Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Kolelithiasis merupakan salah satu penyakit batu empedu. Batu empedu adalah suatu
bentuk yang menyerupai batu dan terdapat di dalam traktus biliaris. 1 Batu empedu terbentuk
secara perlahan-lahan, dan bisa asimtomatik selama bertahun-tahun. Perpindahan batu
empedu ke duktus sistikus, dapat menyumbat empedu selama kandung empedu berkontraksi.
Sehingga akan meningkatkan tekanan di dinding kandung empedu dan menyebabkan kolik
bilier. Selain itu, obstruksi yang ditimbulkan di duktus sistikus jika bertahan lebih dari
beberapa jam dapat menimbulkan peradangan di kandung empedu, yang disebut kolesistitis.
Kholedokolithiasis adalah istilah dimana terdapat satu atau lebih batu empedu di
duktus biliaris. Biasanya, ini terjadi ketika batu empedu melewati batu empedu menuju
duktus biliaris.1
Batu empedu di duktus biliaris, bisa ditemukan di distal Ampula Vatteri, tempat
dimana duktus biliaris dan duktus pankreatikus bertemu, untuk selanjutnya menuju
duodenum. Obstruksi yang ditimbulkan batu empedu merupakan salah satu fase kritis, karena
dapat mengakibatkan nyeri abdomen dan jaundice. Batu empedu yang terdapat dalam duktus
biliaris ini dapat mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu atau kolangitis yang
diakibatkan oleh obstruksi. Pembendungan pada pada ampula vateri juga bisa menyebabkan
mengaktifkan enzim pencernaan yang berasal dari pankreas itu sendiri sehingga
menimbulkan pancreatitis akut. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding
kandung empedu. Infeksi biasanya disebabkan kuman yang berasal dari makanan yang
menjalar dari usus hingga bermuara di kantong empedu dan menimbulkan reaksi peradangan.
Penanganan dari batu empedu tergantung dari tingkat keadaan penyakit itu sendiri.
Pada batu empedu asimptomatik dapat dilakukan penatalaksanaan sesuai harapan. Tetapi,
batu empedu yang simptomatik, intervensi melalui operasi menjadi pilihan dengan
mengeksisi kandung empedu. Kolesistektomi sendiri merupakan tatalaksana yang sering
dilakukan. Komplikasi batu empedu memerlukan penanganan khusus untuk mengobati
obstruksi dan infeksinya. 1,4

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi
Kandung empedu berbentuk seperti kantong, yaitu organ berongga yang panjangnya
sekitar 10 cm terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati
kanan dan kiri. Kapasitasnya sekitar 30-50cc dan dalam keadaan obstruksi dapat
menggembung sampai 300cc. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk
bulat lonjong seperti buah alpukat tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu
mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus berbentuk bulat, ujung buntu dari
kandung empedu yang sedikit memanjang diatas tepi hati dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costae IX kanan. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Kolum adalah bagian yang sempit
dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika.2,4
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang
kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk saluran lebih besar yang
keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera
bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.2,3,4
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystic, cabang arteri hepatica dextra.
Vena cystica engalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena-vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe
berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekan collum vesica fellea.
Dari sini, pembuluh lnfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke
kandung empedu berasal dari plexus coeliacus. 2,3

Gambar 1. Batu kandung empedu

Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

2. Fisiologi
Vesica fellea berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea
mempunyai kemampuan memekatkan empedu, dan untuk membantu proses ini, mukosanya
mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga
permukaannya tampak seperti sarang tawon. Sel-sel thorak yang membatasinya juga
mempunya banyak mikrovili. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam
kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai
3

duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagain
tempat penyimpananempedu sebelum disalurkan ke duodenum.3

Gambar 3. Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya

Pengosongan Kandung Empedu


Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah,
menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos
yang terletak pada ujung distal duktus choledocus dan ampula relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu kental ke dalam duodenum.
Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak
dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses
koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:3,5
a) Hormonal: zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon cholecystokinin
akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi
kandung empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan

lambung

atau

dengan

refleks

intestino-intestinal

akan

menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.


Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum
dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana
4

kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun


sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti
batu.
Komponen
Air
Garam Empedu
Bilirubin
Kolesterol
Asam Lemak
Lechitin
elektrolit

Dari hati
97,5 gm%
1,1 gm%
0,04 gm%
0,1 gm%
0,12 gm%
0,04 gm%
-

Dari kandung empedu


95 gm%
6 gm%
0,3 gm%
0,3-0,9 gm%
0,3-1,2 gm%
0,3 gm%
-

a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu:
Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:3,6
-

Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil

untuk dapat dicerna lebih lanjut.


Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah
menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus
akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama
feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi di segmen distal dari
ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat pyrole menjadi biliverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide.
5

Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yag terbentuk sangat banyak.3,4,7

BAB III
KOLELITIASIS
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau di kedua-duanya. Sebagian
besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis). Jika batu empedu ini berpindah ke dalam saluran ekstrahepatik, disebut
batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. 4,7
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada
juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Batu
primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai berikut :4
1) Ada masa asimtomatik setelah kolesistektomi
2) Morfologi cocok dengan batu empedu primer, yaitu bentuknya ovoid, lunak, rapuh,
seperti lumpur atau tanah, warna coklat muda sampai coklat gelap
3) Tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak ada sisa duktus sistikus yang
panjang
Epidemiologi
Insidens kolelitiasis di negara barat adalah 20 % dan banyak menyerang orang
dewasa atau lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka
kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak
berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya
berkaitan erat dengan cara diagnosis ultrasonografi.1
Dikenal tiga jenis batu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau bilirubin, yang terdiri
dari kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di negara barat, 80 % batu empedu adalah batu
kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia
Timur, lebih banyak batu pigmen disbanding batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu
kolesterol sejak tahun 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini betulbetul oleh karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya hidup termasuk
perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit dan menurunnya frekuensi infeksi
empedu, mungkin menimbulkan perubahan hepatolitiasis.1
Sementara ini didapatkan kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih
umum, namun angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang
terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh
kuman gram negatif E. Coli ikut berperan penting dalam timbulnya pigmen. Di wilayah ini

insidens batu primer saluran empedu adalah 40 50 % dari penyakit batu empedu, sedangkan
di dunia barat sekitar 5%.
Faktor resiko:
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelithiasis dibandingkan
dengan pria. Ini karena hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar estrogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelithiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (estrogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.1
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.4
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMImaka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga menguras garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.4
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelithiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.8
6. Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelithiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelithiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.
8

Jenis Batu
1. Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70 % kristal kolesterol, dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitat, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih
bervariasi dibandingkan batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di kandung
empedu, dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Kolesterol merupakan
unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya
bergantung pada asam empedu lesitin (fosfolipid) dalam empedu.4
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan
empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.4
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas
daya larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol
atau penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan eksresi kolesterol
empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan
kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi
asam empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan absorpsi di ileum atau
gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.4
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali
bila ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal
dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria, atau benda asing lain.
Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu. Pertumbuhan
batu terjadi karena pengendapan Kristal kolesterol di atas matriks inorganik dan
kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan. Stasis
kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain faktor yang disebut
diatas. Puasa yang lama akan menimbulkan empedu yang litogenik akibat stasis tadi.4
Proses degenerasi dan adanya penyakit hati

Penurunan fungsi hati

Penyakit gastrointestinal Gangguan metabolisme

Malabsorbsi garam empedu penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolesterol

Berperan sebagai penunjang iritan pada kandung empedu supersaturasi


(kejenuhan) getah empedu oleh kolesterol

Peradangan dalam peningkatan sekresi kolesterol kandung empedu

Kemudian kolesterol keluar dari getah empedu

Penyakit kandung empedu (kolesistitis)

Pengendapan kolesterol

Batu empedu
2. Batu bilirubin
Penampilan batu bilirubin yang berisi kalsium bilirubinat dan disebut juga
batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Batu ini sering ditemukan
berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi
antara cokelat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah
yang rapuh. Batu ini sering bersatu membentuk batu yang lebih besar. Batu pigmen
yang sangat besar dapat ditemukan di dalam saluran empedu. Batu pigmen adalah
batu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25 persen. Batu pigmen hitam terbentuk di
dalam kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan keseimbangan metabolic
seperti anemia hemolitik, dan sirosis hati tanpa didahului infeksi.4
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan
dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirubin dan eksresi kalsium
merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat bakteri gram negatif, terutama E.
Coli. Pada batu kolesterol pun, E. Coli yang tersering ditemukan dalam biakan
empedunya.4
Beberapa faktor yang disangka adalah faktor geografis, hemolisis, dan sirosis
hepatis. Sebaliknya, jenis kelamin, obesitas dan gangguan penyerapan di dalam ileum
tidak mempertinggi risiko batu bilirubin.4
Untuk kurun waktu puluhan tahun, jenis batu empedu yang predominan di
wilayah Asia Timur adalah batu bilirubin, yang dapat primer terbentuk dimana saja di
dalam saluran empedu, termasuk intrahepatik (hepatolitiasis). Resiko terbentuknya
batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis dan infeksi
percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan
operasi.4,7
Pigmen (bilirubin) tidak terkonjugasi dalam empedu

10

Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glukuronil transferase

Presipitasi/pengendapan

Terbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi

Patogenesis
Hepatolitiasis adalah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan tersebut mungkin berada
di luar parenkim hati. Batu tersebut umumnya berupa batu pigmnen yang berwarna cokelat,
lunak, bentuknya seperti lumpur dan rapuh.4,5
Hepatolitiasis akan menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis oriental
yang sering sulit penanganannya.
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang terbentuk di
saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya.; akan tetapi
tampaknya faktor predisposisi yang terpenting adalah gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung
empedu.4,6,7
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hepar penderita batu
empedu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk batu empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu, atau spasme sfingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan terjadinya stasis.
Faktor hormonal, (terutama selama kehamilan) dapat dikaitkan dengan perlambatan
pengosongan kandung empedu dan menyebabkan tingginya insidensi dalam kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai
pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari
terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu.4,6

11

Patofisiologi Kolik Bilier


Batu empedu dapat menyebabkan nyeri viseral bila terjadi obstruksi di duktus sistikus
atau duktus biliaris komunikans untuk sementara waktu. Obstruksi tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan di duktus biliaris dan peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, dengan penjalaran ke punggung, disertai
mual dan muntah. Mual dan muntah terjadi akibat perangsangan saraf aferen N. Vagus.6
Kolesistitis akut disebabkan oleh trauma pada epitel kandung empedu yang
disebabkan oleh batu. Prostaglandin akan dilepaskan dari epitel kandung empedu selain
Fosfolipase A2 memecah fosfatidilkolin menjadi lisolesitin (yakni, menghilangkan asam
lemak) yang selanjutnya menyebabkan kolesistitis akut. Pada beberapa keadaan hal ini dapat
menyebabkan perforasi kandung empedu.6

Gambaran Klinis
Anamnesis4,6
Setengah sampai dua per tiga penderita batu kandung empedu adalah
asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai
intolerans terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus
timbulnya tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri menghilang setelah makan antasida. Jika terjadi kolesistitis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung
empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas,
merupakan tanda rangsangan periotenum setempat atau Murphys Sign.
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin berwarna gelap yang hilang timbul.
Ikterus yang hilang timbulnya berbeda dengan ikterus karena hepatitis.

12

Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan disertai syok dan
gangguan kesadaran.

Gambar 4. Manifestasi klinis penyakit kandung empedu

Pemeriksaan Fisik4
Batu kandung empedu
Jika ditemukan kelaianan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut, dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punctum maksimum
di daerah letak anatomi kandung empedu. Murphy Sign positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik napas.
Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase
tenang. Kadang hepar teraba agak membesar dan sklera ikterik. Perlu
diketahui bila kadar bilirubin kurang dari 3 mg / dl, gejala ikterik tidak jelas.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, maka akan timbul ikterus
klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umunya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
13

Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bacterial


nonpiogenik yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu demam dan menggigil,
nyeri di daerah hepar, dan ikterus.
Komplikasi1,8
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelithiasis:
1.
2.
3.
4.

Asimptomatik
Obstruksi duktus sistikus
Kolik bilier
Kolestasis akut
a. Empiema
b. Perikolesistitis
c. Perforasi
5. Kolesistitis kronis
a. Hidrop kandung empedu
b. Empiema kandung empedu
c. Fistel kolesistoenterik
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum

karena

adanya

makanan

mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menurtupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun
dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap maka mungkin
akan dapat menjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu
empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon,
omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus
sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu
yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju, masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankreatitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Pemeriksaan Penunjang
14

a. Pemeriksaan Laboratorium4
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut seperti pada kolesistitis, dapat terjadi
leukositosis. Apabila ada peningkatan bilirubun, alkalin fosfatase, dan aminotransferase, bisa
dicurigai adanya kolangitis. Kolestasis, ditunjukkan adanya peningkatan bilirubin
terkonjugasi dan peningkatan alkalin fosfatase. Pada pasien kolik bilier atau kolesistitis
kronis, tes darah biasanya normal.
b. Pemeriksaan radiologis
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar
10-20% batu kandung empedu bersifat radioopaque. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

15

Gambar 5. Rontgen dan USG pada kolelitiasis


USG Abdomen
USG mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi
batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan
USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem
yanng diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan
USG punctum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.
Kolesistografi
Oral kolesistografi adalah suatu prosedur untuk melihat atau memvisualisasikan kandung
empedu dengan bantuan kontras radioopaque yang akan dieksresikan melalui liver. Kontras
tersebut akan terkumpul di kandung empedu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
16

ileus paralitik, muntah, kadar bilitubin serum diatas 2 mg/dl Dari pemeriksaan x-ray biasanya
hanya 10% yang menunjukkan adanya batu radioopaque dan 90% terlihat batu radioluscent
oleh karena itu pemeriksaan kolesistografi oral jarang dilakukan dan lebih memilih USG
abdomen.

Gambar 6. Batu kandung empedu


Computed Tomography
CT scan lebih mahal dan kurang sensitive daripada USG untuk mendeteksi batu
empedu. CT scan biasanya digunakan untuk nyeri perut, karena bisa menghasilkan gambaran
yang bagus untuk abdomen.
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dengan magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) memilikki hasil
yang bagus untuk identifikasi non invasive terhadap batu empedu dimanapun pada duktus
biliaris. Karena mahal dan alatnya yang rumit, pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk
kemungkinan koledokolitiasis. Berdasarkan guideline ACR 2010, MRI digunakan jika USG
hasilnya tidak jelas.
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatograpghy (ERCP)
ERCP bisa digunakan untuk melihat duktus biliaris. Pada prosedurnya, endoskop
melewati duodenum kemudian melakukan kanulasi pada papilla Vater Paccini. Kontras
radioopaque diinjeksikan kedalam duktus biliaris. Batu akan terlihat sebagai filling defect
dalam duktus.
Penatalaksanaan

17

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain :

a) Operatif
1. Kolesistektomi terbuka8
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi8,9
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang

kolesistitis
melakukan

duktus koledokus.

konvensional adalah dapat

dikeluarkan, pasien dapat cepat

kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan

kosmetik.

terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi

6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin

dapat

terjadi

Masalah
lebih

yang
sering

belum
selama

kolesistektomi laparaskopi.

18

Gambar 7. Kolesistektomi laparoskopi


Medikamentosa
i.

Kuratif
Pelarutan batu empedu1
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier
butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan
langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui
saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan;
melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
Pengangkatan non bedah
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum
terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur
pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat
saluran T-Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T- Tube; jaring digunakan
untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur
kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong
dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus.
Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter
Oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu
yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi
dengan jaring atau balon kecil pada ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk
mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun
kondisi pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya
perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
1

ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)4


Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa/sejumlah
fragmen.
19

Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat
tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang
sakitnya kritis.

Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal.

ii.

Pemeriksaan darah

Kenaikan serum kolesterol

Kenaikan fosfolipid

Penurunan ester kolesterol

Kenaikan protrombin serum time

Kenaikan bilirubin total, transaminase

Penurunan urobilirubin

Peningkatan sel darah putih

Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama.

Paliatif10
1.Ranitidin
Komposisi : Ranitidin HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml
injeksi. Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina,
20

ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus kolelitiasis, ranitidin


dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik). Perhatian : pengobatan dengan
ranitidin dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk
wanita hamil.
2.Buscopan
Komposisi

Hiosina

N-bultilbromida

10

mg/tablet,

20

mg/ml

injeksi

Indikasi : Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita.


Kontraindikasi : Glaukoma hipertrofiprostat.
3.Buscopan
Komposisi

Hiosina

N-butilbromida

10

mg,

parasetamol

500

mg.

Indikasi : Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada
saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.
4.NaCl
i. NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana kandungan
osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
ii. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.
iii.

Supportif
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap
dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk.(Smeltzer, 2002)
Manajemen terapi :
o Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
o Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
o Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
o Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.

21

o Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)


Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh
jumlah lemak yang dimakan karena sel sel hepatik mensintesis kolesterol dari
metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair rendah
lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani.
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan
adapun makanan tambahan seperti : buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa
lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi / teh.
Terapi Non-farmakologis, seperti : relaksasi, distraksi, kompres hangat /
dingin, masase ), mempertahankan Tirah Baring. pemberian analgetik.

22

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Heuman DM. Cholelithiasis. May 13, 2013 [cited July 24, 2013]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
2. Snell, Richard. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta : 2000.
3. Sherwood lauralee. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Penerbit buku
kedokteran EGC : jakarta
4. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
5. Ganong W. F. 2001. Fisiologi Manusia (Review of Medical Physiologi). Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
6. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Disease. 2000. In : Color Atlas of Patophysiology.
New York : Thieme,p: 164-7
7. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwarts Princsiples of Surgery 8 th editon. 2007.
US : McGraw-Hill Companies.
8. Doherty GM. Billiary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13 th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55
9. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In :
Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington : Lippincott Williams &
Wilkins
10. Ganiswara, G, Suliatia, dkk., 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi ke-4., Fakultas
Kedokteran UI., Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai