Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bahan Ajar


Bahan ajar merupakan bagian dari sumber belajar. Bahan ajar atau
teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material
atau bahan. Melaksanakan pembelajaran (teaching) diartikan sebagai proses
menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang efektif
(University of Wollongong NSW 2522 Australia, 2007) . Paul S. Ache lebih
lanjut mengemukakan tentang material yaitu buku dapat digunakan sebagai bahan
rujukan, atau dapat digunakan sebagai bahan tertulis yang berbobot.
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas (National
Center for Vocational Education Research,1998). Bahan yang dimaksud bisa
berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Sedangkan menurut Dikmenum
dikemukakan bahwa, bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi
pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan
sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Lebih lanjut disebutkan bahwa bahan ajar berfungsi sebagai:
a. Pedoman bagi pengajar yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam
proses pembelajaran.
b. Pedoman bagi siswa atau mahasiswa yang akan mengarahkan semua
aktivitasnya dalam proses pembelajaran.

10

c. Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.


Dari berbagai pendapat di atas dapat disarikan bahwa bahan ajar adalah
merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis sehingga tercipta
lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.

2.2. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Bahan Ajar


Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan.
Melalui bahan ajar guru atau dosen akan lebih mudah dalam melaksanakan
pembelajaran dan mahasiswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar.
Bahan ajar dapat dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik materi ajar yang akan disajikan. Bahan ajar disusun dengan tujuan
menyediakan bahan ajar yang sesuai kebutuhan pembelajar, yakni bahan ajar yang
sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial siswa / mahasiswa,
membantu pembelajar dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping bukubuku teks yang terkadang sulit diperoleh, memudahkan guru atau dosen dalam
melaksanakan pembelajaran.
Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh apabila seorang guru atau
dosen mengembangkan bahan ajar sendiri, yakni antara lain; pertama, diperoleh
bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa atau mahasiswa, kedua,
tidak lagi tergantung kepada buku teks yang terkadang sulit untuk diperoleh,
ketiga, bahan ajar menjadi labih kaya karena dikembangkan dengan menggunakan
berbagai referensi, keempat, menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman
guru atau dosen dalam menulis bahan ajar, kelima, bahan ajar akan mampu

11

membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru/dosen dengan


siswa/mahasiswa karena siswa akan merasa lebih percaya kepada guru atau
dosennya.
Dengan tersedianya bahan ajar yang bervariasi, maka pembelajar akan
mendapatkan manfaat yaitu, kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.
pembelajar akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara
mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap kehadiran guru atau dosen.

2.3 Kekhasan Bahan Ajar Kimia


Bentuk penyajian bahan ajar kimia dapat berupa uraian, gambar dan
simbol, formulasi matematis dan dalam bentuk konkret ( Anwar,S., 2009).
a. Penyajian bahan ajar kimia dalam bentuk uraian
Hampir

semua

penjelasan

suatu

ilmu

pengetahuan

senantiasa

menggunakan bentuk uraian. Para ahli kimia menjelaskan gagasan dan


penemuannya seringkali juga dalam bentuk uraian. Penulis buku berusaha
meramu kata-kata dengan harapan agar tulisannya itu dapat dibaca dan dimengerti
oleh para pembaca. Meskipun demikian tidak jarang kita temukan suatu
penjelasan dalam bentuk uraian yang sukar dimengerti. Hal ini disebabkan
pertama oleh terlalu sulitnya penjelasan tersebut bagi pembaca, kedua uraian
tersebut disajikan dalam bentuk yang sukar (komplek dan rumit) dan ketiga
adalah pembaca tidak mengerti istilah-istilah yang disajikan, karena pembaca
tidak mempunyai dasar pengetahuan tentang itu.

12

b. Penyajian bahan ajar kimia dalam bentuk gambar dan simbol


Jika kita belajar kimia, tidak akan lepas dari penjelasan gambar dan
simbol. Ilmu kimia mempelajari materi dari sudut submikroskopis yang bersifat
abstrak, dimana tanpa penjelasan dalam bentuk gambar, simbol, model akan sukar
dipahami. Suatu reaksi kimia disajikan dalam bentuk simbol. Penjelasan tersebut
merupakan penjelasan kualitatif, akan tetapi dibalik itu tersirat penjelasanpenjelasan kuantitatif.
c. Penyajian bahan ajar kimia dalam bentuk formulasi matematis
Salah satu tanda ilmu pengetahuan alam adalah ditemukannya penjelasanpenjelasan dalam bentuk formulasi matematis. Hal ini menjadi salah satu alasan
siswa tidak senang dengan pelajaran IPA. Hal ini disebabkan antara lain oleh
kurangnya pengetahuan dasar matematis. Penjelasan bahan ajar kimia dalam
bentuk ini akan dapat dipahami dengan baik jika kita mereduksi secara didaktis
penjelasan tersebut.
d. Penyajian bahan ajar kimia dalam bentuk konkret
Di dalam pengajaran kimia, praktikum mempunyai peran yang sangat
vital, sehingga merupakan suatu hal yang sedapat mungkin dilakukan dalam
pengajaran. Khusus untuk demonstrasi seorang ahli pengajaran kimia H.
Schnidkunz telah membuat penelitian optimalisasi demonstrasi kimia dari sudut
psikologi. Hasil penelitian ini menunjukan penyajian demontrasi paling optimal.
Jelas, bahwa penjelasan konkret ilmu kimia ini perlu disesuikan dengan
perkembangan pembelajar.

13

2.4 Keterbacaan
Membaca berbeda dengan keterbacaan. Meskipun keduanya terbentuk dari
kata dasar baca, namun imbuhan yang mengikutinya menyebabkan keduanya
memiliki makna yang berbeda. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari
readability. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh
bentuk dasar readable artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada
bentukketerbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang
tersebut dalam bentuk dasarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003)
keterbacaan didefinisikan sebagai hal atau ikhwal terbaca-tidaknya suatu bahan
bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan ini mempersoalkan tingkat
kemudahan suatu bahan bacaan tertentu, atau dengan kata lain keterbacaan
(readability) adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca
tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.
Adler dan Charles (1987) mendefinisikan peringkat baca seseorang dalam
4 tingkatan, yaitu: membaca tingkat 1 (membaca dasar), membaca tingkat 2
(inspeksional), membaca tingkat 3 (analisis), dan membaca tingkat 4
(sintopikal/perbandingan).
Membaca tingkat 1 merupakan tingkatan kemampuan membaca yang
paling rendah. Tingkat baca ini didapatkan seseorang ketika mulai belajar
membaca. Membaca tingkat 2 disebut juga membaca inspeksional. Pada tingkat
ini pembaca mampu menemukan sifat umum buku dan mampu memahami apa
yang diajarkan dalam buku tersebut. Membaca tingkat 3 adalah membaca analitis.

14

Membaca analitis adalah tingkat membaca yang baik dan lengkap dalam waktu
yang terbatas untuk mendapatkan pemahaman. Pembaca pada tingkat ini mampu
mengadakan analisis terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan membaca tingkat 4
adalah membaca sintopikal/perbandingan. Pada tingkat ini, pembaca mampu
memahami banyak buku, menyusun hubungan berdasarkan subyek tertentu
sampai memahami betul subyek itu.
Seseorang yang memiliki peringkat baca tinggi secara ideal mampu
memahami setiap teks/buku yang dibacanya. Namun apabila buku tersebut
memiliki tingkat keterbacaan yang tidak sesuai untuk dirinya, ia belum tentu
dapat memahami dengan mudah.

2.5 Pemahaman Konsep


Menurut Firman, H., (2000) pemahaman adalah kemampuan menangkap
arti dari informasi yang diterima, antara lain menafsirkan bagan, diagram atau
grafik, menterjemahkan suatu pernyataan verbal ke dalam formula matematis,
memprediksikan

berdasarkan

kecenderungan

tertentu

(interpolasi

dan

ekstrapolasi), serta mengungkapkan suatu konsep dengan kata-kata sendiri.


Arifin, dkk. (2003) mengemukakan bahwa kemampuan pemahaman
didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dan materi yang
dipelajarinya. Hal ini dapat ditunjukan dengan :
a. Menerjemahkan materi

dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain

(misalnya dari bentuk kata-kata ke bentuk angka-angka)

15

b. Mengintepretasikan materi dalam arti menjelaskan atau meringkas materi


yang dipelajarinya;
c. Meramalkan arti/kecenderungan masa yang akan datang (meramalkan
akibat sesuatu)
Menurut Sudyono (1996) pemahaman adalah kemampuan seseorang
untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah itu diingat dan diketahui. Dengan
kata lain memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari
berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat
memberikan penjelasan atau uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan
menggunakan kata-kata sendiri.
Konsep menurut Rosser dalam dalam Dahar, R.W.(1996) adalah suatu
abstraksi yang mewakili suatu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatankegiatan atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama.
Sedangkan menurut Flavell dalam Dahar, R.W.(1996) konsep-konsep dapat
dibedakan dalam 7 dimensi, yaitu atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan,
generalitan atau keumuman, ketepatan dan kekuatan.
Memahami suatu konsep sangat penting, Dahar, R.W.(1996) menyatakan
bahwa untuk memahami konsep bahan belajar yang cocok adalah belajar tentang
konsep-konsep dari struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari
serta menjari hubungan hubungan antar konsep dengan struktur. Lebih lanjut
Bruner (Ratmah, 2005) menyatakan bahwa dengan memahami struktur
pengetahuan maka akan menolong para siswa untuk melihat bagaimana fakta-

16

fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan antara satu dan
yang lainnya pada informasi yang telah mereka miliki.
Merujuk pada kenyataan diatas, maka dalam memahami suatu konsep
tidak hanya sekedar mengingat pelajaran, tetapi siswa juga harus mampu
mendefinisikan, mendeskripsikan, membedakan dan menyimpulkan suatu konsep
yang diperolehnya dengan menggunakan kata-kata sendiri serta keterkaitan antar
konsep yang ada dalam struktur kognitifnya, juga keterkaitan antar pengetahuan
yang sudah ada dengan informasi baru yang diperolehnya. Akhirnya lebih jauh
lagi diharapkan siswa mampu menerapkan konsep-konsep tersebut dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya.

2.6 Penerjemahan
Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks
suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain (Hoed, 2006). Hal ini senada dengan
pendapat Moentaha (2006) yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah proses
penggantian teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan teks dalam bahasa sasaran
(BSa) tanpa mengubah tingkat isi teks. Pengertian tingkat isi ini tidak hanya yang
menyangkut arti dasar (material meaning), ide atau konsepsi yang terkandung
dalam tingkat isi, melainkan semua informasi yang ada dalam teks BSa, yaitu
semua norma-norma bahasa, seperti makna leksikal, makna gramatikal, nuansa
stilistis/nuansa ekspresif. Dengan kata lain, penerjemahan merupakan pengkajian
leksikon, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan kontak budaya antara dua
bahasa yang dilakukan lewat analisis untuk menentukan makna.

17

Definisi-definisi mengenai penerjemahan di atas merujuk pada pentingnya


pengungkapan makna atau pesan yang dimaksud dalam wacana asli. Pada
penerjemahan, pesan penulis harus tetap dijaga dan dikomunikasikan kepada
pembaca terjemahan, isi TSa harus sama dengan TSu sehingga pesan yang
dimaksud dalam BSu dapat dipahami dalam pembaca BSa walaupun bentuknya
mungkin berbeda. Jadi, sepadan dalam hal ini bukan berarti sama, melainkan
mengandung pesan yang sama.

2.7.1 Ideologi dalam Penerjemahan


Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah harus mengetahui untuk
siapa

(audience

design)

dan

untuk

tujuan

apa

(needs

analysis)

dia

menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat
diabaikan dalam menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam
menentukan metode penerjemahan yang akan dan harus digunakan (Amalia,
2007).
Setelah mengetahui audience design dan needs analysis seorang
penerjemah harus mengetahui langkah-langkah penerjemahan yang biasa disebut
sebagai prosedur penerjemahan (Hoed, 2006).
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang tekandung dalam TSu.
Hoed (2006) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apapun tujuannya,
setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi dalam
penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah dan baik-buruk
dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat

18

pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat
tersebut.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik antara dua
kutub yang berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi
pada BSa ( Venuti dalam Hoed, 2006), yang oleh Venuti dikemukakan dengan
istilah foreingnizing translation dan domesticating translation. Berikut adalah
uraian mengenai kedua hal tersebut dengan berlandaskan pada paparan Hoed
(2006).
a. Foreignizing Translation
Foreignizing translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi
pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang
sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit, yang menginginkan
kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap kehadiran kebudayaan asing
bermanfaat bagi masyarakat. Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali
penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang
diungkapkan dalam bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark,
metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu
cenderung menggunakan jenis penerjemahan setia dan penerjemahan semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak
menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya
dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak
lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah

19

tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat


dikemukakan adalah agar pembelajar memperoleh pengetahuan kebudayaan lain.

b. Domesticating Translation
Domesticating translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi
pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang betul, berterima , dan
baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan
teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu
terjemahan diharapkan tidak terasa seperti terjemahan. Oleh karena itu,
penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan
sebagai karya asing bagi pembacanya.

2.7 Kemandirian Belajar


Kemandirian belajar merupakan kemandirian seseorang dalam mengontrol
kegiatan belajarnya. Schunk dan Zimmerman (Fahinu, 2007) menggambarkan
kemandirian belajar bahwa belajar itu sebagian besar dari pengaruh membangun
pikiran sendiri, perasaan, strategi dan perilaku pembelajar yang diorientasikan ke
arah pencapaian tujuan belajar. Diagram berikut menunjukkan tiga tahap siklus
kemandirian belajar dengan refleksinya.

20

Gambar 2.1
Siklus Kemandirian Belajar

Tahap Perencanaan. Pada tahap ini, mahasiswa menetapkan langkahlangkah untuk belajar, yaitu (1) menganalisis tugas belajar, (2) menentukan tujuan
belajar, dan (3) merencanakan strategi belajar.
Tahap Monitoring. Pada tahap ini, mahasiswa menerapkan strategi belajar
yang telah dibuat dengan terus-menerus dimonitor agar mengarah ke tujuan
belajar. Mahasiswa memantau kegiatan belajarnya sambil mengajukan pertanyaan
pada diri sendiri: Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana?
Apakah saya kembali kepada kebiasaan lama? Apakah saya tetap memusatkan
diri? Dan apakah strategi telah berjalan dengan baik?
Tahap Evaluasi. Pada tahap ini, mahasiswa menentukan seberapa baik
strategi belajar yang dipilih dan bagaimana pencapaian tujuan belajar tersebut.
Tahap ini memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi: Apakah
strategi telah dilaksanakan dengan baik? (Evaluasi Proses); Hasil belajar apa yang
telah dicapai? (Evaluasi Produk); dan Sesuaikah strategi dengan jenis tugas
belajar yang dihadapi? Sedangkan Refleksi, menyediakan hubungan-hubungan
antara ketiga tahapan dalam memahami pelajaran (pengetahuan metakognitif).

Anda mungkin juga menyukai