Anda di halaman 1dari 16

LI.1.

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS


LO.1.1. DEFINISI
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Ada beberapa ciri-ciri yang umum pada hipersensitivitas yaitu
antigen dari eksogen atau endogen dapat memicu reaksi hipersensitivitas, penyakit hipersensitivitas
biasanya berhubungan dengan gen yang dimiliki setiap orang, reaksi hipersensitivitas mencerminkan
tidak kompaknya antara mekanisme afektor dari respon imun dan mekanisme kontrolnya.

LO.1.2. ETIOLOGI
LO.1.3. KLASIFIKASI
a
-

Menurut waktu timbulnya reaksi


Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara
alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat.
Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi
intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel
neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi intermediet berupa :
Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik autoimun).
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).
Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi
oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis
kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
Reaksi
Reaksi
Perbedaan
Reaksi lambat
cepat
intermediet
Waktu timbul
reaksi

b
-

Hitungan
detik

Terjadi setelah
beberapa jam
terpajan

Menurut Gell dan Coombs


Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.

Terjadi setelah
48 jam
terpajan

Berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi (Gell dan Coombs):

LI.2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS TIPE I


LO.2.1. DEFINISI
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini
mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum
diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu
histamin dan zat peradangan lainnya.

LO.2.3. MEKANISME

Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu :


a Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
c Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.
Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan sel
Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil. Beberapa
minggu kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka
antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil.
Akibat ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan
melepas mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed antara lain
histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.
LO.2.4. MEDIATOR
Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1
Efek
Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
Histamin
polos, sekresi mukosa gaster
ECF-A
Kemotaksis eosinofil
NCF-A
Kemotaksis neutrofil
Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh
Protease
darah, pembentukan produk pemecah komplemen
PAF
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru
Hidrolase asam
Degradasi matriks ekstraseluler
Mediator

Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1


Mediator
Efek
Sitokin
Aktivasi berbagai sel radang
Peningkatan permebilitas kapiler,
Bradikinin
vasodilatasi, kontraksi otot polos,
stimulasi ujung saraf nyeri
Kontrakso otot polos paru, vasodilatasi,
Prostaglandin D2
agregasi trombosit
Kontraksi otot polos, peningkatan
Leukotrien
permeabilitas, kemotaksis

LO.2.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma, urtikaria, alergi makanan
dan ekzem .
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya
melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi
Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit
yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya
dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara
pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal.
Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksis

Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel
efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan
(asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan
bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi
merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I
seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi
imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi
ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid
dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol,
penisilin, dan pelemas otot.
Reaksi Alergi
Jenis Alergi
Anafilaksis
Urtikaris akut
Rinitis alergi
Asma
Makanan
Ekzem atopi

Alergen Umum

Gambaran
Edema
dengan
peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
Obat, serum, kacang-kacangan
koleps
sirkulasi
yang
dapat
menyebabkan kematian
Sengatan serangga
Bentol, merah
Polen, tungau debu rumah
Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan
Polen, tungau debu rumah
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Kerang, susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
asal gandum
menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa
Polen, tungau debu runah,
gatal, biasanya merah dan ada
beberapa makanan
kalanya vesikular

LI.3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS TIPE II


LO.3.1. DEFINISI
a
b
c

Disebut juga reaksi sitolitik/ sitotoksik, karena dibentuk ab jenis IgG/ IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu
Istilah sitolitik lebih tepat, karena reaksi yang terjadi disebabkan lisis bukan efek toksik
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe 2 sangat berkaitan dengan adanya suatu proses
penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru dapat ditemukan pada:

LO.3.3. MEKANISME

Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu proses
penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan pada:
1. sel tumor
2. sel terinfeksi virus
3. sel yang terinduksi mutagen
Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor
lingkungan sel tersebut mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut harus
diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak
dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang menjadi klon baru yang
selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.
Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus.
Mekanisme reaksinya ada 3 macam yaitu` :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya
Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi IgG/IgM sehingga
mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen
sehingga menyebabkan lisis.
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;
1

Melalui jalur ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)


Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc.
Adanya Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi IgG/IgM
sehingga mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.

Melalui aktivitas sistem komplemen

Reaksi diawali oleh reaksi antara ab dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan.Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan
komplemen atau ADCC.
LO.3.4. MEDIATOR
LO.3.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun .
1). Reaksi transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen.

b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,


karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau
lambat .
-Reaksi cepat :
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam
beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui
ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin diubah menjadi
bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
-Reaksi lambat:
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel
ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah
transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai
antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan
Duffy
2). Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan
darah rhesus dan janin dengan rhesus (+).
3). Anemia hemolitik
a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi
non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa
b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat
pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.
4). Agranulositosis
5). Trombositopenia
LI.4. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS TIPE III
LO.4.1. DEFINISI

Disebut juga : Reaksi kompleks imum


Pengaktifan komplemen
Gejala timbul 5-20 hari setelah minum obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat
obat yang sama, gejala timbul dalam waktu 1-5 hari.

LO.4.3. MEKANISME

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke
hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar
akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi
hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan
yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga
makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
- Agregasi trombosit
- Aktivasi makrofag
- Perubahan permeabilitas vaskuler
- Aktivasi sel mast
- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
- Pelepasan bahan kemotaksis
- Influks neutrofil
2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks imun
yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat.Hal tersebut terjadi karena histamin yang
dilepas oleh sel mast.
LO.4.4. MEDIATOR
LO.4.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus

Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci.Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan.Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.Antibodi
yang ditemukan adalah presipitin.Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa vaskulitis
dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat
kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di
jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor
kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan
trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti
protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan
menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai
berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi
dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus
koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan
jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara
lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.
LI.5. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
LO.5.1. DEFINISI

Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T
terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi :
- Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit.
- T Cell Mediated Cytolysis
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.
LO.5.2. BENTUK DAN SIFAT
LO.5.3. MEKANISME
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :
a Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit
dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional
untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan
pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :
Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
a DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh
antibodi.
b Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.
c Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan pembuluh
darah.
Respon pada infeksi M. tuberkulosis
a Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang
merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)
b Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan
menimbulkan nekrosis jaringan.
Granuloma terbentuk pada :
a TB
b Lepra

c
d
e

Skistosomiasis
Lesmaniasis
Sarkoidasis

LO.5.4. MEDIATOR
LO.5.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya
seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok
pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil
kutan.Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam
jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan.Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen
larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh
pada infeksi virus hepatitis.
- Eksim (juga sistemik) eritema, lepuh, pruritus
- Fotoalergi
- Fixed drug eruption
- Lesi makulopapular
LI.6. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANTIHISTAMIN DAN KORTIKOSTEROID
ANTIHISTAMIN
Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau kerja
histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan
pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).
1. Antagonis reseptor H1 (AH1)
Farmakodinamik

AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
2. Antagonis reseptor H2 (AH2)
A. Simetidin dan Ranitidin
Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
Farmakokinetik
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode
pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
Indikasi
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambungesofagus.
Efek samping
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
B. Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali
lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat
melibihi20 jam.
Indikasi
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis,
dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
Efek samping
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
C. Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
Farmakokinetik
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa
paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi
melalui ginjal.
Indikasi
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8
minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
LO.6.1. FARMAKOKINETIK
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
LO.6.2. FARMAKODINAMIK
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
-

organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.

Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek antiinflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.

b
-

Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,

sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.


Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
a
b
c

Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

LO.6.3. INDIKASI
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan :
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error
-

dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,

tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.


Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi

dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi

kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

LO.6.4. KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis
tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam
jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu
diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya.
LO.6.5. EFEK SAMPING
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.

Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan

insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit ,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien

tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.
Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat

kortikosteroid sintetik.
Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

LI.7. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN BATASAN ISLAM TENTANG ALERGI OBAT


Maslahah :
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah yaitu:
Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat atau
menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan
menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam mencapai
maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu
1. Kemasalahatan menurut manusia, dan
2. Kemaslahatan menurut syariat.

Rasulullah menganjurkan kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu


kedokteran yang diciptakan Allah untuk kita.Kita juga ditekankan agar tidak menyerah
pada penyakit karena Rasulullah bersabda, Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. (HR Muslim (34) dan Ahmad:
II/380)
Rasulullah berkata, berobatlah.Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit kecuali
Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam penyakit.Mereka bertanya,Apa
itu?Rasulullah menjawab,Penyakit tua.(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi
dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya.Jika obat tepat pada penyakitnya maka
ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukumhukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.

Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219

2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.
1. Firman Allah taala :
(157 : )
Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka segala
sesuatu yang buruk ( al araf : 157 ).
2. ( 195 : )
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan ( al baqoroh : 195)

Anda mungkin juga menyukai