi secara klinis,
yang biasanya di sebut silent ductus. 17
Insidensi
Wanita lebih sering terkena 2-3 kali lebih banyak dari pria.
Lebih sering terjadi pada bayi kurang bulan, 20% pada bayi prematur lebih dari 32
minggu masa kehamilan, 60% pada bayi kurang dari 28 minggu masa kehamilan.
Patofisiologi
Oleh karena tekanan aorta yang lebih tinggi, maka ada pirau dari kiri ke kanan melalui
duktus arteriosus, yaitu dari aorta ke arteri pulmonal. Luasnya pirau tersebut tergantung dari
ukuran DAP dan rasio dari resistensi pembuluh darah paru-paru dan sistemik. Pada kasus yang
ekstrim, 70% darah yang dipompa ventrikel kiri akan mengalir melalui DAP ke sirkulasi
pulmonal. Jika ukuran DAP kecil, tekanan antara arteri pulmonal, ventrikel kanan, dan atrium
kanan normal. Jika DAP besar, tekanan arteri pulmonal dapat meningkat baik pada waktu sistol
dan diastol. Pasien dengan DAP yang besar mempunyai resiko tinggi terjadinya berbagai
komplikasi. Tekanan nadi yang tinggi disebabkan karena lolosnya darah ke arteri pulmonal
ketika fase diastol.
27
18
Manifestasi Klinik
Semakin besar bukaan yang dialami pada DAP secara otomatis volume darah ke paru-paru
jadi meningkat. Pada bayi ataupun anak yang menderita DAP akan menampakkan gejala seperti:
Mudah kelelahan.
Pertumbuhan terhambat.
Gejala-gejala diatas menunjukkan telah terjadi gagal jantung kongestif. Sementara bila
bukaan pada DAP berukuran kecil resiko gagal jantung kongestif relatif tidak ada, hanya perlu
diperhatikan adanya resiko endokarditis. Endokarditis bisa berakibat fatal apabila tidak diberikan
tindak lanjut medis yang semestinya.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan tanda-tanda (Sign):
Takhipnoe.
Takikardi.
Banyak berkeringat.
Sianosis.
28
Tanda khas pada denyut nadi berupa pulsus seler disebut water hammer pulse. Hal ini
terjadi akibat kebocoran darah dari aorta pada waktu sistol maupun diastol, sehingga
Langkah diagnostik 19
1. Anamnesis
Gambaran klinis pada DAP tergantung besarnya pintasan dari kiri ke kanan. Bila
ukuran defeknya kecil, umumnya asimtomatik, dan bila ukuran defek besar biasanya
terdapat gejala gagal jantung kiri berupa sesak napas, sulit minum, berat badan sulit naik,
ISPA berulang, ateletaksis, dan tanda gagal jantung kongestif lanjut.
2. Pemeriksaan fisik
DAP kecil tidak terdapat gejala, biasanya laju nadi dan tekanan darah normal, pada
auskultasi terdengar bising kontinyu di sela iga 2-3 parasternal kiri yang menjalar ke
29
DAP besar, gejalanya: takikardi dan dispnea sejak minggu pertama lahir. Sering
dijumpai hiperaktifitas prekordium, thrill sistolik pada bagian kiri atas tepi sternum,
paru (plethora).
Ekokardiografi : dapat mengukur besar duktus, dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri.
Makin besar pirau, makin besar dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri.
Medikamentosa 19
1.
Dapat menggunakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen atau indometasin,
untuk membantu penutupan duktus arteriosus pada bayi prematur sebelum usia 10 hari. OAINS
memblok prostaglandin yang mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka. Pada bayi
prematur dengan DAP dapat diupayakan terapi farmakologis dengan memberikan indometasin
intravena atau peroral dosis 0,2 mg/kgBB dengan selang waktu 12 jam diberikan 3 kali. Terapi
tersebut hanya efektif pada bayi prematur dengan usia kurang dari satu minggu, yang dapat
menutup duktus pada kurang lebih 70% kasus, meski sebagian akan membuka kembali. Pada
bayi prematur yang berusia lebih dari satu minggu indometasin memberikan respon yang lebih
rendah. Dosis ibuprofen adalah 10 mg/kg pada hari pertama, selanjutnya 5 mg/kg pada hari ke-2
dan ke-3. Efek obat akan optimal bila pemberian dilakukan sebelum usia 10 hari.
Alur Dosis Indometasin (mg/kg)
Umur pada Dosis 1 Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
< 24 jam
0.2
0.1
0.1
27 hari
0.2
0.2
0.2
> 7 hari
0.2
0.25
0.25
2.
DAP sedang dan besar disertai gagal jantung, diberi diuretik, kalau perlu ditambah digitalis atau
inotropik yang sesuai. Pada neonatus dan bayi dengan berat badan kurang dari 6 kg, bila gagal
30
jantung tidak teratasi dengan medikamentosa, dianjurkan operasi ligasi. Pada bayi dengan berat
badan lebih atau sama dengan 6 kg dan anak ataupun dewasa, DAP dapat ditutup dengan
3.
4.
ataupun non bedah dengan memasang alat karena mudah terjadi endokarditis infektif.
Pada DAP yang besar dengan hipertensi pulmonal yang sudah lanjut sehingga terjadi aliran pirau
5.
dari kanan ke kiri dan sudah terjadi penyakit vaskular paru, maka DAP tidak dianjurkan ditutup.
Profilaksis terhadap endokarditis bakterial subakut perlu diberikan bila ada tindakan seperti
cabut gigi, sirkumsisi atau tindakan bedah minor lainnya.
DAP yang kecil mungkin tidak menimbulkan gejala. DAP yang lebih besar yang tidak
diterapi dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, infeksi paru berulang, aritmia atau gagal
jantung yang merupakan kondisi kronis dimana jantung tidak dapat memompa darah dengan
efektif. DAP menyebabkan gagal jantung pada 15% bayi prematur dengan berat badan lahir
(1750 gr). Seseorang yang mempunyai masalah struktural pada jantung, seperti DAP,
mempunyai resiko yang tinggi terkena endokarditis dibanding orang normal. Sindrom
Eisenmenger biasanya terjadi pada penderita dengan DAP besar yang tidak mengalami
penanganan pembedahan.
Kesimpulan
DAP adalah sebuah kondisi dimana duktus arteriosus yang seharusnya menutup dalam
rentang waktu normal, tetap dalam keadaan terbuka hingga otomatis mengganggu fungsi normal
jantung. Kelainan Jantung Bawaan DAP umumnya ditemui pada bayi-bayi yang lahir prematur,
juga pada bayi normal dengan perbandingan 1 kasus dari 2500 - 5000 kelahiran setiap tahunnya.
Gejala dan tanda-tanda yang muncul pada pasien dengan DAP tergantung dari seberapa
besar bukaan yang terjadi pada DAP. Semakin besar bukaan yang terjadi semakin berat gejalanya
dan komplikasi yang akan terjadi.
Ada beberapa metode pengobatan yang biasanya diterapkan tim medis untuk mengatasi
gangguan fungsi jantung pada DAP, dan sangat bergantung dari ukuran bukaan pada duktus dan
yang utama usia pasien. Pemberian obat-obatan secara oral bisa dilakukan untuk membuat
duktus mengkerut dengan sendirinya. Apabila berhasil maka bisa proses pembedahanpun bisa
dihindari. Tetapi bila tidak berhasil dengan pemberian obat-obatan secara oral, dan kondisi DAP
memperburuk kesehatan pasien secara umum, maka akan dilakukan operasi.
Pasien dengan DAP kecil dapat hidup normal dengan sedikit atau tidak ada gejala.
Pengobatan termasuk pembedahan pada DAP yang besar umumnya berhasil dan tanpa
komplikasi sehingga memungkinkan seseorang untuk hidup dengan normal.
32
REFERENSI
1. Kliegman, Robert M., et al, Nelson Textbook of Pediatrics 18th edition, Elsevier, Saunders,
2007.
2. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
3. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah, Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 6566.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno
Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985.
5. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Jakarta. 2004
6. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2008.
7. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
2002.
8. Ravishankar C, Nafday S, Green RS, Kamenir S, Lorber R, Stacewicz-Sapuntzakis M,
Bridges ND, Holzman IR, Gelb BD. A trial of vitamin A therapy to facilitate ductal closure
in premature infants. J Pediatr, Vol. 143, pp 644-8, 2003.
9. Buyse ML. Birth Defects Encyclopedia, pp 548-549, Blackwell Scientific Publications,
Cambridge, MA, 1990.
10. Becker SM, Al Halees Z, Molina C, Paterson RM. Consanguinity and congenital heart
disease in Saudi Arabia. Am J Med Genet 2001;99:8-13.
11. Botto LD, Correa A, Erickson JD. Racial and temporal variations in the prevalence of heart
defects. Pediatrics 2001a;107:e32.
12. Borgmann S, Luhmer I, Arslan-Kirchner M, Kallfelz HC, Schmidtke J. A search for
chromosome 22q11.2 deletions in a series of 176 consecutively catheterized patients with
congenital heart disease: no evidence for deletions in nonsyndromic patients. Eur J Pediatr
1999;158:958-63.
33
13. Van Overmeire B, Chemtob S. The pharmacology closure of the patent ductus arteriosus.
Seminars in Fetal & Neonatal Medicine, Vo. 10, pp 177-184, 2005.
14. De Felice C, Mazzieri S, Pellegrino M, Del Pasqua A, Toti P, Bagnoli F, Rosati E, Latini G.
Skin reflectance changes in preterm infants with patent ductus arteriosus. Early Human
Development 2004:78:45-51.
15. Ferencz C, Loffredo CA, Correa-Villasenor A, Wilson PD, eds. Patent arterial duct. I:
Genetic and Environmental Risk Factors of Major Cardiovascular Malformations: The
Baltimore-Washington Infant Study 1981-1989. Armonk, NY: Fuytura Publishing Co., Inc;
1997: pp. 285-99.
16. Stoll C, Alembik Y, Dott B, Roth PM, De Geeter B. Evaluation of prenatal diagnosis of
congenital heart disease. Prenat Diagn 1993;13:453-61.
17. McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, Jr. Jones MD. Patent Ductus Arteriosus. Chapter
273. Oskis Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott William and
Wilkins. A Wolters Kluwer Business. 2006; h. 1578-82.
18. Types
of
congenital
heart
defects.
Available
at:
34