KAJIAN PUSTAKA
10
11
semua
penjelasan
suatu
ilmu
pengetahuan
senantiasa
12
13
2.4 Keterbacaan
Membaca berbeda dengan keterbacaan. Meskipun keduanya terbentuk dari
kata dasar baca, namun imbuhan yang mengikutinya menyebabkan keduanya
memiliki makna yang berbeda. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari
readability. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh
bentuk dasar readable artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada
bentukketerbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang
tersebut dalam bentuk dasarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003)
keterbacaan didefinisikan sebagai hal atau ikhwal terbaca-tidaknya suatu bahan
bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan ini mempersoalkan tingkat
kemudahan suatu bahan bacaan tertentu, atau dengan kata lain keterbacaan
(readability) adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca
tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.
Adler dan Charles (1987) mendefinisikan peringkat baca seseorang dalam
4 tingkatan, yaitu: membaca tingkat 1 (membaca dasar), membaca tingkat 2
(inspeksional), membaca tingkat 3 (analisis), dan membaca tingkat 4
(sintopikal/perbandingan).
Membaca tingkat 1 merupakan tingkatan kemampuan membaca yang
paling rendah. Tingkat baca ini didapatkan seseorang ketika mulai belajar
membaca. Membaca tingkat 2 disebut juga membaca inspeksional. Pada tingkat
ini pembaca mampu menemukan sifat umum buku dan mampu memahami apa
yang diajarkan dalam buku tersebut. Membaca tingkat 3 adalah membaca analitis.
14
Membaca analitis adalah tingkat membaca yang baik dan lengkap dalam waktu
yang terbatas untuk mendapatkan pemahaman. Pembaca pada tingkat ini mampu
mengadakan analisis terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan membaca tingkat 4
adalah membaca sintopikal/perbandingan. Pada tingkat ini, pembaca mampu
memahami banyak buku, menyusun hubungan berdasarkan subyek tertentu
sampai memahami betul subyek itu.
Seseorang yang memiliki peringkat baca tinggi secara ideal mampu
memahami setiap teks/buku yang dibacanya. Namun apabila buku tersebut
memiliki tingkat keterbacaan yang tidak sesuai untuk dirinya, ia belum tentu
dapat memahami dengan mudah.
berdasarkan
kecenderungan
tertentu
(interpolasi
dan
15
16
fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan antara satu dan
yang lainnya pada informasi yang telah mereka miliki.
Merujuk pada kenyataan diatas, maka dalam memahami suatu konsep
tidak hanya sekedar mengingat pelajaran, tetapi siswa juga harus mampu
mendefinisikan, mendeskripsikan, membedakan dan menyimpulkan suatu konsep
yang diperolehnya dengan menggunakan kata-kata sendiri serta keterkaitan antar
konsep yang ada dalam struktur kognitifnya, juga keterkaitan antar pengetahuan
yang sudah ada dengan informasi baru yang diperolehnya. Akhirnya lebih jauh
lagi diharapkan siswa mampu menerapkan konsep-konsep tersebut dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya.
2.6 Penerjemahan
Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks
suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain (Hoed, 2006). Hal ini senada dengan
pendapat Moentaha (2006) yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah proses
penggantian teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan teks dalam bahasa sasaran
(BSa) tanpa mengubah tingkat isi teks. Pengertian tingkat isi ini tidak hanya yang
menyangkut arti dasar (material meaning), ide atau konsepsi yang terkandung
dalam tingkat isi, melainkan semua informasi yang ada dalam teks BSa, yaitu
semua norma-norma bahasa, seperti makna leksikal, makna gramatikal, nuansa
stilistis/nuansa ekspresif. Dengan kata lain, penerjemahan merupakan pengkajian
leksikon, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan kontak budaya antara dua
bahasa yang dilakukan lewat analisis untuk menentukan makna.
17
(audience
design)
dan
untuk
tujuan
apa
(needs
analysis)
dia
menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat
diabaikan dalam menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam
menentukan metode penerjemahan yang akan dan harus digunakan (Amalia,
2007).
Setelah mengetahui audience design dan needs analysis seorang
penerjemah harus mengetahui langkah-langkah penerjemahan yang biasa disebut
sebagai prosedur penerjemahan (Hoed, 2006).
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang tekandung dalam TSu.
Hoed (2006) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apapun tujuannya,
setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi dalam
penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah dan baik-buruk
dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat
18
pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat
tersebut.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik antara dua
kutub yang berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi
pada BSa ( Venuti dalam Hoed, 2006), yang oleh Venuti dikemukakan dengan
istilah foreingnizing translation dan domesticating translation. Berikut adalah
uraian mengenai kedua hal tersebut dengan berlandaskan pada paparan Hoed
(2006).
a. Foreignizing Translation
Foreignizing translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi
pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang
sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit, yang menginginkan
kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap kehadiran kebudayaan asing
bermanfaat bagi masyarakat. Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali
penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang
diungkapkan dalam bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark,
metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu
cenderung menggunakan jenis penerjemahan setia dan penerjemahan semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak
menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya
dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak
lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah
19
b. Domesticating Translation
Domesticating translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi
pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang betul, berterima , dan
baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan
teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu
terjemahan diharapkan tidak terasa seperti terjemahan. Oleh karena itu,
penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan
sebagai karya asing bagi pembacanya.
20
Gambar 2.1
Siklus Kemandirian Belajar
Tahap Perencanaan. Pada tahap ini, mahasiswa menetapkan langkahlangkah untuk belajar, yaitu (1) menganalisis tugas belajar, (2) menentukan tujuan
belajar, dan (3) merencanakan strategi belajar.
Tahap Monitoring. Pada tahap ini, mahasiswa menerapkan strategi belajar
yang telah dibuat dengan terus-menerus dimonitor agar mengarah ke tujuan
belajar. Mahasiswa memantau kegiatan belajarnya sambil mengajukan pertanyaan
pada diri sendiri: Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana?
Apakah saya kembali kepada kebiasaan lama? Apakah saya tetap memusatkan
diri? Dan apakah strategi telah berjalan dengan baik?
Tahap Evaluasi. Pada tahap ini, mahasiswa menentukan seberapa baik
strategi belajar yang dipilih dan bagaimana pencapaian tujuan belajar tersebut.
Tahap ini memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi: Apakah
strategi telah dilaksanakan dengan baik? (Evaluasi Proses); Hasil belajar apa yang
telah dicapai? (Evaluasi Produk); dan Sesuaikah strategi dengan jenis tugas
belajar yang dihadapi? Sedangkan Refleksi, menyediakan hubungan-hubungan
antara ketiga tahapan dalam memahami pelajaran (pengetahuan metakognitif).