Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT II

SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK

Oleh:
Pradipta Sih Utami, S.Ked
J500090025
Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

CASE REPORT II
SEORANG LAKI-LAKI 22 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK
Yang diajukan Oleh :
Pradipta Sih Utami
1

J500 090 025


Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter
Pada hari , tanggal 2013
Pembimbing :
dr. Asna Rosida, Sp.PD

(...........................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Asna Rosida, Sp.PD

(...........................)

Kabag. Profesi Dokter


dr. Dona Dewi Nirlawati

(...........................)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama pasien

: Nn. H

Umur

: 22 tahun

II.

Jenis kelamin

: laki-laki

Alamat

: Sukorejo, Ponorogo

Pekerjaan

: Wiraswasta

Status perkawinan

: Belum menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Tanggal rawat di RS

: 7 Agustus 2013

Tanggal pemeriksaan

: 12 Agustus 2013

ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis
pada tanggal 12 Agustus 2013.
A. Keluhan Utama
Badan bengkak-bengkak.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS dr. Hardjono dengan keluhan badan bengkakbengkak. Keluahan dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Awalnya muncul
bengkak pada wajah terlebih dahulu. Pasien juga mengeluh mual dan
nafsu makan menurun. Pasien merasa lemas SMRS. Pasien tidak
mengeluh demam, pusing, dan batuk. BAK normal berwarna kuning,
tidak ada darah ataupun lendir. BAB dalam batas normal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat hipertensi

: disangkal

2. Riwayat diabetes melitus

: disangkal

3. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

4. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

5. Riwayat penyakit liver

: disangkal

6. Riwayat maag

: disangkal

7. Riwayat atopi

: disangkal

8. Riwayat opname

: disangkal

9. Riwayat trauma

: disangkal

10. Riwayat penyakit serupa

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat penyakit serupa
2. Riwayat hipertensi

: disangkal
: disangkal

3. Riwayat diabetes melitus

: disangkal

4. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

5. Riwayat atopi

: disangkal

E. Riwayat Pribadi
1. Merokok

: diakui

2. Konsumsi alkohol

: disangkal

3. Konsumsi obat bebas

: dsangkal

4. Konsumsi jamu

: disangkal

5. Konsumsi kopi

: disangkal

6. Makan tidak teratur

: disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama orang tuanya. Kegiatan sehari- hari sebagai
wiraswasta. Pasien berobat dengan fasilitas Jamkesmas.

III.

PEMERIKSAAN FISIK (12 Agustus 2013)


Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: komposmentis, E4 V5M6

Vital Sign

Tekanan darah

: 130/90 mmHg(berbaring, pada lengan kanan)

Nadi

: 90x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler

Respiratory rate

: 20x/menit tipe thorakoabdominal

Suhu

: 36,50C per aksiler

A. Kulit
Ikterik (-), petekie (-),akne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas
garukan (-), kulit kering(-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas operasi,
edema (+)
B. Kepala
1. Rambut
Rambut rontok (-)
2. Mata
Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
3. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
4. Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).
5. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), hiperpigmentasi
(-), lidah tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-), luka
pada langit-langit mulut (-).
C. Leher
leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-), JVP R0,
pembesaran kelenjar limfe (-).
D. Thorak
1. Paru
-

Inspeksi: kelainan bentuk (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-),


retraksi otot-otot bantu pernapasan (-), spider nervi (-).

Palpasi

Ketinggalan gerak

:
DepanBelakang

Fremitus
Depan Belakang

Perkusi
:
Depan Belakang
-

S:sonor
Auskultasi
-

:
Suara dasar vesikuler
Depan Belakang

Suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi (-/-).


2. Jantung
- Inspeksi
: iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi
: iktus kordis kuat angkat.
- Perkusi
: batas jantung.
Batas kiri jantung
Atas
: SIC II linea parasternalis sinistra.
Bawah
: SIC V linea midclavicula sinistra.
Batas kanan jantung
Atas
: SIC II linea parasternalis dextra.
Bawah
: SIC IV linea parasternalis dextra.
- Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler,
bising(-), gallop (-).
3. Abdomen
- Inspeksi
-

: dinding abdomen sejajar dengan dinding dada,

distended (-), caput medusa (-).


Auskultasi : peristaltik (+) normal.

Perkusi

: timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali (-),

Palpasi
-

splenomegali (-).
: defans muskuler (-),nyeri tekan (+) regio epigastrika.
Nyeri tekan

4. Pinggang
5. Ekstremitas
- Superior

Nyeri ketok kostovertebra (-/-).


:

clubbing finger(-),palmar eritema (-),

edema (+),akral hangat (-).


- Inferior
: clubbing finger(-), palmar eritema(-),
IV.

edema (+), akral hangat (-).


PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah rutin (tanggal 7 Agustus 2013)
-

H
-

M
G

In

M
-

M
-

M
-

Tr

B. Pemeriksaan kimia darah (tanggal 7 Agustus 2013)


-

Hasil
-

C. EKG
-

a.
b.
c.
d.
e.

Frekuensi
Ritme
Jenis irama
Aksis
Morfologi gelombang

: 86 x/menit
: reguler
: sinus
: normal
:gelombang P selalu diikuti gelombang QRS

dan T, interval PR 0,16 detik, gelombang QRS 0,08 detik.


D. Pemeriksaan Urin Lengkap tanggal 10 Agustus 2013
Makroskopis
a. Warna
: Kuning muda
b. Kejernihan
: Jernih
c. BJ
: 1,015
(1,005-1,030)
d. PH
: 6,0
(4,5-8,0)
e. Blood
:(Negatif)
f. Bilirubin
:(Negatif)
g. Urobilinogen : (Negatif)
h. Keton
:(Negatif)

i. Protein
j. Nitrit
k. Glucosa
Mikroskopis
a. Eritrosit
b. Leukosit
c. Epitel
d. Silinder
e. Parasit
f. Jamur
g. Bakteri
h. Kristal

: +++
::-

(Negatif)
(Negatif)
(Negatif)

:: 2-4
: 2-3
::::: amorf

(0-1/LP)
(0-2/LP)
(0-2/LP)
(Negatif)
(Negatif)
(Negatif)
(Negatif)
(Negatif)

V.

RESUME/ DAFTAR ABNORMALITAS (yang ditemukan positif)


A. Anamnesis
1. Bengkak di badan, awalnya di wajah
2. Mual
3. Nafsu makan menurun
4. lemas
B. Pemeriksaan
1. Vital sign
-

Tekanan darah :130/90 mmHg (berbaring, pada lengan kanan).

Nadi :90 x/menit (isi dan tegangan cukup),


iramareguler.

RR

:20 x/menit tipe thorakoabdominal

Suhu

:36,50C per aksiler

2. Pemeriksaan fisik
-Edema pada wajah dan ekstremitas.
3. Pemeriksaan darah rutin
aan
-

Pemeriks Leukosit

Hasil
13,5

Satuan

Nilai

10 ul

normal
4,0
50-70

Granulos -

86,4

10,0
-

it %
-

Trombos

334

103

100-

it
-

MCHC

31,3

gr/dl

300
-

32-36

4. Pemeriksaan kimia darah


-

Pemerik

Hasil

Satuan

saan
-

Asam

9,4

mg/dl

normal
2,4-6,1

urat
-

Albumin Trigliseri -

1,6
170

g/dl
mg/dl

3,5-5
36-165

d
-

CHOL

377

mg/dl

140-

mg/dl

200
-

0-190

LDL

276

Nilai

VI.
-

Daftar

Abnormalitas
-

5. Pemeriksaan urine lengkap


Protein : +++
(negatif)
Leukosit : 2-4
(0-2/LP)
Epithel : 2-3
(0-2/LP)
Kristal : Amorf
(negatif)
POMR (Problem Oriented Medical Record)

Bengka

k di wajah dan

n
-

badan, mual,
nafsu makan
menurun,
lemas
Albumi
n : 1,6
Asam
urat : 9,4
Koleste
rol : 377
Triglise

Problem

Hipoalbumi

a
-

Asse

sment
-

Hiperkoleste

Dislipidemi
Proteinuria
edema

Pla

nning
Diagnosa

Sind

rom

rolemia
Hiperlipide
mia
-

Nefrotik

US
G

Abdomen
-

Planning

Pla

nning

Terapi

Monitorin

g
-

tpm
-

Inf PZ 20
Ranitidin

2x1 amp
Simvastatin
1x 10 mg
Albapure
20% 100cc
Furosemid
1-0-0
Dexametaso
n 3x1

Klinis
Vital sign
kimia darah
-UL

rid : 170
LDL :
276
-

Urine :

proteinuria (++
+)
-

D-

ate
-

/8/13

bject
-

Su

Object

Be

KU: lemah
T: 120/80

ngkak di
wajah,
dan
badan
Mu
al
-

Le

mas
Na
fsu
makan
menuru
/8/13

n
-

Be

ngkak di

FOLLOW UP
-

KS: CM
N: 86

x/menit
RR:20
S: 36
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB
(-/-), edema
Thorak: dbn.
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: edema
Lab:
Albumin : 1,6
Asam urat : 9,4
Kolesterol : 377
Trigliserid : 170
LDL : 276
-

KU: lemah
T: 120/80

KS: CM
N: 86

dan

x/menit
RR:20
S: 36
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB

badan

(-/-), edema

wajah,

Asse

Therapy

sment
Hipo - Inf PZ 10 tpm
- Inj ranitidin 2x1 amp
albumin
- Inj dexametason 3x1
Sindr
amp
om nefrotik
- Inj farsix 1-0-0
-

Hipo - Inf PZ 10 tpm


- Inj ranitidin 2x1 amp
albumin
- Inj dexametason 3x1
Sindr
amp
om nefrotik
- Inj farsix 1-0-0
-

Mu

al
-

Le

Thorak: dbn.
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: edema

KU: sedang
KS: CM
T: 120/80
N: 80
RR: 20
S: 36,5
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB

mas
Na
fsu
makan
menuru
n
0/8/13

1 -

Ed

ema di
wajah sdh
hilang,
mual (-),
BAK
normal

(-/-), edema (-)


Thorak: dbn
Abdomen: dbn, NT (-)
Ekstremitas: dbn, edema (-)
-

Hipo - Inf PZ 10 tpm


- Inj ranitidin 2x1 amp
albumin
- Inj dexametason 3x1
Sindr
amp
om nefrotik
- F
a
r
s
i
x
o
f
f

1/8/13

1 -

Kel uhan
sudah
tidak ada,
BAB
lembek,
BAK
normal

(-/-).
-

KU: baik
KS: CM
T: 110/80
N: 72
RR: 20
S: 36,6
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB

Abdomen: dbn
Ekstremitas: dbn
UL:
Protein : +++

(negatif)
Leukosit : 2-4

Sindr - Inf PZ 10 tpm


- Inj ranitidin 2x1 amp
om Nefrotik
- Inj dexametason 3x1
amp
-

Thorak: dbn

(0-

2/LP)
Epithel : 2-3

(0-

2/LP)
Kristal :
2/8/13

(negatif)
KU: baik
KS: CM
T: 130/90
N: 80
RR: 20
S: 36,5
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB

1 -

Kel uhan sdh


tdk ada,
BAK
normal,
BAB
normal

Amorf

(-/-).
-

Sinro

m Nefrotik

Inf PZ 10 tpm
Inj ranitidin

2x1 amp
Inj
dexametason 3x1

Thorak: dbn

amp
Inj furosemid

Abdomen: dbn
Ekstremitas: dbn

1-0-0
Simvastatin
1x10 mg
Captopril 3x
6,25
Inj albumin

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM NEFROTIK
-

I.

DEFINISI1.2
-

Sindrom

nefrotik

adalah

sekumpulan

gejala,

yang

bercirikan hilangnya protein (albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah


cukup banyak, yang berhubungan dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini
mudah dikenali dengan adanya berbagai macam gejala klinis yang terdiri
dari (1). proteinuria massif (3,5 g/ 1,73 m 2/ 24 jam pada orang dewasa
atau 40 mg/m/jam pada anak-anak), (2). hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), (3).
edema (penumpukan cairan dalam jaringan di seluruh badan), dan (4).
hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan gejala lain seperti

lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau menurunnya fungsi


ginjal.
II.

EPIDEMIOLOGI1.2
-

Sindroma nefrotik adalah gangguan yang dapat terjadi baik


pada orang dewasa maupun pada anak-anak, tetapi
umumnya anak-anak lebih sering terjadi 15 kali lipat
daripada orang dewasa. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada laki-laki daripada perempuan, dengan rasio 2:1.
Meskipun penyakit ini tidak bersifat herediter, ada
kecenderungan yang berhubungan dengan keluarga pada 28% pasien dari penyakit ini dan cenderung terjadi pada
keluarga yang mempunyai riwayat alergi.

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit


sistemik disebut sindrom nefrotik primer, yang merupakan
90 % dari kasus anak, sedangkan sindrom bila timbul
sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan
dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik
sekunder. Dan bila sindrom nefrotik tidak diketahui
penyebabnya maka disebut sindrom nefrotik idiopatik.

III.

FREKUENSI1.2
-

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer

(idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati


lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun
saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita.
Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun.

Sindroma nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak

disebabkan oleh diabetes mellitus


ETIOLOGI1.2

IV.

Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis

primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan


penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik seperti tercantum pada table dibawah.
-

Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:

I. Glomerulonefritis primer:
-

GN lesi minimal (GNLM)


Glomerulosklerosis fokal (GSF)
GN membranosa (GNMN)
Gn membranoproliferatif (GNMP)
GN proliferative lain

II. Glomerulonefritis sekunder akibat:


Infeksi

HIV, hepatitis virus B dan C


Sifilis, malaria, skistosoma
Tuberkulosis, lepra

Keganasan
-Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma
multiple, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung


-Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (mixed connective
tissue disease)

Efek obat dan toksin


-

Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air


raksa, kaptopril, heroin.

Lain-lain :
-

Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,

refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.


-

Glomerulonefritis

primer

atau

idiopatik

merupakan

penyebab sindroma nefrotik yang paling sering. Dalam kelompok


glomerulonefritis primer, glomerulonefritis lesi minimal (GNLM),
glomerulosklerosis

fokal

segmental

(GSFS),

membranosa (GNMN), dan glomerulonefritis

glomerulonefritis

membranoproliferatif

(GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Dari


387 biopsi ginjal pasien sindroma nefrotik dewasa yang dikumpulkan di
jakarta antara 1990-1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM
didapatkan pada 44,7%, GNMSP pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP
pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%.
-

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai

misalnya pada glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi


virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau
preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus
eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.
V.

PATOFISIOLOGI

Untuk mengetahui apa itu sindroma nefrotik, mari kita

mengerti secara singkat dulu struktur dan fungsi dari ginjal. Ginjal adalah
organ yang berbentuk seperti dua kacang yang ditemukan di punggung
bagian bawah. Ukuran dari ginjal ini sebesar kepalan tangan. Ginjal seperti
penyaring tubuh, yang memindahkan kotoran atau sampah dari darah
melalui urin dan mengembalikan darah bersih ke tubuh. Tiap ginjal ini
memiliki jutaan unit untuk menyaring darah yang disebut glomerolus.

Glomerolus adalah pembuluh darah kecil yang membentuk hubungan


melalui ginjal dimana darahnya disaring untuk membuang kelebihan air
dan sampah-sampah. Ketika ginjal bekerja dengan baik, ginjal
membersihakan darah dan membuang sampah-sampah tubuh, kelebihan
garam, dan air. Tetapi, saat ginjal sakit, ginjal dapat membuang apa saja
yang tubuh perlukan untuk disimpan, seperti protein dan sel darah.
-

Gbr . Anatomi ginjal


Arsitektur normal dari glomerolus mencegah terbuangnya

sebagian besar protein melalui urin dan menahan protein di dalam darah.
Yang mendasari gangguan dari sindrom nefrotik adalah peningkatan
permeabilitas dari dinding kapiler glomerolus, yang memicu terjadinya
proteinuria massif dan hipoalbuminemia. Penyebab meningkatnya
permeabilitas tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Pada sebagian besar
kejadian,

kehilangan

protein

melalui

urin

memicu

terjadinya

hipoalbuminemia, yang menyebabkan menurunnya tekanan onkotik


plasma dan terjadinya transudasi cairan dari intravaskular ke ruang
interstitial, sehingga terjadi edema dan menurunnya tekanan perfusi renal.
Hal tersebut mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron , yang
merangsang reabsorbsi natrium di tubulus. Volume intravaskular yang

berkurang juga merangsang pelepasan hormon ADH (Anti Diuretik


Hormon) .
-

Pada tipe kelainan minimal, meningkatnya permeabilitas

kapiler juga tidak sepenuhnya dapat dimengerti, namun diyakini adanya


gangguan imun dimana sel-T melepaskan sitokin, yang merusak foot
processes epitel glomeruli. Hal ini menyebabkan bocornya albumin di
ginjal. Salah satu fungsi protein ialah untuk menahan penyerapan plasma
dari peredaran darah ke jaringan-jaringan tubuh. Jadi dengan kekurangan
albumin di dalam darah maka pembengkakan (edema) akan tetap berlaku.
-

Gbr. Glomerulus

PROTEINURIA
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada

SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi


sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik.
Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan
badan, dianggap proteinuria berat.
-

Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi

bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM (kelainan


minimal) protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus
yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria
non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000)
dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari
0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio
rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.

Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak


sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)
dengan pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
-

HIPOALBUMINEMIA
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan

dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi


renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin,
degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan
SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini bukan merupakan korelasi yang
ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak
responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir
normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju
sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak
menurun, bahkan meningkat atau normal.
-

Pada keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi

albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya


ekskresi dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin
(terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus
renal) yang melampaui daya sintesis hati.
-

KELAINAN METABOLISME LIPID


Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia
& hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada
pasien dengan kelainan metabolisme. Umumnya terdapat
korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan
kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan
dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan.

Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat

rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan


kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL)
umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun
rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun.
-

Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan

meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui


jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi
pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini
rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat
hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase.
-

Apabila albumin serum kembali normal, baik secara

spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya


kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat
tekanan onkotik albumin serumnya. Lipid dapat juga ditemukan di dalam
urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross.
-

EDEMA
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi

natrium dan edema pada sindrom nefrotik


1. Hipotesis Underfill
theory)

Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled


adalah

menurunnya

menyebabkan

cairan

meningkatnya

permeabilitas

tekanan

merembes

ke

kapiler

onkotik
ruang

intravaskular
interstitial.

glomerulus,

albumin

yang

Dengan
keluar

menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia


menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular.

Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati


dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang
menyebabkan terbentuknya edema.
-

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total

dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan


volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk
menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat
dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara

terus-menerus

menjaga volume

plasma,

selanjutnya

akan

mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan


onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang
interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat
keseimbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar

renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal


ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
2. Hipotesis Overfill
-

Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada

tubulus primer di ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi


natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi
edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstitial. Pada
hipotesis ini karena terjadi hipervolemia, sistem RAA atau aldosteron akan
menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus
resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung sehingga
terjadi edema. (lihat gambr).
-

Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu

tipe nefrotik dan tipe nefritik. Kelompok pertama (underfill) disebut juga
tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi pada SN kelainan minimal
(minimal change nephrotic syndrome = MCNS). Tipe nefrotik ditandai
dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)
masih baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua
(overfill) disebut tipe nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan
minimal (BKM) atau glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan
minimal pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain
adanya hipervolemia juga sering di jumpai hipertensi, kadar renin dan
aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.
-

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang

dinamis dan mungkin saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan


atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit gromerulus mungkin satu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.

VI.

MANIFESTASI KLINIS
-

Di masa lalu masyarakat menganggap penyakit SN ini

adalah edema. Nafsu makan yang kurang, mudah terangsang, adanya


gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan
keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga
dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan
pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara
drastis, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak
yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira
80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini
bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal
dengan kortikosteroid.
-

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus,

kambuhnya edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan


segera. Namun edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu
merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder
dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini
hampir berjumlah dari semua

pasien dengan SN primer. Edema

umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh
orang tua penderita atau penderitanya sendiri sebelum dokter melihat
pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat
menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang
dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga
penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai
keadaan ini orang tua anak atau pasiennya sering mengeluh berat badan
tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan
terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat.
Timbulnya edema pada anak dengan SN disebutkan bersifat perlahan-

lahan, tanpa menyebut jenis kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang


pola timbulnya edema bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan
glomerulus. Pada anak dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat
dan progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan
intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN
membrano-proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan
posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur
sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada
awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan
pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos
kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan
pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini,
edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites,
pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai
pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan
seperti malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.
-

Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit

SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan
keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga
penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri
di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang
kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan
hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan
abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema

yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam


urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien
SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat
terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
-

Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa

efusi pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang


menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin
dan obat furosemid.
-

Gangguan fungsi psikososial


Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti

halnya pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik


terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua
pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
Kecemasan orang tua dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan
anak berkembang menjadi berdikari dan bertanggung jawab terhadap
dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas.
Anak dengan SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan
membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya.
Para dokter yang sadar akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk
mencegahnya dan berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan
penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mengurangi
cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.
-

Gangguan Saluran Kemih


Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal

ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke

ginjal. Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih


terjadi secara tiba-tiba. Dan biasanya air kemihnya berbusa.
-

Gangguan Darah
Terjadi

kelainan

pembekuan

darah,

yang

akan

meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah


(trombosis),

terutama

di

dalam

vena

ginjal

yang

utama.

Di lain pihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan


hebat.
-

Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada

saat penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa
menyebabkan syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah,
normal ataupun tinggi. Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada
jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki
diabetes dan penyakit jaringan ikat.
VII.

DIAGNOSIS
-

Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan

pemeriksaan laboratorium berupa proteinuri masif (3,5 g/1,73 m2 luas


permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3,5 g/dl) karena protein vital ini
dibuang melalui urin dan pembentukannya terganggu, edema ( kadar
natrium dalam urin rendah dan kadar kalium dalam urin tinggi ),
hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan
seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena
yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan
prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
VIII. KOMPLIKASI
-

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari

penyakitnya sendiri atau sebagai akibat pengobatan :

Infeksi
Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Perubahan hormon dan mineral
Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Peritonitis
Anemia
Gangguan tubulus renal
IX.
PENGOBATAN

Terapi Sindroma Nefrotik Dasar Glomerulonefritis13,14


Pengobatan pada glomerulonefritis terdiri dari terapi

spesifik ( ditujukan pada penyebab ) dan terapi non spesifik ( menghambat


progresivitas penyakit). Pemantauan klinik yang regular, kontrol tekanan
darah dan proteinuria dengan ACE-I atau AIIRA terbukti bermanfaat.
Pengaturan asupan protein dan kontrol lemak darah dapat membantu
menghambat progresivitas GN. Efektifitas penggunaan obat imunosupresif
GN masih belum seragam. Pertimbangan terapi imunosupresif didasarkan
atas diagnosis GN, faktor pasien, efek samping dan faktor prognosis
-

Pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan

klinik SN secara drastis, tapi masalah salah satu efek samping obat
terutama bagi anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid.
Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih
dari 90% anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu
sesudah pengobatan awal dengan kortikosteroid. Cara kerja kortikosteroid
pada GN adalah menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-1 alfa atau
TN alfa dan aktifitas transkripsi NFkB yang berperan pada pathogenesis
GN.
-

Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis


fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang
baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan
kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien

nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik


fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan
dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak
mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan
pada nefropati jenis ini.
- Terapi Kortikosteroid sebagai Imunosupresif
- Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam,
di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan
kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika
relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu
diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90%
pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun
50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada
kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam
dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per
24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya.
- Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat

dibagi

menjadi :
- a. Remisi lengkap
proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
albumin serum >3 g/dl
kolesterol serum < 300 mg/dl
diuresis lancar dan edema hilang
- b. Remisi parsial
proteinuri <3,5 g/hari
albumin serum >2,5 g/dl
kolesterol serum <350 mg/dl
diuresis kurang lancar dan masih edema
- c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan
setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
- Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus
SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN

nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal


segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes melitus.
- Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten
terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid
atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari
selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum
tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan
lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg
bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia
dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa pada
nefropati

membranosa

idiopatik,

kombinasi

metilprednisolon

dan

klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat


mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon
sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4
tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah
metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral
selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.
-

ACE-I atau ARB Mengatasi Proteinuri

- Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk


mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis
rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi
non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg.
- Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi
protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus
dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik
obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat

dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat


memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis
interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan
ARB dilaporkan

memberi

efek

antiproteinuri

lebih

besar

pada

glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.


- Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya
edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun
edema persisten dengan komplikasi yang mengganggu merupakan
masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responder dan pada
mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Kelompok ini hampir
berjumlah dari semua pasien dengan SN primer
- OAINS Mengatasi Proteinuri
- Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien
nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk
menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi
ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan
mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi
kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi
trombosit.

Namun

demikian

perlu

diperhatikan

bahwa

OAINS

menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien.


Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
- Terapi Imunosupresif Lain
- Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi
siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian
kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun
(setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat
juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang
gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah
hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis.

Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5


mg/kgBB/hari selama 12 bulan.
- Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat
imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu
mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat
proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi
dari sel B dan ekspresi molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot
polos pembuluh darah. Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan
berbagai lesi histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan
remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
-

Terapi Gizi pada Sindrom Nefrotik

- Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar


terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari.
Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan
jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri
berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen
menurun.Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram
natrium/hari).
- Terapi Mengatasi Oedema
- Diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau
tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada
pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan
200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat
multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya
transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein
urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien
demikian dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi
ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus

albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat


diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan
bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.
- Terapi Anti Hiperlipidemia
- Hiperlipidemi dalam jangka panjang

meningkatkan

risiko

terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat


digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A)
reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini
dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil,
bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan
sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar
biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan
kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar
kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap
trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih
efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol
efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat
ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang
memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. Golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
- Pencegahan Hiperkoagulabilitas
- Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli
yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati
membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100
mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.
Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan
fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan
selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau
keduanya.

Jika

terjadi

tromboemboli,

harus

diberikan

heparin

intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3

bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan


pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali
kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT)
yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3
kali normal. Bila terjadi

penyulit

infeksi bakterial (pneumonia

pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat


disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi
digunakan vaksin pneumokokus.
- Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus
seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya
hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
(setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini
pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien
glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,
15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh
adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A
menurunkan

ekskresi

protein

urin

pada

pasien

SN

karena

glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN


sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan
faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus.
X.

PROGNOSIS
-

Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia

penderita dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan
mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau
kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya
memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid. Anak-anak yang

lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun,
beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau
pencangkokan ginjal.
-

Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma

nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak


dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang
yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat
kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.
-

Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa

terutama terjadi pada dewasa dan pada 50% penderita yang berusia diatas
15 tahun, penyakit ini secara perlahan akan berkembang menjadi gagal
ginjal. 50% penderita lainnya mengalami kesembuhan atau memiliki
proteinuria menetap tetapi dengan fungsi ginjal yang adekuat. Pada anakanak dengan glomerulonefritis membranosa, proteinuria akan hilang
secara total dan spontan dalam waktu 5 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis.
-

Sindroma

membranoproliferatif

nefrotik

memberikan

familial

dan

glomerulonefritis

respon

yang

buruk

terhadap

pengobatan dan prognosisnya tidak terlalu baik. Lebih dari separuh


penderita sindroma nefrotik familial meninggal dalam waktu 10 tahun.
Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu terjadi gagal ginjal
yang berat dalam waktu 2 tahun. Pada 50% penderita, glomerulonefritis
membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 10
tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan
perbaikan.
-

Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif

mesangial sama sekali tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid.


Pengobatan pada sindroma nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik,
amiloidosis atau kencing manis, terutama ditujukan untuk mengurangi

gejalanya. Pengobatan terbaru untuk lupus bisa mengurangi gejala dan


memperbaiki hasil pemeriksaan yang abnormal, tetapi pada sebagian besar
penderita terjadi gagal ginjal yang progresif. Pada penderita kencing
manis, penyakit ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam waktu 3-5
tahun.
-

PEMBAHASAN

Pada kasus ini ada seorang laki-laki berusia 22 tahun

datang ke RS, dengan keluhan badan bengkak-bengkak, yang awalnya

bengkak di wajah. Selain itu juga mengeluh mual, lemas, dan nafsu
makannya menurun. Dari pemeriksaan laboratorium, diperoleh kadar
serum albumin 1,6 g/dl (hipoalbuminemia), Trigliserida 170 mg/dl,
Kolesterol

377

mg/dl

(hiperkolesterolemia),

LDL

276

mg/dl

(hiperlipidemia). Pada tanggal 10 Agustus 2013 dilakukan pemeriksaan


urine lengkap dan hasilnya terdapat protein (+++) dalam urine
(proteinuria).
-

Dari anamnesis dan pemeriksaan laboratorium mendukung

ditegakkannya diagnosa Sindrom Nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan


definisi dari sindrom nefrotik yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema
generalisata

(anasarka),

hipoalbuminemia,

hiperlipidemia

(hiperkolesterolemia) dan proteinuia.


-

Penyebab utama terjadinya Sindrom Nefrotik pada pasien

ini tidak diketahui (idiopatik) dan sesuai teori di atas diduga tipe dari lesi
glomerularnya

adalah minimal change disease (MCD )atau GN lesi

minimal (GNML). Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe dari SN ini


adalah dengan melakukan biopsi ginjal.
-

Pada pasien ini terdapat protein (+++) dalam urine

(proteinemia) hal ini disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler


terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Pada SN yang disebabkan
oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif yaitu protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi
akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.
-

Pasien mengeluh bengkak (edema) di badan yang awalnya

bengkak hanya di wajah. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci


terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke


jaringan interstisium dan terjadinya edema (teori underfill). Sedangkan
teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema.
-

Kolesterol

trigliserida

meningkat,

serum,

low

sedangkan high

density

lipoprotein (LDL),

density

lipoprotein (HDL)

menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan


penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah).
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik.
- Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa
dengan diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam) dan
tirah baring. Sedangkan secara medikamentosa dengan pemberian diuretik
berupa furosemid dengan dosis 1 mg/kgbb/hr. Hal ini dapat membantu
mengontrol

edema.

Kontrol

proteinuria

dapat

memperbaiki

hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan.


Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/kg BB/ hari dapat mengurangi
proteinuria. Untuk menurunkan kadar kolesterol, LDL, trigliserid, dan
meningkatkan HDL dapat diberikan obat golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin.
-Pasien ini dirawat inap selama 7 hari dan dilanjutkan rawat jalan.
Pada saat rawat jalan, pasien dianjurkan untuk tidak konsumsi makanan
yang banyak mengandung garam serta makanan yang berlemak, dan lebih
banyak konsumsi makanan yang mengandung protein seperti putih telur,
tahu dan tempe serta sayur dan buah-buahan.
-

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiguno Prodjosudjadi. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI,
Jakarta.2010 ; 999 1007
2. Wiguno Prodjosudjadi. Glomerulonefritis. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II : Edisi ke V. Penerbit Interna Publishing FKUI. Jakarta.
2010 ; 969 978
3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi
sindrom nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000,
hal: 312-316.
4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII,
No. 44, Jakarta, September 2000, hal: 1-10.
5. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran
No. 134, Jakarta, 2002, hal: 32-38.
6. Arif Mansjoer dkk. Sindrom Nefrotik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Media Aesculapius.2000. hal 459-461.
7. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 422.
8. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M, Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2006,
hlm929-933.
9. Patrick Davey, At a Glance Medicine, Penerbit Erlangga, 2006, hlm 244245.
10. HARRISON,S PRINCIPLE OF INTERNAL MEDICINE 16 th edition
1674-1706
11. www.emedicine.com\nephroticsyndrome.html.
Agustus, 2013.
-

diakses

tanggal

14

Anda mungkin juga menyukai