LO.1.2. ETIOLOGI
LO.1.3. KLASIFIKASI
a
-
b
-
Hitungan
detik
Terjadi setelah
beberapa jam
terpajan
Terjadi setelah
48 jam
terpajan
Berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi (Gell dan Coombs):
LO.2.3. MEKANISME
LO.2.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma, urtikaria, alergi makanan
dan ekzem .
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya
melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi
Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit
yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya
dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara
pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal.
Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksis
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel
efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan
(asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan
bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi
merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I
seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi
imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi
ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid
dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol,
penisilin, dan pelemas otot.
Reaksi Alergi
Jenis Alergi
Anafilaksis
Urtikaris akut
Rinitis alergi
Asma
Makanan
Ekzem atopi
Alergen Umum
Gambaran
Edema
dengan
peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
Obat, serum, kacang-kacangan
koleps
sirkulasi
yang
dapat
menyebabkan kematian
Sengatan serangga
Bentol, merah
Polen, tungau debu rumah
Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan
Polen, tungau debu rumah
produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Kerang, susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
asal gandum
menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa
Polen, tungau debu runah,
gatal, biasanya merah dan ada
beberapa makanan
kalanya vesikular
Disebut juga reaksi sitolitik/ sitotoksik, karena dibentuk ab jenis IgG/ IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu
Istilah sitolitik lebih tepat, karena reaksi yang terjadi disebabkan lisis bukan efek toksik
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe 2 sangat berkaitan dengan adanya suatu proses
penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru dapat ditemukan pada:
LO.3.3. MEKANISME
Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu proses
penanggulangan munculnya sel klon baru. Adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan pada:
1. sel tumor
2. sel terinfeksi virus
3. sel yang terinduksi mutagen
Selanjutnya sel-sel tersebut dikenal dengan sel target, yakni suatu sel karena adanya faktor
lingkungan sel tersebut mengalami perubahan DNA (kecacatan-DNA). Oleh karena itu sel tersebut harus
diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui sistem imunologik. Jika sel tersebut tidak
dimusnahkan oleh sistem imun tubuh maka sel tersebut dapat berkembang menjadi klon baru yang
selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penyakit.
Contohnya; Reaksi transfusi, AHA, Reaksi obat, Sindrom Good posture, miastenia gravis, pemvigus.
Mekanisme reaksinya ada 3 macam yaitu` :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc. Adanya
Antigen yang merupakan bagian sel pejamu,menyebabkan dibentuknya Antbodi IgG/IgM sehingga
mengaktifkan sel K yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor ADCC.
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen. Ikatan Ag-Ab mengaktifkan komplemen
sehingga menyebabkan lisis.
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 dapat melalui 2 jalur ;
1
Reaksi diawali oleh reaksi antara ab dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan.Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan
komplemen atau ADCC.
LO.3.4. MEDIATOR
LO.3.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun .
1). Reaksi transfusi
a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen.
LO.4.3. MEKANISME
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke
hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar
akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi
hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan
yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga
makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
- Agregasi trombosit
- Aktivasi makrofag
- Perubahan permeabilitas vaskuler
- Aktivasi sel mast
- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
- Pelepasan bahan kemotaksis
- Influks neutrofil
2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan
Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks imun
yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat.Hal tersebut terjadi karena histamin yang
dilepas oleh sel mast.
LO.4.4. MEDIATOR
LO.4.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci.Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan.Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.Antibodi
yang ditemukan adalah presipitin.Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa vaskulitis
dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat
kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di
jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor
kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan
trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti
protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan
menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai
berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi
dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus
koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan
jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara
lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.
LI.5. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
LO.5.1. DEFINISI
Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T
terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi :
- Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit.
- T Cell Mediated Cytolysis
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.
LO.5.2. BENTUK DAN SIFAT
LO.5.3. MEKANISME
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :
a Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit
dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional
untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan
pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :
Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
a DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh
antibodi.
b Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.
c Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan pembuluh
darah.
Respon pada infeksi M. tuberkulosis
a Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang
merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)
b Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan
menimbulkan nekrosis jaringan.
Granuloma terbentuk pada :
a TB
b Lepra
c
d
e
Skistosomiasis
Lesmaniasis
Sarkoidasis
LO.5.4. MEDIATOR
LO.5.5. MANIFESTASI
Manifestasi khas : Dermatitis kontak, Lesi tuberculosis dan penolakan tandur .
- Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya
seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
- Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.
- Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok
pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil
kutan.Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam
jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan.Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen
larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
- Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh
pada infeksi virus hepatitis.
- Eksim (juga sistemik) eritema, lepuh, pruritus
- Fotoalergi
- Fixed drug eruption
- Lesi makulopapular
LI.6. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANTIHISTAMIN DAN KORTIKOSTEROID
ANTIHISTAMIN
Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau kerja
histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan
pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).
1. Antagonis reseptor H1 (AH1)
Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Farmakokinetik
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Indikasi
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
Efek samping
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
2. Antagonis reseptor H2 (AH2)
A. Simetidin dan Ranitidin
Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
Farmakokinetik
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode
pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
Indikasi
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat
penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambungesofagus.
Efek samping
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
B. Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali
lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat
melibihi20 jam.
Indikasi
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis,
dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
Efek samping
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
C. Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
Farmakokinetik
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa
paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi
melalui ginjal.
Indikasi
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8
minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
Efek samping
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
LO.6.1. FARMAKOKINETIK
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
LO.6.2. FARMAKODINAMIK
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
-
organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek antiinflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
b
-
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
LO.6.3. INDIKASI
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan :
- Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error
-
dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,
dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi
kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
LO.6.4. KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis
tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam
jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu
diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya.
LO.6.5. EFEK SAMPING
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit ,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien
tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.
Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219
2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.
1. Firman Allah taala :
(157 : )
Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka segala
sesuatu yang buruk ( al araf : 157 ).
2. ( 195 : )
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan ( al baqoroh : 195)