Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan sistem ekonomi Islam dewasa ini memunculkan gagasan

tentang Lembaga Keuangan Syariah (selanjutnya disingkat LKS). LKS


tersebut menjadi salah satu ciri dari kegiatan ekonomi Islam modern. Salah
satu bentuk pengembangan dari konsep ekonomi Islam dalam bidang
keuangan adalah Bait al-Mal wa at-Tamwil (selanjutnya disingkat BMT).
Keberadaan BMT dalam perekonomian Indonesia sangat dibutuhkan,
karena tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha
ekonomi bagi kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada
umumnya, yang belum terjangkau oleh Lembaga Keuangan Perbankan. BMT
(Bait al-Mal wa at-Tamwil) dapat dijadikan pula sebagai alternatif bagi
adanya pengharaman riba dalam bunga bank konvensional, sehingga
keinginan umat Islam untuk dapat melaksanakan transaksi keuangan yang
bernuansa Islam telah terpenuhi.
Riba diharamkan seluruh agama samawi, karena dianggap sangat
membahayakan dan mengandung eksploitasi. Riba adalah kelebihan harta
dalam sebuah transaksi dengan tidak adanya imbalan atau ganti. Imam
Sarakshi, Qatadah, Raghib al-Ashfani, dan lain-lain mempunyai pandangan
yang sama tentang riba. Menurut mereka termasuk kategori riba jika
mengandung tiga unsur, yakni pertama kelebihan dari pokok pinjaman, kedua
kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, ketiga jumlah tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi. Berdasarkan kriteria itu, maka
setiap transaksi yang mengandung ketiga unsur tersebut dinamakan riba. 1
BMT menawarkan sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga yang
mengandung unsur riba. Bagi hasil biasa dikenal juga dengan istilah profit
sharing yang berarti pembagian laba. Namun secara istilah profit sharing
merupakan distribusi pembagian laba pada para pegawai dari suatu
perusahaan.
Mekanisme keuangan syariah model bagi hasil ini berhubungan dengan
usaha pengumpulan dana (funding) maupun pelemparan dana/pembiayaan
(financing), terutama yang berkaitan dengan produk penyertaan atau kerja
sama usaha. Di dalam pengembangan produknya, dikenal istilah shohibul
maal dan mudharib. Shohibul maal merupakan pemilik dana yang
mempercayakan dananya pada Lembaga Keuangan Syariah (bank dan BMT)
untuk dikelola sesuai dengan perjanjian. Sedangkan mudharib merupakan
kelompok orang atau badan yang memperoleh dana untuk dijadikan modal
usaha atau investasi.
BMT akan memerankan fungsi ganda pada model bagi hasil. Pada tahap
funding, ia akan berperan sebagai mudharib dan karenanya dana yang
terkumpul harus dikelola secara optimal. Namun pada financing, BMT akan
berperan selaku shohibul maal dan karenanya ia harus menginvestasikan
dananya pada usaha-usaha yang halal dan menguntungkan.

Kerja sama para pihak dengan sistem bagi hasil ini harus dijalankan
kecuali harus ada laporan keuangan atau pengakuan yang terpercaya. Pada
tahap perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para pihak, maka semua aspek

yang berkaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak, agar antar pihak
dapat saling mengingatkan.2
Kehadiran BMT (Baitul Maal wa Tamwil), sebagai pendatang baru dalam
dunia pemberdayaan masyarakat melalui sistem simpan pinjam syariah
dimaksudkan untuk menjadi alternatif yang lebih inovatif dalam jasa
keuangan. Sifat usaha BMT yang berorientasi pada bisnis (bisnis oriented)
dimaksudkan supaya pengelolaan BMT dapat dijalankan secara profesional,
sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT menjadi
kunci sukses mengembangkan BMT dari sinilah BMT akan mampu
memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada para deposannya serta mampu
meningkatkan kesejahteraan para pengelolaan sejajar dengan lembaga lain. 3
Model bagi hasil ini tidak mengenal istilah beban pasti (fixed cost). Karena
nilai bagi hasil akan didapat setelah terjadi pembukuan usaha. Bagi Lembaga
Keuangan Syariah, tidak akan terjadi negative spread sebagaimana pada
lembaga keuangan konvensional. Karena bagi hasil dana akan dibayar setelah
para debitur membayar bagi hasil pula. Dan bagi debitur tidak akan menjual
barangnya dengan harga yang tinggi, karena bagi hasil tidak mungkin dihitung
sebagai bagian dari biaya produksi. Bagi hasil baru akan dibayar setelah

terjadi penjualan, itupun kemungkinannya dapat saja tidak memberi bagi hasil
karena memang usahanya merugi.
Mekanisme sistem bagi hasil lebih kompetitif dan konsumen akan tetap
mendapatkan harga jual produk dengan harga yang wajar meskipun situasinya
krisis, karena harga jual tidak terpengaruh tingkat bagi hasil. Pada saat ekonomi
booming atau membaik BMT akan ikut menikmati keadaan ini, karena bagi hasil
yang dibayar sangat berkaitan dengan pendapatan debitur. Selajutnya para pemilik
dana (shohibul maal) akan mendapatkan nilai bagi hasil yang meningkat pula.
Itulah sebabnya, dalam sistem bagi hasil hubungan antar shohibul maal dan
mudharib sangat erat.4 Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan bagi
kerugian ketika nasabah sebagai pemilik modal (shohibul maal) menyerahkan
uangnya kepada bank sebagai pengusaha (mudharib) untuk diusahakan.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemilik
dana atau nasabah.5
Kondisi kesehatan perbankan dapat diukur melalui analisis laporan keuangan.
Laporan keuangan menjadi sangat penting karena dapat memberikan informasi
yang dapat dipakai untuk mengambil keputusan. Banyak pihak yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan, mulai dari nasabah atau calon
nasabah, investor atau calon investor, pihak pemberi dana atau calon pemberi
dana, sampai pada manajemen perbankan itu sendiri. Informasi dari laporan
keuangan tersebut akan memenuhi harapan dari pihak-pihak yang berkepentingan

dan pada gilirannya akan memperhatikan terhadap nilai perusahaan. Dengan


kinerja keuangan perusahaan bisa menekan biaya dan mengoptimalkan laba

melalui prediksi anggaran sesuai dengan keuangan yang ada dalam perusahaan. 6
Penelitian ini menggunakan variabel rasio profitabilitas. Secara umum,
profitabilitas diartikan sebagai kemampuan bank dalam mengelola dana yang
diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang menghasilkan keuntungan. Dengan
kata lain, rasio profitabilitas menggambarkan efisiensi usaha perusahaan. Sebuah
perusahaan dikatakan lebih efisiensi menggunakan modalnya dari pada
perusahaan lain apabila mampu menunjukkan rasio profitabilitas yang tinggi dan
sebaliknya.
Tingkat profitabilitas adalah tingkat kemampuan bank untuk mendapatkan
laba dari setiap pengelolaan yang dimiliki untuk mengetahui kondisi profitabilitas
yang diperoleh bank, hal itu bisa diketahui dengan menggunakan rasio
profitabilitas. Rasio yang digunakan untuk mengukur rasio profitabilitas adalah
Return on Asset (ROA) dengan alasan analisisnya bersifat komprehensif atau
menyeluruh yaitu meliputi kegiatan penjualan, investasi, dan pengeluaranpengeluaran.
7 Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang
dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah
semakin kecil.
Manajemen bank syariah harus mengoptimalkan kemampuan profitabilitasnya
untuk menciptakan dan menjalankan operasionalnya dengan efisien. Rasio

efisiensi adalah rasio yang menunjukkan tingkat kinerja operasional bank.


Efisiensi produksi pada bank syariah dalam mengeluarkan biaya dalam bentuk
pemberian investasi pembiayaan merupakan salah satu bentuk mekanisme
produksi bank dalam rangka menghasilkan output (pendapatan) yang paling tinggi
dari suatu investasi. Rasio yang digunakan untuk mengukur rasio biaya/BOPO
(Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) adalah rasio yang
menunjukkan tingkat efisiensi kinerja operasional bank.
Menurut teori klasik, simpanan atau tabungan adalah fungsi dari tingkat
bunga. Semakin tinggi suku bunga maka semakin tinggi keinginan masyarakat
untuk menabung, ini berarti pada tingkat bunga yang tinggi masyarakat akan lebih
terdorong untuk mengorbankan konsumsinya guna menambah tabungan. 8
Simpanan Mudharabah yaitu simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian, atau keseluruhan dana
pihak ketiga yang terdiri dari tabungan dan deposito Mudharabah di bank syariah
dengan satuan tetapan berbentuk rupiah. Mudharabah mempunyai dua bentuk,
yakni Mudharabah Mutlaqah dan Mudharabah Muqayyadah, perbedaan utamanya
di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan
pemilik dana kepada bank dalam mengelola hartanya. 9
Jenis simpanan/tabungan dalam BMT antara lain tabungan Mudharabah.
Tabungan Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan bagi kerugian ketika
nasabah sebagai pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan uangnya kepada

bank sebagai pengusaha (mudharib) untuk diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai


kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemilik dana atau nasabah. Dalam
praktiknya tabungan Mudharabah biasa digunakan secara luas oleh bank

Syariah.10
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, artinya bank
dalam hal ini menjadi tempat menyimpan uang atau tempat berinvestasi bagi
masyarakat. Tujuan utama masyarakat menyimpan uangnya di bank adalah untuk
keamanan uangnya. Tujuan kedua biasanya adalah untuk melakukan investasi
dengan harapan akan memperoleh bunga atau bagi hasil dari simpanannya.
Sedangkan tujuan lainnya untuk memudahkan dalam transaksi pembayaran. Oleh
sebab itu, untuk memenuhi tujuan diatas, maka secara umum jenis simpanan di
bank adalah terdiri dari simpanan giro, simpanan tabungan, dan simpanan
deposito. Semakin besar simpanan yang ada dalam suatu lembaga keuangan,
maka semakin besar pula bagi hasil yang diterima oleh nasabah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun ingin mengadakan penelitian dan
menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul Analisis Pengaruh
Profitabilitas, Rasio Biaya dan Simpanan Anggota Mudharabah Terhadap
Tingkat Bagi Hasil Tabungan Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera
Lasem Rembang. Periode penelitian mulai tahun 2006-2009. Alasan memilih
BMT Bina Ummat Sejahtera disebabkan atas prestasinya berdasarkan aset, kinerja
dan mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah sebagai BMT terbaik dan

Pada awalnya perbankan syariah kurang menarik minat swasta, sebab


perbankan syariah masih kurang meyakinkan apakah perbankan Islam adalah
bidang penanaman modal yang prospektif dan cukup menjanjikan. Hasil
penelitian Center for Busness and Islamic Economic Studies tahun 1999
menunjukkan bahwa 58,8% dari nasabah bank syariah dan 32,2% nasabah
bank konvensional menilai manajemen bank syariah kurang profesional.
Sementara 17,7% nasabah bank syariah dan 27,9% dari nasabah bank
konvensional menyatakan bahwa bagi hasil bank syariah tidak pasti dan bagi
hasil yang diberikan bisa lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem bank
konvensional. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi bank syariah untuk
membangun kepercayaan kepada masyarakat (investor). Salah satu cara yang
dapat ditempuh yaitu meningkatkan efektifitas kinerja manajemen bank
syariah. Ini akan meningkatkan pendapatan bank dan dapat memberikan
keuntungan bagi investor sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank
syariah akan terbentuk.
Dalam perkembangannya bank syariah cukup mengalami pertumbuhan
yang mengesankan dari tahun ke tahun. Data statistik perbankan syariah
Indonesia mencatat terjadi peningkatan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK),
dan 37 milyar pada Maret 2009 menjadi 50,7 milyar pada Desember 2009.

Pada Maret 2009, jumlah giro wadiah sebesar 4,2 milyar, tabungan
mudharabah 12 milyar dan deposito mudharabah sebesar 20,7 milyar yang
pada akhir Desember 2009 kesemuanya mengalami peningkatan dengan giro
wadiah menjadi 6,2 milyar, tabungan mudharabah 14,9 milyar dan deposito
mudharabah 29,5 milyar. Jumlah deposito mudharabah lebih besar
dindingkan giro wadiah dan tabungan mudharabah, hal ini menunjukkan

bahwa deposito mudharabah cukup diminati oleh nasabah.


Salah satu bank syariah di Indonesia yang menganut sistem bagi hasil
deposito mudharabah adalah Bank Mega Syariah merupakan bank yang
berada dibawah naungan Bank Mega. Dalam hal ini suatu bank perlu
menjaga kinerjanya agar dapat beroperasi secara optimal, bersaing dan
bertahan hidup. Salah satu faktor yang harus diipertimbang adalah kinerja
keuangan bank. Kondisi kesehatan perbankan dapat diukur melalui analisis
laporan keuangan bank. Laporan keuangan menjadi sangat penting bagi
banyak pihak karena memberikan informasi yang dapat dipakai untuk
mengambil keputusan. Apabila kinerja keuangan bank dapat berjalan dengan
baik maka kinerja keuangan bank juga dapat berjalan optimal untuk
menghasilkan keuntungan atau bagi hasil kepada para nasabahnya. Namun
dalam kenyataanya masih terdapat beberapa masalah yang ada di Bank Mega
Syariah diantaranya yaitu kinerja keuangan pada Bank Mega Syariah belum
sepenuhnya beroperasi secara optimal, kedua pemahaman masyarakat akan
tingkat bagi hasil deposito mudaharabah pada Bank Mega Syariah masih
tergolong rendah, hal ini dilihat dari jumlah nasabah yang ada di Bank Mega

Syariah yang kebanyakan adalah pengusaha dan investor sedangkan


masyarakat pada umumnya masih lebih banyak pada bank konvensional.
ROA (Return on Assets) pada Bank Mega Syariah belum mencapai
keuntungan yang maksimal meskipun sudah mendapatkan laba tetapi belum
mampu memenuhi kebutuhan operasional bank tersebut hal ini dilihat dari
peningkatan laba yang tidak signifikan, terkadang masih mengalami
penurunan dimana laba pada ROA bernilai 828 milyar pada tahun 2005
triwulan I. Apabila ditinjau dari ROE (Return on Equity) belum menunjukkan
kemampuan manajemen bank dalam mengelola capital yang ada untuk
mendapatkan net income laba bersih, pada Bank Mega Syariah tidak terdapat
peningkatan yang signifikan pada tahun 2006 triwulan 1 ROE laba bernilai
negatif yaitu -1.650 milyar. Dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya
kinerja Bank Mega Syariah tidak menggunakan pengukuran FDR sehingga
hasil pengukuran yang menggunakan FDR belum diketahui. Pada kinerja
BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) biaya
operasional pada Bank Mega Syariah melebihi pendapatan operasionalnya
sehingga keuntungan pada Bank Mega Syariah kurang maksimal, hal ini
terjadi pada tahun 2012 triwulan III dimana biaya operasional sebesar 17.971
milyar pendapatan operasional 15.760 milyar. CAR (Capital Adequacy
Ratio) adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank dengan menunjukkan CAR minimal 8%, pada bank Mega
Syariah Indonesia sudah mencapai batas minimal 8% pada tahun 2006
triwulan IV namun masih perlu adanya peningkatan.

Penelitian ini juga menguji apakah kinerja keuangan secara langsung


dapat berpengaruh terhadap deposito mudharabah. Kinerja keuangan yang
digunakan adalah semacam Rasio Keuangan. Rasio keuangan dalam

penelitian ini adalah rasio-rasio keuangan yang konsisten digunakan infobank


dalam mengukur kinerja keuangan dan merating perbankan nasional, yang
diantaranya Rasio Profitabilitas yang terdiri dari ROA (Return on Assets) dan
ROE (Return on Equity), Rasio Likuiditas terdiri dari FDR (Financing of
Deposito Ratio), Rasio Efisiensi terdiri dari BOPO (Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional), dan Rasio Kecukupan Modal dengan
CAR (Capital Adequacy Ratio).
Tingkat profitabilitas adalah tingkat kemampuan bank untuk
mendapatkan laba dari setiap pengelolaan dana yang dimiliki. Rasio
profitabilitas mengukur efektivitas manajemen berdasarkan hasil
pengembalian yang dihasilkan dari pinajman dan investasi. Indikator yang
digunakan untuk mengukur kinerja profitabilitas bank dalam penelitian ini
adalah Return on Assets (ROA) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur
keuntungan bersih yang diperoleh bank dari penggunaan aktiva bank dan
Return on Equity (ROE) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur
pendapatan (laba) dari penggunaan modal bank.
Alasan digunakannya ROA dalam penelitian ini karena nilai ROA
meningkatkan apabila laba yang diperoleh bank tetap di lain pihak total
aktiva tetap, dan juga apabila laba yang diperoleh bank tetap dilain pihak
total aktiva berkurang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin

tinggi ROA semakin tinggi bagi hasil yang diterima nasabah. Alasan
digunakannya ROE dalam penelitian ini karena Return of Equity atau Return
net Work mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia
bagi nasabah.
Financinf to Deposit Ratio (FDR) mewakili rasio likuiditas. FDR
merupakan rasio yang mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan atas
simpanan pihak ketiga dan modal sendiri. Rasio ini menggambarkan sejauh
mana simpanan digunakan untuk memberikan pinjaman (pembiayaan) juga
untuk mengukur likuiditas. Alasan digunakannya FDR dalam penelitian ini,
karena jika FDR meningkat maka perolehan pendapatan akan meningkat,
sehingga bank syariah akan memberikan return bagi hasil yang tinggi untuk
investor atau deposan.
Rasio efisiensi diwakili dengan Biaya Operasional per Pendapatan
Operasional (BOPO) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur
perbandingan biaya operasional atau biaya intermediasi terhadap pendapatan
operasi yang diperoleh bank. Semakin kecil angka rasionya, maka semakin
baik kondisi bank tersebut. Alasannya digunaknnya BOPO dalam penelitian
ini karena semakin rendah BOPO maka bank semakin efisiensi
dalammengeluarkan biaya dalam bentuk pemberian investasi pembiayaan
dalam rangka menghasilkan output (pendapatan) yang paling tinggi. Apabila
BOPO menurun maka pendapatan bank meningkat. Dengan adanya
peningkatan pendapatan bank maka tingkat bagi hasil yang diterima oleh
nasabah juga meningkat.

Rasio kecukupan modal diwakili dengan capital adequacy Ratio


(CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk
mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva
yang mengandung atau menghasilkan risiko. Masalah kecukupan modal
merupakan hal penting dalam bisnis perbankan. Bank yang memiliki tingkat
kecukupan modal baik menunjukkan indikator sebagai bank yang sehat.
Ketentuan penghitungan CAR yang harus diikuti oleh bank-bank diseluruh
dunia sebagai aturan marjn dalam kompetisi yang fair di pasar keuangan
global, yairu rasio minimum 8% permodalan terhadap aktiva beresiko.
Alasan digunakannya CAR dalam penelitian ini karena semakin besar rasio
CAR maka menunjukkan indikasi bank dinilai masih dalam batas aman
dalam operasinya. Keadaan permodalan yang memadai ini akan menjaga
kepercayaan masyarakat untuk tetap menyimpan dananya di bank, oleh
karena itu semakin besar pula bagi hasil yang diterima oleh nasbah.
Alasan mengambil objek penelitian Bank Mega Syariah karena bank
tersebut sudah ternasuk dalam Bank Umum Syariah Devisa. Untuk menjadi
bagian dari bank umum syariah devisa harus memiliki kualifikasi tersendiri
dari Bank Indonesia dan hal ini dapat menjadi tolak ukur khususnya bagi
perbankan syariah lainnya di Indonesia. Selain itu alasan pengambilan objek
penelitian tersebut karena kelengkapan data penelitian yang dibutuhkan
penyusun.

Anda mungkin juga menyukai