Anda di halaman 1dari 3

MEMAAFKAN, TARBIYAH PUASA YANG

SERING KITA LUPAKAN


Oleh: Qaem Aulassyahied





}


{ }



{ }



{
Sidang jama'ah jumat yang dirahmati oleh Allah SWT.
Jika kita ingat-ingat, serasa bulan Ramadhan kemarin masih menyisakan kegembiraan di hati
kita, masih terasa lapar dan haus yang kita tahan sebulan penuh, dan masih kita ingat saling
maaf dan memaafkan yang kita tunaikan setelah melaksanakan sholat id. Dan kini, waktu
berjalan cepat, kita telah berada di setapak menuju bulan keberkahan dengan beberapa langkah
lagi, bulan yang Allah SWT sediakan di dalamnya ampunan yang besar dan keberkahan yang
banyak bagi hamba-Nya yang menyadari betapa agungnya bulan tersebut, Ramadhan dimana
Rasul menganjurkan kita untuk mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan penuh suka
cita.
Dan tentunya wujud suka cita yang kita lakukan, layak di aplikasikan dengan mempersiapkan diri
kita, lahir dan batin dalam menyambut bulan tersebut, serta mempersiapkan diri, dalam artian,
menumbuhkan semangat dan menentukan langkah-langkah yang tepat, agar bulan puasa yang
kita lalui nanti bisa kita raup segala keberkahan di dalamnya, sehingga Ramdhan bagi kita tidak
berlalu sia-sia, dan janji Allah SWT menyucikan hambanya layaknya anak yang baru lahir bagi
hambanya yang berhasil dalam tarbiyah bulan ramadhan juga kita dapatkan.
Dan langkah awal yang kita lakukan adalah meninjau kembali, keberhasilan kita di bulan puasa
kemarin, yang itu bisa dilihat dari keseharian kita, kelakuan dan rangkaian ibadah kita setelah
bulan puasa.

Sidang jama'ah jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT


Mari kita renungkan dalam-dalam, apakah puasa yang kita lakukan kemarin betul-betul ikhlas,
hanya mengharap Ridho Allah SWT?, sehingga dapat meningkatkan kadar ketaqwaan kita

kepada Allah, apakah ibadah-ibadah seperti sholat berjama'ah, sholat sunnah, baca al qur'an
rutin dan amalan-amalan lain telah menjadi kebiasaan kita selepas bulan Ramadhan?. Rasa
kemenangan yang kita dapatkan, apakah betul-betul dikarenakan kemenangan kita atas setan,
ataukah hanya berdasarkan nafsu yang sudah tidak lagi di tahan pada waktu bulan puasa?
Banyaknya pertanyaan-pertanyaan itu, setidaknya menjadi muhasabah kita sebelum menapaki
Ramadhan selanjutnya, dan itu bisa kita introspeksi dari keseharian kita sekarang ini.
Sidang jam'ah jumat yang dimuliakan Allah SWT.
Yang tidak kalah pentingnya dan sering kita lupakan adalah tarbiyah saling memaafkan yang kita
bina di waktu puasa. Setelah kita melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya, maka Allah SWT
masih memberikan kewajiban bagi kita untuk saling memaafkan, munculnya tradisi halal bihalal
dimana kita akan saling memaafkan merupakan wujud salah satu hikmah puasa.
Karena memaafkan merupakan sifat yang terpuji dan ciri orang muslim sebagaimana yang kita
pahami dalam firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 133-134:

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan."
Ayat di atas dimulai dengan perintah Allah SWT dalam berlomba-lomba untuk bertobat dan
memohon ampun, ini merupakan sebuah keniscayaan, yang menunjukkan bahwa sebuah
pengampunan adalah sesuatu yang sangat berharga sehingga layak bagi kita untuk berlombalomba dalam meraihnya, dan itulah yang menuntut kita untuk senantiasa bersegara mendahului
hamba-hamba yang lain dengan memohon ampun kepada Allah SWT disertai dengan menyadari
kesalahan. Kemudian dalam keterangan ayat itu juga disertai dengan raihan surga, hal itu jg
menunjukkan bahwa surga layak bagi orang yang bersegera dan mendapatkan ampunan Allah
SWT, dan inilah ciri orang-orang muttaqin.
Ayat selanjutnya memiliki kaitan dengan ayat diatas, bahwa Allah SWT saja bersedia
memaafkan, apalagi kita seorang hamba-Nya. Memang, pada kenyataannya memaafkan
kesalahan orang lain atas kita merupakan hal yang tidak mudah dilakukan, ini pun bisa dilihat
dari tingkatan maaf yang ada pada ayat ini. Dimulai dengan al-kazhimin, artinya "penuh dan
menutupnya dengan rapat-rapat" hal ini di ibaratkan dengan wadah air yang kita tutup rapat,
begitu juga dengan cara memaafkan, kita akan berusaha untuk memaafkan kesalahan orang
lain, dengan berusaha tidak mengingatnya, namun seperti air dalam wadah tersebut, masih ada
bekas kemarahan, masih ada hasrat untuk menuntut balas, tapi itu yang kita tahan dan kita tutup
rapat-rapat
Yang kedua, diambil dari kata al-aafiin, asal katanya al-afwu, artinya menghapus, pada tingkatan
ini, seorang yang memaafkan sudah bisa menghapus segala kesalahan orang yang
dimaafkannya, karena pada hakikatnya orang yang memaafkan itu adalah orang yang
menghapus kesalahan orang, jika pada tingkatan pertama, orang hanya bisa menutup dan
menahan diri dari rasa benci akibat kesalahan orang, pada tingkatan ini, kesalahan itu dihapus
sehingga tidak ada lagi kebencian dan rasa marah.

Yang terakhir, pada tingkatan ini, Allah SWT tidak hanya menyuruh orang memaafkan, tetapi juga
berbuat baik kepada orang yang telah bersalah dengan kita, inilah tingkatan yang paling teratas
dalam hal memaafkan, ini pula yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW, dimana ketika
seorang yahudi yang sering mencacinya sakit, bukanlah menjadi kesempatan buat Beliau untuk
membalas segala perlakuan buruk yang pernah ia terima, melainkan Nabi Muhammad SAW
menjenguk dan merawatnya. Ini merupakan hal yang sulit, tapi sangat mulia jika dilakukan,
kesalahan orang dianggap tidak ada, dan kita berinteraksi dengan orang tanpa pernah memiliki
kenangan buruk dengan orang tersebut. Inilah ajaran islam yang rahmatan lil Alamin, dan inilah
salah satu tarbiyah puasa yang sangat agung namun terkadang kita lupakan, untuk itu, sebelum
menapaki bulan Ramdhan selanjutnya, ada baiknya kita mencoba untuk membiasakan untuk
saling memaafkan, agar tarbiyah yang kita lakukan nanti akan terasa ringan dan betul-betul
membekas di perilaku kita.
Kaum muslimin siding jama'ah jumat yang berbahagia
Sebelum kita mengakhiri khutbah jumat ini, ada baiknya kita simak dan perhatikan salah satu
sabda Nabi SAW dalam haditsnya yang shahih, yang artinya: "Taukah kalian semua, siapakah
orang yang bangkrut itu? Tanya Rasulullah kepada para sahabatnya, mereka pun menjawab:
orang yang bangkrut menurut kami adalah mereka yang tidak memiliki uang dan harta benda
yang tersisa. Kemudian Rasulullah menyampaikan sabdanya: "orang yang benar-benar bangkrut
diantara umatku ialah orang yang di hari kiamat membawa (banyak) pahala sholat, puasa, dan
zakat, tapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia)ia
mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini, maka
diberikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala
kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosadosa mereka (yang pernah dizaliminya) dan ditimpakan kepadanya, kemudian dicampakkanlah ia
ke api neraka" (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits ini merupakan ultimatum yang sangat keras buat kita para umatnya yang terkadang sering
melupakan interaksi antar sesama, padahal hubungan baik kita dengan orang lain juga
merupakan hal yang dituntut dalam ajaran islam, dan jika kita remehkan, maka -berdasarkan
hadits di atas- tidak menutup kemungkinan semua ibadah yang kita lakukan akan sia-sia
dihadapan Allah SWT. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka budaya saling memaafkan
merupakan cara yang amat ampuh dalam menjaga diri kita dan orang lain, yang tentunya tidak
menafikan perhatian kita untuk selalu berlaku baik kepada sesama. Maka jama'ah sekalian,
sedari dini, mari kita melatih diri untuk menjadi pribadi yang pemaaf.

Anda mungkin juga menyukai