Anda di halaman 1dari 270

ISBN No.

978-979-96964-3-9

Prosiding
Seminar Nasional Teknoin 2012
Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang
Penguatan Daya Saing Bangsa

Yogyakarta, 10 November 2012

Bidang Teknik Mesin

diselenggarakan oleh:

Fakultas Teknologi Industri


Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN: 979-978-96964-9-8

Diterbitkan oleh:
Fakultas Teknologi Industri
Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta 55584
T. 0274-895287, 0274-895007 Ext 110/200
F. 0274-895007
E. seminarteknoin@yahoo.com, teknoin@uii.ac.id
W. seminarteknoin.fit.uii.ac.id

Hak Cipta 2012 ada pada penulis


Artikel pada prosiding ini dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarkan secara bebas untuk tujuan
bukan komersil (non profit), dengan syarat tidak menghapus atau mengubah atribut penulis. Tidak
diperbolehkan melakukan penulisan ulang kecuali mendapatkan izin terlebih dahulu dari penulis.

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Organisasi Penyelenggara
Penanggung Jawab

: Ir. Gumbolo Hadi Susanto, M.Sc.

Dekan

Pengarah

: Wahyudi Budi Pramono, ST., M.Eng


Dr. Sri Kusumadewi, S.Si., MT.
Dra. Kamariah, MS.
Drs. Mohammad mastur, MSIE
Yudi Prayudi, S.Si, M.Kom
Tito Yuwono, ST., M.Sc
Agung Nugroho Adi, ST., MT.

Wakil Dekan
Direktur Pascasarjana MTI
Ketua Jurusan Teknik Kimia
Ketua Jurusan Teknik Industri
Ketua Jurusan Teknik Informatika
Ketua Jurusan Teknik Elektro
Ketua Jurusan Teknik Mesin

Ketua Pelaksana
Bendahara

: Risdiyono, ST., M.Eng., D.Eng.


: 1. Yustiasih Purwaningrum, ST., MT.
2. Erawati Lestari, A.Md.

Reviewer

: 1. Prof. Dr. Ir. Mauridhi Hery Purnomo, M.Eng.


2. Dr. Ir. Rila Mandala, M.Eng.
3. Ir. Muhammad Waziz Wildan, M.Sc., Ph.D.
4. Risdiyono, ST., M.Eng., D.Eng.
5. Dr. Ir. Paryana Puspaputra, M.Eng.
6. Ir. Erlangga Fausa, M.Cis
7. Ridwan Andi Purnomo, ST., M.Sc., Ph.D.
8. Asmanto Subagyo, M.Sc.
9. Izzati Muhaimmah, ST., M.Sc. Ph.D.
10. Hendra Setiawan, ST., MT. D.Eng.
11. Muhammad Ridlwan, ST., MT.

Makalah & Prosiding:


Koordinator

Sekretariat:
Koordinator

Sie. Acara dan Publikasi:


Koordinator

Purtojo, ST., M.Sc.


1. Khamdan Cahyari, ST., M.Sc.
2. Firdaus, ST., MT.
3. Hanson Prihantoro, ST., MT.
4. Jerri Irgo, SE., MM.
5. Heri Suryantoro, A.Md.
6. Bagus Prabawa Aji, ST.
7. Adi Swandono, A.Md.
M. Faizun, ST., M.Sc.
1. Indah Kurniasari, SP
2. Muhammad Susilo Atmodjo
3. Pangesti Rahman, SE.

Arif Hidayat, ST., MT.


1. Dyah Retno Sawitri, ST.
2. Agus Sumarjana, ST.
3. Suwati, S.Sos.

ii

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kata Pengantar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
Seminar Nasional Teknoin 2012 dapat terselenggara.
Seminar Nasional Teknoin merupakan seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Industri
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta bekerja sama dengan Jurnal Teknologi Industri (TEKNOIN). Sejak pertama
kali diselenggarakan pada tahun 2004, seminar ini telah menjadi sarana terjalinnya kerjasama, transfer pengalaman
dan pengetahuan di antara berbagai pihak dari kalangan akademisi, peneliti, pelaku industri dan elemen masyarakat
lainnya baik dari unsur pemerintah maupun swasta. Sejalan dengan visi Universitas Islam Indonesia yang
berkomitmen pada kesempurnaan (keunggulan) serta risalah Islamiyah di bidang pendidikan, penelitian, pengabdian
masyarakat dan dakwah, seminar ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan kontribusi nyata bagi kemajuan
bangsa.
Di usianya yang ke 9, Seminar Nasional Teknoin 2012 kali ini mengambil tema : Pengembangan Teknologi
Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya Saing Bangsa. Tema ini dipilih berdasarkan pertimbangan
bahwa peningkatan daya saing bangsa merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam menghadapi era
globalisasi. Usaha ini akan berhasil jika seluruh elemen masyarakat memberikan kontribusi yang optimal sesuai
bidangnya masing-masing. Di sektor industri, parameter-parameter yang sering dipakai dalam mengukur daya saing
bangsa biasanya lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) daripada kualitas sumber daya alam
(SDA) sebuah negara. Kerjasama multidisiplin yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta
mutlak diperlukan. Untuk itu, Seminar Nasional Teknoin dikemas menjadi forum diseminasi berbagai disiplin ilmu
diantaranya bidang ilmu Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik Informatika, Teknik Elektro dan Teknik Mesin.
Dalam seminar ini, alhamdulillah terdapat 143 buah makalah (dari 260 abstrak yang diterima) dan yang telah
direview oleh tim serta layak untuk masuk ke dalam Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 (ISBN No. 978-97996964-3-9) dan dipresentasikan. Adapun tiap bidang ilmu terdiri atas : 21 makalah bidang Teknik Kimia dan
Tekstil, 35 makalah bidang Teknik Industri, 29 makalah bidang Teknik Informatika, 20 makalah bidang Teknik
Elektro, serta 38 makalah bidang Teknik Mesin.
Pada kesempatan ini, kami selaku ketua pelaksana menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Pimpinan Fakultas Teknologi Industri UII, segenap Pimpinan Jurusan dan Pimpinan Program
Pascasarjana di lingkungan FTI UII, tim reviewer, dan seluruh panitia pelaksana yang telah berusaha maksimal dan
bekerjasama dengan baik hingga terlaksananya acara ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Assoc. Prof. Dr. Pisut Komsaap yang telah berkenan menjadi
keynote speaker dalam seminar ini. Kepada seluruh peserta dan pemakalah serta semua pihak yang telah
berpartisipasi, kami sampaikan terima kasih dan permohonan maaf atas kekurangsempurnaan kami.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Yogyakarta, 10 November 2012


Ketua Panitia,

Risdiyono, ST, M.Eng, D.Eng

iii

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

iv

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Sambutan
Dekan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Islam Indonesia

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Rendahnya daya saing bangsa Indonesia akibat belum kondusifnya kinerja perekonomian nasional merupakan salah
satu persoalan yang perlu dicermati bersama. Di sektor industri, berbagai hal yang berkaitan dengan sistem
produksi, pemanfaatan tenaga kerja, akses ke sumber daya keuangan, manajerial, infrastruktur, teknologi,
standarisasi, perlindungan konsumen dan analisa pasar merupakan contoh faktor yang mempengaruhi daya saing
suatu bangsa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa peningkatan daya saing merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam
menghadapi era globalisasi. Usaha ini akan berhasil jika seluruh elemen masyarakat memberikan kontribusi yang
optimal sesuai bidangnya masing-masing. Daya saing bangsa biasanya lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia (SDM) daripada kualitas sumber daya alam (SDA) sebuah negara. Kerjasama multidisiplin yang
melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta mutlak diperlukan.
Berkenaan dengan hal itu, Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menyelenggarakan
Seminar Nasional Teknoin yang pada kesempatan ini telah menginjak usia yang ke 9. Di seminar ini kami
mengundang para akademisi, peneliti, pelaku industri dan seluruh elemen masyarakat untuk berperan serta baik
sebagai pemakalah maupun peserta. Beragam konsep, hasil pemikiran, dan hasil riset tentang teknologi akan
disajikan dan dibahas pada Seminar Nasional ini.
Sebagai sebuah forum ilmiah, seminar ini diharapkan menjadi media diseminasi informasi hasil penelitian dan
perkembangan mutakhir antar pihak dengan berbagai latar belakang, mulai dari kalangan perguruan tinggi, lembaga
penelitian, pemerintah/pengambil kebijakan, dan pihak industri. Diskusi antarpihak dengan berbagai perspektif ini
diharapkan dapat memperluas social networking dan menghadirkan visualisasi yang lebih lengkap atas berbagai
perkembangan penelitian di bidang teknologi industri, dan pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi perkembangan teknologi dan pemanfaatannya di Indonesia.
Atas nama Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia, saya menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas terselenggaranya Seminar Nasional Teknoin
2012 ini. Seminar ini dapat berlangsung karena usaha terbaik dari panitia pelaksana.
Akhir kata, selamat berseminar.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Dekan,

Ir. Gumbolo Hadi Susanto, M.Sc.

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

vi

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Executive Summary of Keynote Speech


Manufacturing Technology Development for Customer Involvement in Value Creation
Assoc. Prof. Dr. Pisut Koomsap
A-Cube Research Group,
Industrial and Manufacturing Engineering,
School of Engineering and Technology,
Asian Institute of Technology,
Km. 42 Paholyothin Rd. Klong Luang, Pathumthani 12120, Thailand,
Tel: (662) 524-5678; Fax: (662) 524-5697; Email: pisut@ait.ac.th

Advancement of technology has opened up a competitive market that led to the change of product development
fundamental from manufacturer-oriented to customer-oriented. The competitive environment has powered
customers to demand for better responsiveness, and has forced manufacturers to timely deliver quality products and
service to satisfy customer expectations. Design of manufacturer in the early days has been replaced by design for
customer at the present time.
However, customer involvement has been limited to expressing their voices until the debut of mass customization
concept which each product is aimed to be made to meet a specific customers need. Customers can take a proactive
role in their needs and negotiate to meet their requirements. Manufacturers allow them to involve reconfiguring
products during assembly stage. They can mix and match parts to form their own products. Nevertheless, the
concept has some limitations when it comes down to implementation. To serve individual needs that quite vary from
one person to another, exponential increase of variety will occur and lead to high cost and long lead time. With rigid
manufacturing system, manufacturers are required to build up the inventory of variety of components to be ready.
As a result, mass customization, in practice, remains at a group of customers with similar preference, not yet reached
to individual customer.
Recently, we have proposed design by customer concept to satisfy individual customers by letting them to flexibly
involve in defining product of their personal requirements at any stages of value chain, and framework has been
established to assist manufacturers on realizing the concept. To encourage customer involvement, maximum
possible channels in the value chain should be opened for ease of access, but the level of involvement that can vary
from design from scratch to select available items is depended upon customers interests as well as manufacturers
readiness. Therefore, product attribute analysis that takes key customer needs, manufacturers capability and
constraints has been developed as a tool for determining the level of involvement, and crowd screening process has
also been introduced to manage product variety.
Presented in this talk is our ongoing research on manufacturing technology development to support customer
involvement in design by customer concept. The research includes the development of hardware, software,
algorithm, and their integration to form an intelligent manufacturing system that allows manufacturers to respond
rapidly to individual customers. The system is customer-oriented. It has been developed to accommodate customer
interest which maybe expressed in various formats such as CAD model, drawing, physical object, sketch or
photograph. The system composes of three parts: input transformation, toolpath generation and fabrication
technology, and can serve both 2D and 3D applications. It transforms these inputs to be a general form of contour
images for 2D product or a stack of contour images for 3D product. Topological hierarchy contour tracing algorithm
has been developed for automatic toolpath generation. This algorithm can trace a set of one-pixel wide closed
contours that may appear as nested contours, interconnected contours or their combination. It is applied on the
images to obtain coordinates on all contours. The ordered sequences of coordinates are then used to generate
commands for fabrication a product.
Contour cutting and screen printing are examples of 2D application. Zero G-code two axes servo table has been
developed for abrasive waterjet machining. It allows inexperience users to complete cutting any complicated
contours in very short period of time without writing a single G-code. Its integration with contour tracing algorithm
makes it possible for rapid contour cutting from a contour image. Multi-color screen printing system has also been
developed to illustrate design by customer concept. The system is capable of creating screen quickly from customer
design and used on a flat screen printing machine that is capable of adjusting screen automatically for multi-color
printing.

vii

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Additive manufacturing has been our focus on 3D application. A few rapid prototyping techniques have been
developed in house. Direct slicing approach has been researched for transforming 3D CAD model to be a stack of
contours. However, it is quite often that customers do not come with 3D CAD models; instead they may bring
physical objects, or rough sketches. Therefore, interfacing between rapid prototyping (RP) with reverse engineering
(RE), geometric reconstruction (GR), and 3D sketch-based modeling have been researched also to transform rapidly
those inputs to be physical prototypes.
For RE-RP interface, unlike all existing interface approaches which acquire entire surface data from an object and
perform data reduction, our adaptive reverse engineering acquires data selectively and locally layer by layer
according to the complexity of the object. Structure light system has been applied to induce feature on the object
surface to appear explicitly for selective data acquisition algorithm that applies image processing to analyze the
complexity of the object before recommending the scanning positions. The output is a stack of contours that can be
used directly for toolpath generation. Similarly, GR-RP interface has been developed for direct fabrication of a
physical prototype from an orthographic views drawing without reconstruction of its 3D CAD model. This success
has led us to another development on direct fabrication of a prototype from a paper-based freehand sketch which is a
natural communication channel used for expressing idea.
In conclusion, several manufacturing technologies have been being developed to support customer involvement in
our design by customer concept but the development has not been completed yet. There is still big room for
improvement to make these technologies more robust. Also, full implementation of design by customer is still
waiting to be explored.

viii

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Daftar Isi

01

Organisasi Penyelenggara ..
Kata Pengantar
Sambutan Dekan FTI UII
Keynote Speaker:
Judul:
Daftar Isi

i
iii
v
vii

Makalah Bidang Teknik Mesin

E-1

Rangkaian Driver Terisolasi untuk Solenoid Valve, High Pressure Pump, dan
Injector untuk Aplikasi Sistem Injeksi pada Motor Bakar ..

E-3

ix

Aam Muharam , Kristian Ismail

02 Perancangan Alat Bantu Pada Pembuatan Tin Ball19 Untuk Industri Timah ..

E-11

Achmad Sambas, M.T., Oyok Yudiyanto, MT

03

Pengaruh Kedalaman Potong terhadap Batas Stabilitas Chatter pada Proses


Bubut Arah Putaran Spindle Clockwise dan Counter Clockwise ..

E-17

Agus Susanto

04

Studi Eksperimen Penentuan Batas Stabilitas Chatter pada Proses Bubut Arah
Putaran Spindle Counter Clockwise ..

E-25

Agus Susanto

05

Perancangan dan Pembuatan Load Cell Untuk Alat Uji Tekan, Bending dan
Geser Sampel Blok Rem Komposit Kereta Api .

E-33

Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B.

06

Perancangan Dan Pengujian Piranti Keselamatan Berkendara Impact


Attenuator Pada Mobil Student Formula 600 Cc Bimasakti-Ugm .

E-41

Akmal Irfan Majid, Ahmad Ghozi Arijuddin, Budi Santoso, IGB Budi Dharma

07

Optimasi Proses Pembakaran Motor Diesel Berbahan Bakar Ganda SolarBioethanol dengan Metode Response Surface .

E-49

Arifin Nur, Yanuandri Putrasari, Aam Muharam

08

Modifikasi Dan Peningkatan Efisiensi Kincir Air Overshot Dengan Nozzle


Ganda Sistem Pompa Hydram ..

E-57

Bagus Wahyudi, Akhmad Faizin, Suyanta

Pengaruh Waktu dan Temperatur Karbusasi Baja Karbon Rendah dengan


09 Media Arang Batok Kelapa (Effect of Time and Temperature Carburizing of
Low Carbon Steel with Coconut Charcoal media) ..
Bukti Tarigan , Agus Sentana

ix

E-63

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

10

Besi Cor Bergrafit Bulat Silicon Tinggi Sebagai Material Tahan Temperatur
Tinggi Alternatif

E-73

Darma Firmansyah Undayat, MT.

11

Analisa Paduan Alumunium sebagai Anoda Korban untuk Mereduksi Laju


Korosi di Lambung Kapal .

E-79

Eko Julianto Sasono, Seno Darmanto, Bayuseno, Edy Supriyo

12

Kajian Kinerja Serapan Bising Sel Akustik dari Bahan Kayu Olahan
(Engineering Wood) E-85
Ferriawan Yudhanto

13

Pengaruh Peningkatan Yield Terhadap Pembentukan Cacat Berdasarkan


Kriteria Niyama pada Pengecoran Cetakan Pasir ..

E-93

Giri Wahyu Alam, I Nyoman Jujur dan Bambang Suharno

14

Pengaruh Putaran Pengadukan, Temperatur, Waktu Terhadap Reaksi


Transesterifikasi pada Produksi Biodiesel dari Minyak Jelantah .

E-101

Hanric Muharka, Sadar Wahjudi

15

Pengaruh Penambahan Tabung Udara pada Intake Manifold Sepeda Motor 4


Langkah terhadap Daya Mesin .

E-109

Harjono, Greg. Sukartono

16 Rancangan Welding Fixture Pembuatan Rangka Produk Kursi

E-115

Hendro Prassetiyo, Rispianda, Irvan Rinaldi Ramdhan

17 Mesin Pencacah Jerami Sistem Multi Pisau Bersilang Kapasitas 300 Kg/Jam ..

E-125

Ireng Sigit Atmanto, Bambang Setyoko

18

Komposit Elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 untuk Solid Oxide Fuel Cell Bersuhu


Rendah dengan Metode Pressureless Sintering ...

E-131

Jarot Raharjo, Agustanhakri Bakri

19

Pengaruh Variasi Arus Listrik Terhadap Kekerasan Permukaan Logam


Aluminium 5XXX pada Proses Anodising ..

E-139

Mohammad Faizun , Anang Priyanto

20 Metoda Turbulence Flow Casting Pada Paduan Aluminium Adc 12

E-145

Muhammad Nahrowi

21

Perancangan Coran dengan Menggunakan Software Simulasi pada Studi Kasus


Scraper Chain .

E-155

Oyok Yudiyanto

22 Sistem Pengukuran Regangan Kantilever Menggunakan Serat Berkisi Bragg


dan Laser Mampu Tala Untuk Deteksi Pergerakan Tanah ...
Prabowo P., Hendra A., Nursidik Y., Suryadi, Ita N. Afni

E-165

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

23 Variasi Tekanan Dan Tebal Cetakan Terhadap Kekasaran Permukaan Pada


High Pressure Die Casting (HPDC) Paduan Al Si ..

E-173

Purnomo dan Dwi Khusna

24 Pengaruh Besar Arus Listrik Dan Tegangan Terhadap Kekasaran Permukaan


Benda Kerja Pada Electrical Discharge Machining (EDM) Dengan Metode
Respon Surface E-179
Purnomo, Efrita AZ, Edi Suryanto

25 Perbandingan Proses Penghilangan Unsur Minor Dalam Larutan Natrium


Silikat Antara Karbon Aktif dan Ion Exchange .

E-183

Raharjo Binudi, Eko Sulistiyono, Iwan Dwi Antoro, F.Firdiyono dan Agus Budi Prasetyo

26 Peningkatan Kadar Bijih Besi Non Magnetik dengan Wet Magnetic Separator ..

E-187

Rahardjo Binudi

27 Penerapan Desain Eksperimental Campuran Bahan Bakar Solar dan Waste


Tire Oil Terhadap Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Mesin Diesel Shangchai ..

E-191

Agus Miftahusholeh, Saufik Luthfianto, Mustaqim

28 Pembuatan Keramik Yang Memiliki Sifat Logam ..

E-197

Solihin

29 Ekstraksi Tungsten Dengan Teknik Mekanokimia .

E-203

Solihin

30 Prospek Pembuatan Nickel Pig Iron Di Indonesia ...

E-207

Solihin

31 Konversi Panas Buang di Exhaust Pipe Sepeda Motor Menjadi Energi Listrik
Menggunakan Generator Thermoelektrik

E-211

Sugiyanto, S.T., M.Eng. dan Isworo Djati, S.T.

32 Potensi Vertical Axis Wind Turbine (VAWT) Tipe Savonius Sebagai


Alternative Pembangkitan Listrik Tenaga Angin ..

E-217

Sugiyanto, S.T., M.Eng.

33 Rancang Bangun Mesin Pengupas Lada untuk Meningkatkan Efisiensi Waktu


Pengupasan Lada

E-225

Sukanto, Robert Napitupulu, Ilham Ary Wahyudie, Budi Tjahyono

34 Pengaruh Ukuran Butir Granit Dan Komposisi Berat Epoxy Pada Sifat
Mekanik Komposit Matriks Polimer Granit-Epoxy

E-231

Suryo Darmo

35 Kaji Eksperimental Efek EGR Terhadap Performa Mesin Diesel Direct


Injection Menggunakan Campuran Bahan Bakar Diesel dan Metanol
Stefan Mardikus, Jhonni Rentas Duling, Syaiful

xi

E-237

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

36 Kaji Eksperimental Efek Egr Terhadap Performa Mesin Diesel Direct Injection
Menggunakan Bahan Bakar Campuran Biosolar dan Biodiesel Jatropha

E-243

Jhonni Rentas Duling, Stefan Mardikus, Syaiful

37 Persiapan Produksi Mobil Pedesaan Berbasis Ikm


(Preparation of Rural Vehicle Productions Small Medium Enterprise Based) .
Agus Sentana, Bukti Tarigan, dan Farid Rizayana Mulia

xii

E-249

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Makalah
Bidang Teknik Mesin
Seminar Nasional Teknoin 2012
Pengembangan Teknologi Manufaktur untuk Menunjang Penguatan Daya
Saing Bangsa
Yogyakarta, 10 November 2012

E-1

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-2

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Rangkaian Driver Terisolasi untuk Solenoid Valve, High Pressure Pump, dan Injector untuk
Aplikasi Sistem Injeksi pada Motor Bakar
Aam Muharam 1) , Kristian Ismail 2)
Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik-LIPI1,2)
Komplek LIPI, Gd.10, Jl. Cisitu No.21/154 D, Bandung 40135 Indonesia
Telp: (022)2503055 ext 164. fax: (022)2504773.
E-mail : aam.muharam@lipi.go.id1)
Abstrak
Rangkaian driver terisolasi untuk solenoid valve, high pressure pump, dan injector untuk
aplikasi sistem injeksi pada motor bakar. Telah dibuat sebuah rangkaian driver untuk
menggerakkan aktuator pada sistem manajemen bahan bakar motor diesel dengan sistem
injeksi elektronik. Aktuator tersebut meliputi solenoid valve yang berfungsi sebagai katup
saluran buang bahan bakar pada commonrail, high pressure pump untuk menyalurkan bahan
bakar bertekanan tinggi pada commonrail, dan beberapa injector elektronik yang berfungsi
menyemprotkan bahan bakar ke dalam ruang bakar. Sebuah rangkaian driver diperlukan agar
masing-masing aktuator tersebut dapat bekerja dengan baik. Level tegangan dan arus yang
diperlukan masing-masing aktuator tersebut harus terjaga dan terpenuhi oleh rangkaian driver.
Pada makalah ini dibahas perancangan rangkaian driver dengan pengamanan terisolasi untuk
menghindari tegangan dan arus berlebih yang dapat merusak komponen Electronic Control
Unit (ECU) pada sistem. Rangkaian driver menggunakan metoda switching komponen
MOSFET dan transistor NPN. Sedangkan sistem isolasi memanfaatkan optocoupler yang
berfungsi menjembatani perbedaan level tegangan dan arus antara 5 Volt DC di ECU dan 12
Volt DC di aktuator. Hasil dari penelitian ini diperoleh sebuah rangkaian driver yang mampu
memberikan unjuk kerja optimal sesuai kebutuhan dalam aplikasi sistem injeksi motor bakar,
dan pengamanan yang efektif antara sistem ECU dan aktuator.
Kata kunci: driver, driver terisolasi, electronic control unit, commonrail, manajemen bahan
bakar.
Pendahuluan
Diesel engine merupakan motor bakar yang paling efisien dari semua tipe motor pembakaran dalam (ICE, internal
combustion engine). Saat ini pengendalian emisi sudah menjadi hal utama dalam pengembangan diesel engine, karena
penggunaan bahan bakar fosil akan menyebabkan perubahan iklim, yang mana dapat memicu kerusakan lingkungan.
Pada dasarnya teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan penanggulangan emisi gas buang terbagi atas beberapa
metoda, yaitu;
1. Sistem injeksi bahan bakar bertekanan tinggi,
2. Injeksi bahan bakar secara banyak (multi),
3. Exhaust Gas Recirculation (EGR),
4. Filter partikulat diesel,
5. Selective Catalytic Reduction (SCR), dan
6. Bahan bakar alternatif.
Metoda tersebut di atas, di desain untuk mengurangi emisi NOx yang muncul dan partikulat matter lainnya. Diesel
engine dapat menggunakan berbagai bahan bakar alternatif, seperti bahan bakar sintetis, biodiesel, dimethyl ether
(DME), alkohol, gas alam, dan hidrogen, dan lainnya. Makalah ini berkaitan dengan penelitian [1] mengenai motor
bakar diesel konvensional yang menerapkan konsep homogeneous charge compression ignition (HCCI). Penelitian
tersebut menguraikan prinsip kerja dari HCCI engine, yaitu dengan memajukan waktu injeksi (pada fase kompresi)
bahan bakar agar diperoleh waktu persiapan pencampuran udara dengan bahan bakar yang lebih lama dengan tujuan
mendapatkan distribusi yang homogen di ruang bakar. Pada Gambar 1 ditunjukkan skema modifikasi yang diterapkan
pada motor diesel konvensional menjadi HCCI.

E-3

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 1. Skema modifikasi diesel HCCI


Modifikasi tersebut memerlukan beberapa komponen aktuator tambahan meliputi solenoid valve yang berfungsi sebagai
katup saluran buang bahan bakar pada commonrail, high pressure pump untuk menyalurkan bahan bakar bertekanan
tinggi pada commonrail, dan beberapa injektor elektronik yang berfungsi menyemprotkan bahan bakar ke dalam ruang
bakar. Spesifikasi dan kebutuhan akan arus/tegangan pada masing-masing aktuator tersebut diuraikan pada Tabel 1.
Kerja injektor mesin diesel HCCI tidak sama dengan mesin diesel konvensional. Injektor HCCI bekerja menggunakan
teknologi solenoid valve atau elektrik. Pada mesin lama, injektor bekerja dengan hidro-mekanik. Injektor mesin diesel
modern sama dengan injektor mesin bensin yang menggunakan sistem injeksi. Dalam hal ini, injektor diaktifkan oleh
arus listrik yang diatur oleh mikrokontroler. Jumlah solar yang akan disemprotkan diatur berdasarkan lamanya nosel
membuka. Mikrokontroler mengatur kerja injektor ini berdasarkan informasi yang diterima dari sensor-sensor, misalnya
putaran mesin, tekanan regulator, tekanan bahan bakar, suhu solar, posisi pedal gas, putaran mesin, silinder, tekanan,
aliran udara, air pendingin, kecepatan kendaraan dan seterusnya. Mikrokontroler juga menentukan waktu injeksi
(injection timing) berdasarkan sinyal yang diterimanya dari sensor di kruk as atau roda gila.
Tabel 1. Komponen aktuator pada diesel HCCI

Sebuah rangkaian driver diperlukan agar masing-masing aktuator tersebut dapat bekerja dengan baik. Level tegangan
dan arus yang diperlukan masing-masing aktuator tersebut harus terjaga dan terpenuhi oleh rangkaian driver. Pada
makalah ini dibahas perancangan rangkaian driver dengan pengamanan terisolasi untuk menghindari tegangan dan arus
berlebih yang dapat merusak komponen Electronic Control Unit (ECU) pada sistem.

Metodologi Penelitian
Prinsip utama dari rangkaian driver ini adalah memberikan suplai tegangan dan arus yang diperlukan masing-masing
aktuator agar dapat beroperasi secara baik. Sinyal kendali yang diberikan ECU dihubungkan ke modul saklar dijital
untuk kemudian menyalurkan tegangan dan arus sesuai kebutuhan aktuator.

E-4

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

1. Digital Switching
Aktuator dikendalikan oleh ECU melalui sinyal kendali ON dan OFF, yang merupakan prinsip kerja dari digital
switching. Berdasarkan kebutuhan arus pada Tabel 1, maka untuk memenuhi kebutuhan arus tersebut diperlukan
komponen driver yang berdaya besar. Hans-Jrg Bullinger dalam bukunya [2] mengungkapkan bahwa power
MOSFET merupakan komponen yang paling sering digunakan dalam elektronika daya. MOSFET, menurut uraian
[3], merupakan komponen pilihan untuk operasi tegangan di bawah 200V dan frekuensi switching mencapai
100kHz. Dijelaskan, hal ini karena memiliki losses yang rendah pada saat aktif dengan rating tegangan kecil,
kecepatan switching yang tinggi, dan impedansi gate yang tinggi sehingga diperlukan level tegangan yang kecil
untuk bisa mencapai transisi ON/OFF.
Gambar 2(a) menunjukkan symbol rangkaian dari MOSFET n-channel yang terdiri atas 3 terminal: drain (D), source
(S), dan gate (G). Pada gambar terlihat arah arus yang mengalir, yaitu dari terminal D menuju terminal S. Ned
Mohan [3] juga menjelaskan, jika tegangan pada gate lebih kecil dari tegangan tresshold-nya (kisaran 2 hingga 4
Volt), maka MOSFET tidak akan aktif, seperti ditunjukkan pada Gambar 2(b), dan status saklar sedang terbuka.
Arus pada D dapat mengalir sebesar Io jika tegangan pada G memenuhi nilai sebesar VGS(Io). Umumnya, semakin
besar tegangan di gate (mendekati 10 V), diatur untuk menjaga MOSFET dalam keadaan saturasi (on-state)
sehingga mampu mengalirkan arus ID (=I0) seperti diuraikan pada Gambar 2(c).

(a) Simbol

(b) Karakteristik V-I

(c) Karakteristik transfer

Gambar 2. MOSFET [3]


ECU pada sistem kendali memiliki level tegangan kerja yang berbeda dengan elektronika daya. ECU bekerja
mengeluarkan sinyal dijital di 5 Vdc dengan kebutuhan arus tidak lebih dari 1A, sedangkan elektronika daya
memerlukan tegangan kerja 12Vdc dengan arus mencapai 7A untuk satu komponen aktuator. Perbedaan tersebut
dapat mengakibatkan 3 masalah dalam perancangan yaitu: lemahnya proteksi rangkaian, noise, dan kemungkinan
tidak diterimanya sinyal akibat perbedaan level tegangan [4]. Menurut Robert Bell dalam [5], banyak aplikasi
memerlukan isolasi ground antara suplai tegangan yang digunakan. Hal ini untuk menghindari terjadinya noise
akibat ground loop [4,5,6].
2. Optical Isolation
Isolasi secara optik merupakan metoda yang paling banyak digunakan untuk menggabungkan sinyal dijital [4]. Opto
isolator, yaitu kombinasi dari LED dan photo transistor dalam satu paket kemasan, sehingga hanya cahaya dari LED
di dalamnya yang akan mempengaruhi photo transistor [6, 7], seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Prinsip rangkaian opto isolator [7]


Divais optik merupakan komponen yang paling banyak digunakan untuk menghubungkan sinyal melewati hambatan
yang berpotensi tinggi dan sinyal level rendah yang dapat mengakibatkan interferensi elektrik akibat perbedaan
E-5

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

potensial ground [4]. Isolasi memiliki kelebihan lain, yaitu: peralatan/komponen dapat beroperasi pada beda level
tegangan atau mengambang di atas tegangan 0 Vdc [6].
Menurut Abhijit D. Pathak [8], untuk men-drive sisi tinggi dari MOSFET atau IGBT dapat dilakukan dengan
berbagai topologi, salah satunya dengan menggunakan optocoupler. Lebih lanjut Venkateswaran dalam
penelitiannya [9] menjelaskan optocoupler sangat bagus dalam menyalurkan sinyal kendali atau data dijital baik itu
ON ataupun OFF. Kelebihan penggunaan komponen ini antara lain:
Memiliki kemampuan mengisolasi tegangan tinggi.
Sinyal masukan hingga mencapai ordo MHz, dapat ditangani oleh optocoupler.
Sangat mudah dihubungkan dengan mikro komputer atau komponen pengendali lainnya, bahkan komponen
terintegrasi yang menghasilkan sinyal pulse width modulation (PWM).
Kelemahan optocoupler adalah adanya tundaan dalam operasinya [8], walaupun hal ini dapat diabaikan bila waktu
respon masih dapat memenuhi kebutuhan operasi komponen aktuator. Hal lainnya adalah diperlukannya tambahan
suplai daya terpisah antara bagian masukan dan keluaran dari optocoupler.

Hasil dan Perancangan


Perancangan terhadap rangkaian driver disusun atas 4 bagian, yaitu rangkaian driver untuk solenoid valve, rangkaian
driver untuk high pressure pump, rangkaian driver untuk injektor elektronik, dan rangkaian isolator untuk pengaman
beda level antara ECU dan aktuator.
1. Rangkaian driver solenoid valve
Aktuator solenoid valve bekerja berdasarkan perubahan tekanan pada commonrail. Sinyal yang diberikan oleh
sistem kendali berupa pulse width modulation (PWM), sehingga diperlukan komponen yang mampu bekerja pada
frekuensi tinggi. Gambar 4 menunjukkan rangkaian driver untuk solenoid valve yang dirancang. MOSFET N
Channel M1 terhubung pada bagian D ke kaki solenoid valve, sementara kaki lainnya terhubung ke VBAT. R6
terhubung ke G M1, yang berfungsi membatasi tegangan/arus yang masuk ke G M1. Sebuah resistor R8 diperlukan
sebagai pull down, untuk memastikan sinyal low yang melewati G M1 adalah ground. Sebuah transistor Q1 bekerja
untuk memberikan tegangan 12 Vdc dan 0 Vdc pada gerbang G M1.

Gambar 4. Rangkaian driver untuk solenoid valve


Prinsip kerja dari rangkaian ini adalah ketika tidak ada tegangan (0 Vdc) di kaki basis Q1, maka transistor akan ON
dan mengalami saturasi. Hal ini akan mengakibatkan tegangan 0 Vdc akan mengalir ke G M1, sehingga MOSFET
M1 dalam keadaan OFF dan solenoid valve tidak bekerja. Bila kaki basis Q1 diberi tegangan ~5 Vdc, maka
transistor Q1 akan OFF dan mengalami cut-off. Ketika kondisi ini, arus dari tegangan 12Vdc akan mengalir ke R5
dan R6 sehingga gerbang G M1 akan mendapat logika high. Hal ini akan mengakibatkan M1 menjadi ON (saturasi)
dan solenoid valve menerima ground untuk dapat bekerja.
2. Rangkaian driver high pressure pump
Komponen aktuator dari high pressure pump bekerja secara konstan bila sistem terhubung ke suplai, dan tidak akan
berubah-ubah selama kondisi operasi motor bakar. Kebutuhan arus sebesar ~4A dapat dipenuhi dengan
menggunakan komponen relay. Gambar 5 menunjukkan rancangan rangkaian driver untuk high pressure pump.
Transistor Q3 terhubung ke relay pada kaki collector (C), sementara kaki relay lainnya terhubung langsung ke
12Vdc. Sebuah resistor R17 terhubung ke kaki basis Q3 sebagai resistor pull down untuk menjaga level tegangan

E-6

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

0Vdc pada kaki basis. Relay akan bekerja jika Q3 ON atau mengalami saturasi, yaitu ketika basis Q3 menerima
tegangan 5Vdc. Sebaliknya, relay tidak akan bekerja jika Q3 OFF atau mengalami cut-off, yatu ketika basis Q3
menerima tegangan 0Vdc.

Gambar 5. Rangkaian driver untuk high pressure pump


3. Rangkaian driver electronic injector
Injektor elektronik bekerja berdasarkan sinyal dari ECU. Waktu injeksi setiap siklus motor bakar yaitu ketika
terjadinya kompresi di ruang bakar, biasa disebut saat piston mencapai titik mati atas (TMA). Lama injeksi pada
sistem diatur oleh ECU sesuai kebutuhan pengoperasian. MOSFET pada bagian ini digunakan untuk memenuhi
kebutuhan arus dan tegangan injektor yang cukup besar. Berdasar Tabel 1, kebutuhan arus injektor mencapai ~7A
ketika berada pada putaran di atas 700rpm.
MOSFET M3 terhubung dengan kaki injektor di gerbang D, sedangkan kaki injektor lainnya terhubung langsung ke
sumber tegangan VBAT. Dua buah resistor, kaki lainnya masing-masing R14 terhubung ke kaki collector Q2 dan
R16 terhubung ke ground, terhubung ke gerbang G M3. R16 berfungsi sebagai pull down, yakni untuk memastikan
level tegangan 0Vdc pada masukkan gerbang G. Sebuah transistor Q2 dipasang untuk memberikan tegangan dan
arus yang diperlukan MOSFET. R12 berfungsi sebagai pull-up, yakni memastikan level tegangan 12Vdc pada Q2.
Koneksi dari masing-masing komponen pada rangkaian driver untuk electronic injector ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Rangkaian driver untuk electronic injector


Prinsip kerja rangkaian driver electronic injector sama dengan operasi pada rangkaian driver solenoid valve. Hal ini
karena injektor elektronik bekerja berdasar lilitan solenoid pada sistem elektro mekaniknya. Perbedaan yang
diterapkan ada pada sinyal kendalinya, yaitu injektor bekerja berdasar sinyal 0 dan 1, dan tidak menggunakan
metoda PWM.
4. Rangkaian isolator
Isolasi dijital diperlukan untuk menghindari interferensi dan noise akibat beda level ground. Sebuah keping
terintegrasi optocoupler digunakan sebagai penghubung sinyal kendali dari ECU ke MOSFET pada rangkaian
elektronika daya. Kaki basis pada transistor di OPTO2 terhubung ke R10 dan R15, sedangkan kaki emitter
terhubung ke kontrol enable. Kaki collector memberikan sinyal dengan tegangan dan arus yang lebih kuat untuk
mengaktifkan rangkaian driver. Pada bagian masukan OPTO2, kaki anoda dari LED terhubung langsung ke 5Vdc
E-7

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

yang juga merupakan tegangan kerja dari ECU, sementara kaki katoda LED terhubung dengan pembagi level arus
dan tegangan R9. Kaki R9 lainnya terhubung dengan sinyal kendali pada ECU. Gambar 7 menunjukkan rangkaian
isolator driver yang dirancang.

Gambar 7. Rangkaian isolator driver


Prinsip kerja dari rangkaian isolator ini yaitu ketika ECU memberikan sinyal kendali low pada kaki R9, maka LED
akan ON dan mengaktifkan basis transistor. Hal ini akan memicu transistor dalam kondisi ON dan mengalami
saturasi, yang berakibat kaki collector pada transistor akan berada pada level 0Vdc. Sebaliknya bila ECU
memberikan sinyal kendali high pada kaki R9, maka LED akan OFF dan basis transistor tidak menerima sinyal
aktivasi. Hal ini mengakibatkan transistor berada pada kondisi OFF atau cut-off, sehingga kaki collector pada
transistor berada pada level tidak 0Vdc. Keluaran ini nantinya digunakan untuk mengoperasikan transistor di
rangkaian elektronika daya.
Pengujian secara terintegrasi dilakukan untuk mengetahui kinerja rangkaian driver dalam memenuhi kebutuhan
tegangan dan arus pada masing-masing aktuator. Pengukuran ditetapkan pada titik masukkan pada optocoupler atau
keluaran sinyal ECU dan gerbang drain (D) pada MOSFET. Hasil pengukuran pada pengujian secara terintegrasi
ditunjukkan pada Gambar 8, 9 dan 10.

Sinyal ECU Injektor 2


Sinyal ECU Injektor 1
Sinyal Trigger 1
Sinyal Trigger 2

Gambar 8. Pengukuran sinyal keluaran ECU


Sinyal trigger 1 dan 2 pada Gambar 8 menunjukkan posisi piston sedang berada pada titik mati atas (TMA) untuk
masing-masing silinder. Proses injeksi bahan bakar berlangsung ketika siklus kompresi berlangsung, yaitu saat piston
menuju TMA. Sinyal ECU injektor merupakan sinyal yang masuk ke rangkaian opto isolator, sedangkan sinyal aktivasi
injektor adalah sinyal yang menunjukkan kondisi saklar pada MOSFET. Ketika sinyal ECU injektor 1 pada gambar 8
berada di posisi low, maka sinyal tersebut akan diteruskan hingga diperoleh pengukuran sinyal aktivasi injektor 1
berada pada logika low. Hal ini menandakan MOSFET dalam keadaan saturasi atau ON, sehingga injektor akan aktif
dan menyemprotkan bahan bakar.
E-8

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Sinyal aktivasi injektor 2


Sinyal aktivasi Injektor 1
Sinyal Trigger 1
Sinyal Trigger 2

Gambar 9. Pengukuran sinyal aktivasi injektor

Sinyal ECU Injektor 2


Sinyal ECU Injektor 1
Sinyal Trigger 1
Sinyal Trigger 2

Gambar 10. Interferensi yang terjadi akibat ground loop


Gambar 9 menunjukkan sinyal aktivasi injektor yang terukur sesuai dengan sinyal yang diberikan ECU untuk injeksi
pada Gambar 8. Hal ini membuktikan bahwa rangkaian driver mampu bekerja sesuai operasi yang diberikan oleh ECU.
Rangkaian isolator yang diimplementasikan dalam rangkaian driver ini memiliki kemampuan untuk menghindari
adanya interferensi akibat ground loop seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Kesimpulan
Perancangan rangkaian driver terisolasi untuk injector, solenoid valve dan high pressure pump telah dilakukan.
MOSFET digunakan sebagai komponen elektronika daya yang bekerja sebagai saklar dijital, sedangkan optocoupler
digunakan sebagai isolator antara sinyal keluaran dari ECU dan sinyal elektronika daya. Hasil pengujian menunjukkan
MOSFET mampu memberikan tegangan dan arus yang diperlukan masing-masing komponen untuk dapat bekerja pada
kondisi operasinya. Penggunaan metoda PWM maupun sinyal kendali non PWM mampu diatasi oleh rangkaian driver.
Sinyal kendali dapat diterima secara baik melalui jembatan isolator optocoupler tanpa adanya losses dan interferensi.
Untuk isolasi yang baik, penggunaan suplai tegangan terpisah dianjurkan guna menghindari adanya interferensi akibat
ground loop yang disebabkan adanya perbedaan level ground pada rangkaian.

Ucapan Terima Kasih


Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Bambang Susanto dan Mulia Pratama, rekan-rekan di laboratorium
motor bakar P2 Telimek, para peneliti di Bidang Peralatan Transportasi, serta LIPI atas pembiayaan riset melalui
kegiatan Kompetitif 2012. Terima kasih kepada panitia penyelenggara Seminar Nasional Teknoin 2012 atas dimuatnya
makalah ini.

E-9

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Daftar Pustaka
[1] Aam Muharam, Pengembangan HCCI Stage-3 (Quad-Injection) pada Diesel Engine untuk Aplikasi Pembangkit
Skala Kecil (10KVA) Berbasis Bahan Bakar Bioethanol, Proposal Kegiatan Program Kompetitif Tahun
Anggaran 2012, P2Telimek-LIPI, 2011.
[2] Hans-Jrg Bullinger, Technology Guide: Principles Applications Trends. Berlin: Springer, 2009.
[3] Ned Mohan, Power Electronics: a First Course. USA: John Wiley & Son, 2012
[4] Anonym, Data Acquisition Handbook: a Reference for DAQ and Analog & Digital Signal Conditioning. USA:
Measurement Computing, 2012.
[5] Robert Bell, Feedback techniques for crossing the isolation boundary, Power Designer, vol. 101, National
Semiconductor Corporation, 2004.
[6] Jon Titus, Isolate Digital Signals, Too, Design News, pp. 40, August 2007
[7] Ian R. Sinclair And John Dunton, Practical Electronics Handbook Sixth Edition. Elsevier, 2007.
[8] Abhijit D. Pathak, MOSFET/IGBT Drivers: Theory And Applications, IXYS Semiconductor GmbH, Germany,
2001.
[9] P. Venkateswaran, Anil Kumar, Prasenjit Mondal, Supriya Dhabal, and R. Nandi, A Novel Opto-isolation
Technique for the I2C Bus for Glitch Elimination in an Industrial Environment, International Journal of Recent
Trends in Engineering, vol. 2, no. 8, pp. 27-29, November 2009.

E-10

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Perancangan Alat Bantu Pada Pembuatan Tin Ball19 Untuk Industri Timah
Achmad Sambas, M.T.1) , Oyok Yudiyanto, MT 2)
Jurusan Teknik Pengecoran Logam, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung 1,2)
Jl. Kanayakan No. 21 Dago, Bandung 40135
Telp: 022-2500241, Fax: 022-2509314
E-mail: sambas.achmad@gmail.com1)
E-mail: kang_oyok@yahoo.co.id2)
Abstrak
Industri timah dewasa ini sudah membuat banyak produk berupa ingot maupun produk
bentukan. Salah satu produk bentukan dari industri timah adalah berupa tinball19. Namun
proses pembuatan yang dilakukan masih sangat sederhana, dan kecepatan produksi masih
lambat, dengan demikian perlu perbaikan atau modifikasi alat bantu sederhana yang dapat
mempermudah dan mempercepat proses produksi. Perbaikan yang akan dilakukan ialah
modifikasi pada design bentuk dan pada mekanisme proses pemotongan. Dimana tuntutan yang
harus dipenuhi yaitu efisiensi dan produktivitas pada jumlah produk yang dibuat. Dari hasil
rancangan, kemudian dibuat simulasi proses, analisa kecepatan proses dan jumlah produk.
Diharapkan dari hasil perancangan proses tersebut akan diperoleh efisiensi dan produktivitas
dalam pembuatan produk tinball19, serta dapat digunakan/ diterapkan untuk produksi yang
berjumlah besar.
Kata kunci: timah, tinball, sprue, cavity, dies, design.
Pendahuluan
Tinball 19 merupakan produk berupa bola berbahan timah dengan ukuran diameter 19 mm. Produk tersebut diproses
dengan cara penuangan timah cair ke dalam dies, kemudian beberapa saat setelah membeku, produk dikeluarkan dari
dalam dies lalu setelah dingin (pada temperatur kamar) dilakukan pemotongan untuk memisahkan antara sprue
(saluran) dengan produknya (tinball). Pemotongan dilakukan secara manual dengan sebuah tang/gunting pemotong,
langkah proses pembuatan terlihat pada terlihat pada gambar 1.

d
Gambar 11. proses pembuatan tinball19

E-11

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Proses secara keseluruhan sebagai berikut dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini:

Peleburan/Pencairan Timah

Pengecoran

Pengeluaran

Pemotongan
Gambar 2. Langkah proses pembuatan pinball19

Proses Peleburan/ Pencairan Timah; adalah proses peleburan/ pencairan Timah dari kondisi padat hingga mencair,
dengan menggunakan tanur/dapur krusibel kapasitas 1 ton, ditunjukkan pada Gambar 1a.
Proses Pengecoran ; Proses menuangkan Timah yang telah mencair ke dalam dies (cetakan ) dan dibiarkan beberapa
saat hingga membeku, ditunjukkan pada Gambar 1a.
Proses Pengeluaran ; Proses mengeluarkan coran timah yang telah membeku dari dies (cetakan), yang mana coran
tersebut masih terdiri dari produk tinball yang masih bersatu dengan sprue (saluran masuk), ditunjukkan pada Gambar
1b.
Proses Pemotongan ; Proses memisahkan antara produk tinball dengan sprue (saluran masuk) secara manual dengan
menggunakan tang pemotong. Ditunjukkan pada Gambar 1c. Hasil dari proses pemotongan diperoleh produk tinball
yang sudah bersih dari sprue (saluran masuk), ditunjukkan pada Gambar 1d.
Yang menjadi fokus permasalahan dititik beratkan pada proses Pemotongan yang masih bersifat sangat tradisional
dan padat karya. Pada proses ini dalam satu line produksi diperlukan 2 orang operator. Untuk mempercepat proses perlu
dirancang alat bantu sederhana yang dapat memudahkan dalam proses sehingga produktivitas bisa meningkat.

Metodologi Penelitian
Pembuatan rancangan alat bantu dimulai dengan melakukan perhitungan gaya pemotongan yang terjadi pada dies,
perancangan bentuk dies, perancangan mekanisme pemotongan serta perancangan konstruksi dudukan dies.
Perancangan dibantu dengan software solidworks 2010, sehingga dalam pembuatannya relatif lebih cepat dan
mendekati perhitungan yang tepat. Gambar 3. Menunjukkan diagram alir proses perancangan.
Mulai
Observasi Proses
Pembuatan Konsep

Perancangan
Tidak
Sesuai ?
Ya
Selesai
Gambar 3. Diagram alir perancangan

E-12

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Hasil dan Perancangan


Konsep Perancangan
Konsep Perancangan adalah merancang alat bantu sederhana yang dapat memperpendek proses tersebut diatas dengan
cara menggabungkan antara proses pengecoran, proses pengeluaran dan proses pemotongan menjadi satu langkah
proses. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara modifikasi pada dies menjadi 2 bagian dan dipasang lengan/ tuas.
Proses secara keseluruhan sebagai berikut dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini:
Peleburan/Pencairan Timah

Pengecoran

Pemotongan

Pengeluaran
Gambar 4. Rancangan proses pembuatan tinball19

Proses Pengecoran ; Proses menuangkan Timah yang telah mencair ke dalam dies (cetakan ) dan dibiarkan beberapa
saat hingga membeku, dilanjutkan dengan Proses Pemotongan. Dies dirancang menjadi 2 belahan, yaitu dies atas dan
dies bawah, masing-masing ditambah lengan untuk memegang dan melakukan proses berikutnya.
Proses Pemotongan ; Proses memisahkan antara produk tinball dengan sprue (saluran masuk) secara geseran dengan
menggeserkan dies atas dan dies bawah, sehingga terjadi proses pemotongan..
Proses Pengeluaran ; Proses mengeluarkan produk tinball yang yang sudah bersih dari sprue (saluran masuk) dari dies
(cetakan), dengan cara membuka dies bawah, kemudian membuka dies atas untuk mengeluarkan sprue (saluran masuk).

Analisa Gaya
Gaya yang diperlukan dalam Proses Pemotongan untuk memisahkan antara produk tinball dengan sprue (saluran
masuk) adalah gaya geser. Analisa kekuatan yang dilakukan melalui pendekatan analisa gaya yang terjadi pada baut
atau paku keling. Persamaan sederhana (1) yang digunakan sebagai berikut:

P
gaya N
atau
A
luas m 2

(1)

Untuk mempermudah dan mempercepat proses perancangan dibantu dengan bantuan simulasi Software Solid work
versi 2010.

Gambar 5. Simulasi analisa Gaya

E-13

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 5. menunjukkan hasil simulasi Solidwork berupa distribusi tegangan dan besar gaya geser untuk memotong
bagian antara produk tinball dengan sprue . Tegangan maksimum yang terjadi pada titik kritis sebesar 2,9 N/mm2,
sehingga cukup untuk mematahkan timah tersebut.
Didalam simulasi, sifat fisik material Timah sudah terdefinisi seperti yang tercantum dalam tabel 1. Kekuatan Geser
(Shear strength) material timah SN 100 sebesar 2560 Psi (= 17,7 N/mm2 ).
Pada temperatur 150 oC 200 oC, kekuatannya turun hingga seperenamnya, sehingga shear strength-nya menjadi
sekitar 2,89 N/mm2. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil simulasi. Gaya yang dibutuhkan untuk memotong penampang
berdiameter 3mm adalah sebesar 20N.
Tabel 2. Sifat fisik material timah

Total gaya yang dibutuhkan untuk 8 cavity adalah 8 x 20N = 160 N, atau sekitar 16 kg gaya tangan untuk pemotongan
timah pada alat tersebut. Dengan bentuk konstruksi yang terbagi menjadi 2 serta adanya lengan yang berfungsi sebagai
tuas, maka gaya tangan terdistribusi menjadi @ 4 kg. Artinya alat bantu tersebut bisa dioperasikan manual dengan
kekuatan tangan operator.

Gambar 6. Dies dengan cavity 8 buah pinball19


Gambar 6. Menunjukkan dies dengan 8 buah cavity tinball19 dimodifikasi dengan lengan/ tuas. Tuas tersebut berfungsi
untuk memotong dan membuka dies.

E-14

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Rancangan alat bantu dan Langkah Proses


.

d
Gambar 7. Rancangan alat dan Proses

Gambar 7a, menunjukkan rancangan dies dengan 8 buah cavity tinball19, dimodifikasi dengan menggunakan lengan/
tuas. Gambar 7b. dies dengan 8 buah cavity tinball19 dipasang pada meja kerja.
Langkah proses sebagai berikut:
Proses Pengecoran ; Proses menuangkan Timah yang telah mencair ke dalam dies (cetakan ) dan dibiarkan beberapa
saat hingga membeku, ditunjukkan pada gambar 7b.
Proses Pemotongan ; Proses memisahkan antara produk tinball dengan sprue (saluran masuk) dengan cara menggeser
dies bagian atas, sehingga terjadi proses pemotongan, ditunjukkan pada gambar 7c.
Proses Pengeluaran ; Proses mengeluarkan produk tinball yang yang sudah bersih dari sprue (saluran masuk) dari dies
(cetakan), dengan cara membuka dies bawah, kemudian membuka dies atas untuk mengeluarkan sprue, ditunjukkan
pada gambar 7d.

Produktivitas
Untuk mengetahui produktivitas dari alat bantu tersebut, maka dilakukan pengukuran jumlah produksi untuk
dibandingkan dengan proses sebelumnya. Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara proses lama dengan rancangan
proses baru terhadap jumlah operator dan jumlah produk.
Tabel 2. Perbandingan proses
Proses Lama
Peleburan
Pengecoran
Pengeluaran
Break
Pemotongan

Jml Operator

Jml produk/siklus

Proses Baru
Peleburan
Pengecoran
Pemotongan
Pengeluaran

Jml Operator

Jml produk/siklus

1
8

Dari perbandingan proses tersebut, rancangan baru menghasilkan 8 produk dalam sekali siklus dengan satu orang
operator. Terbukti bahwa rancangan baru lebih produktif dan lebih efisien.

E-15

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 8. Rancangan lengkap dengan meja.


Gambar 8. Menunjukkan rancangan lengkap antara dies dengan 8 buah cavity tinball19 dipasang pada meja kerja. Yang
mana rancangan tersebut dioperasikan untuk kondisi operator dengan posisi berdiri.

Kesimpulan
Dengan perancangan alat bantu sederhana tersebut, maka diharapkan alat tersebut dapat diaplikasikan dan dapat dipakai
untuk meningkatkan produktivitas dalam pembuatan tinball19. Secara tidak langsung diharapkan dapat mendukung
tumbuhnya industri pengecoran logam timah skala industri kecil menengah di Indonesia, yang memperhatikan faktorfaktor biaya, mutu dan waktu sehingga dapat bersaing dipasar lokal maupun internasional.

Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]

Ullman David , Mechanical Design Process Third ed, Mc Graw Hills 2004..
Shigley E Joseph, Mechanical Engineering Design Mc Graw Hills 2004.
Collins Jack, Design of Machine Elements and Machines, John Willey & Son 2003.
Beeley,P ; Foundry Technology, Butterworth Heineman, Oxford 2001.

E-16

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Kedalaman Potong terhadap Batas Stabilitas Chatter pada Proses Bubut Arah
Putaran Spindle Clockwise dan Counter Clockwise
Agus Susanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri, Institut Teknologi Adhitama Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim No. 100 Surabaya
Telepon (031) 5945043

E-mail : teman_email@yahoo.co.id
Abstrak
Chatter merupakan getaran eksitasi diri, dimana amplitude getaran tidak lagi linier terhadap
kenaikan kedalaman potong, melainkan naik secara eksponensial saat proses pemotongan
berlangsung. Chatter memberikan efek buruk pada akurasi dimensi, kualitas akhir permukaan,
mempercepat keausan pahat bahkan terjadi patah dini, serta menurunkan efisiensi operasi
pemotongan. Chatter harus dihindari, diantaranya dengan meningkatkan stabilitas mesin
perkakas atau mengetahui batas stabilitas proses pemotongan.
Penelitian dilakukan pada proses bubut arah putaran spindle clockwise (cw) dan counter
clockwise (ccw) dilihat dari head stock. Bendakerja yang digunakan adalah Mild Steel ST 41,
38.1 mm, panjang bebas pencekaman 150 mm, dan panjang pencekaman 50 mm. Pahat yang
digunakan HSS, sudut potong utama (r) 45. Perangkat penelitian yang digunakan untuk
mengetahui sifat dinamik saat proses pemotongan terjadi. Eksperimen diawali dengan uji
eksitasi untuk mengetahui frekuensi pribadi dan nilai koherensi bendakerja, setelah itu
dilakukan uji pemotongan untuk mengetahui pengaruh kedalaman potong kritis (alim) sebelum
terjadi chatter, (alim) ini disebut dengan batas stabilitas chatter.
Hasil penelitian yang dikerjakan menggunakan bantuan software Mathcad dan Sigmaplot
diketahui frekuensi, amplitude dan kedalaman potong kritis (alim) masing-masing yaitu 229 Hz,
3,814 mm/s2, dan 1,75 mm untuk putaran cw dan 268 Hz, 4,1431 mm/s2, dan 1 mm untuk
putaran ccw.
Kata Kunci: chatter, proses bubut, kedalaman potong kritis, clockwise, counter clockwise
1. Pendahuluan
Getaran dalam bidang dinamika mesin perkakas dapat dibagi menjadi tiga jenis, getaran bebas (free vibration), getaran
paksa (forced vibration), dan getaran terekstitasi diri (self-excited vibration) dimana self-excited vibration juga disebut
chatter [1]. Chatter adalah getaran yang amplitude-nya naik secara ekponensial pada saat proses pemotongan dengan
kedalaman tertentu dan terjadi pada daerah tidak stabil.Amplitude yang diijinkan pada proses pemesinan menggunakan
mesin perkakas harus tidak lebih dari 2.5 mm/s2 [2]. Chatter tidak boleh terjadi dan pada saat proses pemotongan
sedang berlangsung harus dalam keadaan stabil [3], karena chatter bersifat merugikan, diantaranya menurunkan kualitas
permukaan, mengurangi tingkat kepresisian dimensi bendakerja, menyebabkan pahat mudah aus bahkan terjadi patah
dini, dan dapat mengakibatkan kerusakan mesin atau poros [4], oleh karena itu perlu diketahui batas kritis pemotongan
(alim) dan daerah tidak stabil sehingga dapat digunakan untuk memprediksi dan menghindari terjadinya chatter.
Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi batas stabilitas chatter dengan mengetahui alim yang dianalisa secara
simulasi menggunakan Software Mathcad kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen.

2.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini berusaha membandingkan antara hasil simulasi dengan eksperimen. Simulasi dibangun dari
persamaan getaran menggunakan satu derajat kebebasan (SDoF) pada proses turning. Analisis SDOF untuk
menganalisa terjadinya chatter banyak dilakukan oleh para peneliti, diantara Insperger dan Stepan [5], Kebdani [6].
Pada eksperimen terdiri-dari dua pengujian, (a) uji eksitasi seperti yang dilakukan Chang [7] (Gambar 1.a) untuk
mengetahui frekuensi pribadi (natural frequency), nilai koherensi dan (b) uji pemotongan (Gambar 1.b) untuk
mengetahui alim. Parameter pemesinan tertera pada Tabel 1.

E-17

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Simulasi
Gambar 2 menunjukkan model matematis sistem getaran paksa SDoF. Apabila sistem tersebut berosilasi karena
pengaruh gaya luar (F(t)) maka sistem tersebut dikatakan mengalami getaran paksa (forced vibration) yang
mengakibatkan displacement (x(t)) terhadap fungsi waktu.

(a)

(b)

Gambar 1. Rangkaian peralatan eksperimen; (a) uji eksitasi dan (b) uji pemotongan

Variabel
Benda kerja

Pahat potong
Putaran spindle
Feeding
Kedalaman potong
Arah putaran spindle
Kondisi pemotongan
Tipe proses bubut

Tabel 1. Parameter Pemesinan


Set-up
Mild Stell ST 41
38.1 mm (1.5 inchi)
Panjang bebas cekam 150 mm,
Panjang pencekaman 50 mm
HSS, r 45o
260 rpm
0.056 mm/putaran
Ditambah dengan step 0.25 mm hingga terjadi chatter
cw dan ccw
dry machining
straight turning

Gambar 2. Model matematis SDoF [8]


Sistem getaran ini dapat diterangkan secara teoritis dengan menggunakan kesetimbangan gaya yang bekerja.
(1)
Fi + Fc +Fk = F(t)
Defleksi (x) dapat dideferensialkan menjadi kecepatan dan percepatan, dengan menyimbolkan notasi titik maka
diperoleh
(2)
m&x& + cx& + k&x& = F (t )
dengan asumsi bahwa getaran yang terjadi harmonik, maka:
(3)
x = x(t ) eit , x = i x(t ) eit, x = -2 x(t ) eit ...
i

t
dan gaya eksitasi F(t) = F(t)e

E-18

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Substitusi ke persamaan (2) dan (3) diperoleh:

{- m

+ ir + k x(t )e it = F(t )e it

(4)
dimana karakteristik dinamik sistem getaran ditentukan dari hubungan input (gaya eksitasi)-output (displacement)
sebagai fungsi transfer (H(i )).
x(t )
output atau
(5)
H (i) =
fungsi transfer =
F (t )
input
Subtitusi persamaan (4) dan (5) didapat
e it
H (i) =
2
{- m + ir + k}e it

1
- m + ir + k

H (i) =

(6)

dikalikan dengan 1 m , didapat


1

H (i) =

m
- 2 + ir

(7)
m

karena

m
k

= 02 dan r

= 2 D 0 serta mengalikan persamaan (7) dengan

k maka diperoleh
1
0

H (i) =

2
1-

02

k
+ 2iD

(8)

diubah untuk penyederhanaan dengan = , maka


0

H(i) =

k
1 - 2 + 2iD

(9)

dikalikan dengan bilangan kompleks konjugasinya diperoleh


1

1 + 2 + 2iD
k
.
1 - + 2iD 1 + 2 + 2iD
i
1
(2 D )
(1 - 2 )
k
k

H(i) =
2
(1 - 2 ) + 4 D 2 2 (1 2 )2 + 4 D 2 2

H(i) =

dimana fungsi transfer getaran ini terdiri-dari:


Nilai real (real value)
Re {G ( )} =

1
(1 - 2 )

2
2
2
2
k 1 -
+ 4 D

dan nilai imajiner (imaginer value)

i
k

(2 D )

= I m {H ( )}
2
1 2 + 4 D 2 2

E-19

(10)

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

3.2. Model Matematis Regeneratif Chatter


Sistem getaran proses terjadinya chatter akibat efek regeneratif pada mesin perkakas dapat dimodelkan seperti gambar
berikut.

Gambar 3. Mekanisme chatter regeneratif [3]


Saat proses pemotongan berlangsung terjadi gelombang permukaan x(t) yang diakibatkan oleh getaran mesin M.
Pengaruh dari gelombang permukaan yang diakibatkan oleh proses pemotongan sebelumnya yaitu x0(t), terjadi
perubahan tebal geram sehingga terjadi pula perubahan gaya potong F(t) sebagai gaya eksitasi sistem getaran
pemotongan yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
(11)
F(t) = - b . u.[ x(t) - x0(t)]
dimana :
b = tebal geram
u = faktor arah modus getar yang tergantung dari kondisi pemotongan.
karena fungsi transfer dinyatakan seperti persamaan (5) yang terdiri-dari komponen real dan imajiner:
(12)
H (i) = Re{G ( )} + Im{G ( )}
Subtitusi persamaan (5) dan (11) menjadi
x(t )
(13)
H (i) =
b.u ( x0 (t ) x(t ))
Setelah dimodifikasi, diperoleh:
1
+ H (i)
x 0 (t ) b.u
=
x(t )
H (i)

(14)

jika = x0 (t ) agar perhitungan menjadi sederhana, maka


x(t )
1
+ Re{G ( )} + Im{G ( )}
b
(15)
= .u
Re{G ( )} + Im{G ( )}
Nilai b dan u adalah nilai positif real. Nilai komponen imajiner pada pembilang dan penyebut memiliki harga yang
sama, maka nilai ditentukan oleh komponen real saja, sehingga persamaan (15) dapat ditulis kembali menjadi,
1
+ Re{G ( )}
= br
Re{G ( )}

(16)

memiliki nilai 1 dan -1, jika = 1, maka persamaan 16 tidak memiliki arti fisik, jika nilai = -1 maka
mempunyai arti fisik, yaitu;

1
+ Re{G ( )}
b.u
= 1 atau
Re{G ( )}
1
(17)
b=
2.u. R e{G ( )}
Schmit memperjelas bahwa nilai b selain dipengaruhi oleh u, Re{G()} juga dipengaruhi oleh gaya potong spesifik
(Ks), sehingga persamaan menjadi
1
blim =
(18)
2.Ks.u. R e{G ( )}

E-20

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Factor arah modus getar (u) pada persamaan 18 adalah pergeseran sudut yang menyebabkan arah modus getar dari
pahat sebagai sistem yang mengeksitasi bendakerja berubah. Perubahan modus getar akibat pergeseran pahat relatif
tersebut dijelaskan oleh Koenigsberger seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 4. Perubahan modus getar akibat perubahan sudut orientasi pahat [3]
Berdasarkan gambar tersebut nampak jelas bahwa pada sudut 30o sudut modus getar (1) yang terbentuk antara bidang
normal Y dan arah modus getar (X) berubah menjadi (2) ketika sudut orientasi menjadi 120o. Perubahan besarnya
modus getar yang ditandai dengan perubahan besarnya sudut dari 1 menjadi 2 juga diterangkan oleh peneliti
sebelumnya, seperti Tlusly [9], Insperger [5].
Besarnya u dapat diketahui dari sistem pemotongan yang telah dijelaskan oleh para peneliti sebelumnya. Tlusty
menjelaskan kondisi pemotongan dan arah modus getar pada proses bubut arah clockwise sebagai berikut.

(a)

(b)

Gambar 5. Faktor arah modus getar menurut; (a) Tlusly [9], (b) Koenigsberger [3]
Berdasarkan gambar tersebut, maka dapat dicari faktor arah modus getar sebagai berikut.
cos =

y
x

cos( ) =

(19)
x
F

(20)

hasil subtitusi persamaan 19 dan 20 adalah


y
= cos . cos( )
F
dimana

y
= u maka,
F

(21)
u = cos . cos( )
Proses pemotongan pada eksperimen ini mempunyai
u = cos 0 o. cos(45 o 0 o )
o
o
u = 0.7071 , dimana adalah sudut orientasi antara pahat dan bendakerja = 0 dan = r = 45 , sehingga grafik
semulasi real receptance didapat.

E-21

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 6. Grafik simulasi u.Re{G()}


Berdasarkan grafik diatas ditemukan nilai u, Re{G()} dan frekuensi yang digunakan untuk menentukan nilai batas
stabilitas chatter secara simulasi berdasar persamaan 18, sehingga
1
blim =
2.2100.(3.5723.10 -4 )
= 1.3330 mm
atau
(Rochim) [10]
a lim = blim . sin r
a lim = 1.333. sin 45 o
= 0,942 mm
dengan,
Ks
= 2100 N/mm2
u.R{G()}
= 3.5723.10-4

(Schmit & Smith) [8]

3.3. Hasil Eksperimen


Hasil uji eksitasi ditunjukkan pada Gambar 7a dan b, dimana diperoleh frekuensi pribadi bendakerja untuk arah
horizontal 235 Hz dan vertical 268 Hz artinya getaran chatter akan dianalisa pada frekuensi ini. Nilai koherensi
menunjukkan derajat linieritas dua variabel bernilai 0.99 untuk arah horizontal dan 0.96 untuk vertical disajikan pada
Gambar 8a dan b. Nilai koherensi ini dipakai karena mendekati nilai sempurna yaitu 1 dan peneliti sebelumnya yaitu
Chang juga menggunakan nilai koherensi 0.95 [7].

(a)

(b)

Gambar 7. Grafik FRF uji eksitasi bendakerja: (a) arah horizontal dam (b) vertikal

(a)

(b)

Gambar 8. Grafik nilai faktor koherensi pada uji eksitasi arah: (a) horinsontal dan (b) vertikal

E-22

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

(a)

(b)

Gambar 9. Variasi amplitude getaran akibat variasi kedalaman potong pada putaran: (a) cw dan (b) ccw
Uji pemotongan dilakukan untuk mengetahui batas stabilitas chatter, yaitu mencari besarnya kedalaman potong kritis
(alim). Hasil uji pemotogan diplot menggunakan diagram waterfall, seperti terlihat pada Gambar 9. Diagram waterfall
tersebut menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kestabilan setiap kedalaman potong tertentu, baik cw maupun ccw.
Pada daerah pemotongan stabil, amplitude getaran linier terhadap kenaikan kedalaman potong, hal ini disebabkan oleh
sistem mesin perkakas masih mampu meredam getaran yang timbul sehingga amplitude tidak mencapai ambang batas
yaitu 2.5 m/s2, namun mulai memasuki daerah tidak stabil terjadi lonjakan amplitude getaran secara tiba-tiba, kondisi
inilah yang disebut dengan chatter.
Gambar 10b menunjukkan bahwa, pada kedalaman potong 0.25 sampai 1 mm proses pemotongan masih stabil, dimana
amplitude getaran masih linier terhadap kenaikan kedalaman potong, akan tetapi pada saat kedalaman potong 1.25 mm
terjadi ketidakstabilan proses pemotongan dimana terjadi kenaikan amplitude getaran secara tiba-tiba sebesar 3.4 kali
dari sebelumnya dengan frekuensi 268 Hz dengan aplitude 4.1431 m/s2sehingga pada kedalam 1 mm disebut sebagai
kedalaman potong kritis (alim).
Hasil simulasi dengan eksperimen arah pemotongan ccw menunjukkan hasil yang cenderung sama yaitu untuk simulasi
alim = 0.942 mm sedangkan alim eksperimen ccw = 1 mm. Namun berbeda dengan alim eksperimen pemotongan arah cw
yaitu 1.75 mm, artinya cukup jauh perbedaannya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya proses pemotongan
arah cw lebih stabil karena system pemotongan masih dapat menyerap getaran hingga amplitude yang terjadi tidak
melewati ambang batas getaran mesin perkakas, seperti ketetapan Dimarogonas 2.5 m/s2 [2]. Suzuki ketika meneliti
stabilitas chatter pada proses bubut plung cutting juga menemukan hal yang sama, yaitu pemotongan arah cw lebih
stabil daripada ccw [11].

Pengaruh Kedalaman Potong terhadap Stabilitas Pemotongan


Perbedaan kedalaman potong (a) yang akan menyebabkan perbedaan lebar gram (b) sehingga menyebabkan perbedaan
gaya potong (F) (gaya eksitasi). Perbedaan gaya potong ini akan menyebabkan terjadinya perbedaan stabilitas.
Persamaan yang menggunakan pemotongan miring (oblique cutting) seperti pada penelitian ini penentuan gaya potong
didekati dengan pemotongan orthogonal karena cukup sulit menentukan gaya potong pada pemotongan miring. Rochim
[10] dan Schmitz & Smith [8] memperkirakan gaya potong oblique cutting sebagai berikut.
(22)
F = Ks.A
dimana,
F = gaya potong total pada pemotongan logam
Ks = gaya potong spesifik.
A = penampang geram

E-23

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

nilai A = b.h
dengan nilai b =

f
a
dan h =
[10]
sin r
sin r

sehingga persamaan gaya potong sekarang adalah


a
f
(23)
.
sin r sin r
Sehingga dari persamaan tersebut kedalaman potong (a) akan menyebabkan perbedaan gaya potong sebagai eksitasi
system getaran pada proses turning.
F = Ks.

4. Kesimpulan
Hasil simulasi dengan eksperimen pada proses turning arah ccw menunjukkan hasil yang mendekati sama yaitu alim
hasil simulasi menunjukkan 0.924 mm sedangkan dan alim hasil eksperimen menunjukkan 1 mm. Namun, berbeda
dengan arah cw yang menunjukkan 1.75 mm.

5. Daftar Acuan
[1]
[2]
[3]
[4]

Boothroyd, G., Fundamentals of Machining and Machine Tools. Marcel Dekker, Inc., 1989.
Dimarogonas, D.A., Vibration for Engineers. Prentice-Hal, Inc., 1992.
Koenigsberger, F. & Tlusty, J., Machine Tool Structures Volume 1. Pergamon Press, England, 1970.
Xiao, M., Karube, S., Soutome, T., Sato, K. (2002). Analysis of chatter suppression in vibration cutting,
International Journal of Machine Tools & Manufacture, Vol. 42, hal. 16771685.
[5]
Insperger, T dan Stepan, G. (2002). Chatter Suppression of Turning Process VI-A Periodic Modulation of the
Spindle Speed a 1 DoF Analysis, Proceeding of third on Conference Mechanical Engineering, Eds.: (tidak ada),
Budapest University of Technology and Economics, hal. 720-724.
[6] Kebdani, S., Sahli, A., Rahmani, O., Boutchiha, D., Berlabi, A. (2008). Analysis of Chatter Stability in Facing,
Journal of Applied Sciences 8, No. 11, hal. 2050-2058.
[7]
Chang, S.H., Kim, P.J., Lee, D.G., dan Choib, J.K., (2001). Steel-Composite Hybrid Headstock for High
Precision Grinding Machine, Journal Composite Structures, Elsevier Science. Vol. 53, hal. 1-8.
[8] Schmitz, Tony L dan Smith, Kevin S., Machining Dynamics Frequency Response to Improved Productivity.
Springer Science Business Media, LLC. 2009.
[9] Tlusty, J. (1986). Dynamics of High-Speed Milling, Journal of Engineering for Industry-ASME. Vol. 108/59.
hal 59-67.
[10] Rochim, Taufiq. Teori dan Teknologi Proses Pemesinan. Laboratorium Teknik Produksi Jurusan Teknik Mesin
FTIITB, Bandung. 1993.
[11] Suzuki, N., Nishimura, K., Shamoto, E. (2010). Effect of Cross Transfer Function on Chatter Stability in Plunge
Cutting, Journal of Advanced Mechanical Design, System, and Manufacturing. Vol. 4. No. 5. hal. 883-891.

E-24

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Studi Eksperimen Penentuan Batas Stabilitas Chatter pada Proses Bubut Arah Putaran
Spindle Counter Clockwise
Agus Susanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Industri, Institut Teknologi Adhitama Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim No. 100 Surabaya
Telepon (031) 5945043

E-mail : teman_email@yahoo.co.id
Abstrak
Chatter merupakan getaran eksitasi diri, dimana amplitude getaran tidak lagi linier terhadap
kenaikan kedalaman potong, melainkan naik secara eksponensial saat proses pemotongan
berlangsung. Chatter memberikan efek buruk pada akurasi dimensi, kualitas akhir permukaan,
mempercepat keausan pahat bahkan terjadi patah dini, dan menurunkan efisiensi operasi
pemotongan. Chatter harus dihindari, diantaranya dengan meningkatkan stabilitas mesin
perkakas atau mengetahui batas stabilitas proses pemotongan.
Penelitian dilakukan dengan memodifikasi tool post dan tool positioning, sehingga sudut
orientasi antara pahat dan bendakerja dapat divariasikan, yaitu 0hingga 180 dengan step
30. Proses bubut dilakukan pada arah putaran bendakerja counter clockwise dilihat dari head
stock. Eksperimen diawali dengan uji eksitasi untuk mengetahui frekuensi pribadi, nilai
koherensi bendakerja dan uji pemotongan untuk mengetahui pengaruh kedalaman potong kritis
(alim) sebelum terjadi chatter, alim ini disebut batas stabilitas chatter.
Hasil penelitian yang dikerjakan menggunakan bantuan software Mathcad dan Sigmaplot
menunjukkan bahwa stabilitas tertinggi terdapat pada sudut orientasi 30o, alim = 4.25 mm dan
terendah pada 150o , alim = 0.2 mm. Perubahan sudut orientasi proses bubut dari proses bubut
normal (konvensional) menjadi 30o dapat meningkatkan stabilitas pemotongan sebesar 4.25
kali.
Kata Kunci: chatter, proses bubut, kedalaman potong, counter clockwise, amplitude
1. Pendahuluan
Getaran dalam bidang dinamika mesin perkakas dapat dibagi menjadi tiga jenis, getaran bebas (free vibration), getaran
paksa (forced vibration), dan getaran terekstitasi diri (self-excited vibration), disebut juga sebagai chatter [1]. Chatter
adalah getaran yang amplitude-nya naik secara ekponensial pada saat proses pemotongan dengan kedalaman tertentu
dan terjadi pada daerah tidak stabil. Chatter tidak boleh terjadi dan pada saat proses pemotongan sedang berlangsung
harus dalam keadaan stabil [2], karena chatter bersifat merugikan, diantaranya menurunkan kualitas akhir permukaan
pemesinan, mengurangi tingkat kepresisian dimensi bendakerja, menyebabkan pahat mudah aus bahkan terjadi patah
dini, dan dapat mengakibatkan kerusakan mesin atau poros [3], oleh karena itu perlu diketahui batas stabilitas chatter
sehingga dapat digunakan untuk memprediksi dan menghindari terjadinya chatter. Banyak penelitian berkaitan tentang
kasus stabilitas chatter pada proses bubut. Knight mengungkapkan bahwa dengan meningkatkan laju pemakanan (feed
rate) akan menghasilkan penurunan tingkat kestabilan (mudah terjadi chatter) [4]. Clancy dan Shin berusaha
mengeliminasi dan mengetahui model chatter pada face turning, dimana model digunakan untuk menghitung dampak
keausan pahat pinggul (flank wear) serta menentukan batas stabil kondisi berbagai pemotongan berdasarkan teori
prediktif dibandingkan hasil eksperimental [5]. Lin berusaha menemukan kondisi optimal untuk menghasilkan surface
roughness yang baik pada bendakerja austenitic stainless steel, penelitian ini menyarankan tingkat feed rate yang ideal
adalah 0.04-0.06 mm/rev [6]. Suhardjono meneliti pengaruh kecepatan potong terhadap getaran hingga terjadi chatter
[7]. Suzuki meneliti stabilitas chatter pada proses plunge cutting dengan arah proses bubut clockwise dan counter
clockwise menemukan bahwa lebar pemotongan kritis (blim) pada pemotongan arah cw dan ccw secara signifikan
terdapat perbedaan, tingkat stabilitas pemotongan arah cw lebih stabil daripada ccw [8]. Semua penelitian tersebut
menggunakan proses pemotongan normal yang artinya orientasi bendakerja dan pahat terletak pada proses bubut yang
konvensional, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tempat yang lebih stabil pada proses bubut
sehingga memungkinkan dilakukan pemotongan tidak seperti kondisi normal. Proses bubut tidak pada kondisi normal
juga pernah dilakukan oleh Koenigsberger dan Tlusty serta mengungkapkan teori bahwa tingkat kestabilan yang tinggi

E-25

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

pada saat proses bubut juga ditentukan oleh sudut orientasi antara pahat dan bendakerja dalam arti penempatan relatif
pahat pada tool post mesin bubut terhadap bendakerja yang dicekam [2].

2. Chatter Regenerative
Sistem getaran proses terjadinya chatter akibat efek regeneratif pada mesin perkakas dapat dimodelkan seperti gambar
berikut.

Gambar 10.

Mekanisme chatter regeneratif [3]

Saat proses pemotongan berlangsung terjadi gelombang permukaan x(t) yang diakibatkan oleh getaran mesin M.
Pengaruh dari gelombang permukaan yang diakibatkan oleh proses pemotongan sebelumnya yaitu x0(t), terjadi
perubahan tebal geram sehingga terjadi pula perubahan gaya potong F(t) sebagai gaya eksitasi sistem getaran
pemotongan yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
(1)
F(t) = - b . u.[ x(t) - x0(t)]
dimana :
b = tebal geram
u = faktor arah modus getar yang tergantung dari kondisi pemotongan.
Karakteristik dinamik sistem getaran ditentukan dari hubungan input (gaya eksitasi)-output (displacement) sebagai
fungsi transfer (H(i)).
x(t )
output atau
(2)
H (i) =
fungsi transfer =
F (t )
input
Sistem getaran mesin juga merupakan fungsi transfer yang terdiri-dari nilai real dan imajiner:

H (i) = Re{G ( )} + Im{G ( )}

Subtitusi persamaan (1) dan persamaan (2) menjadi

H (i) =

x(t )
b.u ( x0 (t ) x(t ))

(3)

Setelah dimodifikasi, diperoleh:


1
+ H (i)
x 0 (t ) b.u
=
x(t )
H (i)

(4)

jika = x0 (t ) agar perhitungan menjadi sederhana, maka


x(t )
1
+ Re{G ( )} + Im{G ( )}
(5)
= b.u
Re{G ( )} + Im{G ( )}
Nilai b dan u adalah nilai positif real. Nilai komponen imajiner pada pembilang dan penyebut memiliki harga yang
sama, maka nilai ditentukan oleh komponen real saja, sehingga persamaan (5) dapat ditulis kembali menjadi,
1
+ Re{G ( )}
br
=
Re{G ( )}

memiliki nilai 1 dan -1, jika = 1, maka persamaan 6 tidak memiliki arti fisik karena hasilnya

(6)

1
= 0 , jika nilai
br

= -1 maka mempunyai arti fisik, yaitu;


b=

1
2.u. R e{G ( )}

E-26

(7)

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9
Schmit [9], Serra [10] memperjelas bahwa nilai b selain dipengaruhi oleh u, Re{G()} juga dipengaruhi oleh gaya
potong spesifik (Ks), sehingga persamaan (7) menjadi
1
blim =
(8)
2.Ks.u. R e{G ( )}
Faktor arah modus getar (u) pada persamaan (8) adalah pergeseran sudut yang menyebabkan arah modus getar dari
pahat sebagai sistem yang mengeksitasi bendakerja berubah. Perubahan modus getar akibat pergeseran pahat relatif
tersebut dijelaskan oleh Koenigsberger seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 11.

Perubahan modus getar akibat perubahan sudut orientasi pahat [2]

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa pada sudut 30o sudut modus getar (1) yang terbentuk antara bidang normal
Y dan arah modus getar (X) berubah menjadi (2) ketika sudut orientasi menjadi 120o. Perubahan besarnya modus getar
yang ditandai dengan perubahan besarnya sudut dari 1 menjadi 2 juga diterangkan oleh peneliti sebelumnya, seperti
Tlusly [11]. Besarnya u dapat diketahui dari sistem pemotongan yang telah dijelaskan oleh para peneliti sebelumnya.

(a)
Gambar 12.

(b)

Faktor arah modus getar menurut; (a) Tlusly [11], (b) Koenigsberger [2]

Berdasarkan gambar tersebut, maka dapat dicari faktor arah modus getar sebagai berikut.

cos =

y
x

dan cos( ) =

x
F

(9)

hasil subtitusi persamaan (9) adalah

y
y
= cos . cos( ) , dimana = u
F
F

maka,

u = cos . cos( )

(10)

dimana adalah sudut orientasi antara pahat dan bendakerja = 0o dan = r = 45o

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat bantu yang ditempatkan pada mesin bubut. Hal ini dilakukan agar sesuai dengan tujuan
eksperimen. Alat bantu tersebut adalah tool post (Gambar 4a) yang berguna untuk mencekam pahat. Tool post di-clamp
pada dinding penempat posisi tool post (disebut tool positioning Gambar 4b), sehingga sudut orientasi antara pahat dan
bendakerja dapat divariasikan dari 0 hingga 180 dengan step 30. Arah putaran spindle mesin adalah counter
clockwise (ccw) dilihat dari head stock. Proses bubut seperti yang terlihat pada Gambar 5a menunjukkan proses bubut
normal (konvensional) dimana pahat tidak mengalami perubahan posisi, dan Gambar 5b merupakan proses bubut
eksperimen. Terlihat pahat yang terpasang pada tool post berubah posisi sesuai dengan variasi sudut orientasi pada tool
positioning. Pengujian dilakukan dengan dua cara yaitu uji eksitasi (Gambar 6a) untuk mengetahui frekuensi pribadi
(natural frequency) dan uji pemotongan (Gambar 6b) untuk mengetahui batas stabilitas chatter. Parameter pemesinan

E-27

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

dilakukan seperti yang tertera pada Tabel 1. dan proses bubut dilakukan dengan penambahan kedalaman potong 0.25
mm secara konstan hingga terjadi chatter.

(a)

(b)

Gambar 13. (a) Tool post dan (b) tool positioning

(a)
(b)
Gambar 14. Tipe proses bubut; (a) normal dan (b) eksperimen

Gambar 15. Rangkaian peralatan eksperimen; (a) uji eksitasi dan (b) uji pemotongan
Tabel 2. Parameter pemesinan
Variabel
Benda kerja

Pahat potong
Putaran spindle
Feeding
Kedalaman potong
Arah putaran spindle
Kondisi pemotongan
Tipe proses bubut

Set-up
Mild Stell ST 41
38.1 mm (1.5 inchi)
Panjang bebas pencekaman 150 mm, Panjang pencekaman 50 mm
HSS, r 45o
260 rpm
0.056 mm/putaran
Ditambah dengan step 0.25 mm hingga terjadi chatter
counter clockwise (ccw)
Pemotongan tanpa coolant (dry machining)
Proses bubut lurus (straight turning)

4. Hasil dan Pembahasan


Pengujian getaran diukur menggunakan software Picoschop diolah menggunakan software Mathcad dan Sigmaplot.
Hasil uji eksitasi ditunjukkan pada Gambar 7 dimana diperoleh frekuensi pribadi bendakerja untuk arah horizontal 235
Hz dan vertical 268 Hz artinya getaran chatter akan dianalisa pada frekuensi ini. Nilai koherensi (Gambar 8) yang
menunjukkan derajat linieritas dua variabel menunjukkan nilai 0.99 untuk arah horizontal dan 0.96 untuk vertical. Nilai
koherensi ini dipakai karena mendekati nilai sempurna yaitu 1 dan peneliti sebelumnya yaitu Chang [12] menggunakan
nilai koherensi 0.95. Hasil uji pemotogan diplot menggunakan diagram waterfall sebanyak 7 diagram, seperti terlihat
E-28

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

pada Gambar 9 untuk sudut orientasi 0, Gambar 10: a, b, c, d, e, dan f masing-masing untuk sudut orientasi 30, 60,
90, 120, 150, dan 180. Diagram waterfall tersebut secara umum menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
kestabilan pada setiap sudut orientasi pemotongan. Pada daerah pemotongan stabil, amplitude getaran linier terhadap
kenaikan kedalaman potong, hal ini disebabkan oleh sistem mesin perkakas masih mampu meredam getaran yang
timbul, namun mulai memasuki daerah tidak stabil terjadilah lonjakan amplitude getaran secara eksponensial, kondisi
inilah yang disebut dengan chatter. Hal ini terlihat pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa, pada kedalaman potong
0.25 sampai 1 mm proses pemotongan masih stabil, dimana amplitude getaran masih linier terhadap kenaikan
kedalaman potong, akan tetapi pada saat kedalaman potong 1.25 mm terjadi ketidakstabilan proses pemotongan dimana
terjadi kenaikan amplitude getaran sebesar 3.4 kali dari sebelumnya dengan frekuensi 260 Hz sehingga pada kedalam 1
mm disebut sebagai kedalaman potong kritis (alim), begitu juga dengan Gambar 10. Data hasil uji pemotongan
selengkapnya pada Tabel 2 serta diperlihatkan salah satu foto hasil eksperimen karena terjadi chatter.

(a)
(b)
Gambar 16. Grafik Fungsi Respon Frekuensi (FRF) uji eksitasi arah (a) horizontal dan (b) vertikal

(a)
(b)
Gambar 17. Grafik nilai faktor koherensi uji eksitasi arah (a) horizontal dan (b) vertikal

Gambar 18. Variasi amplitude getaran akibat variasi kedalaman potong sudut orientasi 0

(a)

(b)
E-29

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

(c)

(d)

(e)

(f)
Gambar 19. Variasi amplitude getaran akibat variasi kedalaman potong pada sudut orientasi; (a) 30, (b) 60, (c)
90, (d) 120, (e) 130, dan (f) 180
Tabel 3. Data pemotongan pengaruh kedalaman potong terhadap stabilitas chatter
Sudut

30

60

Kedalaman
Potong (mm)
0.25
0.5
0.75
1
1.25
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75
2
2.25
2.5
2.75
3
3.25
3.5
3.75
4
4.25
4.5
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5

Amplitudo
(mm/s2)
0.0463
0.1286
0.1538
0.1756
4.1431
0.0737
0.1143
0.1661
0.1787
0.1896
0.1977
0.1986
0.2062
0.2071
0.2123
0.2137
0.2176
0.2219
0.2453
0.2468
0.2573
0.2597
19.25
0.0932
0.1432
0.1673
0.1682
0.2651
0.2947

Frekuensi
Chatter (Hz)

Sudut

260
90

120

150

180
338

Kedalaman
Potong (mm)
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75
2
2.25
2.5
2.75
0.25
0.5
0.75
1
1.25
0.1
0.2
0.25
0.25
0.5
0.75
1

Keterangan
: Batas stabilitas chatter

E-30

Amplitudo
(mm/s2)
0.0262
0.1539
0.1904
0.2011
0.2177
0.3279
0.3711
0.3746
0.4947
0.6741
16.36
0.0431
0.0462
0.1951
0.5882
13.18
0.0374
0.0966
8.665
0.0298
0.0727
0.0987
6.91

Frekuensi
Chatter (Hz)

298

282

236

260

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 20. Grafik Re{G()} untuk sudut orientasi 0o


Dari Tabel 2. baris yang diarsir adalah batas kedalaman potong (alim) dimana setelah kedalaman potong yang diarsir
amplitude getaran naik melebihi batas amplitude yang diijinkan pada mesin perkakas yaitu 2.5 m/s2 [12] dan dinyatakan
bahwa proses pemotongan dalam kondisi tidak stabil (terjadi chatter).
Jika dibandingkan dengan hasil simulasi dengan merujuk pada pada Gambar 11dan menggunakan persamaan (8) maka
nilai blim dapat diketahui seperti pada Tabel 3. Perbandingan kurva antara hasil eksperimen dengan simulasi ditunjukkan
pada Gambar 12.
Tabel 4. Perhitungan nilai blim
Sudut Orientasi
0o
30o
60o
90o
120o
150o
180o

u.R{G()}
3.5723.10-4
1.8637. 10-4
2.2557. 10-4
3.5723. 10-4
3.5723.10-4
4.7619. 10-4
2.7827. 10-4

blim
1.3330
2.5550
2.1111
5.0000
1.3330
1.0000
1.7112

Gambar 21. Grafik perbandingan stabilitas teoritis dan hasil eksperimen sudut orientasi 0-180
Pada umumnya bentuk grafik mirip, akan tetapi terdapat perbedaan tingkat stabilitas pada sudut orientasi tertentu, yaitu
secara simulasi tingkat kestabilan terbaik adalah pada sudut orientasi 45o dan 90o, akan tetapi hasil eksperimen
menunjukkan tingkat stabilitas terbaik yaitu pada sudut orientasi 30o dan 90o. Perbedaan grafik tersebut disebabkan
setiap mesin perkakas mempunyai karakteristik tersendiri yang akan mempengaruhi kestabilan proses pemotongan.
Temuan yang cukup penting adalah stabilitas hasil eksperimen untuk pemotongan arah spindle ccw terbesar pada sudut
30o yaitu pada kedalaman potong kritis 4.25 mm dan batas stabilitas terendah terletak pada sudut orientasi 150o yaitu

E-31

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

pada kedalaman potong kritis 0.2 mm, sehingga terjadi perbedaan batas stabilitas sebesar 21 kali. Jika sudut orientasi
30o dibandingkan dengan proses bubut normal (konvensional) yaitu pada sudut 0o maka tingkat stabilitas proses
pemotongan akan meningkat menjadi 4.25 kali.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
a. Frekuensi chatter, dan kedalaman potong kritis pada setiap perubahan sudut orientasi pada proses bubut arah putaran
counter clockwise.
b. Perubahan sudut orientasi proses bubut dari proses bubut konvensional (sudut orientasi 0o) menjadi 30o dapat
meningkatkan stabilitas proses pemotongan menjadi 4.25 kali.

6. Daftar Pustaka
[1] Boothroyd, G. (1989). Fundamentals of Machining and Machine Tools, Marcel Dekker, Inc.
[2] Koenigsberger, F. and J. Tlusty, (1970). Machine Tool Structures Volume 1. Pergamon Press, England.
[3] Xiao, M., Karube, S., Soutome, T., Sato, K. (2002). Analysis of chatter suppression in vibration cutting,
International Journal of Machine Tools & Manufacture, Vol. 42, hal. 16771685.
[4] Knight, W.A. (1972). Chatter in Turning: Some Effects of Tool Geometry and Cutting Conditions, International
Journal Machine Tool, Vol. 12, hal. 201-220.
[5] Clancy, B.E. dan Shin, Y.C. (2002). A Comprehensive Chatter Prediction Model For Face Turning Operation
Including Tool Wear Effect. International Journal of Machine Tools & Manufacture. Vol. 42, hal. 10351044.
[6] Lin, W.S. (2008). The Study of High Speed Fine Turning of Austenitic Stainless Steel. Journal of Achievements
in Materials and Manufacturing Engineering, Vol. 27, hal 191-194.
[7] Suhardjono (2003). Pengaruh Sudut Potong Utama terhadap Getaran dan Kekasaran Permukaan Hasil Proses Bubut
dengan Pencekaman Chuck Tanpa Penumpu Tailstock. The International Conference on Fluid Thermal Energy
Conversion (FTEC) 2003 Authors Guide.
[8] Suzuki, N., Nishimura, K., Shamoto, E. (2010). Effect of Cross Transfer Function on Chatter Stability in Plunge
Cutting, Journal of Advanced Mechanical Design, System, and Manufacturing. Vol. 4. No. 5. hal. 883-891.
[9] Schmitz, Tony L dan Smith, Kevin S., Machining Dynamics Frequency Response to Improved Productivity.
Springer Science Business Media, LLC. 2009.
[10] Serra, R., Chibane, H., Leroy, R. Dynamic Characterization of the Cutting Condition in Dry Turning. Journal of
Physics: Conference Series 181 (2009) 012025. 2009.
[11] Tlusty, J. (1986). Dynamics of High-Speed Milling, Journal of Engineering for Industry-ASME. Vol. 108/59. hal
59-67.
[12] Dimarogonas, D.A., Vibration for Engineers. Prentice-Hal, Inc., 1992.
[13] Chang, S.H., Kim, P.J., Lee, D.G., dan Choib, J.K., (2001). Steel-Composite Hybrid Headstock for High Precision
Grinding Machine, Journal Composite Structures, Elsevier Science. Vol. 53, hal. 1-8.

E-32

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

E-33

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Perancangan dan Pembuatan Load Cell Untuk Alat Uji Tekan, Bending dan Geser Sampel
Blok Rem Komposit Kereta Api
Agus Triono1,2), IGN Wiratmaja Puja2), Satryo Soemantri B.2)
1
Jurusan Teknik Mesin Universitas Jember,
Jl. Slamet Riyadi no. 62 Jember
Phone/Fax : 0331- 410243
2
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung
Email: agustriono1@gmail.com1)
Abstrak
Untuk mendapatkan karakteristik mekanik dari blok rem komposit kereta api, perlu dilakukan
beberapa uji seperti uji bending, tekan dan geser. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan
universal test machine dengan terlebih dahulu membuat dudukan yang sesuai dengan sampel
uji. Pada penelitian ini ukuran sampel yang diuji berukuran cukup kecil yaitu 100 mm x 15 mm
x 10 mm untuk uji bending, 25 mm x 12,5 mm x 12,5 mm untuk uji tekan dan 30 mm x 30 mm
x 6 mm untuk uji geser. Proses pengujian dilakukan secara terus menerus hingga diperoleh
sampel dengan karakteristik mekanik yang sesuai dengan strandar yang ditetapkan. Dikarenakan
prosedur pengujian memerlukan waktu pemasangan, setting serta pengambilan data yang
berulang-ulang, maka keberadaan mesin uji yang sederhana serta kompak akan memudahkan
peneliti dalam melakukan pengujian. Pada penelitian ini dilakukan perancangan dan pembuatan
load cell untuk alat uji tersebut. Beban maksimum yang dapat diterima oleh load cell adalah 2,5
ton. Beban yang diterima oleh load cell akan diteruskan ke data akusisi yang selanjutnya
dihubungkan ke komputer untuk diolah lebih lanjut menggunakan program LabView. Proses
pengambilan data dilakukan secara real time sehingga memudahkan peneliti dalam mengolah
dan menampilkan hasil pengujian.
Kata kunci: load cell, alat, uji, tekan, bending, geser.
Pendahuluan
Blok rem merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam sistem pengereman kereta api. Blok rem kereta
api selama ini dipenuhi oleh dua macam yaitu blok rem metalik dan blok rem komposit. Dikarenakan beberapa
kelebihan yang dimilikinya, blok rem komposit lebih diutamakan daripada blok rem metalik. Beberapa kelebihan
tersebut antara lain, lebih ringan, mudah dipasang, umur pakai lebih lama dan tidak mudah dicuri. Hanya saja selama ini
blok rem komposit masih impor. Produk lokal yang pernah dibuat belum mampu memenuhi kriteria yang ditetapkan
oleh PT Kereta Api Indonesia. Untuk itu penelitian tentang blok rem komposit haruslah terus dilakukan agar produk
lokal dapat segera menggantikan produk impor. Pada penelitian ini, load cell untuk alat uji bending, geser dan tekan
sederhana blok rem komposit telah berhasil dibuat. Load cell ini akan sangat berperan dalam penentuan beban yang
diterima sampel selama proses pengujian.
Tinjauan Pustaka
Material Komposit
Komposit merupakan kombinasi dari beberapa elemen material yang berbeda komposisi dan bentuknya dalam skala
makroskopik (Robert M.,1995). Sebagai perpaduan beberapa elemen material, komposit dapat menghasilkan sifatsifat
material yang lebih baik daripada material penyusunnya, antara lain:

Kekuatan

Umur fatigue

Kekakuan

Berat

Ketahanan terhadap korosi

Isolasi termal

Tahan aus

Konduktivitas termal

Ketahanan panas

Isolasi akustik

E-34

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Robert M (1995) mengklasifikasikan material komposit berdasarkan tipe, geometri, dan orientasi dari material
penguat. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut,

Gambar 1. Skema klasifikasi komposit


Untuk aplikasi rem, material penyusun rem komposit pada dasarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan
fungsinya menjadi komponen dasar penyusun blok rem yaitu (Nicholson, 1990):
Material Abrasif
Friction Modifier
Material Pengikat (binder)
Penguat (reinforcement)
Material Pengisi (filler)

Pengembangan Blok Rem Komposit


Proses desain yang dilakuka menggunakan metode seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 2. Metode desain


Pengembangan material dimulai dengan mengumpulkan seluruh informasi mengenai material komposit

E-35

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

khususnya material komposit partikulat untuk material gesek. Seluruh data material dan kegunaannya bagi material
komposit rem dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Ketersediaan material di dalam negeri merupakan kriteria
selanjutnya dalam pemilihan material untuk memenuhi fungsi tertentu. Studi banding dilakukan dengan
membandingkan data material yang diperoleh dengan hasil karakterisasi material rem komposit impor yang telah
digunakan di dalam negeri. Dalam tahap awal, sampel pengujian dibuat terlebih dahulu agar dapat diperkirakan
parameter yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Pembuatan Sampel Uji Tekan


Pengujian ini disesuaikan dengan standar ASTM D695. Ukuran sampel yang digunakan dalam pengujian ini
adalah 15mm x 15m x 25mm.

Gambar 3. Spesimen uji tekan


Langkah-langkah pengujian :
1. Siapkan spesimen tekan yang sudah dilakukan kontrol kualitas
2. Ukur dimensi spesimen
3. Timbang berat spesimen
4. Lakukan pemotoan sebelum dan sesudah pengujian
5. Siapkan dan kondisikan alat uji tekan
6. Lakukan pengujian tekan
7. Simpan dan catat data pengujian
8. Simpan spesimen hasil uji

Pembuatan Sampel Uji Bending


Pengujian ini disesuaikan dengan standar ASTM D790. Ukuran sampel yang digunakan adalah 100 mm x 15
mm x 10 mm. Pengujian bending dilakukan untuk mengetahui kekuatan lentur dan modulus elastisitas dari spesimen
rem blok komposit. Pengujian yang dilakukan dengan menumpu spesimen pada dua titik serta memberikan beban pada
bagian tengah spesimen /tree point bending.

Gambar 4. Tumpuan dan pembebanan pada pengujian bending


Langkah-langkah pengujian :
1. Siapkan spesimen bending yang sudah dilakukan kontrol kualitas
2. Ukur dimensi spesimen
3. Lakukan pemotoan sebelum dan sesudah pengujian
4. Siapkan dan kondisikan alat uji bending
5. Lakukan pengujian bending
6. Simpan dan catat data pengujian
7. Simpan spesimen hasil uji

Pembuatan Sampel Uji Geser


Pengujian ini disesuaikan dengan standar ASTM D732. Ukuran sampel yang digunakan adalah 30 mm x 30
mm x 6 mm. Pengujian dilakukan untuk mengetahui shear strength dari material blok komposit. Pengujian dilakukan
E-36

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

sesuai dengan standar ASTM D732 . Orientasi spesimen uji diambil sejajar dengan permukaan gesek blok rem
komposit. Spesimen pengujian ketahanan geser memiliki dimensi 50 mm x 50 mm x 6 mm. specimen uji tersebut
kemudian akan ditekan menggunakan punch dengan diameter 1 inch. Tekanan yang diberikan pada punch
mengakibatkan tagangan geser pada spesimen. Tekanan maksimum yang menyebabkan spesimen gagal digunakan
untuk menghitung ketahana geser material blok rem.

Gambar 5. Spesimen uji ketahanan geser


Langkah-langkah pengujian:
1. Siapkan spesimen geser yang sudah dilakukan kontrol kualitas
2. Ukur dimensi spesimen
3. Lakukan pemotoan sebelum dan sesudah pengujian
4. Siapkan dan kondisikan alat uji geser
5. Lakukan pengujian geser
6. Simpan dan catat data pengujian
7. Simpan spesimen hasil uji

Perancangan Load Cell dan Pemilihan Strain Gauge


Load Cell dirancang dengan bantuan software Inventor kemudian dianalisis dengan program ANSYS. Dimensi
loadcell divariasikan untuk mendapatkan ukuran yang optimal. Bahan yang dipergunakan adalah bahan alumunium
alloy ( Dural ).

Gambar 6. Rancangan Load Cell


Karakteristik strain gauge yang digunaka adalah sebagai berikut,

Gambar 7. Karakteristik strain gauge yang digunakan

E-37

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil dan Analisis


Dimensi Load Cell divariasikan agar didapat dimensi yang optimal. Berikut hasil analisis menggunakan
software ANSYS.

Tegangan

Tegangan vs diameter dalam (


beban = 2.5 TON )
selected

5,00E+08
0,00E+00
0

10

20

tanpa sf
30

diameter dalam

Gambar 8. Analisis Load Cell menggunakan software ANSYS


Dari analisis ANSYS diperoleh hasil yang optimal sebagi berikut,
Diameter dalam
= 32 mm ( t = 5 mm )
Tegangan maks
= 49 Mpa (sf = 0 ), 123 Mpa ( sf = 2.5)
Yield strength
= 280 Mpa
Deformasi maks
= 3.9 m

Pemasangan Strain Gauge


Strain gauge dipasang pada empat titik yang berseberangan agar pembacaan data lebih akurat.

Gambar 9. Pemasangan strain gauge pada load cell

Kalibrasi Load Cell


Load Cell yang sudah dibuat perlu dikalibrasi agar dapat dipergunakan dalam pengujian.

Gambar 10. Kalibrasi Load Cell

E-38

40

yield
sf=2.5

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Aplikasi Pengujian
Setelah Load Cell dikalibrasi, Load Cell ditempatkan pada alat uji tekan dan diaplikasikan.

Gambar11. Aplikasi Load Cell pada pengujian

Pengolahan Data
Hasil pembacaan strain gauge diteruskan ke data akusisi yang terhubung dengan komputer. Perubahan regangan pada
strain gauge akibat beban yang diterima ditangkap sebagai perubahan tegangan yang selanjutnya oleh program LabView
diolah sebagai sinyal analog untuk dimunculkan grafik perubahannya.

Gambar 12. Pengolahan data hasil pembacaan strain gauge menggunakan program LabView

Kesimpulan
1.

Load Cell berbentuk silindris berlubang dengan ketebalan bagian tengah lebih tipis dibandingkan bagian atas
dan bawah dapat dipergunakan sebagai sensor pembaca beban pada alat uji tekan, geser dan bending
sederhana. Untuk beban maksimal 2,5 ton dan asumsi safety factor sebesar 2.5, diameter dalam yang optimal
adalah sebesdar 32 mm dengan ketebalan bagian tengah sebesar 5 mm.

2.

Pemasangan strain gauge pada empat sisi yang berseberangan memberikan hasil pembacaan yang lebih baik.

3.

Perubahan regangan pada load cell dapat diolah menjadi sinyal analog oleh program LabView untuk diolah
lebih lanjut dan ditampilkan dalam bentuk yang lebih representatif.

Daftar Pustaka
[1]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B, Pengaruh Ukuran Partikel Bahan Penyusun Rem
Komposit Terhadap Sifat Mekanik Material, Proceeding THE 2nd INTERNATIONAL CONFERENCE ON
THEORETICAL AND APPLIED PHYSICS (ICTAP-2012), 19-20 October 2012, Palangkaraya, Indonesia

E-39

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

[2]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B, Otomatisasi Uji Gesek Blok Rem Kereta Api
Menggunakan Program LabView, Prosiding Seminar Hasil Penelitian Mahasiswa Indonesia, Universitas Riau,
2012
[3]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B., Ridho Ezello, Pemanfaatan Serabut Kelapa Sebagai
Reinforcement Pada Pembuatan Rem Komposit, Prosiding Seminar Nasional Energi Terbarukan Dan Produksi
Bersih (Senter Probe), Universitas Lampung, 2012
[4]. Hilman S. Alam, IGN Wiratmaja Puja, Agus Triono, Penentuan Parameter Produksi Material Ramah Lingkungan
Untuk Aplikasi Kereta Api Menggunakan Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Penguat, Prosiding
Seminar Nasional, Universitas Udayana, Bali, 2012
[5]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B., Pengaruh Kecepatan Relatif dan Temperatur terhadap
Koefisien Gesek Blok Rem Komposit Kereta Api, Jurnal Teknik Mesin ITB, 2009
[6]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Sujudi S., Studi Komposisi Material Penyusun Blok Rem Komposit sebagi
upaya Mendukung Penerapan Green Technology, Prosiding Seminar Nasional TEKNOIN, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2010
[7]. Agus Triono, IGN Wirtamaja Puja, Budiarko A., Studi Perancangan dan Pembuatan Blok Rem Komposit untuk
Kereta Api, Prosiding Simposium Nasional Rekayasa Aplikasi Perencanaan dan Industri IX, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2010
[8]. Agus Triono, IGN Wiratmaja Puja, Sembiring H. Delanis, Studi Analisis Pengaruh Kekuatan Backing Plate
Blok Rem Komposit Kereta Api, Prosiding Seminar Nasional Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri,
ITENAS Bandung, 2010
[9]. Agus Triono Agus, IGN Wiratmaja Puja, Satryo Soemantri B., "Analisis Statis Kontak Pada Pemodelan Hip Joint
(Sendi Panggul), Prosiding Seminar Nasional RITREKA, UNIKA Atmajaya, Jakarta, 16 Juni 2010.
[10]. IGN Wiratmaja Puja. et al., Analisis Kegagalan dan Akar Penyebab Kerusakan Blok Rem Komposit Yang
Digunakan Di Divre III Sumatera Selatan, Laporan PT. GE, 2007.
[11]. LAPI-ITB, Laporan Studi Penelitian, Pengembangan dan Implementasi Material Komposit untuk Blok Rem
Kereta Api, 2006
[12]. SOP Pengujian Blok Rem Komposit Kereta Api, 2010
[13]. Laporan PT. GE, 2007, Analisis penggunaan Rem Komposit Untuk dan Pengaruhnya pada Roda Kereta Api untuk
Lintasan Pegunungan
[14]. Laporan PT. GE, 2007, Pengujian Blok Rem Komposit Kereta Api

E-40

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Perancangan Dan Pengujian Piranti Keselamatan Berkendara Impact Attenuator Pada


Mobil Student Formula 600 Cc Bimasakti-Ugm
Akmal Irfan Majid1), Ahmad Ghozi Arijuddin2), Budi Santoso3), IGB Budi Dharma4)
Program Studi Teknik Mesin, Jurusan Teknik Mesin dan Industri
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika 2, Kampus UGM, Yogyakarta,1,2,3,4)
Telepon/fax (0274) 521673
E-mail : ai_majid@yahoo.com1)
Abstrak
Dalam bidang otomotif faktor keselamatan menjadi hal utama yang patut diperhatikan
baik oleh konsumen maupun oleh produsennya. Diperlukan suatu piranti yang dapat
meningkatkan faktor keselamatan bagi kendaraan maupun pengemudinya, khususnya pada
mobil Student Formula, yang didesain sebagai mobil balap kelas mahasiswa yang mampu
menghasilkan performa maksimal. Melalui penelitian ini ditargetkan mampu menghasilkan
piranti penunjang keselamatan pada mobil student formula (berkapasitas mesin 600 cc) yaitu
Impact Attenuator (pengurang impact) yang memenuhi regulasi, mudah dalam proses
pembuatannya, serta mampu meredam energi sebesar >7350 Joule sesuai standar keselamatan
mobil student formula ini.
Penelitian dilakukan dengan membuat dan menguji 4 rancangan model impact attenuator
berbahan dasar plat aluminium dengan bentuk dan dimensi yang berbeda. Pengujian berupa
physical testing dengan metode quasi-static menggunakan mesin tekan (Shimadzu UTM Machine)
sehingga dapat diketahui total energi yang dapat diserap oleh impact attenuator sekaligus
mengukur defleksi anti-intrussion plate (dudukan impact attenuator) pada zona front bulkhead
(zona depan rangka) sehingga dapat lebih menjamin keselamatan pengendara.
Didapatkan hasil optimal dengan spesimen berbentuk balok plat aluminium berisi
poliurethane foam dengan dimensi 205mm x 205mm x 105mm yang mampu menyerap 7798 Joule,
defleksi plat 2,1 cm, peak deakselerasi yang dicapai 25,13 gs, dan bentuk yang mudah
dimanufakturisasi, sesuai dengan requirement regulasi Formula SAE International..Perancangan
dan pengujian ini sebagai salah satu komponen pendukung keselamatan mobil Student Formula
dalam kompetisi Formula SAE Japan yang nantinya diharapkan mampu berperan dalam
mendidik Sumber Daya Manusia, dalam mendukung kemandirian otomotif nasional.
Kata Kunci : Impact Attenuator, keselamatan, Student Formula, quasi-static test.
Pendahuluan
Seiring dengan meningkatnya teknologi di bidang otomotif, desain mobil berkecepatan tinggi pun kian
berkembang. Salah satu contohnya adalah pada mobil formula yang mempunyai karakteristik seperti single-seater, roda
berjumlah empat yang berada di luar body mobil, dan diperuntukkan untuk lomba kecepatan. Dewasa ini, kompetisikompetisi desain mobil formula banyak dijumpai mulai dari level tertinggi yang diselenggarakan oleh oleh FIA
(Federation Internationale de lAutomobile) yaitu Formula 1 (F-1), F3000, GP3, GP2, kompetisi formula oleh pabrikan:
Formula BMW, Formula Renault, kompetisi mobil formula antar negara A1-GP, bahkan pada tingkat mahasiswa.
Sebagai contoh adalah kompetisi Formula yang diselenggarakan oleh Society of Automotive Engineers (SAE) bernama
Student Formula SAE. Kompetisi ini diselenggarakan setiap tahun berdasarkan regional negara dan pesertanya
merupakan wakil dari tiap-tiap universitas pada regional tersebut.
Pada kompetisi ini tim dari univesitas tersebut dituntut untuk mampu mendesain dan membuat sebuah mobil
formula sendiri termasuk sebagian besar komponen pendukungnya. Salah satu komponen yang penting dalam
perancangan dan pembuatan mobil formula ini adalah impact attenuator. Komponen ini berada di depan mobil dan
berfungsi untuk meredam efek benturan dari depan sehingga dapat meningkatkan keselamatan pengemudinya.
Berdasarkan Formula SAE International Regulations 2012, kompetisi Formula SAE menetapkan beberapa
syarat-syarat dan spesifikasi dari impact attenuator yang harus terpasang pada mobil formula tersebut. Attenuator harus
terpasang pada konstruksi anti-intrussion plate yang termounting pada front bulkhead. Piranti impact attenuator
E-41

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

digunakan sebagai pelindung keselamatan pengemudi (driver) dan struktur depan rangka yang dimugkinkan terkena
gaya impact pada saat terjadi kecelakaan (tabrakan). Regulasi terpenting menyatakan piranti ini harus dapat menyerap
energi minimal sebesar 7350 Joule, yang dapat diuji melalui metode drop test ataupun quasi-static test untuk
mengetahui serapan energi tersebut.

Gambar 1. Konstruksi Umum Pemasangan Impact Attenuator pada Frame


(sumber : Enomoto H, et. al, 2007)
Keselamatan dalam dunia balap menjadi sebuah point utama yang patut diperhatikan dalam perancangan dan
dalam perlindungan keselamatan. Melihat studi kasus yang terjadi, dari data 10 Kecelakaan Formula 1 Terparah
menurut FIA selaku penyelenggara kompetisi Formula 1, didapatkan bahwa Ayrton Senna meninggal di GP San Marino
1994. Kecelakaan ini berkaitan dengan fenomena kecelakaan dikarenakan peristiwa tabrakan. Tragedi ini telah
mengubah pandangan FIA terhadap keselamatan di lingkup Formula 1. Gilles Villenuve pada 1982, Roland
Ratzenberger pada 1994, Elio de Angelis pada 1986 juga merupakan pembalap yang dinyatakan meninggal akibat
kecelakaan mobil Formula 1 yang disebabkan oleh peristiwa tabrakan. Melihat dari beberapa fenomena yang terjadi,
idealnya dalam setiap perancangan kendaraan sport berkecepatan tinggi dilengkapi pula dengan perancangan sebuah
piranti khusus yang dianggap dapat lebih menjamin keselamatan driver (pengendara) khususnya dan struktur mobil
pada umumnya.
Dalam mobil Student Formula ini memang dilengkapi oleh beberapa peralatan penunjang keselamatan, seperti
driver-suit, seat belt, helm, quick release steering, dan konstruksi impact attenuator. Penelitian ini lebih menyoroti
sistem sistem keselamatan yang dipengaruhi oleh adanya konstruksi impact attenuator, mengenai rancangan, energi,
dan defleksi yang diakibatkan. Ketiga poin tersebut menjadi parameter awal nantinya yang berkenaan dengan
keselamatan mobil Student Formula tersebut. Pada akhirnya, dalam penelitian ini akan membawa kepada perancangan
impact attenuator (mencakup: dimensi attenuator, maksimum defleksi anti-intrussion plate, serta pemilihan
material), proses pembuatan (manufaktur), pemasangan komponen, serta pengujian komponen (mencakup analisis
penyerapan energi, analisis defleksi, dan perlambatan yang terjadi). Berdasarkan paparan di atas, perlu adanya
penelitian dalam pelakukan produksi impact attenuator ini, mulai dari proses desain hingga pengujiannya sehingga
mampu dihasilkan sebuah impact attenuator yang sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Society of Automotive
Engineers (SAE). Piranti ini harus mengalami pengujian sehingga didapat hasil uji yang sesuai dengan regulasi
sehingga dapat dikatakan rancangan kendaraan aman.
Dalam perlombaan Student Formula SAE International mengacu kepada regulasi FSAE International Rules
yang memberikan standar bahwa Impact Attenuator harus mampu menyerap minimum energi sebesar 7350 Joule,
sehingga dikatakan aman dalam segi peredaman gaya impact. Gambaran tersebut akan nampak setelah adanya proses
pengujian. Dari gambaran persoalan tersebut akan didapatkan rumusan masalah yang dapat diteliti: Berapakah energi
yang dapat diserap oleh Impact Attenuator? Bagaimana wujud Impact Attenuator yang dapat menyerap energi lebih dari
7350 Joule? Berapakah defleksi yang dialami oleh anti-intrussion plate? Apakah kendaraan mobil Student Formula ini
dapat dikatakan cukup aman bagi pengendaranya dilihat dari faktor peredaman gaya impact?
Penelitian bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen yang dapat menjamin keamanan dari segi
peredaman gaya impact bagi pengemudi mobil Student Formula, yang memenuhi standar keselamatan mobil Student
Formula berdasar standar regulasi FSAE International Rules. Di samping itu, objektif penelitian: untuk mengetahui
desain, struktur dan bahan impact attenuator yang dapat memenuhi standar SAE (Society of Automotive Engineers) dan
mengetahui berapa besar energi yang dapat di serap oleh impact attenuator saat terjadi benturan. Mengetahui defleksi
dari anti-intrussion plate sehingga dapat diketahui kelenturan plat terhadap rangka kendaraan
Penelitian ini difokuskan sebagai pendukung dalam produksi suatu komponen yang dapat menjamin keamanan
dari segi peredaman gaya impact bagi pengemudi mobil Student Formula (impact attenuator) sesuai dengan standar
keselamatan FSAE International Rules. Dalam hal ini dibatasi untuk penggunaan mobil Student Formula (Formula
Kelas Mahasiswa) dengan kapasitas mesin maksimal 600 cc. Mobil Formula Universitas Gadjah Mada (BIMASAKTI)
menggunakan engine CBR 600 RR tahun 2011.
Formula SAE adalah perlombaan tahunan dalam perancangan mobil balap kecil yang diselenggarakan oleh
Society of Automotive Engineers International. Perlombaan FSAE di tiap-tiap Negara mengikuti regulasi yang telah

E-42

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

ditetapkan oleh FSAE International. Setiap tim yang ingin mengikuti perlombaan haruslah memenuhi regulasi yang
isinya pada umumnya membatasi kendaaran dalam bidang keamanan dan keselamatan. Menurut definisi FSAE
International Rules, Impact attenuator adalah suatu komponen mampu berubah bentuk (deformable) sebagai peredam
dampak benturan yang biasanya diletakkan di depan struktur mayor (major structure) kendaraan dan terpasang pada
struktur yang fixed. Perancangan sebuah impact attenuator akan berdasarkan pada bentuk struktur, nilai kekuatan dan
keuletan bahan. Dengan nilai keuletan yang tinggi maka energi yang diserap akan berbanding lurus. Impact attenuator
dipasangkan pada bagian depan rangka mobil formula (front bulkhead), sehingga saat terjadi benturan maka bagian
inilah yang mengalami kerusakan terberat bukan rangkanya [1].
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, struktur impact attenuator dapat dibuat menggunakan beberapa
model. IGB Budi Dharma melakukan penelitian bahwa Impact Attenuator bisa berupa pipa aluminium yang disusun
secara pararel dimana arah gaya benturan sejajar dengan sumbu pipa. Karakteristik struktur model impact attenuator ini
dapat menyerap energi sekitar 8000 Joule [2]. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 di Teknik Mesin UGM dengan
metode drop test dan interpolasi grafik. Konsep desain attenuator didasarkan atas kekuatan penyerapan energi dan
kemudahan proses pembuatan. Desain susunan pipa-pipa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Model lain dari impact attenuator dapat berupa struktur mirip piramida yang dirangkai dalam suatu ukuran
tertentu sehingga dapat diletakkan pada bagian depan mobil formula. Desain impact attenuator model ini secara
keseluruhan akan menyesuaikan bentuk aerodinamis dari bagian depan bodi mobil formula [3].

(a)
(b)
Gambar 2. (a) susunan pipa alumunium yang menjadi konstruksi impact attenuator [2]
(b) Desain impact attenuator secara keseluruhan yang menyempit pada bagian ujung.
Riwayat perkembangan requirement impact attenuator dalam Formula SAE Jepang serta riset terdahulu yang
pernah dilakukan Kanazawa Formula (KF), Kanazawa University, Japan, mengenai impact attenuator dapat dinyatakan
dalam tabel:
Tabel 1. Riwayat Requirement Impact Attenuator pada Formula SAE Jepang (2004-2007)

Tabel 2. Hasil Riset Impact Attenuator dari Kanazawa University, Japan (2005-2007)

Keio University sebagai salah satu kontestan Student Formula SAE Japan yang memang telah rutin mengikuti
dan memiliki riset berjenjang mengenai impact attenuator memberikan gambaran mengenai konstruksi attenuator yang

E-43

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

dianggap dapat mampu lebih menyerap energi. Dalam riset pada 2011, tim Keio University membuat attenuator dengan
menggunakan casing aluminium ketebalan 1,5 mm dimana didalamnya menggunakan penyerap energi Polyurethane
Foam. Dimensi konstruksi keseluruhan 203 mm x 203 mm x 105 mm. Anti intrussion plate memakai Aluminium
ketebalan 4 mm. Pengujian dilakukan secara quasi-static.

(a)

(b) sebelum uji


sesudah uji
Gambar 3. Konstruksi Impact Attenuator Keio University (2011)

Dari pengujian secara quasi-static tersebut didapatkan bahwa impact attenuator ini memberikan hasil uji
penyerapan energi lebih dari 7350 Joule yang dibuktikan dengan lolosnya desain ini dalam dokumen hasil pengujian
yang diawasi oleh Rules Commitee FSAE Japan. Desain ini dapat sebagai referensi dari perancangan dan pengujian
komponen impact attenuator. Beberapa penelitian terdahulu sempat melakukan simulasi terlebih dahulu mengenai
impact attenuator. Bellingardi dan Obradovic (2010) melakukan penelitian simulasi mengenai tabrakan dan hasil yang
dicapai oleh konstruksi Impact Attenuator [4].

Metodologi Penelitian
1.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada rentang waktu bulan Mei-Juni 2012 yang mayoritas bertempat di Laboratorium Teknologi
Mekanik Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM untuk proses perancangan dan manufaktur benda uji. Proses
pengujian quasi-static dilaksanakan di Laboratorium Bahan Konstruksi Teknik, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Islam Indonesia
2.

Alat dan Bahan

Penelitian menggunakan bahan: plat aluminium: 5 mm, 3mm, 2mm, 1,5mm, 1mm, pelat baja 4mm, Polyurethane Foam,
pipa baja, filler las TIG aluminium. Alat: alat potong, mesin Shimadzu UTM (Universal Testing Machine), mur dan
baut. Digunakan bahan aluminium mengingat: mudahnya ketersediaan bahan, kemudahan dimanufakturisasi, faktor
harga yang tidak terlalu tinggi, kemampuan menyerap energi, serta merupakan material solid sesuai regulasi.
1.

Dasar Perancangan
Dasar perancangan impact attenuator pada penelitian ini disesuaikan dengan mengacu pada aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh Society of Automotive Engineers (SAE) serta beberapa referensi penelitian tim Student Formula
lainnya di berbagai negara. SAE International telah mengeluarkan buku panduan aturan berjudul 2012 Formula SAE
International Rules berisi aturan-aturan tentang mobil formula yang akan dibuat, termasuk kriteria desain impact
attenuator (aturan B.3.20) [1]. Impact attenuator harus memenuhi beberapa syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dipasang didepan Front Bulkhead.
b. Panjang minimum 200 mm, tinggi minimum 100 mm, dan lebar minimum 200 mm.
c. Untuk syarat fungsional, saat dipasang pada mobil formula, berat mobil maksimum 300 kg, kecepatan benturan 7
m/s, diharapkan menghasilkan rata-rata perlambatan mobil tidak melebihi 20 G, dengan perlambatan maksimum
sebesar 40 G. Total energi yang harus mampu diserap minimal 7350 Joule.
d. Apabila terjadi gaya impact, tidak akan mempenetrasi front bulkhead
e. Pengujian quasi-static diperbolehkan dalam pengujian impact attenuator.
Dalam pembahasan perhitungan didapatkan sebuah parameter penghitungan dengan asumsi yang disyaratkan :
o Massa = 300 kg
o Kendaraan menabrak dengan kecepatan 7 m/s
o Average Deceleration: 20 gs dan tidak boleh lebih dari 40 gs
o Peletakan plate minimum 50 mm (2 inch) dari front bulkhead
o 1 gs = 9,8 m/s2
o Sehingga :
F max = 300 kg. (40 x 9,8 m/s2 ) = 117600 kg. m/s2
F rata2 = 300 kg. (20 x 9,8 m/s2 ) = 58800 kg. m/s2

E-44

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Dari data pengujian tersebut grafik pengujian yang diperoleh diharapkan tidak melebihi titik pada beban
117600 kg. m/s2 serta tidak melebihi titik beban dengan perlambatan rata-rata 20 gs yang ditunjukkan dengan 58800
kg. m/s2
Dalam proses assembly set piranti keamanan pelindung gaya impact diperlukan sebuah plat yang disebut antiintrussion plate yang merupakan pembatas antara struktur attenuator dan bagian depan rangka yang disebut front
bulkhead. Seperti telah dijelaskan melalui gambar 1, letak anti-intrussion plate berada di antara attenuator dan front
bulkhead, dimana plat tersebut terintegrasi langsung dengan attenuator maupun bagian depan rangka (front bulkhead).
Anti-intrussion Plate juga dikenal sebagai IA (impact attenuator) plate.
Menurut FSAE International Rules [1] yang telah mengatur mengenai anti-intrussion plate bahwa pada semua
mobil, haruslah memenuhi: Material plat bisa berupa solid steel dengan minimum ketebalan 1,5 mm (0,060 in) atau
berupa aluminium dengan minimum ketebalan 4,0 mm (0,157 in), Anti-intrussion plate harus terintegrasi kepada
impact attenuator. Teknik pengintegrasian dapat berupa dengan baut maupun pengelasan. Jika pelat IA diintegrasikan
dengan baut kepada front bulkhead, ukuran plat minimal harus memiliki ukuran yang sama dengan dimensi luar dari
front bulkhead (menutupi seluruh). Apabila diintegrasikan dengan pengelasan, maka setidaknya ukuran pelat menutupi
setengah dari diameter rangka pada front bulkhead. Minimal digunakan empat baut dengan ukuran 8 mm dengan
standar metrik 8.8 (5/16 inci SAE grade 5) untuk mengintegrasikan impact attenuator dengan front bulkhead.
Sehingga, dari uraian ini dapat disimpulkan harus terdapat anti-intrussion plate yang terintegrasi langsung
dengan impact attenuator dan terpasang langsung pada front bulkhead rangka kendaraan baik melalui baut ataupun las.
Selanjutnya dalam proses pengujian terdapat variabel defleksi yang dibatasi, bahwa selama proses pengetesanm
attenuator harus ikut dipasang dalam test, yang diasumsikan seperti kondisi asli ketika terpasang pada ujung depan
kendaraan. Aturan ini mencakup penempatan anti-intrusion plate yang terpasang pada attenuator. Terdapat syarat
khusus bahwa the anti-intrusion plate tidak boleh mengalami defleksi permanen lebih dari 25.1 mm (1 inch) dari posisi
awal. Pengujian impact attenuator dapat berupa drop test maupun quasi static test. Pada penelitian ini digunakan
pengujian quasi-static test sesuai potensi alat uji yang dapat digunakan. Dengan pengujian jenis quasi-static, set impact
attenuator benda uji akan diuji dengan menambahkan beban terus menerus secara berkala sehingga didapat kerusakan
akibat pembebanan benda uji.
2.

Metode Pelaksanaan Penelitian


Penelitian termasuk dalam jenis riset Eksperimental dimana penelitian lebih banyak melakukan pengukuran
(pengujian) dan analisis atas beberapa rancangan produk. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan perancangan 5
bentuk impact attenuator sebagai benda uji yang kemudian dibuat (dimanufakturisasi) untuk selanjutnya dilakukan
pengujian tekan secara quasi-static.
Peneliti menggunakan anti-intrussion plate berbahan dasar aluminium dengan ketebalan 5 mm. Dimensi
disesuaikan dengan bentuk front bulkhead pada rangka sekitar 28 cm x 37 cm. Teknik penyambungan antara attenuator
dengan anti-intrussion plate dengan Las TIG Aluminium. Antara dasar mesin tekan dengan anti-intrussion plate dan
impact attenuator diberikan jarak 2,5 inch sesuai regulasi, untuk mengukur defleksi plat yang terjadi. Perancangan dan
manufakturisasi attenuator dilakukan bertempat di Laboratorium Teknologi Mekanik Jurusan Teknik Mesin dan
Industri Fakultas Teknik UGM.
Bentuk dari rancangan impact attenuator sendiri terdiri atas 5 macam rancangan bentuk :
1. Model A : Attenuator Piramida berbahan dasar aluminium tebal 3 mm dengan dimensi : tinggi 23,5 cm, ukuran
persegi panjang kecil atas 20 cm x 15,5 cm dan ukuran persegi panjang bawah 35 cm x 35 cm. Pengelasan
dilakukan secara hampir keseluruhan pada area plat yang perlu dilakukan penyambungan.
2. Model B : Attenuator berbentuk balok berbahan dasar aluminium tebal 1,5 mm dengan dimensi : tinggi 20 cm,
lebar 20 cm, dan panjang 10 cm. Didalam attenuator diberikan Polyurethane Foam. Konstruksi baut berada di
tiap-tiap ujung pinggir anti intrussion plate berjumlah 4 buah. Pengelasan dilakukan secara hampir keseluruhan
pada area plat yang perlu dilakukan penyambungan.
3. Model C : Attenuator berbentuk balok berbahan dasar aluminium tebal 1,5 mm dengan dimensi : tinggi 20,5 cm,
lebar 20,5 cm, dan panjang 10,5 cm. Didalam attenuator diberikan Polyurethane Foam. Konstruksi baut berada di
tiap-tiap ujung pinggir anti intrussion plate berjumlah 4 buah. Proses pengelasan dilakukan tidak full. Hanya di
ujung-ujung yang penting.
4. Model D : Attenuator berbentuk balok berbahan dasar aluminium tebal 2 mm dengan dimensi : tinggi 20,5 cm,
lebar 10,5 cm, dan panjang 10,5 cm. Didalam attenuator diberikan Polyurethane Foam. Konstruksi baut berada di
tiap-tiap ujung pinggir anti intrussion plate berjumlah 8 buah yakni masing-masing diberi 2 buah di ujung.
Diberikan tambahan plat 2 mm berbentuk menyilang diagonal (konstruksi X) di tengah. Harapannya agar bisa
menyerap energi lebih. Pengelasan dilakukan secara hampir keseluruhan pada area plat yang perlu dilakukan
penyambungan.
E-45

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Beberapa bentuk rancangan tersebut diwujudkan dalam gambar:

(a) Model A

(b) Model B & C (hampir serupa)

(c) model D

Gambar 4. Model Impact Attenuator jenis A, B, C, dan D


Pengujian attenuator menggunakan mesin tekan (alat press) Shimadzu Universal Testing Machine (UTM)
dengan metode quasi-static yang dilakukan di Laboratorium Bahan Konstruksi Teknik, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, mempertimbangkan ketersediaan alat dengan dimensi besar ruangan uji yang
mampu ditempati oleh attenuator. Rencana pengujian dapat digambarkan melalui skema:

Attenuator
Anti-intrussion plate

Jarak minimal 2 inch

Gambar 5. Skema Pengujian Attenuator Menggunakan Metode Quasi Static


Hasil dan Pembahasan
1.

Hasil Pengujian
Dari hasil pengujian atas beberapa sampel didapatkan grafik hubungan 1) Force-displacement dan 2) Total
energy absorbed-displacement, sebagai tolok ukur serapan energi yang berimbas pada pernyataan kelayakan uji.

Force -

Forcedisplacement

100000
0

50000
0

1 10192837465564738291

1 7 13 19 25 31 37 43 49 55

Total energy
absorbed-

Enerbgy
absorbed-
5000
0

20000
0
1 10192837465564738291

1 6 11162126313641465156

A: 11263 Joule; 30,8 gs

B: 4526 Joule; 11 gs

E-46

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Force-displacement
60000
40000
20000
0
1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73

Total energy absorbeddisplacement


6000
4000
2000
0
1 6 1116212631364146515661667176
C: 4033,97 Joule; 14,17 gs

D: 7798 Joule; 25,13 gs

Gambar 6. Grafik hasil pengujian Impact Attenuator dalam 4 model


Tabel 3. Hasil Pengujian Impact Attenuator Secara Quasi-Static dalam 4 Sampel
Total Energy
defleksi
kode
Absorbed
deakselerasi
plat
sampel

(Joule)

peak (g's)

rerata (g's)

(mm)

11263

30,8

19,71

36

4526

11

7,73

28

4033,97

14,17

7,88

30

7798

25,13

16,28

22

2. Pembahasan
Dari percobaan yang dilakukan, yang memenuhi total energy absorbed dan persyaratan perlombaan ada pada
sampel 1 dan 4 yakni sebesar 11263 Joule dan 7798 Joule. Pada sampel B dan C total energi absorbed sebesar 4526
Joule dan 4033,97 Joule. Deakselerasi maksimal yang dihasilkan masing-masing 30,8 gs, 11 gs, 14,17 gs, dan 25,13
gs. Perbedaan pada sampel B dan C dapat diidentifikasi karena sekiranya volume dan kepadatan polyurethane foam di
dalamnya dapat saja tidak sama dan tidak cukup padat sehingga tidak dapat menyerap energi dengan maksimal. Dari
sisi penyerapan energi nampak pada grafik pada spesimen A dan D (yang memenuhi total serapan energi di atas 7350
Joule), distribusi serapan energi smooth pada grafik spesimen D. Dapat diidentifikasi pula, ketika diberi beban akibat
gaya tekan oleh Shimadzu UTM Machine, bentuk pada spesimen D membawa alur serapan yang lebih halus yang
memungkinkan ketika terjadi gaya impact/kejut, respon impact attenuator model ini lebih menyerap gaya secara
uniform. Dalam pengukuran defleksi anti-intrussion plate yang diatur dalam FSAE International Regulations (tidak
boleh lebih dari 1 inch/25,4 mm), menyatakan bahwa hanya sampel D yang dapat memenuhi regulasi (22 mm defleksi),
karena sampel A, B, dan C masing-masing melebihi dari ukuran yang diizinkan oleh regulasi.
Faktor kemudahan dalam manufakturisasi juga dianggap sebagai faktor yang menentukan pemilihan keputusan
dalam penentuan bentuk Attenuator mana yang dipakai. Bentuk attenuator A dan D memang memenuhi regulasi.
Namun pada bentuk attenuator A dimensi dianggap terlalu besar dan dianggap dapat mengganggu bodi sehingga tidak
disarankan memakai bentuk ini. Dimensi dan penempatan spesimen bentuk A dianggap dapat mengurangi aerodinamis
bodi, karena bisa saja berpengaruh kepada curve dari moncong (nose) bodi, selain faktor estetika bentuk bodi juga.
Pada akhirnya dipilih sampel D dengan rincian dimensi 205 x 205 x 105 (mm) dengan housing 2 mm aluminium.
Didalamnya diisi dengan Poliurethane Foam (PU-Foam) dan diperkuat pelat bentuk X dari aluminium 2 mm. Terbukti
bahwa adanya plat penguat yang dilas sebagian ke salahsatu sisi dalam attenuator memberikan efek serapan energi lebih
E-47

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

pada konstruksi impact attenuator. Berbeda dengan spesimen jenis lain yang hanya berisi PU-foam. Dari benda uji
tersebut didapatkan optimalisasi total serapan energi sebesar 7798 Joule yang dianggap cukup mampu menahan gaya
impact ketika terjadi tabrakan pada kondisi sebenarnya. Hasil eksperimen tersebut akhirnya dapat dipakai sebagai
optimalisasi perancangan konstruksi Impact Attenuator yang memang harus terpasang pada mobil student formula
Bimasakti UGM dalam mengikuti perlombaan Student Formula Japan 2012. Dokumentasi proses pengujian:

Gambar 7.

Gambar 7. Dokumentasi hasil pengujian Impact Attenuator


Kesimpulan
Dari data-data percobaan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Setelah melalui proses pengujian secara quasi-static, telah dihasilkan suatu bentuk Impact Attenuator yang
sesuai dengan regulasi dan dianggap dapat menjamin keselamatan pengendara dan struktur rangka dengan total
serapan energi 7798 Joule, peak deceleration 25,13 gs, average deceleration 16,28 gs, dan defleksi antiintrussion plate 22 mm.
2. Karakteristik optimum dari impact attenuator yang dapat dihasilkan adalah jenis sampel D dengan dimensi 205
x 205 x 105 (mm) dengan housing pelat aluminium 2 mm dengan isi Polyurethane Foam yang diperkuat pelat
aluminium 2 mm struktur X.
3. Defleksi yang terjadi pada impact attenuator jenis D (yang memenuhi regulasi) adalah sebesar 22 mm dimana
juga merupakan defleksi yang terkecil didapat dari penelitian ini
4. Dengan mempertimbangkan beberapa parameter/variabel mengenai keselamatan (energi, defleksi, dimensi)
maka didapatkan kesimpulan bahwa kendaraan mobil formula Bimasakti dikatakan aman, dalam segi peralatan
safety impact attenuator, mengingat segala requirement berdasar regulasi terkait telah dipenuhi.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dapat terlaksana atas funding support dari Jurusan Teknik Mesin dan Industri FT-UGM sebagai
bagian dari pendanaan tim BIMASAKTI UGM dalam perlombaan The 10th Student Formula SAE Competition of Japan
2012 yang berlangsung 3-7 September 2012 di ECOPA (Ogasayama Sport Park), Shizuoka, Japan. Penulis juga
menghaturkan terima kasih kepada Lab. Bahan Konstruksi Teknik, Fakutas Teknik Sipil dan Perencanaan UII, (Bapak
Ir. H.A. Kadir Aboe, M.S., Bapak Suwarno, Bapak Darussalam) atas bantuan pengujian spesimen uji ini. Pengujian
Impact Attenuator ini sebagai salahsatu syarat dokumen kelolosan dalam perlombaan tersebut.

Daftar Pustaka
[1] Anonim, 2012 Formula SAE International Rules. USA: SAE International, 2011
[2] IGB Budi Dharma, Pengujian Perancangan Dan Pengujian Impact Attenuator Untuk Mobil Formula 600 cc,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2011
[3] Enomoto H, dkk., Development Of CFRP Monocoque Front Impact Attenuator For FSAE With Vartm,
Japan: Kanazawa University, KADO Corporation. 2007
[4] Belingardi G dan Obradovic, J. Design of the Impact Attenuator for a Formula Student Racing Car:
Numerical Simulation of the Impact Crash Test, Journal of the Serbian Society for Computational
Mechanics, vol. 4, no.1, pp. 52-65, 2005

E-48

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

E-49

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Optimasi Proses Pembakaran Motor Diesel Berbahan Bakar Ganda Solar-Bioethanol dengan
Metode Response Surface
Arifin Nur1), Yanuandri Putrasari2), Aam Muharam3)
Laboratorium Motor Bakar, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik-LIPI1,2,3)
Komplek LIPI, Gd.10, Jl. Cisitu No.21/154 D, Bandung 40135 Indonesia
Telp: (022)2503055 ext 161. fax: (022)2504773.
E mail: arifin.nur@lipi.go.id1) atau arifinnur_1978@yahoo.co.id1)
Abstrak
Mengangkat isu global mengenai meningkatnya suhu permukaan bumi dan krisis sumber energi
beberapa tahun belakangan ini, penelitian ini akan mencoba melakukan optimasi pemanfaatan
bioethanol sebagai bahan bakar penambah pada motor diesel. Motor diesel dipilih karena
memiliki nilai ekonomis tinggi dan umumnya digunakan sebagai motor penggerak didaerah
pertanian. Penggunaan bahan bakar nabati sebagai sumber energi alternatif mampu
menurunkan tingkat pencemaran udara dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Unjuk
kerja motor diesel sangat dipengaruhi oleh proses pembakaran yang terjadi di dalam ruang
bakar. Oleh karena itu optimasi proses pembakaran merupakan hal yang sangat penting untuk
menentukan titik optimal operasi kerja motor diesel dan besarnya rasio bioethanol yang dapat
dicampurkan.
Optimasi proses pembakaran dilakukan dengan melakukan analisa terhadap data tekanan
ruang bakar. Pada penelitian ini, rasio persentase bioethanol, pembebanan, dan putaran motor
merupakan faktor yang akan mempengaruhi tinggi dan stabilnya proses pembakaran didalam
ruang bakar. Data tekanan ruang bakar yang dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut akan
dianalisa dengan metode response surface pada nilai singifikansi 5% bilateral.
Persamaan response surface yang dihasilkan untuk menggambarkan hubungan antara faktorfaktor yang dikoding dan variable respon adalah;
= 6,167 0,06891 + 0,04942 + 0,24593 + 0,205112 + 0,038722 + 0,01051 3

Berdasarkan data tekanan ruang bakar dengan metode response surface diketahui bahwa titik
optimal rasio campuran solar-bioethanol berada pada rasio 6,22% pada nilai tekanan efektif
rata-rata pengereman sebesar (BMEP) 9,2513 bar, pada putaran 1750 rpm.
Kata kunci: Diesel, Dual-Fuel, Solar, Bioethanol, ANAVA

Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki tingkat konsumsi bahan-bakar minyak (BBM) yang tinggi yang
mengiringi tingkat pertumbuhan ekonomi. Saat ini, penggunaan bahan-bakar minyak sebagai sumber energi primer
disetiap lini kehidupan masyarakat Indonesia mulai menjadi masalah serius yang disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah;
1.
2.
3.
4.

Harga bahan-bakar minyak yang terus meningkat dan sangat dipengaruhi oleh pasar internasional.
Harga jual eceran BBM di Indonesia yang sekitar 40% masih di subsidi oleh pemerintah.
Menurunnya tingkat produktifitas ladang-ladang minyak di Indonesia sejak tahun 2004 sehingga pada tahun 2008
Indonesia keluar dari OPEC dan tidak lagi menjadi salah satu negara pengekspor minyak (gambar 1).
Tingkat kebutuhan sumber energi berbasis minyak bumi yang terus meningkat (300% dalam 2 dekade).

E-50

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tingkat produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia


1600
Thousand Barrels daily

1500
1400
1300
1200

Production

1100

Consumption

1000
900
2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

800

Year

Gambar 12. Tingkat produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia dari tahun 2000-2010[1]

5.
6.

Saat ini, sekitar 42% proses pembangunan dan perekonomian Indonesia disokong oleh penggunaan bahan bakar
berbasis minyak bumi.
Efek penggunaan bahan bakar berbasis minyak bumi (BBM) yang dalam jangka panjang akan mencemari
lingkungan dari sisa hasil pembakarannya.

Dalam rangka untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis bahan bakar, upaya diversifikasi energi menjadi
suatu hal yang sangat penting. Salah satu upaya diversifikasi energi yang sedang giat dilakukan adalah pemanfaatan
bahan bakar alternatif berbasis bahan bakar nabati. Bioethanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang sangat
potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu menunjukan bahwa bioethanol tidak saja
potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar pengganti pada motor bensin namun dapat juga digunakan sebagai
bahan bakar suplemen pada motor diesel. Motor diesel dipilih karena memiliki nilai efisiensi yang tinggi karena
umumnya didesain dengan kompresi rasio yang tinggi dan rugi rugi pemompaan yang rendah serta tidak terlalu sensitif
terhadap perubahan kualitas bahan bakar [2,3,4]. Pencampuran bioethanol sampai rasio konsentrasi tertentu dengan
solar telah menjadi subjek penelitian sejak tahun 1980-an dan menunjukan prestasi yang cukup baik bila digunakan
pada motor diesel konvensional.
Proses pembakaran didalam ruang bakar memegang peranan penting dalam menentukan unjuk kerja motor diesel [4],
oleh karena itu banyak studi intensif dilakukan untuk menentukan proses pembakaran yang optimal dan metode uji
yang sesuai. Proses pembakaran dinyatakan sebagai laju pelepasan panas pada setiap posisi sudut engkol. Pada proses
pembakaran, tingginya tekanan pembakaran dan variabilitas siklus per siklus merupakan hal yang sangat penting untuk
dicermati. Analisis laju pelepasan panas biasanya diterapkan untuk analisis pembakaran motor diesel. Tujuan utama
dari optimasi proses pembakaran, pendesainan sistem bahan bakar dan ruang bakar adalah untuk meningkatkan tekanan
hasil pembakaran campuran bahan bakar dengan udara didalam ruang bakar serta meminimalisir variabilitas tekanan
pembakaran[6,7]. Ketika batasan pendesainan ruang bakar adalah material, maka optimasi proses pembakaran menjadi
pilihan yang paling tepat untuk dilakukan. Umumnya motor bakar didesain berdasarkan karakteristik bahan bakar yang
akan digunakan. Namun ketika bahan bakar yang digunakan merupakan suatu campuran yang memiliki karakteristik
berbeda dari bahan bakar utama maka penentuan rasio campuran merupakan suatu keharusan untuk memimimalisir
kerusakan yang mungkin terjadi. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa proses pembakaran didalam
ruang bakar motor diesel lebih dipengaruhi oleh fungsi pembebanan dibandingkan putaran motor uji [8] dan hasil
analisis variabilitas siklus persiklus terhadap rasio campuran solar-bioethanol menunjukan nilai variabilitas yang rendah
untuk rasio perbandingan 5% bioethanol pada solar [4].
Berdasarkan permasalahan tersebut, makalah ini mencoba untuk melakukan analisis pembakaran dengan menggunakan
analisis data statistik. Metode response surface dipilih karena memiliki keunggulan untuk menentukan taraf dari dua
atau lebih faktor x yang memaksimumkan variabel respon y [9]. Simulasi dilakukan dengan metode response surface
terhadap data tekanan rata rata ruang bakar pada beberapa kondisi operasi, beban dan rasio campuran bioethanol pada
solar. Hasil analisis data gabungan terhadap beberapa parameter yang mempengaruhi akan menghasilkan suatu titik
optimal proses pembakaran. Tujuan utama adalah didapatkannya tekanan pembakaran maksimum dengan variabilitas
E-51

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

minimum. Analisis pembakaran ini dilakukan pada data tekanan ruang bakar motor diesel jenis injeksi tidak langsung
(Indirect Injection) pada 1500 dan 2000 rpm terhadap beban kerja statis di 50 Nm, 60 Nm, dan 70 Nm, pada 2,5%, 5%,
dan 10% rasio campuran bioethanol pada solar.

Metodologi
Motor diesel konvensional dimodifikasi untuk menempatkan beberapa sensor kemudian dihubungkan dengan engine
test bed jenis eddy current dynamometer untuk dilakukan uji prestasi. Beberapa thermocouple tipe K dihubungkan ke
motor untuk mengukur temperatur oli, temperatur kepala silinder, dan gas buang. Emisi gas buang (NOx dan Opasitas)
diukur dengan dua jenis alat uji emisi (Horiba MEXA 720 NOx dan Okudakoki DSM 240). Untuk perhitungan tekanan
rata rata ruang bakar diperlukan data tekanan ruang bakar fungsi sudut engkol. Pengukuran tekanan ruang bakar
dilakukan dengan menanamkan sensor tekanan ruang bakar buatan Kistler tipe 6061B water cooled. Skema pengujian
seperti diperlihatkan pada gambar 2 berikut.
Keterangan.
1.
Motor diesel
2.
Eddy Current Dynamometer
3.
COM Encoder
4.
Radiator
5.
Hot Wire Anemometer
6.
Air Surge Tank
7.
AVL Fuel Balance
8.
Sensor Conditioning
9.
COM Signal Conditioning
10.
Load Control
11.
Data Acquisition
12.
Fuel Balance Controller
13.
Four Gas Analyzer
14.
Sensor Tekanan Ruang Bakar
15.
Sensor Emisi

Gambar 13. Skema instalasi pengujian

Motor diesel yang diujikan adalah motor diesel dua silinder dengan spesifikasi seperti diperlihakan pada tabel 1 berikut
ini.
Tabel 3. Spesifikasi alat pengujian
Tipe
Jumlah katup
Sistem pengisian udara
Jumlah silinder / tipe
Volume (cc)
Diameter x langkah
Rasio kompresi
Torsi maksimum
Daya maksimum
Sistem bahan-bakar
Specific fuel consumption
Sensor tekanan ruang bakar
Sensor tekanan port
Sensor sudut engkol

Diesel 4 langkah, Indirect Injection


2
Pengisian alamiah
2 / Vertikal
1630 cc
95 x 115 mm
19 : 1
96.9 Nm pada 1500 rpm
13.5 kW pada 1500 rpm
Indirect Injection, 195 bar
265.2 gr/kWh
Kistler 6061B pendingin air
Kistler 4075
COM optical encoder

Data tekanan ruang bakar didapat dari pengujian pada putaran 1500 dan 2000 rpm dengan pembebanan sebesar 50,
60,dan 70 Nm. Tekanan ruang bakar diukur setiap 1osudut engkol dan direkam sebanyak 50 siklus. Data tekanan ruang
bakar yang didapat berisi 720 data tekanan untuk siklus empat langkah. Untuk analisis tekanan rata-rata ruang bakar,
digunakan data rata-rata tekanan (IMEP) dari 50 siklus yang direkam dan diulang sebanyak 5 kali. Penentuan titik
optimal operasi kerja motor diesel, rasio perbandingan bioethanol pada solar dan pembebanan dilakukan dengan metode
response surface. Faktor dan taraf faktor untuk analisis response surface diuraikan dalam Tabel 2.

E-52

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 4. Faktor dan taraf faktor untuk analisis data tekanan ruang bakar
Faktor

Taraf Faktor
2,5%
5%
10%
50 Nm
60 Nm
70 Nm
1500 rpm
2000 rpm

Rasio Persentase Bioethanol

Beban
Putaran motor uji

Hasil dan Pembahasan


Analisis data tekanan ruang bakar untuk menentukan titik optimal operasi kerja, rasio campuran bioethanol pada solar
serta beban yang tepat dengan menggunakan metode Response Surface dilakukan melalui empat tahapan, apabila
keempat tahapan ini dapat diterima dan berada dalam selang kepercayaan yang diambil, maka akan dihasilkan suatu
persamaan umum sehingga tiap parameter dapat diketahui. Persamaan umum untuk response surface adalah;
= 0 + 1 + 2 2 + + +

(1)

Keempat tahapan yang harus dilalui adalah uji Normalitas, Homogenitas, Analisis Varian dan penentuan Polinom
Faktor. Pada analisis dengan metode Response Surface ini tiap parameter uji diasumsikan dengan;
1 =
2 =
3 =

a. Analisis Normalitas

Asumsi yang harus dipenuhi untuk melakukan analisis varians adalah normalitas dan homogenitas varians dari residu,
dalam hal ini uji normalitas menggunakan uji 2.
Tabel 5. Distribusi frekuensi untuk uji normalitas
Batas interval
-0,1320 - -0,0891
-0,0890 - -0,0461
-0,0460 - -0,0031
-0,0030 - 0,0399
0,0400 - 0,0829
0,0830 - 0,1259
0,1260 - 0,1689
0,1690 - 0,2119

Nilai Tengah
Kelas
0,1105
0,0675
0,0245
0.0184
0,0614
0,1044
0,1474
0,1904

Jumlah

fi = N

xi

6
18
16
24
19
4
2
1

-0,13205
-0,08905
-0,04605
-0,00305
0,03995
0,08295
0,12595
0,16895
0,21195

-2,11
-1,39
-0,72
-0,05
0,63
1,30
1,97
2,64
3,32

Pi

Ei

0,0649
0,1535
0,2443
0,2158
0,1675
0,0724
0,0203
0,0036

5,8410
13,8150
21,9870
19,4420
15,0750
6,5160
1,8270
0,3240

90

Hasil uji normalitas dengan persamaan 2.


2 = =1

( )2

2 = 6,9561

++

( )2

(2)

(0,05;7) = 15,05

2
Berdasarkan hasil perhitungan dimana 2 <
(0,05;5) maka asumsi hipotesis bahwa nilai residu berdistribusi normal
dapat diterima.

b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat kehomogenan data uji, hipotesis yang diambil pada uji homohenitas adalah
bahwa semua data memiliki tingkat kehomogenan yang nilainya lebih rendah dari selang kepercayaan yang diambil.
Dalam hal ini uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan persamaan 3.
Hipotesis yang akan diuji adalah
H0 : 12 = 22 = = 2
Dimana ;
2 = (ln 10){ ( 1) 2 }
(3)
Dengan ;

= ( 2 ) ( 1)
E-53

(4)

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

2 =

Sehingga ;

( 1)12

(5)

( 1)

2 = (2,3026){165,495 (167,359)}
2 = 4,375
2

(0,05;17) = 27,59
2
2
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa <
(0,05;17) , maka H0 diterima. Jadi dengan taraf signifikansi 5%
dapat dikatakan bahwa residu memiliki varians yang homogen.

c. Analisis Varians
Analisis varian dilakukan untuk menentukan apakah faktor konsentrasi bioethanol pada solar, beban yang digunakan,
dan operasi kerja motor uji akan memberikan efek yang signifikan terhadap tekanan pembakaran didalam ruang bakar
motor diesel. Tabel 3 menunjukan hasil perhitungan ANAVA untuk 3x3x2 faktorial
Tabel 6. ANAVA untuk desain 3 x 3 x 2 faktorial
Sumber Variasi
Rata-rata
Perlakukan
A
B
AB
C
AC
BC
ABC
Kekeliruan
Jumlah

Db = f
1

JK
3300,9124

KT
3300,912

F
-

Ftabel
-

2
1
2
2
4
2
4
72
90

0,1768
5,3903
1,1278
0,1055
0,0826
0,9263
0,1969
0,3624
3309,2814

0,0884
5,3903
0,5639
0,0527
0,0206
0,4631
0,0492
0,0050
36,7697

17,5589
1070,6920
112,0094
10,4844
4,1024
91,9961
9,7810
-

3,12
3,97
3,12
3,12
2,49
3,12
2,49
-

Berdasarkan perhitungan terhadap nilai residu varian pada beberapa perlakuan dapat diketahui bahwa nilai perhitungan
varian selalu lebih besar dengan nilai varian pada tabel (Fhitung > Ftabel) sehingga semua hipotesis nol (H0) ditolak. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5%, maka interaksi yang terjadi antara rasio bioethanol pada
solar, beban dan kondisi operasi akan memberikan efek yang signifikan terhadap besarnya tekanan ruang bakar.

d. Polinom Faktor
Penentuan tingkat orde dari faktor konsentrasi bioethanol pada solar, beban optimum, dan putaran optimal dilakukan
dengan perhitungan berdasarkan tabel ANAVA berikut:
Tabel 7. ANAVA untuk penentuan polinom faktor
Sumber Variasi
Rata-Rata
Faktor A
A Linier
A Kuadratik
Faktor B
B Linier
B Kuadratik
Faktor C
C Linier
Interaksi A x B
AL x B L
AL x BD
AD x BL
AD x BD
Interaksi A x C
AL x C L
AD x CL
Interaksi B x C
BL x CL
BD x C L
Interaksi A x B x C
AL x B L x CL
AL x BD x CL
AD x BL x CL
AD x BD x C L
Kekeliruan
Total

Db = f
1
2
1
1
2
1
1
1
1
4
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
4
1
1
1
1
72
90

JK
3300.912
1.1278
0.285
0.8428
0.1768
0.1468
0.03
5.3904
5.3904
0.0826
0.0038
0.0424
0.001
0.0355
0.9263
0.0687
0.8576
0.1056
0.0056
0.1
0.197
0.0766
0.0086
0.1112
0.0006
0.3625
3309.281

KT
3300.912
0.5639
0.285
0.8428
0.0884
0.1468
0.03
5.3904
5.3904
0.02065
0.0038
0.0424
0.001
0.0355
0.46315
0.0687
0.8576
0.0528
0.0056
0.1
0.04925
0.0766
0.0086
0.1112
0.0006
0.005035
36.76979

Fhitung

Ftabel

56.609
167.4099

3.9739
3.9739

29.1661
5.9518

3.9739
3.9739

1070.692

3.9739

0.7611
8.4132
0.1919
7.0434

3.9739
3.9739
3.9739
3.9739

13.6503
170.3421

3.9739
3.9739

1.1083
19.8607

3.9739
3.9739

15.2093
1.7023
22.0846
0.128

3.9739
3.9739
3.9739
3.9739

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4, dapat disimpulkan bahwa faktor faktor yang memberikan efek signifikan
terhadap tekanan ruang bakar adalah;
E-54

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Faktor A dan faktor B yang berbentuk linier dan kuadratik


Faktor C yang berbentul linier
Interaksi antara faktor A dan faktor B yang berbentuk AL x CL dan AD x BD
Interaksi antara faktor A dan faktor C yang berbentuk AL x CL dan AD x CL
Interaksi antara faktor B dan faktor C yang berbentuk AD x CL
Interaksi antara faktor A, B, dan C yang berbentuk AL x BL x CL dan AD x BL x CL

Nilai koefisien untuk persamaan response surface dengan taraf yang telah dikoding dapat ditaksir dengan
menggunakan matriks U dan matriks Y. dimana;
= ( )1
Dimana;
2
2

1 11 1 11
1
11 12 1(1) 1

=
, =
dan
=

2
2
1 1 1

1 2 ( 1)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan matrik didapatkan taksiran nilai koefisien sebagai berikut;
Tabel 8. Nilai taksiran koefisien untuk persamaan response surface
Parameter yang ditaksir
0
1
2
3
11
22
13

Nilai taksiran
6.1670
-0.0689
0.0494
-0.2459
-0.2051
0.0387
-0.0105

Sehingga persamaan Response Surface dengan taraf faktor dan nilai taksiran menjadi;
= 6,167 0,06891 + 0,04942 + 0,24593 + 0,205112 + 0,038722 + 0,01051 3

Dengan menggunakan persamaan ;

Sehingga ;

11
1

1
2 = 12
2
3
1
2 13

2 12
22

2 32

1
1
1
1
13
2

2
1
1
2
2 23
2

1
33
2 3

1
0.00077
2 = 0.00813
3
0.00050

Dengan mengembalikan nilai taraf yang telah dikoding ke persamaan 2 maka akan diperoleh taraf faktor asli yang dapat
memaksimalkan respons (Y) adalah sebagai berikut;
( ) ( )
( ) + ( )
+

=
2
2
10 2.5
10 + 2.5
+

1 = 0.00077
2
2
1 = 6.22
Dengan persamaan yang sama maka nilai x2 dan x3 dapat ditemukan, dimana nilai optimum beban berada pada 59,5 Nm
~ nilai BMEP 9,2513 bar dan putaran operasi kerja berada pada 1749,9 rpm

Kesimpulan
1. Rasio bioethanol pada solar, beban dan kondisi operasi motor diesel akan mempengaruhi tekanan pembakaran pada
ruang bakar.
2. Dari ketiga faktor tersebut, tekanan pembakaran yang terjadi lebih dipengaruhi oleh fungsi beban.
3. Hasil simulasi dengan menggunakan metode response surface terhadap data uji menunjukan bahwa tekanan ruang
bakar maksimum dengan variabilitas minimum akan didapatkan pada rasio campuran bioethanol pada solar sebesar
6,22%, pada beban 59,5 Nm dan putaran 1749,9 rpm.

E-55

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Ucapan Terima Kasih


Sub Koordinator Bidang Energi Baru dan Terbarukan atas bimbingan dan pembiayaan riset, Ahmad Dimyani, Mulia
Pratama, Nindya Sari dan Siti Fauziah Hanipah atas semua bantuan dalam penyelesaian riset ini.

Daftar Notasi
= /
= ( ) ( = 1,2,3, . , )
=
= ()
= = ( )
=
=
=
=
=
=
2 = chi
0 =
2 =
=
=
=
1 =
2 =
3 =
=
=

Daftar Pustaka

[1] Anonim, BP Statistical Review of Word Energy June 2011. Diakses dari www.bp.com/statisticalreview, 23 mei
2012.
[2] Klell. M, Expert Lecture on Internal Combustion Engine, Jenbacher Energy System Gas Engine Project, TU Graz,
Austria, 1998.
[3] Gary L. Borman and Kenneth W. Ragland, Combustion Engineering. Mc. Graw-Hill, International Edition, 1998.
[4] I.K. Reksowardojo, Arifin Nur, W.B. Santoso, and Y. Putrasari, Statistical Analysis to Determine the Effect of
Diesel-Ethanol Blending on Stationary IDI Diesel Engine Performance, in The 4th AUN/SEED-Net Regional
Confference of Mechanical and Aerospace Engineering, 2012.
[5] W.B. Santoso, A. Nur, dan A. Praptijanto, Analisis Proses Pembakaran Dengan Off-line Combustion Analyzer,
dalam Seminar Nasional TeknoSim, Yogyakarta, 2008.
[6] C.D. Rakopoulos, D.C. Rakopoulos, E.G.Giakoumis, and A.M. Dimaratos, Investigation of the Combustion of
Neat Cottonseed Oil or its Neat Biodiesel in HSDI Diesel Engine By Experimental Heat Release and Statistical
Analyses, Elsevier, Fuel 89, 2010, pp. 3814-3826.
[7] C. Gong., Kuo Hang, Y. Chen, J. Jia, Yan Su, and Xunjun Liu, Cycle by Cycle Combustion Variation in a DISI
Engine Fueled With Methanol, Elsevier, Fuel 90, 2011, pp. 2817-2819.
[8] Arifin Nur dan Aam Muharam, Analisis Variabilitas Tekanan Ruang Bakar Motor Diesel IDI Dengan
Menggunakan Analisis Data Statistik, dalam Seminar Nasional Teknoin 2011, Yogyakarta, 2011.
[9] Montgomery, C. Douglas, Design and Analysis of Experiments. New-York: John Wiley & Sons, 2009.

E-56

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Modifikasi Dan Peningkatan Efisiensi Kincir Air Overshot Dengan Nozzle Ganda
Sistem Pompa Hydram
Bagus Wahyudi1), Akhmad Faizin2), Suyanta3)
Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Malang 1,2,3)
Jl. Sukarno-Hatta No 9 Malang Jawa Timur
Telepon (0341) 404424 -25
E-mail : baguspoltek@gmail.com
Abstrak
Kincir Air telah dikembangkan lebih dari dua ribuan tahun untuk menjadi mesin hidrolik efisien,
tetapi masih memiliki kelemahan karena ketidakmampuannya untuk meningkatkan torsi ketika
sumber aliran air meningkat karena efisiensi jenis kincir ini hanya tergantung pada besarnya
volume buckets dan gravitasi yang konstan. Dalam penelitian ini ditunjukkan metode baru untuk
meningkatkan torsi kincir air overshot dengan cara menangkap kembali limpahan air dari
buckets serta kelebihan aliran dari kanal untuk dirubah menjadi aliran bertekanan pada nozzle
agar bisa mendorong sudu buckets melalui sistim pompa hydram. Hasil uji kinerja kincir
overshot yang telah dimodifikasi menunjukkan peningkatan effisiensi dibandingkan dengan
kincir overshot konvensional.
Kata Kunci: Modifikasi, Efisiensi , Kincir Overshot, Nozzle, dan Pompa Hydram
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kelangkaan BBM yang terjadi belakangan ini telah memberikan dampak yang sangat luas diberbagai sektor
kehidupan. Seluruh dunia saat ini juga mengalami krisis energi, terutama energi berbahan fosil yang sifatnya begitu
terbakar sebagai energi langsung habis (non-renewable). Menurut hasil penelitian, benua pertama yang akan kehabisan
produksi minyak yaitu benua Eropa dan Amerika, disusul Asia dan Afrika (terakhir Timur-Tengah). Usaha-usaha yang
dilakukan para ahli energi dan lembaga-lembaga penelitian energi terbarukan diprediksi tidak akan mampu
mengimbangi kekurangan kebutuhan energi fosil yang akan habis tersebut. Krisis energi fosil tersebut adalah ancaman
serius terhadap masa depan umat manusia dan menjadi tantangan nomer satu para ahli iptek diseluruh dunia. Oleh
karena itu sekarang ini para ahli seperti dikejar-kejar oleh waktu untuk mencari alternatif energi fosil dan terus
menerus mengembangkan pemanfaatan energi baru terbarukan (Renewable Energy) serta ramah lingkungan.
Kincir air dikembangkan sejak dua ribu tahun lalu dan digunakan secara luas hingga kini sebagai pemasok
daya industri rumahan dan jaringan listrik pedesaan Sekarang lebih umum dipakai sebagai salah satu jenis PLTMH
untuk tinggi jatuh air (head) yang rendah. Kincir kini dimanfaatkan secara luas dan merupakan sumber energi yang
dapat diperbarui. Pada umumnya Kincir air dioperasikan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama. Masalah
masalah pada kincir air yang akan berujung pada berkurangnya efisiensi dan performasi harus bisa dideteksi dan di
monitor selama beroperasi. Performansi dari kincir air dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : dimensi kincir, bentuk
sudu, debit air (kinetic head) dan tinggi jatuh air (potential head).
Salah satu energi alternatif yang dikembangkan di masyarakat pedesaan adalah kincir air (water wheel) yang
merupakan alat konversi energi tertua di dunia. Efisiensi kincir air yang dijalankan oleh aliran air tanpa menggunakan
seluruh potensi air yang terdapat dalam sungai, tentu kecil sekali. Perbaikan cara ini dilakukan pada abad ke -15. untuk
menjalankan roda, dibuat saluran tersendiri dengan tiga jenis kincir air, sehingga menumbuk roda pada bagian atas
(Overshot) , pada bagian tengah (Breastshot) atau bagian bawahnya (Undershot). Kincir air overshot bekerja bila air
yang mengalir jatuh ke dalam bagian sudu-sudu sisi bagian atas, dan karena gaya berat air roda kincir berputar. Kincir
air overshot adalah kincir air yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan jenis kincir air yang lain.
Permasalahan muncul manakala kincir air overshot dibangun disungai yang mengalami fluktuasi kenaikan debit dan
head pada saat musim hujan, seringkali air yang disalurkan untuk mendorong roda kincir air ini melimpah dan tumpah
diluar kantong sudu (bucket) kincir. Agar limpahan air (overflow) tidak terbuang secara sia-sia, maka dibuatlah model
PLTMH Kincir Air Overshot dengan modifikasi penambahan sistim pompa hydram (hydraulics ram) yang dilengkapi
dengan Overflow Keeper Double Nozzle (OKDN) agar meningkat effisiensi mekaniknya.
Torsi yang dihasilkan overshot waterwheel (kincir aliran atas) tergantung pada volume buckets yang tersedia dan
massa air yang mengisinya. Dengan kata lain, karena hanya mengandalkan energi potensial gravitasi maka kincir air
overshot seperti ini tidak mungkin meningkat torsinya walaupun terjadi penambahan debit ataupun head. Oleh karena

E-57

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

itu diharapkan penelitian ini dapat memberikan solusi agar limpahan air (overflow) yang tidak tertampung oleh kantong
sudu (bucket) karena peningkatan debit maupun meningkatnya tinggi permukaan air (sungai) dapat dirubah menjadi
energi kinetik tambahan yang mampu mendorong bucket dibagian bawah roda sehingga dapat menghasilkan tambahan
daya mekanik sekaligus menghindari air terbuang sia-sia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana mendesain OKDN dengan sistem pompa hydram agar mampu menghasilkan energi kinetik tambahan
untuk meningkatkan efisiensi kincir ?.
2. Bagaimana hasil pengujian kinerja kincir air overshot dengan penambahan OKDN?.
1.3 Batasan Masalah
Masalah penelitian hanya dibatasi pada kincir air type overshot dengan bentuk sudu bucket separator yang
diujicoba pada variasi debit hingga 10 liter/detik. Metode penelitian tidak menggunakan uji statistik analysis of variance
(Anova) ataupun uji regresi. Pengaruh yang diteliti hanya digambarkan melalui grafik karakteristik kinerja kincir air
berdasarkan variasi debit pada kincir air Overshot original dan yang telah dimodifikasi.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menghasilkan desain OKDN dengan sistem pompa hydram yang mampu menghasilkan energi kinetik tambahan
untuk meningkatkan efisiensi kincir.
2. Mengetahui hasil pengujian kinerja kincir air overshot dengan penambahan OKDN dan sistem pompa hydram.
1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai kincir air antara lain: Ali Al Sam melakukan analisa karakteristik kincir air
menggunakan simulasi CFD [1], M Denny melakukan studi tentang effisiensi undershot waterwheel dan overshot
waterwheel [2], Gerald Muller menurunkan formula empiris untuk desain dan model testing breastshot waterwheels
[4] [5]. Desain yang paling detail dikembangkan oleh insinyur Jerman Carl Von Bach [5] desain dimulai dengan
beberapa parameter umum untuk menentukan bentuk sudu menurut kondisi kemudian mengarah ke desain detail
aliran masuk.
Daya kincir air dapat meningkat tiga kali lipat selama abad ke-18 hingga mencapai 10 kW, karena alasan itulah
maka banyak penyelidikan ilmiah berupaya meningkatkan efisiensi kincir air. Pada 1704 Antoine Parent menghitung
efisiensi maksimum dari sebuah kincir air undershot ideal. Di Inggris John Smeaton (pendiri masyarakat Civil
Engineers) selama 1752-1754 membuat desain kincir air dalam skala model baik undershot dan overshot. Berbagai
variasi komponen diperlukan untuk membangun desain yang paling efektif, dan hasil empiris menyimpulkan undershot
tidak lebih dari 22% efisien sedangkan overshot bisa mencapai 63% efisien [3, 4].
Pada awal abad ke 19 insinyur Perancis JV Poncelet meningkatkan daya kincir air undershot menggunakan roda
overshot. Kombinasi desain undershot dengan beberapa input daya gravitasi dikenal sebagai kincir air breastshot, dan
merupakan penemuan abad ke-19, menggabungkan elemen desain overshot dan undershot. Yang paling efisien dari
kincir air breastshot adalah jenis Poncelet yang memiliki baling-baling melengkung seperti bentuk sudu turbin air pada
umumnya. Roda overshot diselidiki cukup menyeluruh dan ditemukan memiliki efisiensi lebih dari 85% untuk berbagai
rasio laju aliran Q/Qmax 0.2 sampai 1.0. [1, 3, 4].
Efisiensi kincir air overshot asli tidak tergantung (independen) terhadap semua parameter kecuali sudut tumpahan.
Ini merupakan konsekuensi dari asumsi kami bahwa berputarnya roda sepenuhnya hanya didukung oleh gravitasi, yaitu
dengan berat air saja, dan bukan momentum. Efisiensi bisa 100% jika sudut tumpahan adalah 1 = , sehingga air
memberikan kontribusi untuk torsi sampai di bagian bawah roda. Pada gambar 1 ditunjukkan ketika roda diputar, air
tumpah keluar dengan semakin meningkatnya . Juga, ketika air limpahan sisi atas mengalir ke dalam ember, kemudian
mengalir dari satu ember ke ember yang lebih rendah (cascade flow) sehingga roda kincir dapat berputar. Untuk
memungkinkan efek ini, maka ditetapkan faktor kerugian x () ke masing-masing ember, sehingga dapat dihitung total
torsi karena berat air pada ember sebagai berikut:

0 sin()

[1 cos (1)]

(2)
(3)

Seperti sebelumnya dengan asumsi bahwa n besar, kita akan mengabaikan torsi yang timbul dari ember dikosongkan
ketika mereka mencapai 1 (berlawanan dari pers. (3).
Momen torsi kincir air overshot ideal menurut persamaan gerak adalah
I = T - TL

(4)

E-58

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9
di mana I adalah momen inersia dari roda ditambah air, dimana = d / dt sedangkan T adalah Torsi dan TL adalah
Torsi akibat beban konstan. Artikel ini tidak untuk menguraikan persamaan gerak (4), tetapi hanya mencatat bahwa ada
sebuah keadaan yang stabil untuk sistem ini dengan kecepatan sudut sebesar
(1)]
= gQR/TL[1 cos

(5)

Kita bisa menghitung efisiensi kincir air yaitu: Energi input oleh masing-masing ember adalah Ein = 2 m g R dan

konstan.
daya yang dihasilkan adalah = dengan asumsi laju kecepatan
1

Total daya input:

= 2.1 . = 2. . . . dan jika daya ouput adalah =


. maka efisiensi kincir air dapat diperoleh
dengan persamaan
=

= 2 2 1

(6)

Desain kincir overshot seperti Gbr. 1 di bawah kurang praktis karena setiap mencapai batas akhir sudut 1 harus
menumpahkan air pada bucket pada sebuah pembatas akhir sehingga menimbulkan bunyi pukulan. Terdapat model
desain yang lebih umum digunakan untuk rancang bangun kincir air Overshot, seperti terlihat pada Gbr 2 berikut ini.

Gambar 1: Kincir Overshot Ideal [2]

Gambar 2: Model desain Kincir Overshot menggunakan


pembatas ember (buckets separator) [2].

Pada Kincir seperti gbr. 2 M. Denny menguraikan rumus efisiensi sebagai fungsi yaitu: [2]

1+sin ()
2+

2
2

(7)

Menggunakan desain kincir seperti gbr. 2 juga mempunyai keterbatasan, dimana Torsi yang dihasilkan hanya tergantung
pada volume air pada ember dan pengaruh grafitasi saja. Kincir seperti ini masih belum menggunakan prinsip
momentum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dikembangkan modifikasi kincir air pada gbr.2 dengan menambahkan
sudu pada setiap ember yang akan didorong oleh gaya momentum pancaran air dari nozzle di bawahnya dengan sumber
tekanan dari pompa hydram yang memanfaatkan tumpahan air pada setiap ember (buckets) seperti terlihat pada gbr. 3.
2. Metodologi Penelitian
Modifikasi yang dilakukan adalah dengan menambahkan penangkap atau keeper dimana pada sisi radial mampu
menangkap limpahan air dari buckets karena efek gaya sentrifugal kemudian mengalir melalui saluran untuk dipompa
dengan sistem hydram dan keluar melalui nozzle dan diarahkan untuk menabrak sudu Buckets saat berada di posisi
bawah roda kincir (lihat gbr.3). Sedangkan pada keeper bagian atas terdapat mulut rahang yang berfungsi sebagai
penangkap limpahan air dari kanal yang tidak tertampung oleh bucket yang terhubung ke pompa hydram menghasilkan
tekanan menuju nozzle kedua. Seperti halnya pada saluran pertama, pada saluran kedua ini juga berujung pada nozzle
yang menghasilkan energi kinetik untuk menabrak sudu buckets di bagian bawah roda kincir. Sistem dengan dua pompa
hydram yang yang terhubung ke nozzle dinamakan overflow keeper double nozzle (OKDN).

E-59

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3: Modifikasi Kincir Air Overshot


Menggunakan Gaya momentum sistem Hydram.
2.1.

Gambar 4: OKDN sistem pompa hydram

Pengukuran Debit.

Pengukuran debit aliran air pada kanal menggunakan V-notch Weir dengan sudut 30o seperti terlihat pada
Gambar 5.
Persamaan debit aliran pada kanal:
q = 8/15 Cd (2g)1/2 tan(/2) h5/2
(8)
dimana,
q = debit aliran (m3/s)
Cd = konstanta debit (0,74)
= Sudut V - Notch (30o)
g = gravitasi (9.81 m/s)
h = Tinggi muka air pada Weir
2.2 Pengukuran Daya dan Putaran

Pengukuran daya dilakukan secara langsung pada generator menggunakan rangkaian mikrokontrol melalui
tegangan serta arus yang dibaca sensor sehingga dapat terbaca daya (watt) pada display yang disediakan.
Demikian pula untuk mengukur putaran poros digunakan sensor otokopler sehingga dapat terbaca pada
display besarnya putaran terukur dalam satuan Rpm (lihat Gbr 6)..
Sedangkan Torsi pada poros dapat dihitung melalui perhitungan pembagian daya terukur (watt) dengan
kecepatan sudut = n /30.

Gambar 5: V notch Weir

Gambar 6: Pengukur Daya & Putaran Digital

E-60

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

3.

Hasil Rancangan dan Pembahasan

Semua dimensi hasil rancang bangun prototype disesuaikan dengan skala model. Dalam pengujian ini, roda memiliki
lebar bucket 0,11 m dan diset sejajar dengan kanal terbuka sepanjang 1,20 m serta lebar 0,098 m. Suplai air dari
tandon bawah di pompa menuju tandon atas lalu dihubungkan ke kanal terbuka untuk mengalirkan air yang akan
menggerakkan kincir air overshot. Pada tandon atas dan kanal ini terpasang V-notch weir untuk mengukur volume
aliran masuk Q seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
3.1 Hasil Rancang Bangun
Hasil rancang-bangun modifikasi model kincir jenis Overshot menggunakan parameter dan dimensi utama sebagai
berikut :
Diameter Roda Kincir
D = 0,70 m
Keterangan detail gambar 8:
Head Kincir
H = 0,75 m
1. Tandon air bawah
2. Pompa Air
Debit aliran masuk
Qmax = 0,01
3. Tandon air atas
Sudut dinding buckets
= 45o
4. Roda Kincir dan generator
Sudut sudu masuk bucket
1 = 42o
5. Keeper (Penangkap) overflow
Sudut sudu keluar bucket
2 = 85o
6. Pompa hydram

Gambar 7: Desain roda kincir dengan sudut dinding


buckets

Gambar 8: Desain susunan Kincir OKDN

3.2 Hasil Percobaan


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

84.2

Torque_Conventional x 0.1 [N.m]

73.5

Torque_Modified x 0.1 [N.m]

61.6

Rpm_Conventional
Rpm_Modified
Power_Conventional [watt]
Power_Modfied [watt]
Eff. Conventional [%]

0,2

0,4

0,6

0,8

Q/Qmax

Eff. Modified [%]


Eff. Theoritical base eq.7. [%]

Gambar 9: Kinerja Kincir Overshot Model Konvensional, Modifikasi (OKDN), dan Teoritis.

E-61

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Rumus efisiensi teoritis kincir overshot seperti yang disajikan pada persamaan (7) agak berbeda dengan
kondisi aktual (lihat gbr.9) hal tersebut dikarenakan desain ember (buckets) mengalami modifikasi bentuk walaupun
tetap berdasarkan sudut dinding yang sama.
Pada gambar 9 juga menunjukkan bahwa efisiensi kincir overshot yang menggunakan OKDN lebih tinggi
dibandingkan dengan yang konvensional (Gbr.7). Hal ini membuktikan bahwa prinsip perubahan momentum pada
sudu lengkung yang ditambahkan pada buckets (ember) menghasilkan gaya dorong adalah merupakan kunci
keberhasilan dalam modifikasi kincir air ini.

4. Kesimpulan Dan Saran


4.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Performansi dari kincir air dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : dimensi kincir, bentuk sudu, debit air (kinetic
head) dan tinggi jatuh air (actual head).
2. Modifikasi OKDN dengan pompa hydram memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap efisiensi kincir overshot
dari 61,6 % menjadi 73,5.% hal tersebut akibat adanya aplikasi gaya momentum pada sudu kincir yang sebelumnya
hanya mengandalkan gaya berat gravitasi saja (lihat gambar 3).
3. Modifikasi OKDN meningkatkan kinerja daya, torsi, efisiensi, tetapi tidak berpengaruh terhadap putaran.

4.2 Saran
Penelitian untuk tahap berikutnya sebaiknya difokuskan kepada peningkatan kapasitas, optimasi
pompa hydram dan perbaikan desain keeper OKDN yang belum optimal mengurangi kerugian volumetris
air limpahan dari buckets, serta didukung dengan simulasi Computerized Fluid Dynamics (CFD).
5. Daftar Pustaka
[1] Ali Al Sam (2010), Water Wheel CFD Simulation. Thesis for the Degree of Master of Science, Lund University.
[2] Denny M (2004), The Efficiency of Overshot and Undershot Waterwheels, European Journal of Physics. (Vol. 25)
pp.193-202
[3] Fox Robert W & Mc. Donald A (1994), Introduction to Fluids Mechanics, John Wiley & Sons, Inc. SI Version.
[4] Muller G & Kauppert K (2004), Performance Characteristics of Waterwheels, Journal of Hydraulic Research
(Vol 42) pp. 451-460
[5] Muller G & Wolter C (2004), The Breastshot Waterwheel: Design and Model Test, Proceeding of the Institution
of Civil Engineers Engineering Sustainability 157.
[6] Senior J , Wiemann P & Muller G (2010), The Rotary Hydraulics Pressure Machine For Very Low Head
Hydropower Sites, Civil Engineering Departement University of Southampton.
[7] Shuaibu Mohammed (2007), Design And Construction Of A Hydraulic Ram Pump, Leonardo Electronic Journal
of Practices and Technologies ISSN 1583-1078 Issue 11, July-December p. 59-70.

E-62

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Waktu dan Temperatur Karbusasi Baja Karbon Rendah dengan Media Arang
Batok Kelapa
(Effect of Time and Temperature Carburizing of Low Carbon Steel with Coconut Charcoal
media)
Bukti Tarigan , Agus Sentana*
*)Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik - Universitas Pasundan (Unpas)
Jl. Setiabudhi no. 193 Bandung -40153
E-Mail : bukti.tarigan@yahoo.com
Abstrak
Karburasi dilakukan untuk menambah kadar karbon dipermukaan spesemen baja
karbon rendah untuk meningkatkan kekerasan dan ketahanan gesekan. Baja karbon rendah
( Low Carbon Steel) adalah salah satu baja yang paling mudah ditemukan karena banyak
digunakan sebagai konstruksi yang mempunyai sifat ulet dan tangguh, tetapi harga
kekerasan yang rendah. Untuk komponen komponen tertentu yang mempunyai kekerasaan
permukaan yang tinggi dan tahan aus baja karbon rendah baja karbon rendah tidak dapat
digunakan, kecuali baja tersebut harus ditingkatkan kadar karbonnya terutama pada bagian
permukaan dengan cara karburasi. Karburasi pada penelitian ini dilakukan dengan metode
karburasi padat dengan media arang batok kelapa. Untuk mendapatkan kedalaman difusi
karbon sangat dipengaruhi oleh waktu, temperature dan jenis media. Dalam penelitian ini
dilakuakan karburasi dengan waktu 0,5 jam sampai 3 jam dan temperature 8000 C sampai
9500C. Kedalaman difusi karbon dapat mencapai 1 mm dan setelah proses karburasi
dilanjutkan dengan proses perlakuan panas (quenching) sehingga permukaan baja tersebut
mencapai kekerasan 900 HV ,sedangkan bahan dasarnya hanya mempunyai kekerasan
maksimum 200HV.
Kata kunci: Karburasi, Baja Karbon Rendah, Material Teknik
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Industri-industri logam dan manufaktur banyak menggunakan baja karbon tinggi yang dalam aplikasinya
memerlukan tingkat kekerasan dan keausan yang tinggi.Bila menggunakan baja karbon tinggi ketangguhannya rendah
dimana sifat mekanik ini sangat dihindari dalam pengaplikasian karena dapat mengurangi umur pemakaian. Di lain
pihak, baja karbon rendah memiliki ketangguhan yang tinggi tetapi kekerasannya rendah. Jadi, idealnya adalah
diperlukan sifat mekanik yang keras dan tangguh.Oleh karena itu dilakukan karburisasi pada baja karbon rendah untuk
meningkatkan kekerasan di permukaannya.
Karburisasi dilakukan karena baja karbon rendah memiliki keuletan yang tinggi tetapi tidak dapat dikeraskan
dengan quenching secara langsung. Jadi, perlu ditambahkan unsur karbon ke permukaan baja melalui proses difusi
sehingga pada saat di-quenching menghasilkan fasa martensit yang sifat mekaniknya keras di permukaannya tetapi
bagian dalamnya tetap tangguh dan ulet.
1.2 Perumusan Masalah
Karburisasi dapat terjadi jika dilakukan pada temperatur austenisasi serta harus dibarengi dengan waktu
penahanan (holding time) agar difusi karbon mencapai kedalaman yang diinginkan. Proses karburisasi padat dipilih
karena mudah, ekonomis, dan sederhana bila dibandingkan dengan metode karburisasi lainnya.
Kedalaman karburisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti waktu karburisasi, temperatur karburisasi,
medium karburisasi, serta ukuran butir medium karburisasi.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahuai dan memperoleh kedalaman difusi karbon pada baja karbon rendah
2.
Membandingkan sifat-sifat mekanik antara spesimen sebelum dan sesudah karburisasi.
3. Membandingkan sifat-sifat mekanik antara spesimen sebelum dan sesudah proses quenching.
1.4 Difusi (3)
Mekanisme perpindahan atom karbon dari permukaan ke bagian dalam baja pada proses karburisasi adalah dengan
cara difusi. Difusi didefinisikan sebagai pergerakan atom relatif terhadap atom lain dari kisi ke kisi lain dibawah

E-63

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

pengaruh energi termal dan perbedaan konsentrasi. Pada kenyataannya, atom-atom pada material solid bergerak
konstan, dan dengan cepat mengubah posisinya di dalam kisi. Agar atom dapat melakukan pergerakan ini, dua kondisi
yang harus dipenuhi :
1.
Harus ada ruang kosong di dekat atom tersebut,
2.
Atom harus memilki energi yang cukup untuk memutuskan ikatan atom tetangganya dan mengakibatkan distorsi
kisi selama perpindahan (pergerakan).
Difusi dibedakan menjadi dua yaitu difusi interstisi dan difusi subsitusi. Proses karburisasi yang terjadi adalah
difusi interstisi karena perbedaan geometry atom Fe dan C lebih dari 15% (sesuai aturan Hume Rothery).
1.4.1 Difusi Subsitusi
Mekanisme difusi substitusi adalah bertukar tempatnya atom dari posisi normal dalam kisi, ke tempat
kekosongan (vacancy) kisi yang ada didekatnya, seperti ditunjukkan gambar 2.1. Difusi ini membutuhkan ruang kosong
agar proses dapat berlangsung. Konsentrasi kekosongan (vacancy) secara signifikan pada logam dapat ditemukan pada
temperatur yang tinggi. Pada difusi subsitusi, atom yang berdifusi akan bertukar tempat dengan kekosongan (vacancy)
dan arahnya saling berlawanan.

Gambar 1.1Mekanisme difusi subsitusi


1.4.2 Difusi Interstisi
Pada difusi interstisi, atom pengotornya memiliki ukuran yang cukup kecil sehingga cocok untuk mengisi posisi
interstisi.Atom-atom pengotor berupa hidrogen, karbon, nitrogen, dan oksigen.

Gambar 1.2 Mekanisme difusi Interstisi


Difusi interstisi lebih cepat terjadi daripada difusi subsitusi karena ukuran atom interstisi lebih kecil sehingga
daerah pergerakannya lebih banyak. Lagipula, posisi ruang kosong interstisi lebih banyak ditemukan daripada difusi
subsistusi (vacancy), Oleh karena itu, kemungkinan pergerakan atom secara interstisi lebih besar daripada difusi
substitusi.

1.4.3 Perhitungan Difusi karbon


Difusi yang terjadi mengikuti hukum Ficks yaitu :

J adalah jumlah dari karbon yang masuk tiap satuan waktu, D adalah koefisien difusi, dan gradient konsentrasi
karbon.Tanda negatif menyatakan bahwa arah difusi adalah gradient konsentrasi turun yaitu dari konsentrsi tinggi ke
konsentrasi rendah. Nilai D diperoleh dari persamaan :

= exp
2
Dimana :
D
= koeisien difusi pada temperatur tertentu (m /s)
= koeisien difusi pada temperatur kamar (m2/s)
Do
= energy aktifasi untuk berdifusi (J/mol), (eV/atom-K)
Qd
T
= temperature absolut (K)
R
= konstanta gas (1987 kal/mol atau 8.31 J/mol-K atau 8.62 eV/atom-K
=

E-64

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Diffusing
Species

Host
Metal

-Fe
(BCC)
-Fe
(FCC)
-Fe

-Fe

Fe
Fe

Cu
Zn
Al
Cu
Mg
Cu

Cu
Cu
Al
Al
Al
Ni

Tabel 1.1 Tabulasi dari data difusi [1]


Do (m2/s)
Activation Energy
Qd

2.8 x 10-4

251

2.60

5.0 x 10-5

284

2.94

6.2 x 10-7

80

0.83

2.3 x 10-5

148

1.53

-5

211
189
144
136
131
256

2.19
1.96
1.49
1.41
1.35
2.65

7.8 x 10
2.4 x 10-5
2.3 x 10-4
6.5 x 10-5
1.2 x 10-4
2.7 x 10-5

Calculated Values
T(C)

D (m2/s)

500
900
900
1100
500
900
900
1100
500
500
500
500
500
500

3.0 x 10-21
1.8 x 10-15
1.1 x 10-17
7.8 x 10-16
2.4 x 10-12
1.7 x 10-10
5.9 x 10-12
5.3 x 10-11
4.2 x 10-19
4.0 x 10-18
4.2 x 10-14
4.1 x 10-14
1.9 x 10-13
1.3 x 10-22

Energi aktivasi adalah energi yang dibutuhkan untuk mendifusikan satu mol atom. Energi aktivasi yang besar
akan mengakibatkan koefisien difusi menjadi kecil. Tabel 2.1 adalah tabel yang menyatakan besarnya Do dan Qd untuk
beberapa sistem difusi.
Kadar karbon sebagai fungsi dari jarak kedalaman secara teoritik, dihitung dengan persamaan berikut :

=

2
Dengan :

Cs
Cx
Co

= konsentrasi karbon di permukaan baja


= konsentrasi karbon di kedalaman x dari permukaan
= konsentrasi karbon awal dari baja

erf(x/ 2 Dt )

= Gaussian error function

Tabel 1.2 Nilai dari fungsi kesalahan (Error Function Values)

Nilai Gaussian error function ini diberikan secara matematis dalam bentuk tabel untuk berjenis-jenis harga
2 yaitu dalam tabel 1.3.

E-65

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Concentration

Cs Co
Cx
Cx Co
Co

Distance from interface, x

Gambar 1.3 Profil konsentrasi karbon pada spesimen


Parameter kadar karbon sebagai fungsi dari jarak kedalaman dapat dlihat seperti pada gambar 2.3 di atas.
Karburisasi (2)
Proses karburisasi adalah salah satu metode proses perlakuan permukaan. Proses perlakuan ini hanya
mengeraskan bagian permukaan logam saja tetapi bagian dalamnya tetap lunak dan tangguh. Metode pengerasan ini
berbeda dengan perlakuan panas yang mengeraskan bagian logam secara keseluruhan mulai dari permukaan sampai ke
bagian dalam.
Karburisasi pada umumnya diterapkan pada jenis baja karbon rendah karena tidak mudah dikeraskan dengan cara
quenching langsung, Agar baja karbon rendah dapat dikeraskan permukaannya, pengubahan komposisi permukaan dari
baja perlu dilakukan yaitu dengan cara mendifusikan karbon pada permukaan baja sehingga menjadi kaya akan
kandungan karbon, sedangkan pada bagian inti kadar karbonnya tidak berubah.
Proses karburisasi pada prinsipnya dilakukan dengan cara memanaskan baja tersebut sampai temperatur
austenisasi dalam media yang memiliki karbon potensial yang tinggi sehingga terjadi difusi atom-atom karbon dari
media ke dalam permukaan baja. Proses karburisasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

Meningkatkan ketahanan aus dengan cara meningkatkan kekerasan permukaan logam,

meningkatkan ketahanan terhadap pembebanan yang tiba-tiba (memiliki harga impak yang tinggi) karena bagian
dalam logam tetap lunak,

meningkatkan karakteristik fatigue dari logam.


1.5

1.5.1 Metoda Karburisasi


Karburisasi dapat dilakukan dalam lingkungan gas, liquid dan campuran padat. Tugas Akhir ini hanya akan
membahas tentang karburisasi padat. Dalam proses karburisasi padat, karbon bebas berdifusi ke lapisan permukaan
baja yang memiliki kandungan karbon yang rendah.

1.5.2 Karburisasi Padat (Pack Carburizing)


Karburisasi padat (pack carburizing) adalah metoda pengerasan permukaan baja dimana baja tersebut diletakkan
dalam tabung sementasi yang berisi campuran karburisasi (carburizing compound) lalu dipanaskan sampai temperatur
austenisasinya.
Keunggulan proses karburisasi padat (pack carburizing) adalah sebagai berikut:
1. Dapat menggunakan berbagai macam tungku karena tidak membutuhkan atmosfer tertentu,
2. Efisien dan ekonomis,
3. Media karburisasi mudah didapat.
Kerugian proses karburisasi padat adalah :
1. Memerlukan proses pembersihan permukaan benda kerja,
2. Sulit mendapatkan kedalaman difusi karbon yang kecil karena pengontrolannya yang sulit.
3. Sulit mengontrol konsentrasi karbon di permukaan dan gradient karbon.
4. Tidak cocok untuk proses direct quenching atau quenching dalam dies; sehingga membutuhkan proses pengerasan
lebih lanjut.
Pada karburisasi padat, sumber utama gas adalah menggunakan karbonmonoksida (CO). Karbonmonoksida
akan terdekomposisi menjadi karbondioksida dan karbon bebas. Selanjutnya, karbon bebas diserap oleh permukaan baja
sedangkan karbondioksida yang terjadi langsung bereaksi dengan campuran padat untuk membentuk karbonmonoksida
yang baru.

1.5.3 Mekanisme Karburisasi Padat


Istilah lain dari karburisasi dengan menggunakan medium padat adalah pack carburizing. Pada waktu
pemanasan, oksigen yang berada di dalam wadah sementasi akan bereaksi dengan karbon membentuk karbondioksida
(CO2). Reaksinya adalah :
C + O2

CO2
E-66

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Selanjutnya karbondioksida yang terbentuk akan bereaksi dengan karbon dari mediun karburisasai. Reaksinya
adalah :
2CO
CO2 + C
Meningkatnya temperatur proses akan mengakibatkan kesetimbangan reaksi bergeser ke arah kanan sehingga
kadar gas karbonmonoksida akan semakin banyak. Karbonmonoksida (CO) tersebut akan terdekomposisi pada
permukaan baja menjadi karbondioksida dan karbon seperti persamaan reaksi berikut :
Pemanasan dilakukan dalam rentang 850C - 950C dimana baja mencapai temperature austenisasinya.Atom
karbon yang dihasilkan reaksi di atas kemudian larut ke dalam fasa austenit dan berdifusi.Sedangkan CO2 yang
dihasilkan dari reaksi di atas bereaksi kembali dengan karbon yang terdapat pada medium diikuti dengan penguraian
CO pada permukaan logam, dan seterusnya.
Temperatur karburisasi, waktu penahanan,
ukuran butir
karburisasi, dan jenis medium karburisasi
2CO
CO2medium
+C
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi atom karbon ke dalam baja. Proses difusi terjadi dari kadar
tinggi ke kadar yang rendah. Oleh karena itu, pada proses karburisasi, kadar karbon yang dimiliki oleh media
karburisasi harus lebih tinggi daripada kadar karbon yang dimiliki oleh baja sehingga proses difusi dari medium ke baja
dapat berlangsung. Jika temperature karburisasi semakin tinggi, maka kandungan karbon dalam baja akan semakin
meningkat karena kadar kelarutan karbon dalam austenit juga semakin meningkat. Jika holding time semakin lama
maka difusi atom karbon ke dalam spesimen semakin jauh.

1.5.6 Temperatur Karburisasi dan Holding Time (1)

Proses karburisasi padat biasanya dilakukan pada temperature austenisasi yaitu pada rentang 850-950oC untuik
baja karbon rendah. Pada proses ini jumlah karbon akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur karena
kelarutan karbon dalam austenit juga akan meningkat. Setelah mencapai temperatur austenitsasi, dilakukan penahanan
temperatur selama waktu tertentu yang disebut dengan waktu penahanan (holding time).

(a)
(b)
Gambar 2.6 Pengaruh waktu karburisasi terhadap penetrasi karbon dalam baja
Holding time bertujuan untuk mengontrol kedalaman difusi karbon.Holding time disesuaikan dengan benda kerja
yang akan dikarburissi serta kedalaman yang difusi karbon yang diinginkan. Jika holding time semakin lamamaka
semakin dalam karbon berdifusi. Semakin ke arah dalam, kadar karbonnya akan semakin kecil sampai mencapai kadar
karbon induk. Jadi, kadar karbon tertinggi terdapat pada bagian permukaan spesimen baja seperti ditunjukkan gambar
2.6 (a) dan (b).

2.

METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang data-data yang diperoleh dari seluruh pengujuian yang dilakukan, seperti data
kekerasan dan struktur mikro material awal, material hasil proses karburisasi, dan material hasil proses perlakuan panas,
termasuk juga perhitungan dan analisis data.

E-67

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Mulai
Studi
Literatur

Perancangan
Percobaan

Pembuatan 5
buah spesimen

Pembuatan pack
bahan stainless

Arang batok dan


kalsium karbonat

Karburasi padat
o
o
T =850 C, 950 C ; t = 1 dan 3 jam

Quenching Hardening
T = 850oC ; t = 15 menit

Data
dan
analisa

Mikro Vikers

Metalogarafi

Kesimpulan
dan saran
Spesimen
awal

Selesai
Gambar 3.1 Diagram alir peneitian

ANALISA DATA
Sumber karbon yang biasa digunakan pada proses karburisasi padat adalah arang batok kelapa. Karena arang
batok mudah didapat dan harganya murah, maka digunakanlah sebagai sumber karbon untuk penelitian ini.

3.1

Karakteristik Awal Baja Karbon Rendah

Dari pemeriksaan struktur mikro diketahui bahwa material awal yang digunakan adalah baja karbon rendah
dengan kadar karbon sekitar 0,15%C. Fasa-fasanya terdiri dari ferit dan perlit (gambar 3.1).

E-68

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 3.1 Struktur mikro spesimen tanpa perlakuan (as it is)

3.2

Hasil Karburisasi
Hasil karburisasi pada material, dilakukan pengujian kekerasan dimana hasilnya dapat dilihat pada gambar 3.1.
Perbandingan Kekerasan Hasil Karburisasi
Harga Kekerasan (HV0,2)

1000
900
800

1 jam

700

3 jam

600
500
400
300
200
100
0

0,2

0,4

0,6

0,8

Jarak dari permukaan (mm)

1,2

1,4

1,6

Tabel 3.2 Harga kekerasan spesimen as carburized dengan holding time 1 jam
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa, kekerasan meningkat pada bagian permukaan sampai kedalaman 0.8
mm, untuk waktu karburisasi 1 jam. Hal ini dapat juga dilihat dari struktur mikro pada gambar 3.2.

Gambar 3.3 Struktur mikro hasil karburisasi1 jam


Pada gambar 3.2 diatas, dapat melihat bahwa karbon berhasil berdifusi ke permukaan logam yang ditunjukkan
dengan warna hitam pada struktur mikro permukaan logam.Fasa yang terjadi adalah perlit dan sementit eutectoid.
Ukuran butir bagian permukaan lebih halus dan semakin ke dalam ukuran butirnya semakin kasar sehingga menjadi
lebih lunak sampai mendekati kekerasan logam inti (base metal).
Dengan demikian terbukti bahwa kekerasan di bagian permukaan meningkat dengan adanya penambahan
kadar karbon dan ukuran butirnya menjadi lebih halus serta fasanya memiliki jumlah perlit yang lebih banyak dari pada
logam inti. Semakin ke arah dalam jumlah fasa perlit semakin sedikit dan ukuran butirnya semakin besar.Hal ini terjadi
karena difusi karbon yang terjadi semakin berkurang. Setelah mencapai kedalaman 0.8 mm dari permukaan persentas
E-69

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

perlitnya menjadi sama dengan logam inti dan tetap lunak hingga mencapai tengah-tengah spesimen. Kadar karbon
pada bagian inti ini adalah sekitar 0.15%C.
Sedangkan untuk karburisasi selama 3 jam, harga kekerasan dapat dilihat pada gambar 3.1. Karbon berhasil
berdifusi kedalam 1,2 mm dengan waktu penahanan karburisasi selama 3 jam. Struktur mikro dapat dilihat pada gambar
3.3, terdapat fasa proeutektoid sementit (warna putih) dan fasa perlit (warna hitam). Dari diagram fasa Fe-C, fasa-fasa
ini muncul jika dilakukan annealing pada baja karbon lebih besar dari 0,8%C. Jika dibandingkan dengan kadar karbon
awal spesimen sebelum karburisasi, hal ini membuktikan bahwa karbon berhasil berdifusi dengan adanya penambahan
kadar karbon. Setelah kedalam 1.2 mm dicapai struktur mikronya berupa perlit dan ferit yang berarti bahwa kadar
karbonnya lebih kecil dari 0.8%C yaitu sekitar 0.15%C.

Gambar 3.4 Struktur mikro hasil karburisasi 3 jam

3.3 Quench Hardening (Proses Pengerasan)


Setelah proses karburisasi, dilakukan proses pengerasan untuk membuktikan terbentuknya fasa martensite hasil
karburisasi tersebut. Proses pengerasan dilakukan dengan pemanasan hasil karburisasi pada temperatur 850oC, ditahan
selama 20 menit kemudian didinginkan dengan cepat didalam air. Untuk menghindari terjadinya dekarburasi selama
proses pemanasan, disekitar specimen ditaburi serbuk karbon.
Perbandingan Kekerasan Hasil Karburisasi
Harga Kekerasan (HV0,2)

260
240
220

1 jam

200

3 jam

180
160
140
120
100
0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,2

1,4

1,6

Jarak dari permukaan (mm)

Gambar 3.5 Perbandingan distribusi kekerasan hasil quenching


Quenching akan menghasilkan struktur martensit yang keras pada bagian permukaan dan jumlahnya akan
berkurang dengan bertambahnya kedalaman, sesuai dengan berkurangnya kadar karbon dari permukaan ke bagian inti
spesimen.
Harga kekerasan tertinggi yang diperoleh adalah 839 HVN pada kedalaman 0,1 mm dari permukaan spesimen.
Grafik menunjukkan harga kekerasan mengalami penurunan hingga kedalaman 0,8 mm, selanjutnya landai sampai ke
inti.

E-70

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 3.6 adalah struktur mikro spesimen pada kedalaman 0,1 mm dari permukaan. Struktur mikronya berupa
fasa martensit (berwarna hitam dan berbentuk seperti jarum) dan austeniit sisa (berwarna kuning) yang tidak berubah
menjadi martensit pada saat pendinginan cepat. Semakin banyak kadar karbon maka kemungkinan terbentuknya fasa
martensit BTC semakin besar. Gambar dibawah memperkuat pernyataan bahwa terjadi penambahan harga
kekerasan.Pada gambar tersebut terdapat fasa martensit berbentuk jarum (lath martensite) sampai kedalaman sekitar 0.8
mm dimana pada bagian permukaan jumlah fasa martensitnya lebih banyak.

Gambar 3.6 Struktur mikro hasil quenching (martensite)


Pada gambar 3.6 dan 3.7 menunjukkan bahwa terbentuk fasa martensit kasar di permukaan sedangkan di bagian
yang lebih dalam lain adalah martensit halus. Hal ini dipengaruhi oleh kadar karbon di permukaan lebih besar dari pada
di dalam.

Gambar 3.7 Struktur mikro (martensite) hasil quench


Pada gambar 3.5, harga kekerasannya adalah 925 HVN pada kedalaman 0,1 mm dari permukaan. Kekerasan ini
mengalami penurunan hingga kedalaman 1,1 mm menjadi 670 HVN. Kemudian dari kedalaman 1,2 mm sampai ke inti,
kekerasan konstan pada 411 HVN.

Kesimpulan
1.
2.
3.

4.

Penambahan kekerasan di permukaan pada baja karbon rendah dapat dilakukan dengan bahan baku arang
batok kelapa.
Peningkatan waktu penahanan karburisasi (holding time) dapat meningkatkan konsentrasi kadar karbon
yang berdifusi semakin banyak.
Peningkatan waktu penahanan akan menghasilkan kedalaman difusi karbon yang semakin panjang.

Kedalaman difusi karbon untuk karburisasi 1 jam adalah 0,8 mm.

Kedalaman difusi karbon untuk karburisasi 3 jam adalah 1,2 mm.


Proses quenching dapat meningkatkan kekerasan pada baja karbon rendah yang telah dikarburisasi karena
baja sudah memiliki cukup karbon untuk berubah fasa dari austenit menjadi martensit.

Kekerasan di permukaan hasil karburisasi selama 1 jam adalah rata-rata 243 HVN dan setelah diquenching kekerasan meningkat menjadi rata-rata 839 HVN.

Kekerasan di permukaan hasil karburisasi selama 3 jam adalah rata-rata 245 HVN dan setelah
dikarburisasi meningkat menjadi rata-rata 925 HVN.

E-71

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

5.

5.

Jika dibandingkan antara harga kekerasan dengan struktur mikro, terdapat korelasi yang sangat kuat yaitu
untuk spesimen as quenched, kekerasan tinggi di permukaan dan pada pengamatan struktur mikro terdapat
fasa martensit.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

ASM Handbook Committee, ASM Handbook Volume 4 Heat Treating, Ohio,1991


Krauss, George, Principles of Heat Treatment of Steel, Ohio: American Society for Metals, 1980
Callister, Wiliam D, Material Science and Engineering, an Introduction, Third Edition, John Wiley
and Son, 1984.

E-72

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Besi Cor Bergrafit Bulat Silicon Tinggi Sebagai Material Tahan Temperatur Tinggi
Alternatif
Darma Firmansyah Undayat, MT. 1)
Jurusan Teknik Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Negeri Bandung 1)
Jl. Kanayakan No. 21 Dago, Bandung 40135
Telp: 022-2500241, Fax: 022-2502649
E-mail: darmafirmansyah@yahoo.com1)
Abstrak
Polman Bandung dalam melaksanakan salah satu tridharma perguruan tinggi, yaitu
pengabdian terhadap masyarakat, mendapat tantangan untuk dapat menghasilkan material
yang mempunyai potensi kerja pada temperatur hingga 900 C. Terdapat beberapa jenis
baja/besi yang memiliki sifat tahan terhadap temperatur tinggi, seperti baja/besi paduan chrom
dan nikel. Tetapi pada umumnya jenis baja/besi tersebut biaya pembuatannya relatif mahal.
Salah satu material yang mempunyai potensi tahan terhadap temperatur tinggi dan biaya
pembuatannya relatif lebih rendah adalah Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi (4-6% Si).
Dengan paduan silicon tinggi, material tersebut memungkinkan memiliki ketahanan hingga
temperatur 900 C. Biaya pembuatannya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan jenis
baja/besi tahan temperatur tinggi lainnya adalah karena jenis dan jumlah paduannya yang
relatif lebih sedikit. Untuk dapat menghasilkan Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi serta
mengetahui sifat-sifatnya, maka perlu dilakukan penelitian percobaan pembuatan material
tersebut. Penelitian dilakukan dengan cara mengidentifikasi Besi cor bergrafit bulat silicon
tinggi terlebih dahulu, untuk mengetahui sifat-sifat yang dimilikinya menurut literatur.
Kemudian dilakukan percobaan pembuatan material tersebut. Material yang dihasilkan
kemudian diuji untuk mengetahui apakah material yang dibuat sesuai dengan literatur. Dari
penelitian ini didapatkan Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi berupa test specimen dan sifatsifat yang dimiliki oleh Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi tersebut. Sifat-sifat yang
teridentifikasi yaitu komposisi kimia, struktur mikro, sifat mekanik dan ketahanan terhadap
oksidasi pada temperatur tinggi (870 C). Dengan sifat-sifat yang dimiliki, terutama ketahanan
oksidasi temperatur tinggi, besi cor bergrafit bulat silicon tinggi dapat dijadikan material
temperatur tinggi alternatif untuk mensubstitusi material baja/besi paduan chrom dan nikel
yang biaya pembuatannya relatif lebih mahal.
Kata Kunci : Besi cor bergrafit bulat, Silikon tinggi, oksidasi temperatur tinggi, alternatif
1. Pendahuluan
Logam merupakan salah satu material yang banyak digunakan dalam bidang teknik. Hal ini terjadi karena sifat-sifat
yang dimiliki logam yang banyak bermanfaat, seperti kekuatan dan ketangguhannya.
Dalam perkembangannya, tuntutan dunia industri terhadap sifat logam semakin beragam, salah satunya adalah
temperatur kerja tinggi atau tahan terhadap oksidasi temperatur tinggi.
Polman Bandung dalam melaksanakan salah satu tridharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian terhadap masyarakat,
mendapat tantangan untuk dapat menghasilkan material yang mempunyai potensi kerja pada temperatur hingga 900
C.
Terdapat beberapa jenis baja/besi yang memiliki sifat tahan terhadap oksidasi temperatur tinggi, seperti baja/besi
paduan chrom dan nikel. Tetapi pada umumnya jenis baja/besi tersebut biaya pembuatannya relatif mahal.
Salah satu material yang mempunyai potensi tahan terhadap oksidasi temperatur tinggi dan biaya pembuatannya relatif
lebih rendah adalah Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi. Dengan paduan silicon tinggi, material tersebut
memungkinkan memiliki ketahanan terhadap oksidasi hingga temperatur 900 C. Biaya pembuatannya yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan jenis besi/baja tahan temperatur lainnya adalah karena jenis dan jumlah paduannya
yang relatif lebih sedikit.[3]
Untuk dapat menghasilkan Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi serta mengetahui sifat-sifatnya, maka perlu dilakukan
penelitian percobaan pembuatan material tersebut.

E-73

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

2. Metodologi Penelitian
Tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 1):
PENDAHULUAN
Merumuskan permasalahan pokok dan mencari hal-hal yang melatar belakangi masalah tersebut. Selanjutnya
menentukan tujuan dari penelitian ini.
STUDI LITERATUR
Mempelajari konsep-konsep umum dan teori-teori untuk menjelaskan permasalahan yang timbul dan dikembangkan
dalam pelaksanaan penelitian. Teori dari konsep yang digunakan berhubungan dengan Besi cor bergrafit bulat silicon
tinggi.
IDENTIFIKASI MATERIAL
Mengidentifikasi material, dalam hal ini Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi. Di sini dicari komposisi kimia dan sifatsifat yang dimiliki material menurut literatur. Hal ini dilakukan agar didapat data material menurut literatur, yang
nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam percobaan pembuatan material. Untuk keperluan benda uji, dilakukan
juga penentuan dimensi dan bentuk test specimen yang cocok untuk material tersebut di atas.
PERCOBAAN PEMBUATAN MATERIAL
Melakukan percobaan pembuatan Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi, mulai dari penentuan komposisi kimia hingga
pengujian material. Berhasil atau tidaknya percobaan ditentukan oleh hasil pengujian material yang mengacu pada data
hasil identifikasi material.
PENGUMPULAN DAN PEMBAHASAN DATA
Melakukan pengumpulan dan pembahasan data, yang terdiri dari data hasil identifikasi material dan data hasil
percobaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Menguraikan kesimpulan umum dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak
lain.
Mulai
Latar belakang dan
perumusan masalah
Tujuan penelitian
STUDI LITERATUR
IDENTIFIKASI MATERIAL
- Komposisi kimia
- Sifat-sifat
- Ukuran dan bentuk test
i
PERCOBAAN
PEMBUATAN MATERIAL
PENGUMPULAN DATA
- Data hasil identifikasi material
Data hasil percobaan
PEMBAHASAN DATA
KESIMPULAN DAN
SARAN
Selesai
Gambar 1. Diagram alir pemecahan masalah secara umum

E-74

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

3. Hasil dan Pembahasan


Identifikasi Material
Material yang diidentifikasi adalah Besi cor bergrafit bulat silikon tinggi yang memiliki komposisi kimia lengkap
sebagai berikut :
Tabel 1. Komposisi kimia Besi cor bergrafit bulat Silicon Tinggi [3]
C
2,90 3,80
2,90 3,80

Komposisi kimia [% berat]


Mn
P
S
0,30
<0,05
<0,01
0,30
<0,05
<0,01

Si
4,00 5,00
5,00 6,00

Mo
0,75 1,25
0,75 1,25

Mg res
0,030,06
0,030,06

Penambahan kandungan silicon pada besi cor ferritis, membawa pengaruh kepada penguatan matriks dasar. Hal ini
akan meningkatkan kekuatan tarik, kekuatan mulur dan kekerasan, tetapi akan menurunkan keuletan.
Molibdenum meningkatkan kekuatan tarik, kekuatan mulur dan kekerasan pada temperatur kamar, tetapi menurunkan
regangan karena terbentuknya karbida Mo stabil.
Sifat mekanik Besi cor bergrafit bulat silicon tinggi dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Sifat mekanik Besi cor bergrafit bulat Silicon Tinggi [3]
Komposisi kimia
45% Si, 0,751,25% Mo
56% Si, 0,751,25% Mo

Kekuatan
tarik
[N/mm2]
550
510

Kekuatan mulur
[N/mm2]

Regangan
[%]

Kekerasan
[HB 30]

480
-

5
0

200 240
306

Besi cor bergrafit bulat dengan kandungan Si > 4% memiliki ketahanan terhadap panas dan perubahan volume yang
baik. Tinggi rendahnya temperatur penggunaan besi cor tahan panas tergantung dari temperatur kritis, yaitu temperatur
dimana perubahan dari ferrit ke austenit dimulai. Temperatur penggunaan paling tinggi biasanya terletak dibawah
temperatur kritis.
Tabel 3. Ketahanan Panas Besi cor bergrafit bulat Silicon Tinggi [3]
Komposisi kimia
4 - 5% Si, 0,5 2% Mo
5 - 6% Si, sampai 2% Mo

Ketahanan panas
Tahan panas sampai 820 C umumnya sampai 880 C
Tahan panas sampai 950 C

Percobaan Pembuatan Material


Pada percobaan ini ditentukan dua jenis komposisi kimia yang berbeda. Perbedaan komposisi kimia terletak pada
kandungan silicon. Kandungan silicon yang pertama adalah antara 4 sampai 5%, sedang yang kedua adalah antara 5
sampai 6%. Pengambilan rentang di atas didasarkan atas pertimbangan bahwa dengan kandungan silicon pada rentang
pertama akan dihasilkan besi cor bergrafit bulat yang memiliki kombinasi sifat mekanik dan ketahanan oksidasi yang
baik, sedangkan dengan kandungan silicon pada rentang kedua akan dihasilkan besi cor bergrafit bulat yang memiliki
ketahanan oksidasi yang lebih baik tetapi sifat mekanik yang lebih buruk. Rincian kedua komposisi kimia tersebut di
atas adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Komposisi kimia besi cor bergrafit bulat silicon tinggi percobaan
Material
Jenis-1
Jenis-2

C
2,90 3,80
2,90 3,80

Si
4,00 5,00
5,00 6,00

Komposisi kimia [% berat]


Mn
P
S
0,30
<0,05
<0,01
0,30
<0,05
<0,01

E-75

Mo
0,75 1,25
0,75 1,25

Mg res
0,03 0,06
0,03 0,06

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Pada saat penentuan komposisi kimia material yang harus diperhatikan adalah dalam penentuan kandungan karbon dan
silicon dari rentang komposisi yang ada menurut literatur. Kandungan silicon disesuaikan dengan kebutuhan
temperatur kerja bahan sedangkan kandungan karbon disesuaikan dengan kandungan silicon yang diambil untuk
memenuhi harga karbon ekivalen yang tepat untuk ketebalan benda tertentu. Kandungan unsur yang lain ditentukan
menurut rentang komposisi kimia yang ada menurut literatur.
Setelah material dibuat, selanjutnya dilakukan pengujian material. Pengujian material yang dilakukan adalah pengujian
tarik dan kekerasan pada temperatur ruang, pengujian komposisi kimia, struktur mikro dan oksidasi.
Tabel 5. Hasil uji kekerasan
Material
Jenis-1
Jenis-2

C
2,90 3,80
2,90 3,80

Komposisi kimia [%]


Mn
P
S
0,30
<0,02
<0,01
0,30
<0,02
<0,01

Si
4,00 5,00
5,00 6,00

Mo
0,75 1,25
0,75 1,25

Mg res
0,030,06
0,030,06

Kekerasan
HB 30
241
308

Tabel 6. Hasil uji tarik


Komposisi kimia
Material
Jenis-1
Jenis-2

Si

Mn

Mo

Mg res

Kekuatan
tarik
[N/mm2]

2,93,8
2,93,8

4-5
5-6

0,3
0,3

<0,02
<0,02

<0,01
<0,01

0,751,25
0,751,25

0,030,06
0,030,06

648
515

Kekuatan
mulur
Rp 0,2%
[N/mm2]
583
-

Regangan
[%]
5
1,4

Dari dua sifat mekanik yang diuji, yaitu uji kekerasan dan uji tarik pada temperatur ruang, semua hasil pengujian
menunjukan angka di atas angka menurut literatur.
Hasil pengujian kekerasan untuk material dengan 4-5% Si dan 0,75-1,25% Mo adalah 241 HB 30, sedangkan harga
kekerasan menurut literatur adalah 200-240 HB 30. Dan material dengan 5-6% Si dan 0,75-1,25% Mo memiliki
kekerasan rata-rata 308 HB 30, sedangkan harga kekerasan menurut literatur adalah 306 HB 30.
Hasil pengujian tarik untuk material dengan 4-5% Si dan 0,75-1,25% Mo adalah : kekuatan tarik = 648 N/mm2 ;
regangan = 5%, sedangkan menurut literatur adalah: kekuatan tarik = 550 N/mm2 ; regangan = 5%. Dan hasil uji tarik
material dengan 5-6% Si dan 0,75-1,25% Mo adalah: kekuatan tarik = 515 N/mm2 ; regangan = 1,4%, sedangkan
menurut literatur adalah: kekuatan tarik = 510 N/mm2 ; regangan = 0%.
Hasil pengujian komposisi kimia untuk material jenis-1 (Si = 4 5 %) adalah sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil uji komposisi kimia material jenis-1
Komposisi kimia rata-rata [% berat]
C
3,13913

Si
4,20767

Mn
0,33800

P
0,01636

S
0,01136

Mo
0,88462

Mg res
0,04287

Hasil pengujian komposisi kimia untuk material jenis-2 (Si = 5 6 %) adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Hasil uji komposisi kimia material jenis-2
Komposisi kimia rata-rata [% berat]
C
2,91962

Si
5,76125

Mn
0,34271

P
0,01681

S
0,01124

Mo
0,95243

Mg res
0,06587

Dari hasil pengujian komposisi kimia material yang dibuat menunjukan bahwa semua kandungan unsur-unsur masuk
dalam rentang komposisi yang ditentukan.
Hasil pengujian struktur mikro untuk material jenis-1 (Si = 4 5 %) dan jenis-2 (Si = 5 6 %) adalah sebagai berikut :

E-76

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Struktur mikro dasar


Grafit
Bentuk
: VI
Ukuran
: 6
Pembulatan : 80 %

Ferrit
: 95 %
Karbida Mo : 5 %

Struktur mikro dasar


Grafit
Bentuk
: VI
Ukuran
: 6
Pembulatan : 90 %

Gambar 2
Struktur mikro material jenis-1 (Si = 4 5 %)

Ferrit : 95 %
Karbida : 5 %

Gambar 3
Struktur mikro material jenis-2 (Si = 5 6 %)

Pengujian oksidasi dilakukan dengan cara memanaskan benda kerja pada media udara bebas dalam oven sampai 870 C
kemudian ditahan pada suhu tersebut selama 20 jam dan didinginkan dalam oven hingga temperatur kamar. Hal ini
dilakukan sebanyak 4 kali.
Hasil dari pengujian adalah berupa pengurangan berat dan kedalaman penetrasi oksidasi.
ditunjukan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil uji Oksidasi
Komposisi kimia
4 5% Si, 0,75 1,25% Mo
5 6% Si, 0,75 1,25% Mo
2,9% Si
1)

Perubahan berat
[g] 1)
-0,02 (0,03%)
-0,01 (0,01%)
+1,43 (2,1%)

Hasil selengkapnya

Kedalaman penetrasi
[mm] 1)
0,18
0,08
0,85

setelah dipanaskan selama 20 jam pada temperatur 870 C sebanyak 4 kali.

Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa material dengan kandungan silicon tinggi (Si > 4%) memiliki ketahanan panas
dan volume yang baik. Sedangkan material dengan kandungan silicon normal untuk besi cor bergrafit bulat (2 - 3,5%)
tidak memiliki ketahanan panas dan volume yang baik.
Untuk material dengan 4-5% Si dan 0,75-1,25% Mo setelah dipanakan selama 20 jam pada temperatur 870 C
sebanyak 4 kali terjadi pengurangan berat 0,02 gram dan kedalaman oksidasi 0,18 mm, material dengan 5-6% Si
dan 0,75-1,25% terjadi pengurangan berat 0,01 gram dan kedalaman okidasi 0,08 mm, sedangkan material dengan
2,9% Si terjadi penambahan berat 1,43 gram dan kedalaman okidasi 0,85 mm.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Material besi cor bergrafit bulat silicon tinggi dengan 4-6% Si dan 0,75-0,25% Mo telah berhasil dibuat berupa test
specimen dengan sifat-sifat sebagai berikut :
Tabel 10. Sifat-sifat besi cor bergrafit bulat silicon tinggi dengan 4-6% Si dan 0,75-0,25% Mo
Komposisi kimia [% berat]
C
Si
Mn
P
S
Mo
Mg res
3,13913
4 ,20767
0,33800
0,01636
0,01136
0,88462
0,04287
1)
2,91962
5,76125
0,34271
0,01681
0,01124
0,95243
0,06587
2)

E-77

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Struktur mikro
Komposisi kimia
1)

2)

Grafit
Bentuk
Ukuran
Pembulatan
Grafit
Bentuk
Ukuran
Pembulatan

: VI
: 6
: 80 %
: VI
: 6
: 90 %

Struktur mikro
Struktur mikro dasar
Ferrit
: 95 %
Karbida Mo
: 5%
Struktur mikro dasar
Ferrit
Karbida Mo

: 95 %
: 5%

Sifat mekanik
Komposisi kimia

Kekuatan tarik
[N/mm2]

1)
2)

648
477

Kekuatan mulur
Rp0,2
[N/mm2]
583
-

Ketahanan oksidasi temperatur tinggi


Perubahan berat *)
Komposisi kimia
[g]
1)
0,02 (0,03%)
2)
0,01 ( 0,01%)

Regangan
[%]

Kekerasan
[HB 30]

5
1,4

241
308

Kedalaman penetrasi *)
[mm]
0,18
0,08

*) Setelah dipanaskan selama 20 jam pada temperatur 870 C sebanyak 4 kali.

2. Dengan sifat-sifat seperti tersebut di atas, terutama ketahanan oksidasi temperatur tinggi, material besi cor bergrafit
bulat silicon tinggi dengan 4-6% Si dan 0,75-0,25% Mo dapat dijadikan material tahan temperatur tinggi alternatif
untuk mensubstitusi material baja/besi paduan chrom dan nikel yang biaya pembuatannya relatif lebih mahal.

5. Daftar Pustaka
[1] Hoyt,S.L. : Metal Properties. ASME HANDBOOK.
[2] Karsay, S.I. : Ductile Iron I.II.III. Quebec Iron and Titanium Corporation (1969).
[3] Rhrig, K.: Gueisen mit Kugelgraphit mit 4 bis 5% Si - Eigenschaften. Konstruieren + gieen 4 (1978).
[4]
: Metallurgy & Production of Grey & Ductile Iron. BCIRA.
[5]
: JIS HANDBOOK (1985).

E-78

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Analisa Paduan Alumunium sebagai Anoda Korban untuk Mereduksi Laju Korosi di
Lambung Kapal
Eko Julianto Sasono 1, Seno Darmanto2, Bayuseno3, Edy Supriyo 4
Program Diploma III Teknik Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro1
Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro2
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro3
Program Diploma III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro4
Jln. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 024 7471379
Email:ekojulianto@yahoo.com

Abstrak
Penelitian dilakukan untuk menganalisa keefektifan paduan alumunium sebagai anoda korban
untuk perlindungan bodi lambung kapal. Analisa keefektifan paduan alumunium sebagai anoda
korban difokuskan pada seleksi bahan paduan, seleksi elektrolit, pembuatan media untuk
menguji proses korosi dan pengujian laju korosi. Bahan anoda karbon menggunakan paduan
alumunium. Kemudian spesimen uji pelat baja menggunakan pelat baja grade A (BKI). Larutan
elektrolit menggunakan air laut dari laut Jawa yang telah sesuai dengan standar ASTM D114198 (standard practice for the preparation of substitute ocean water) dan volume air laut sebagai
larutan elektrolit sesuai ASTM G71-81 (standard guide for conducting and evaluating galvanic
corrosion test in electrolytes). Eksperimen laboratorium dilakukan dengan uji celup (immersion
corrosion test of metal) sesuai dengan standart test korosi metal dari ASTM G31-72 untuk
memperoleh data korosi yang terjadi pada pelat baja dan anoda. Dan uji laju korosi
menunjukkan bahwa laju korosi rata-rata spesimen C dengan perlindungan anoda korban
paduan Aluminium C menunjukkan hasil terendah (rata-rata 0,065 mm/tahun), dibandingkan
dengan spesimen A (rata-rata 0,095 mm/tahun), B (rata-rata 0,096 mm/tahun), yang masingmasing dilindungi dengan anoda korban paduan Aluminium A dan B serta spesimen D (tanpa
anoda korban ,rata-rata 0,139 mm/tahun).
Kata kunci: anoda, katoda, elektrolit, paduan alumunium, laju korosi
Pendahuluan
Salah satu sumber kerusakan terbesar pada pelat kapal laut adalah korosi air laut. Air laut mempunyai sifat korosif
sehubungan dengan kandungan di dalamnya meliputi ion klorida, kehantaran listrik, oksigen, kecepatan aliran,
temperatur, fouling, tegangan, pencemaran, silt dan sendimen tersuspensi, deposit yang terbentuk (Fontana, 1986). Ion
klorida mempunyai sifat korosif terhadap logam yang mengandung besi. Baja karbon dan logam besi di dalam air laut
tidak dapat dipasifkan sehubungan garam air laut mengandung klorida lebih dari 55%. Selanjutnya kehantaran yang
tinggi memungkinkan anoda dan listrik katoda tetap bekerja walau jaraknya jauh sehingga peluang terkena korosi
meningkat tajam dibanding dalam air tawar. Korosi pada plat baja dikendalikan secara katodik di mana oksigen akan
mendepolarisasi katoda, sehingga mudah terjadi korosi terutama dengan kandungan oksigen yang tinggi. Kemudian laju
korosi meningkat dengan adanya gelombang dan arus laut yang tinggi di mana efek lebih lanjut menyebabkan
kerusakan lapisan anti karat, menghasilkan banyak oksigen, mempercepat penetrasi dan membuka rongga di permukaan
baja. Temperatur air laut yang tinggi juga akan meningkatkan sifat korosif. Selanjutnya pengotoran pelat baja karena
binatang laut akan meningkatkan sifat korosif. Tegangan yang berulang-ulang juga akan menyebabkan kelelahan
material terutama yang telah terkena korosi dan akan mempercepat kegagalan struktur.
Penggunaan besi maupun baja sebagai bahan utama pembuatan kapal masih dominan hingga saat ini. Dari segi biaya
dan kekuatan, penggunaan besi dan baja untuk bangunan kapal memang cukup memadai. Tetapi besi dan baja sangat
reaktif dan mempunyai kecenderungan yang besar untuk terserang korosi air laut. Berdasarkan konstruksi di galangan
kapal, pelat lambung kapal adalah daerah yang pertama kali terkena air laut. Pada daerah lambung ini bagian bawah
garis air ataupun daerah atas garis air rentan terkena korosi. Korosi pada pelat lambung kapal dapat mengakibatkan
turunnya kekuatan, umur pakai kapal, mengurangi kecepatan kapal, mengurangi jaminan keselamatan dan keamanan
muatan barang dan penumpang.
Korosi merupakan masalah teknis yang serius. Di negara-negara maju sekalipun, masalah ini secara ilmiah belum
terjawab secara tuntas. Selain merupakan masalah ilmu permukaan yang merupakan kajian dan perlu ditangani secara
E-79

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

fisika, korosi juga menyangkut kinetika reaksi kimia. Pada tingkat aplikasi di industri, korosi juga menjadi masalah
ekonomi karena menyangkut umur, penyusutan dan efisiensi pemakaian suatu bahan maupun peralatan dalam kegiatan
industri. Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh korosi tidak hanya biaya langsung seperti pergantian peralatan industri,
perawatan jembatan, konstruksi dan sebagainya, tetapi juga biaya tidak langsung seperti terganggunya proses produksi
dalam industri serta kelancaran transportasi yang umumnya lebih besar dibandingkan biaya langsung. Beberapa negara
telah menghitung biaya korosi skala nasional dengan cara yang berbeda-beda di mana kisarannya di antara 1,5 5,0
persen dari GNP (Akhadi, ). Para ahli dan praktisi cenderung sepakat untuk menetapkan biaya korosi sekitar 3,5
persen dari GNP (Broomfield, J.P, 1998 di dalam Ridha at al, 2010). Ditinjau dari biaya perawatan di industri kimia dan
petrokimia, biaya untuk menanggulangi masalah korosi bisa mencapai 70 sampai 80 persen dari seluruh biaya
perawatan (Sulistiono, 2007). Data nilai ekonomi kerugian korosi di beberapa negara menunjukkan $ 70.000.000.000
(USA pada tahun 1978) dan $ 170.000.000 (Sulistiono, 2007), $ 700.000.000 (Australia pada tahun 1972) , $
1. 000. 000. 000 (In ggr i s pa da tahun 1956) dan $ 1.000. 000. 000 (In don esi a pa da t ahun 1992).
Untuk menghindari kerugian lebih besar akibat korosi air laut, maka pelat lambung kapal perlu perlindungan korosi
secara berkala. Sampai saat ini untuk melindungi pelat lambung kapal terhadap korosi air laut masih memfokuskan pada
3 (tiga) cara yaitu menghindari penyebab korosi, perlindungan secara pasif (dengan pengecatan) dan perlindungan
secara aktif (dengan metoda cathodic protection). Metoda cathodic protection merupkan metode pengorbanan anoda
korban (sacrificial anode). Perlindungan dengan anoda korban mempunyai kelebihan diantaranya lebih sederhana,
stabil dan biaya perawatan yang lebih rendah (Tsai, 1996). Dan jenis anoda korban yang telah diaplikasikan secara luas
adalah paduan seng dan paduan aluminium (Sasono, 2009; Andarini, 2011; BKI, 2006). Tersedianya dua jenis anoda
korban ini memberikan pilihan bagi para pemakai untuk memakai jenis anoda korban yang sesuai dengan
kebutuhannya. Dasar pemilihan ini seharusnya atas pertimbangan kinerja kedua jenis anoda korban tersebut yang
meliputi; massa jenis, potensial proteksi, tegangan dorong, kapasitas dan efisiensi yang dihasilkan (Sasono, 2009;
Anggono, 2000). Anoda korban aluminium mempunyai kelebihan tingkat reliability yang lebih lama dan juga
mempunyai karakteristik arus dan berat yang lebih ringan dibandingkan dengan anoda korban paduan seng. Kualitas
anoda korban alumunium dapat dipengaruhi oleh komposisi paduan alumunium(Sasono, 2009; Tsai, 1996). Ada
beberapa anoda korban aluminium di pasaran yang biasa digunakan di perusahaan dok dan galangan kapal saat ini,
sebagai cathodic protection pada lambung kapal, dan di antaranya mempunyai komposisi paduan yang berbeda. Selain
kemampuan anoda korban aluminium yang berbeda-beda, adakalanya di industri ditemui lambung kapal yang terserang
korosi berat dikarenakan kurangnya kebutuhan berat dan jumlah anoda korban yang dipasang. Serta posisi pemasangan
yang kurang tepat.

Metode Penelitian
Bahan penelitian utama terdiri dari bahan anoda, katoda dan larutan. Bahan anoda korban menggunakan paduan
alumunium. Anoda korban yang digunakan dalam eksperimen direncanakan ada 3 (tiga) jenis anoda korban paduan
Aluminium dengan ukuran 20,0 x 5,0 x 2,5 mm (berat 1,02 gram) dan paduan pendukung terdiri dari Si, Fe, Cu, Mn,
Zn, Mg dan Ti. Spesimen uji pelat baja menggunakan pelat baja grade A (BKI) setara dengan AISI E 2512 (E=kelas E,
25 = kandungan paduan Nikel (Ni) pada baja nominal 5,00%, 12 = kandungan paduan karbon (C) pada baja sebesar
0,12%). Kekuatan tarik plat baja menunjukkan yield strength (YS) 308 N/mm2- 327 N/mm2, tensile strength (TS) 438
N/mm2 464 N/mm2 dan elongation 26-29 %. Dan komposisi kimia pelat baja menunjukkan C: 0,14%, Mn: 0,66%, P:
0,026%, S: 0,017, Si: 0,27 dan Ni: 5,25% (Bureau Veritas, 2004). Selanjutnya bahan katoda menggunakan plat baja.
Bahan larutan terdiri dari NaOH dan Aquades. Larutan NaOH 10 % dan aquades digunakan sebagai bahan pembersih
untuk membersihkan spesimen uji pelat baja dan anoda korban paduan aluminium sesuai dengan standart ASTM G.181, tentang Standard Practice For Preparing, Cleaning and Evaluating Corrosion Test Spesiment. Dan larutan
elektrolit yang digunakan adalah air laut dari laut Jawa yang telah sesuai dengan standar ASTM D1141-98 (standard
practice for the preparation of substitute ocean water), dan volume air laut sebagai larutan elektrolit sesuai ASTM
G71-81 (standard guide for conducting and evaluating galvanic corrosion test in electrolytes) adalah 40 cm3 : 1 cm2
baja yang tercelup.
Peralatan penelitian pada prinsipnya terdiri dari bak plastik, kayu penjepit, baut dan mur, pompa air, solder timah. Bak
plastik (bak air) digunakan untuk menampung 40 liter larutan eletrolit (air laut) dengan ukuran 46,5 cm x 34,5 cm x
29,0 cm ) sebanyak 3 buah. Selanjutnya penjepit dari kayu ramin dengan ukuran 40,0 x 5,0 x 0,5 (cm) sebanyak 12
pasang yang digunakan untuk menjepit spesimen uji pelat baja yang akan dicelupkan ke dalam bak plastik. Baut dan
mur sejumlah 12 pasang digunakan untuk menahan jepitan spesimen uji agar tidak berubah posisi. Kemudian pompa air
sebanyak 3 buah digunakan untuk memberikan efek gelombang dalam 3 buah bak plastik yang berisi larutan elektrolit
(air laut ) dengan spesifikasi : P 1800, 220/240, 50 hzt. Dan solder timah digunakan untuk menempelkan anoda korban
paduan aluminium pada spesimen uji pelat baja ditambah dengan bantuan getah pinus (gondorukem), peralatan solder,
timah dan gondorukem. Kemudian alat ukur secara umum terdiri dari pH indikator, ultrasonic test, jangka sorong,
mikrometer dan timbangan berat. Indikator pH menggunakan kertas lakmus. Selanjutnya ultrasonic test digunakan
untuk mengukur ketebalan pelat lambung kapal. Kemudian jangka sorong digunakan untuk mengukur dimensi
spesimen dan mengukur pengurangan tebal spesimen, dengan ketelitian 0.001 inchi. Demikian pula mikrometer

E-80

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

digunakan untuk mengukur tebal spesimen uji, dengan tingkat ketelitian 0.01mm. Dan timbangan berat digunakan
untuk mengukur berat spesimen uji pelat baja. Kapasitas maksimum 600 gram (ketelitian : 0,01 gram).
Eksperimen laboratorium dilakukan dengan uji celup (immersion corrosion test of metal) sesuai dengan standart test
korosi metal dari ASTM G31-72 untuk memperoleh data korosi yang terjadi pada pelat baja dan anoda korban dengan
menggunakan tiga macam anoda korban paduan aluminium yang berbeda. Pelat baja dipersiapkan dengan ukuran 170,0
mm x 40,0 mm x 11,0 mm (sejumlah 12 spesimen). Kemudian pelat baja (spesimen) dibersihkan untuk menghilangkan
kotoran pada pelat baja agar terhindar dari terjadinya korosi awal, sesuai dengan standar ASTM G1-81, Standart
Practice for Preparing, Cleaning and Evaluating Corrosion Test Specimens. Dalam eksperimen laboratorium ini
susunan spesimen dibagi dalam 3 bak plastik (bak air laut), masing-masing spesimen dijepit dengan kayu dan
ditempatkan di atas mulut bak air laut dengan bagian yang tercelup 12 cm, seperti ditunjukkan di gambar 1. Waktu uji
celup yang digunakan dalam pengujian korosi, dilakukan berdasarkan standard ASTM G 31-72 (standard recommended
practice for laboratory immersion corrosion testing of metal) selama 240 jam (Tsai,1996) dengan interval 24 jam, 48
jam, 96 jam, 144 jam, 192 jam dan 240 jam.

Gambar 1. Susunan spesimen uji dalam bak air laut.


Pengambilan data penurunan berat dilakukan dengan penimbangan spesimen (pelat baja) untuk setiap periode tiap 48
jam, kecuali hari pertama dengan periode 24 jam. Sebelum penimbangan spesimen terlebih dahulu dibersihkan.
Perlakuan selama pembersihan adalah dengan jalan mencelupkan spesimen dalam larutan NaOH 10% selama 5 menit,
kemudian diangkat dan dicelupkan dalam aquades selama 5 menit. Kemudian dikeringkan dengan Oven dan baru
dilakukan penimbangan dan data dicatat

Hasil dan Pembahasan


0,300

laju korosi (mm/th)

0,250
0,200
A
0,150

B
C

0,100

D
0,050
0,000
0

5
6
7
waktu ekspose (hari)

Gambar 2. Laju korosi spesimen pelat baja A, B, C , D.

E-81

10

11

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Laju korosi rata-rata spesimen C dengan perlindungan anoda korban paduan Aluminium C paling rendah (rata-rata
0,065 mm/tahun), dibandingkan dengan spesimen A (rata-rata 0,095 mm/tahun), B (rata-rata 0,096 mm/tahun), yang
masing-masing dilindungi dengan anoda korban paduan Aluminium A dan B serta spesimen D (tanpa anoda korban
,rata-rata 0,139 mm/tahun). Secara umum fenomena laju korosi spesimen di hari pertama sampai hari ke dua waktu
ekspose jauh lebih tinggi, dari pada waktu ekspose hari ke 4, ke 6, ke 8 dan ke 10 hal ini terjadi karena lapisan pelat
baja lebih banyak melepas unsur-unsur paduan logam yang mudah terkorosi atau yang tidak tahan terhadap korosi,
seperti unsur, sulfat, silikon , mangan dan phospor, walaupun sedikit kandungannya pada baja, namun pada hari
pertama waktu ekspose terjadi laju korosi yang sangat tinggi. Dengan adanya anoda korban paduan aluminium yang
mempunyai kandungan indium maka laju korosi spesimen agak terhambat, terutama terlihat pada spesimen C dengan
anoda korban yang memiliki kandungan indium, laju korosi spesimen C waktu ekspose hari ke 1, ke 2, ke 4 dan ke 10
jauh lebih rendah dibanding spesimen A, B dan D. Selanjutnya laju korosi spesimen D yang tidak dilindungi dengan
anoda korban pada waktu ekspose hari ke-1, ke-2 dan hari ke-10 lebih tinggi dari spesimen A, B dan C. Hal ini
disebabkan permukaan spesimen D semakin melebar akibat korosi sebelumnya. Fenomena laju korosi spesimen A dan
B selama waktu ekspose naik turun, hal ini disebabkan karena pengaruh perubahan pH (pH naik laju korosi turun) dan
temperatur naik laju korosi naik serta pengaruh kecepatan aliran air laut.
Laju korosi anoda korban paduan aluminium C tertinggi dibandingkan dengan anoda korban paduan aluminium A dan
paduan aluminium B. Tingginya laju korosi anoda korban paduan aluminium C karena mempunyai kandungan
aluminium sebesar 97,165 % dan kandungan indium 0,03%. Sedangkan anoda korban paduan aluminium A hanya
mempunyai kandungan aluminium 86,116% tanpa kandungan indium, dan anoda korban paduan aluminium B hanya
memiliki kandungan aluminium sebesar 85,047% dan tanpa kandungan indium. Perbandingan laju korosi anoda korban
dapat dilihat dalam gambar 3. Secara umum laju korosi anoda korban paduan aluminium B dan C mulai hari ke-0
sampai hari ke-2 meningkat di mana paduam aluminium C sangat tajam, sedang paduan aluminium B cukup tajam,
kemudian setelah hari ke-2 ada kecenderungan menurun sampai hari ke-10 waktu ekspose. Di mana pada hari ke-2
sampai hari ke-4 paduan aluminium C penurunannya sangat tajam (CR=5,608mm/tahun ke CR=0,350 mm/tahun).
Sedangkan anoda korban paduan aluminium B, mulai hari ke-2 sampai hari ke-10 terus menurun cukup tajam (dari
CR=3,405 mm/tahun hari ke-2, sampai CR=0,651 mm/tahun hari ke-4 dan hari ke-8 , CR=0,200 mm/tahun) namun dihari
akhir ekspose hari ke-10 laju korosinya naik CR=0,350 mm/tahun. Untuk anoda korban paduan aluminium A, laju
korosinya cenderung menurun, di mana di hari ke-1 CR =1,702 mm/tahun, turun sampai hari ke-6 CR =0,150 mm/tahun,
namu laju korosinya naik lagi pada hari ke-8 CR = 0,451 mm/tahun dan di hari ke-10 turun lagi CR =0,200 mm/tahun.

laju korosi (mm/th)

6,000
5,000
4,000
3,000

2,000

B
C

1,000
0,000
0

10

11

waktu ekspose (hari)

Gambar 3 Laju korosi anoda korban paduan Al; A, B, dan C


Peningkatan laju korosi pada anoda korban paduan aluminium C yang sangat tajam mulai hari ke-1 sampai hari ke-2,
karena paduan aluminium C mengandung Al= 97,163% dan Indium = 0,03%. Kandungan unsur indium ini lah yang
dapat meningkatkan laju korosi anoda korban aluminium C dan memperbesar hambatan laju korosi pelat baja.
Peningkatan laju korosi anoda korban paduan aluminium A dan B tidak setajam anoda korban paduan aluminium C,
karena kandungan aluminium anoda korban A = 86,116% dan anoda korban B = 85,047% yaitu kurang dari 90% dan
tanpa kandungan indium.

E-82

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kesimpulan
Eksperimen laboratorium dilakukan dengan uji celup (immersion corrosion test of metal) sesuai dengan standart test
korosi metal dari ASTM G31-72 untuk memperoleh data korosi yang terjadi pada pelat baja dan anoda korban Analisa
keefektifan paduan alumunium sebagai anoda korban mampu menurunkan laju korosi. Aplikasi paduan alumunium
pada berbagai variasi menunjukkan pengaruh yang nyata dalam mereduksi laju korosi yakni spesimen C dengan
perlindungan anoda korban paduan aluminium C menunjukkan hasil terendah (rata-rata 0,065 mm/tahun), dibandingkan
dengan spesimen A (rata-rata 0,095 mm/tahun), B (rata-rata 0,096 mm/tahun), yang masing-masing dilindungi dengan
anoda korban paduan aluminium A dan B. Dan spesimen D tanpa anoda korban menunjukkan laju korosi rata-rata 0,139
mm/tahun).

Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini melalui Skim Penelitian Hibah Bersaing.
Kami juga memberikan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik dan Program Diploma III Teknik Perkapalan Universitas
Diponegoro yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini. Dan semua pihak yang telah terlibat langsung dan
tidak langsung dalam penelitian ini terutama mahasiswa, teknisi dan dosen di Program Studi Diploma III Teknik
Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Daftar Pustaka
Andarini, A.M., Studi Kasus Desain Proteksi Katodik Anoda Korban Pada Pipa Bawah Tanah Pdam Jaringan
Karang Pilang III, Abstrak Thesis Undergraduate Theses Fisika, ITS Surabaya, 2011
Anggono, Juliana. Citro, Soejono. dan Palapessy, Victor Rizal,Studi Perbandingan Kinerja Anoda Korban Paduan
Aluminium dengan Paduan Seng dalam Lingkungan Air Laut, Jurnal Teknik Mesin, Fakultas Teknologi
Industri, Universitas Kristen Petra, Surabaya, Volume 2 Nomor 1, halaman 89 99, 2000.
Akhadi, M, Korosi, Ahli Peneliti Muda Bidang Fisika di Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Fontana, Mars G, Corrosion Engineering, 3th Edition, Mc Graw Hill Book Co., New York, 1986
BKI Biro Klasifikasi Indonesia, Regulator for the Corrosion and Coating System, Edition 2004, BKI, Jakarta, 2004.
Ridha,M., Syarizal Fonna1,2, Syifaul Huzni1, Israr1 dan A. K. Ariffin, Boundary Element Method (Bem) Untuk
Evaluasi Desain Sistem Proteksi Katodik Anoda Korban, 1Department of Mechanical Engineering Syiah
Kuala University Jl.Tgk. Syech Abdul Rauf No. 7 Darussalam, Banda Aceh Provinsi Aceh, Indonesia, 2011.
Sasono, E,J, Perhitungan Laju Korosi Bodi Lambung Kapal dengan Anoda Korban Paduan Alumunium, Majalah
Kapal Vol 6 No. 1, 2009.
Sulistijono,Korosi Tingkatkan Biaya Perawatan, Redaksi ITS (redaksi [at] its.ac.id) - Desain dan Perawatan: Tim
Webmaster UPT Puskom ITSInstitut Teknologi Sepuluh Nopember, , 2007
Tsai, Tai Ming, Protection of Steel Using Aluminum Sacrificial Anodes in Artificial Seawater, Journal of Marine
Science and Technology, Volume 4, No.1, Tahun 1995, halaman 17 21, , 1995

E-83

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-84

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kajian Kinerja Serapan Bising Sel Akustik dari Bahan Kayu Olahan (Engineering Wood)
Ferriawan Yudhanto1)
Dosen Program Vokasi Teknik Mesin Otomotif dan Manufaktur
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta1)
Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Telp. (0274) 387656 (hunting) Fax.(0274) 387646
E-Mail : ferriawan_y@yahoo.com
Abstrak
Dalam perencanaan suatu ruang diperlukan pengertian terhadap bising (noise) yang mungkin
terjadi pada suatu ruang tertutup. Salah satu kebisingan yang sering terjadi adalah dengung.
Dengung oleh suara frekuensi rendah dapat menyebabkan terjadinya penyelubungan pada
semua jangkauan frekuensi. Karena itu peredaman bising pada frekuensi rendah merupakan
faktor penting dalam perencanaan ruang. Bentuk peredam bunyi yang efektif pada frekuensi
rendah adalah menggunakan disain resonator Helmholtz. Dimensi sekat rongga resonator dan
diameter lubang leher resonator merupakan variabel penting dalam mendisain resonator
Helmholtz. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi sekat rongga resonator
dan diameter leher resonator terhadap serapan bising sel akustk.
Resonator Helmholtz yang didisain menggunakan kayu olahan (engineering wood) yaitu
papan partikel sebagai bahan dasarnya. Sekat rongga resonator didisain berbentuk persegi
empat dengan lebar sisi 20x20 dan 50x50 mm. Sedangkan ketinggian sekat rongga resonator
yang didisain adalah 10, 20, dan 30 mm. Variabel lain yang digunakan adalah diameter leher
resonator 4 dan 10 mm. Penambahan acoustic fill pada rongga resonator dari bahan serat
alam yaitu agave, kapas, dan sabut kelapa. Pengujian serapan bising resonator dilakukan
dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien Serapan Bising (NAC) kayu olahan memiliki
hasil yang optimal pada rentang frekuensi rendah. Peningkatan NAC dapat diperoleh dengan
cara mendisain resonator Helmholtz. Nilai NAC yang tinggi (sampai dengan 0.90) diperoleh
pada frekuensi 700-800 Hz yaitu dengan mendisain Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan
dimensi pxl 50 mm dan ketinggian sekat 30 mm dengan tambahan diameter leher resonator
sebesar 10 mm. Penambahan volume sekat rongga resonator dengan menambah tinggi
menyebabkan kenaikan harga NAC yang cukup signifikan pada frekuensi yang lebih rendah.
Penambahan besar diameter lubang leher resonator akan mengakibatkan harga NAC yang
tinggi pada frekuensi tertentu dan penambahan acoustic fill akan menyebabkan pergeseran
frekuensi ke arah frekuensi yang lebih rendah disertai peningkatan nilai NAC. Penambahan
acoustic fill yang paling baik yaitu dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini disebabkan
karena sabut kelapa memiliki nilai massa jenis terkecil yaitu 1,03 g/cm3 sehingga mampu
mereduksi bunyi secara optimal karena jumlah serat yang masuk ke dalam rongga semakin
banyak.
Kata Kunci : Resonator Helmholtz, Koefisien Serapan Bising (NAC), Kayu Olahan,
Acoustic Fill, Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO)

Pendahuluan
International Labour Office (ILO, 1984) dan Chanlet (1979), mendefinisikan kebisingan sebagai suara yang
tidak menyenangkan atau tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kesehatan ataupun kenyamanan. Rentang tingkat
suara yang masih dapat didengar oleh suara manusia normal adalah 0 dB (suara terlemah), yang disebut threshold of
hearing, hingga 120 dB yaitu tingkat kebisingan suara di mana sistem pendengaran manusia mulai merasa kesakitan
(threshold of pain).
Pengaruh kebisingan terhadap manusia dapat berbeda-beda, dari hanya sekedar ketidaknyamanan sampai dengan
masalah kesehatan. Berada dalam lingkungan yang bising dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran (Hearing Loss). Untuk itu diperlukan suatu aturan yang dapat menjamin kesehatan ataupun kenyamanan
orang-orang yang berada disekitar sumber kebisingan.

E-85

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Untuk mendapatkan suatu ruang yang bebas dari kebisingan diperlukan material yang mampu meredam
kebisingan. Penggunaan material porous dari bahan sintetis seperti PVC, poliester, dan polipropilen telah banyak
digunakan sebagai panel peredam bising. Walaupun bahan-bahan ini telah mampu meredam bising dengan baik, tetapi
bahan-bahan ini tidak ramah lingkungan karena limbahnya tidak dapat terurai secara alami. Oleh karena itu diperlukan
bahan alternatif yang dapat menggantikan bahan-bahan sintetis tersebut.
Kayu olahan yang sering dikenal sebagai engineering wood merupakan upaya memaksimalkan pemanfaatan
kayu yang dibuat di pabrik, yang didesain dan dibentuk dengan tujuan tertentu agar mencapai sifat dan kekuatan
structural yang diinginkan. Papan partikel (Particle board) merupakan salah satu jenis engineering wood yang terbuat
dari partikel-partikel kayu yang kecil dan berasal dari kelas kayu yang berbeda-beda. Partikel tersebut dipres dan
direkatkan menjadi panel. Dengan melakukan disain tertentu, dinding partisi kayu dapat mempunyai kinerja akustik
yang cukup tinggi. Salah satu disain yang bisa digunakan adalah dengan mendisain sel akustik yang berfungsi sebagai
peredam bising. Dengan melakukan disain sel akustik tersebut maka kayu dapat berfungsi sebagai dinding partisi dan
sekaligus sebagai peredam bising, sehingga mampu menciptakan ruang yang memenuhi syarat kesehatan sekaligus
kenyamanan.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam banyak memiliki lahan produktif sebagai penghasil
serat alam. Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, agave dan sabut kelapa)
sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
penggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagai
acoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat tuntutan untuk mendapatkan lingkungan yang bebas dari masalah
kebisingan. Untuk mendapatkan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan maupun kenyamanan dari masalah
kebisingan maka diperlukan peredam kebisingan. Indonesia sebagai negara agraris dengan sumber kayu yang berlimpah
mempunyai potensi untuk mengembangkan sel akustik berbahan dasar kayu olahan (engineering wood). Oleh karena itu
diperlukan adanya riset untuk menghasilkan sel akustik berbahan dasar kayu sebagai peredam bising dengan koefisien
redaman bising (noise absorption coeffficient / NAC) yang optimum. Penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki serapan bising kayu olahan yaitu papan partikel, pengaruh dimensi rongga resonator terhadap koefisien
serapan bising, menyelidiki pengaruh lubang leher resonator terhadap koefisien serapan bising, dan melakukan analisis
komparasi pengaruh dimensi rongga resonator dan diameter lubang leher resonator terhadap NAC sel akustik kayu
olahan yaitu papan partikel sehingga menghasilkan sel akustik yang optimum.
Lee dan Joo (2003) mengklasifikasikan material penyerap bunyi menjadi 3, yaitu porous, resonator, dan panel.
Ketiga jenis material ini menerapkan teori transformasi energi, yaitu adanya perubahan energi dari energi bunyi menjadi
energi panas. Pengujian dilakukan dengan menggunakan serat poliester daur ulang yang diikat dengan low melting
point polyester (LMP). Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan kadar fiber akan meningkatkan harga noise
absorption coefficient (NAC), lihat gambar 1a. Sedangkan peningkatan kadar LMP akan menurunkan harga NAC lihat
gambar 1b. Hal ini diakibatkan oleh penurunan ketebalan serat dan adanya coincident effect. Poliester LMP tersebut
menyebabkan penyusutan pada struktur jaringan serat sehingga merusak porositas serat.

(a)

(b)

Gambar 1. (a). Pengaruh kandungan serat poliester terhadap NAC


(b). Pengaruh kandungan LMP terhadap NAC (Lee dan Joo, 2003)
Siregar dkk (2006) meneliti pengaruh perubahan panjang dan lebar sekat rongga resonator terhadap Noise
Absorption Coeficient (NAC) sel akutik kayu dari bahan kayu sengon laut. Penambahan panjang (p) dan lebar (l) sekat
rongga resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator, sehingga kekakuan efektif sistem turun.
Turunnya kekakuan efektif udara di dalam sekat rongga resonator menyebabkan frekuensi resonansi SAK (Sel Akustik
Kayu) bergeser dari frekuensi tinggi 800 Hz menuju frekuensi rendah yaitu 500 Hz.
Nor dkk (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan serabut kelapa, seperti yang dapat dilihat pada
gambar 3. Pada penelitian digunakan berbagai model pemasangan serabut kelapa. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa
adanya rongga udara dibelakang serabut kelapa akan meningkatkan NAC material pada frekuensi rendah.

E-86

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2. Pengaruh rongga udara dibelakang serabut kelapa (Nor dkk, 2004)
Neithalath dkk (2002) melakukan pengujian NAC dengan menggunakan komposit semen berserat selulosa
(cellulose-cement composite). Terdapat 3 macam bentuk serat selulosa yang digunakan, yaitu macro nodules, discrete
fibers, dan petite nodules seperti yang terlihat pada gambar 3a, 3b, dan 3c.

Gambar 3. Serat selulosa (a) macro nodules, (b) discrete fibers, dan (c) petite nodules (Neithalath dkk, 2002)
Dari hasil pengukuran porositas diketahui bahwa penggunaan macro nodules menghasilkan komposit dengan porositas
paling besar dibandingkan dengan discrete fibers dan petite nodules. Akibatnya komposit dengan macro nodules
mempunyai harga NAC paling tinggi.
Koefisien absorpsi () suatu material didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang diserap material
dengan total energi yang mengenai material. Karena energi mempunyai nilai yang proporsional dengan kuadrat dari
tekanan bunyi, maka :
2
B
(1)

= 1
A

Dengan menggunakan tabung impedansi maka pengukuran rasio antara tekanan maksimum dan minimum (n) akan
mudah dilakukan.
p
A+ B
(2)
n = maks =

pmin

A B

B n 1
=
A n +1

(3)

Dengan memasukkan persamaan (3) kedalam persamaan (1) maka koefisien absorpsi suatu material dapat diukur
dengan menggunakan tabung impedansi.
n 1

n +1

= 1

(4)

Resonator Helmholtz
Resonator Helmholtz tersusun atas suatu rongga dengan volume V yang mempunyai leher resonator dengan
panjang L dan luas area S, seperti yang terlihat pada gambar 4.

Gambar 4. Resonator Helmholtz

E-87

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Fluida pada leher resonator bergerak sebagai satu kesatuan dan berfungsi sebagai elemen massa (m), adanya
tekanan akustik pada rongga resonator berfungsi sebagai elemen kekakuan (s), dan adanya resistansi pada lubang leher
resonator berfungsi sebagai elemen resistansi (Rm).
s

m
f(t)
Rm

Gambar 5. Resonator Helmholtz

Metodologi Penelitian
Material yang digunakan sebagai bahan sel akustik adalah kayu olahan yaitu papan partikel yang didisain dalam
bentuk sel akustik kayu. Serat alam (Natural Fibre) yang digunakan sebagai acoustic fill pada rongga resonator Sel
Akustik Kayu Olahan (SAKO) yaitu serat kapas, agave dan sabut kelapa.

Gambar 6. Bentuk lembaran papan partikel


Pengujian dilakukan di Laboratorium Getaran dan Akustik, Universitas Gadjah Mada. Peralatan penelitian yang
digunakan adalah tabung impedansi satu mikropon dan peralatan pendukung lainnya measuring amplifier, microphone
carriage, specimen holder dan sine generator.
Pengujian serapan bising dilakukan dengan menggunakan tabung impedansi satu mikropon, seperti yang terlihat
pada gambar 7.
Keterangan Gambar :

1
5

1.

Measuring Amplifier

2.

Sine Generator

3.

Microphone Carriage

4.

Tabung Impedansi

5.

Spesimen Holder

Gambar 7. Tabung impedansi satu mikropon


Spesimen diletakkan pada ujung kiri tabung impedansi. Sine generator akan menghasilkan gelombang
sinusoidal dengan frekuensi yang dapat diatur. Ketika gelombang bunyi mengenai spesimen uji maka gelombang bunyi
dapat diserap ataupun dipantulkan. Dengan menggeser posisi dari mikropon (microphone carriage) maka harga tekanan
akustik gelombang bunyi dapat diukur. Dari hasil pengukuran tekanan akustik maksimum dan minimum ini maka harga
NAC pada SAKO (Sel Akustik Kayu Olahan) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4). Variabel pengujian
yaitu panjang (p) x lebar (l) dan tebal (t) sekat rongga resonator, dengan variasi lubang leher resonator 4 dan 10 mm.

(b)

(a)

Gambar 8. Sel Akustik tanpa lubang leher resonator (a), dan dengan lubang leher resonator (b)

E-88

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9
l

(a)

Tebal

(b)

sekat

Gambar 9. Sekat rongga resonator SAK (a) 20x20 mm, dan (b) 50x50 mm
Proses pembuatan sel akustik diawali dengan pemotongan papan partikel menjadi potongan-potongan kecil dan
kemudian disusun berdasarkan disain awal rancangan penelitian. Dimensi panjang (p) x lebar (l) sekat rongga resonator
yang diuji adalah 20 x 20 mm (Gambar 9 a) dan 50x50 mm (Gambar 9 b) dengan diameter spesimen uji 100 mm.
Diameter 100 mm disesuaikan dengan Spesiment Holder pada alat uji Kundts Tube Impedance. Sel Akustik Kayu
Olahan (SAKO) yang dibuat diistilahkan dengan sistem sndwich yaitu terdiri dari layer atas, sekat rongga resonator
dan kemudian layer bawah atau dengan pengertian lain yaitu sekat rongga resonator yang diapit oleh dua lapisan.

Hasil dan Perancangan


Pengaruh Perubahan Tinggi Sekat Rongga Resonator Terhadap NAC
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sekat rongga resonator dan dimensi sekat
rongga resonator terhadap NAC material. Dimensi disain pertama sel akustik yaitu (panjang x lebar) 20 mm
diistilahkan SAKO 20 dan untuk disain kedua dengan dimensi (panjang x lebar) 50 mm distilahkan dengan SAKO 50.
Hasil NAC (Noise Absorption Coefficient) pada Sel Akustik Kayu Olahan (SAKO) dengan diameter leher resonator
ditemui hal serupa seperti SAKO tanpa leher resonator yaitu dengan kenaikan tebal sekat rongga resonator akan
menggeser nilai NAC ke frekuensi yang lebih rendah yaitu efektif pada frekuensi 300 Hz sampai dengan 900 Hz. Pada
frekuensi 100 sampai dengan 200 Hz cenderung memiliki frekuensi yang sama, hal ini disebabkan adanya frekuensi
resonansi yang sering terjadi pada frekuensi yang sangat rendah. Yudhanto dkk (2007) melakukan penelitian terhadap
panel akustik kayu dengan sekat rongga resonator dan didapatkan nilai frekuensi resonansi untuk ketebalan sekat 10
mm yaitu 182,3 Hz dan untuk sekat resonator dengan ketebalan 20 mm yaitu 134,34 Hz. Dibawah ini dapat dilihat
pengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 20 tanpa leher resonator akan menggeser nilai NAC sebesar 10% dari
frekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NAC tertinggi berada pada frekuensi 600 Hz
dengan harga NAC 0,54 (Gambar 10.a). Penambahan ukuran tinggi sekat rongga resonator menyebabkan penambahan
volume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NAC yang semakin baik kearah frekuensi yang
lebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 20 dengan lubang leher resonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO
20 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah
dengan kenaikan sebesar 17% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz dengan nilai 0,82 (Gambar 10.b). Pada SAKO 20
dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah
dengan kenaikan sebesar 18,5% dan nilai tertinggi berada di 1100 Hz dengan nilai 0,89 (Gambar 10.c).
a

Gambar 10. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20
Dibawah ini juga dapat dilihat pengaruh ketinggian sekat resonator pada SAKO 50 tanpa leher resonator akan
menggeser nilai NAC sebesar 15% dari frekuensi rendah 600 Hz Sampai dengan frekuensi 100 Hz dengan nilai NAC
tertinggi berada pada frekuensi 600 Hz dengan harga NAC 0,6 (Gambar 11.a). Penambahan ukuran tinggi sekat rongga
resonator menyebabkan penambahan volume sekat rongga resonator sehingga menyebabkan pergeseran nilai NAC
yang semakin baik kearah frekuensi yang lebih rendah. Hal ini juga dapat dilihat pada SAKO 50 dengan lubang leher
resonator 4 mm dan 10 mm. Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 4 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin
baik kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 900 Hz dengan nilai
0,81 (Gambar 11.b). Pada SAKO 50 dengan lubang leher resonator 10 mm didapatkan hasil nilai NAC semakin baik
kearah frekuensi yang lebih rendah dengan kenaikan sebesar 12% dan nilai tertinggi berada di 700 Hz-800 Hz dengan
nilai 0,9 (Gambar 11.c).

E-89

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 11. Pengaruh ketinggian sekat rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50
Pengaruh Perubahan Diameter Rongga Resonator Terhadap NAC
Hasil pengukuran NAC berdasarkan variasi tanpa dan dengan diameter lubang leher resonator dapat dilihat pada
gambar 12 dibawah ini. SAKO 20 tanpa lubang resonator diberi simbol d = 0, SAKO dengan lubang resonator 4 mm
diberi simbol d = 4 mm dan SAKO dengan lubang resonator 10 mm diberi simbol atau legenda d = 10.
a1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

b 1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

20x20x20

NAC

NAC

20x20x10

0 200 400 600 800100012001400


Frekuensi (Hz)

200 400 600 800 100012001400


Frekuensi (Hz)
d=0

d=0

Gambar 12. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 20
Pengaruh perubahan diameter lubang leher resonator untuk sekat rongga resonator dengan tinggi 10, 20, dan 30
mm akan meningkatkan nilai NAC dan menggeser nilai NAC ke arah frekuensi yang lebih tinggi sedangkan utuk
SAKO tanpa lubang leher resonator hanya efektif di frekuensi rendah dangan harga NAC yang kecil. Hal ini berarti
penambahan besar diameter resonator akan mengakibatkan naiknya nilai NAC sehingga hasil dari pengujian SAKO
menunjukkan diameter 10 mm memiliki hasil yang optimum untuk dapat digunakan sebagai bahan peredam suara
khususnya suara bising yang berada pada frekuensi rendah.

50x50x10

NAC

a1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

0 200 400 600 800 100012001400


Frekuensi (Hz)
d=0

Gambar 13. Pengaruh diameter rongga resonator terhadap nilai NAC pada SAKO 50
Perbandingan Nilai NAC SAKO 20 dan SAKO 50 Pada Lubang Resonator Dengan Diameter 10 mm.
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kundts tube impedance menunjukkan hasil NAC pada SAKO 50
memiliki hasil yang jauh lebih baik terutama pada frekuensi rendah. Frekuensi rendah adalah frekuensi yang sangat
sulit untuk dicegah atau dihalangi dalam suatu akustika ruang. Pemilihan SAKO 50 dengan diameter lubang leher
E-90

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

resonator 10 mm tepat untuk dikembangkan lebih lanjut dari sel akustik menjadi panel akustik peredam bising. Hal
tersebut dapat dilihat pada gambar 14 dibawah ini, SAKO 50 mamiliki nilai NAC yang paling tinggi yaitu 0,9 dan
berada pada frekuensi yang rendah yaitu 700 Hz sedangkan SAKO 20 hanya memiliki nilai NAC 0,72 pada frekuensi
yang sama. Pada frekuensi 200 Hz sampai dengan 700 Hz SAKO 50 memiliki nilai NAC rata-rata 14% lebih baik
dibandingkan dengan SAKO 20.

Gambar 14. Pengaruh panjang dan lebar rongga resonator (SAKO 20 dan SAKO 50)
dengan diameter lubang resonator 10 mm terhadap nilai NAC
Hasil pengujian NAC Acoustic Fill
Penggunaan bahan penyerap (absorptive material) dari bahan serat alam (kapas, serat agave dan sabut kelapa)
sebagai acoustic fill dalam bidang rekayasa teknologi jarang digunakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
penggunaan berbagai jenis serat alam untuk dapat digunakan secara optimal sehingga penggunaan serat tersebut sebagai
acoustic fill pada sel akustik kayu dapat menambah nilai ekonomi dan teknologi.

Gambar 15. Grafik NAC dengan penambahan Acoustic fill dari kapas (a), sabut kelapa (b), dan agave (c)
Penambahan acoustic fill pada sekat rongga resonator adalah sebagai peredam getaran terutama pada frekuensi
rendah. Pada frekuensi rendah masih dipengaruhi oleh efek resonansi suara yang terjadi pada SAKO dan juga
perambatan gelombang akibat getaran yang merambat melalui struktur partisi (structure borne) sangat sulit untuk
diredam. Penambahan serat alam sebagai acoustic fill sebesar 10%. Pemberian acoustic fill pada sekat rongga sel
akustik maksimum sebesar 10% dari luas volume rongga resonator berdasarkan dari jumlah optimum serat masuk
dalam sekat rongga resonator dari serat alam. Hasil pengujian SAKO dengan penambahan acoustic fill 10% dilakukan
pada 3 jenis serat yang berbeda sehingga memiliki berat dan jumlah serat yang berbeda pula. Berat serat sabut kelapa
dalam rongga SAKO 50 adalah 5,15 gram, kapas 5,95 gram dan serat agave 7,25 gram. Jumlah serat dalam rongga
resonator akan diisi oleh berat yang paling ringan yaitu sabut kelapa kemudian kapas dan paling sedikit mengisi rongga
resonator yaitu serat agave. Hasil pengujian dari ketiga serat ditampilkan dalam bentuk perbandingan grafik NAC
(gambar 15).
Dari ketiga jenis serat yang digunakan sebagai acoustic fill serat sabut kelapa mempunyai massa jenis yang
paling kecil sehingga serat ini dapat mengisi rongga resonator secara optimal. Penambahan acoustic fill sebesar 10 %
pada sekat rongga resonator dengan serat sabut kelapa menghasilkan nilai NAC yang paling besar yaitu sebesar 0,98
pada frekuensi 600 Hz. Secara umum pengaruh acoustic fill dari masing-masing serat akan menggeser NAC ke
frekuensi yang lebih rendah dan berfungsi sebagai peredam yang merubah energi suara menjadi energi panas di dalam
rongga resonator dan acoustic fill juga menyebabkan distribusi panas dan getaran gelombang terdistribusi secara
merata. Serat agave atau sisal mempunyai massa jenis yang paling besar yaitu 1,45 g/cm3, hal ini menyebabkan SAKO
dengan penambahan serat agave mempunyai nilai serapan bising yang paling rendah yaitu sebesar 0,55, berbeda dengan
sabut kelapa yang mempunyai massa jenis yang paling kecil yaitu 1,03 g/cm3 sedangkan pada serat kapas hampir
memiliki nilai NAC yang sama dengan serat sabut kelapa hal ini disebabkan karena kapas memiliki massa jenis yang
hampir sama dengan sabut kelapa yaitu sebesar 1,19 g/cm3 .Semakin kecil nilai massa jenis serat maka berat serat akan
E-91

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

semakin kecil sehingga serat yang masuk ke dalam rongga resonator akan semakin banyak hal ini menyebabkan SAKO
dengan penambahan acoustic fill akan baik digunakan pada frekuensi yang rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN


1.

2.

3.

4.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penambahan leher resonator menyebabkan peningkatan NAC yang
signifikan dengan disertai pergeseran frekuensi resonansi ke arah frekuensi yang lebih tinggi dengan
bertambah besarnya diameter leher resonator.
SAKO tanpa lubang leher resonator mempunyai nilai NAC sebesar 0,47 sampai dengan 0,58 lebih kecil
dibandingkan dengan nilai NAC SAKO dengan lubang leher resonator yang berkisar antara 0,6 sampai dengan
0,9 pada frekuensi 600-1000 Hz.
Penambahan tebal atau ketinggian sekat rongga resonator akan meningkatkan nilai NAC pada frekuensi rendah
sebesar 12% sampai dengan 17%. Nilai optimal didapat dari kenaikan nilai NAC pada frekuensi rendah
disertai nilai NAC tertinggi pada frekuensi tertentu. Nilai tersebut didapatkan pada SAKO 50 dengan besar
diameter rongga resonator 10 mm dengan nilai NAC 0,9 pada frekuensi 700 dan 800 Hz.
Penambahan acoustic fill sebesar 10 % Vf (fraksi volume sekat rongga resonator) pada sekat rongga resonator
sangat efektif hal ini akan mengakibatkan kenaikan nilai NAC dan menggeser kenaikan NAC pada frekuensi
rendah. Penambahan acoustic fill paling baik didapatkan dengan menggunakan serat sabut kelapa hal ini
disebabkan karena massa jenis serat sabut kelapa paling kecil dibandingkan dengan kedua serat lain yaitu
sebesar 1,03 g/cm3.

DAFTAR PUSTAKA
ASTM, 1998, Annual Book of ASTM Standard , West Conshohocken.
Doelle, L.L., 1986, Akustik Lingkungan, Penerbit Erlangga, Jakarta
Harris, C.M., 1979, Handbook of Noise Control , 2 edition, Mc Graw Hill Book Company, USA.
Kinsler E.L., Frey A.R., Coppens A.B., dan Sanders J.V.,1982, Fundamentals of Accoustics, John Wiley & Sons.
Lord, H.W., Gatley, W.S., Evensen, H.A., 1980, Noise Control For Engineers McGraw-Hill Book Company, USA.
Lord, P. dan Templeton, D., 1996, Detailling for Acoustics .
Lee Y., dan Joo C., 2003, Sound Absorption of Recycled Polyester Fibrous Assembly Absorbers , AUTEX Research
Journal, Vol. 3, No.2.
Nor M.J.M., Jamaludin N., dan Tamiri F.M., 2004, A Preliminary Study of Sound Absorption Using Multi-layer
Coconut Coir Fibers , Univ. Kebangsaan Malaysia.
Randall, R.B., 1987, Frequency Analysis, Bruel and Kjaer.
Tambunan, S.T.B., 2005, Kebisingan di Tempat Kerja, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, Indonesia.
Yudhanto F, Jamasri dan Subagio., 2007, Kajian Kinerja Panel Akustik Dari Bahan Kayu Sengon Laut Sebagai
Insulasi Bunyi Berkala Jurnal Penelitian S-2 UGM.

E-92

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Peningkatan Yield Terhadap Pembentukan Cacat Berdasarkan Kriteria Niyama


pada Pengecoran Cetakan Pasir
Giri Wahyu Alam1), I Nyoman Jujur2), dan Bambang Suharno3)
Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat 10340
Telepon (021) 3169857/77
E-mail: giri.wahyu@bppt.go.id1)
nyoman.jujur@bppt.go.id2)
3)
Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Kampus UI, Depok 16424
Telepon (021) 7863510
E-mail: suharno@metal.ui.ac.id3)
1,2)

Abstrak
Peningkatan yield dalam proses pengecoran merupakan salah satu target dalam efisiensi
produksi. Efisiensi produksi dapat tercapai dengan penggunaan perangkat lunak simulasi
pengecoran dimana mampu memprediksi kualitas pengecoran yang dihasilkan. Perangkat
lunak simulasi pengecoran Z-Cast telah digunakan untuk menyelidiki pengaruh peningkatan
yield terhadap pembentukan cacat pada komponen kepala silinder dari paduan Al Al9Si3Cu
yang dihasilkan dengan pengecoran cetakan pasir. Nilai yield desain pengecoran ini diamati
pada 46,32% dan 63,06%. Simulasi dimulai dengan mensimulasikan proses penuangan yang
dilanjutkan dengan proses pembekuan. Analisis cacat berdasarkan kriteria Niyama diamati
pada sisi luar dan penampang melintang kepala silinder. Penurunan volume penambah atas
dan penambah samping menunjukkan perbedaan kemungkinan dari cacat yang terbentuk.
Penyebaran cacat pada kedua desain M1 dan M2 dimulai dari dudukan penambah atas ke
bagian tengah bawah kepala silinder dan juga ke arah saluran intake. Penyebaran ini
dipengaruhi dari arah laju pembekuan yang dibentuk oleh besarnya volume penambah. Desain
M2 menunjukkan perbaikan kualitas kepala silinder yang ditandai dengan penurunan
kemungkinan cacat yang terbentuk pada kubah kepala silinder. Simulasi ini berhasil
menunjukkan kemungkinan cacat yang terbentuk akibat dari perubahan yield. Pertimbangan
optimasi dari desain pengecoran bisa dilakukan dengan mengubah desain sistem saluran dan
desain penambah atau desain komponen kepala silinder.
Kata kunci: yield, simulasi, cetakan pasir, paduan aluminium, Niyama.

Pendahuluan
Perangkat lunak simulasi pengecoran memiliki peran penting dalam daya saing pengecoran telah dikemukakan oleh J.
C. Sturm [1]. Perjalanannya yang tidak mulus membuat perangkat lunak ini baru menjadi peralatan yang diterima dan
digunakan untuk lay-out proses dan desain oleh industri pengecoran setelah dua puluh tahun. Penghematan biaya,
waktu, dan tenaga yang besar dalam perancangan desain pengecoran antara penggunaan perangkat lunak ini dan
penggunaan metode konvensional secara trial dan error dapat dicapai.
Secara bertahap perangkat lunak ini mengalami perkembangan sehingga banyak fungsi yang ditambahkan untuk
memudahkan penggunaan dan analisisnya yang membantu dalam desain dan memprediksi kualitas dari proses
pengecoran [2]. Kemudahan ini dapat memotong beberapa langkah optimasi desain pengecoran yang dilakukan oleh
pengguna dan proses ini dapat dilakukan secara otomatis tanpa menggunakan bantuan manusia. Sementara untuk
memprediksi kualitas hasil pengecoran dapat memanfaatkan fungsi kriteria Niyama. Fungsi ini dapat memprediksi
daerah lebih besar dan rinci dibandingkan dengan fungsi shrinkage pada perangkat lunak simulasi pengecoran.
Kriteria Niyama dikembangkan oleh Dr. Niyama, salah seorang peneliti dari Jepang, untuk memprediksi porositas
penyusutan dalam ukuran mikro oleh perbedaan temperatur yang dangkal [35]. Awalnya kriteria ini dikembangkan
untuk memprediksi porositas penyusutan pada baja dan saat ini telah digunakan pada material lain seperti paduan
aluminium dan paduan tembaga. Porositas penyusutan akan memberikan pengaruh yang besar ketika komponen
menghadapi beban thermomechanical fatigue (TMF) sehingga cacat ini menjadi perhatian yang serius. Tingkat

E-93

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

porositas yang tinggi dan diikuti dengan kehadiran porositas yang besar dan tidak beraturan adalah faktor utama dalam
menurunkan kekuatan lelah pada suatu komponen seperti kepala silinder [6].
Perhitungan yang digunakan dalam menentukan kriteria Niyama cukup sederhana dengan menggunakan parameter
termal saja tanpa melibatkan faktor lain seperti gravitasi. Rumusan ini yang ditunjukkan pada Persamaan 1.
Ny = G /
(1)
Dimana:
G adalah perbedaan temperatur [C/cm], dan
adalah laju pendinginan [C/s].
Kedua nilai tersebut dievaluasi pada temperatur tertentu ketika pembekuan akan berakhir dan ini akan sangat mudah
dilihat dengan menggunakan perangkat lunak simulasi pengecoran. Fungsi ini sudah dapat dijumpai pada perangkat
lunak simulasi pengecoran Z-Cast versi 2.6 yang dibuat oleh Cubictek co. Ltd. dan digunakan dalam penelitian ini [7].
Semakin rendah nilai Niyama dari batasnya maka dapat diperkirakan bahwa porositas penyusutan akan semakin
mungkin terjadi pada bagian tersebut. Batas nilai Niyama yang spesifik untuk paduan aluminium adalah berkisar pada
nilai 0,25 0,3.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memprediksi pengaruh dari peningkatan yield terhadap pembentukan
porositas penyusutan dengan kriteria Niyama yang dihasilkan dari proses pengecoran cetakan pasir. Karakteristik
pembekuan pada cetakan pasir yang lambat dapat dipelajari terhadap pembentukan cacat ini sehingga akan memberikan
masukan untuk perbaikan desain pengecoran dan komponen. Komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepala silinder mesin Rusnas yang memiliki bentuk rumit.

Metodologi penelitian
Penelitian ini menggunakan komponen kepala silinder dari purwarupa mesin Rusnas 500cc. Mesin ini memiliki daya
maksimum 11,5 kW/3.800 RPM dan telah melewati uji ketahanan selama 100 jam [8]. Komponen kepala silinder
merupakan komponen yang akan mengalami thermomechanical fatigue saat pengoperasiannya yaitu pada daerah
kubahnya. Persyaratan tidak adanya cacat mikro seperti akibat dari porositas penyusutan pada hasil pengecoran harus
dapat dipenuhi untuk menjaga kualitas mesin ini ke depannya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan diagram
alir yang ditunjukkan pada Gambar 14
Mulai
Menggambar
Desain Pengecoran Awal
sesuai aktualnya (M1)
Meningkatkan Yield
Desain Pengecoran Awal
(M2)

Mengubah file Gambar ke


Format *.stl
Simulasi Pengecoran Z-Cast
Tahap PRE
Menentukan
konfigurasi
geometrik

Menetapkan
Mesh

Menetapkan
Ingate
(Thermocouple)

Tahap SOLVER

Tahap POST
Melihat Hasil
Simulasi
(Flow/
Solidification/
Cycle/Heat
Treatment/Heat
Transfer/Heat
Stress)

Menentukan
konfigurasi
material
Menentukan
pilihan Simulasi
(Flow/
Solidification/
Cycle/Heat
Treatment/Heat
Transfer/Heat
Stress)

Menjalankan
Simulasi
(Execute)

Pembahasan
Selesai

Gambar 14. Diagram alir penelitian.

E-94

Merekam Data
pada Menu
Solidification
Niyama

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pembuatan mesin ini merupakan salah satu contoh bentuk proses pengembangan desain pengecoran yang dilakukan
secara konvensional. Proses pengecoran yang telah dikembangkan selama ini adalah dengan menggunakan cetakan
pasir dan dituang secara gravitasi. Analisis komponen kepala silinder dengan perangkat lunak pengecoran menjadi
penting untuk perbaikan yang terus menerus. Material yang digunakan untuk pembuatan komponen mesin ini adalah
paduan aluminium AC4B yang setara dengan Al9Si3Cu atau ADC10 dengan rentang komposisi kimia seperti yang
dijelaskan pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi kimia AC4B (JIS) dan kesetaraannya [9, 10].

JIS

EN

Lainnya
MaTosing
tal

Si

Fe

Cu

Mn

Mg

Cr

Ni

Zn

Ag

Ti

Sn

AC4B
(H-5202)
ADC10
(H-5302)

7,010,0
7,59,5

1,0

0,5

0,5

0,2

0,3
5

1,0

0,2

0,1

1,3

2,04,0
2,04,0

0,5

0,3

0,5

1,0

0,2

AlSi9Cu
3 (Fe)

8,011,0

0,61,1

2,04,0

0,55

0,15
0,55

0,15

0,55

1,2

0,20
/0,2
5

0,25

0,05

0,25

Seri

Pembuatan gambar desain pengecoran sesuai dengan sebenarnya (as-built drawing) dilakukan untuk mendapatkan
model awal (M1) yang akan disimulasikan. Selanjutnya pembuatan model pembanding (M2) dengan nilai yield yang
lebih besar dilakukan. Peningkatan yield ini dilakukan dengan menurunkan volume masing-masing penambah menjadi
sekitar 30% dari volume awal dengan tetap menjaga modulus penambah lebih tinggi 1,2 kali dari modulus benda cor.
Volume yang dicapai pada penambah atas menjadi 32,05% dan penambah samping hingga 30,47%. Perbandingan
antara kedua desain pengecoran ini dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 10. Susunan chill pada kedua desain ini
tidak mengalami perubahan sehingga didapat perbandingan yang setara.
M1

M2

Gambar 15. Desain pengecoran desain M1 dan M2 yang digunakan dalam simulasi.
Tabel 10. Perbandingan desain pengecoran desain M1 dan M2.
M1
M2
Volume
Massa
Volume
Bagian Desain Pengecoran
cm3
Kg
cm3
Kepala Silinder
1.985,76
5,19
1.985,76
Penambah Atas
643,87
1,68
202,09
Penambah Samping
1.391,54
3,64
499,24
Ventilasi
14,22
0,04
15,50
Runner
251,32
0,66
446,25
Berat Tuangan
11,21
Yield
46,32
Chill
272,49
1,97
272,49

Massa
Kg
5,19
0,53
1,31
0,04
1,17
8,24
63,06
1,97

Gambar desain ini kemudian dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak simulasi pengecoran Z-Cast versi 2.6
dengan terlebih dahulu mengubah format gambar menjadi *.stl. Pertama kali menjalankan Z-Cast, komponen ini
dikonfigurasikan menjadi komponen metal, riser, chill, runner, core dan mold sebelum dilakukan pembuatan mesh.
Penentuan ingate kemudian dilakukan dan ditetapkan waktu tuangnya berdasarkan berat cairan alumunium yang
dibutuhkan yaitu 15 detik untuk desain M1 dan 9 detik untuk desain M2. Pada tab solver, konfigurasi material setiap
komponen ini didefinisikan dengan data yang ada pada perangkat lunak ini dengan menyesuaikan kondisi aktualnya
dimana metal, riser, dan runner adalah Al9Si3Cu, chill adalah SCPH1, core adalah furan dan mold adalah silica sand.
E-95

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Temperatur tuang yang digunakan adalah 730C dan temperatur core, mold, dan lingkungan yang digunakan adalah
30C.
Setelah semua parameter ditentukan maka dilakukan pemilihan fungsi simulasi pada menu Option yang akan digunakan
yaitu fluid flow dan solidification dimana akan dijalankan secara berurutan. Simulasi fluid flow akan dijalankan terlebih
dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan solidification dengan memanfaatkan hasil dari simulasi fluid flow. Setiap
fungsi yang ditentukan ini ditetapkan jenis dan frekuensi data yang akan direkam selama simulasi. Kemudian simulasi
pengecoran dilakukan dengan memilih perintah Execute pada menu Option. Hasil simulasi ini kemudian dapat dilihat
pada tab post untuk masing-masing hasil simulasi fluid flow dan solidification yang telah digunakan. Dalam memahami
dan menganalisis pembentukan cacat berdasarkan kriteria Niyama, menu Niyama dapat dijumpai pada bagian
solidification.

Hasil dan perancangan


Pembentukan cacat (shrinkage) dan Kriteria Niyama dari hasil simulasi penuangan dan pembekuan dari desain M1 dan
M2 ditunjukkan pada Gambar 16. Pada desain M1 dan M2 terlihat bahwa shrinkage muncul pada daerah yang relatif
sama namun berbeda ukurannya. Cacat ini muncul pada daerah water jacket yang tersembunyi yaitu pada bagian atas
kubah yang berdekatan dengan dudukan busi, dan saluran intake sebelah kiri. Kedua macam cacat ini muncul lebih
dimungkinkan dari kurangnya suplai cairan aluminium yang mengisi daerah ini akibat dari telah membekunya jalur
suplai cairan yang terhubung dengan penambah. Geometris yang berbeda antara sisi kiri dan kanan dari saluran tuang
pada kepala silinder menunjukkan perbedaan kemunculan dari cacat antara sebelah kiri dan kanan.
Analisis Niyama dari hasil simulasi ini dapat dilihat sebagai perbedaan warna pada permukaan benda cor yang diamati.
Warna ini tidak hanya muncul pada permukaan luar tetapi juga dapat muncul pada penampang melintangnya jika kita
memotong pada salah satu garis pengamatan. Nilai konstanta sebesar 0,25 0,3 yang memprediksi munculnya porositas
penyusutan ditandai dengan warna hijau hingga biru tua. Setiap rentang warna ini mencakup rentang nilai konstanta
tertentu dimana warna hijau dengan nilai 0,2 0,3, warna biru muda dengan nilai 0,1 0,2, warna biru dengan nilai 0,0
0,1, dan warna biru tua dengan nilai < 0,0 yang menunjukkan potensi kemunculan cacat ini dari yang lebih kecil
hingga yang lebih besar. Semakin kecil nilai konstanta ini maka semakin besar peluang terjadinya porositas penyusutan.
Bahkan nilai yang semakin kecil akan menampilkan shrinkage jika dianalisis pada menu shrinkage. Penampakan
Niyama secara 3D pada kedua desain M1 dan M2 menunjukkan bahwa penampakan cacat ini terlihat muncul dan
menyebar pada seluruh sisinya.
M1

M2

Shrinkage

Kriteria Niyama
Gambar 16. Kemunculan shrinkage dan penampakan Niyama secara 3D dari hasil simulasi pada Ttuang 730C.
Penampakan Niyama pada sisi intake dan sisi exhaust ditunjukkan Gambar 17. Pada sisi intake dan exhaust
penyebaran cacat ini cenderung muncul lebih besar pada desain M2. Pada sisi intake, desain M1 menunjukkan cacat
yang lebih besar pada kedua dudukan injektor sistem EFI yang di tengah. Penggunaan chill pada bagian ini terlihat tidak
membantu mengarahkan proses pembekuan yang dimungkinkan dari volumenya yang relatif kecil dibandingkan dengan
panas pada daerah ini dan ini berbeda dengan desain M2.
Pada desain M2, cacat terlihat lebih besar pada saluran intake yang muncul pada daerah dekat dengan saluran masuk
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18. Dimensi penampang saluran masuk desain M2 yang lebih kecil dari pada

E-96

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

desain M1 memungkinkan pembentukan cacat ini. Saluran masuk yang kecil ini menghambat terjadinya pembekuan
yang terarah sehingga panas tertahan di daerah saluran intake yang menyebabkan laju pembekuannya semakin rendah.
Pada sisi exhaust, desain M1 menunjukkan cacat yang lebih besar pada daerah diantara kedua saluran exhaust. Seperti
halnya pada kedua dudukan injektor EFI, chill yang diletakkan pada daerah ini kurang membantu mengarahkan
pembekuan akibat dari lebih tingginya panas di dalam benda cor pada daerah ini. Namun kondisi ini tidak terlalu besar
dibandingkan dengan dudukan injektor EFI tersebut.
M1

M2

Intakes

Exhaust
Gambar 17. Penampakan Niyama pada sisi intake dan exhaust.
Penampakan Niyama pada kanan dan kiri saluran tuang ditunjukkan pada Gambar 18. Faktor geometris yang berbeda
antara sisi kanan dan kiri menyebabkan terjadinya juga perbedaan penampakan Niyama. Pada kedua sisi kepala silinder,
dinding bagian tengah kepala silinder menunjukkan penampakan Niyama yang lebih besar pada desain M1. Bagian
tengah ke bawah pada desain M1 cenderung memunculkan cacat ini dibandingkan dengan desain M2. Sedangkan
bagian tengah ke atas menunjukkan cacat pada desain M2 cenderung lebih besar dari pada desain M1. Kondisi ini
berlanjut pada bagian bawah dudukan penambah desain M2. Pada bagian ini menunjukkan kecenderungan munculnya
cacat dalam ukuran yang lebih besar. Pemasangan chill dengan volume yang telah ditentukan pada bagain ini cukup
untuk menghilangkan cacat. Chill pada desain M2 terlihat lebih efektif dibandingkan pada desain M1 yang dapat dilihat
dari munculnya sedikit warna hijau pada daerah sisi intake dan exhaust pada desain M1 (lingkaran hitam).
M1

M2

Kanan Penuangan

Kiri Penuangan
Gambar 18. Penampakan Niyama pada sisi kanan dan kiri penuangan.
Penampakan Niyama pada sisi atas, bawah, dan penampang melintang kepala silinder ditunjukkan pada Gambar 19.
Pada sisi atas terlihat bahwa cacat ini relatif lebih besar pada desain M2 dibandingkan dengan desain M1. Keberadaan

E-97

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

chill pada keempat dudukan katup terlihat masih kurang mencukupi untuk mengarahkan pembekuan pada kedua desain.
Sementara pada sisi bawah terlihat bahwa cacat ini cenderung lebih besar pada desain M2. Tingkat panas yang tersisa
pada permukaan bawah desain M2 terlihat lebih besar. Meski posisi chill pada daerah ini mampu mengarahkan
pembekuan yang ditandai dengan tidak dijumpai cacat pada lokasi chill tersebut, namun volume dari chill ini perlu
dibesarkan pada desain M2. Volume chill yang lebih besar diharapkan dapat membantu mengarahkan proses
pembekuan dengan meningkatkan penyerapan panas.
Daerah yang paling kritis dari kepala silinder adalah kubahnya. Pada daerah kubah, pengamatan dari bagian bawah
kepala silinder menunjukkan penyebaran cacat pada desain M1 terlihat lebih besar. Begitu pula ketika dilakukan
pengamatan pada penampang melintang yang membelah kedua kubah kepala silinder. Penyebaran cacat pada desain M2
cenderung lebih kecil. Penyebaran ini disebabkan oleh rendahnya laju pembekuan akibat dari faktor dimensi bagian
kubah yang tebal dan faktor cetakan yang menggunakan cetakan pasir. Hasil prediksi simulasi ini menunjukkan bahwa
bagian kubah kepala silinder belum memenuhi persyaratan hasil pengecoran yang baik dengan tidak munculnya cacat
mikro seperti porositas penyusutan yang diprediksi oleh Niyama.
M1

M2

Atas

Bawah

Penampang Melintang
Gambar 19. Penampakan Niyama pada sisi atas, bawah, dan penampang melintang.
Distribusi panas pada kedua desain di akhir pembekuan cenderung tidak sama. Hal ini dimungkinkan dari perbedaan
besarnya volume penambah pada kedua desain. Volume penambah samping yang besar pada desain M1 cenderung
menyebabkan distribusi panas terkumpul pada bagian tengah ke bawah dari kepala silinder. Pada bagian ini arah
pembekuan lebih terarah pada penambah samping dibandingkan dengan penambah atas dan permukaan bawahnya.
Desain volume penambah atas yang besar tidak cukup untuk menahan panas yang dapat mengarahkan pembekuan ke
penambah atas. Dengan demikian volume penambah yang besar ini menjadi tidak terlalu berguna dalam menahan panas
dan mensuplai cairan aluminium ke bagian bawahnya.
Volume penambah yang kecil pada desain M2 cenderung menyebabkan distribusi panas terkumpul pada bagian tengah
ke atas dan permukaan bawah. Kondisi ini disebabkan dari arah pembekuan yang lebih mengarah ke penambah atas
dibandingkan dengan penambah samping. Bahkan arah pembekuan yang menuju ke penambah samping ini lebih cepat
berhenti dibandingkan dengan arah pembekuan ke permukaan bawah kepala silinder sehingga permukaan bawah ini
membeku belakangan. Kecilnya dimensi saluran masuk pada desain M2 berperan dalam mempercepat berhentinya arah
pembekuan ke penambah samping.

E-98

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kesimpulan
Peningkatan yield pada komponen kepala silinder menunjukkan pembentukan cacat porositas penyusutan yang
cenderung lebih kecil pada desain M2 dengan yield lebih besar dibandingkan desain M1 dengan yield lebih kecil.
Pembentukan cacat ini dipengaruhi oleh ketebalan benda, laju pembekuan, dan arah pembekuan. Ketebalan benda
sangat mempengaruhi laju pembekuan dimana semakin tebal benda semakin rendah laju pembekuannya. Laju
pembekuan yang rendah menyebabkan cacat ini cenderung lebih mudah terbentuk. Arah pembekuan akan
mempengaruhi lokasi pembentukan cacat dimana daerah yang mengalami pembekuan terakhir cenderung menyebabkan
cacat ini lebih mudah terbentuk.
Penggunaan menu Niyama dalam memprediksi cacat yang dibentuk dapat dijadikan pertimbangan selain dari
penggunaan menu shrinkage. Kriteria Niyama dapat memprediksikan cacat porositas penyusutan dalam ukuran mikro
yang tidak dapat dilihat dari menu shrinkage. Penggunaannya akan menjadi lebih penting khususnya pada komponen
yang akan mengalami beban thermomechanical fatigue yang bekerja dari cacat berukuran mikro. Daerah cacat yang
mengalami beban ini perlu didesain ulang untuk menghilangkan kemungkinan pembentukan cacat ini melalui
pengaturan laju pembekuannya dengan tepat.
Pemahaman terhadap pembentukan cacat ini dapat membantu perbaikan desain ke depan. Langkah perbaikan terhadap
proses pengecoran ini dapat dilakukan melalui perubahan desain pengecoran yang tepat sehingga cacat ini dapat
dihindari. Penentuan volume penambah dan dimensi chill yang tepat dapat mengarahkan pembekuan yang tepat untuk
menghindari terbentuknya cacat ini. Jika memungkinkan, desain kepala silinder ini perlu dipertimbangkan
perubahannya sehingga mampu meningkatkan nilai konstanta Niyama di atas 0,3.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dari Kementerian Riset Teknologi Republik Indonesia atas
dukungannya terhadap Program Insentif Sinas untuk kegiatan Pengembangan Mesin Rusnas 640cc dan Transmisinya
untuk Angkutan Umum Murah Pedesaan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh
Departemen Metalurgi dan Material atas kesempatannya menggunakan Z-Cast untuk meningkatkan kemampuan
produksi komponen yang dihasilkan dari proses pengecoran.

Daftar Pustaka
[1] J. C. Strum, "Optimisation Integration Casting Property Prediction: The new role of casting simulation for the
competitiveness of castings," presented at the WFC, 2004.
[2] D. Butnaciuc, "Casting and Solidification Simulation of Ot550-2 Roller," Metalurgia International vol. Vol. XIV
2009.
[3] K. D. C. A. C. Beckermann, "Prediction of Shrinkage Pore Volume Fraction Using a Dimensionless Niyama
Criterion," METALLURGICAL AND MATERIALS TRANSACTIONS A, vol. VOLUME 40A, p. 13, 2009.
[4] FiniteSolution. (2010). SOLIDCAST: PC-Based Casting Process Simulation Software. Version 8.0.93.
[5] B. P. E. Liotti, "Study of The Validity of The Niyama Criteria Function Applied to The Alloy AlSi7Mg," la
metallurgia italiana, p. 5, 2006.
[6] E. R. d. F. W.W. Bose-Filho, V.F. da Silva, M.T. Milan, D. Spinelli, "AlSi cast alloys under isothermal and
thermomechanical fatigue conditions," International Journal of Fatigue, vol. 29, p. 9, 2007.
[7] "Z-CAST Casting Process Simulation System," l. Cubictek co., Ed., ed. Seoul, 2007.
[8] Tim Rusnas Pusat Teknologi Material BPPT, "Laporan Akhir Pekerjaan Tahun 2009," Kementerian Negara Riset
dan Teknologi, Desember 2009.
[9] J. I. Standards, "Non-Ferrous Metals & Metallurgy," ed: Japanese Standards Association, 2002.
[10] s. r. o. Heneken, "Company Profile," ed. Bratislava, 2009, p. 5.

E-99

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-100

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Putaran Pengadukan, Temperatur, Waktu Terhadap Reaksi Transesterifikasi pada


Produksi Biodiesel dari Minyak Jelantah
Hanric Muharka 1), Sadar Wahjudi 2)
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Malang
Jln. Soekarno-Hatta No. 9, PO.BOX 004 Malang 65141
Telp. (0341) 404424, 404425, Fax.(0341) 404420
E-mail: muhar_01@yahoo.com
Abstrak
Reaksi transesterifikasi memegang peranan penting dalam mengkonversi minyak nabati maupun
minyak bekas pakai menjadi biodiesel. Penanganan bahan baku dan proses yng salah dapat
mengakibatkan rendahnya rendemen dan mutu biodiesel yang rendah. Pada reaksi transesterifikasi;
jumlah katalis, jumlah metanol, kadar FFA minyak, temperatur reaksi, waktu reaksi dan kecepatan
pengadukan merupakan faktor penentu mutu biodiesel yang dihasilkan. Penelitian ini memfokuskan
pengaruh temperatur reaksi, waktu reaksi dan kecepatan pengadukan pada reaksi transesterifikasi
minyak jelantah. Reaksi transesterifikasi berlangsung pada variasi temperatur 50, 55, 60, dan 65C,
dengan variasi waktu reaksi 1, 1.5, dan 2 jam, serta penggunaan kecepatan pengadukan selama proses
reaksi menggunakan variasi 300, 400, 500, dan 600 rpm. Hasil biodiesel dari ketiga variabel
penelitian selanjutnya akan dibandingkan dengan spesifikasi biodiesel sesuai dengan standard SNI
dan ASTM D 6751.
Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi temperatur yang digunakan, konversi biodiesel yang
dihasilkan akan semakin tinggi, untuk waktu yang lebih singkat. Reaksi yang dilakukan pada
temperatur diatas 65C berakibat menurunkan rendemen yang dihasilkan. Penggunaan kecepatan
pengaduk yang terlalu tinggi akan berakibat terjadinya reaksi saponifikasi yang akan menurunkan
rendemen yang dihasilkan. Variabel yang menghasilkan rendemen dan mutu biodiesel terbaik adalah
penggunaan temperatur 60C, waktu reaksi 1,5 jam, dan kecepatan pengaduk 500 rpm. Hasil biodiesel
dari ketiga variabel tersebut, telah memenuhi standard SNI dan ASTM D 6751 untuk pengujian
densitas, viskositas, indeks sentana, dan titik nyala.
Kata kunci : reaksi transesterifikasi, saponifikasi, minyak jelantah, temperatur, putaran, waktu
Abstract
Transesterification reaction plays an important role in converting vegetable oil or used oil into
biodiesel. Reaction process may result in low yield, due to the conversion stage between oil and
methanol takes place is not perfect and can lead to low-quality of biodiesel. In the transesterification
reaction; mass of catalysts, mass of methanol, FFA value, reaction temperature, reaction time, and
stirring speed is a major factor determining the quality of biodiesel produced. This study focused on
the influence of reaction temperature, reaction time, and stirring speed on used cooking oil
transesterification reaction. This study focused on the influence of reaction temperature, reaction time
and stirring speed on used cooking oil transesterification reaction. Transesterification reaction takes
place at a temperature variation 50, 55, 60, and 65 C, with a variation of reaction time 1, 1.5, and 2
hours, and the use of rapid mixing during the reaction process using a variation of 300, 400, 500, and
600 rpm. Biodiesel results of the three variables further studies will be compared with biodiesel
specification in accordance with the SNI standard and ASTM D 6751.
Results showed the higher temperatures used, the conversion of biodiesel produced will be higher, for
a lebihsingkat. Reactions were carried out at 65C temperature gives lower yield
of methyl ester. Using the stirrer speed is too high will cause the saponification reaction which reduce
the yield generated.
Use stirring speed is too high will cause the saponification reaction which will reduce the yield
generated. Variables that produce the higher yield and quality of biodiesel is the use at 60 C
temperature, 1.5 hours reaction time, and 500 rpm stirring speed. The results of these three variables
biodiesel, has met SNI the standard and ASTM D 6751 for testing density, viscosity, cetane index, and
flash point.
Keywords: Transesterification, saponification, cooking oil, temperature, rotation, time

E-101

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Biodiesel merupakan energi terbarukan yang dapat menggantikan solar. Biodiesel secara umum adalah bahan bakar
mesin diesel yang terbuat dari bahan terbarukan atau secara khusus merupakan bahan bakar mesin diesel yang terdiri
atas ester alkyl dari asam-asam lemak (Anonima. 2008). Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati, minyak hewani,
maupun dari minyak goreng bekas/ daur ulang, dengan mengkonversi bahan-bahan tersebut (trigliserida) menjadi metil
ester dengan suatu proses yang disebut transesterifikasi.
Proses pengolahan biodiesel cukup sederhana, namun harus dilakukan secara tepat dan cermat dari segi bahan baku,
peralatan pengolahan, maupun untuk proses pengolahan boidiesel, seperti; waktu, suhu, kualitas, dan kuantitas bahanbahan kimia yang digunakan. Ketidaktelitian dalam unit proses pra dan pembuatan biodiesel dapat mengakibatkan
menurunnya mutu biodiesel yang dihasilkan bahkan kegagalan dalam proses pengolahannya. Pada proses pengolahan
biodiesel, proses transesterifikasi dan proses pencucian biodiesel merupakan tahapan yang ikut menentukan kualitas
rendemen biodiesel yang akan dicapai. Dalam proses transesterifikasi dipengaruhi oleh rasio molar katalis dengan
minyak, rasio molar metanol dengan minyak, kadar FFA minyak, waktu, temperatur, dan kecepatan pengadukan.
Kadar FFA minyak merupakan faktor utama penentu keberhasilan reaksi transesterifikasi. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Tiwari (2007) yang menyatakan kadar FFA minyak diatas 1% akan menurunkan tingkat rendemen yang
dihasilkan dan meningkatkan pembentukan sabun, sehingga proses pemisahan biodiesel dan gliserol menjadi sulit [10].
Penelitian lain yang dilakukan Gerpen (2005) menyatakan bahwa semakin besar rasio molar antara metanol dan minyak
akan mengahsilkan rendemen biodiesel yang tinggi [3]. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain et
al (2010), faktor yang berpengaruh dalam menentukan kadar rendemen biodiesel adalah waktu, temperatur reaksi, dan
kecepatan pengaduk. Dalam penelitiannya, penggunaan temperatur 55 oC, lama reaksi 2 jam, dan kecepatan pengaduk
250 rpm dengan media minyak kanola bekas pakai mampu menghasilkan rendemen tertinggi [5].
Penelitian ini menitik beratkan pada pengaruh temperatur, waktu, dan putaran pengaduk dalam reaksi
transesterifikasi. Waktu proses reaksi transesterifikasi terlalu singkat akan menyebabkan terjadinya kegagalan proses
transesterifikasi. Begitu pula dengan temperatur yang digunakan pada saat proses, apabila temperatur yang digunakan
terlalu tinggi, dan kecepatan pengadukan terlalu rendah atau terlalu tinggi juga akan menyebabkan terjadinya kegagalan
proses transesterifikai.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas pada bagian latar belakang, maka pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh putaran pengaduk, temperatur reaksi dan waktu reaksi pada proses transesterifikasi
terhadap kadar biodiesel yang dihasilkan?
2. Apakah karakteristik biodiesel dari minyak jelantah hasil pada reaksi transesterifikasi sudah sesuai standar ASTM ?
1.3 Batasan Masalah
Bahan dasar biodiesel dari minyak jelantah, katalis dari KOH dengan konsentrasi 0,5-1 wt % sedangkan alkohol
menggunakan metanol sebanyak 10-20 % dari massa minyak. Variasi putaran pengadukan antara 300, 400, 500, 600
rpm, waktu reaksi 1, 1,5, 2 jam, temperatur pemanas 50, 55, 60, 65 oC.
1.4 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan temperatur
pemanas pada proses pembuatan biodiesel dengan bahan bakar minyak jelantah pada proses reaksi transesterifikasi dan
membandingkan karakteristik hasil reaksi dengan standar SNI dan ASTM.
1.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang produksi biodiesel menggunakan beberapa campuran minyak sayur dan minyak goreng
dilakukan oleh Piyanuch Nakpong and Sasiwimol Wootthikanokkh pada tahun 2009 [8] di Thailand. Minyak sayur
terdiri-dari minyak jarak, minyak rosela, minyak kelapa, sedangkan perbandingan antara minyak sayur dengan minyak
goreng bekas sekitar 0,03-0,2 v/v. Pada proses transesterifikasi menggunakan katalis alkali, metanol dan reaktor yang
digunakan terdapat kondensor, evaporator, termometer, sudu pengaduk berupa pelat panas dengan pengaduk magnet
dimana semua percobaan dilakukan pada kecepatan yang sama. Pada percobaan dengan rasio untuk campuran minyak
sayur dengan minyak goreng bekas didapatkan metil ester yang bervariasi dengan perbedaan perbandingan yang
terdapat pada tabel1. Pengujian karakteristik untuk biodiesel dari campuran tersebut dilakukan di laboratorium yang
dibandingkan dengan standar biodiesel Thailand (B100) maka didapatkan sifat-sifat dimana pada kondisi sudah sesuai
standar kecuali untuk viskositas rendah pada produksi biodiesel dari campuran minyak kelapa dengan minyak goreng
bekas. Hasil produksi biodiesel yang mempunyai metil ester yang lebih tinggi dari pada standar minimum B100 yaitu
perbandingan campuran antara minyak goreng bekas dengan minyak sayur 0,03 v/v.

E-102

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 1. Variasi metil ester pada ketiga campuran

Tabel 2. Pengukuran karakteristik campuran dibandingkan dengan B100

Penelitian yang dilakukan oleh Vicente et al (2004) [11], reaksi transesterifikasi pada minyak bunga matahari
dengan temperatur reaksi 65C selama 4 jam dengan kecepatan pengadukan sebesar 600 rpm. Pada penelitian ini
Vicente membandingkan penggunaan empat macam katalis yang berbeda tetapi dengan kondisi reaksi yang sama, yaitu
sodium hidroksida, potassium hidroksida, sodium metoksida, dan potassium metoksida. Hasil konversi FAME yang
diperoleh untuk keempat katalis tersebut berturut-turut 86.71%, 91.67, 99.33% dan 98.46%. Penggunaan katalis basa
dalam reaksi transesterifikasi dapat memunculkan terjadinya reaksi saponifikasi.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen murni, alat percobaan dibuat dari beberapa komponen
diantaranya: pemanas yang terdiri-dari dua pemanas dengan daya sebesar 1000 -1200 watt, penggerak pengaduk
menggunakan motor listrik yang berdaya 3/4 Pk dimana putaran bisa diatur yang disesuaikan dengan memakai inverter
putaran, kontrol panel diperlukan untuk mengatur temperatur dimana terdapat termokopel, sensor temperatur dan
kontrol omron dengan putaran jika temperatur sudah tercapai kontrol akan mematikan heater dan putaran tetapi pada
temperatur tertentu motor listrik dan heater jalan lagi, pengaduk berbentuk sudu yang mempunyai sudut kemiringan
tertentu, bahan baku minyak dimasukkan didalam reaktor melalui tutup atas dan tidak dibuka waktu putaran pengaduk
berjalan akan menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi, ini ditunjukkan pada gambar 1 merupakan diagram alir
penelitian.
2.1 Reaksi Esterifikasi
Sebelum melakukan proses reaksi transesterifikasi, proses reaksi esterifikasi perlu dilakukan dalam rangkain
proses pembuatan biodiesel. Reaksi esterifikasi bertujuan untuk menurunkan kadar FFA pada minyak jelantah. Proses
reaksi esterifikasi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari tahapan berikut [2]:
1. Mula-mula minyak jelantah (trigliserida) dipanaskan dalam reaktor sampai temperatur 30-40 C
2. Menambahkan metanol sebanyak 20 %-v minyak ke dalam reaktor dan diaduk selama 5 menit.
3. Menambahkan katalis asam (H2SO4) sebanyak 0,25 %-volume minyak dan diaduk selama 120 menit
4. Hasil reaksi esterifikasi didiamkan sampai dingin kemudian dilanjutkan ke tahap transesterifikasi.
2..2 Reaksi Transesterifikasi
Pada proses ini setelah sebelumnya dilakukan esterifikasi maka selanjutnya dengan mempersiapkan langkahlangkah sebagai berikut [6]:
1. Persiapan
Menyiapkan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat biodiesel pra pencucian yang terbuat dari minyak
jelantah sebagai bahan baku utama. Bahan-bahan kimia yang terdiri dari metanol dengan rasio molar minyak : metanol
sebesar 1 : 5 sebagai reaktan dalam proses transesterifikasi dan KOH sejumlah 5.3 gram/ liter minyak sebagai katalis.

E-103

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

2. Pemanasan Awal Minyak


Pemanasan awal bertujuan untuk menghilangkan air yang masih terkandung dalam minyak. Keberadaan air
dalam minyak akan menyebabkan hidrolisis yang memunculkan sabun dimana keberadaannya bisa padat atau semi
padat dan sangat sulit untuk ditangani.
3. Pembuatan Larutan Methoksida
Pembuatan larutan methoksida ini dilakukan dengan cara mencampurkan metanol sebanyak 20% dari jumlah
minyak yang digunakan dengan katalis basa yang berupa KOH sebanyak 5.3 gram/ liter minyak. Pencampuran ini
dilakukan dalam tempat yang tertutup, sehingga dihasilkan larutan potassium methoksida.
4. Transesterifikasi
Setelah larutan methoksida terbentuk, dan kandungan air dibawah 1%, minyak dipindahkan ke dalam reaktor
untuk kemudian ditransesterifikasi dengan menggunakan larutan methoksida dengan menggunakan variasi temperatur,
waktu, dan kecepatan pengaduk.
5. Pengendapan
Hasil dari transesterifikasi selanjutnya diendapkan selama kurang lebih 24 jam dengan tujuan memisahkan
gliserin dengan metil ester (biodiesel) secara sempurna.
Mulai

Identifikasi Masalah
- Reaktor
- Bahan Biodiesel
Studi Literatur
Tidak
Desain Reaktor

Persiap bahan
- Stainless
- Heater dll

Pembuat Reaktor

Kelayakan
Bh Biodiesel
Peralt ukur

Ya
Pembuatan Biodiesel

Penguj Lab
- FFA
- Density dll
Data
- Angka dan gambar

Hasil

Selesai
Gambar 1. Diagram alir penelitian
2.3 Analisa Biodiesel
Kadar FAME dalam biodiesel dapat diketahui dengan metode gas chromatography (GC). prosedur pengujian
FAME dengan GC adalah sebagai berikut [4]:
1. Sampel biodiesel diambil sekitar 1 g.
2. Tambahkan benzene-alkohol dengan perbandingan massa 1:1 dengan massa sampel biodiesel.
3. Kedua larutan dicampur hingga homogen dan diambil sebanyak 0,5 l untuk dianalisa dengan menggunakan alatgas
chromatography (GC).
E-104

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Prosedur penentuan FFA pada minyak jelantah maupun minyak CPO adalah sebagai berikut:
1. Bahan harus diaduk merata dan berada dalam keadaan cair pada waktu diambil contohnya. Timbang sebanyak
28.20.2 gram contoh kedalam Erlenmeyer. Tambahkan 50 ml alkohol netral yang panas dan 2 ml indikator
phenolphthalein (PP).
2. Titrasi dengan larutan 0.1 NaOH yang telah distandardisir sampai warna merah jambu tercapai dan tidak hilang
selama 30 detik.
3. Persen asam lemak bebas dinyatakan sebagai oleat pada kebanyakan minyak dan lemak. Untuk minyak kelapa dan
minyak inti kelapa sawit dinyatakan sebagai laurat, sedangkan pada minyak kelapa sawit dinyatakan sebagai
palmitat.
4. Asam lemak bebas dinyatakan sebagai %FFA atau sebagai angka asam. Angka asam merupakan banyaknya KOH
yang digunakan untuk menetralkan 1 gram. Contoh

Asam lemak bebas ditentukan sebagai kandungan asam lemak yang terdapat paling banyak dalam minyak
tertentu.Dengan demikian asam lemak bebas dipakai sebagai tolak ukur jenis mintak tertentu. Analisa densitas yang
dilakukan berdasarkan prosedur yang sesuai dengan ASTM D 1298, sedangkan untuk analisa viskositas yang dilakukan
berdasarkan prosedur sesuai dengan ASTM D 445, kemudian pada indeks sentana yang dilakukan berdasarkan prosedur
analisa yang sesuai dengan ASTM D 86, selanjutnya analisa titik nyala yang dilakukan berdasarkan prosedur yang
sesuai dengan ASTM D 93-02A [1].
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Reaktor
Pada penelitian ini dihasilkan alat yang digunakan untuk proses transesterifikasi berupa reaktor yang
difungsikan dalam pembuatan biodiesel yaitu tempat berlangsungnya konversi minyak CPO, minyak jelantah, maupun
minyak nabati lainnya menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME), alat tersebut ditunjukkan pada gambar 2. Pada reaktor
dilengkapi dengan kontrol suhu otomatis, pemanas, pengaduk dan inverter untuk mengatur putaran motor listrik dengan
kontrol suhu jika pada temperatur tertentu motor listrik tidak jalan sedangkan pemanas juga ikut tidak fungsi atau off .

Gambar 2. Reaktor transesterifikasi


4.2 Data hasil Penelitian
Secara umum temperatur reaksi transesterifikasi dapat berkisar antara 30 - 65C (titik didih metanol sekitar
65 C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.
Reaksi yang dilakukan pada temperatur diatas titik didih metanol dapat berakibat menurunnya kadar dan kualitas
biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan telah terjadi penguapan metanol selama reaksi berlangsung. Tabel
merupakan pengaruh temperatur terhadap Fame pada minyak jelantah dengan temperatur 50, 55, 60, 65 OC kemudian
digambarkan dengan garfik pada gambar 3.

E-105

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3 Grafik temperatur dengan FAME

Gambar 4. Grafik waktu dengan kadar FAME

Pada reaksi ini juga ditabelkan antara waktu reaksi dengan FAME pada minyak jelantah seperti di tabel , dari
tabel tersebut dibuat grafik yang digambarkan pada gambar 4.

Gambar 5. Grafik putaran dengan FAME


Data dari penelitian untuk minyak jelantah antara putaran motor listrik dengan FAME pada reaksi ini
ditabelkan, sedangkan grafiknya digambarkan pada gambar 5
4.3 Pembahasan
Gambar 3. Menunjukkan bahwa bahwa semakin tinggi temperatur reaksi transesterifikasi, kadar FAME
biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi. Kadar FAME tertinggi terjadi pada temperatur 60C. Hal in terjadi karena
dengan naiknya suhu, maka tumbukan antar partikel semakin besar, sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan
konstanta reaksi semakin besar. Reaksi transesterifikasi minyak CPO dan minyak jelantah dengan methanol menjadi
Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dengan metanol merupakan reaksi endotermis (Vieville et al, 1993), sehingga apabila
suhu reaksi dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan/ke produk (Dogra, 1990).
Peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari
temperatur.Semakin tinggi temperaturnya, maka semakin besar konstanta laju reaksinya.Hal ini sesuai dengan
persamaan Archenius berikut.[7]

k = A exp(-Ea/RT)
Dalam reaksi transesterifikasi waktu reaksi sangat berpengaruh terhadap konversi dan kadar FAME yang
dihasilkan. Dalam penelitian ini, pengaruh waktu reaksi transesterifikasi terhadap kadar FAME yang dihasilkan untuk
kedua jenis minyak, yaitu minyak CPO dan minyak jelantah ditunjukkan oleh gambar 4 menunjukkan bahwa bahwa
semakin lamawaktu reaksi transesterifikasi, kadar FAME biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi. hal ini dikarenakan
Hal ini dikarenakan molekul yang bergerak di dalam larutan memiliki sejumlah tertentu energi potensial dalam ikatanikatan mereka dan sejumlah energi kinetik dalam gerakan mereka. Dengan menambah waktu reaksi, molekul
memperoleh tambahan kesempatan untuk bereaksi, untuk saling bertumbukan dan mengubah energi kinetik menjadi
energi potensial. Semakin lama waktu reaksi, akan meningkatkan konversi minyak CPO dan minyak jelantah menjadi
metil ester (biodiesel) karena kesempatan bertumbukan antara molekul-molekul zat pereaksi makin besar.

E-106

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 7. Menunjukkan bahwa pengadukan optimal yang dapat mengahsilkan kadar FAME tertinggi dengan
menggunakan kecepatan pengaduk 500 rpm. Apabila kecepatan pengaduk yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi
rendah akan menyebabkan homogenisasi antara minyak nabati (minyak CPO dan minyak jelantah) dengan metanol
kurang merata. Dan apabila kecepatan pengaduk yang digunakan terlalu tinggi akan menyebabkan turbulensi dalam
proses pencampuran, dimana turbulensi tersebut sangat berpotensi untuk menghasilkan reaksi penyabunan (reaksi
saponifikasi) yang akan menurunkan kadar FAME biodiesel.
Pengadukan yang dilakukan dalam reaksi transesterifikasi juga akan menambah frekuensi tumbukan antara
molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Hal ini sesuai
dengan persamaan Archenius, semakin besar tumbukan yang terjadi, maka semakin besar pula harga konstanta
kecepatan reaksi, sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat larutan minyak-katalis metanol
merupakan larutan yang immiscible.
Karateristik yang dihasilkan dari percobaan untuk bahan baku dari minyak jelantah meliputi densitas,
viskositas merupakan sifat yang berpengaruh terhadap pola atomisasi, penyaluran dan kinerja pembakaran, indeks
sentana sebagai pendekatan besarnya angka sentana suatu bahan bakar, titik nyala merupakan suatu temperatur pada
saat bahan bakar mulai nyala, semua ini dapat ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Biodiesel Jelantah
Jenis Biodiesel
Densitas
Viskositas
Titik Nyala
Indeks Sentana
Biodiesel Jelantah
0,8799
5,999
51,91
165,81
Standar SNI
0,850 0,890
2,0 6,0
Min 48
Min 100

5. Kesimpulan
Pada percobaan, analisa penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulakan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi temperatur yang digunakan, konversi biodiesel yang dihasilkan akan
semakin tinggi, untuk waktu yang lebihsingkat. Reaksi yang dilakukan pada temperatur 65C berakibat menurunkan
rendemen yang dihasilkan. Penggunaan kecepatan pengaduk yang terlalu tinggi akan berakibat terjadinya reaksi
saponifikasi yang akan menurunkan rendemen yang dihasilkan. Variabel yang menghasilkan rendemen dan mutu
biodiesel terbaik adalah penggunaan temperatur 60C, waktu reaksi 1,5 jam, dan kecepatan pengaduk 500 rpm.
2. Karakteristik biodiesel dari ketiga variabel tersebut, telah memenuhi standard SNI dan ASTM D 6751 untuk
pengujian densitas, viskositas, indeks sentana, dan titik nyala.
DAFTAR PUSTAKA
[1] ASTM International. 2002. Annual Book of ASTM Standards : Petroleum Products, Lubricants, and Fossil
Fuels.Volume 05
[2] Berchmans, Hanny Johanes and Hirata, Shizuko. 2007. Biodiesel Production from Crude Jatropha Curcas L. Seed
Oil with a High Content of Free Fatty Acids. Bioresource Technology 99: 1716 1721
[3] Gerpen, Jon., Van. 2005. Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technology 86: 1097-1107
[4] Hambali, Erliza; Siti Mujdalipah; Armansyah Halomoan Tambunan; Roy Hendroko; dan Abdul Waries Pattiwiri.
2007. Teknologi Bioenergi. Agro Media. Jakarta
[5] Hossain, A.B.M.S.; Boyce, A. N.; Salleh, A; and Chandran, S. 2010.Impacts of Alcohol Type, Ratio, and Stirring
Time on The Biodiesel Production from Waste Canola Oil. African Journal of Agricultural Research Vo. 5
(14): 1851 1859
[6] Leung, Dennis, Y.C., Wu, Xuan, and Leung, M.K.H.. 2010. A Review on Biodiesel Production Using Catalyzed
Transesterification. Applied Energy 87: 1083 1095
[7] Parawira, Wilson. 2010. Biodiesel Production from Jatropha Curcas: A Review. Scientific Research and Essays
Vol. 5(14): 1796 1808
[8] Piyanuch Nakpong, Sasiwimol Wootthikanokkhan. 2009. Biodiesel production from mixtures of vegetable oil and
used cooking oil. As J. Energy Env, 10(04), 221-229.
[9] Prihandana, Rama, Hendroko, Roy, dan Makmuri Nuramin. 2006. Membuat Biodiesel Murah Mengatasi Polusi
& Kelangkaan BBM. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta
[10] Tiwari, Kumar Alok; Kumar, Akhilesh; dan Raheman, Hifjur. 2007. Diesel Production from Jatropha Oil
(Jatropha curcas) with High Free Fatty Acids : An Optimized Process. Biomass and Bioenergy 31:569-575
[11] Vicente, G., Martinez, M., Aracil, J. 2006.A Comparative Study of Vegetable Oils for Biodiesel Production In
Spain. Energy and Fuels, 20, 394-398.

E-107

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-108

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Penambahan Tabung Udara pada Intake Manifold Sepeda Motor 4 Langkah
terhadap Daya Mesin
Harjono(1), Greg. Sukartono(2)
Sekolah Vokasi Diploma Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika 2A Bulaksumur UGM Yogyakarta
harjono_13@yahoo.co.id(1)
(1) &(2)
Dosen Sekolah Vokasi Diploma Teknik Mesin UGM.
Proses pencampuran bahan bakar dan udara yang terjadi di karburator akan disempurnakan didalam
intake manifold dan ruang bakar. Pemasangan tabung udara pada intake manifold bertujuan untuk
menyempurnakan proses pengkabutan campuran dari karburator dan sebagai penstabil tekanan di
dalam intake manifold.
Pada penelitian ini di uji daya, torsi dan konsumsi bahan bakar motor 4 langkah pada kondisi
standart dan kondisi dimodifikasi saluran intake manifold dengan pemasangan tabung udara. Tabung
yang dipasang dengan variasi volume 159 cc, 222 cc, 315 cc, dan 510 cc. Pengujian ini dilakukan
pada putaran mesin 3000 rpm sampai 9000 rpm.
Pengujian dengan pemasangan tabung udara pada intake manifold sepeda motor 4 langkah dihasilkan
performa mesin lebih baik dari motor standart. Pada tabung udara volume 510 cc menghasilkan daya
paling besar yaitu 7,6 Hp saat putaran 7000 rpm. Torsi mesin paling besar tercapai pada putaran
5500 rpm sebesar 6,31 ft.lb pada tabung udara dengan volume 315 cc. Konsumsi bahan bakar pada
pemasangan tabung udara 510 cc lebih hemat.
Kata kunci : tabung udara, intake manifold, daya, pengkabutan, performa mesin.

A.

Pendahuluan

1.
Latar Belakang Masalah
Pada sepeda motor yang sudah lama dipakai umumnya terjadi penurunan unjuk kerja mesin terutama pada tenaga atau
daya mesin yang dihasilkan. Hal itu disebabkan karena terjadi keausan pada komponen mesin misalnya keausan pada
torak ,cincin torak dan silinder sehingga akan menurunkan tekanan kompresi dalam ruang bakar. Penurunan unjuk kerja
juga disebabkan oleh sistem pembakaran yang tidak sempurna hal ini sangat berhubungan dengan sistem pengapiannya,
misalkan kondisi busi pengapian, kabel busi dan juga penyetelan waktu pengapian. Pada sistem pencampuran bahan
bakar dan udara oleh karburator juga sangat berpengaruh terhadap unjuk kerja mesin, sistem pencampuran bahan bakar
dan udara yang tidak baik akan menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna sehingga terjadi penurunan daya dan
emisi gas buang yang tinggi.
Berbagai cara untuk memperbaiki unjuk kerja mesin telah banyak dilakukan, pada mesin bensin dengan pemasangan
supercharger pada saluran masuk karburator yang diharapkan dapat memberikan udara yang cukup dan dihasilkan
daya yang bertambah. Pada motor diesel dengan pemasangan turbocharger yang diharapkan saat langkah isap
didapatkan efisiensi volumetris yang besar sehingga meningkatkan daya mesin. (Mathur M.L. and Sharma R.P. 1980).
Pada sepeda motor juga telah ada usaha peningkatan untuk memperbaiki lagi kualitas pencampuran udara dan bahan
bakar yang akan masuk ke ruang bakar yaitu dengan memodifikasi bentuk saluran intake manifold untuk meningkatkan
torsi dan daya mesin.
Pada penelitian ini dilakukan usaha untuk meningkatkan jumlah campuran udara bahan bakar yang masuk ke ruang
bakar dengan sistem pengapian yang baik agar pembakaran sempurna sehingga diharapkan daya mesin meningkat.
Peningkatan jumlah campuran udara bahan bakar yang masuk ke ruang bakar dilakukan dengan cara memasang tabung
udara pada saluran intake manifold. Tabung udara ini diharapkan dapat menampung sisa campuran udara bahan bakar
yang tidak semua masuk ke ruang silinder pada proses langkah isap dan difungsikan sebagai supercharger atau tabung
penguat untuk mendorong campuran udara dan bahan bakar dari karburator yang masuk ke ruang silinder.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemasangan tabung udara pada intake manifold sepeda motor 4
langkah torsi dan daya mesin.
2.
Landasan Teori
Motor empat langkah dalam satu siklusnya dilakukan dalam empat gerakan langkah torak ( TMA-TMB-TMA-TMBTMA ) dan dalam dua putaran poros engkol. Proses pemasukan campuran udara dan bahan bakar dalam silinder
dilakukan pada saat langkah isap, dan campuran bahan bakar dan udara masuk ke ruang silinder karena adanya
kevakuman dalam ruang silinder. Katup isap tertutup pada saat beberapa derajat setelah poros engkol berputar 180o saat
langkah isapnya, pada saat mulai langkah kompresi katup isap dan katup buang tertutup dan sebagian campuran bahan
bakar tidak semua masuk dalam ruang bakar dan berada dalam intake manifold. Pada kenyataannya jumlah campuran

E-109

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

udara dan bahan bakar yang masuk ke dalam mesin lebih rendah dari keadaan ideal, perbandingan antara jumlah
campuran yang masuk sebenarnya dengan campuran yang ideal disebut efisiensi volumetris. Untuk motor 4 langkah
efisiensi volumetrik berkisar diantara 0,80 sampai 0,85 untuk indeks Mach lebih kecil dari 0,50 sedang untuk indeks
Mach lebih besar maka efisiensi volumetrik menurun.
Pada motor bensin campuran udara dan bahan bakar diharapkan bercampur dengan baik sebelum masuk ke ruang bakar.
Karburator adalah komponen pencampur bahan bakar dan udara sehingga diperoleh perbandingan yang sesuai dengan
kecepatan dan beban mesin. Penyempurnaan pencampuran bahan bakar dan udara itu berlangsung baik dalam saluran
isap maupun dalam silinder sebelum campuran itu terbakar. Proses pembakaran yang sempurna sangat bergantung pada
campuran bahan bakar dan udara yang masuk ke ruang bakar, disamping itu untuk mendukung campuran yang
sempurna dilakukan penambahan ataupun modifikasi saluran yang berhubungan dengan masuknya campuran udara dan
bahan bakar ke ruang bakar. Salah satunya adalah dengan membuat disain intake chamber , yang berfungsi sebagai
untuk mengurangi blowback pada karburator dan juga untuk membuat campuran bahan bakar dan udara lebih homogen.
Pemasangan tabung udara pada saluran intake manifold dapat menampung campuran udara dan bahan bakar yang tidak
semua masuk ke ruang bakar pada saat langkah kompresi. Campuran yang tertampung menjadi tambahan campuran
udara dan bahan bakar yang akan masuk ke ruang bakar pada proses langkah isap selanjutnya.

Gambar 1. Tabung udara pada intake manifold


Pada proses pembakaran hal yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan campuran udara dan bahan bakar yang
sesuai dengan beban mesin dan putaran mesin. Secara teoritis proses pembakaran akan terjadi sempurna apabila udara
yang tersedia adalah cukup sehingga semua unsur karbon menjadi karbondioksida dan semua unsur hidrogen menjadi
air. Pada proses pembakaran yang terjadi dalam ruang bakar tergantung pada perbandingan udara dan bahan bakar,
kepadatan campuran udara dan bahan bakar, jarak antara kedua elektroda dan temperatur campuran. Dengan
tercapainya pembakaran yang sempurna maka dihasilkan torsi dan daya mesin akan meningkat.
B.
Tinjauan Pustaka
Pada motor 4 langkah campuran udara dan bahan bakar masuk ke ruang silinder karena kevakuman ruang silinder
tersebut pada langkah isap. Untuk meningkatkan jumlah campuran bahan bakar dan udara maka dipasang supercharger
sehingga campuran tersebut dipaksa masuk ke ruang silinder pada langkah isap. Supercharger mempunyai arti penting
dalam usaha mengatasi kerugian daya yang disebabkan berkurangnya kepadatan udara dan memperbaiki proses
pembakaran. ( Arismunandar W., 1988).
Campuran bahan bakar dan udara yang masuk ke ruang bakar pada mesin pembakaran dalam sangat mempengaruhi
unjuk kerja mesin. Berbagai perkembangan teknologi telah dilakukan untuk mendapatkan efisiensi pemasukan
campuran bahan bakar dan udara yang baik. Pada mesin diesel dengan menambah turbocharger agar didapatkan
volume udara yang kebih besar sehingga daya mesin meningkat, hal yang sama juga dilakukan dengan menambah
supercharger pada mesin bensin untuk meningkatkan efisiensi volumetris ruang bakar. Teknologi sistem injeksi bahan
bakar telah dilakukan pada mesin bensin ataupun mesin diesel sehingga dapat meningkatkan daya mesin dan
menurunkan emisi gas buang. (Obert, 1973).
Boost bottle yang dipasang pada intake manifold berfungsi sebagai tabung penyimpan untuk pencampuran awal
campuran udara dan bahan bakar. Dengan adanya momen inersia campuran bahan bakar pada proses pengisapan maka
sebagian campuran bahan bakar masuk ke boost bottle. Pada langkah selanjutnya saat proses pengisapan boost bottle
berfungsi sebagai supercharger yang membantu memasukkan campuran bahan bakar ke ruang bakar. Boost bottle
sangat efektif pada pada putaran sedang dan putaran tinggi dan dapat berfungsi sebagai pencampuran awal bahan bakar
saat throttle tertutup. Pada pengujian dengan dynotester dihasilkan penambahan daya 10 hp rpm rendah, 4 hp rpm
menengah dan 2 hp rpm tinggi. ( Boost Bottle Theory, 2009).

E-110

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pada mesin 4 langkah pemakaian IC (intake chamber) memberi keuntungan untuk mengurangi blowback di karburator.
Pemasangan IC (intake chamber) memberikan hasil konsumsi bahan bakar yang lebih baik pada putaran rendah. (Four
Stroke Tuning, 2008).
Pada proses pembilasan mesin 2 langkah campuran bahan bakar dan udara sebagian ada yang kembali ke
intake manifold akibat momen inersia gas sehingga akan memperkaya campuran pada saluran intake manifold. Boost
bottle sebagai komponen penampung campuran bahan bakar dan udara yang kembali ke intake manifold dan dapat
berfungsi sebagai supercharger pada siklus ini. Pemasangan boost bottle pada mesin 2 takt sangat efektif karena dapat
berfungsi sebagai throttle yang dapat membaiki pencampuran bahan bakar dan udara. Pengaruh dari pemasangan
komponen ini dapat menambah torsi dan tenaga mesin. (Horning, 2007)
Pemasangan boost bottle pada mesin 2 takt dapat berfungsi sebagai komponen yang dapat membantu
pemasukan campuran bahan bakar dan udara yang akan masuk ke ruang bakar. Pada langkah pembilasan tidak semua
campuran bahan bakar dan udara masuk ke ruang bakar, sebagian mengalir ke intake manifold dan akan masuk ke boost
bottle. Pada saat pembilasan tekanan bilas akan diperbesar dengan adanya tekanan campuran bahan bakar dari boost
bottle. Pemasangan boost bottle dapat memberi efek dan beberapa keuntungan, yaitu dapat meningkatkan daya 10-40%
akan tetapi pemasangan yang tidak tepat dapat mengurangi daya mesin. (Mowery, 2007).
C.
Metodologi Penelitian
1.
Bahan dan alat penelitian
Bahan yang akan diuji adalah intake manifold mesin sepeda motor yang dimodifikasi dengan pemasangan tabung udara.
Dibuat beberapa modifikasi volume tabung yang akan dipasang pada saluran intake manifold. Adapun variasi volume
tabung adalah 159 ml, 222 ml, 315 ml, dan 510 ml. Alat yang dipergunakan adalah sepeda motor 4 tak Suzuki smash
FD 110 XCSD , Dynotest jenis inersia (chassis dyno) sebagai pengukur daya dan torsi mesin dan gelas ukur sebagai
pengukur konsumsii bahan bakar.

Gambar 2. Sistem pengujian daya dan torsi mesin


2.
Prosedur penelitian
Langkah pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Sepeda motor yang diuji pada kondisi standart dan sepeda motor yang dimodifikasi pada intake manifold dengan
pemasangan tabung udara.
b. Mesin sepeda motor dipasang pada roller dynotest
c. Mesin dihidupkan putaran mesin dipertahankan sebesar 1500 rpm(stasioner) selama 5 menit
d. Mesin kendaraan dimasukkan pada gigi 3 dan rpm awal untuk pengetesan dimulai pada putaran mesin 3000 rpm
dan dinaikkan lagi hingga 11000 rpm. Hal ini dilakukan berulang ulang sehingga didapatkan data torsi dan daya
mesin.
e. Catat data dari Dyno test yaitu torsi mesin dan putaran mesin pada mesin standart dan pada mesin yang intake
manifoldnya dipasang beberapa variasi tabung udara.
f. Untuk pengetesan konsumsi bahan bakar dilakukan dengan cara mengendarai sepeda motor di jalan, kemudian
dilakukan pengukuran kebutuhan bahan bakar pada tabung bahan bakar sebagai pengganti tangki bahan bakar.
D.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian kemampuan mesin didapat data daya mesin (Hp) dan torsi mesin (ft.lb) tiap putaran mesin dan
dilakukan pengukuran konsumsi bahan bakar.

E-111

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3. Kurva hubungan daya dengan putaran mesin

Gambar 4. Kurva hubungan torsi dengan putaran mesin

Gambar 5. Kurva hubungan jarak tempuh dengan volume tabung


Pada gambar 3, kurva hubungan daya dengan putaran mesin terlihat bahwa motor dengan modifikasi pemasangan
tabung udara pada intake manifold menunjukan daya yang diperoleh lebih besar dari pada motor standart. Tabung udara
berfungsi membantu pengkabutan campuran udara dan bahan bakar dari karburator sehingga dengan pengkabutan yang
lebih sempurna akan dihasilkan pembakaran yang lebih sempurna.
Pada putaran mesin 3500 rpm sampai 4000 rpm untuk volume tabung 159 cc dihasilkan daya paling besar yaitu 4,8 hp
pada putaran 4000 rpm. Putaran mesin dinaikkan 4000 rpm sampai 9000 rpm dengan tabung udara volume 510 cc
dihasilkan daya yang paling besar. Pada putaran rendah pemasangan tabung udara tercapai optimal pada volume 159 cc
dibandig dengan volume tabung 510 cc , maka dapat ditarik kesimpulan campuran yang terjadi pada volume 159 cc
lebih baik dari volume 510 cc.
Pada putaran mesin 4000 rpm sampai 10000 rpm , daya terbesar tercapai pada volume tabung 510 cc yaitu 7,6 hp saat
putaran mesin 7000 rpm. Hal ini disebabkan terjadi keseimbangan antara campuran bahan bakar yang tertampung di
tabung dengan aliran campuran yang masuk ke ruang bakar sehingga tabung udara berfungsi optimal yaitu membantu
pengkabutan dan sebagai tabung pendorong untuk memampatkan campuran yang masuk ke ruang bakar dan
menghasilkan campuran yang homogen.
Pada gambar 4, kurva hubungan torsi dengan putaran mesin terlihat dengan pemasangan tabung udara menghasilkan
torsi yang lebih besar untuk semua variasi putaran mesin. Pemasangan tabung udara menghasilkan pengkabutan dan
atomisasi campuran yang lebih baik sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna.
Mesin sepeda motor dengan tabung udara volume 315 cc putaran mesin 3000 rpm sampai 4000 rpm dihasilkan torsi
yang terbesar yaitu 6,25 ft.lb pada putaran mesin 5000 rpm. Pada putaran mesin 4500 rpm sampai 10000 rpm torsi pada
tabung udara 510 cc tercapai paling besar yaitu pada 5500 rpm yaitu 6,31 ft.lb.
E-112

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pada gambar 5 , grafik hubungan volume tabung dan jarak yang ditempuh menunjukkan dengan pemasangan tabung
udara jarak tempuh menjadi lebih besar. Tabung udara 510 cc menghasilkan jarak tempuh paling besar, hal ini
menunjukan dengan pemasangan tabung udara menghasilkan atomisasi campuran bahan bakar dan udara lebih
homogen danmenghasilkan pembakaran yang lebih sempurna. Pembakaran yang sempurna akan menyebabkan bahan
bakar terbakar sempurna dan konsumsi bahan bakar lebih hemat.
E.
KESIMPULAN
1.
Pemasangan tabung udara memperbaiki campuran bahan bakar dan udara dalam intake manifold, hal ini
terlihat dari performa mesin yang lebih baik.
2.
Pada putara mesin 3000 rpm sampai 5000 rpm, volume tabung udara 159 cc menghasilkan daya terbesar dan
pada putaran mesin diatas 5000 rpm daya terbesar tercapai pada tabung udara volume 510 cc.
3.
Torsi mesin terbesar pada volume tabung 315 cc saat putaran mesin dibawah 4000 rpm dan putaran mesin
diatas 4000 rpm torsi terbesar pada volume tabung 510 cc.
4.
Pemasangan tabung udara dengan volume 510 cc meningkatkan daya sebesar 5 % dan meningkatkan torsi
mesin sebesar 3,7 % , serta menurunkan konsumsi bahan bakar sebesar 12,1 % .
F.
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar Wiranto., 1988, Penggerak Mula Motor Bakar Torak, edisi keempat, Bandung
Boost Bottle Theory,2009, http//forums.everything2stroke.com/intake-mods/6510-boost-bottle.hmtl.
Horning, L., 2007, Porting Boost Bottle, http://www.2-stroke-porting.com/bbottle.htm
Mathur M.L. and Sharma R.P. 1980, A course In Internal Combustion Engines, Dhanpat Rai and Sons, Delhi
Mowery, 2007, Boost Botlle, http://forums.everything2stroke.com/intake-mods/6510-boost-bottle.html
Obert, O. F., 1973, Internal Combustion Engines and Air Pollution, Harper & Row Publishers, Inc., New York
Robinson J.,2008, Four Stroke Tuning, http://kampoentid-mail.blog.friendster.com/2008/01/motor -4-2-tak/
Streeter,L.V dan Wylie, E.B., 1993. Fluid mechanics , Edisi Delapan, Erlangga. Jakarta.

E-113

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-114

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

E-115

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Rancangan Welding Fixture Pembuatan Rangka Produk Kursi


Hendro Prassetiyo, Rispianda, Irvan Rinaldi Ramdhan
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, ITENAS, Bandung
Jl. P.H.H Mustofa No 23 Bandung
Telepon (022) 7272215 ekst 137
E-mail : hprassetiyo@itenas.ac.id, hprassetiyo@yahoo.com
Abstrak
Perkembangan industri maufaktur di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat didukung
dengan berkembangnya teknologi dalam bidang manufaktur. Salah satu operasi pemesinan
yang sering digunakan dalam industri manufaktur adalah operasi pengelasan. Operasi
pengelasan adalah suatu metode yang paling hemat dan efisien untuk menggabungkan dua atau
komponen logam. Oleh karena itu, pengelasan menjadi metode perakitan yang utama yang
digunakan oleh suatu industri. Kualitas produk hasil pengelasan yang baik dapat diperoleh
salah satunya dengan menggunakan alat bantu produksi (fixture) dalam suatu proses
pemesinan. Paper ini akan memaparkan perancangan fixture yang digunakan dalam operasi
pengelasan perakitan kursi di indutri kecil. Hasil rancangan menunjukkan bahwa fixture yang
dirancang dapat meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan.
Kata Kunci : fixture, operasi pengelasan, kualitas produk, produktivitas
1.

Pendahuluan

Perkembangan dunia industri manufaktur saat ini berkembang sangat pesat, hal ini dapat dilihat dari teknologi
yang digunakan oleh setiap industri manufaktur. Semakin tinggi perkembangan teknologi yang digunakan, semakin
tinggi tingkat permintaan konsumen. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tingkat pemakaian produk oleh konsumen.
Dengan kondisi seperti ini, Konsistensi jumlah, bentuk dan ukuran untuk sebuah produk/komponen yang sama harus
memiliki kualitas yang seragam. Peningkatan kualitas produk dapat dicapai salah satunya dengan penggunaan alat bantu
terhadap suatu proses produksi, diantaranya adalah: jig and fixture, mold, dan dies (Prassetiyo, 2010). Penggunan alat
bantu produksi akan mempermudah proses pengerjaan, mempercepat proses produksi, menghasilkan produk/komponen
yang seragam dan berkualitas, menghemat biaya produksi serta memberikan rasa aman bagi operator.
Perusahaan manufaktur yang bergerak dalam duplikasi produk diantaranya adalah perusahaan furniture yang
memproduksi produk modern outdoor furniture contohnya adalah kursi. Salah satu tahapan proses pembuatan kursi
adalah pengelasan. Proses pengelasan pada produk kursi dilakukan untuk merakit komponen rangka kaki dengan
penyangga alas duduk. Dalam proses pengelasan tersebut digunakan alat bantu sederhana berupa penjepit.
Permasalahan yang sering terjadi pada operasi pengelasan ini adalah adanya penyimpangan bentuk hasil pengelasan.
Masalah ini terjadi karena untuk merakit komponen rangka kaki dengan penyangga alas duduk ini dilakukan manual
dengan cara memberikan tanda garis dengan menggunakan alat tulis ke komponen rangka kaki. Jika tanda garis tersebut
telah ada maka komponen penyangga alas duduk tersebut dirakit ke komponen rangka kaki dengan cara memposisikan
ujung komponen penyangga alas duduk terhadap tanda garis yang ada di komponen rangka kaki. Setelah itu maka
dipasanglah penjepit dan baru dilakukan pengelasan. Dengan cara perakitan seperti itu, kemungkinan hasil perakitan
yang didapat akan menimbulkan penyimpangan bentuk dan membutuhkan waktu setup yang lama, sehingga akan
mempengaruhi kepada waktu proses dalam pembuatan produk kursi ini. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
dibutuhkan alat bantu yang dapat menghasilkan waktu setup yang cepat dan kemudahan dalam pengerjaan oleh
operator.
Untuk mencapai jumlah, kualitas, harga produk dan mempercepat waktu setup, maka penggunaan perkakas
bantu pada proses pengelasan sangat menguntungkan karena dapat mengurangi jumlah produk dengan kualitas rendah
(scrap) serta waktu pemasangan dan pembongkaran benda kerja lebih singkat. Salah satu alat bantu yang dapat
digunakan dalam proses pengelasan adalah Welding Fixture. Welding Fixture perlu didesain sesederhana mungkin
dengan tidak mengurangi ketelitian geometri produk. Makalah ini akan membahas perancangan Welding Fixture yang
akan digunakan dalam proses pengelasan pada tahap pembuatan rangka kursi.

2.

Metodologi Penelitian

Menurut Hoffman (1996), Jig dan Fixture merupakan alat bantu produksi yang digunakan pada proses
manufaktur sehingga dihasilkan duplikasi part yang akurat. Hubungan yang tepat dan sejajar antara pemotong atau alat
E-116

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

yang lain dan benda kerja harus dijaga. Untuk melakukannya, sebuah Jig atau Fixture di rancang dan dibangun untuk
menahan, menopang, dan memposisikan setiap bagian untuk memastikan bahwa setiap bagiannya dilakukan proses
pemesinan dengan batas yang spesifik.
Jig adalah peralatan khusus yang berfungsi untuk menahan dan menyokong benda kerja, yang akan mengalami
proses pemesinan. Jig tidak hanya menahan dan menyokong benda kerja, tetapi juga mengarahkan alat pemotong ketika
proses produksi dilakukan. Jig biasanya terbuat dari hardened steel, untuk memandu proses drilling atau alat pemotong
lainnya.
Fixture adalah peralatan yang berfungsi untuk menahan benda kerja dan mendukung pekerjaan sehingga operasi
pemesinan dapat dilakukan. Sebuah Fixture harus dikunci erat pada mesin yang akan digunakan. Walaupun lebih
banyak digunakan pada mesin milling, Fixture juga dirancang untuk menahan benda kerja untuk operasi yang beragam
pada peralatan mesin standar.

2.1. Prinsip Desain Jig dan Fixture


Perencanaan peralatan yang efisien diperoleh dari analisa pekerjaan itu sendiri (Kaderiwiryono,1981). Penelitian
pendahuluan dari pekerjaan itu memberikan pengertian yang komplit dari prosesnya dan hubungan antara operasioperasi pengerjaan tersebut. Penelitian pendahuluan ini termasuk:
a.
Membuat pengukuran tiap-tiap operasi, tipe bahan baku yang diperlukan dan sifat-sifatnya.
b.
Mengenal toleransi dan faktor-faktor ketelitian lainnya yang diperlukan.
c.
Menentukan mesin perkakas yang diperlukan, perlengkapan, perkakas, lay out tempat kerja dan kondisi
kerja.

2.2. Prinsip Rancangan Perkakas Pemegang


Menurut Kaderiwiryono (1981) rancangan atau pemilihan pemegang ditentukan oleh banyak faktor. Pertama oleh
sifat fisik dari benda kerja. Kedua, gaya-gaya pemotongan yang dibebankan oleh operasi pengerjaan dengan mesin
bermacam-macam dalam besar dan arah. Ketiga, pemegang benda menentukan lokasi benda kerja relatif terhadap alat
potong. Keempat, kekuatan dan kekasaran benda kerja akan ditentukan oleh taksiran apakah dia harus didukung untuk
operasi mesin. Kelima, persyaratan produksi sangat mempengaruhi rancangan pemegang. Keenam, persyaratan keenam
harus selalu mendikte rancangan pemegang atau pemilihan pemegang. Ketujuh, pemegang harus dirancang untuk
memegang benda kerja hanya pada satu posisi. Kedelapan, disarankan untuk menggunakan pemegang dengan
komponen standar dan komersil.

3. Hasil dan Perancangan


3.1 Spesifikasi Produk Kursi
Perancangan Welding Fixture dirancang untuk membantu proses pengerjaan pada komponen produk kursi.
Komponen tersebut berupa kaki kursi dan penyangga alas duduk. Berikut ini merupakan keterangan mengenai jenis
produk dan spesifikasi komponen produk. Gambar produk kursi yang menjadi bahan kajian perancangan Welding
Fixture dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Produk Kursi


Perancangan Welding Fixture dilakukan hanya untuk pengelasan komponen kaki dan perakitan komponen
kaki ke komponen penyangga alas duduk. Komponen kaki ini dibuat dari plat alumunium panjang yang diproses
dengan cara di bending (pembengkokan) sehingga akan membentuk persegi. Komponen kaki ini akan mengalami
proses pengelasan pada bagian ujung plat alumunium tersebut. Gambar komponen kaki dapat dilihat pada Gambar 2,
sedangkan spesifikasi dimensi komponen kaki dapat dilihat pada Gambar 3.

E-117

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 2. Komponen Kaki

Gambar 3. Spesifikasi dimensi Komponen Kaki

Penyangga alas duduk ini terbuat dari bahan yang sama yaitu alumunium. Tetapi bentuk dari penyangga alas duduk ini
lebih kecil dari komponen kaki. Pada proses pembuatan penyangga alas duduk ini terdapat tiga lubang yang berfungsi
sebagai penyambung alas duduk (kayu) dengan menggunakan baut. Komponen penyangga alas duduk ini akan dirakit
ke komponen kaki dengan cara pengelasan. Gambar penyangga alas duduk dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan
spesifikasi dimensi penyangga alas duduk dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Penyangga Alas Duduk

Gambar 5. Spesifikasi Dimensi Penyangga Alas Duduk

3.2 Perancangan Welding Fixture


Agar mendapatkan Welding Fixture yang baik maka perancangan Welding Fixture ini harus disesuaikan dengan
bentuk produk yang akan dibuat. Pengelasan komponen penyangga alas duduk dan komponen kaki minimum
memerlukan pemegang (locator) yang sesuai dengan bentuk dan ukuran masing-masing komponen, disamping itu juga
memerlukan penahan (clamping) untuk mengurangi pergerakan/pergeseran komponen. Berikut ini adalah komponenkomponen yang ada pada Welding Fixture, yaitu:
1.
Landasan (Base Plate)
2.
Pencekam (Clamping)
3.
Set Block
4.
Lokator
Perancangan untuk masing-masing komponen pada Welding Fixture dijelaskan berikut ini

3.2.1

Perancangan Landasan

Perancangan landasan (base plate) ini disesuaikan dengan bentuk dan dimensi dari komponen kaki. Dengan
produk yang berbentuk persegi, maka dimensi panjang dan lebar landasan (base plate) ini dirancang lebih besar dari
panjang dan lebar produk. Landasan yang dirancang ini mempunyai spesifikasi ukuran 550 mm x 540 mm x 20 mm.
Material yang digunakan pada fixture ini adalah ST-37. Jenis material ini dipilih karena material ini mempunyai
kekuatan yang cukup kuat dalam menopang benda kerja, mempunyai harga yang sangat murah, dan mempunyai sifat
deformasi yang kecil. Bentuk landasan dari welding fixture yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 6.

E-118

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

3.2.2

Perancangan Pencekam (Clamping)

Penempatan pencekam (clamping) pada fixture ini disesuaikan dengan bagian benda kerja yang akan dilakukan
proses pengelasan agar tidak mengganggu kerja dari operator dan tidak ada kerusakan dan deformasi yang terlalu besar.
Gaya pencekaman yang diberikan kepada benda kerja diarahkan ke bidang set block agar dapat menjaga kestabilan
benda kerja.
Dalam perancangan Welding Fixture ini pencekam yang digunakan adalah toggle clamp. Jenis pencekam ini dipilih
karena cara pengoperasian yang cukup cepat, bentuk yang sederhana dan juga mudah untuk dicari dipasaran. Dalam
rancangan Welding Fixture ini digunakan clamping sebanyak 3 buah, hal ini dikarenakan adanya proses pengelasan
yang membutuhkan penahan pada salah satu bagian proses dari komponen produk ini. Bentuk toggle-action clamp yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 6. Landasan Welding Fixture

3.2.3

Gambar 7. Toggle-Action Clamp

Perancangan Set Block

Perancangan set block ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat yang memposisikan benda kerja pada
fixture agar benda kerja menjadi rigid atau kaku. Set block ini dirancang sesuai bentuk benda kerja agar memudahkan
operator dalam melakukan proses loading dan unloading. Bentuk yang dirancang pada set block ini berjenis T Section.
Namun bentuk set block ini disesuaikan dengan bentuk benda kerjanya, sehingga bentuk dari set block ini
menjadi custom dari jenis T Section. Set block ini terbagi menjadi 3 set block, yaitu set block biasa, set block
penyangga, dan set block panjang. Berikut ini spesifikasi dari bentuk set block biasa yang dirancang.

Gambar 4.9 Set Block Biasa


Pada set block biasa ini terbuat dari bahan ST-37 dan terdapat 2 buah baut berukuran M7. Bentuk dari set block
biasa ini disesuaikan dengan bentuk produk yang akan mengalami proses. Peletakkan set block biasa pada landasan
dapat dilihat pada Gambar 8. Untuk set block penyangga, terbuat dari bahan ST-37 dan terdapat 2 buah baut berukuran
M7. Bentuk dari set block penyangga yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan peletakkan set block
penyangga pada landasan dapat dilihat pada Gambar 10.

E-119

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 8. Peletakkan Set Block Biasa Pada Landasan

Gambar 9. Set Block Penyangga

Gambar 10. Peletakkan Set Block Penyangga

Set block panjang, terbuat dari bahan ST-37 dan terdapat 2 buah baut berukuran M7. Bentuk dari set block
panjang ini disesuaikan dengan bentuk produk yang akan mengalami proses perakitan. Pada bagian tengah set block
ini terdapat lubang berdiameter 6 mm. Fungsi dari lubang ini adalah sebagai tempat masuknya pasak yang akan
digunakan untuk menyangga komponen yang akan dirakit dengan benda kerja yang lainnya. Pada set block ini
digunakan bahan material ST-37 dikarenakan pada set block ini membutuhkan bahan yang cukup kuat untuk menahan
gaya yang terjadi pada benda kerja. Bentuk set block panjang yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 11 sedangkan
peletakkan set block panjang pada landasan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11. Set Block Panjang

E-120

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 12. Peletakkan Set Block Panjang Pada Landasan

3.2.4

Perancangan Lokator

Perancangan lokator ini tergantung dari kebutuhan operasi dan kondisi benda kerja. Lokator yang digunakan
berjenis pin lokator (pasak). Selain berjenis pin lokator (pasak), ada juga lokator berjenis edge lokator dan V lokator..
Lokator ini terbuat dari bahan ST-37 yang berbentuk tabung pejal. Dengan menggunakan lokator ini tidak semua derajat
kebebasan harus dihilangkan, tetapi dengan mengetahui arah dan besar gaya-gaya yang terjadi, maka penggunaan
lokator akan lebih efisien dan tidak terlalu rumit. Jumlah lokator yang digunakan hanya ada 2 buah lokator. Yang
ditempatkan di setiap tepi dari benda kerja yang akan diproses. Fungsi dari penempatan lokator yang digunakan ini
adalah untuk menahan komponen pada saat akan dirakit dengan komponen lainnya agar tidak jatuh. Gambar dari
lokator yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Bentuk dan posisi lokator

3.2.5

Hasil Rancangan Welding Fixture

Berdasarkan hasil rancangan komponen pembentuk welding fixture yang telah dilakukan, bentuk rakitan
welding fixture dan prototype Welding Fixture dapat dilihat pada Gambar 14. Prototype Welding Fixture terbuat dari
bahan ST-37, dimana bahan ST-37 ini mempunyai kekuatan yang cukup baik untuk menahan beban dari komponen
produk kursi ini. Gambar prototype Welding Fixture dengan komponen Rangka Kaki dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 14. Bentuk rakitan welding fixture dan prototype Welding Fixture

E-121

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 15. Prototype Welding Fixture dengan komponen Rangka Kaki

3.3 Analisis Hasil Perancangan


Pada tahap ini akan dilakukan analisis perbandingan antara proses pengelasan komponen kaki dan perakitan
komponen kaki ke komponen penyangga alas duduk dengan menggunakan Fixture dan tanpa menggunakan Fixture.

3.3.1 Analisis Akurasi Hasil Pengelasan


Proses pengelasan komponen kaki dan perakitan komponen kaki ke komponen penyangga alas duduk dengan
menggunakan Fixture menghasilkan produk dengan kepresisian dan keakurasian yang baik sesuai dengan spesifikasi
serta toleransi yang diberikan. Hasil pengerjaan produk dengan menggunakan alat bantu Fixture yang dihasilkan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengerjaan Produk
Kualitas pengelasan
Kualitas perakitan komponen kaki ke
komponen kaki
komponen penyangga alas duduk

Benda Kerja
BK1
BK2

Sesuai spesifikasi
Sesuai spesifikasi

Sesuai spesifikasi
Sesuai spesifikasi

BK3

Sesuai spesifikasi

Sesuai spesifikasi

BK4

Sesuai spesifikasi

Sesuai spesifikasi

Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan fixture dalam proses pengelasan komponen kaki dan perakitan komponen
kaki ke komponen penyangga alas duduk cukup baik dalam memberikan kepresisian dan keakurasian terhadap
spesifikasi produk yang dihasilkan.

3.3.2 Analisis Perbandingan waktu setup


Setelah melakukan proses perhitungan waktu setup tanpa menggunakan Welding Fixture dan waktu setup
dengan menggunakan Welding, maka dapat diketahui perbandingan waktu setup yang terjadi. Perbandingan waktu setup
sebelum dan setelah menggunakan Welding Fixture dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Waktu setup
Waktu
Waktu setup
Waktu proses
Waktu total

Tanpa Welding Fixture


4.788
4.467
9.255

Dengan Welding Fixture


1.360
4.467
5.827

Waktu setup dengan menggunakan Welding Fixture sebesar 1,360 menit ini lebih kecil dibandingkan dengan
tanpa menggunakan Welding Fixture yang mempunyai waktu setup sebesar 4,779 menit. Hal ini dikarenakan dua proses
pengelasan yang terjadi pada komponen ini dilakukan pada satu alat bantu berupa Welding Fixture, sehingga
mengurangi waktu setup.

3.3.3 Analisis Kelayakan Ekonomis Alat Bantu Produksi


Untuk dapat menganalisis apakah Jig dan Fixture yang dibuat cukup layak secara ekonomis, maka dilakukan
pengujian dengan cara membandingkan ongkos dan waktu yang dibutuhkan dalam proses pemesinan tanpa dan
menggunakan Jig dan Fixture. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Perbandingan
E-122

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kriteria

Tanpa Alat Bantu

Dengan Alat Bantu

1500 unit

1500 unit

Toogle-action clamp

Welding Fixture

Jumlah Benda kerja per Jam

6,490 unit/ jam

10,297 unit/ jam

Ongkos Tenaga Kerja

Rp. 4.622.500
Rp. 3.081,67

Rp. 2.913.500
Rp. 1.942,33

Ukuran Lot Produksi


Alat Pencekam

Ongkos pembuatan/unit

Hasil perbandingan menunjukkan bahwa penggunaan Welding Fixture dapat meningkatkan volume produksi yang
berakibat pada penurunan biaya pembuatan produk.

4.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil rancangan dan pengujian serta analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Welding
Fixture yang dibuat dapat digunakan sebagai alat bantu produksi proses pengelasan komponen kaki dan perakitan
komponen kaki ke komponen penyangga alas duduk. Penggunaan Welding Fixture dapat membantu untuk memberikan
solusi proses produksi pengelasan dari sisi waktu pengerjaan, kemudahan pengerjaan dan kecepatan proses produksi.

5.

Daftar Pustaka

Hoffman, Edward G., 1996, Jig And Fixture Design, Delmar Publishers.
Kaderiwiryono, Sudarso., 1981, Perkakas Pembantu, Departemen Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung.
Prassetiyo, Hendro., Taroepratjeka, Harsono., Pratama, Jonathan F., 2010, Rancangan Jig & Fixture Untuk Produksi
Pembuatan Gear Belakang Sepeda Motor Yamaha, Proceeding Seminar Nasional IV Manajemen dan Rekayasa
Kualitas, Itenas, Bandung

E-123

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-124

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Mesin Pencacah Jerami Sistem Multi Pisau Bersilang Kapasitas 300 Kg/Jam
Ireng Sigit Atmanto, Bambang Setyoko
PSD III Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Sudharto, S.H, Tembanlang, Semarang 50275
e-mail: irengsigit@gmail.com, bsetyoko@ymail.com
Abstrak
Perkembangan dunia peternakan sapi di Indonesia sangat pesat. Untuk memenuhi kebutuhan
jerami sebagai makanan pokok ternak sapi, di berbagai daerah digunakan mesin pencacah
yang masih kurang sempurna hasilnya. Masalah yang sering timbul antara lain: hasil
pencacahan kurang halus dan banyaknya jerami yang menumpuk di dalam mesin. Untuk itu
perlu dirancang alat pencacah jerami yang dapat mengatasi masalah tersebut dan
mempermudah dikonsumsi sapi, sehingga hasil peternakan semakin meningkat.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah rancang bangun mesin pencacah jerami
sistem multi pisau bersilang yang memiliki tingkat kekerasan tinggi disertai konveyor screw
agar jerami hasil pencacahan dapat langsung didorong keluar dan tidak menumpuk di tabung
bawah mesin. Mesin pencacah jerami ini digerakkan oleh motor diesel 4 tak 1 silinder 8 HP
dengan panjang hasil cacahan antara 2-5 cm. Pengambilan data dilakukan dengan uji coba
untuk pencacahan jerami basah dengan kandungan air diatas 75% dengan berat 10 Kg pada
putaran 1000-1900 RPM sehingga didapatkan waktu penyelesaian dan kapasitas pencacahan.
Dari hasil pencacahan dengan sampel 10 Kg jerami basah, didapatkan panjang jerami cacahan
antara 4 5 cm. Kapasitas 300 Kg/jam dapat dicapai pada putaran poros mesin 1800 Rpm.
Grafik hubungan kapasitas dan putaran mesin sesuai dengan persamaan regresi y = 2,8E04x2 - 5,0E-01x + 3,2E+02. Pada putaran mesin pencacah lebih dari 1800 rpm, mesin diesel
penggerak mati karena beban terlampau besar.
Kata kunci : Pencacah, pisau, bersilang, jerami, screw.
Pendahuluan
Perkembangan dunia peternakan di Indonesia sangat pesat. Beberapa jenis hewan ternak sudah dibudidayakan
secara baik dan optimal. Namun di berbagai daerah di Indonesia, masih digunakan cara manual untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternak sapi yang mengkonsumsi jerami sebagai makanan pokok. Oleh karena itu, perlu dirancang alat
yang membantu memenuhi kebutuhan konsumsi ternak sapi secara optimal. Alat ini merupakan mesin pencacah yang
membantu mencacah jerami agar lebih mudah dikonsumsi sapi, sehingga hasil peternakan semakin meningkat.
Jerami padi merupakan hasil ikutan pertanian terbesar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta ton per tahun.
Produksi jerami per hektare sawah padi bisa mencapai 12-15 ton basah, atau 4-5 ton bahan kering setiap kali panen,
tergantung lokasi dan varietas tanaman. Sejauh ini, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak baru mencapai 31-39
%, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36-62 %, dan sekitar 7-16 % digunakan untuk
keperluan industry [6].
Pengembangan teknologi pada dasarnya bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan efisiensi peralatan, baik
yang telah ada, ataupun yang akan dirancang. Sebagai upaya pengembangan teknologi yang efektif, pertama-tama harus
didasarkan pada permintaan pasar, baik yang telah ada, atau yang mulai diperlukan oleh pasar. Hal tersebut sesuai
dengan Instruksi Presiden RI no. 3 tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna [2].
Kemampuan itu harus dilengkapi dengan kemampuan menterjemahkan perkembangan kebutuhan pasar dengan
kemampuan untuk menggagas spektrum teknologi apa yang dapat menanggapi kebutuhan tersebut.
Teknologi tepat guna adalah teknologi yang cocok dengan kebutuhan masyarakat sehingga bisa dimanfaatkan
pada rentang waktu tertentu. Teknologi tepat guna merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan yang mendasar,
yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia dengan keanekaragaman ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dapat diposisikan tidak hanya sebagai pendukung, tapi juga sebagai pionir
perambah jalan menuju terwujudnya masyarakat sejahtera dan berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat yang berada
di berbagai penjuru tanah air dengan tingkat kemampuan penguasaan teknologi dan ekonomi yang terbatas.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang mendukung kami untuk menciptakan
suatu karya cipta teknologi yang dapat digunakan oleh masyarakat. Tujuan utama inovasi teknologi ini adalah rekayasa
mesin pencacah jerami sehingga hasil yang didapat lebih efektif, efisien dan berkualitas. Mesin pencacah jerami ini
dirancang memakai sistem multi pisau bersilang dengan tingkat kekerasan tinggi [1], serta menggunakan konveyor
screw supaya jerami hasil pemotongan pisau tidak menumpuk di bawah mesin, namun didorong keluar dengan
berputarnya poros screw.
E-125

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Tujuan dari penelitian ini adalah berupa mesin pencacah jerami sistem multi pisau bersilang yang mampu
melakukan pencacahan dengan kapasitas 300 Kg/jam, serta panjang hasil cacahan jerami berkisar 2 5 cm dengan
penggerak mesin diesel satu silinder.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dimana alat hasil rancangan kemudian
diuji coba untuk pencacahan jerami. Dalam pengujian alat, digunakan sampel jerami basah dengan kandungan air diatas
75 %. Hal ini berdasarkan hasil survei dimana peternak sapi masih menggunakan metode manual dalam pencacahan
yang tidak efektif, sedangkan jumlah konsumsi jerami untuk pakan sapi sangat banyak. Tolok ukur keberhasilan
pembuatan alat ini adalah bila kapasitas yang dihasilkan mencapai target 90% dari kapasitas yang dirancang.
Rancangan Mesin Pencacah Jerami
Untuk mendapatkan kapasitas pencacahan jerami yang besar dibutuhkan jumlah pisau yang banyak dan tajam
serta putaran pemotongan besar. Sebagai gambaran dari rancangan pisau pencacah jerami dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rancangan pisau pencacah jerami sistem multi pisau [4] (satuan: mm).
Dari gambar diatas dengan banyaknya jumlah pisau 18 buah memungkinkan satu putaran poros dapat melakukan
tiga kali pemotongan dengan jarak antara masing masing pisau 8,4 cm hal ini untuk menjaga agar hasil pencacahan
tidak terlalu lembut namun masih memenuhi batasan yang disyaratkan sebagai pakan ternak. Sedangkan untuk
memerlukan perbaikan dan pengasahan pisau bilamana sudah tumpul, maka pada tangkai pisau disatukan menggunakan
baut baja masing-masing dua buah.
Sedangkan untuk mempermudah dalam proses pengeluaran hasil pencacahan dari dalam tabung pencacah
dipakai konveyor model screw [3] seperti pada Gambar 2. Perbandingan putaran antara pisau pencacah dengan
konveyor screw menggunakan reducer 1 : 40 [5] hal ini memungkinkan hasil pencacahan dapat didorong dengan
mudah keluar melalui saluran pengeluaran.

Gambar 2. Konveyor model screw [4] (satuan: mm).


Dalam penelitian ini sampel yang dipakai adalah jerami yang masih mengandung kadar air antara 80% sampai
dengan 95 %, sebagai alat uji yaitu mesin pencacah jerami yang dirancang dengan penggerak mesin diesel dengan
spesifikasi sebagai berikut :
Type
: Diesel 4 langkah 1 Silinder
Daya
: 8 HP
Putaran
: 2200 Rpm
Panjang tabung pencacah : 660 mm
Jumlah pisau pencacah
: 18 buah
Pada pengujian ini ditetapkan variabel bebas penelitian adalah putaran mesin pencacah dan variabel terikat
adalah banyaknya jerami yang dicacah. Untuk pengujian dipakai sampel jerami sebanyak 10 Kg pada putaran mesin
1000-1900 rpm. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam perhitungan dan pelaksanaan pengujian.
Dalam proses pengambilan data digunakan metode eksperimental yaitu dengan menguji keandalan mesin
pencacah jerami yang sudah dirancang. Sebelum dilakukan pengambilan data mesin tersebut diadakan pengujian
pendahuluan apakah mesin tersebut dapat melakukan pencacahan jerami dengan ukuran yang ditentukan dengan sampel
jerami basah dengan kandungan air lebih dari 75 %. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium PSD III Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Data yang diambil berupa putaran mesin yang digunakan antara
1000 rpm sampai dengan 1900 rpm dan waktu pencacahan jerami sebanyak 10 Kg tiap variable putaran.

E-126

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Hasil dan pembahasan


Dari perancangan didapat konstruksi mesin pencacah jerami dan hasil pencacahan seperti pada Gambar 3.
Dari hasil pengujian didapatkan data :
Waktu pencacahan yang dicatat pada saat pengujian.
Putaran mesin saat pengujian

(a)

(b)

Gambar 3.(a) Konstruksi mesin pencacah jerami hasil rancangan dan (b) jerami
hasil pencacahan.
Data yang didapat dari hasil pengujian disusun dalam Tabel 1.
Tabel 1. Waktu pencacahan pada berbagai putaran mesin pencacah jerami.
Putaran Mesin
( Rpm )

Waktu Pencacahan
( menit )

1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
1800
1900

6,3
5,5
4,8
4,2
3,7
3,1
2,6
2,2
1,9
1,6

Dari data Tabel 1 dikonversi menjadi kapasitas pencacahan dan disajikan dalam Tabel 2.
Dari Tabel 2 kapasitas yang direncanakan tercapai pada putaran 1800 rpm. Untuk meningkatkan kapasitas
pencacahan, mesin dapat diputar lebih dari 1800 rpm, namun tidak boleh dioperasikan mendekati putaran maksimal.
Pada putaran yang terlalu tinggi, gaya pencacahan menurun sehingga mesin diesel penggerak akan mati dengan
sendirinya. Panjang jerami hasil pencacahan berkisar antara 2-5 cm sesuai syarat bahan pakan ternak sapi (Gambar 4).
Tabel. 2 Kapasitas pencacahan jerami pada berbagai putaran mesin.
Putaran Mesin
Kapasitas Pencacahan
( Rpm )
( Kg/jam )
1000
95,23
1100
109,09
1200
125,00
1300
142,85
1400
162,16
1500
193,54

E-127

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Kapasitas pencacahan (Kg/jam)

1600
1700
1800
1900
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

230,76
272,72
315,78
375,00

y = 2,8E-04x2 - 5,0E-01x + 3,2E+02

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

Putaran mesin (Rpm)

Gambar 4. Grafik hubungan Kapasitas pencacahan vs Putaran mesin.


Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi putaran mesin maka kapasitas mesin pencacah juga semakin
besar. Jika didekati dengan garis regresi polinomial derajat 2 maka garis grafik mengikuti persamaan y = 2,8E-04x2 5,0E-01x + 3,2E+02. Dari persamaan ini kita dapat memprediksi kapasitas pencacahan mesin jika putaran mesin berada
di bawah 1900 rpm atau di atas 1000 rpm.
Waktu pencacahan (menit)

7
6
5
4
3
2

y = 3E-06x2 - 0,013x + 16,95

1
0
800

1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200


Putaran mesin (RPM)

Gambar 5. Grafik hubungan Waktu pencacahan vs Putaran mesin.


Demikian juga dari Gambar 5 kita dapatkan bahwa waktu yang digunakan untuk pencacahan makin menurun
seiring dengan bertambahnya putaran mesin. Garis grafik hubungan antara waktu pencacahan dengan putaran mesin
dapat didekati dengan garis regresi polinomial derajat 2 yaitu y = 3E-06x2 - 0,013x + 16,95.

Kesimpulan
Dari hasil perancangan dan pengujian alat pencacah jerami dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Spesifikasi mesin hasil rancangan adalah :
Type
: Diesel 4 langkah 1 Silinder
Daya
: 8 HP
Putaran maksimum
: 2200 Rpm
Panjang tabung pencacah
: 660 mm
Jumlah pisau pencacah
: 18 buah
2. Semakin tinggi putaran mesin maka kapasitas pencacahan yang dihasilkan semakin besar. Persamaan garis
regresi adalah y = 2,8E-04x2 - 5,0E-01x + 3,2E+02.
3. Semakin tinggi putaran mesin maka waktu pencacahan semakin rendah. Garis regresinya mengikuti persamaan
y = 3E-06x2 - 0,013x + 16,95.
E-128

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

4. Kapasitas yang dirancang 300 Kg/jam tercapai pada putaran mesin pencacah 1800 rpm.
5. Panjang pencacahan jerami yang didapatkan berkisar antara 4 5 cm hal ini masih memenuhi syarat untuk
dikonsumsi oleh ternak sapi.
6. Hasil pencacahan jerami dapat keluar melalui saluran pengeluaran dengan mudah dan cepat.
Daftar pustaka
[1] Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kajian Mesin Pencacah Pelepah Sawit Untuk Pengolahan Pakan Ternak
Mendukung Sistem Integrasi Sawit-Ternak (Siska) Di Kalimantan Barat, Serpong, 2011.
[2] Instruksi Presiden RI no. 3 tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Jakarta.
[3] Khurmi, R.S & Gupta, J.K, A Text Book Of Machine Design, Eurasia Publishing House (Pvt) Ltd, 1982.
[4] Sato, G. Takhesi & N. Sugiharto H., Menggambar Menurut Standar Iso, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
[5] Sularso, Kiyokatsu Suga, Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.
[6] www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fueseaction=beritacetak.detailberitacetak&idberitacetak=47597, 16
Januari 2009.

E-129

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-130

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Komposit Elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 untuk Solid Oxide Fuel Cell Bersuhu Rendah
dengan Metode Pressureless Sintering
Jarot Raharjo1), Agustanhakri Bakri2)
Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gd II BPPT Lt.22, Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta Pusat 10340
Telp. (021) 3169876, Fax. (021) 3169873
E-mail : jarot.raharjo@bppt.go.id1)
Abstrak
Komposit elektrolit yang terbuat dari bahan samarium-terdop cerium (SDC) dan campuran
garam litium karbonat dan natrium karbonat, diteliti dan difokuskan kepada sifat kepadatan sel
dan struktur mikronya. Komposit elektrolit yang dihasilkan mempunyai prospek yang baik untuk
digunakan sebagai elektrolit solid oxide fuel cell bersuhu rendah (400-600oC). Studi dimulai
dengan membuat serbuk berukuran nano yang dinamai SDC8020 dan SDC7030 untuk masingmasing sampel yang mengandung 20 dan 30% bi-karbonat. Pelet komposit elektrolit dibuat
dengan teknik sintering tanpa tekanan (pressureless sintering) pada suhu 500, 600, 700 dan
800oC, serta tekanan 25, 50, 100 dan 200MPa. Kepadatan elektrolit (>95%) diperlukan agar
supaya tidak terjadi lintas bahan bakar gas H2 dari anoda dan oksidan gas O2 dari katoda.
Target kepadatan tercapai pada kondisi sintering 600oC dan tekanan 200MPa (95.15%) untuk
SDC7030 dan sintering 600oC dan tekanan 200MPa (96.62%) untuk SDC8020.
Kata Kunci : komposit elektrolit; SDC-(Li/Na)2CO3; pressureless sintering; LT-SOFC.
Pendahuluan
Fuel cell adalah piranti elektrokimia yang mengubah secara langsung energi dari reaksi bahan-bakar gas hidrogen dan
gas oksigen menjadi energi listrik secara terus-menerus dengan hasil samping air dan sedikit gas CO2 [1]. Suhu operasi
fuel cell tergantung kepada jenis elektrolit yang digunakan. Solid oxide fuel cell (SOFC) konvensional beroperasi pada
rentang suhu 800-1000oC menjadikan katalis platinum yang mahal tidak diperlukan. Suhu operasi yang tinggi juga
memperbolehkan bahan-bakar gas lain selain hidrogen bisa digunakan dalam fuel cell. Sebagai contoh, gas alam bisa
digunakan sebagai bahan-bakar tanpa alat pengubah (reformer). SOFC konvensional menggunakan elektrolit oksida
keramik seperti jenis ytria stabilized zirconia, YSZ dan scandia stabilized zirconia, ScSZ memerlukan suhu
pengoperasian tinggi pada rentang 800-1000oC untuk mencapai kesesuaian konduktivitas ion oksigen (10-1 S/cm). Hal
ini memerlukan elektrolit tersebut dibuat dalam bentuk filem tipis atau membran padat keramik dengan biaya tinggi [2,
3]. Suhu operasi yang tinggi akan mempengaruhi bahan yang digunakan dalam SOFC, seperti sifat terma-mekanik,
ketahanan, biaya yang tinggi dan kesulitan dalam pemilihan bahan [4].
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian SOFC telah difokuskan terhadap penurunan suhu operasi. Hal ini
dikarenakan suhu operasi yang lebih rendah telah ditemui mampu mengatasi dua masalah besar dalam penggunaan
SOFC, yaitu daya tahan dan kehandalan. Walau bagaimanapun, penurunan suhu operasi turut mengakibatkan hilangnya
performa sel. Untuk mengatasi masalah ini, sebagian besar penelitian terfokus pada pengembangan sistem bahan baru
dengan sifat-sifat unggul pada suhu yang lebih rendah dan akhirnya dihasilkan SOFC suhu menengah (Intermediate
Temperature Solid Oxide Fuel Cell, IT-SOFC) yang mampu beroperasi di antara 600-800oC [5].
Oksida ceria (CeO2) terdop dengan alkali tanah dan oksida tanah jarang adalah bahan konvensional yang sangat
sesuai untuk digunakan sebagai elektrolit dalam IT-SOFC. Komposit ini menunjukkan konduktivitas yang tinggi dan
dilaporkan menunjukkan konduktivitas ionik murni pada tekanan setengah oksigen yang lebih tinggi. Namun, elektrolit
konvensional berdasarkan ceria juga didapatkan bisa menyebabkan konduksi elektronik dalam lingkungan yang akan
mengurangkan performa, contohnya di dalam peranti fuel sel karena ketidakstabilan ceria dalam keadaan penurunan [6,
7]. Walau bagaimanapun, konduktivitas ionik yang tidak memadai, konduktivitas elektronik, kestabilan rendah dan
biaya penghasilan yang tinggi masih membatasi penggunaan IT-SOFC.
SOFC bersuhu rendah yang terkini (Low Temperature SOFC, LT-SOFC) telah dikembangkan dengan suhu operasi
antara 400-600C [2,3,6,7,8,9]. Dalam penelitian mereka, LT-SOFC yang unik berdasarkan kepada dua konduktivitas
elektrolit yaitu komposit elektrolit konvensional IT-SOFC dan ion oksigen ceria terdop (gadolinium atau samarium)
dengan proton karbonat telah berhasil dihasilkan. Bahan tersebut ditemukan mempunyai dua konduktivitas ionik yaitu
O2-/H+ dengan konduktivitas ionik sebesar 10-1 Scm-1 pada suhu 600oC [5]. Namun, bahan komposit elektrolit dan
penggunaannya dalam LT-SOFC masih pada tahap penelitian secara luas. Pada masa ini, metode umum yang digunakan
untuk membuat elektrolit yang digunakan dalam sistem LT-SOFC adalah menggunakan metode penekanan panas

E-131

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

[9,10,12]. Metode penekanan panas adalah ber-biaya tinggi dan tidak sesuai untuk pengeluaran secara masal. Selain itu,
metode ini tidak bisa digunakan untuk pembuatan filem tipis. Sintering tanpa tekanan (pressureless sintering) pula
merupakan proses yang mampu memberikan keberkesanan biaya dan lebih sesuai untuk produksi masal serta
memungkinkan penghasilan filem tipis.
Dalam penelitian ini, metode sintering tanpa tekanan dikaji untuk pembuatan sistem elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3.
Untuk memahami lebih baik terhadap pengaruh kandungan karbonat terhadap sifat fisik dan panas komposit elektrolit
SDC-(Li/Na)2CO3, dua komposisi karbonat yang berbeda (20 dan 30% berat) telah dipilih dan dibuat untuk
karakterisasi. Sifat-sifat yang dikaji termasuk morfologi, luas permukaan serbuk, analisis panas dan prosentase porositas
pelet komposit elektrolit yang dihasilkan dengan metode sintering tanpa tekanan.

Metodologi
Bahan serbuk samarium terdop ceria (Ce0.8Sm0.2O1.9, SDC) yang digunakan untuk penelitian ini dibuat dengan
mengunakan metode sol-gel [2]. Berdasarkan perhitungan stoikiometri, sejumlah serium (III) nitrat heksahidrat
Ce(NO3)3.6H2O dan samarium (III) nitrat heksahidrat Sm(NO3)3.6H2O yang kesemuanya kemurnian 99.9% (Sigma
Aldrich) dicampur dan dilarutkan dalam air suling. Serbuk padatan asam sitrat yang berkemurnian 99.9% (Sigma
Aldrich) ditambahkan ke dalam larutan, pada perbandingan molar ion logam dan asam sitrat yaitu 1 : 1.2. Larutan
kemudian diletakkan dalam pengaduk mekanik dan dipanaskan di atas plat panas pada suhu 70oC untuk membentuk gel.
Gel kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 120oC selama 24 jam untuk menghilangkan air. Gel kering kemudian
ditumbuk dan disinter pada suhu 850oC selama 5 jam untuk menghasilkan serbuk SDC berukuran nanometer.
Untuk membuat serbuk komposit elektrolit, campuran garam karbonat (Li/Na)2CO3, disiapkan dengan
mencampurkan Li2CO3 dan Na2CO3 yang semuanya kemurnian 99.9% (Sigma Aldrich) dengan komposisi molar 67:33.
Pembuatan serbuk komposit elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 adalah dengan metode reaksi keadaan padatan. Serbuk SDC
dicampur dengan karbonat (Li/Na)2CO3 pada kandungan karbonat 20 dan 30% berat, masing-masing dinamakan
SDC8020 dan SDC7030. Komposisi volume SDC : (Li/Na)2CO3 adalah 57 : 43% (SDC8020) dan 43 : 57% (SDC7030).
Campuran dikalsinasi pada suhu 680oC selama 40 menit. Komposit SDC-(Li/Na)2CO3 ini kemudian dilakukan proses
deaglomerasi untuk mengurangkan aglomerat dengan penambahan dispersant agent Darvan-C sebesar 0.5% berat dan
dicampur dengan mesin ballmill selama 2 jam. Serbuk yang dihasilkan dikeringkan dalam oven, kemudian ditumbuk
dan dihaluskan dengan menggunakan mortar untuk menghasilkan serbuk komposit elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3.
Dalam mengkarakterisasi pengaruh sintering dan tekanan mampatan terhadap pelet komposit elektrolit, serbuk
yang dihasilkan dibentuk menjadi pelet dengan menggunakan alat penekan hidraulik. Pelet komposit elektrolit
disiapkan dengan tekanan mampatan kira-kira 1.5g serbuk pada tekanan mampatan 25, 50, 150 dan 200MPa. Serbuk
ditambahkan bahan kimia polietilen glikol (PEG) sebagai pelumasan dan bahan pengikat untuk membantu dalam
pembentukan sampel. Pelet kemudian disinter pada suhu yang berbeda yaitu 500, 600, 700 dan 800oC, selama 1 jam.
Pelet yang terhasil mempunyai ketebalan kira-kira 1.0mm dan berdiameter 25mm.
Spektrum hamburan sinar-x (x-ray diffaction, XRD) serbuk komposit elektrolit dicatat pada suhu ruangan
menggunakan mesin hamburan sinar-x (Shimadzu XRD-6000) dengan sinaran Cu K (=1.5418Ao), 40kV dan 40mA,
dengan sudut 2 pada rentang 10o sehingga 80o. Field Emission Scanning Electron Microscope (FESEM) (Zeiss Supra55VP), digunakan untuk pencirian morfologi serbuk komposit elektrolit yang dibuat dengan pembesaran sehingga
100Kx. Karakterisasi porositas sampel pelet komposit elektrolit ditentukan menggunakan prinsip Archimedes. Metode
ini menggunakan isopropanol menggantikan air karena karbonat sedikit larut dalam air. Shrinkage/ penyusutan pelet
ditentukan sebagai (d1-d2)/d1, dengan d1 dan d2 masing-masing merupakan diameter awal dan akhir pelet.

Hasil dan Pembahasan


Analisis X-Ray Diffraction (XRD)
Gambar 1 menunjukkan spektrum XRD serbuk SDC murni dan komposit dengan berbagai perbandingan kandungan
karbonat yang berbeda yaitu 20 dan 30% berat, masing-masing disebut SDC8020 dan SDC7030. Serbuk SDC murni
diuji sebagai rujukan. Struktur kristal yang dihasilkan merupakan jenis kisi kubus berpusat muka dengan kumpulan
ruang Fm3m (JCPDS No.43-1002).
Kandungan karbonat dalam komposit didapatkan tidak mengubah struktur fasa SDC. Spektrum XRD dari SDC
murni dan komposit elektrolit memperlihatkan posisi puncak yang sama yang bermaksud bahwa struktur fasa oksida
padatan tidak berubah. Dalam kasus ini komposit diandaikan mempunyai lapisan fasa amorfous pada partikel SDC
disebabkan waktu pengolahan panas, karbonat melebur lalu membuat lapisan pada partikel SDC, seperti yang pernah
dilaporkan oleh peneliti sebelumnya [2,6] dengan komposisi berbeda masing-masing 20% berat (0.66Li/0.34Na)2CO3
dan 10% berat (0.52Li/0.48Na)2CO3. Hasil yang serupa juga ditemukan dalam penelitian oleh Huang et al. (2010) yang
menggunakan karbonat yang berbeda-beda yaitu (Li/Na)2CO3, (Li/K)2CO3 dan (Na/K)2CO3. Kesimpulan penelitian ini
tidak menemukan spektrum XRD yang baru pada komposit, yang memperlihatkan bahwa tidak ada reaksi kimia atau
unsur baru antara fasa SDC dan karbonat.

E-132

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 1. Spektrum XRD SDC murni dan komposit elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 dengan kandungan karbonat
dalam % berat: 20% (SDC8020) dan 30% (SDC7030).
Analisis Field Emission Scanning Electron Microscopy (FESEM)
Morfologi serbuk SDC murni dan komposit elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 dengan berbagai kandungan karbonat telah
dikarakterisasi dengan menggunakan alat FESEM. Gambar 2 (a-c) menunjukkan mikrostruktur dan taburan ukuran
butiran bagi serbuk SDC murni dan komposit elektrolit SDC8020 dan SDC7030. Morfologi permukaan serbuk
komposit elektrolit dengan suhu sintering 680oC memperlihatkan bahwa karbonat melebur dan membasahi serbuk
ceria. Selain itu, ketika pendinginan, endapan karbonat didapatkan membentuk campuran karbonat yang homogen pada
permukaan serbuk ceria. Sebagian partikel mempunyai bentuk bulatan dengan banyak aglomerasi. Hasil yang serupa
telah dilaporkan oleh Huang et al. (2008) yang sebelumnya telah meneliti komposit SDC-karbonat dengan kandungan
10-35% berat (2Li2CO3 : 1Na2CO3). Serbuk SDC yang digunakan oleh Huang et al. (2007) dihasilkan dengan metode
pengendapan oksalat dan proses glisin-nitrat, sedangkan dalam penelitian ini serbuk SDC dihasilkan menggunakan
metode sol-gel.

E-133

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 2. FESEM SDC murni (a), komposit elektrolit SDC-(Li/Na)2CO3 dengan berbagai kandungan karbonat dalam
% berat : (b) 20% (SDC8020) dan (c) 30% (SDC7030) dengan pembesaran 100Kx.

Analisis Porositas dan Penyusutan


Suhu sintering komposit elektrolit ini lebih rendah berbanding suhu sintering SDC konvensional yaitu 900-1300oC
[13,14]. Hal ini memungkinkan fasa karbonat melebur sebagai tahap karbonat menjadi fasa cecair pada suhu kira-kira
600oC dan mempercepatkan pemadatan. Perpindahan massa keramik lambat pada suhu rendah, membatasi pertumbuhan
butiran dan menghasilkan mikrostruktur halus.
Pengaruh suhu sintering dan tekanan mampatan terhadap porositas pelet komposit elektrolit SDC8020 dan
SDC7030 ditunjukkan dalam Gambar 3. Sasaran porositas adalah sebesar 5%, seperti diperlihatkan dalam garis putusputus. Elektrolit yang akan digunakan dalam LT-SOFC mesti padat dan bebas cacat. Keperluan kepadatan yang tinggi
adalah diperlukan untuk mendapatkan pengaliran ion yang maksimum dan menghindari pencampuran gas antara anoda
dan katoda. Sintering tanpa tekanan memberikan hasil dengan kualitas yang baik apabila mempunyai geometri yang
baik yaitu kepadatan tinggi, bebas cacat dan pelet yang dihasilkan tanpa retak ketika diproduksi secara masal.
Dalam Gambar 3 ditunjukkan bahwa pada tekanan mampatan rendah yaitu 25 dan 50MPa, porositas optimum
diperoleh untuk kedua pelet komposit elektrolit SDC8020 dan SDC7030 pada suhu sintering 800oC di antara 2.923.60%. Pada tekanan rendah, porositas SDC7030 didapatkan selalu lebih rendah berbanding SDC8020 meskipun
dengan tekanan yang berbeda. Peningkatan jumlah fasa karbonat menyebabkan peningkatan pemampatan elektrolit
karena fraksi volume fasa cair yang lebih tinggi pada waktu sintering. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
pecahan volume karbonat dalam komposit SDC7030 (57%) lebih besar berbanding SDC8020 (43%). Pada tekanan
rendah juga ditunjukkan bahwa porositas pelet semakin rendah dengan kenaikan suhu sintering dan tekanan mampatan.

E-134

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Porositas (%)

Sedangkan dalam tekanan mampatan yang tinggi yaitu 150 dan 200MPa, parameter tekanan mampatan memberikan
pengaruh lebih signifikan terhadap porositas pelet elektrolit. Uji porositas untuk komposit SDC7030 dan SDC8020 pada
tekanan tinggi ditunjukkan bahwa semakin tinggi suhu, porositas cenderung semakin kecil. Porositas lebih kecil dari 5%
(2.67-4.85%) didapat pada rentang suhu 600-800oC. Pada suhu 500oC, porositas sampel didapat cenderung lebih besar
dari 5%. Selain itu, sampel yang dibuat menggunakan berbagai tekanan mampatan tetapi kemudian disinter pada suhu
500oC didapat memiliki prosentase probabilitas pelet rusak yang tinggi (70%). Hal ini disebabkan proses pemampatan
belum berjalan dengan sempurna pada suhu tersebut lalu mengakibatkan kekuatan mekanik yang rendah. Pada suhu
sintering 800oC juga didapat prosentase probabilitas pelet rusak adalah tinggi (50%) karena retak setelah sintering. Suhu
sintering yang terlalu tinggi dikesan menyebabkan penguraian karbonat lalu menyebabkan retak selepas sintering. Oleh
karena itu, penelitian ini mendapatkan bahwa suhu sintering 600oC adalah suhu yang sesuai dalam penghasilan pelet
elektrolit.

Suhu sintering (oC)


Gambar 3. Kesan suhu sintering dan tekanan mampatan terhadap porositas pelet komposit elektrolit dengan dua
kandungan karbonat 20% dan 30% (% berat).
Kesimpulannya, analisis kepadatan pada pelet SDC8020 dan SDC7030 didapatkan suhu sintering 600oC dan
tekanan mampatan 200MPa paling sesuai untuk penghasilan pelet elektrolit bagi kegunaan LT-SOFC di mana porositas
yang dihasilkan masing-masing ialah 3.38% dan 4.85%.
Penyusutan bahan diukur untuk mendapatkan pelet elektrolit yang tidak banyak melalui perubahan dari segi
ukuran setelah disinter. Perubahan ukuran pelet yang besar bisa menyebabkan keretakan serta ketidaksesuaian ukuran
dengan elektroda dan alat uji performa sel. Pengaruh suhu sintering dan tekanan mampatan terhadap penyusutan pelet
komposit elektrolit SDC8020 dan SDC7030 ditunjukkan dalam Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, penyusutan
pelet SDC8020 dan SDC7030 pada tekanan 25, 50, 150 dan 200MPa didapatkan meningkat dengan kenaikan suhu
sintering. Penyusutan terendah diperolehi pada suhu sintering 500oC bagi kedua-dua pelet komposit elektrolit
(SDC8020 dan SDC7030) pada berbagai tekanan dengan nilai di antara 0.65-1.25 dan selanjutnya pada suhu 600oC di
antara 0.83-1.48%. Memandang penyusutan pelet pada suhu 600oC adalah tidak begitu besar, maka suhu sintering
sebesar 600oC didapat sesuai untuk menghasilkan elektrolit SDC8020 dan SDC7030 dengan memperhatikan porositas
pada nilai optimum 5%.

E-135

Penyusutan pelet (%)

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Suhu sintering (oC)


Gambar 4. Kesan suhu sintering dan tekanan mampatan terhadap penyusutan pelet komposit elektrolit dengan dua
kandungan karbonat 20% dan 30% (% berat).

Kesimpulan
Paper ini memaparkan hasil penelitian terhadap bahan komposit elektrolit berdasarkan SDC-(Li/Na)2CO3 untuk
kegunaan SOFC suhu rendah (LT-SOFC). Serbuk elektrolit dengan kandungan SDC:(Li/Na)2CO3 masing-masing 80:20
dan 70:30 % berat yaitu SDC8020 dan SDC7030 telah berhasil dihasilkan. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan
karbonat tidak mengubah struktur fasa SDC. Unsur karbonat ditunjukkan sebagai fasa yang amorfous dan berserakan
merata di antara partikel SDC. Suhu sintering 600oC dan tekanan mampatan 200MPa dipilih karena (i) menghasilkan
porositas optimum (5%) yang sesuai untuk LT-SOFC yaitu 3.38% dan 4.85%, masing-masing untuk sampel dengan
kandungan karbonat 20% (SDC8020) dan 30% (SDC7030), (ii) mengahasilkan penyusutan yang rendah diantara 0.831.48% dan (iii) pelet yang dihasilkan tanpa retak ketika produksi secara masal. Metode sintering tanpa tekanan ini
didapatkan berpotensi untuk pembuatan sistem komposit elektrolit ini.

Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]

[4]
[5]
[6]
[7]
[8]

[9]

Steele, B.C.H, "Material science and engineering: the enabling technology for the commercialisation of fuel cell
systems," Journal of Material, vol.36, pp.1053 1068, 2001.
Boden, A., Di, J., Lagergren, C., Lindbergh, G. & Wang., C.Y., "Conductivity of SDC and (Li/Na)2CO3 composite
electrolytes in reducing and oxidising atmospheres", Journal of Power Sources, vol.172, pp.520-529, 2007.
Huang, J., Gao, Z. & Mao, Z.,"Effect of salt composition on the electrical properties of samaria-doped seria/
carbonate composite electrolytes for low-temperature SOFCs", International Journal of Hydrogen Energy, vol.
35, pp. 4270-4275, 2010.
Yokokawa, H., Tu, H., Iwanschitz, B. & Mai, Andreas. "Fundamental mechanisms limiting solid oxide fuel cell
durability", Journal of Power Sources, vol.182, pp.400412, 2008
Zhu, B., "Next generation fuel cell R&D", International Journal of Energy Research, vol. 30, pp.895903,2006.
Zhu, B., "Functional ceria-salt-composite materials for advanced ITSOFC applications", Journal of Power
Sources, vol.114 (1), pp. 1-9, 2003.
Zhu, B., Albinsson, I., Andersson, C., Borsand, K., Nilsson, M. & Mellander, B.E, "Electrolysis studies based on
ceria-based composites", Journal Electrochemistry Communications, vol.8, pp. 495-498, 2006.
Wang, X., Ma, Y., Raza, R., Muhammed, M. & Zhu, B.,"Novel core-shell SDC/amorphous Na2CO3
nanocomposite electrolyte for low-temperature SOFCs", Electrochemistry Communications, vol.10(10), pp.16171620, 2008
Ma, Y., Wang, X., Raza, R., Muhammed, M. & Zhu, B," Thermal stability study of SDC/Na2CO3 nanocomposite
electrolyte for low-temperature SOFCs", International Journal of Hydrogen Energy, vol.35, pp.2580-2585, 2010.

E-136

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

[10] Zhu, B., Li, S. & Mellander, B.-E., "Theoretical approach on ceria-based two-phase electrolytes for low
temperature (300600oC) solid oxide fuel cells", Electrochemistry Communications, vol.10, pp.302305, 2008a.
[11] Zhu, B., Liu, X., Zhu, Z. & Ljungberg, R.,"Solid oxide fuel cell (SOFC) using industrial grade mixed rare-earth
oxide electrolytes", International Journal of Hydrogen Energy, vol.33, pp.3385 3392, 2008b.
[12] Raza, R., Wang, X., Mac, Y., Liua, X. & Zhu, B.,"Improved ceriacarbonate composite electrolytes. International
Journal of Hydrogen Energy", vol.35, pp.2684-2688, 2010.
[13] Huang, J., Zongqiang, M., Zhixiang, L. & Cheng, W., "Performance of fuel cells with proton-conducting ceriabased composite electrolyte and nickel-based electrodes", Journal of Power Sources, vol.175, pp.238-243, 2008.
[14] Li, H., Xia, C., Zhu, M., Zhou, Z. & Meng, G. "Reactive Ce0.8Sm0.2O1.9 powder synthesized by carbonate
coprecipitation : Sintering and electrical characteristics", Acta Materialia, vol.54, pp.721727, 2006.

E-137

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-138

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Variasi Arus Listrik Terhadap Kekerasan Permukaan Logam Aluminium 5XXX
pada Proses Anodising
Mohammad Faizun1) , Anang Priyanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia1)
Jl. Kaliurang km. 14 Sleman Yogyakarta
Telepon (0274) 895287 ekst 147
E-mail : faizun_mohammad@yahoo.com1)
Abstrak
Proses anodizing pada aluminium ditujukan untuk mendapatkan lapisan oksida (Al2O3) yang
relatif lebih tebal pada permukaan aluminium yang diharapkan mampu melindungi permukaan
aluminium dengan lebih baik. Lapisan tersebut dibentuk dengan proses elektrolisis dengan
aluminium sebagai anoda dan karbon/timbal sebagai katoda. Atom-atom aluminium di
permukaan secara acak akan larut dalam larutan sehingga terbentuk lapisan pori mikroskopis.
Berdasarkan rumus Farrady, banyaknya atom alumunium yang terlarut sebanding dengan
besarnya rapat arus listrik.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh variasi arus listrik pada proses elektrolisis
terhadap pembentukan lapisan pori mikroskopis pada permukaan alumunium dan pengaruhnya
terhadap kekerasan permukaan logam aluminium 5XXX setelah di-sealing. Ketebalan lapisan
pori oksida yang terbentuk juga akan ditunjukkan dengan foto mikro.
Spesimen yang dipakai adalah plat aluminium 5XXX, dengan dimensi panjang 100 mm, lebar
30 mm dan tebal 4 mm. Variasi arus yang dialirkan adalah 1 ampere, 2 ampere, dan 3 ampere,
dengan tegangan konstan 19 volt DC dan durasi 30 menit. Pengujian yang telah dilakukan
meliputi pengujian kekerasan (Vikers) dan pengujian foto mikro.
Hasil uji kekerasan untuk variasi arus 1 ampere adalah 66.1 VHN, 2 ampere adalah 64.8 VHN
dan 3 ampere adalah 64 VHN. Hasil uji foto mikro dengan variasi arus 1 ampere menunjukan
ketebalan lapisan sebesar 40 m, 2 ampere adalah 60 m dan 3 ampere adalah 70 m. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin besar arus yang digunakan, nilai kekerasan
aluminium menurun dan ketebalan lapisan oksida bertambah.

Kata Kunci : Anodizing, elektrolisis, lapisan pori mikroskopis, aluminium 5XXX, variasi arus,
uji kekerasan, dan foto mikro.

Pendahuluan
Alumunium banyak digunakan karena memiliki sifat penghantar listrik dan panas yang baik, mudah dibentuk dan
bahannya mudah didapat (Beurner, 1978). Untuk meningkatkan kualitas aluminium, baik secara fisik maupun
mekanisnya, dilakukan beberapa perlakuan terhadap aluminium tersebut. Salah satu proses yang dilakukan adalah
dengan rekayasa permukaan melalui proses anodizing. Anodizing adalah sebuah proses elektrokimia yang bertujuan
untuk mempertebal lapisan protektif alami pada logam. Lapisan anodik adalah bagian dari logam yang dilapisi, namun
memiliki struktur berpori yang memberikan reaksi sekunder seperti pewarnaan. Proses ini juga dapat mengubah
permukaan menjadi lebih dekoratif, andal, tahan terhadap korosi. Aluminium adalah logam yang paling sesuai untuk
proses anodizing. Logam non ferrous lainnya yang dapat dipergunakan untuk anodizing adalah magnesium dan titanium
(Taufiq, T, 2011). Beberapa parameter yang mempengaruhi hasil anodizing adalah konsentrasi elektrolit, suhu, rapat
arus listrik, tegangan listrik, dan lamanya proses tersebut. Penelitian ini fokus pada parameter rapat arus.
Beberapa studi tentang pengaruh kerapatan arus listrik pada proses anodizing diantaranya dilakukan oleh Iglesias,
et.al.2001 [3]. Penelitian yang dilakukan fokus pada pengaruh kerapatan arus terhadap pembentukan lapisan amorphous
pada material Al-W. Y.C. Choi, et.al. 2009 [4] meneliti efek besarnya tegangan dan kerapatan arus terhadap proses
susunan nanopori alumina. Penelitian tentang pengaruh variasi arus listrik terhadap terhadap pembentukan pori
mikroskopis dan terhadap kekerasan permukaan logam alumunium alloy belum banyak diteliti. Untuk itu penilitian ini
perlu dilakukan. Untuk membatasi permasalahan, material uji yang dipakai adalah alumunium alloy 5XXX. Arus listrik
divariasikan antara satu sampai tiga ampere [5].

E-139

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menyiapkan dan membuat benda uji serta pengujian lainnya sesuai dengan diagram alir
pada Gambar 1 berikut.
Mulai

Persiapan Perlengkapan
Peralatan Anodizing

Spesimen Aluminium 5XXX

Proses Anodizing variasi arus listrik DC


1 A, 2 A, dan 3 A.

Percobaan berhasi?
(Apakah
spesimen
menghantarkan arus)

Tidak

Ya
Pengujian
Foto mikro

Kekerasan (Vickers)

Pengambilan data dan pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 20. Diagram alir rencana pengujian


Proses anodizing menggunakan arus satu, dua, dan tiga ampere secara terpisah. Benda uji yang berupa plat alumunium
alloy 5XXX dengan dimensi 100x40x30 cm. Benda dihubungkan dengan kutub positif (anoda). Selama proses
anodizing benda uji akan mengalami reaksi kimia:
(1)
Al (s) Al3+(aq) + 3e
Jumlah zat yang bereaksi pada elektroda sel elektrolisis berbanding lurus dengan jumlah arus yang melalui sel tersebut,
jika sejumlah arus tertentu mengalir melalui beberapa elektrolisis. Maka akan dihasilkan jumlah ekivalen masingmasing zat. Hukum Faraday ini dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:
i.t

n =F.z

(2)

E-140

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

dimana : n : jumlah zat (mol)


i : arus listrik (ampere)
F: tetapan Faraday (1 Faraday = 96485 coulomb/mol)
z : jumlah elektron yang ditransfer per ion
Mengingat, massa zat (m) adalah perkalian massa atom (AR) dengan mol atom maka dari persamaan diatas bisa
dimodifikasi menjadi :
i.t
. AR
n . AR =
F. z
i . t . AR
m =
F. z
m
i . AR
=
t
F. z
Untuk aluminium,
m
t

m
i .26,98
=
t
96485 . 3

=9,32x105 . i

(3)

Pelarutan atom alumunium terjadi secara acak dan mengakibatkan terbentuknya lapisan pori pada skala mikroskopis.
Terlihat bahwa massa alumunium yang terlarut sebanding dengan besarnya arus listrik.

Hasil dan Pembahasan


Dua pengujian pengujian pendukung dilakukan yakni: pengamatan visual pada pewarnaan seperti terlihat pada tabel di
bawah dan pengamatan foto mikro secara melintang pada batas lapisan pori dengan logam dasar.
Tabel 11. Hasil proses anodizing Al 5XXX

Pada proses anodizing dengan variasi arus 1 Ampere terjadi perubahan warna pada permukaan aluminium oksida
berwarna merah muda atau terang. Lapisan permukaan tersebut merupakan tampilan warna lapisan hasil proses
anodizing. Pada proses anodizing dengan variasi arus 2 Ampere, didapat hasil lapisan warna permukaan aluminium
semakin pekat. Lapisan yang terbentuk adalah lapisan yang menjadi warna merah tua cukup pekat di bandingkan
dengan lapisan yang terbentuk dengan variasi arus 1 Ampere. Pada proses anodizing dengan menggunakan arus 3
Ampere didapatkan peningkatan warna yang semakin lebih pekat dibandingkan arus 1 Ampere dan 2 Ampere. Lapisan
warna menjadi merah tua yang sangat pekat.
E-141

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Dapat disimpulkan bahwa spesimen anodizing dengan variasi arus 1 Ampere menghasilkan kecerahan warna lebih
terang dibandingkan dengan warna specimen anodizing 2 Ampere dan 3 Ampere. Dari ketiga gambar spesimen diatas
dapat dilihat bahwa kecerahan warna pada setiap spesimen setelah mengalami proses anodizing warnanya semakin
gelap atau pekat, dengan semakin besar arus yang digunakan maka akan mempengaruhi kecerahan warna pada material
benda kerja pada proses anodizing.
Gambar 2 di bawah ini merupakan hasil pengamatan foto mikro, dilakukan untuk pengamatan tebal lapisan porous
anodic coating yang terdapat pada 3 spesimen setelah proses anodizing. Foto tebal lapisan porous anodic coating
diambil pada semua specimen uji dan di buat perbesaran 100 kali. Proses anodizing dengan arus 1 Ampere, waktu
pencelupan 30 menit dan tegangan yang digunakan 18 volt, didapat tebal lapisan oksida sebesar 4 strip, dengan tiap
stripnya untuk perbesaran 100 kali, mempunyai nilai ketebalan lapisan porous anodic coating sebesar 10 m, maka
tebal lapisan porous anodic coating sebesar 40 m.

ii

iii

Gambar 2. Foto mikro pada spesimen dengan variasi arus (i) 1 A, (ii) 2A, dan (iii) 3A
Keterangan Gambar2:
A:
base metal
B:
tebal lapisan porous anodic coating
C:
resin
Dari hasil yang ditunjukkan pada Gambar 2 diatas didapatkan grafik hubungan arus anodizing dengan tebal lapisan
porous anodic coating seperti ditunjukan pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Foto Grafik antara hubungan arus anodizing dengan tebal lapisan
Grafik berikut adalah hasil uji kekerasan. Sebagai perbandingan, grafik tersebut menyajikan hasil pengujian kekerasan
spesimen material aluminium 5XXX yang tidak di-anodizing. Nilai kekerasan alumunium yang tidak di-anodizing
sebesar 67.4 VHN dan pada spesimen yang mengalami proses anodizing dengan arus 1 Ampere mempunyai nilai
kekerasan 66,1 VHN, spesimen 2 Ampere mempunyai nilai kekerasan 64,8 VHN, dan spesimen 3 Ampere mempunyai
nilai kekerasan 64 VHN. Dengan lama proses anodizing yang sama, makin besar arus listrik yang digunakan makin
menurun kekerasannya.

E-142

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kesimpulan
Berdasarkan penelitan, perhitungan dan pembahasan data hasil yang telah dilakukan pada pengaruh variasi arus listrik
pada proses anodizing dan dilakukan beberapa pengujian, yaitu pengujian foto mikro, pengujian kekerasan Vickers,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : semakin besar arus yang digunakan maka akan lebih pekat atau gelap
warna pada material aluminum 5XXX setelah diproses anodizing. Struktur foto mikro yang menunjukkan tebal lapisan
porous anodic coating yang terdapat pada spesimen arus 1 Ampere menunjukkan tebal lapisan sebesar 40 m, spesimen
arus 2 Ampere sebesar 60 m, dan spesimen arus 3 Ampere sebesar 70 m. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa,
semakin besar arus yang digunakan, maka akan menambah tebal lapisan porous anodic coating pada aluminium 5XXX
setelah diproses anodizing. Pada pengujian kekerasan untuk spesimen raw material aluminium 5XXX mempunyai nilai
kekerasan 67.4 VHN dan arus 1 Ampere mempunyai nilai kekerasan sebesar 66.1 VHN, 2 Ampere sebesar 64.8 VHN,
dan spesimen 3 Ampere 64 sebesar VHN. Hal ini membuktikan bahwa semakin besar arus yang digunakan, maka
kekerasan material aluminium 5XXX semakin menurun.

Ucapan Terima Kasih


Pada kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada: Kepala Jurusan Teknik Mesin UII yang telah
banyak memberikan dukungan pada penilitian ini termasuk hibah penelitian jurusan yang diberikan. Terima kasih
kepada Mbak Indah yang telah banyak membantu administrasi penelitian ini. Tidak lupa kami ucapkan kepada tim
anodizing.

Daftar Pustaka
[1] Beurner, B.J.M., Ilmu Bahan Logam, Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara, 1978.
[2] Taufiq, Proses Anodizing Pada Logam Aluminium dan Paduannya, Bandung: Fakultas Teknik Pertambangan dan
Perminyakan Institut Teknologi Bandung, 2011.
[3] L.Iglesias-Rubianes, P.Skeldon, G.E.Thompson, K.Shimizu, H. Habazaki, Influence of current density in
anodizing of an AlW alloy. Corrosion Science, vol. 43, issue 12, pp. 2217-2227, December 2001.
[4] Y. C. Choi, J. Y. Hyeon and S. D. Bu, T. S. Bae. Effects of Anodizing Voltages and Corresponding Current
Densities on Self-ordering Process of Nanopores in Porous Anodic Aluminas Anodized in Oxalic and Sulfuric
Acids. Journal of the Korean Physical Society, Vol. 55, No. 2, pp. 835_840, August 2009.
[5] Santhiarsa, N.N., Pengaruh Kuat Arus Listrik dan Waktu Proses Anodizing Dekoratif Pada Aluminium Terhadap
Kecerahan dan Ketebalan Lapisan. Jurnal ilmiah. Teknik Mesin Universitas Udayana, 2010.

E-143

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-144

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Metoda Turbulence Flow Casting Pada Paduan Aluminium Adc 12


Muhammad Nahrowi
Dosen Teknik Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Bandung.
Jl. Kanayakan 21 Dago Bandung
Telp. 022 2500241 ext 144
Email : mnahrowi@gmail.com
Abstrak
Metoda Turbulence Flow Casting (TFC) adalah metoda baru dalam proses pengelasan yang
menggabungkan antara proses pengecoran dan pengelasan. Pengembangan metoda ini telah
berhasil memperbaiki cacat permukaan pada komponen yang terbuat dari besi cor kelabu dan
baja chrom dengan kualitas sambungan yang baik dan memiliki sifat menyerupai sifat logam
induknya. Untuk mengetahui penerapan metoda TFC pada komponen yang terbuat dari
aluminium maka dilakukan eksperimen pada spesimen ADC 12.
Syarat utama metoda TFC adalah aliran logam cair harus turbulen. Pada eksperimen ini
digunakan aliran turbulen dengan bilangan Reynold 11150. Parameter proses dihitung dengan
analisa dimensional untuk perpindahan panas yang menghubungkan sifat-sifat fisik Al dan
karakteristik aliran. Parameter lainnya adalah disain sistem saluran dan waktu tuang
disesuaikan dengan eksperimen TFC pada penelitian sebelumnya.
Hasil eksperimen TFC pada spesimen paduan aluminium ADC 12 menunjukkan keserupaan
struktur mikro dan kekerasan antara daerah fusion line, weld pool dan logam induk. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa metoda TFC dapat diterapkan pada ADC 12.
Keywords: Turbulence Flow Casting (TFC), pengecoran (casting), pengelasan (welding),
fusion line, weld pool, logam induk, ADC 12, cacat permukaan.
Pendahuluan
Latar Belakang
Turbulence flow casting (TFC) adalah suatu metoda baru di bidang pengelasan. Metode ini telah berhasil
diterapkan untuk memperbaiki cacat atau kerusakan yang terjadi pada permukaan komponen yang terbuat dari logam
ferro (baja dan besi cor). Komponen hasil perbaikan seperti layaknya komponen baru tanpa ada penggetasan pada
fusion line maupun pada logam las (weld pool). Hal ini bertentangan dengan proses perbaikan yang dilakukan
menggunakan metode pengelasan umum.
Metoda TFC ini belum pernah diterapkan untuk perbaikan cacat permukaan pada komponen yang terbuat dari
aluminium dan tembaga. Keunggulan metoda TFC tersebut di ataslah yang mendasari untuk dilakukan penelitian
tentang metode TFC pada aluminium yang diwakili oleh paduan Aluminium-Silikon dengan komposisi Si 11,79%
(ADC 12).

Ruang Lingkup Kajian


Kajian dalam penelitian ini dibatasi pada eksperimen TFC dengan material paduan ADC 12 yang dibuat dengan
cara pengecoran dan pengujian kualitas sambungan las yang dihasilkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan sambungan las yang kuat dan memiliki sifat yang sama atau
menyerupai antara logam las (weld pool) dan logam induk dengan cara TFC serta mengetahui karakteristik TFC pada
ADC 12.

Cara Memperoleh Data


Data-data yang dibutuhkan diperoleh dengan pengukuran langsung di lapangan dan pengujian di laboratorium.
Sedangkan data pendukung diperoleh dengan studi kepustakaan (literatur).

Dasar Teori
Pengelasan Aluminium
Aluminium dapat dilakukan proses pengelasan dengan terbatas, baik jenis paduan yang dapat dilas maupun
metode yang dapat diterapkannya. Metode pengelasan aluminium yang sering digunakan adalah Gas Tungsten Arc
Welding (GTAW) atau las TIG dan Gas Metal Arc Welding (GMAW) atau las MIG.

E-145

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012
Permasalahan Dalam Pengelasan Alumunium
Tidak seperti proses pengelasan baja, pengelasan aluminium memiliki banyak kendala yang harus diatasi. Kendala
atau permasalahan yang sering dialami ketika mengelas aluminium adalah sebagai berikut:
1. Terbentuk pori atau rongga mikro (gas porosity / hydrogen entrapment).
Pada kondisi cair aluminium reaktif terhadap uap air (H2O). Aluminium berikatan dengan oksigen yang terdapat
pada uap air membentuk oksida (Al2O3) dan terapung pada permukaan cairan aluminium. Hidrogen terlepas dari air dan
membentuk gas hidrogen (H2). Sebagian molekul H2 lepas ke atmosfer dan sebagian lagi terdisosiasi menjadi atomatom hidrogen dan berdifusi ke dalam cairan aluminium. Tingkat kelarutan hidrogen dalam cairan aluminium
meningkat seiring dengan naiknya temperatur.
Ketika proses pembekuan hidrogen yang larut terjebak dalam padatan aluminium dan membentuk rongga-rongga
mikro. Kondisi ini sangat tidak diinginkan pada pengelasan aluminium. Pada grafik terlihat kenaikan tingkat kelarutan
hidrogen sangat drastis pada titik cairnya, kenaikannya hingga hampir 20 kalinya.

Gambar 2. 2. Grafik tingkat kelarutan gas hidrogen dalam padatan dan cairan aluminium.[5]
Pori yang terbentuk dapat diminimalisir dengan penggunaan bahan pengisi yang sejenis dengan logam induknya.
Jika digunakan logam pengisi yang tidak sejenis akan meningkatkan jumlah pori karena adanya kontaminasi dari kawat
logam pengisi. Hal lain yang dapat dilakukan adalah menghilangkan zat-zat penghasil hidrogen baik yang berbentuk zat
organik seperti minyak maupun yang berbentuk uap. Di samping itu penggunaan gas pelindung yang memiliki
kemurnian yang tinggi dapat mengurangi pori yang terbentuk.

Gambar 2. 3. Pori yang terbentuk pada pengelasan aluminium 6 mm menggunakan TIG.[5]


2. Pembersihan lapisan oksida
Oksida alumunium (Al2O3) sangat cepat sekali terbentuk pada permukaan logam alumunium yang terekspos ke
udara. Umumnya oksida logam memiliki titik cair yang hampir berdekatan dengan titik cair logam induknya. Untuk
kasus aluminium, oksidanya memiliki titik cair yang tinggi (2060 oC) dibandingkan dengan dengan alumunium murni
(660 oC).
Ketika dilakukan pengelasan oksida logam lain akan cair dan mengapung pada weld pool membentuk terak (slag).
Sementara untuk pengelasan aluminium jika temperaturnya lebih rendah dari titik cair oksidanya, tidak akan
menghancurkan oksida sehingga oksida akan menjadi penghalang antara logam induk dengan logam pengisinya.
Sebaliknya jika temperaturnya lebih tinggi dari titik cair oksidanya maka akan terbentuk HAZ (Heat Affected Zone)
yang luas dan penetrasi panas yang dalam dan memungkinkan logam induk cair hingga terbentuk lubang dan cairan
jatuh menetes (hot tearing).

E-146

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2. 4. Lapisan oksida yang terjebak antara logam induk dan bahan pengisi.[5]
3. Retak panas atau hot cracking
Aluminium memiliki koefisien muai panas yang tinggi. Pada kondisi cair volumenya akan lebih besar dengan
perbedaan yang cukup signifikan. Pada saat pembekuan bagian garis fusi (fusion line) membeku terlebih dahulu
membentuk struktur epitaxial. Butir ini tumbuh memanjang mengarah ke tengah-tengah weld pool. Selama
pertumbuhan butir atom-atom logam pada tengah-tengah weld pool bergerak tertarik menuju ke tepi (fusion line).
Pertumbuhan butir ini diiringi dengan turunnya temperatur dan penyusutan logam cair. Hal ini berakibat pada weld pool
mengalami tegangan sehingga terbentuk retak (crack) memanjang.

Gambar 2. 5. Retak panas yang terjadi pada sambungan las aluminium.[5]


4. Penurunan kekuatan pada HAZ
Sebagian paduan aluminium merupakan produk hasil proses pengerjaan dingin dan proses laku panas. Proses
pengerjaan dingin dilakukan untuk meningkatkan kekuatan melalui pembentukan struktur yang menyerupai serat
(banded structure) pada aluminium, sedangkan proses perlakuan panas dilakukan untuk meningkatkan kekuatan melalui
pembentukan presipitat senyawa logam di dalam butiran larutan padat aluminium.
Ketika dilakukan pengelasan, pemberian panas pada aluminium akan menghancurkan banded structure dan
presipitat di daerah HAZ pada paduan aluminium. Panas ini memberi kesempatan atom-atom mengalami rekristalisasi
membentuk butiran equaxial baru yang lebih lunak.

Turbulence Flow Casting


Metode Turbulence flow casting (TFC) dikembangkan oleh Muki Satya Permana (2007) dengan bahan besi cor
kelabu dan dilanjutkan oleh Sutarso (2008) dengan bahan baja chrom. Metoda ini digunakan untuk perbaikan cacat
permukaan dengan cara menuangkan logam pengisi ke bagian yang cacat, mirip dengan proses pengecoran. Yang
membedakan pada proses ini cairan logam yang masuk ke dalam cetakan dibiarkan keluar sehingga sebagian logam cair
terbuang.
Benda atau spesimen yang akan diperbaiki ditanam di dalam cetakan pasir dan logam cair dialirkan ke dalam
rongga cacat. Logam cair yang tersisa dalam cetakan dan membeku pada pada bagian benda yang cacat dan dianggap
sebagai weld pool. Inilah produk dari proses TFC yang dimaksud. Sketsa proses perbaikan cacat pemukaan dengan
metoda TFC ditunjukkan pada gambar 2.5.

E-147

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 2. 6. Skema proses TFC.[9]


Kelebihan-kelebihan metoda TFC lainnya adalah:
1. Logam pengisi sama dengan logam induk.
2. Tanpa porositas.
3. Logam induk yang mencair sangat tipis (very thin layer of mixing).
4. Kekuatan sambungan tinggi.
5. Tidak terjadi perbedaan tampilan setelah proses perbaikan.
6. Tidak diperlukan antioksidan.
7. Permukaan cacat tidak perlu dibersihkan dari kotoran, karat, air, atau minyak.
8. Peralatan relatif murah dan prosesnya sangat sederhana.
9. Tidak perlu keahlian khusus kecuali pada saat preparasi.
Kekurangan dari metoda ini adalah:
1. Metoda TFC sulit dilakukan untuk cacat pada komponen berukuran besar dan pada daerahdaerah yang terhalang
2. Untuk memperbaiki rongga cacat dibutuhkan logam cair yang jauh lebih banyak

Konsep Perpindahan panas pada TFC


Parameter-parameter yang berpengaruh dapat dikorelasikan satu dengan yang lainnya dengan konsep perpindahan
panas dengan pendekatan dan asumsi bahwa perpindahan panas satu arah dan flux panas konstan. [9]

Gambar 2.6. Distribusi Temperatur Proses Pembekuan Pada TFC.[9]


Dengan menggunakan pendekatan analisa dimensional maka diperoleh hubungan

x
h
h
x
Ts = T0
(T T0 ) + (T0 Tm ) +
(T T0 )
kl
kl

(1)

Sedangkan tempertur preheat diperoleh dengan persamaan berikut

h 2t
Tpr = Tm 1,0933(T Tm ) 2
k

E-148

0 , 256

(2)

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Proses TFC Aluminium


Prosedur proses TFC yang dilakukan pada paduan aluminium ADC 12 meliputi hal-hal:
1. Pengumpulan data sifat fisik aluminium dan komposisi kimia spesimen.
Sifat fisik yang dibutuhkan dalam perhitungan adalah massa jenis cair, konduktivitas panas, koefisien konveksi,
panas jenis, panas laten, viskositas, dan titik cair.
2. Menentukan parameter-parameter proses.
Parameter yang mempengaruhi hasil eksperimen diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan data sifat fisik
aluminium ke dalam persamaan di atas.
Tabel 3. 1. Parameter proses TFC paduan ADC 12
No Parameter
Nilai
Satuan
1 Temperatur pouring (berdasarkan data material)
700 oC
2 Waktu tuang [9]
15 Detik
3 Temperatur preheat teoritik
-156 oC
4 Temperatur preheat (real)
30 oC
5 Kedalaman penetrasi
0,13 mm
6 Tebal fusi logam induk
0,06 mm
3. Persiapan spesimen atau komponen.
Pada eksperimen ini digunakan spesimen berbentuk balok beralur seperti pada gambar 3.1. Alur yang terdapat
pada spesimen dianggap sebagai cacat (defect). Alur ini akan diisi oleh cairan Al hingga cairan Al bersatu (fusi) dengan
logam induknya (balok).

Gambar 3. 2. Bentuk spesimen uji TFC.


4. Pembuatan cetakan.
Spesimen ditanam dalam cetakan pasir dan dibuatkan sistem saluran untuk mengalirkan cairan aluminium melalui
spesimen. Ilustrasi cetakan seperti gambar 2.5.
5. Penuangan cairan logam pengisi.
Cairan Al dituangkan kecetakan dan mengalir melalui spesimen dengan waktu penuangan yang telah ditetapkan.
Kontinuitas aliran cairan Al harus dijaga agar tidak terjadi penyumbatan. Di samping itu temperatur cairan harus dijaga
agar tidak turun drastis. Hal ini dimaksudkan agar fluks panas yang mengalir ke spesimen selalu konstan (steady).
6. Pembersihan spesimen dari gating sistem.
Saluran masuk dan keluar serta sirip-sirip yang terbentuk pada saat penuangan dibuang sehingga tersisa spesimen
dan logam pengisi yang menempel pada spesimen
7. Pengujian struktur mikro dan kekerasan.
Untuk mengetahui kualitas sambungan dilakukan pengujian. Pengujian struktur mikro untuk menampilkan struktur
mikro yang terbentuk dan memastikan bahwa sambungan terjadi secara ikatan metalurgi. Pengujian kekerasan
dilakukan untuk mengetahui kekuatan hasil sambungan.

E-149

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil Penelitian dan Analisa


Hasil Eksperimen TFC
Eksperimen TFC untuk aluminium ADC 12 dilakukan dengan memvariasikan waktu penuangan 5 detik, 10 detik,
dan 15 detik. Variasi lain adalah proses degassing dengan waktu tuang 15 detik. Eksperimen dengan waktu penuangan
5 dan 10 detik tidak menghasilkan sambungan. Bagian lasan lepas dari logam induknya ketika dilakukan pembersihan
spesimen dari pasir cetak. Pada eksperimen 15 detik menghasilkan sambungan pada rongga cacat yang diperbaiki.
Spesimen yang berhasil pada proses TFC tapi belum dibersihkan dari saluran masuk dan saluran keluar seperti gambar
4.1.

Gambar 4. 1. Spesimen hasil TFC aluminium dengan sistem salurannya.

Analisa Hasil Eksperimen TFC


Dilihat dari pengamatan secara kasat mata, spesimen (logam induk) ikut mencair pada bagian fusion linenya.
Logam pengisi mengalami fusi dengan logam induknya. Spesimen sebelum dilakukan TFC memiliki permukaan yang
realtif halus, karena telah digerinda dan dikikir. Setelah dilakukan TFC permukaan spesimen di sekitar rongga cacat
mengalami degradasi. Ini diakibatkan oleh panas yang diserap dari logam cair tinggi dan cukup untuk melelehkan
permukaan tersebut.
Untuk menghindari kerusakan permukaan spesimen telah dicoba dengan mengurangi panas dengan jalan
mempersingkat waktu penuangan. Dengan penuangan selama 5 detik dan 10 detik permukaan tidak mengalami
kerusakan, akan tetapi tidak menghasilkan sambungan (gagal). Weld pool terlepas dari logam induk ketika
pembongkaran cetakan.
Untuk mengetahui perbandingan sifat-sifat antara logam sambungan dengan logam induk, maka dilakukan analisa
hasil uji struktur mikro dan uji keras terhadap spesimen dengan waktu penuangan 15 detik.

Analisa Struktur Mikro


Eksperimen I
Eksperimen I dilakukan dengan parameter praktis sebagai berikut:
Waktu tuang
: 15 detik
Waktu tunggu : 1 jam
Degassing logam : Rotary, hembusan Argon pada
induk (BM)
krusibel selama 30 menit.
Degassing logam : Rotary, hembusan Argon pada
pengisi (FM)
krusibel selama 30 menit.
Massa FM
: 1,9 kg
Eksperimen I menghasilkan sambungan antara logam induk dengan logam pengisi seperti pada gambar 4.2.

E-150

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

(A)

(B)

(D)
(C)
Gambar 4. 2. (A). Spesimen sebelum diproses TFC. (B) Spesimen setelah diproses TFC. (C). Struktur mikro pada
daerah fusion line kiri. (D). Struktur mikro pada daerah sekitar fusion line kanan. Tanpa dietsa.
Kualitas Sambungan
Dari gambar struktur mikro spesimen (Gambar 4.2) dapat dianalisa bahwa proses penyambungan yang terjadi
adalah proses fusi atau terjadi ikatan metalurgi. Proses fusi ditandai dengan serupanya struktur mikro (fasa) pada logam
induk, weld pool dan daerah fusion line dan tidak adanya daerah interface antara logam induk dan weld pool. Karena
keserupaan tersebut maka tidak dapat ditentukan seberapa dalam penetrasi fusi cairan logam dengan logam induknya.

Gambar 4. 3 Struktur epitaksial yang tumbuh memanjang ke arah pusat weld pool. Dietsa dengan larutan campuran
antara 25% H2SO4, 70% H3PO4, dan 5% HNO3 pada temperatur 85 oC selama 90 detik

E-151

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Ikatan metalurgi yang terjadi juga ditandai dengan terbentuknya butiran struktur epitaksial yang berawal dari
fusion line dan tumbuh memanjang ke arah pusat weld pool, seperti terlihat pada gambar 4.3. Struktur ini merupakan
struktur khas hasil pengelasan.
Pada weld pool tidak terbentuk retak panas (crack). Pengaliran cairan logam melalui saluran dan penambahan
bagian aliran turbulen memungkinkan bagian tersebut dapat berfungsi sebagai penambah (riser) yang mensuplai cairan
logam ke weld pool yang mengalami susut selama proses solidifikasi.
Porositas
Dari gambar 4.2 dan 4.3 terlihat masih ada rongga gas yang disebabkan oleh terjebaknya gas pada saat
pembekuan. Rongga-rongga tersebut terjadi pada logam induk dan weld pool. Ini disebabkan oleh kurang sempurnanya
proses degassing.
Dua hal yang menyebabkan proses degassing kurang sempurna. Pertama, penggunaan bahan cetakan pasir.
Walaupun menggunakan bahan cetakan berpengikat resin, akan tetapi pasirnya tidak kering 100 %. Kandungan air
dalam pasir menyebabkan terjadi reaksi antara cairan aluminium dengan air dan menyisakan gas yang terjebak di dalam
logam padat.
Kedua, penggunaan return scrap yang terlalu banyak. Return scrap sudah terkontaminasi oleh zat-zat penghasil
hidrogen seperti air dan minyak. Idealnya untuk mendapatkan coran aluminium yang bersih dari pori diperoleh dengan
melebur aluminium ingot 100% kemudian didegassing dengan hembusan gas Argon. Akan tetapi komposisi tersebut
tidak ekonomis mengingat harga ingot jauh lebih mahal dari pada return scrap.
Pada tataran praktis return scrap yang diijinkan maksimum sebanyak 30 %.

Eksperimen II

Eksperimen I dilakukan dengan parameter praktis sebagai berikut:


Waktu tuang
: 15 detik
Waktu tunggu
: 24 jam
Degassing BM
Rotary, hembusan Argon pada
krusibel selama 30 menit.
Degassing FM
: Rotary, hembusan gas Argon
pada krusibel selama 30 menit.
dan fluks chloride 0,2% ke
cairan Al pada ladle.
Massa FM
: 1,9 kg
Eksperimen II menghasilkan sambungan antara logam induk dengan bahan pengisi seperti pada gambar 4.4.

Gambar 4. 4. Spesimen TFC dengan perbaikan proses degassing.


Dari pengamatan, terlihat adanya perbedaan kualitas antara logam induk dengan weld pool. Oleh karenanya dapat
diukur seberapa jauh kedalaman penetrasi cairan terhadap logam induk. Dari gambar 4.4 dapat diukur bahwa ketebalan
fusi logam induk sebesar 2 mm.
Parameter praktis waktu tunggu yang lama (24 jam) menyebabkan terbentuknya lapisan oksida yang terjebak
antara logam induk dengan bahan pengisi. Lapisan oksida ini terjadi di sepanjang fusion line. Dengan waktu penuangan
selama 15 detik tidak cukup untuk menggerus dan mengalirkan oksida keluar dari rongga cacat. Dengan kata lain perlu

E-152

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

waktu penuangan yang lebih lama untuk menggerus lapisan oksida. Pada akhirnya kebutuhan cairan logam akan lebih
banyak.
Dengan mengkombinasikan parameter praktis waktu tunggu singkat (1 jam) dengan perbaikan proses degassing
(pemberian fluks degasser) diperkirakan akan menghasilkan sambungan lasan TFC yang jauh lebih baik.

Analisa Hasil Uji Keras


Hasil uji kekerasan Rockwell terhadap spesimen eksperimen I TFC ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1. Data hasil pengujian uji kekerasan Rockwell.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa harga kekerasan daerah fusion line, weld pool dan logam induk
perbedaannya sangat kecil (tidak signifikan). Dengan demikian dapat dikatakan harga kekerasan pada daerah fusion
line, weld pool dan logam induk adalah sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa logam sambungan hasil proses TFC
aluminium mempunyai kekuatan yang sama dengan logam induknya.

Kesimpulan
Sifat dan kekuatan logam hasil eksperimen TFC pada ADC 12 menyerupai sifat dan kekuatan logam induknya.
Kekuatan tersebut dibuktikan dengan serupanya harga kekerasan pada daerah logam induk, fusion line dan weld pool.
Dari hasil penelitian terdapat perbedaan ketebalan penetrasi dan fusi logam induk hasil perhitungan dengan hasil
eksperimen. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut dan dilakukan modifikasi persamaan penentuan parameter.
Pengecoran aluminium dengan cetakan pasir cenderung menghasilkan coran berpori karena cetakan masih
mengandung air. Pori yang terjadi dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan perbaikan proses degassing
pada cairan aluminium. Hal lain yaitu perlu dilakukan pembersihan spesimen dari kotoran, karat, minyak agar tidak
terbentuk pori maupun oksida.
Dengan menggabungkan parameter praktis waktu tunggu dipersingkat dengan perbaikan proses degassing
diperkirakan akan menghasilkan sambungan yang baik tanpa adanya oksida dan pori.
Kesimpulan akhir dari uraian di atas adalah bahwa metoda TFC dapat dijadikan alternatif untuk proses perbaikan
cacat permukaan pada komponen yang terbuat dari aluminium yang diproduksi dengan proses pengecoran.

Daftar Pustaka
1. ASM Speciality Handbook (1993), Aluminium and Aluminium Alloy, ASM International.
2. H. Wiryosumarto & T. Okumura (2004), Teknologi Pengelasan Logam, PT. Pradnya Paramita, Cetakan kesembilan.
3. Toten, George E., & MacKenzie, D. Scott (2003), Handbook of Aluminium vol. 1., Marcel Dekker, Inc., Basel, 10th
ed.
4. Schumann, Hermann (1983), Metallographie, VEB Deutsher Verlag fr Grundstoffindustrie, Leipzig.
5. Mathers, Gene (2002), The Welding of Aluminium and Its Alloys, Woodhead Publishing Ltd., Cambridge.
6. Brunhuber, Ernst (1987), Giesserei Lexikon, Fachverlag Schiele & Schon GmBH, Berlin.
7. J.P. Holman, Heat Transfer, McGraw-Hill Book Company, New York.
8. M.J. Assael & Konstantinos Kakosimos, R.M. Banish, J. Brillo & Ivan Egry, R. Brooks, P.N. Quested, K.C. Mills,
Akira. N, Y. Sato, W.A. Wakeham (2006), Reference Data for the Density and Viscosity of Liquid Aluminum and
Liquid Iron, Journal Physics
9. Muki Satya Permana (2007), Metode Turbulence Flow Casting Untuk Memperbaiki Cacat Permukaan Pada
Komponen Yang Terbuat Dari Besi Cor Kelabu, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

E-153

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-154

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Perancangan Coran dengan Menggunakan Software Simulasi pada Studi Kasus Scraper
Chain
Oyok Yudiyanto
Jurusan Teknik Pengecoran Logam
Politeknik Manufaktur Bandung
JL Kanayakan No.21 Dago Bandung.
E-mail : kang_oyok@yahoo.co.id atau oyok@polman-bandung.ac.id
Abstrak
Salah satu teknologi yang menunjang proses pengecoran adalah software simulasi pengecoran.
Perencanaan rancangan coran dapat menjadi optimal dengan bantuan suatu software.
Rancangan coran yang tepat diharapkan dapat mendapatkan coran yang bebas dari shrinkage
dan mendapatkan yield coran yang tinggi. Penyusutan yang terjadi pada bahan coran baja cor
relatif lebih besar dibandingkan dengan besi cor. Sehingga untuk kasus baja cor kemungkinan
terjadi cacat akibat shrinkage sangatlah besar. Nilai yield coran akan berpengaruh sekali
terhadap biaya proses produksi. Peningkatan yield dari coran akan dapat menekan biaya
proses produksi, sehingga dapat meningkatkan keuntungan. Yield adalah adalah perbandingan
berat coran dengan berat total coran dan salurannya.
Untuk mengkonfirmasi hal-hal tersebut diatas dilakukan suatu studi dengan memilih Scraper
Chain sebagai komponen yang akan dibuat dengan proses cor dengan menggunakan bahan
baja cor (SCCrM 3). Komponen ini digunakan pada beberapa industri pembangkit listrik
tenaga uap dan umumnya industri pengguna conveyor. Dimana produk ini masih impor dan
proses manufakturnya dilakukan dengan proses forging, machining dan welding, produk ini
akan dibuat di dalam negeri dan proses manufakturnya dengan proses pengecoran logam.
Rancangan coran yang akan dibuat disimulasikan dengan menggunakan software simulasi
coran (casting simulation software), sehingga menghasilkan rancangan yang optimal.
Kata Kunci : simulation software, solidification, shrinkage, Scraper chain, yield coran.

Pendahuluan
Penelitian ini dilakukan dalam rangka mencari solusi atas masalah yang terjadi pada part scraper chain yang digunakan
pada beberapa industri pembangkit listrik tenaga uap dan umumnya industri pengguna conveyor. Dimana produk ini
masih impor dan proses manufakturnya dilakukan dengan proses forging, machining dan welding, produk ini akan
dibuat di dalam negeri dan proses manufakturnya dengan proses pengecoran logam.

Latar Belakang
Scraper chain adalah bagian dari rangkaian conveyor pembawa, dengan cara mendorong bahan yang akan dibawanya.
Gambar 1 menunjukkan scraper chain pada conveyor. Sebagian besar produk scraper chain terbuat dari dua bagian,
bagian tengah adalah produk forging dan bagian sayap adalah produk plat strip, yang disatukan dengan proses
pengelasan (welding) seperti yang terlihat pada gambar 2. Untuk mengetahui material dari komponen scraper chain,
maka dilakukan pengujian, tabel 1 adalah data hasil pengujian part yang saat ini di gunakan.
Melihat perbedaan komposisi, mikrostruktur dan kekerasan yang dimiliki oleh produk tersebut, maka sifat mekanik
yang terjadi tidak homogen. Dan juga pada bagian sambungan dengan proses pengelasan yang seringkali terjadi
perubahan struktur mikro, akan mengakibatkan kritis pada bagian tersebut.
Proses pembuatan scraper chain secara umum yang saat ini digunakan digambarkan pada gambar 3. Prosesnya yaitu ;
forging, machining dan welding.

E-155

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 21. Scraper Chain pada Conveyor


Plat Strip

Forging

Welding

Gambar 22. Scraper Chain

Tabel 12. Data komposisi kimia dan propertis Scraper chain


Bagian

Komposisi Kimia
Mn
Ni

Si

Forging

0,085

0,25

0,59

Plat Strip

0,187

0,034

1,49

Cr

Mo

Kekerasan
HRB

0,12

0,17

0,02

76,5

0,08

0,06

0,01

86,1

Struktur Mikro
pearlite 10 %
ferrit 90 %
pearlite 45 %
ferrit 55 %

Pemotongan
Plat Strip

Forging

Machining
Welding

Gambar 23. Proses umum pembuatan scraper chain


Produk scraper chain ini masih produk impor, jika melihat proses pembuatannya akan sangat mahal jika kita buat di
dalam negeri, oleh karena itu dicarikan alternatif proses pembuatan scraper chain. Pengecoran Logam merupakan salah
satu alternatif untuk membuat scraper chain. Gambar 4 memperlihatkan rancangan produk scraper chain dengan proses
pengecoran logam, dengan alternatif bahan mengacu pada pendekatan bahan forging, bahan tersebut pada bahan standar
casting yaitu SCCrM 3 (JIS G 5111)

E-156

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 24. Design Scraper Chain proses Pengecoran Logam

Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang dilaksanakan merupakan kombinasi metode reverse engineering dan kajian referensi yang
kemudian di verifikasi dengan adanya langkah-langkah percobaan.
Poin-poin metodologi kegiatan penelitian dilakukan sebagai berikut:
Perancangan Coran (Perhitungan sistem saluran dan penambah/ gating and riser system).
Simulasi dengan bantuan software simulasi, untuk mendapatkan perancangan yang optimal.
Analisis evaluasi hasil perancangan coran dan kesimpulan.
Gambar berikut memperlihatkan diagram alir penelitian
Mulai

Latar belakang, dan perumusan Masalah


Tujuan dan Lingkup permasalahan
Metode Penelitian
Persiapan Desain
Penentuan modul coran dan penentuan material

Perancangan Desain 1,2,3,4...


(pada program Solidworks)
No
Simulasi Desain

Analisis hasil
Simulasi Desain

Proses Pengecoran Logam

Kesimpulan

Selesai

Gambar 25. Diagram alir penelitian

E-157

Ok,
yield
i l
Yes

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil dan Pembahasan


Perancangan Coran
Perancangan coran diawali dengan perhitungan modul, modul adalah rasio perbandingan volume terhadap permukaan.
V
Modul, M =
(2)
A
Perhitungan modul dilakukan dengan membagi menjadi beberapa bagian modul, gambar 6 memperlihatkan pembagian
daerah modul dan nilai modul hasil perhitungan diperlihatkan pada tabel 2. Daerah dengan modul nilai terbesar akan
berpotensi terbentuknya rongga shrinkage. Daerah bagian M3 berpotensi terjadi rongga shrinkage.
M2

M1
M3

M4
M5

Gambar 26. Pembagian daerah modul


Tabel 13. Hasil perhitungan modul

V
A
Modul

1
27,6
71,69
0,38

2
41,96
107,07
0,39

3
36
50,87
0,71

4
26,45
59,37
0,45

5
44,38
81,55
0,54

Gambar 27. Gambar teknik scraper chain dan gambar rancangan pola
Rancangan awal tanpa penambah (riser)
Rancangan disusun dalam plat pola, dalam satu plat pola dapat terisi 4 buah casting scraper chain. Gambar 8
memperlihatkan susunan scraper chain dalam plat pola, rancangan awal ini tanpa menggunakan penambah (riser).
E-158

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 28. Rancangan susunan dalam plat pola


Proses Simulasi
Langkah-langkah proses simulasi dengan komputer simulasi.
1. Pembuatan model 3D dengan menggunakan software CAD system
2. Eksport file 3D menjadi file yang kompatibel terhadap software simulasi (STL, IGES, Parasolid, Step)
3. Import file 3D ke dlam software simulasi dan definisikan material yang digunakan.
4. Meshing model 3D
5. Setup parameter simulasi
6. Proses Simulasi
7. Hasil Simulasi
Gambar 9 memperlihatkan diagram alir proses simulasi

Gambar 29. Diagram alir proses simulasi


Pembuatan model 3D
Semua bagian digambarkan 3D nya secara terpisah dan selanjutnya diasembling dalam satu gambar. Kemudian
diekspor kedalam file stl, masing-masing bagian akan secara otomatis menjadi file stl. Gambar 10 memperlihatkan
gambar 3D CAD dan gambar stl hasil konversi.

E-159

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 30. Gambar 3D CAD dan Gambar stl


Pre-processing
STL files diimpor ke dalam software simulasi pada menu pre-processing. Didalam pre-processing seluruh jenis
material yang digunakan didefinisikan, baik itu material coran maupun material cetakan.
Meshing
Setelah pre-processing langkah berikutnya meshing model. Proses meshing dapat dilakukan dengan otomatis
pembagian nodal-nodalnya atau dilakukan secara manual dengan menentukan kriteria-kriterianya. Kriterianya antara
lain, tingkat akurasi, ketebalan dinding dan ukuran elemen. Gambar 12 menunjukkan gambar hasil setelah proses
meshing.

Gambar 31. Gambar hasil meshing


Proses simulasi
Proses simulasi dilakukan dalam dua tahap yaitu simulasi aliran dan simulasi solidifikasi. Pada gambar 12
memperlihatkan hasil dari simulasi solidifikasi, pada gambar tersebut memperlihatkan rongga shrinkage akibat proses
penyusutan. Pada rancangan awal ini coran scraper chain diprediksi mengalami cacat rongga. Sehingga perlu adanya
perubahan rancangan untuk mendapatkan hasil coran yang bebas rongga.

E-160

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Rongga shrinkage

Gambar 32. Rongga shrinkage pada rancangan awal


Alternatif-alternatif rancangan
a) Alternatif 1
Rancangan diberi penambah samping (side riser) pada posisi sayap dan mendekati posisi tengah untuk
menanggulangi rongga pada daerah tersebut.
b) Alternatif 2
Rancangan diberi penambah atas (top riser) pada posisi tengah dan terbuka pada cetakan atas.
c) Alternatif 3
Perbaikan alternatif 2 untuk meningkatkan nilai yield coran, penambah pada alternatif 2 diperkecil dan
membentuk kontur pada benda.
Gambar 13 memperlihatkan tiga alternatif rancangan yang akan di simulasi.

Gambar 33. Alternatif-alternatif rancangan coran

E-161

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 34. Hasil simulasi


Gambar 14 memperlihatkan hasil simulasi dari ketiga rancangan alternatif, dari ketiga rancangan tersebut
memperlihatkan masih adanya rongga shrinkage pada benda corannya, sehingga perlu dicari lagi rancangan alternatif
untuk perbaikan.
Alternatif 4 (Alternatif 3 plus chill)
Pada rancangan alternatif 3 ditambahkan logam pendingin (chill) pada bagian bawah pada posisi tengah. Gambar 15
memperlihatkan gambar alternatif 3 plus chill dan hasil simulasinya.

Gambar 35. Alternatif 3 plus chill dan hasil simulasi


Dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa tidak ada rongga pada bendanya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
alternatif rancangan 4 merupakan yang terbaik, sehingga rancangan ini yang berikutnya dibuat di lapangan.
Proses Pengecoran
Rancangan coran alternatif 4 (alternatif 3 plus chill) selanjutnya di uji coba di lapangan, gambar-gambar berikut
memperlihatkan hasil uji coba dilapangan. Gambar 16 memperlihatkan rancangan alternatif 3 (tanpa chill) dan
menghasilkan rongga pada bendanya, gambar 17 adalah hasil coran rancangan alternatif 3 plus chill, dan menghasilkan
benda cor yang tidak ada rongga.

E-162

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 36. Benda cor rancangan alternatif 3

Gambar 37. Benda cor rancangan alternatif 3 plus chill

Kesimpulan
Dari keempat rancangan alternatif, rancangan 4 merupakan rancangan yang optimal dan menghasilkan benda cor tanpa
cacat rongga. Hasil uji coba pengecoran memperlihatkan kesamaan hasil antara simulasi dan kenyataan yaitu benda cor
yang dihasilkan bebas dari rongga. Rancangan alternatif 4 memiliki nilai yield coran sebesar 56,6%.

Daftar Pustaka
[1] Wlodawer, Robert, Gelenkte Erstarrung von Stahlguss , Gisserei Verlag, Dusseldorf, 1992
[2] Heine,R.W, Principles of Metal Casting , Mc Graw Hill, New York, 1967
[3] Campbell, John, " Castings ", Butterworth Heinemann, London, 2000

E-163

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-164

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Sistem Pengukuran Regangan Kantilever Menggunakan Serat Berkisi Bragg dan Laser
Mampu Tala Untuk Deteksi PergerakanTanah
Prabowo P.1), Hendra A. 2), Nursidik Y. 3)., Suryadi4), Ita N. Afni5)
Pusat Penelitian Fisika LIPI Kawasan PUSPIPTEK Serpong1,2,3,4)
Terahertz Photonics Group, Bidang Instrumentasi Fisis dan Optoelektronika
Telp (021) 756 0556/ Fax (021) 756 0554
Universitas Negeri Surabaya5)
E-mail: prab001@lipi.go.id; prabu001.ranto@gmail.com
Abstrak
Telah dibuat suatu sistem pengukuran regangan pada kantilever dengan mendeteksi sudut
defleksi dari suatu batang paralon PVC berdiameter 3 (tiga) inchi dan panjang 100 cm
dengan menggunakan serat berkisi Bragg. Pada pengukuran ini selanjutnya sistem ini akan
digunakan untuk mendeteksi pergerakan tanah dengan mengukur besarnya perubahan
panjang gelombang Bragg dari serat berkisi Bragg. Pengukuran perubahan panjang
gelombang Bragg ini dilakukan dengan mengukur titik puncak bawah transmisi Bragg
dengan memberikan suatu berkas laser yang dapat tertala dari 1550,75 nm sampai dengan
1552,90 nm. Dengan pemberian suatu berkas laser ini maka serat berkisi Bragg akan terlihat
memiliki spektrum berupa spektrum Bragg , dimana pada penelitian ini panjang gelombang
Bragg adalah sebesar 1550 nm. Adapun serat berkisi Bragg ini akan direkatkan pada suatu
permukaan batang kantilever searah dengan panjang kantilever dan berlawanan dengan
arah gaya tarik yang dikenakan pada kantilever. Apabila terdapat defleksi pada kantilever,
maka serat berkisi Bragg akan mengalami regangan yang mengubah jarak periodik kisinya.
Perubahan jarak periodik kisi ini akan menyebabkan perubahan puncak panjang gelombang
Bragg dari serat berkisi Bragg yang diukur dengan Analisator Spektrum Optik (OSA) dan
powermeter. Hasil pengukuran didapatkan pada saat kantilever terdefleksi sebesar 00, 30, 60
masing-masing adalah 1551,47nm, 1551,54 nm, dan 1551,58nm. Dari perubahan puncak
panjang gelombang tersebut, maka sistem ini dapat dimungkinkan untuk digunakan sebagai
sensor pergerakan tanah.
Kata Kunci : FBG, Pergerakan Tanah, Kantilever, Regangan, OSA.

PENDAHULUAN
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia
yang bergerak saling menumbuk, ketiga lempeng pegunungan barapi tersebut masih aktif. Akibat tumbukan antara
lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau
Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua.
Konsekuensi lain dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur
kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi. Kondisi tanah tersebut tidak diimbangi dengan daya
rekat antara lapisan tanah yaitu penguat alami berupa akar-akar pohon atau tumbuhan. Beberapa aktivitas manusia yang
menjadi faktor penyebab terjadinya longsor seperti penebangan pohon, penambangan, pemompaan air, pengubahan
kemiringan kawasan dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan yang dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup besar.
Pada prinsipnya longsor dikategorikan sebagai bencana alam yang paling bisa diperkirakan. Oleh karena itu banyak hal
yang bisa dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya tanah longsor sehingga perlu dilakukan suatu upaya untuk
mendeteksi kapan terjadinya longsor tersebut. Dengan mengetahui kapan terjadinya longsor, maka akan dapat
mengurangi dampak bencana longsor tersebut. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan melakukan
pengamatan gerakan tanah pada daerah rawan longsor [1].
Di sisi lain saat ini serat berkisi Bragg atau Fiber Bragg Grating (FBG) telah banyak dikembangkan sebagai sensor
regangan. Hal ini disebabkan karena FBG sangat peka terhadap perubahan lingkungan seperti suhu maupun regangan.
Pembuatan FBG dengan menggunakan excimer laser dan interferometer telah mampu membuat FBG dengan kisi yang
dapat diatur secara presisi dan cepat. FBG dengan panjang kisi yang cukup lebar dan reflektifitas lebih dari 95% telah
dibuat dan dijual dengan harga yang terjangkau. Disamping itu FBG juga mempunyai beberapa kelebihan yaitu tidak
dipenggaruhi induksi elektromagnetik, dapat dipakai dalam sistem tandem (multiplexing), rugi-rugi transmisinya sangat
E-165

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

rendah (dapat mentransmisikan sampai beberapa kilometer) dan tidak memelukan suplai listrik untuk mengaktifkannya
sebagai sensor sehingga dapat mengatasi permasalahan ketiadaan sumber saya listrik [2]. Oleh karena itu
pengembangan FBG sebagai sensor regangan ini sangat efektif dan perlu dikembangkan lebih lanjut. Seperti pada
aplikasi pengukuran gerakan tanah, FBG dapat digunakan sebagai sensor pergerakan tanah. Hal ini dapat dilakukan
dengan menempatkan FBG pada suatu batang kantilever. Apabila batang kantilever ini terdefleksi akibat pergerakan
tanah, maka timbul regangan yang akan dideteksi oleh FBG. Besarnya regangan ini akan memiliki hubungan terhadap
defleksi kantilever dan menjadi suatu nilai besarnya pergerakan tanah yang terjadi.

DASAR TEORI
Serat Optik Berkisi Bragg
Komponen utama yang digunakan pada pengukuran regangan adalah FBG. FBG merupakan elemen serat optik yang
telah dimodifikasi dengan memberikan variasi periodik dari indeks refraktif yang ada pada sebagian panjang serat
optik. FBG merupakan suatu jenis reflektor (Bragg) yang terdistribusi dalam bentuk segmen-segmen atau kisi dalam
serat optik. FBG memantulkan beberapa panjang gelombang cahaya tertentu dan meneruskan panjang gelombang
lainnya, dimana hal ini dapat terjadi karena adanya penambahan suatu variasi periodik terhadap indeks bias inti serat
optik. Dengan karakteristik yang dimilikinya tersebut, FBG dapat difungsikan sebagai filter optik (optical filter) yakni
untuk menghalangi panjang gelombang cahaya tertentu yang diinginkan atau sebagai pemantul panjang gelombang
cahaya spesifik.

Gambar 1. Struktur fiber Bragg grating beserta spektrum transmisi dan refleksinya.
Gambar 1 memperlihatkan periode variasi indek bias (), atau kisi, pada sebagian serat optik yang dimiliki oleh sebuah
FBG. Pada gambar 1 di atas FBG ini tersusun atas kisi yang seragama (uniform), sehingga periode Bragg gratingnya
() adalah konstan. Adanya kisi ini di dalam serat optik menyebabkan FBG akan memantulkan panjang gelombang
cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang Bragg dan mentransmisikan semua panjang gelombang yang lainnya.
Adapun mekanisme kerja dari FBG ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam inti (core) suatu serat optik terdapat kisi-kisi
yang mempunyai jarak antar kisi tertentu. Kisi-kisi ini, oleh cahaya, dipandang sebagai bidang-bidang pemantul yang
membentuk resonator, dimana puncak transmisi dari resonator tersebut tergantung jarak antar kisi kisinya. Ketika
cahaya melalui daerah yang secara periodik berubah-ubah dari indeks refraktif tinggi dan rendah secara bergantian,
maka sebagian cahaya akan dipantulkan untuk setiap panjang gelombang yang memenuhi kondisi Bragg, sedangkan
wilayah yang lainnya akan ditransmisikan. Panjang gelombang yang ditransmisikan disebut panjang gelombang Bragg
(Bragg) [3].

E-166

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2. Skematis prinsip kerja sebuah FBG


Panjang gelombang yang memenuhi kondisi Bragg (warna merah), direfleksikan, secara parsial dan
direfleksikan pada tiap lapisan diantara daerah tersebut, sedangkan panjang gelombang yang berada di luar fase
ditransmisikan (warna biru). Kondisi untuk refleksi tinggi, dikenal sebagai kondisi Bragg, berkenaan dengan panjang
gelombang yang direfleksikan, atau panjang gelombang Bragg
rata

neff

Bragg

dengan periode kisi dan indeks refraktif rata-

Bragg = 2neff

(1)

Laser Mampu Tertala


Laser mampu tertala merupakan sumber cahaya yang dapat menghasilkan laser dengan berbagai variasi
panjang gelombang. Pada penelitian ini dilakukan teknik perpanjangan rongga resonator. Prinsip dasar dari teknik ini
seperti ditunjukan dalam gambar 3.
Pelapisan anti pantul

Cermin

Eg (2)
Eg (1)

Kisi

Berkas
Laser

Eg (2)

Keluaran

Gambar 3. Prinsip dasar perpanjangan jarak resonator laser


Perbedaan khusus dalam laser ini adalah resonator laser diperpanjang dengan melapisi antirefleksi pada salah
satu sisi chip laser dan menambah kisi pada sisi tersebut. Dengan demikian resonator laser terbentuk antara cermin pada
salah satu sisi laser dengan pantulan kisi pada sisi yang lain. Dimana kisi ini mempunyai sifat akan memantulkan sinar
yang sesuai dengan prinsip difraksinya yaitu:
r = n d sin
(2)
dimana adalah sudut datang sinar terhadap normal kisi, n adalah indek bias dan d adalah jarak kisi. Ini artinya bahwa
kisi berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang sehingga panjang gelombang laser yang terbangkitkan dapat
ditala dengan merubah sudut dari kisi [4].
METODE PENELITIAN

Sistem pengukuran regangan kantilever ini akan menggunakan serat berkisi Bragg atau FBG dan
laser mampu tala. Pada penelitian ini akan digunakan kantilever berupa batang Polivinyl Chloride (PVC)
berdiameter 3 inchi dan memiliki panjang 100 cm dengan satu titik tumpu, sehingga prinsip pembebanan
kantilever yang akan diukur adalah seperti pada gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Prinsip kantilever dengan satu titik tumpu


Dengan persamaan kantilever yang umum [5,6] digunakan yaitu :
2

= 2 ..............................................(4)

Pembebanan P newton akan mengakibatkan lengan kantilever berubah posisi dengan defleksi sebesar mm.
Dengan mengetahui koofisien kekakuan pada batang PVC yang digunakan maka akan diketahui besarnya regangan
yang terjadi pada permukaan yang berlawanan dengan arah gaya atau beban. Dimana besarnya regangan akan diukur
menggunakan FBG sebagai sensor yang peka terhadap regangan. FBG ini akan ditempatkan pada sepanjang permukaan
E-167

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

yang berlawanan dengan arah gaya atau beban. Hal ini dimaksudkan agar FBG mengalami peregangan yang sesuai
dengan regangan yang terjadi pada permukaan PVC. Untuk selanjutnya hasil regangan dari FBG ini akan diketahui
dengan mengukur besarnya pergeseran panjang gelombang Bragg terhadap kondisi normal. Penggunaan FBG ini akan
sangat bermanfaat karena FBG merupakan fiber optik yang dapat mentransmisikan cahaya dengan atenuasi yang sangat
kecil, sehingga permasalahan sensor terhadap suplai daya dapat diatasi.
Pada penelitian ini terdapat 2 (dua) titik yang akan diukur regangannya yaitu pada posisi x1 dan x2 dengan
jarak masing-masing 75 cm (FBG x1) dan 25 cm (FBG x2) dari titik tumpu kantilever. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui perbedaan nilai regangan pada masing-masing tersebut dan membandingkan nilai keduanya untuk
mengetahui unjuk kerja dan posisi optimal dari FBG pada saat digunakan untuk mengukur pergeseran tanah. Percobaan
ini dilakukan dengan menarik ujung kantilever dengan suatu katrol yang kemiringan pada bagian tengah kantilever
diukur dengan menggunakan digipassmeter yang memiliki ketelitian sebesar 0,10. Kantilever ditarik dengan kombinasi
kemiringan masing-masing adalah 0o, 3o, 6o, 9o, dan 12o, dimana FBG pada x1 dan x2 diukur pergeseran panjang
gelombangnya dengan menggunakan metode differensial. Sumber cahaya divariasikan pada panjang gelombang antara
1550,75 nm sampai dengan 1552,90 nm dan digunakan dua alat baca sebagai pembaca output yaitu Optical Spectrum
Analyzer (OSA) dan power meter. Adapun sistem pengukuran regangan kantilever ini dapat dilihat pada gambar 5.

FBG pada x1
Digipass meter

FBG pada x2
Kantilever

Optical
Spectrum
Analyzer (OSA)

Laser Mampu
Tertala

Coupler
Isolator Optik

Powermeter
Gambar 5. Sistem pengukuran regangan pada kantilever menggunakan FBG dengan metode diferensial
HASIL DAN PERANCANGAN
Sistem pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui regangan telah dilakukan, dengan memberikan variasi
panjang gelombang pada FBG dengan jangkauan 1550,75 1552.90 nm. Pengukuran pergeseran titik puncak bawah
spektrum transmisi panjang gelombang dilakukan dengan membandingkan antara nilai ukur dan nilai referensi atau
yang disebut dengan pengukuran differesial. Pada masing-masing FBG ditempatkan pada 2 (dua) posisi yang berbeda
yaitu pada pada jarak 25 cm dan 75 cm dari titik tumpu.
Perlakuan yang diberikan pada percobaan ini adalah dengan merekatkan FBG pada pipa paralon dimana pipa
paralon dalam posisi tegak lurus (vertikal) terhadap permukaan bumi. Selanjutnya pipa ditarik pada sudut tertentu yaitu
pada sudut 0o, 3o, 6o, 9o, dan 12o dan setiap perubahan sudut laser mampu tertala dimanipulasi sudut kisinya sehingga
menghasilkan variasi panjang gelombang. Dari percobaan yang telah dilakukan dengan beberapa manipulasi,
didapatkan data yang dapat dilihat pada gambar 6 dan gambar 7.
Dari gambar 6 didapatkan grafik hubungan antara panjang gelombang dan intensitas yang terbaca pada OSA
maupun powermeter. Pada percobaan dengan posisi FBG pada titik 75cm dari titik tumpuan (FBG x1) didapatkan
grafik sebagai berikut.

E-168

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

0
1550,5

1551

1551,5

1552

1552,5

1553

Intensitas (dBm)

-5
0derajat

-10

3derajat
6derajat

-15

9derajat
12derajat

-20
-25

(nm)

Gambar 6. Grafik hubungan antara panjang gelombang laser dengan intensitas transmisi dari FBG x1
Grafik diatas adalah percobaan ketika FBG diletakkan pada pipa paralon dengan jarak 75cm dari titik
tumpuan dengan memanipulasi sudut sebesar 0o, 3o, 6o, 9o, dan 12o. terlihat pada grafik bahwa dengan
diletakkannya FBG pada titik 75cm dari tumpuan pergeseran yang terjadi tidak terlihat karena regangan yang
terjadi pada titik 75 cm berada pada daerah di luar titik beban, sehingga pada posisi-posisi kantilever tersebut tidak
mengalami regangan yang cukup berarti.
Namun ketika FBG diletakkan pada titik 25cm dari tumpuan, grafik hubungan antara panjang gelombang
dan intensitas transmisi dari FBG didapatkan grafik sebagai berikut,
0
1550,5

1551

1551,5

1552

1552,5

1553

Intensitas (dBm)

-5
0 derajat

-10

3 derajat
6derajat

-15

9 derajat
12 derajat

-20
-25

(nm)

Gambar 7 Grafik hubungan antara panjang gelombang dengan intensitas optik transmisi dari FBG x2
Pada percobaan dengan posisi FBG pada titik 25cm dari titik tumpuan, didapatkan grafik hubungan antara
panjang gelombang dan intensitas transmisi dari FBG seperti pada grafik diatas, terlihat bahwa adanya pergeseran pada
setiap manipulasi sudut yang dilakukan yaitu pada sudut 0o, 3o, 6o, 9o, dan 12o. Pada sudut 0o puncak daerah Bragg
terjadi pada panjang gelombang 1551.47 nm dengan intensitas -21.96 dBm, pada sudut 3o puncak Bragg terjadi pada
panjang gelombang 1551.54nm dengan intensitas -20.87dBm, pada sudut 6o puncak Bragg terjadi pada panjang
gelombang 1551.58nm dengan intensitas -20.55dBm, pada sudut 9o puncak Bragg terjadi pada panjang gelombang
1551.46nm dengan intensitas -19.14dBm, sedangkan pada sudut 12o puncak daerah Bragg terjadi pada panjang
gelombang 1551.50nm dengan intensitas -18.92dBm. Pada grafik dengan sudut melebihi 60 terlihat panjang gelombang
menurun kembali, dan diketahui ternyata FBG mengalami crack pada bagian kisi FBG. Hal ini kemudian menjadi
pertimbangan bahwa penggunaan FBG yang melebihi sudut 60 harus dihindari atau dimodikasi dengan cara lain. Selain
itu ternyata intensitas pada setiap pengukuran mengalami variasi intensitas pada tiap-tiap pengukuran. Hal ini
disebabkan pada FBG merupakan serat optik yang dapat terpengaruh oleh diameter lengkungan dan pengaruh
whispering galery [7].
E-169

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

KESIMPULAN
Hasil pengukuran regangan pada kantilever ini didapat masing-masing untuk FBG x1 tidak terdapat pergeseran
panjang gelombang Bragg dimana artinya tidak terjadi regangan pada daerah di luar titik beban. Di sisi lain yaitu pada
FBG yang berada pada jarak 25 cm dari titik tumpu terdapat pergeseran panjang gelombang pada masing-masing sudut
0, 3, dan 6 adalah 1551.47 nm dengan intensitas -21.96 dBm, 1551.54nm dengan intensitas -20.87 dBm, dan
1551.58nm dengan intensitas -20.55dBm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Fisika dan rekan kelompok
penelitian Terahertz Photonics yang telah banyak memberikan dukungan baik materil mapun ide pemikiran sehingga
penelitian terkait FBG ini dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Widiyatmoko, Bambang. Pengembangan sensor Strain tanah untuk monitoring dan peringatan dini terhadap
longsor berbasis laser diode, Proposal Kompetitif LIPI, tahun 2008, Jakarta Oktober 2008.
[2] Puranto, Prabowo., dan Bambang Widiyatmoko, Pengembangan Sistem Evaluator Sensor Fiber Brag Grating
Untuk Monitoring Tanah Longsor : Studi Awal, Prosiding SATEK, Unila, 2008.
[3] Yoshifumi Suzaki, et.al., Apodization method owing to the finete length of UV laser coherence in Fabricating fiber
bragg grating, Japanese journal of applied physics vol 45 no 12, 2006
[4] Daryatno, Arif. Pembuatan Tunable Laser Pada Panjang Gelombang 780 nm Dengan Teknik Grating Feedback
Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Sumber Komunikasi Optik Koheren : Tugas Akhir S1. Jurusan Teknik
Elektro. Sekolah Tinggi Teknologi Telkom. Bandung. 1997
[5] Finot , Eric., Ali Passian and Thomas Thundat. Review of Measurement of Mechanical Properties of Cantilever
Shaped Materials, Sensors 2008, 8, 3497-3541; DOI: 10.3390/s8053497, ISSN 1424-8220. ww.mdpi.org/sensors
[6] Anonim, Civil Engineering Formulaes (Chapter 2)
http://www.irssg.com/civil/files/library/share/beam.pdf, 20 Oktober 2012.
[7] Puranto, Prabowo., Resetiana D. D., Eni Sugiarti, Tomi B.W., Edi. T.A. Studi Awal Pembuatan Sistem Sensor
Pengukuran Regangan Suatu Bahan Menggunakan Fiber Optik Plastik Berbasis Data Akuisisi. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya. Volume 3, No.1, Januari 2007.

E-170

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

E-171

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-172

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Variasi Tekanan Dan Tebal Cetakan Terhadap Kekasaran Permukaan Pada High
Pressure Die Casting (HPDC) Paduan Al Si
Purnomo dan Dwi Khusna
Fakultas Teknologi, Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Email : purnomoitats@yahoo.com

Abstrak
Pengecoran logam dengan metode High Pressure Die Casting (HPDC) adalah metode
pengecoran dengan cara menginjeksikan cairan logam ke dalam cetakan dengan kecepatan
dan tekanan tertentu dengan menggunakan mesin HPDC. Cetakan yang digunakan adalah
baja karbon. Metode pengecoran tersebut dilakukan pada pembuatan komponen motor pada
pembuatan piston, pully dengan bahan dasar aluminium dan silicon. Penelitian ini
menggunakan tekanan sebesar 20 bar dan 40 bar. Variasi tebal cetakan adalah 2, 4, 6, 8 mm
sedangkan temperature tuang 7000C, 8000C, dan 8500C variasi tebal cetakan dan suhu tuang
akan mempengaruhi karakteristik duari benda hasil coran. Kekasaran permukaan secara
umum naik dengan meningkatnya suhu tuang dan tekanan yang berbeda. Dari hasil
penelitian didapatkan dengan suhu tuang maksimal adalah 8500C dan tekanan 40 bar
didapat harga kekasaran 2,45
Kata kunci : HPDC, kekasaran, tebal cetakan, tekanan cetakan.
Abstract
Metal casting method High Pressure Die Casting (HPDC) is a method of casting by injecting
molten metal into a mold with the speed and pressure by using HPDC machine. Mold used is
carbon steel. Casting method is performed in the manufacture of components in the
manufacture of motor pulley with aluminum and silicon base material. This study uses a
pressure of 20 bar and 40 bar. Variations in mold thickness is 2, 4, 6, 8 mm while the
temperature castings 700C, 800C, and 850C mold thickness and temperature variations will
affect the characteristics duari cast object of castings. Surface roughness generally increased
with increasing temperature and pressure of a different cast. From the research results
obtained with the maximum temperature is 850C and pour pressure of 40 bar roughness
prices gained 2.45
Key words: HPDC, roughness, mold thickness, mold pressure.

PENDAHULUAN
Perkembangan industry otomotif di Indonesia khususnya industry sepeda motor menunjukkan angkan yang
cukup tinggi. Keadaan ini merupakan sebuah peluang bagi industry pendukung yaitu industry pengecoran sebagai
penyuplai komponen bagi industry sepeda motor. Peluang pasar yang besar akan mendorong perusahaan manufaktur
yang memproduksi komponen dari paduan aluminium berkompetisi menghasilkan produk yang mempunyai kualitas
standar dan harga lebih murah.
Tuntutan menghasilkan produk masal dengan bentuk yang lebih kompleks dengan toleransi tinggi, permukaan
yang halus, bebas cacat dan waktu produksi yang singkat menjadi suatu keharusan bagi fabrikan agar dapat bersaing
dengan fabrikan lain.
Teknik pengecoran dengan cetakan permanen dengan siklus yang kontinyu adalah suatu solusi pemenuhan
tuntutan. Teknik High Pressure Die Casting (HPDC) merupakan salah satu metode yang cocok untuk memenuhi
tuntutan tersebut. HPDC adalah suatu proses pengecoran dengan menginjeksikan logam cair kedalam cetakan kemudian
mempertahankan pemberian tekanan selama pembekuan proses ini berlangsung pada ruang tertutup. HPDC dibagi
menjadi dua kategori yaitu HPDC Cold Chamber dan HPDC Hot Chamber.

E-173

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

HPDC Hot Chamber biasanya digunakan untuk logam dengan temperature cair yang rendah dan logam yang
tidak bereaksi membentuk paduan dengan logam die (baja) seperti tima hitam, tima putih dan zinc. HPDC Cold
Chamber digunakan untuk logam dengan temperature cair tinggi seperti aluminium dan tembaga (dan paduannya).
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik HPDC Cold Chamber. Bahan baku yang digunakan
adalah paduan standar yang umum digunakan pada pembuatan komponen otomotif seperti blok silinder, piston, tuas
rem, pulley dan velg. Walaupun sudah luas penggunaannya namun paduan ini masih jarang diteliti.
Paduan tersebut adalah paduan Al-Si Penelitian ini akan mengkarakteristik nilai kekasaran Al-Si terhadap
temperature tuang dan tebal cetakan pada HPDC dalam proses pembuatan komponen otomotif yaitu pulley
Tinjauan Pustaka.
Penelitian tentang teknik pengecoran bertekanan dan perpindahan panas telah banyak dilakukan antara lain.
G.Daor, dkk (2005) Meneliti mengukur koefisien perpindahan panas dan aplikasinya dengan tekanan tinggi pada
cetakan tekan. Perpindahan panas terhadap ketebalan cetakan / chill pada material aluminium juga diiteliti oleh M.A
Gafur dkk, (2003) . Pengecoran dengan system perpindahan panas pada permukaan cetakan logam juga diteliti oleh
Haci Mehmet, dkk (2005) dengan tujuan penelitian menentukan koefisien perpindahan panas pada cetakan logam dan
menghasilkan paduan Al-Si microstruktur lebih halus. Simulasi dan model cetakan logam dengan perpindahan panas
A.S Usmani (2005).
Mahmoudi dkk (2006) Meneliti tentang Perpindahan panas pada proses pembekuan dengan cairan fluida.
Carakteristik perpindahan panas pada cetakan los foam Ziliu dkk, (2006). Rahmazan dkk (2007) meneliti Tekanan
tinggi dan perpindahan panas pada pengecoran die casting. Dalam penelitiannya menghasilkan sifat mekanik
meningkat. Sifat perpindahan panas pada tekanan tinggi dengan cetakan tekan juga diteliti oleh Zhi-Peng dkk (2008) .
Koefisien perpindahan panas dengan menurunkan struktur kristal A. Hamasalid dkk, (2008) . Simulasi perpindahan
panas pada cetakan tekan juga diteliti oleh (Dos Santos dkk 2008) dengan hasil penelitian proses pendinginanlambat
membuat hasil coran lebih homogen. Zhi Peng dkk (2008) meneliti Perpindahan panas dalam proses cetakan tekanan
tinggi.
Han dan Xu (2005) meneliti HPDC dengan bahan aluminium murni, paduan Al - 1,8 Si, A 356, A 380. A 319, A
390,2 . Aghion dkk (2006). ADC 12 diteliti oleh Tian dkk, (2002), Chen (2003), dan Lozano dan Peng (2006).
Dargusch dkk, (2006) meneliti bahan DA 401 dan CA 313, bahan CA 313 juga diteliti ol;eh Gunasegaram dkk, (2007).
Niu dkk (2000) meneliti Al =- 5 % Si, Al 8 % Si, dan Al 18 % Si.
Paduan dengan Al Si eutektik memiliki koefisien panas yang baik sehingga di gunakan pada pengecoran dengan die.
Paduan ini juga digunakan bahan piston untuk mesin bensin dan mesin diesel.
Ada beberapa metode yang digunakan pada proses HPDC. Lui dkk, (1996) melakukan perubahan proses
pengisian cetakan dari tga tahapan: slow shot, fast shot, filling shot menjadi lima tahapan yaitu slow shot, fast shot,
filling shot, pressure impact, finalpressure setting. Penelitian dengan tiga tahapan pengisian dilakukan oleh Chen,
(2003), Tsoukolas dkk, (2004), Han dan Xu (2005), Dargusch dkk, (2006), Gunasegaram dkk, (2007), Zamora dkk,

Percobaan Bahan
Paduan aluminium silikon merupakan jenis paduan aluminium yang paling banyak digunakan dalam proses
pengecoran dibandingkan dengan jenis paduan aluminium yang lain. Hal ini disebabkan antara lain sifat fluiditas yang
baik. (Soejono Tjitro, 2003). Silikon ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan mampu cor (castability)
serta memperbaiki sifat mekanis dari aluminium murni. Paduan aluminium silikon termasuk paduan cor (casting alloys)
dan diberi kode seri 4xx.x. (Hartanto, 2001) Mampu tuang paduan cor dapat diperbaiki dengan menambah unsur
silikon sampai denga 23% Disamping itu, penambahan unsur silikon juga dapat memperbaiki sifat fluiditas dan feeding
characteristic dari pada paduan. Dibawah ini beberapa sifat mekanis yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 1. Sifat mekanis Paduan Aluminium Silikon
(J.E Gruzleski dkk, 2000)
Tabel 1. Komposisi Al Si 12%
Paduan
Fe
Cu
Mg
Si
Zn
Densitas
Konduktivitas
panas
7%
0,2
0,05
0,45
6,5-7,5
0,05
2,68 gr/cm3
152 W/mK
12,5 %
2.0
1,0
0,1
11,0-13,0
0,5
2.657 gr/cm3
121 W/mK
(2007). Penggunaan tahapan pengisian yang berbeda terlihat tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas
coran namun pertimbangan dipusatkan pada kecepatan piston dan pola aliran saat mengisi cetakan.
Penelitian park dkk (2001) menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar 77,5 HRB dan kekuatan tarik sebesar 630
MPa. Penelitian Duskiardi dkk (2002) menghasilkan piston dengan kekerasan sebesar 115 BHN. Peneliti Choi dkk
(2005) menghasilkan piston dengan harga kekerasan sebesar 52 HRB. Peneliti Budi Harjanto dkk (2008)
menghasilkan piston dengan harga kekerasan sebesar 97,86 HVN.

E-174

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Peralatan yang digunakan.


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Mesin PDC
2. Dies (Cetakan)
3. Dapur peleburan
4. Termokopel
5. Pressure gage
6. Alat uji kekasaran

Gambar 1. Proses pengecoran High pressure Die Casting

Mesin Injeksi
Mesin injeksi dengan kapasitas tekanan maksimum 40 bar (gambar 1 ), sedangkan besar tekanan yang
digunakan adalah 20 bar dan 40 bar
Prosedur penelitian.
Al-Si 12% dilebur pada dapur lebur, temperature logam cair dikontrol dengan thermokopel hingga sesuai
untuk penuangan. Proses penuangan dimulai dari temperature 8000C, 7500C, dan 7000C. Pengaturan suhu cetakan
dilakukan diantara proses injeksi untuk memastikan kondisi temperature cetakan tepat untuk melakukan injeksi
selanjutnya. Tahapan pengecoran sebagai berikut :
1. Cetakan tertutup logam cair dituang ke dalam cold chamber.
2. Plunyer didorong dengan tekanan tertentu, sehingga logam cair akan mengisi ruang cetakan dan akan
memadat.
3. Cetakan dibuka dengan memanfaatkan dorongan dari plunyer.
4. Ejector pins mendorong benda coran dan akan terlepas dari cetakan. Plunyer akan kembali ke tempat semula.
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh tempertur tuang dan tebal cetakan terhadap kekasaran permukaan benda kerja.
Kekasaran terlihat menurun seiring meningkatnya temperature penuangan, kekasaran terendah terjadi pada
temperature 8500C dan kekasaran tertinggi terjadi pada temperature penuangan 7000C. Begitu pula untuk tebal cetakan
terlihat kekasaran cenderug lebih halus dengan bertambah tebal cetakan.
Tabel 1. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 7000C
No
1

Tekanan
(Bar)
20

Tebal cetakan
(mm)
2
4
6
8

E-175

Harga Kekasaran
(m)
1,15
1,20
2,21
2,22

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012
Tabel 2. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 7000C
Tekanan
Tebal cetakan
Harga Kekasaran
(Bar)
(mm)
(m)
40
2
1,22
4
1,23
6
3,21
8
4,12

No
1

Tabel 3. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 8000C
Tekanan
Tebal cetakan
Harga Kekasaran
(Bar)
(mm)
(m)
20
2
1,14
4
1,14
6
2,13
8
3,12

No
1

Tabel 4. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 8000C
Tekanan
Tebal cetakan
Harga Kekasaran
(Bar)
(mm)
(m)
40
2
2,25
4
1,24
6
2,26
8
2,26

No
1

Tabel 5. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 8500C
Tekanan
Tebal cetakan
Harga Kekasaran
(Bar)
(mm)
(m)
20
2
1,15
4
2,16
6
1,14
8
1,13

No
1

Tabel 6. Hubungan antara tekanan dan tebal cetakan pada temperature 8500C
Tekanan
Tebal cetakan
Harga Kekasaran
(Bar)
(mm)
(m)
40
2
1,13
4
1,12
6
1,14
8
2,13

No
1

10

10

Series1

Series2

0
1

Gambar 1. Grafik tekanan 20 bar Vs tebal Cetakan


pada temperature 7000C

Series1

Series2

Gambar 2. Grafik tekanan 40 bar Vs tebal cetakan


pada temperature 7000C

E-176

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

10

10

Series1
Series2

Series1

Series2

0
1

1
Gambar 3. Grafik tekanan 20 bar Vs tebal cetakan
pada temperature 8000C

10

8
Series1

Series2

2
0

Gambar 4. Grafik tekanan 40 bar Vs tebal cetakan


pada temperature 8000C

10
6

Series1

Series2

2
0

Gambar 5. Grafik tekanan 20 bar Vs tebal cetakan


pada temperature 8500C

Gambar 6. Grafik tekanan 40 bar Vs tebal cetakan


pada temperature 8500C

Kesimpulan.
1. Kekasaran benda uji pada tekanan 20 bar terlihat rata - rata naik dengan semakin tingginya temperatur.
2. Kekasaran benda uji pada tekanan 40 bar terlihat rata rata menurun dengan semakin tingginya tempertur.
3. Kekasaran benda uji pada ketebalan cetakan bertambah terlihat semakin halus permukaan dengan semakin
tingginya temperature.

DAFTAR PUSTAKA.
A.M. Samuel, F.H. Samuel, Effect of Magnesium Content on the Ageing Behaviour of Water chilled Al-Si-Mg Alloy
Casting. Journal of mat.Sci, Vol 30. 1996.
Anson J.P, Gruzleski, Effect of Hydrogen Content on Relative Shrinkage and Gas Microporosity in Al 7% Si Casting,
McGill University, Canada, 2000.
Abis S., Numerical Simulation of Silidification in an Aluminium Casting, Metallurgical Transaction B, Vol. 17B,
pp.209 216 March 1986.
Anantharaman, T.R., 1987, Rapidly Sidified Metal, Trans. Tech. Publications, Switzerland.
Anderson, T.L Fracture Mechanics Fundamentals and Application, CRC Press, Inc., Boca Raton Ann Arbor Boston ,
1991.
A. Hamasaiid dkk Effect of Mold Coating Material and Thickness on Heat Transfer in Permanent Mold Casting of
Aluminium Alloy, Journal Metallurgical and Materials Transaction , Vol 38 Nomor 6 Springer Boston 2007.
Aoki,S., K. Kishimoto. T. Yoshida, M. Sakata, and H.A Richard, Elastic-Plastic Fracture Behavior of an Aluminium
Alloy under Mixed Mode Loading., Journal. Mechanical Physics Solids, Vol 38, N0 2, 1990.
Bambang Suharno, Neni Octapiani Nurhayati, Bustanul Arifin, dan sri Harjanto, Pengaruh Waktu Kontak Terhadap
reaksi Antar Muka Paduan Aluminium 7%Si dan Aluminium 11%Si Dengan Baja Cetakan SKD 61.,
Jurnal Makara, Teknologi, Vol 11, No 2 , Universitas Indonesia Jakarta, 2007.
E-177

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Beeley P.R. Foundry Technologi London : Butterworth Scientific, 1972


Calister, W.D. Jr, Material Science and Engineering an Introduction, 6th John Wiley and Sons Inc, 2003.
Cheng Liu, dkk Effect of Process Parameters, Casting Thickness, and Alloys on the Interfacial Heat-Transfer
Coefficient in the High Pressure Die- casting Process. Metals & Materials Society and ASM International
2008
Dody P, Keterkaitan Kemiringan Cetakan, Kecepatan Pertumbuhan Dendrit dan Ukuran Butir pada Logam
Aliminium- Silikon, Jurnal Teknik mesin ITS, 2007
David P. A, Phase Transformation in Metal and Alloy, Chapman and Hall, London, 1990.
Duskiardi, Pengaruh Tekanan dan Temperatur Die Proses Squeeze Casting Terhadap Kekerasan dan Struktur
Mikro Pada material piston Komersial Lokal, Jurnal Teknik Mesin, Univ Bung Hatta Padang, 2002.
Dargusch dkk, Heat Transfer at the casting/die interface in high pressure Die Casting Experimental result and
contribution to modelling. TheMinerals, Metals & Materials Society Excellence in Research Australia (ERA)
2006.

E-178

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Besar Arus Listrik Dan Tegangan Terhadap Kekasaran Permukaan Benda Kerja
Pada Electrical Discharge Machining (EDM) Dengan Metode Respon Surface
Purnomo, Efrita AZ, Edi Suryanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
Jl. Arief Rahman Hakim 100 Surabaya 60117 Telp (031) 5945043
purnomoitats@yahoo.com

Abstrak
Pada proses pembuatan mold, seringkali proses EDM Sinking merupakan proses yang harus
ada. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan proses milling pada machining center.
Proses material removal pada EDM Sinking sangatlah lambat jika dibandingkan dengan proses
milling, sehingga kecepatan proses EDM Sinking sedapat mungkin ditingkatkan dengan tanpa
mengurangi kualitas permukaan dan dimensi akhir benda kerja. Seiring dengan peningkatan
kecepatan proses maka terjadi penurunan kualitas kekasaran permukaan dan ketelitian dimensi
benda kerja. Penurunan ketelitian dimensi benda kerja terkait dengan keausan yang dialami
oleh elektroda. Beberapa parameter dari proses EDM Sinking akan diteliti kesignifikanannya
terhadap kekasaran permukaan dan laju keasusan elektoda. Besar arus listrik dan arc on-time
akan berbanding lurus dengan kecepatan proses, kekasaran permukaan benda kerja dan laju
keausan elektroda. Metode Dual respon Surface akan digunakan untuk mengetahui parameter
mana yang lebih berpengaruh, antara besar arus listrik dan Arc on-time. Dengan demikian,
parameter yang dikaji adalah besar arus listrik, arc on-time dan arc off-time, yang mana
digunakan sebagai variabel proses, dan sebagai responnya adalah kekasaran permukaan benda
kerja dan laju keausan elektroda. Dalam penelitian ini digunakan material benda kerja baja
SKD 11, yang mana sering digunakan sebagai material mold ataupun dies. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa besar arus listrik lebih besar pengaruhnya dibandingkan
dengan arc on-time, baik terhadap kekasaran permukaan benda kerja maupun laju keausan
elektroda. Nilai kekasaran permukaan optimum yang dapat dicapai dalam penelitian ini adalah
Ra = 3,718. Sedangkan untuk laju keausan elektroda adalah 0,66 mm/menit.

Kata kunci: EDM Sinking, kekasaran permukaan, laju keausan elektroda, metode dual
response surface
PENDAHULUAN
Pada proses pembuatan mold dan die, seringkali proses EDM Sinking merupakan proses yang harus ada. Hal ini
disebabkan keterbatasan kemampuan proses milling oleh machining center. Sehingga untuk radius kecil dan
pemotongan yang dalam diperlukan proses lanjutan seperti EDM Sinking.
Proses material removal pada EDM Sinking sangatlah lambat jika dibandingkan dengan proses milling, sehingga
sedapat mungkin kecepatan proses ditingkatkan dengan tanpa mengurangi kwalitas permukaan dan dimensi akhir benda
kerja. Ketelitian dimensi benda kerja sangat erat kaitannya dengan keausan yang terjadi pada elektroda EDM Sinking.
Seringkali untuk mempertahankan keteliaan dimensi ini maka harus disediakan lebih dari satu elektroda, semisal untuk
proses semi-finishing dan finishing.
Peningkatan kecepatan proses EDM Sinking juga terkait dengan tingkat kekasaran permukaan benda kerja. Penggunaan
arus listrik yang besar akan mempercepat proses material removal pada EDM Sinking, tetapi seiring dengan itu maka
akan memperbesar tingkat kekasaran benda kerja dan keausan elektroda.
Suhardjono[2] pernah melakukan penelitian mengenai material removal rate pada EDM Sinking, dan menyimpulkan
bahwa arc off-time yang rendah akan memberikan material removal rate yang tinggi, sedangkan arc on-time medium
(800s) adalah yang optimum. Sedangkan yang mempengaruhi kekasaran permukaan hanya lah arc on-time.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh parameter EDM Sinking, yaitu: arus listrik, arc on-time,
dan arc off-time serta interaksi antar parameter terhadap kekasaran permukaan benda kerja dan laju keausan elektroda.
Selain itu, setting parameter proses agar dihasilkan kekasaran permukaan benda kerja minimum dengan constraint nilai
laju keausan elektroda tertentu juga akan dilakukan.

E-179

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

METODOLOGI PENELITIAN
Secara ringkas langkah-langkah penelitian ini dapat dilihat pada bagan alir sebagai berikut.
Material benda kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah SKD 11, yang termasuk salah satu material yang
paling sering digunakan untuk pembuatan mold dan die. SKD 11 memiliki sifat-sifat tahan terhadap keausan, deformasi,
kompresi dan cracking, dengan kekerasan berkisar antara 58-62 HRC dan temperatur pengerasan sekitar 1000-1050C.
Sedangkan untuk material elektroda digunakan tembaga.
Sebagai persiapan awal, dilakukan proses perataan permukaan pada benda kerja dengan proses milling. Sedangkan
untuk elektroda dilakukan perataan permukaan sentuh dengan kertas gosok grade 1200, serta dilakukan penimbangan
awal dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 mg.
Mesin EDM yang digunakan adalah CNC EDM jenis AMM 550, dengan cairan dielektrikum produksi Petrofer.

Gambar 2. Benda Kerja dan Elektroda


Pada pengujian kekasaran permukaan, angka yang diamati adalah Ra yang nilainya dinyatakan dalam m. Pengukuran
diambil pada range M (0,1 s/d 10,0 m Ra). Angka kekasaran permukaan diambil pada garis yang melalui titik tengah
penampang elektroda, dan offset kanan kiri sebesar 2 mm, dengan menggunakan Surface Roughness Tester (Mitutoyo,
SJ-301). Dari tiga posisi pengukuran tersebut kemudian dicari harga rata-ratanya.
HASIL PENELITIAN
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa peningkatan arus listrik menyebabkan peningkatan kekasaran permukaan benda
kerja. Besar arus 4A, 8A, dan 12A berturut-turut memberikan kekasaran sebesar 3,718 m, 3.987 m dan 4.573 m.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar nilai arus listrik maka spark yang terjadi semakin besar pula, dan
mengakibatkan permukaan benda kerja semakin kasar. Tabel 1 memperlihatkan data peningkatan nilai kekasaran
permukaan sebelum dan sesudah proses EDM.
Tabel 1.

Nilai Kekasaran Permukaan dan Kenaikan Kekasaran Permukaan antara Sebelum dan
Sesudah Proses EDM
Kekasaran Permukaan (m)
Sebelum Sesudah
Proses
Proses
Kenaikan
Arus
EDM
EDM
Kekasaran
(A)
(m)
(m)
(%)
4
1,02
3.718
2,698
8
1,30
3.987
2,687
12
1.35
4.573
3,223

Semakin tinggi peningkatan arus listrik, semakin tinggi pula kekasaran permukaannya. Dari tabel 1 terlihat bahwa
kenaikan kekasaran permukaan tidak bersifat linier terhadap kenaikan arus.
Tabel 2.

Nilai Laju Keausan Elektroda antara Sebelum dan Sesudah Proses EDM

Arus
(A)
4
8
12

Laju Keausan Elektroda (mm/min)


Sebelum
Sesudah
Keausan
Proses
Proses
Elektroda
EDM
EDM
(gr)
(gr)
35.14
34.48
0.66
35.15
34.74
0,41
35.35
34.95
0,4

E-180

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Contour Plot of Kekasaran vs X3, X1


Kek asaran
< 3.0
3.0 - 3.5
3.5 - 4.0
4.0 - 4.5
4.5 - 5.0
5.0 - 5.5
> 5.5

1.5
1.0

X3

0.5

Hold Values
X2 0

0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-1.5

Gambar 3.

-1.0

-0.5

0.0
X1

0.5

1.0

1.5

Contour Plot X1 (Arus) dan X2 (Arc On-Time) Terhadap Kekasaran Permukaan


Contour Plot of Laju vs X3, X1
1.5
1.0
1.5
2.0
2.5

1.0

X3

0.5

Laju
<
>

1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.0

Hold Values
X2 0

0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-1.5

Gambar 6.

-1.0

-0.5

0.0
X1

0.5

1.0

1.5

Contour Plot X1 (Arus) dan X2 (Arc On-Time) Terhadap Laju Keausan Elektroda.

PEMBAHASAN
Dari hasil response surface regression, parameter yang secara statistik berpengaruh signifikan terhadap respon
kekasaran permukaan adalah arus, arc on-time, arc off-time, interaksi ulang arc on-time, interaksi ulang arc off-time,
interaksi antara arus listrik dan arc on-time, dan interaksi antara arus listrik dan arc off-time.
Koefisien arus listrik yang berharga positif menyatakan semakin besar arus listrik maka angka kekasaran permukaan
semakin besar, seperti terlihat pada gambar 9 dan 10.

Gambar 9.

Foto Permukaan Benda Kerja (100x) untuk Arus = 3A, Arc On-Time = 10s, Arc Off-Time =
12s.

E-181

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 10. Foto Permukaan Benda Kerja (100x) untuk Arus = 9A, Arc On-Time = 10s, Arc Off-Time =
12s.
KESIMPULAN
Secara individu arus listrik merupakan parameter yang paling berpengaruh, baik terhadap kekasaran permukaan benda
kerja maupun laju keausan elektroda, kemudian diikuti berturut-turut oleh arc on-time dan arc off-time. Semua
interaksi berpengaruh signifikan secara statistik baik terhadap kekasaran permukaan benda kerja maupun laju keausan
elektroda. Nilai optimum untuk kekasaran permukaan adalah sebesar 3,718 untuk laju keausan elektroda adalah 0,66.
SARAN
Pada penelitian ini hanya diambil respon kekasaran permukaan dan laju keausan elektroda. Padahal pada proses EDM
Sinking masih ada respon yang sering dipertimbangkan di dalam pemilihan level dari variabel bebasnya, yaitu over cut.
Oleh karena itu disarankan untuk pengembangan lebih lanjut penelitian yang melibatkan variabel bebas yang lain
seperti: lebar gap, tekanan flushing, dan tegangan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Soepangkat, Bobby O. P., Optimasi Kekasaran Permukaan Benda Kerja dan Laju Keausan Elektroda Pada
Proses EDM Sinking, Seminar Nasional Teknik Mesin 2: pp 81-87, 2007.
[2] Suhardjono, Pengaruh Arc On dan Arc Off Time terhadap Kekasaran Permukaan dan Laju Pembuangan
Geram Hasil Pemesinan Sinking EDM, Jurnal Teknik Mesin, vol 6, no.1 , 2004.
[3] Khuri, Andre I., dan John A. Cornell, Empirical Model Building and Respon Surface, New York: Marcell
Dekker, 1996.
[4] Guitrau, E. Bud, The EDM Handbook, New York: Hanser Gardner Publications, 1997.
[5] Draper, Norman dan Harry Smith, Analisa Regresi Terapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981.
[6] Bagiasna, Komang, Proses-Proses Non Konvensional, Departemen Mesin ITB, 1991.
[7]
Montgomery, Douglas C., Design and Analysis of Experiments, New York: John Wiley & Sons., 1997.

E-182

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Perbandingan Proses Penghilangan Unsur Minor Dalam Larutan Natrium Silikat Antara
Karbon Aktif dan Ion Exchange
Raharjo Binudi 1) , Eko Sulistiyono2) , Iwan Dwi Antoro3)
F.Firdiyono4) dan Agus Budi Prasetyo 5)
Pusat Penelitian Metalurgi LIPI1,2,3,4,5
Gedung 470, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten
Telepon (021) 7560911
E-mail : rbinudi@yahoo.com 1)
Abstrak
Salah satu tahapan penting dalam proses pemurnian silika dari pasir kuarsa adalah proses
penghilangan unsur minor yasng terdapat dalam larutan natrium silika. Pada penelitian ini
akan dilakukan proses penghilangan unsur minor dalam larutan natrium silika yang
berkonsentrasi 100 g silika per lite hasil proses pelarutan natrium silikat dalam air
mendidih. Larutan natrium silikat mengandung unsur pengotor yang berapa ion Fe, Ti, Al Ca
dan Mg dengan dominasi ion Na dan Si. Pada penelitian ini proses penghilangan unsur
minor dilakukan dengan metode adsorbsi menggunakan bahan ion Exchange dan karbon
aktif dengan proses batch. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dengan menggunakan
karbon aktif hanya mampu menghilangkan ion Fe dan Mg dengan daya adsorbsi optimal
untuk ion Fe dan mg adalah 90 %. Untuk Ion exchange mampu melakukan adsorbsi ion Fe,
Ti, Al, Ca, dan mg. Hasil terbaik untuk ion exchange mampu mengadsorbsi Fe sebesar 60 %
dan ion Ca sekitar 50 % sedangkan untuk Mg, Ti dan Al hanya mampu menghilangkan
sekitar 20 % .
Kata Kunci : Silika. Adsorbsi, Karbon Aktif, Ion Exchange
Pendahuluan
Salah satu tahapan yang terpenting dalam pembuatan silika dengan kadar 99,999 % adalah proses eliminasi unsur
pengotor. Pada proses ini unsur pengotor dalam mineral silika dihilangkan untuk meningkatkan kadar silika menjadi
lebih murni lagi yaitu dengasn target 99,999 % . Pada penelitian ini proses eliminasi unsur pengotor dilakukan dengan
menggunakan ion exchange dan karbon aktif pada larutan natrium silikat. Reaksi yang terjadi dalam proses adalah :
SiO2 +

Na2CO3 ====

Na2SiO3 + CO2 .......(1)

Proses eliminasi unsur pengotor pada silika di,mulai dari proses perubahan pasir kuarsa dari Kendawangan Kalimantan
Barat mrnjadi larutan natrium silikat terlebih dahulu. Proses perubahan pasir kuarsa dengan kadar silika sekitar 98 %
di,mulai dari proses peleburan pasir kuarsa dengan natrium karbonat pada temperatur tinggi. Dari proses peleburan
dipereoleh kristal natrium silikat. Natrium silikat dalam bentuk kristal selanjutnya dilarutkan dalam air mendidih
sehingga menjadi larutan natrium silikat.
Setelah dilakukan upaya penghilangan unsur minor selanjutnya larutan natrium silikat yang telah bersih diendapkan
dengan menggunakan asam chlorida. Dalam suasana asam askan terbentuk silika dalam bentuk gel yang dapat
dipisahkan dengan cairannya. Gel selanjutnya dikeringkan sehingga terbentuk padatan berwarna putih berupa silika
dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Na2SiO3 + 2 HCl ==== 2 NaCl + H2SiO3 ......(2)
H2SiO3 =======

SiO2 + H23O ..........(3)

Prinsip dari proses penghilangan unsur minor adalah proses pengilangan unsur besi (Fe) , Titanium (Ti) , aluminium (
Al ) , Calsium ( Mg ) dan unsur Magnesium ( Mg). Dalam proses ini unsur tersebut diserap dalam karbon aktif dan ion
Exchange karena jumlah unsur tersebut sangat sedikit. Pada tulisan ini akan dipaparkan hasil percobaan penyerapan
unsur minor dengan menggunakan bahan penyerap karbon aktif dan ion exchange dengan menggunakan proses batch
dalam beaker glass.

E-183

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan proses adsorbsi dengan bahan adsorbent yaitu karbon aktif dan ion echange. Bahan baku
adsorben yang digunakan adalah karbon aktif dari BRATACO dan juga ion Exchange dari LEWATIT type kation
exchange. Adapun metodologi yang digubnakan adalah sebagai berikut :
1. Mengambil pasir kuarsa dari daerah kendawangan sebanyak 550 g yang telah dibersihkan. Kemudian dicampur
dengan 450 g natrium karbonat, kemudian campuran dipanaskan dalam Mufle Furnace selama 2 jam temperatur
1.200OC .
2. Hasil lelehan kemudian didinginkan selanjutnya sebanyak 200 g natrium silikat dilarutkan dalam air mendidih
selama dua jam sampai larut. Larutan disaring kemudian diencerkan dalam aquadest menjadi 100 g / liter.
3. Larutan selanjutnya siap dihilangkan eliminasinya dengan menggunakan adsorbent karbon aktif dan ion exchange.
Percobaan dilakukan dalam beaker glass ukuran 600 ml dengan volume larutan 400 ml secara batch.
4. Pada proses ini variabel yang digunakan dalam percobaan ini adalah : waktu adsorbsi, penambahan bahan dan jenis
adsorbsi.
5. Setelah dilakukan percobaan adsorbsi maka larutan natrium silikat hasil dari proses adsorbsi di analisa dengan AAS
dan dibandingkan dengan larutan awal.
6. Hasil dari analisa AAS selanjutnya diolah dalam bentuk data persen adsorbsi dimana persen adsorbsi dilitung dari
larutan awal dibandingkan dengan larutan setelah proses.

Gambar 1. Ion Exchange siap melakukan proses eliminasi

Gambar 2. Proses Adsorbsi Karbon Aktif

E-184

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Hasil dan Pembahasan


A. Karbon Aktif
Dari hasil percobaan dengan menggunakan bahan adsorben karbon aktif terlihat bahwa terllihat bahwa semakin lama
adsorbsi, maka persentase sisa pengotor semakin sedikit. Namun untuk waktu diatas 120 menit hasil yang diperoleh
cenderung sama bahkan untuk ion Ca justru semakin meningkat. Peningkatan ion Ca pada waktu proses 30 menit
menjadi 140 % dimungkinkan hal ini karena adanya kesalahan analisis AAS.

Gambar 3. Hasil proses adsorbsi karbon aktif dengan variabel waktu adsobsi
Kemudian dengan variabel penambahan karbon aktif terlihat bahwa untuk waktu proses 120 menit proses adsorbsi
berlangsung cukup baik untuk penambahan karbon aktif 2,5 g. Pada penambahan karbon aktif diatas 2,5 g hasil yang
diperoleh relatif sama sehingga penambahan yang efektif adalah 2,5 g. Pada proses ini dengan penambahan 1 g karbon
aktif untuk unsur kalsium (Ca) terjadi peningkatan persen sisa lebih dari 100 % hal ini dimungkinkan karena adanya
kesalahan dalam analisa AAS.

Gambar 4. Hasil proses adsorbsi karbon aktif dengan variabel penambahan karbon aktif
Secara garis besar tewrlihat bahwa proses adsorbsi atau penghilangan unsur minor untuk karbon aktif efektif pada unsur
besi (Fe) dan Magnesium (Mg) sedangkan unsur Kalsium (Ca) kurang efektif. Unsur lain dalam pengotor seperti
Titanium ( Ti ) dan Aluminium (Al) tidak berhasil sehingga tidak ditampilkan dalam grafiks ini.
B. Ion Exchange
Dari hasil percobaan dengan menggunakan karbon aktif terlihat bahwa kemampuan karbon aktif hanya mampu untuk
ion besi (Fe ) dan Magnesium ( Mg) oleh karena itu dilakukan adsorbsi dengan bahan lain yaitu ion exchange.

E-185

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil percobaan debngan menggunakan ion exchange dengan menggunakan variabel berubah waktu proses terlihat
bahwa dengan menggunakan ion exchage semua unsur pengotor dapat terambil. Namun hasil terbaik hanya mampu
mengambil pengotor maksimal sekitar 60 % tyaitu mengambil unsur Titanium (Ti) sedangkan unsur yang lain masih
dibawah 50 %. Semakin lama waktu proses kontak hasil yang diperoleh semakin besar namun untuk waktu diatas 60
menit yang yang diperoleh relatif sama.

Gambar 5. Hasil proses adsorbsi ion exchange dengan variabel waktu proses
Dengan variabel berubah penambahan resin terlihat bahwa semakin banyak resin yang ditambahkan maka hasil yang
diperoleh semakin baik. Namun dengan penambahan diatas 50 g diperoleh hasil yang relatif sama dengan hasil
maksimal 60 % terambil yaitu unsur titanium (Ti).

Gambar 6. Hasil proses adsorbsi ion exchange dengan variabel penambahan ion exchange

Kesimpulan
1. Proses adsorbsi dengan bahan karbon aktif hanya mampu melakukan eliminasi unsur besi ( Fe ) dan Magnesium
(Mg) namun daya adsorbsi terhadap kedua unsur sangat bagus bisa mendekati 100 % .
2. Sedangkan untuk bahan adsorben ion exchange mampu lebih banyak menyerap beragam unsur dibandingkan
dengan karbon aktif tetapi daya serap unsur masih rendah yaitu dibawah 60 %.
3. Proses adsorbsi dengan karbon aktif diperoleh hasil optimal pada penambahan karbon aktif 2,5 g dan waktu proses
120 menit. Sedangkan dengan ion exchange waktu efektif 60 menit dengan penambahan 50 g.

Daftar Pustaka
1. Anthony, M., and Wachinski, J. E. E. 1997. Environmental Ion Exchange, Principle and Design. Lewis
Publisher, Boca raton, New York.
2. Nurhasni, F.Firdiyono, Qosim Saban , Penyerapan ion Aluminium dan Besi pada Larutan Natrium Silikat, Jurnal
Valensi Vol 2 No.2 Tahun 2012 , Universitas Islam Negeri, Jakarta .

E-186

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Peningkatan Kadar Bijih Besi Non Magnetik dengan Wet Magnetic Separator
Rahardjo Binudi
Pusat Penelitian Metalurgi LIPI
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan
rbinudi@yahoo.com
Abstrak
Dalam pemurnian atau peningkatan kadar (upgrading) besi pada bijih besi hematit atau non
magnetik diperlukan suatu metode untuk memberikan sifat magnet terhadap bijih tersebut.
Salah satu metode dengan merubah bijih non magnet menjadi magnetik yang disebut dengan
proses roasting magnetisasi. Bijih besi kadar rendah yang sudah bersifat magnet dilakukan
pemisahan dengan bahan non magnet dengan alat pemisah magnet basah (wet magnetik
separator), tunggal maupun bertingkat. Bijih besi termagnetisasi yang sudah dihaluskan
selanjutnya akan dipelajari karakteristik pemisahannya dengan mengamati kehalusan, laju
alir , konsentrasi pulp dan putaran drum. Dari percobaan dapat diketahui bahwa perolehan
besi dalam konsentrat dapat menghasilkan produk dengan kandungan Fe 58,6 % dan
perolehan kembali (recovery)besi dari mineral 90,4 %.
Kata kunci :peningkatan kadar,
konsentrat

hematit, besi termagnetisasi, wet magnetic separator,

Pendahuluan
Bijih besi merupakan sumber utama bahan baku industri besi dan baja. Oleh karena itu keberadaannya sangat penting
untuk memproduksi baja, dan untuk mempertahankan basis industri yang kuat. Hampir semua (98%) bijih besi
digunakan dalam pembuatan baja. Bijih besi ditambang di sekitar 50 negara. Indonesia hanya mempunyai cadangan
yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan negara produsen seperti Australia dan Brasil bersama-sama mendominasi
dunia ekspor bijih besi, masing-masing memiliki sekitar sepertiga dari total ekspor. Deposit bijih besi sebagian besar
berasal dari sedimen, seperti formasi besi banded (BIFs). BIFs terdiri dari lapisan (berbagai mineral kuarsa), bijih besi
dan magnetit. Cadangan bijih besi magnetik ditemukan di seluruh dunia dan merupakan bijih besi paling penting di
dunia saat ini. Pembentukan mereka belum sepenuhnya dipahami, meskipun diketahui bahwa mineral bijih besi
dibentuk oleh pengendapan kimia besi dari laut dangkal kira-kira 1.8-1.6 milyar tahun lalu, selama periode
Proterozoikum.
Magnetite juga kebanyakan ditemukan dalam formasi besi Banded (BIF). Mineral besi
bermetamorfosis berbutir halus batuan sedimen terdiri terutama dari magnetit dan silika. Pertambangan dan pengolahan
formasi BIF melibatkan crushing dan penyaringan kasar. Magnetit adalah sebagian dari pemanfaatan (benefisiasi)
dengan cara menghancurkan dan kemudian memisahkan magnetit dari mineral gangue dengan magnet. Hal ini biasanya
sangat efisien bijih kelas yang lebih rendah dapat dikayakan bila bersifat magnetit dengan magnetik separator.
Pemisahan magnetic dan flotasi adalah metode yang paling banyak digunakan untuk peningkatan partikel bijih besi,
namun proses ini menghasilkan besi berkonsentrasi dengan jumlah yang tinggi sangat baik dan / atau partikel pengotor
sedikit. Sebagian sumber/cadangan bijih besi umumnya diperlukan beneficiation/pengolahan awal. Karena desnsitas
relatif yang tinggi terhadap silikat bijih besi, benefisiasi biasanya melibatkan kombinasi penghancuran dan
penggilingan serta pemisahan berdasar berat jenis.
Pemanfaatan sifat magnet dari bijih dengan pengotor merupakan dasar dari pemisahan secara magnetik. Beberapa bijih
besi yang membpunyai sifat magnetik lemah dan sangat lemah namun mempunyai kandungan besi tinggi dapat
dilakukan roasting reduksi untuk memberikan sifat magnetik terhadap bijih besi tersebut. Magnetik separator basah
artinya menggunakan media air untuk menggerakan bijih besi halus dan menjadi pulp/bubur yang dilewatkan pada
permukaan drum berputar yang dilengkapi dengan magnet permanen untuk menangkap bijih besi yang bersifat
magnetik. Cara ini secara umum telah banyak dilakukan oleh penambang maupun produsen bijih besi yang siap ekspor
dengan kadar 40 % menjadi diatas 60 % Fe, dalam kondisi bijih besi halus 80 250 #.
Metodologi
Bijih besi yang diperoleh dari lapangan dilakukan beberapa pekerjaan sebagai berikut :
1. Persiapan : Pemilahan, pengeringan, penggerusan
2. Karakterisasi bijih besi untuk menentukan kandungan dan jenis mineral
3. Seting peralatan.
4. Percobaan tanpa beban
5. Percobaan dengan beban
6. Analisa hasil percobaan.
E-187

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Proses produksi secara lengkap bijih besi magnetit dari bijih hematit(bijih besi yang kurang mempunyai kekuatan
magnet) seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Bijih besi dengan ukuran 10 30 cm dipecah dalam alat penghancur Jaw
Crusher, selanjutnya digiling menjadi butiran yang lebih halus lebih kecil dari 2 mm dalam Impact Crusher. Pemisahan
bijih besi halus dan kasar dilakukan dengan penyaringan dan yang masih kasar dikembalikan ke Impact crusher. Bijih
besi halus selanjurnya dicampur dengan reduktor batubara dalam Mixer. Untuk memberikan bentuk yang kuat dan
porositas dalam reaktor reduksi bijih besi halus dan batubara dibuat gumpalan/pelet dalam mesin Granulator. Untuk
merubah besi hematit (Fe2O3) menjadi magnetit (Fe3O4) gumpalan/pelet di reduksi dalam tungku reduktor pada panas
900oC. Bijih besi hasil reduksi berbentuk bongkahan selanjutnya dihancurkan lagi dengan mesin penggiling, selanjutnya
diumpankan ke Ball Mill untuk dihaluskan.
Konsentrasi bijih besi yang sudah bersifat magnet dilakukan di dalam mesin Wet Magnetic Separator yang terdiri dari
pengumpan, drum magnetik, pemutar drum, pompa sirkulasi, tempat penampung konsentrat dan tempat penampung
bahan buangan (tailing).
Bijih Besi
Hematit
Fe2O3

Roasting
Reduksi

Bijih Besi
Magnetit
Fe3O4

Konsentrat
Bijih Besi

Jaw
Crusher

Impact
Crusher

Screening/
Classifier

Granulator

Mixer

Bijih Besi
Halus
Fe2O3

Impact
Crusher

Dry
Magnetic
Separator

Wet
Magnetic
Separator II

Wet
Magnetic
Separator I

Ball Mill

Umpan
Magnetic
Separator I

Gambar 1 : Diagram Alir Proses Konsentrasi Bijih Besi


Penelitian yang dilakukan meliputi karakteristik umpan masuk ke Magnetic Separator I (WMS I dan WMS II) dengan
parameter umpan kandungan besi masuk , pulp density, kecepatan aliran air, sedangkan keluaran yang diamati adalah
kandungan besi konsentrat dan tailing.

Hasil Percobaan
Bijih besi hematit yang sudah
dimagnetisasi
digiling
halus dalam ball mill dengan distribusi kehalusan tertentu seperti
Gambar
2: Wet Magnetic
Separator
terlihat dalam Tabel 1.
.

E-188

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 1. Distribusi ukuran partikel bijih besi


No
1
2
3
4
5
6
7

Ukuran Partikel (mesh)


-20 + 35
-35 + 60
-60 + 80
-80 + 100
-100 + 140
-140 + 250
-250
Jumlah

% Berat
13,35
31,46
21,17
16,23
6,44
3,72
8,11

Berat tertinggal (%)


13,35
44,81
65,94
82,11
88,61
91,89
100

100

Dalam percobaan konsentrasi bijih besi ini diutamakan pada proses konsentrasi dengan menggunakan magnetic
separator. Dua set magnetic separator dihubungkan secara seri dengan dua kali pengayaan untuk konsentrat . Konsentrat
dari magnetic separator I diumpankan kepada magnetic separator ke II, sedangkan tailing ditampung menjadi satu. Hasil
percobaan konsentrasi dengan magnetic separator pada densitas pulp 30 % padatan, dengan laju alir 120 lpm, putaran
drum magnetik 5 rpm.

No

Unsur

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Fe Tot
Fe2O3
SiO2
Al2O3
CaO
MgO
Mn2O3
TiO2
LOI

Tabel 2. Hasil Konsentrasi dengan Magnetic Separator 2 Tahap


% Berat
Keterangan
Bahan baku
Konsentrat
Tailing
34,572
58,685
7,106 Perolehan
49,389
82,162
10,152 (recovery) 90,4 %
26,078
9,458
48,572
12,732
5,121
25,169
7,682
2,533
9,833
0,979
0,092
2,485
0,632
0,008
0,654
1,387
0,641
2,103
1,121
0,006
0,153

Sisa Fe dalam tailing masih cukup besar seharusnya dapat diambil kembali dengan melakukan sekali lagi penggilingan
dan pemisahan, dari percobaan laboratorium bisa sampai tinggal 3 % Fe dalam tailing magnetik separator.

Kesimpulan
1.
2.

Bijih besi hematit yang biasanya sulit untuk dikonsentrasi, dengan melakukan magnetisasi dan pemisahan
secara magnet dapat dilakukan.
Dengan menggunakan dua kali konsentrasi dalam wet magnetic separator dapat dihasilkan konsentrat bijih
besi yang cukup baik dari bahan 34,5 % Fe menjadi konsentrat dengan kandungan 58,6 % Fe.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.

Metso Minerals, Wet Low Intensity Magnetic Separator Iron Ore Processing, Brochure No. 1163-08-08MBL/Sala, English
John G Rayner, T.J. Napier-Munn; A Mathematical model of concentrate solids content for the wet drum
magnetic separator, International Journal Minerals Processing 70 (2003) 53-65.
S. Song, S. Lu, A. Lopez-Valdivieso; Magnetic separation of hematite and limonite fines as hydrophobic flocs
from iron ores; Mineral Engineering 15 (2002) 415 422.

E-189

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-190

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Penerapan Desain Eksperimental Campuran Bahan Bakar Solar dan Waste Tire Oil
Terhadap Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Mesin Diesel Shangchai
1,2,3

Agus Miftahusholeh1, Saufik Luthfianto2, Mustaqim3


Program Studi Teknik Industri dan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Pancasakti Tegal
Jl. Halmahera Km. 1 Kota Tegal
Telepon: (0283) 324519
Email: tipancasakti@gmail.com
Abstrak
Produksi ban di Indonesia mengalami peningkatan yang terus menerus dari tahun ke tahun.
Seiring dengan peningkatan produksi ban tersebut maka menimbulkan menumpuknya limbah
ban bekas yang tidak terpakai semangkin meningkat. Maka dari itu diperlukan usaha untuk
menciptakan atau merubah sampah ban bekas ini menjadi sesuatu yang bermanfaat salah
satunya dengan memproses ban bekas ini melalui proses pirolisis menjadi bahan bakar cair.
Ban bekas merupakan jenis polimer sintesis polysterene dengan proses dipanaskan diatas
suhu 450C. Bahan bakar yang dihasilkan dari proses pirolisis, ban bekas yaitu waste tire
oil. waste tire oil merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari proses pirolisis, yang sifat
dan karakteristinya hampir sama seperti solar. Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk
mengetahui pengaruh campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap kepekatan
emisi gas buang pada putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm, kedua untuk mengetahui pengaruh
campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap konsumsi bahan bakar pada
putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm, ketiga untuk mengetahui pengaruh kepekatan emisi gas
buang pada putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm terhadap batas ambang toleransi yang
diperbolehkan. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode eksperimen
dengan desain ekperimental. Hasil penelitian ini adalah pertama pada pengujian kepekatan
emisi gas buang dengan putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm, nilai Fhitung = 18,763 >
Ftabel=3.01. kedua Pada pengujian konsumsi bahan bakar solar dengan putaran 2000, 2500
dan 3000 rpm, nilai Fhitung = 11,5 > Ftabel=3.01. Dengan semangkin bertambah campuran
waste tire oil, maka kepekatan gas buang yang dikeluarkan semangkin tinggi dan untuk
konsumsi bahan bakar semangkin boros. c) Batas ambang toleransi kepekatan emisi gas
buang yang diperbolehkan 25 % (Menurut Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP 35/MENLH/10/1993), dari hasil kepekatan gas buang pengujian ini 5,75%.
Sehingga pada pemakaian campuran bahan bakar solar dan waste tire oil dari B5 B20
masih ramah lingkungan dan dapat dijadikan sebagai alternatif bahan bakar pada mesin
diesel.
Kata Kunci : Desain eksperimental, Waste Tire Oil, Kepekatan Emisi Gas Buang, Konsumsi Bahan
Bakar.

Pendahuluan
Pada tahun 1892 sesorang bangsa jerman bernama Rodolf Diesel, merencanakan motor bakar jenis baru yang
tidak memerlukan busi untuk menyalakan bahan bakar. Motor tersebut direncanakan dengan mempergunakan
perbandingan komperasi yang tinggi, disamping itu bukan menggunakan campuran udara dan bensin melainkan hanya
udara segar saja yang dihisap masuk ke dalam silinder pada langkah hisap. Maka dengan mempergunakan perbandingan
komperasi yang tinggi dapatlah diperoleh temperatur udara yang tinggi pada akhir langkah hisap komperasi, sehingga
pada saat demikian disemprotkan bahan bakar berupa minyak solar atau minyak diesel ke dalam ruang bakar, dan bahan
bakar tersebut segera menyala atau terbakar tanpa memerlukan loncatan api dari busi sebagaimana pada motor bensin
umumnya. Selain digunakan pada mobil pribadi, mesin diesel juga digunakan pada bus, truk, tlaktor, kapal laut, kereta
api, pabrik pabrik atau industri besar dan sebagai tenaga penggerak pada pembangkit tenaga listrik. Prinsip kerja
motor diesel berbeda dengan prinsip kerja motor bensin, dalam motor bensin campuran bensin dan udara dinyalakan
oleh letusan api dari busi, sedangkan dalam motor diesel hanya udara yang dihisap ke dalam silinder yang kemudian
dikomperasikan. Proses pembakaran motor diesel berbeda dari motor bensin, pada motor bensin proses ini dapat
dimulai dari busi, sedangkan pada motor diesel proses ini dapat dimulai pada sembarang titik di dalam ruang bakar,
dimana terdapat campuran bahan bakar dan udara yang memungkinkan terjadinya penyalaan. Jadi, pada motor diesel
proses pembakaran tersebut dapat dimulai sekaligus pada beberapa tempat. ( Daryanto, 2004:12 )
E-191

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Adapun dalam Penelitian ini peneliti membatasi masalah. Pengaruh pemakaian campuran bahan bakar solar dan
waste tire oil terhadap kepekatan emisi gas buang pada mesin diesel shangchai. Untuk uji prestasi mesin lainnya tidak
diujikan.
Perumusan masalah::
1. Bagaimana pengaruh campuran bahan bakar solar dan waste tire oil tehadap kepekatan emisi gas buang pada
putaran 2000, 3000 dan 3000 rpm ?
2. Bagaimana pengaruh campuaran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap konsumsi bahan bakar pada putaran
2000, 2500 dan 3000 rpm ?
3. Apakah pengaruh kepekatan emisi gas buang pada putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm masih dalam batas ambang
toleransi yang diperbolehkan ?
Tujuan Penelitian:
1. Mengetahui campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap kepekatan emisi gas buang pada putaran 2000,
2500 dan 3000 rpm.
2. Mengetahui pengaruh campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap konsumsi bahan bakar pada putaran
2000, 2500 dan 3000 rpm.
3. Mengetahui pengaruh kepekatan emisi gas buang pada putaran 2000, 2500 dan 3000 terhadap batas ambang
toleransi yang diperbolehkan.
Manfaat Penelitian:
1. Memberikan informasi lebih jauh tentang bahan bakar biodiesel dari sampah ban bekas sebagai bahan alternatif.
2. Untuk memberikan informasi pengalaman, pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa dalam meneliti suatu bahan
yang kurang bernilai menjadi produk bermanfaat dan berkualitas.
3. Mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan energi alternatif.
Penelitian terdahulu:
1. Reska Damayanti dan Retno Martin (2009) menyatakan bahwa HY ditempatkan di bagian bawah dan ZSM-5 di
bagian atas reaktor. Gas yang dihasilkan dari pemanasan didinginkan untuk memperoleh bahan bakar cair. Cairan
terbanyak yang diperoleh dari pirolisis katalitik yaitu 17.7 ml, berasal dari ban bekas sebanyak 50 gr dan katalis
HY maupun ZSM-5 sebanyak 1.5 gr pada suhu 600C, dan hasil range dari difractogram GC untuk premium
optimum pada suhu 550C dengan berat katalis 1 gr. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa bahan karet ban bekas
jenis polystirene dapat diolah menjadi bahan bakar cair.
2. Markus Sumarsono (2008) menyatakan bahwa bahan bakar yang digunakan dalam pengujian adalah bahan bakar
solar murni dan campuran bahan bakar solar-minyak jarak pagar. Dalam hal ini minyak jarak pagar sebelum
dicampurkan, terlebih dahulu telah mendapat perlakuan penghilangan getah/ lendir dan penyaringan. Kemudian
dalam pencampuran solar dengan minyak jarak pagar, persentase minyak jarak ditentukan sebesar 0%, 10%, 30%,
50%, dan 100%.
3. Adly Havendri (2008) menyatakan bahwa Bahan bakar Biodisel minyak jarak Salah satu sumber minyak nabati
yang sangat prospektif untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel adalah hasil dari proses pengolahan biji
jarak pagar (Jatropha curcas L). Hal ini disebabkan karena minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori
minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya sebagai biodiesel tidak akan menganggu penyedian
kebutuhan minyak makan nasional, kebutuhan industri oleokimia, dan ekspor CPO. Dalam prakteknya, biodiesel
jarak pagar sering digunakan dengan cara membuat BBM campuran biodiesel jarak pagar dengan solar.
4. Seno Darmanto dan Ireng Sigit A (2006) menyatakan bahwa bahan bakar biodiesel minyak kelapa mempunyai
potensi besar untuk diaplikasikan sebagai bahan bakar pengganti minyak diesel/solar. Flash point dari biodiesel
kelapa lebih rendah dari pada solar. Nilai kalor bahan bakar biodiesel minyak kelapa setara dengan solar.
5. Mohammad Riansah dan Made Suardjaja Purnomo (2004) menyatakan bahwa komposisi bahan bakar emulsi
terdiri atas air dan minyak diesel pada perbandingan tertentu. Pemakaian bahan bakar emulsi diharapkan dapat
mereduksi emisi gas buang hasil pembakaran di dalam silinder mesin diesel dan memberikan karakterisitik yang
baik pada mesin diesel terhadap pemakaina bahan bakar.
Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan variasi campuran bahan bakar solar dan waste tire oil sebagai
pengganti solar yang nantinya akan diketahui pengaruhnya terhadap kepekatan emisi gas buang. Pentingnya
penghematan terhadap bahan bakar motor diesel yang menghasilkan pemabakaran yang ideal dan rendah pembakaran
yang ideal dan rendah emisi berarti turut mengurangi pemborosan energi dan melindungi lingkungan hidup dari
pencemaran.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain eksperimen. Dengan variabel penelitian sebagai
berikut: Variabel Bebas yaitu campuran antara minyak solar dengan waste tire oil dengan komposisi presentase volume,
Variabel Terikat yaitu kepekatan gas buang dari mesin diesel, Variabel kontrol yaitu putaran mesin (rpm) yaitu : 2000
rpm, 2500 rpm, dan 3000 rpm. Tempat Penelitian di lakukan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Transportasi Darat
Tegal.

E-192

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Hasil penelitian
1. Data Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm.
Tabel 1. Data Pengujian Kepekatan Emisi Gas Buang Putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm.
Campuran Bahan Bakar (%)
Kelompok
Total
putaran
B0
B5
B 10
B 15
B 20
2000 rpm
4,02
4,45
4,30
4,15
4,95
22,37
2500 rpm
4,04
5,10
4,65
4,95
5,25
24,19
3000 rpm
4,04
5,35
4,80
5,45
5,75
25,39
12,1
14,9
13,95
15,05
15,25
71,95
J
4,03
4,97
4,65
5,02
5,32
4,798
Y
Hasil Perhitungan Pengujian Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm Dengan
Menggunakan Anava.
Tabel 2. Anava Campuran Bahan Bakar Solar dan Waste Tire Oil

Sumber Keragaman DB
JK
KT

%
%
Kelompok
Perlakuan
Galat

4
4
8

0,926
2,85
0,304

0,232
0,713
0,038

18,763
-

Total

16

4,08

0,983

3.01

4.77

Kepekatan Emisi
Gas Buang (%)

Jadi karena Fhitung = 18,763 > Ftabel, maka kita memutuskan untuk menolak Ho. Hal ini berarti ada sebuah perbedaan
pengaruh pemakaian campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap putaran mesin (rpm). Berikut grafik
hubungan pengujian emisi gas buang pada masing-masing variasi bahan bakar dan putaran mesin dengan mesin
diesel.

Grafik Hubungan antara Variasi Campuran


BB vc Kepekatan Emisi Gas Buang
10
5

2000 rpm

0
B0

B5

B10

B15

B20

2500 rpm
3000 rpm

Variasi Campuran Bahan Bakar


Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Pengujian Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Putaran 2000,2500 dan 3000 rpm.
Dari gambar 1. di atas menunjukan bahwa penggunaan variasi campuran bahan bakar yang paling ramah
lingkungan adalah pada variasi B0. Penggunaan campuran bahan bakar waste tire oil menunjukan hasil kepekatan
gas buang yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar murni. Hal ini dikarenakan nilai kandungan residu karbon
dan sulfur content lebih tinggi dibandingkan dengan solar murni. Titik nyala waste tire oil yang rendah
menyebabkan proses pembakaran terlalu dini sehingga mengakibatkan kepekatan gas buang semangkin tinggi.
Batas ambang toleransi kepekatan gas buang yang diperbolehkan adalah 25% (Menurut Keputusan Mentri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: KEP 35/MENLH/10/1993), sedangkan hasil tertinggi kepekatan gas buang pada
pengujian ini pada variasi B20 dengan putaran 3000 rpm dengan kepekatan 5.75 %. Sehingga penggunaan
campuran bahan bakar solar dan waste tire oil dari mulai B5 sampai B20 masih ramah lingkungan dan dapat
digunakan sebagai alternatif bahan bakar bagi mesin diesel.

E-193

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

2. Data Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar Per 10 cc Pada Putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm.
Tabel 3. Data Pengujian Konsumsi Bahan Bakar Per 10 cc Pada Putaran 2000,2500 dan 3000 rpm.
Kombinasi Perlakuan Campuran Bahan Bakar
Kelompok
Total
Putaran
B0
B5
B 10
B 15
B 20
2000 rpm
0,170
0,175
0,171
0,174
0,177
0,867
2500 rpm
0,237
0,251
0,239
0,255
0,259
1,241
3000 rpm
0,347
0,354
0,348
0,367
0,379
1,795
0,754
0,78
0,758
0,796
0,815
3,903
J
0,251
0,26
0,264
0,265
0,271
1,311
Y
Hasil Perhitungan Pengujian Konsumsi Bahan Bakar Per 10 cc Pada Putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm Dengan
Menggunakan Anova.
Tabel 4. Anava Konsumsi Bahan Bakar Per 10 cc

Sumber Keragaman DB
JK
KT

%
%
Kelompok
Perlakuan
Galat

4
4
8

0,0868
0,0006
0,0008

0,0217
0,00015
0,0001

11,5
-

Total

16

0,0882

0,02195

3.01

4.77

Konsumsi Bahan
Bakar (m/s)

Jadi karena Fhitung = 1,5 > Ftabel, maka kita memutuskan untuk menolak Ho. Hal ini berarti ada sebuah perbedaan
hasil konsumsi bahan bakar terhadap campuran solar dan waste tire oil pada putaran mesin (rpm). Berikut ini
grafik hasil hubungan antara campuran variasi bahan bakar dan pengujian konsumsi bahan bakar per 10 ml pada
putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm.

Grafik Hubungan Antara Variasi Campuran


BB dan Konsumsi BB
0,5

2000

0
B0

B5

B10

B15

B20

Variasi Campuaran Bahan Bakar

2500
3000

Gambar 2. Variasi Campuran BB dan Konsumsi BB


Melihat dari gambar 2. di atas menunjukan bahwa konsumsi bahan bakar dari masing masing variasi campuran
bahan bakar menunjukan konsumsi yang paling irit adalah variasi B0 dimasing masing putaran mesin. Grafik
pada semua putaran menunjukan aliran dari B0 naik ke B20 seiring bertambahnya campuran waste tire oil.
Penggunaan campuran bahan bakar waste tire oil menunjukan hasil konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan solar murni. Hal ini dengan besarnya volume bahan bakar tiap satuan waktu berbanding
lurus dengan konsumsi bahan bakar, sehingga semangkin besar volume bahan bakar yang berinjeksi ke ruang
bakar semakin besar pula konsumsi bahan bakar.
Kesimpulan
Berdasarkan dari data hasil pengujian analisa dan perhitungan Pengaruh Pemakaian Campuran Bahan Bakar Solar
dan Waste Tire Oil Terhadap Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Mesin Diesel Shangchai, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Hasil pengujian kepekatan emisi gas buang pada putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm terhadap campuran bahan bakar
pada variasi B0, B5, B10, B15 dan B20.
a. Menujukan ada perbedaan pengaruh pemakaian campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap
putaran mesin, hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan Fhitung 18,763 > Ftabel, maka kita untuk menolak Ho.
b. Dari hasil pengujian kepekatan emisi gas buang menunjukan dengan bertambahnya kandungan bahan bakar
waste tire oil dan putaran mesin yang bervariasi, maka hasil kepekatan emisi gas buang semangkin tinggi.
Sedangkan dari hasil tertinggi kepekatan emisi gas buang dalam pengujian ini adalah 5,75 %. Hal ini
dikarenakan kandungan residu karbon pada waste tire oil tinggi, maka asap kepekatan emisi yang keluar
semangkin banyak.

E-194

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

2. Hasil pengujian konsumsi bahan bakar per 10 cc pada putaran 2000, 2500 dan 3000 rpm terhadap campuran bahan
bakar pada variasi B0, B5, B10, B15 dan B20.
a. Menujukan ada perbedaan pengaruh pemakaian campuran bahan bakar solar dan waste tire oil terhadap
putaran mesin, hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan Fhitung = 1,5 > Ftabel, maka kita untuk memutuskan
menolak Ho.
b. Dari hasil pengujian konsumsi bahan bakar menunjukan adanya pengaruh pemakaian campuran variasi bahan
bakar solar dan waste tire oil dengan putaran mesin. Dengan semangkin banyak campuran bahan bakar waste
tire oil dan putaran mesin yang bervariasi maka konsumsi bahan bakar semangkin boros.
3. Batas ambang toleransi pengujian kepekatan emisi gas buang
Batas ambang toleransi kepekatan emisi gas buang yang diperbolehkan adalah 25 % (Menurut Keputusan
Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 35/MENLH/10/1993), sedangkan hasil tertinggi kepekatan gas
buang pada pengujian ini 5,75 %. Sehingga penggunaan campuran bahan bakar solar dan waste tire oil mulai B
5 - B 20 masih ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif bagi mesin diesel.
Daftar Pustaka
[1] Daryanto, Drs. 2004. Motor Diesel. Bandung : CV. Yrama Widhya.
[2] Damayanti Reska dan Retno Martini. 2009. Proses Pembuatan bahan Bakar Cair Dengan Memanfaatkan Limbah
Ban Bekas Menggunakan Katalis Zeolit dan ZSM-5. Semarang: Universitas Diponegoro. Available from url
:www.undip.ac.id. Diunduh Tanggal 24 Juli 2011. Jam 15:29 Wib.
[3] Havendri Adly. 2008 . Kaji Experimental Prestasi dan Emisi Gas Buang Motor Bakar Diesel Menggunakan
Variasi Campuran Bahan Bakar Biodiesel Minyak Jarak (Jatropa Curcus L) Dengan Solar. Padang : Universitas
Andalas. Diunduh Tanggal 25 Juli 2011, Jam 21.25 Wib.
[4] I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, 2003. Dampak Penggunaan Alat Penurunan Emisi Gas Buang Co Terhadap Daya
Efektif Dan Konsumsi Bahan Bakar Spesifik Pada Motor Bensin 4 Langkah Dengan Volume Silinder 100 Cc.
Bukit Jambaran, Bali : Universitas Udayana. Available from url: http://library.gunadarma.ac.id. Diunduh Tanggal
23 Agustus 2011. Jam 20:21 Wib.
[5] Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 35/MENLH/10/1993.
http://www.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1109111.pdf. Diunduh Tanggal 21 April 2012. Jam 16:27 Wib.
[6] Maleev, V. 1995. Operasi dan Pemeliharan Mesin Diesel. Jakarta : Erlangga.
[7] Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, 2011. Pirolisis Ban Bekas Sebuah Cara Efisien Mengestrak Energi Dari
Ban Bekas. Available from url : http://jfe.pyropeject.blogspot.com. Diunduh Tanggal 22 Juli 2011. Jam 10:35
Wib.
[8] Riansah Mohammad dan Made Suardjaja beserta Purnomo, 2009. Pengaruh Persentase Air Pada bahan Bakar
Emulsi Solar Air (Emul Sified Diesel Fuel) Terhadap Karakteristrik Mesin Diesel Dan Emisi Gas Buang. Teknik
Mesin
Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada.
Available
from
url
:
http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=6457. Diunduh Tanggal 25 Juli 2011. Jam 20:18 Wib.
[9] Seno Darmanto dan Ireng Sigit. 2006. Analisa Biodiesel Minyak Kelapa Sebagai Bahan Bakar Alternatif Minyak
Diesel. Semarang: Universitas Diponegoro.PTK.http://www.mesinunimus.files.wordpress.com. Diunduh Tanggal
18 Agustus 2011. Jam 11.30 Wib.
[10] Subekti Purwo. 2009. Pengaruh Penggunaan Media Penyerap Gas Buang Pada Alat Pengendali Pencemaran
Udara Untuk Kendaran Bermesin Diesel.Staf Pengajar Politeknik Pasir Pengaraian. Available from url :
www.lipi.go.id/admin/jurnal/1109111.pdf. Diunduh Tanggal 21 April 2012. Jam 16:27 Wib.
[11] Sumarsono Markus.2008. Analisa Pengaruh Campuran bahan Bakar Solar-Minyak Jarak Pagar Pada Kinerja
Motor Diesel Dan Emisi Gas Buang. Penelitian di Balai Besar Teknologi Energi. Available from url:
http://ejurnal.bppt.go.id. Diunduh Tanggal 25 Juli 2011. Jam 19:53 Wib.

E-195

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-196

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pembuatan Keramik Yang Memiliki Sifat Logam


Solihin
Pusat Penelitian Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan 15314 Banten
e-mail: solihin@lipi.go.id
Abstrak
Keramik adalah material yang dikenal memiliki kekerasan tinggi, titik leleh tingi, getas pada
temperatur rendah, tahan terhadap deformasi pada suhu tinggi, serta memiliki daya hantar
listrik dan panas yang rendah. Di sisi lain, logam, jika dibandingkan dengan keramik,
dikenal memiliki kekerasan lebih rendah, titik leleh lebih rendah, ulet, tidak tahan terhadap
deformasi pada temperatur tinggi, serta memiliki daya hantar panas dan listrik yang tinggi.
Salah satu material yang memiliki sifat keramik dan logam adalah Titanium Silikon Karbida
(Ti3SiC2). Layaknya keramik, titanium silikon karbida memiliki titik leleh yang sangat tinggi,
sehingga bisa digunakan pada aplikasi yang memerlukan ketahanan pada temperatur tinggi.
Sementara itu, layaknya logam, titanium silikon karbida memiliki daya hantar listrik dan
panas yang tinggi sehingga bisa digunakan pada aplikasi yang memerlukan daya hantar
listrik dan panas yang tinggi. Titanium silikon karbida telah diproduksi dengan
menggunakan berbagai macam teknik, diantaranya adalah chemical vapour deposition dan
high pressure compactionpada temperatur proses yang tinggi (1300 1600 oC). Berbagai
bahan baku telah digunakan untuk membuat material ini, umumnya adalah bahan yang
mengandung unsur Ti, Si dan C. Karakterisasi terhadap material yang telah diproduksi
menggunakan terknik kompaksi menunjukan titanium silikon karbida dengan kemurnian yang
tinggi. Kemurnian material ternyata dipengaruhi oleh jenis bahan baku dan proses yang
digunakan. Penelusuran terhadap mekanisme proses pembentukan titanium silikon karbida
pada temperatur tinggi menunjukan bahwa bahan baku yang terbaik adalah kombinasi
antara titanium, titanium karbida dan karbon. Selain produk titanium silikon karbida dengan
kemurnian yang tinggi juga dimungkinkan pembentukan komposit dari berbagai fasa untuk
rekayasa sifat fisik material tersebut.
Kata Kunci: Keramik, Titanium Silikon Karbida, Sintering, Temperatur Tinggi

Pendahuluan
Keramik didefinisikan sebagai senyawa padatan yang dibentuk melalui proses pemanasan, kadang disertai dengan
tekanan, yang terdiri dari setidaknya dua unsur yang terdiri dari unsur non-logam/non-logam atau non-logam/logam [1].
Keramik dikenal sebagai kelompok material yang memiliki titik leleh yang sangat tinggi, memiliki konduktivitas panas
dan listrik yang rendah. Tingginya titik leleh membuat keramik banyak digunakan sebagai refraktori pada tanur yang
beroperasi pada temperatur tinggi. Rendahnya konduktivitas panas membuat keramik banyak digunakan sebagai
insulator. Selain itu, keramik juga dikenal sebagai material yang memiliki nilai kekerasan tinggi sehingga banyak
digunakan sebagai material untuk cutting tools, aberasive dan polishing. Sementara itu, logam didefiniskan sebagai
material dengan sifat kepemilikan bersama elektron dalam awan elektron sehingga bersifat konduktor. Logam tertentu
banyak digunakan sebagai konduktor, baik konduktor listrik ataupun konduktor panas. Selain itu, logam dikenal
memiliki titik leleh yang lebih rendah dibanding keramik dan mampu bentuk yang tinggi sehingga banyak digunakan
sebagai bahan baku dalam industri manufaktur untuk berbagai produk [2-4].
Pada penggunaan tertentu, diperlukan material yang memiliki gabungan dari sifat-sifat keramik dan logam, seperti
aplikasi sebagai elektrode pada electric arc furnace. Pada penggunaan tersebut diperlukan material yang memiliki
konduktivitas listrik yang tinggi tetapi memiliki titik leleh yang tinggi dan ketahanan pada temperatur tinggi. Salah satu
material yang memiliki gabungan sifat-sifat logam dan keramik adalah titanium silikon karbida, dan tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji pembuatan dan karakterisasi material tersebut.
Pengkajian Sifat Fisik Titanium Silikon Karbida
Sifat-sifat fisik titanium silikon karbida diperlihatkan pada Tabel 1. Titanium silikon karbida adalah material yang
relatif ringan. Densitasnya lebih rendah dari nikel dan tembaga (8,9 gram/cm3), besi (7,9 gram/cm3), dan timah (7,3
gram/cm3). Keramik ini memiliki densitas hampir sama dengan titanium (4.5 gram/cm3) sehingga diperlukan lebih
E-197

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

sedikit material untuk keperluan yang memerlukan sifat fisik yang setara. Sementara itu, Tabel 2 menunjukan bahwa
titanium silikon karbida memiliki resistivitas listrik lebih tinggi dari tembaga tetapi lebih rendah dari titanium, baja
tahan karat, dan jauh lenih rendah dibanding keramik konvensional lain. Oleh karena itu sangatlah jelas bahwa keramik
ini bisa digunakan sebagai material konduktor walaupun konduktivitasnya tidak setinggi tembaga.
Tabel 1. Sifat Fisik Titanium Silikon Karbida[

Tabel 2. Resistivitas Listrik Beberapa Material


Electrical Resistivity
Material
10 -6 (Ohm-cm)
Cu
1,7
Ti3SiC2
22,2
Ti (metal)
55,4
MoC
97
Stainless Steel
69,5 108
TiC (keramik)
180 250
Al2O3
250 x 1012 1 x 1020
Tabel 2. Sifat Mekanik dari Beberapa Material [5]
Yield Strength
Hardness
Material
(Mpa)
(HRC)
SiC
460
23
Al2O3

220

22

TiC

258

22

SS 651

241

15

Monel

240

Hasteloy

179

11

Ti3SiC2

130

Dalam hal sifat mekanik, titanium silikon karbida memiliki yield strength yang jauh lebih rendah dari keramik
konvensional nikel karbida, alumunium oksida dan titanium karbida. Bahkan titanium silikon karbida juga memiliki
yield strength yang lebih rendah dari baja tahan karat, hastelloy dan monel. Sementara itu. Kekerasan titanium silikon
karbida juga memiliki kekerasan yang jauh lebih rendah dari keramik konvensional lain, bahkan lebih rendah dari baja
tahan karat dan paduan lainnya. Hal ini menjadikan titanium silikon karbida menjadi machinable ceramic, atau keramik
yang memiliki mampu mesin tinggi.
E-198

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Percobaan
Titanium silikon karbida diproduksi menggunakan bahan baku titanium (Ti), silikon karbida (SiC) dan grafit (C) (Wako
Chemicals). Kemurnian masing-masing bahan tersebut adalah diatas 99 %. Masing-masing bahan tersebut ditempatkan
dalam cetakan yang ditempatkan di dalam peralatan Plasma Discharge Sintering. Sampel disinter dengan tekanan 800
kgf dan temperatur 1300 oC pada atmosfer yang sangat vakum dengan waktu yang divariasikan, antara 15 120 menit.

Gambar 1. Skema Peralatan Plasma Discharge Sintering


Analisa terhadap sampel menggunakan peralatan X-Ray Diffratometer (XRD) melalui radiasi CuK-alpha. Sedangkan
analisa morfologi dan komposisi struktur mikro dilakukan melalui peralatan Scanning Electron Mictroscope (SEM).

Pembahasan Hasil Percobaan


Gambar 2 menunjukan pola difraksi sinar-X dari sampel yang disinter pada temperatur 1300 oC dengan waktu yang
divariasikan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pembentukan titanium silikon karbida sudah terjadi setelah menit ke
15. Fasa-fasa yang terlihat selama proses pembentukan titanium silikon karbida adalah Ti3SiC2, TiS2 dan TiCx. Hal ini
menunjukan bahwa telah terjadi suatu reaksi kimia antar padatan dimana silikon karbida terurai menjadi silikon dan
karbon yang kemudian bereaksi dengan titanium membentuk titanium silisida dan titanium karbida. Dengan
bertambahnya waktu intensitas fasa titanium silikon karbida tidak bertambah secara signifikan. Hal ini menunjukan
bahwa reaksi telah berlangsung dengan sempurna setelah lima belas menit. Titanium silisida dan titanium karbida yang
terbentuk terlalu stabil untuk terdekomposisi dan bereaksi membentuk titanium silikon karbida pada temperatur ini.

Gambar 2. Pola XRD dari sampel hasil sintering pada 1300 oC dan waktu 15, 60 dan 120 menit.
Gambar 3 menunjukan pola difraksi sinar-X dari sampel yang disinter pada berbagai temperatur. Pada temperatur 700
800 oC terlihat masih terdapat fasa silikon karbida dan tiitanium. Hal ini menunjukan bahwa pada temperatur tersebut
sebagian besar silikon karbida masih belum terdekomposisi. Tetapi pada temperatur 800 oC terlihat sedikit fasa titanium
silisida, yang mengindikasikan terjadinya sedikit dekomposisi silikon dari silikon karbida yang selanjutnya bereaksi
dengan titanium dan karbon membentuk titanium silisida dan titanium karbida. Dan pada 900 oC reaksi dekomposisi
terjadi dengan sempurna yang dibuktikan oleh pola difraksi sampel yang disinter pada temperatur 900 oC dalam Gambar
E-199

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012
3, dimana pada temperatur tersebut tidak ditemukan lagi fasa silikon karbida. Pada temperatur 900 oC ini ditemukan
fasa titanium silisida dan titanium karbida, dan tidak ditemukan fasa lainnya. Hal ini sesuai dengan yang telah
diprediksi oleh para peneliti sebelumnya [5,6]. Maka pada temperatur tersebut, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
SiC Si + C

(1)

Ti + Si Ti5Si3

(2)

Ti + C TiC

(3)

Reaksi yang pertama kali terjadi adalah reaksi dekomposisi silikon karbida. Silikon dan karbon yang berada dalam
kondisi aktif kemudian akan bereaksi dengan titanium membentuk titanium silisida dan titanium karbida. Terdapat
kemungkinan pembentukan titanium silikon karbida pada temperatur ini tetapi dengan jumlah yang amat sedikit karena
tidak terdeteksi oleh peralatan XRD. Intensitas titanium silikon karbida baru dapat terdeteksi dengan signifikan pada
temperatur 1000 oC. Pada temperatur tersebut juga masih didapat fasa titanium karbida dan titanium silisida, tetapi fasa
ini kemudian berkurang dengan naiknya temperatur. Dan akhirnya pada temperatur 1300 oC didapat fasa dominan
titanium silikon karbida yang berkomposit dengan fasa titanium karbida dan sedikit titanium silisida.

Gambar 3. Pola XRD dari sampel yang disinter pada berbagai temperatur

Gambar 4. Hasil Sintering pada Temperatur 1300 oC


Gambar 4 menunjukan morfologi dari sampel hasil sintering pada 1300 oC. Terlihat bahwa morofologi sampel
didominasi oleh matriks titanium silikon karbida dengan dispersi titanium karbida. Hasil pengamatan melalui SEM ini
sesuai dengan hasil pengamatan melalui XRD dimana pada temperatur ini fasa dominan adalah titanium silikon karbida
dan titanium karbida. Dengan kedua pengamatan ini maka dapat disimpulkan bahwa reaksi antar padatan pada 1300 oC
akan menghasilkan komposit titanium silikon karbida dan titanium karbida.
Kesimpulan
Titanium karbida dapat diproduksi dari campuran bahan baku titanium, silikon karbida dan grafit. Pembentukan
titanium karbida terjadi melalui dekomposisi silikon karbida yang mulai terjadi pada temperatur 800 oC, kemudian
E-200

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

diikuti oleh reaksi antar padatan membentuk titanium karbida dan titanium silisida yang mulai terjadi pada temperatur
900 oC. Pada temperatur 1100 -1300 oC terjadi reaksi pembentukan titanium silikon karbida. Hasil akhir yang didapat
adalah komposit dengan matriks titanium silikon karbida dengan fasa terdispersi titanium karbida.

Daftar Pustaka
[1] Barsoum, Fundamentals of Ceramic, ISBN 0 7503 0902 4, IOP Publishing Ltd, Philadelphia, USA 2003
[2] Marciniak Z, Duncan JL, Mechanics of Sheet Metal Forming, ISBN 0 7506 5300 0, Butterworth-Heinemann,
Oxford, 2002
[3] Soboyejo W, Mechanical Properties of Engineered Materials, ISBN: 0-8247-8900-8, Marcel Dekker, New York,
2002
[4] Ashby MF, Materials Selection in Mechanical Design, ISBN 0 7506 4357 9, Butterworth-Heinemann, Oxford,
2000.
[5] Solihin, Tinjauan Variasi Metode dan Bahan Baku untuk Memproduksi Ti3SiC2, Prosiding Seminar Nasional
Kimia Terapan, 2011.
[6] Amer M, Barsoum M, The Raman spectrum of Ti3SiC2, Journal Of Applied Physics, Volume 84: 10, 1998

E-201

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

E-202

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Ekstraksi Tungsten Dengan Teknik Mekanokimia


Solihin
Pusat Penelitian Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan 15314 Banten
e-mail: solihin@lipi.go.id
Abstrak
Teknik mekanokimia dikenal sebagai teknik yang memungkinkan terjadinya reaksi dengan energi
mekanik. Salah satu penggunaan teknik mekanokimia adalah untuk mengekstrak tungsten dari
mineral scheelite. Dengan teknik ini, digabungkan dengan pemanasan, ion tungstate dapat dipisahkan
dari scheelite. Proses ini tidak menggunakan zat-zat yang berbahaya dan dilakukan pada temperatur
rendah sehingga relatif lebih ramah lingkungan. Hasil pengamatan terhadap sampel yang diproses
dengan teknik mekanokimia menunjukan terjadinya reaksi pembentukan sodium tungstate pada
temperatur rendah. Pemanasan selanjutnya menunjukan peningkatan sodium tungstate yang kemudian
dapat dipisahkan dari pengotor hanya dengan leaching menggunakan air biasa. Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam proses ini adalah lama waktu proses mekanokimia, intensitas energi
mekanokimia, temperatur pemanasan, dan rasio reaktan. Diantara semua faktor ini, rasio reaktan
menunjukan sebagai faktor yang dominan. Persen ekstraksi tungsten maksimal yang didapat adalah
sekitar 70 %.
Kata Kunci:Tungsten, Scheelite, Mekanokimia, High Energy Mill

Pendahuluan
Tungsten adalah material yang banyak digunakan pada berbagai penggunaan. Tungsten digunakan sebagai filamen
pada lampu bohlam konvensional, kontak elektrik pada peralatan listrik, bahan elektrode pengelasan TIG, unsur paduan
dalam baja dan lain-lain. Adanya tungsten dalam besi dan baja juga berfungsi untuk menaikkan resistansi listrik [1].
Tungsten diekstrak dari bijih atau mineralnya melalui serangkai proses mineral dressing seperti klasifikasi, flotasi
dan pelarutan menggunakan larutan basa untuk menghasilkan larutan tungstate yang selanjutnya bisa dikalsinasi dan
dilebur [2,3]. Cara ini cukup berhasil untuk mengekstrak tungsten dari mineralnya., tetapi proses mineral dressing yang
panjang disertai penggunaan senyawa alkali yang sensitif terhadap kulit manusia memnyebabkan proses ini kurang
ramah lingkungan. Salah satu alternatif proses yang layak dicoba adalah proses ekstraksi tungsten melalui teknik
mekanokimia. Dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat proses ekstraksi nikel dengan teknik mekanokimia.
Percobaan
Bijih tungsten yang digunakan dalam percobaan ini adalah mineral Scheelite yang sudah dimurnikan oleh Wako
Chemicals Japan. Sodium sililkat yang digunakan dalam percobaan ini juga diproduksi oleh Wako Chemicals Japan.
Kemurnian scheelite dan sodium silikat adalah di atas 99 %. Reaksi mekanokimia digenerasi melalui peralatan milling,
sedang pemanasan dilakukan dalam muffle furnace. Fasa-fasa pada sampel awal dan sampel hasil proses dianalisa
melalui peralatan XRD menggunakan radiasi CuK-alpha. Sementara konsentrasi tungsten dalam larutan dianalisa
menggunakan ICP.
Pembahasan
Hasil proses mekanokimia pada sampel ditunjukan pada Gambar 1. Terlihat bahwa reaksi kimia pembentukan
sodium tungstate dari mineral scheelite telah terjadi melalui reaksi mekanokimia pada temperatur kamar. Selain fasa
awal mineral scheelite juga ditemukan fasa sodium tungstate. Sedangkan fasa lainnya, kemungkinan sodium silikat,
berada dalam kondisi amorphous sehingga tidak dapat terdeteksi oleh peralatan XRD. Untuk mengkonversi semua
mineral scheelite di dalam sampel diperlukan langkah selanjutnya yakni pemanasan.
Proses ekstraksi nikel melalui jalur mekanokimia adalah dimulai dengan mereaksikan sodium silikat dengan
scheelite untuk menghasilkan sodium tungstate. Perubahan energi bebas Gibbs untuk reaksi tersebut telah dihitung dan
hasilnya ditabulasikan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa, dari temperatur kamar sampai
temperatur sekitar 573 oC, perubahan energi bebas Gibbs memiliki slope yang landai. Sedangkan pada range temperatur
573 sampai 800 oC terjadi penurunan esktrim energi bebas Gibbs. Hal ini menadakan bahwa telah terjadi peningkatan
aktivasi masing-masing spesi dalam sistem sampai akhirnya terjadi reaksi kesetimbangan pada temperatur sekitar 800
o
C. Kenaikan temperatur setelah 800 oC mengakibatkann perubahan energi bebas menjadi negatif, yang
mengindikasikan bahwa pada temperatur di atas 800 oC reaksi pembentukan sodium tungstate akan berlangsung
spontan.

E-203

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil perhitungan perubahan energi bebas Gibbs ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil analisa DTA terhadap
sampel seperti yang ditunjukan pada Gambar 3. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa terjadi reaksi pada rentang
temperatur 750 950 oC. Perbedaan dengan perhitungan lebih disebabkan kemungkinan adanya unsur lain yang ikut
bereaksi dalam sampel sebenarnya. Dalam gambar tersebut juga terlihat adanya reaksi pada temperatur sekitar 100 oC.
Reaksi tersebut adalah reaksi penguapan air yang terkandung dalam sampel. Reaksi penguapan ini juga dapat
dikonfirmasi melalui kurva TG yang juga dimuat pada Gambar 3.

Gambar 1. Pola XRD hasil reaksi mekanokimia.

Gambar 2. Energi bebas Gibbs reaksi konversi scheelite

Gambar 3. Hasil uji DTA terhadap sampel


Setelah proses milling dan pemanasan didapat dua fasa yang terpisah yakni fasa gelas dan fasa tungstate. Ilustrasi
visual dari dua fasa tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Fasa tungstate terkonsentrasi di tengah-tengah permukaan
fasa gelas. Mekanisme ini mirip dengan proses pemisahan fasa slag-fasa logam pada peleburan bijih besi atau non-ferro

E-204

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

dengan pengecualian fasa tungstate justru berada di atas fasa gelas. Berat jenis sodium tungstate yang lebih besar dari
kalsium silikat mengarahkan pada kesimpulan bahwa proses pemisahan lebih karena gaya kohesi antar partikel
tungstate yang lebih besar dari adhesi partikel tungstate dengan kalsium silikat. Selain itu, terdapat juga kemungkinan
pertumbuhan tungstate pada precursor awal yang menyebabkan tungstate terkonsentrasi di tengah fasa gelas.

Gambar 4. Kondisi Sampel Setelah Pemanasan

Gambar 5. Pola XRD Fasa Tungstate

Gambar 6. Pola XRD Fasa Gelas


Analisa XRD terhadap masing-masing fasa ditampilkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Di dalam fasa tungstate,
terdapat fasa gelas selain fasa tungstate yang dominan, sedangkan di dalam fasa gelas terdapat juga fasa tungstate.
Proses pembentukan sodium tungstate adalah hasil reaksi kimia antar padatan yang sebelum dan sesudahnya disertai
proses difusi reaktan dan hasil reaksi. Sodium tungstate yang dihasilkan akan bergerak menuju precursor tungstate yang
sudah terbentuk. Sebagian partikel sodium tungstate kemungkinan terjebak di dalam partikel gelas karena proses karena
adanya perlambatan difusi saat molekul gelas sudah tercipta. Hal sebaliknya juga terjadi pada kalsium silikat sebagai
hasil reaksi. Hasil proses mekanokimia dan pemanasan telah berhasil mengekstrak 70 % tungsten dari mineral scheelite.

E-205

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Kesimpulan
Tungsten yang merupakan unsur yang digunakan dalam berbagai aplikasi dapat diekstrak dari mineral scheelite melalui
teknik mekanokimia dan pemanasan. Reaksi pembentukan tungstate terjadi pada rentang temperatur 800-900 oC.
Sodium tungstate yang terbentuk kemudian terkonsentrasi pada fasa tungstate sedangkan fasa gelas menampung
kalsium silikat. Melalui proses ini sekitar 70% tungsten dapat diekstrak dari mineral scheelite.
Daftar Pustaka
[1] Dietrich DW, Magnetically Soft Materials, ASM Vol. 2 : Properties and Selection: Non Ferrous Alloys and
Special Purpose Materials, ASM , 2000
[2] Martins JI, A Moreira,SC Costa, Hydrometallurgy 70 (2003) 131141.
[3] Grmen S, S Timur, C Arslan,I Duman, Scandinavian Journal of Metallurgy, (31)221-228
[4] Solihin, T. Shiokawa, H. Suginobe, J. Kano, N. Sato, S. Suzuki and F. Saito, A New Process for Extracting
Tungsten from Scheelite by Means of Mechanochemistry and Heat Treatment, Proceding of Japan Institute of
Mining and Metallurgy Seminar, 2005.

E-206

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Prospek Pembuatan Nickel Pig Iron Di Indonesia


Solihin
Pusat Penelitian Metalurgi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan 15314 Banten
e-mail: solihin@lipi.go.id
Abstrak
Nickel pig iron (NPI) merupakan jenis besi mentah yang mengandung nikel antara 4 % sampai 15 %
sesuai kelas NPI tersebut. Bahan baku nickel pig iron adalah bijih nikel kadar rendah atau campuran
antara bijih nikel kadar rendah dan kadar tinggi. Bijih nikel kadar rendah merupakan produk
sampingan dari proses penambangan bijih nikel kadar tinggi. Sampai saat ini, bijih nikel kadar
rendah tidak diproses di Indonesia dan diekspor ke luar negeri sebagai bahan campuran. Terbitnya
UU Minerba No. 4 tahun 2009 dan disusul dengan UU Minerba No. 7 tahun 2012 yang melarang
ekspor bijih mentah serta mensyaratkan kandungan logam berharga minimal dalam produk olahan,
mendatangkan kebutuhan akan pendirian pabrik pengolahan mineral Indonesia, terutama bijih nikel
kadar rendah. Studi lebih lanjut tentang prediksi perkembangan kebutuhan stainless steel yang sangat
mengkonsumsi nikel membuat pendirian pabrik pengolahan nickel pig iron menjadi sangat penting.
Proses yang cocok untuk mengolah bijih nikel kadar rendah dalam jalur pirometalurgi
adalah proses blast furnace. Dalam proses ini, bijih nikel kadar rendah direduksi langsung
menggunakan kokas. Reaksi yang berlangsung di dalam zona stack blast furnace adalah reduksi
bertahap besi oksida dan reduksi satu tahap nikel oksida. Sedangkan dalam zona heart terdapat reaksi
pemisahan fasa logam dan fasa slag dimana sebagian besar besi dan nikel masuk ke fasa logam
sehingga menghasilkan cairan nickel pig iron, sedangkan silikon dan kalsium oksida memasuki fasa
terak. Salah satu model komposisi bijih nikel kadar rendah telah dikaji untuk menentukan kelas nickel
pig iron yang dihasilkan. Hasilnya pengkajian adalah bahwa kelas nickel pig iron yang dihasilkan
sangat tergantung pada kadar nikel dalam bijih. Selain itu, komposisi unsur-unsur nikel, besi, silikon,
dan alumunium menentukan konsumsi kokas yang pada gilirannya menentukan kesetimbangan antara
nilai ekonomi nikel yang dihasilkan dengan biaya proses pembuatan nickel pig iron.
Kata Kunci:Bijih Nikel, Nickel Pig Iron, blast furnace

Pendahuluan
Nikel merupakan unsur yang sangat penting dalam dunia modern. Nikel digunakan sebagai unsur pemadu dalam baja
tahan karat, baja paduan lain, paduan non-ferro, elektroplating, baterai dan lain-lain. Sebagian besar produksi nikel
dunia terserap oleh industri baja tahan karat (65%) dan paduan non-ferro (12,5%) [1] seperti yang diperlihatkan oleh
Gambar 1. Dimasa mendatang kebutuhan nikel diprediksi akan semakin meningkat karena munculnya kebutuhan baru
sebagai bahan baku baterai untuk mobil listrik. International Stainless Steel Forum (ISSF) memperkirakan bahwa
kebutuhan nikel diperkirakan akan meningkat dari sekitar 30 juta ton pada tahun 2012 menjadi 45 juta ton pada tahun
2020 [2].

Gambar 1. Perbandingan penggunaan nikel pada berbagai aplikasi [1].


Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Nikel merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki
Indonesia. Endapan bijih nikel banyak terdapat di Indonesia bagian Timur sekitar Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan
sebagian Pulau Papua. Indonesia diperkirakan memiliki cadangan nikel 12 % dari cadangan dunia [3] seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.

E-207

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 2. Persentase Cadangan Nikel Dunia [3]


Bijih nikel yang terdapat di Indonesia merupakan bijih jenis laterit yang terdiri dari berbagai lapisan yang memiliki
konsentrasi unsur-unsur berbeda. Ilsutrasi dari lapisan-lapisan tersebut diperlihatkan pada Gambar 3. Di alam, bijih
nikel laterit terdiri dari iron cap, limonit, saprolit, dan bed rock. Iron cap adalah lapisan bijih yang mengandung banyak
besi dan amat sedikit nikel (di bawah 0.5 %), sedangkan limonit adalah lapisan bijih nikel yang mengandung nikel
sekitar 0,5 - 1.5 %, dan lapisan saprolit adalah lapisan bijih yang kaya nikel (sekitar di atas 1.5 %).

Gambar 3. Ilustrasi Lapisan Bijih Nikel Laterit


Bijih nikel kadar tinggi saat ini telah diproses secara komersial dengan dua cara, yakni reduksi oksida diikuti oleh
proses smelting seperti yang dilakukan oleh PT Aneka Tambang, dan cara roasting sulfidisasi diikuti proses smelting
seperti yang dilakukan oleh PT INCO. Sedangkan bijih nikel kadar rendah saat ini dipandang tidak ekonomis jika
diproses dengan kedua cara di atas. Salah satu proses alternatif adalah dengan menggunakan Blast Furnace untuk
menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI). Pada tulisan ini akan dibahas mengenai prilaku proses Blast Furnace untuk
mengolah bijih nikel kadar rendah.
Blast Furnace
Blast furnace merupakan tanur yang telah lama digunakan dalam proses produksi pig iron. Tanur ini telah
mengalami proses modifikasi sepanjang beberapa abad sampai ditemukannya bentuk yang seperti ditunjukan pada
Gambar 4. Ruang di dalam blast furnace dapat dibagi menjadi beberapa zone temperatur yakni zona preheating di leher
atas furnace, zona stack dan barrel dimana terjadi reaksi reduksi dari besi dan nikel oksida, dan zona bosh dimana
terjadi reaksi peleburan dan pemisahan. Reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama proses adalah sebagai berikut:
2C(s) + O2(g) 2CO(g)
C(s) + CO2(g) 2CO(g)
2CO = CO2 + C
NiO + CO Ni + CO2(g)
3Fe2O3(s) + CO(g) 2 Fe3O4(s) + CO2(g)
Fe3O4(s) + CO(g) 3 FeO(s) + CO2(g)
FeO(s) + CO(g) Fe(s) + CO2(g)
CaCO3(s) CaO(s) + CO2(g)
SiO2 + CaO CaSiO3

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

E-208

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Reaksi-reaksi tersebut berlangsung sesuai dengan zona temperatur reaksi. Reaksi (1), (2), (3) dan (7) terjadi di zona
bosh; reaksi (4), (5), (6) dan (7) terjadi di bagian stack bawah; reaksi (8) terjadi di zona stack bagian atas; dan reaksi (9)
terjadi di zona heart. Reaksi-reaksi tersebut sangat dipengatuhi oleh temperatur dan kesetimbangan CO/CO2 di dalam
tanur. Pada temperatur tinggi dan komposisi CO/CO2 tinggi, reaksi yang terjadi adalah reduksi FeO menjadi Fe, sedang
pada temperatur tinggi dan komposisi CO/CO2 rendah, reaksi yang terjadi adalah reduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4.

Gambar 4. Ilustrasi Blast Furnace


Prospek Pembuatan Nickel Pig Iron melalui Blast Furnace
Blast furnace sudah terbukti dapat digunakan untuk menghasilkan besi mentah secara komersial, tetapi belum
terbukti untuk mengolah bijih nikel kadar rendah. Hal ini disebabkan komposisi unsur-unsur oksida dalam bijih nikel
laterit kadar rendah berbeda dengan bijih besi. Dalam bijih besi, jumlah unsur silika relatif rendah sedangkan jumlah
unsur silika dalam bijih nikel laterit cenderung tinggi. Tabel 1 dan 2 masing-masing memperlihatkan salah satu contoh
komposisi umum dari bijih besi dan bijih nikel [5,6].
Tabel 1. Komposisi unsur salah satu sampel limonit Indonesia [5]
Unsur
Persen Berat
Fe
8.41
Ni
1.31
Si
19.9
Mg
19.6
Al
0.64
Co
0.021
Oksigen dan Oksida Lain
Balance
Tabel 2. Komposisi unsur salah satu sampel bijih besi dari Brazil [6]
Unsur
Persen Berat
Fe
68.9
Ni
Si
0.35
Mg
Al
0.6
Co
Oksigen dan Oksida Lain
Balance
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 terlihat bahwa kadar besi dan kadar silika dalam sampel bijih nikel kadar rendah sangat
jauh berbeda dengan kadar kedua unsur tersebut dalam bijih besi. Dengan kadar silika yang jauh lebih kecil, bijih besi
memerlukan fluks yang lebih sedikit dan menghasilkan slag yang relatif lebih sedikit. Sebaliknya pada bijih nikel,
dengan jumlah silika yang tinggi akan memerlukan fluks yang banyak dan akan menghasilkan slag yang banyak.
Dengan tingginya jumlah slag, maka diperlukan banyak kokas untuk mensuplay energi untuk reaksi pembentukan slag
dan mempertahankan property slag yang kondusif untuk reaksi-reaksi dalam smelting. Hal ini menjadikan proses blast
furnace sangat sensitif terhadap fuktuasi harga kokas. Sensitivitas proses blast furnace terhadap harga kokas juga
E-209

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

ditunjukan oleh beberapa industri pembuatan nickel pig iron di China dimana ongkos produksi pembuatan Nickel Pig
Iron paling banyak pada pembelian kokas, yakni sekitar 50-60 % [5].
Di sisi lain, jumlah besi dalam bijih nikel menentukan grade nickel pig iron yang layak diekspor. Pemerintah
mensyaratkan kadar nikel dalam NPI lebih besar dari 6 % . Oleh karena itu diperlukan kadar besi yang cukup rendah
dalam bijih kadar rendah jika semua feed untuk blast furnace adalah bijih nikel kadar rendah. Di pasaran terdapat empat
grade NPI. Batas minimal yang disyaratkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral adalah minimal middle
grade 2. Bila digunakan limonite dengan komposisi pada Tabel 1, dan dengan mengasumsikan bahwa persen recovery
besi dan nikel 92%, maka didapat kadar nikel 12,5 % yang merupakan NPI middle grade 2.

Gambar 5. Grade Nickel Pig Iron di Pasaran

Kesimpulan
Pemakaian nikel terbesar adalah untuk industri baja tahan karat. Konsumsi baja tahan karat dunia diprediksi akan
terus meningkat sehingga akan meningkatkan konsumsi nikel di masa mendatang. Cadangan bijih nikel di Indonesia
merupakan 12 % dari cadangan bijih nikel dunia. Bijih nikel Indonesia adalah tipe laterita yang terdiri dari lapisan bijih
nikel kadar rendah (limonit) dan bijih nikel kadar tinggi (saprolit). Bijih nikel kadar tinggi telah terbukti dapat diproses
secara komersial untuk menghasilkan ferro nikel dan nikel matte, sedangkan bijih kadar rendah dapat diproses melalui
blast furnace untuk menghasilkan nickel pig iron (NPI). Proses blast furnace sangat mengkonsumsi kokas sehingga
sangat sensitif terhadap harga kokas, dan grade produk NPI sangat dipengaruhi oleh kadar besi.
Daftar Pustaka
1. Barkas J, Nickel and Stainless Steel: prospects and challenges, SBB World Steel Raw Materials Conference,
Bali, 2011
2. Antoine Dusart, et al, Final Report ISSF Workshop, Universit Paris, 2011
3. Xinfang J, Ferro-nickel / NPI Production from Laterite Nickel Ore in China, Tsing Shan Company, 2008
4. Dalvi AD, Bacon WG, Osborne RC, The Past and the Future of Nickel Laterites, PDAC 2004 International
Convention, Trade Show & Investors Exchange, 2004
5. Mitchell A, Sean M, Adrian G, Market Outlook, Brok Hunt, 2011

E-210

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Konversi Panas Buang di Exhaust Pipe Sepeda Motor Menjadi Energi Listrik Menggunakan
Generator Thermoelektrik
Sugiyanto, S.T., M.Eng.1 dan Isworo Djati, S.T.2
Program Diploma Teknik Mesin Sekolah Vokasi UGM 1,2)
Jl Grafika no 2A Sleman Yogyakarta
Telp. (0274) 6491301, 6492269
Email : sugiyanto.ugm@gmail.com 1)
Abstract
Sepeda motor seperti halnya mesin SI (spark ignition) yang lain, kurang lebih 30% dari
energi hasil pembakarannya terbuang sebagai panas di exhaust system. Memanfaatkan panas
yang terbuang ini merupakan bentuk alternative pembangkitan energi listrik, disamping untuk
meningkatkan efisiensi mesin sekaligus penurunan konsumsi bahan bakar. Salah satu langkah
untuk pemanfaatan panas buang tersebut adalah mengkonversi panas tersebut menjadi energi
listrik menggunakan generator thermoelektrik.
Modul generator thermoelektrik bermaterial Bi2Te3 dipilih sebagai komponen untuk
mengubah panas buang sepeda motor Suzuki FXR 150 cc. Modul ini ditempatkan di tiga titik
bagian exhaust pipe , yaitu dekat exhaust manifold, diantara exhaust manifold dan collector
dan dekat collector. Putaran mesin diambil pada kondisi idle dan 3000 rpm sebagai variasi
pengukuran potensial listrik tanpa beban. Daya listrik didapatkan dengan menghubungkan
secara seri ketiga titik uji tersebut yang kemudian dihubungkan dengan beban listrik berupa
lampu LED 1,4 Ohm dengan variasi kecepatan 20 Km/jam, 25 Km/jam dan 30 Km/jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putaran mesin dan posisi letak dari modul TEG di
exhaust pipe mempengaruhi potensial listrik yang dibangkitkan. Sedangkan daya listrik yang
dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan sepeda motor. Pada kecepatan 20 Km/jam, 25
Km/jam dan 30 Km/jam daya listrik dibangkitkan berurutan sebesar 0,81 W, 1 W dan 1,2 W.
Keywords. thermoelectric generator , panas buang, exhaust pipe, putaran mesin, kecepatan
sepeda motor, daya listrik.

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Generator thermoelektrik yang aplikasinya menggunakan limbah panas sebagai sumber energinya merupakan salah
satu teknologi hijau yang dibutuhkan sebagai alternative sumber energi masa depan [3]. Sumber limbah panas yang
banyak dijumpai salah satunya adalah panas buang kendaraan bermotor, maka penelitian penelitian aplikasi TEG
yang ada banyak berkaitan dengan pemanfaatan panas buang melalui exhaust pipe, untuk kemudian dikonversi menjadi
daya listrik. Pada mesin SI (Spark Ignition), sekitar 30% energi utama terbuang sebagai limbah panas di gas buangnya.
Jika sekitar 6% dari panas gas buang ini dikonversi menjadi daya listrik, maka memungkinkan untuk mengurangi
konsumsi bahan bakar sekitar 10%. Inilah alasannya mengapa generator thermoelektrik dapat menguntungkan di
industri otomotif [9].
Di Indonesia penjualan produksi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2011 tercatat sampai Juli sudah
mencapai 4.813.969 unit terjual. Apabila di hitung populasi sepeda motor yang telah terjual selama 5 tahun terakhir
sudah mencapai lebih dari 29 juta unit [10]. Dari data tersebut dapat diperkirakan populasi sepeda motor di Indonesia
lebih dari angka penjualan tersebut. Hal ini merupakan potensi sumber panas buang yang besar untuk bisa dikonversi
menjadi energi listrik dengan teknologi generator thermoelektrik.
1.2 . Tujuan Penelitian
Mencari besarnya tegangan open circuit yang bisa dibangkitkan dengan memanfaatkan panas di exhaust pipe sepeda
motor suzuki. Untuk selanjutnya menganalisa berapa besar arus dan tegangan beban yang bisa dibangkitkan dari potensi
tegangan open circuit tersebut.
1.3. Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan membantu mencari jalan awal penghematan bahan bakar pada sepeda
motor dengan cara mengubah panas buang menjadi energi listrik. Kerja alternator dapat dikurangi karena beberapa
beban listrik dialihkan dengan pemanfaatan konversi panas ini, antara lain beban lampu penerangan.

E-211

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

1.4. Keaslian Penelitian


Pada berbagai penelitian mengenai pemanfaatan termoelektrik generator untuk memanfaatkan panas gas buang menjadi
energi listrik sebagai alternatif penghematan kosumsi bahan bakar sudah banyak dilakukan terutama pada kendaraan
kendaraan besar, dan hasilnya menunjukkan tingkat penurunan konsumsi bahan bakar yang sangat bervariasi. Indonesia
sebagai negara yang jumlah pemakaian sepeda motor sangat besar berpotensi menyerap konsumsi bahan bakar yang
besar, sehingga penelitian yang difokuskan pada sepeda motor ini layak dikaji sebagai langkah awal mencari alternatif
penghematan bahan bakar.
2.1. Kajian Pustaka
Hi-Z Technology Inc sejak tahun 1992 mulai merancang dan mengembangkan 1 kW TEG yang diujikan pada mesin 14
L Cummin NTC 350 menggunakan modul HZ-13 yang berbasis material Bi-Te berjumlah 72. Daya listrik yang mampu
dibangkitkan sebesar 400 W pada putaran 1700 rpm [7]. Kelanjutan penelitian perusahaan tersebut dilakukan dengan
penggantian modul yang telah mengalami perbaikan yaitu HZ-14. Pengujian masih menggunakan 14 L Cummin 350,
namun sudah menggunakan beban TEG yang berupa electronic loading device dan enam bola lampu mobil. Hasilnya
menunjukkan bahwa daya listrik yang dibangkitkan bisa lebih dari 900 Watt [8]. Penelitian yang lain masih dilakukan
Hi-Z Techonology Inc. berkolaborasi dengan Universitas Clarkson, General Motor, dan Delphi Corporation, mendesign
Automobile Exhaust Thermoelectric Generator (AETEG) yang berisikan modul termoelektrik HZ-20 sejumlah 16
hubung seri, dipasangkan pada pipa gas buang pick up General Motors 1999 GMC Sierra berbahan bakar bensin.
Pengujian jalan dilakukan dengan kecepatan 48,28 Km/jam, 80,47 Km/jam dan 112, 65 Km/jam diperoleh daya
keluaran terbesar pada kecepatan 112, 65 Km/jam yaitu berkisar 255 W [5].
Pengujian yang dilakukan oleh Hsu [2], dengan menempatkan delapan komersial termoelektrik modul material Bi2Te3
di tengah-tengah pipa gas buang Chrysler Neon 2000 cc. Hasil pengukuran daya keluaran sistem ini adalah 44,3 W pada
beda temperatur 88,3 K (rata-rata sisi temperatur rendahnya 343,7 K). Daya keluaran ini didapatkan pada putaran uji
mesin tertinggi yaitu di 3500 rpm. Aplikasi TEG di mobil ukuran kecil dengan memanfaatkan panas gas buang Toyata
Starlet 1300 cc diteliti oleh Hatziktaniotis [6] dengan modul TEG Melcor HT9-3-25 bermaterial Bi2Te3. Pada kondisi
suhu sisi panas berkisar 225 oC dan temperatur sisi rendah tidak lebih dari 80 oC, dan variasi kecepatan kendaraan 70
sampai 130 km/jam didapatkan tegangan tanpa beban 0,5 V sampai 1,6 V dan daya listrik maksimal yang dibangkitkan
kurang lebih 1 W.
BMW group di tahun 2009 telah mengimplementasikan TEG bermaterial Bi2Te3 pada BMW 535i dengan hasil daya
maksimal yang bisa dibangkitkan 300 W. Dalam roadmap BMW group sampai tahun 2018, target daya listrik dari
aplikasi teknologi ini 500 W dengan material TEG berbasis PbTe. Selanjutnya mulai tahun 2022 material TEG bebas
dari lead dengan daya listrik yang bisa dibangkitkan 1000 W [1].
2.2. Dasar teori
Bagian utama dari thermoelektrik adalah thermokopel yang terdiri dari sebuah thermoelemen tipe n dan tipe p yang
saling dihubungkan seri secara listrik menggunakan strip penghantar listrik yang baik, misalnya tembaga. Rangkaian
ditahan dalam suatu kontak thermal menggunakan plat yang bersifat sebagai isolator listrik namun mempunyai sifat
penghantar panas yang baik, misalnya keramik. Tegangan keluar dari thermokopel semikonduktor relatif rendah
berkisar ratusan microvolt per derajat celcius, sehingga dalam praktisnya diperlukan thermokopel yang untuk
membentuk modul thermoelektrik.

Gambar 1. Skematis modul thermoelektrik : (a) unit dasar ; (b) modul [4]
Gambar 1 memperlihatkan unit dasar thermoelektrik dan sebuah modul thermoelektrik yang terdiri dari beberapa unit
dasar yang saling dihubungkan seri secara listrik namun paralel secara thermal dan ditahan sandwich menggunakan plat
keramik. Jika modul thermoelektrik salah satu sisinya dihubungkan dengan sumber panas dan sisi lainnya dikondisikan
tetap pada kondisi lebih dingin, maka aliran thermal terjadi karena adanya beda suhu antara sisi panas dan sisi dingin
itu. Aliran thermal ini akan disertai dengan aliran charge carriers masing-masing tipe thermokopel, seperti terlihat di
Gambar 2.

E-212

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2. Arah aliran arus listrik pada pasangan N/P yang dihubung seri [11].
3. Metodologi Penelitian
3.1. Komponen yang digunakan
Thermoelektrik Generator buatan Everredtronics tipe IEVERRED TEG 127-40 A, 40 mm x 40 mm x 3,7 mm, material
Bi-Te (Bismuth-Tellerium), jumlah pasangan P-N 127, ukuran elemen P/N 1,6 mm x 1,6 mm x 1,2 mm.
3.2 Alat yang digunakan
Multimeter digital Sanwa CD800a dan Heles 37A, Termokopel tipe K , Termometer digital Krisbow KW06- 278,
Tachometer digital solar cell tachometer DET-610, Web camera dan unit PC/Laptop, Emergency Lamp berbasis LED
1,4 Ohm 19 buah LED, Kamera digital, Sepeda motor Suzuki FXR 150 cc.
3.3 Persiapan Bahan dan Langkah Penelitian
Langkah awal penelitian ini adalah membuat kontruksi TEG yang terdiri dari modul Teg 127-40 A, Aluminium semi
silindris digunakan sebagai heater yang dipasangkan langsung di exhaust pipe dan bagian atas dari modul TEG dan
Aluminium cold sink small HS-S, 102 mm x 102 mm x 17 mm dan jumlah fin 22. Kontruksi ini kemudian dipasangkan
pada exhaust pipe, yaitu : Titik I (berdekatan dengan exhaust manifold), Titik II (tengah-tengah antara titik I dan titik II
), Titik III ( berdekatan dengan colector). Setelah kontruksi TEG terpasang dan alat pengambilan data siap, sepeda
motor dihidupkan tanpa dikendarai. Setelah kondisi idle stabil dimulai penyimpanan data dengan laptop. Setelah data
kondisi idle tercapture, putaran mesin diubah menjadi 3000 RPM, proses penyimpanan data diulangi lagi seperti di
kondisi idle. Untuk menjaga mesin tidak overheat digunakan blower yang dipasang didepan sepeda motor yang diuji.
Nilai-nilai Voc masing-masing kontruksi di hubung seri untuk dihubungkan dengan beban berupa emergency lamp 1.4
Ohm 19 LED. Pengujian dilakukan di sepeda motor dengan putaran mesin sama seperti pengujian tegangan rangkaian
terbuka (Voc). Data hasil berupa tegangan beban (VL) dan arus beban (IL) untuk masing-masing motor di putaran idle
dan 3000 Rpm. Pengujian jalan berbeban dilakukan dengan kecepatan sepeda motor 20 Km/jam, 25 Km/jam dan 30
Km/jam. Dengan beban masih sama untuk mendapatkan tegangan beban (VL) dan arus beban (IL) sepeda motor.

Gambar 3. Posisi pemasangan modul thermoelektrik dan beban lampu LED


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Sambungan Terbuka
Sebagai awal eksperimen, dilakukan pengujian untuk mengetahui hubungan antara distribusi suhu dengan tegangan
yang dibangkitkan di masing-masing titik uji tanpa beban. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
tegangan sambungan terbuka (VOC) yang dapat dibangkitkan.
4.1.1. Putaran mesin kondisi idle
Pengujian untuk sepeda motor Suzuki 150 cc mengambil 3 titik dengan posisi di exhaust pipe. Hasil untuk sambungan
terbuka tanpa beban listrik pada kondisi idle bisa dilihat digambar 4.

E-213

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

S uhu ( C )

Distribusi suhu kontruksi T E G


150 c c idle
170
150
130
110
90
70
50
30
1

21

41

61

81

101

Waktu (detik)
TITIK I Tc

TITIK I Th

TITIK II Tc

TITIK II Th

TITIK III Tc

TITIK III Th

Gambar 4. Voltase yang dibangkitkan berdasarkan beda suhu masing-masing titik pengujian kondisi idle
Tegangan di titik II dan titik III jauh dibandingkan di titik I, ini disebabkan kondisi posisi titik-titik tersebut di exhaust
pipe menjauhi manifold. Pengaruh pendinginan dari blower pun juga kecil karena posisi ini, sehingga susu sisi rendah
Tc titik-titik ini masih tinggi. Namun karena titik I mempunyai beda suhu yang lebih tinggi, total tegangan maksimum
yang bisa dibangitkan dengan menghubungkan secara seri masing-masing TEG di ketiga titik tersebut maka tegangan
Voc yang dibangkitkan akan berkisar 3,6 V
4.1.2. Putaran mesin 3000 RPM
Kondisi di putaran mesin 3000 rpm, menunjukkan kenaikan beda suhu di masing- masing titik pengujian yang
mengakibatkan potensial listrik di titik-titik pengujian mengalami kenaikkan (Gambar 5).
Potensial listrik yang mampu dibangkitkan pada titik I ini bisa mencapai 3,7 Volt. Adapun di titik uji II dan III pada
kondisi ini juga menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan kondisi yang sama untuk tipe motor 110 cc.
Tegangan di titik II yang bisa dibangkitkan sebesar 1,4 V ~ 1,5 V, lebih besar dibandingkan kondisi idlenya yang hanya
0,7 V. Tegangan di titik III sebesar 1,2 V ~ 1,3 V lebih besar dibandingkan kondisi idlenya yaitu 0,5 V. Dari data hasil
pengujian Suzuki FXR 150 cc maka dengan menhubungkan seri antara ketiga kontruksi TEG didapatkan nilai tegangan
Voc = 6,5 V.

B eda s uhu dan Voltas e


150 c c 3000 rpm

100

3.4

B eda S uhu(

80

2.4

60

1.4

40
20
1

21

41

61

81

V oc (V olt)

4.4

C)

120

0.4
101

Waktu (detik)
TITIK I Delta T

TITIK II Delta T

TITIK III Delta T

TITIK I V

TITIK II V

TITIK III V

Gambar 5. Voltase yang dibangkitkan berdasarkan beda suhu masing-masing titik pengujian Suzuki pada 3000 rpm

4.2. Hasil Pengujian dengan beban listrik


4.2.1. Pengujian Kondisi sepeda motor berhenti

E-214

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Dari hasil pengujian tanpa beban didapatkan Voc masing-masing titik uji di dua tipe motor relatif rendah untuk bisa
dimanfaatkan secara nyata. Dalam pengujian dengan beban ini masing-masing TEG di titik uji dihubung secara seri
agar mendapatkan nilai tegangan maksimumnya. Pengujian dengan menghubungkan seri ini juga dilakukan oleh [5]
dan [2]. Beban yang dipilih adalah beban emergency lamp 1,4 Ohm dengan jumlah LED.
Tabel 1. menunjukkan hasil pengukuran ketika kontruksi TEG dibebani, arus beban yang dibangkitkan menyebabkan
tegangan berbeban (VL) dengan nilai lebih rendah dari tegangan tanpa bebannya (Voc).
Pada kondisi idle untuk 150 cc tanpa beban, tegangan berbeban VL 2,93 V. Dengan arus yang mampu dibangkitkan
0,23 A maka daya keluaran kondisi ini 0,67 Watt. Sedangkan pada kondisi 3000 Rpm menunjukkan ketika dibebani VL
menjadi 3,38 dengan arus yang dibangkitkan 0,67 A, sehingga daya yang dihasilkan kurang lebih 2,26 watt. Ada
peningkatan daya yang dihasilkan dibandingkan kondisi idlenya.
Tabel 1. Hasil pengukuran arus dan tegangan dengan beban 1,4 Ohm
Idle (Rpm)
3000 (Rpm)
Tipe Motor
I (Amper)
V (Volt)
I (Amper)
V (Volt)
150 cc

0,23

2,93

0,67

3,38

4.2.2. Pengujian kondisi sepeda motor jalan


Pengujian dengan kondisi sepeda motor dijalankan ditujukan untuk mendapatkan pengaruh kecepatan motor dengan
kemampuan TEG untuk membangkitkan daya. Pengujian dilakukan dengan variasi kecepatan motor 20 km/jam, 25
km/jam, dan 30 km/jam. Dengan beban masih sama berupa lampu emergensi 19 LED 1,4 Ohm. Dapat dilihat di gambar
6, hasilnya di kondisi 20 km/jam , VL berkisar 3,16 Volt namun nilai arus I yaitu berkisar 0,25 Amper. Pembacaan
juga meningkat di 25 km/jam, yaitu VL berkisar 3,2 Volt dengan nilai I juga semakin meningkat yaitu berkisar 0,34
Amper. Di kondisi 30 Km/jam juga lebih meningkat lagi, yaitu VL berkisar 3,36 dengan I berkisar 0,38 Amper .
Teganngan dan Arus Beban Jalan
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0

Arus (Amper)

Tegangan (Volt)

3,4
3,35
3,3
3,25
3,2
3,15
3,1
3,05
3
20

25
30
Kecepatan (Km/Jam)
V 150 cc

I 150 cc

Gambar 6. Tegangan dan arus yang dibangkitkan dengan variasi kecepatan


Tegangan yang keluar dari TEG dipengaruhi oleh suhu, baik sisi tinggi (Th) maupun sisi rendah (Tc). Dengan material
TEG yang sama, maka nilai koefisien Seebeck akan sama. Tegangan yang dibangkitkan TEG akan tergantung dengan
beda suhu antara suhu sisi panas dan sisi dingin dari TEG [4]. Dari gambar 7 dapat diamati bahwa daya TEG akan
semakin meningkat seiring dengan perubahan kecepatan motor. Data daya berturut-turut untuk 20 Km/jam, 25 Km/jam,
dan 30 Km/jam adalah berkisar 0,8 Watt, 1 Watt, dan 1,2 Watt.
Daya Beban Jalan
1,4
1,2
Daya (Watt)

1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1

2
Kecepatan (Km/Jam)

Daya 150 cc

Gambar 7. Daya yang dibangkitkan dengan variasi kecepatan sepeda motor

E-215

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil ini cenderung lebih tinggi dibandingkan kondisi berbeban tanpa menjalankan sepeda motor. Hal ini disebabkan
foktor pendinginan alami udara yang diterima sisi fin cold sink mempengaruhi perbedaan suhu antara sisi panas dan sisi
dingin. Dapat dilihat juga pada kondisi kecepatan lebih rendah, pengaruh pendinginan udara yang mengenai kontruksi
TEG sisi dingin juga berpengaruh lebih rendah dibandingkan kecepatan yang lebih tinggi. Hasilnya tegangan dan arus
yang mampu dibangkitkan juga lebih rendah. Daya yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan kecepatan ini
sesuai dengan [5] untuk aplikasi TEG di 1999 GMC Sierra pick up dan aplikasi TEG di Toyota Starlet 1300 cc [6].
5. Kesimpulan
1. Tegangan yang dibangkitkan akan dipengaruhi oleh distribusi beda suhu pada tempat dimana TEG dipasangkan.
2. Daya listrik semakin meningkat seiring dengan peningkatan kecepatan sepeda motor
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Andreas Eder and Matthias Linde, Efficient and Dynamic The BMW Group Roadmap for the Application of
Thermoelectric Generators,Proc. BMW EfficientDynamics/Thermal Management, San Diego, 2011.
[2]
C.T. Hsu, D.J. Yao, B. Yu, Application of Thermoelectric Waste Heat Recovery from Automobiles, Proc
Micro/Nanoscale Heat and Mass Transfer International Conference, Shanghai, China, 2009.
[3]
D.M. Rowe, Thermoelectrics Waste Heat Recovery As A Renewable Energy Source , Journal of Innovation
in Energy and Power, 2006, Vol.1, No.1
[4]
D.M. Rowe, Thermoelectric Handbook Macro to Nano , CRC Press, Boca Raton, FL, USA : 2006.
[5]
E.F., Thacher, B.T., Helenbrook,., M.A., Karri, C.J. Richter, Testing of an Automobile Exhaust Thermoelectric
Generator in a Ligth Truck. Proc. I MECH E, Part D:J.Automobile Engineering, 2007, Vol 221 ,1, 95-107
[6]
Hatzikraniotis, E., Zorbas, K., Triandafyllis, I., Paraskevopoulos, K.M., Study of Thermoelectric Power
Generator and Application in Small Sized Car, Proccedings of the 6th European Conference on Thermoelectrics,
Paris, France, 2008, p. P2-18-1.
[7]
J.C. Bass, N.B. Elsner, A. Leavitt, Performance of the 1 kW Thermoelectric Generator for Diesel Engines, Proc
13th Int.Conf. Thermoelectric B, Mathiprakisam, edn., AIP Conf. Proc., New York, 295, 1995.
[8]
J.C. Bass, S.A. Kushch, N.B. Elsner, A. Leavitt, Thermoelectric Generator (TEG) for Heavy Diesel Trucks, Proc
20th Int.Conf. Thermoelectric , Beijing, China, 2001
[9]
Jorge Vazquez, Miguel A. Sanz-Bobi, Rafael Palacios, Antonio Arenas, State of The Art of Thermoelectric
Generator Based on Heat Recovered from The Exhaust Gases of Automobiles, Proceeding of 5th ECT, Odessa,
Ukraine, 2002.
[10] www.aisi.or.id
[11] www.tellurex.com

E-216

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Potensi Vertical Axis Wind Turbine (VAWT) Tipe Savonius Sebagai Alternative
Pembangkitan Listrik Tenaga Angin
Sugiyanto, S.T., M.Eng.1
Program Diploma Teknik Mesin Sekolah Vokasi UGM 1)
Jl Grafika no 2A Sleman Yogyakarta
Telp. (0274) 6491301, 6492269
Email : sugiyanto.ugm@gmail.com 1)
Abstract
Turbin angin sumbu horisontal (HAWT) biasanya dirancang untuk daerah-daerah dengan
kecepatan angin alami tinggi, namun turbin tipe ini akan menunjukkan kinerjanya turun
ketika berada di daerah kecepatan angin yang rendah. Turbin angin sumbu vertikal
(VAWT) memberikan alternatif pembangkitan listrik tenaga angin di daerah dengan kondisi
kecepatan angin rendah. Dari beberapa tipe VAWT yang ada, tipe Savonius dipilih karena
memiliki kontruksi yang sederhana dan biaya produksi yang murah.
Dalam Penelitian ini menggunakan Savonius blade U dengan jumlah blade 4 bilah. Dimensi
turbin 250 mm x 300 mm terbuat dari plat tebal 1 mm. Mini generator 24 VDC digunakan
untuk mengkonversi putaran turbin menjadi listrik dengan beban listrik berupa lampu LED
1,4 Ohm. Pengujian dilakukan di laboratorium dengan hembusan angin buatan dari blower
dengan variasi kecepatan hembus blower 13 m/det, 15 m/det, 17 m/det dan 20 m/det.
Pengujian lapangan di kawasan pantai selatan Bantul dengan variasi kecepatan angin
antara 3 m/det sampai 8 m/det.
Hasil penelitian menunjukkan pada pengujian skala laboratorium putaran poros turbin hasil
konversi kecepatan hembus blower menghasilkan kisaran besaran yang sama dibanding
pengujian di lapangan dengan kondisi kecepatan angin yang rendah. Hasil pengujian
dilapangan menunjukkan daya listrik yang mampu dibangkitkan berkisar antara 0,28 W
sampai 0,66 W tergantung dari kecepatan anginnya.
Keywords : Vertical Axis Wind Turbine (VAWT), Savonius, kecepatan angin, putaran poros,
daya listrik.

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan energi di Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya terus meningkat dikarenakan pertambahan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pola konsumsi energi itu sendiri. Hal ini diperparah dengan tingginya kebutuhan
bahan bakar minyak yang tidak diiringi oleh kapasitas produksi. Menurut blue print pengeloalaan energi nasional yang
dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), cadangan minyak bumi di Indonesia akan habis
dalam kurun waktu 18 tahun lagi, sedangkan gas diperkirakan akan habis 60 tahun lagi dan batubara 147 tahun
terhitung dari tahun 2006 [4]. Langkah-langkah untuk mencari sumber energi baru dan terbarukan menjadi pilihan yang
harus segera dilakukan untuk mengatasi permasalahan kebutuhan energi tersebut. Salah satu pilihan dari sekian banyak
sumber-sumber energi terbarukan yang tersedia adalah energi angin. Teknologi turbin angin menawarkan solusi biaya
yang efektif untuk mengeliminasi ketergantungan terhadap minyak dan gas asing yang mahal. Teknologi ini juga
menyediakan energi listrik tanpa menimbulkan efek rumah kaca ataupun polutan mematikan yang dilepaskan [1].
Potensi energi angin di Indonesia yang sebesar 9,29 GW, sedangkan kapasitas terpasangnya baru 0,0006 GW [4]
merupakan sumber energi terbarukan yang harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber energi alternative.
Energi ini akan digunakan untuk menggerakkan turbin yang merupakan sarana pengubah energi kinetik angin menjadi
energi mekanik guna memutar generator listrik.
Berdasarkan kedudukan poros, jenis-jenis turbin angin dibagi dalam dua kategori, yaitu turbin angin sumbu horizontal
(Horizontal Axis Wind Turbine, HAWT) dan turbin angin sumbu vertikal ( Vertical Axis Wind Turbine, VAWT).
Keuntungan terbesar penggunaan VAWT adalah bahwa generator dan gear box dapat diinstal di dasar tower sehingga
mudah untuk dirawat dan diperbaiki. Namun turbin angin jenis ini mempunyai kapasitas keluaran yang kecil dan
penggunaan yang luas hanya untuk aplikasi daya rendah. Sebagai contoh sebagai pengisian batere di daerah dimana
jaringan daya tidak tersedia [1].

E-217

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar potensi pemanfaatan energi angin dengan turbin rotor
Savonius di Indonesia dengan potensi kecepatan angin rendah.
1.3. Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif pada pegembangan pemanfaatan energi
terbaharukan khususnya energi angin di Indonesia.
1.4. Keaslian Penelitian
Pada berbagai penelitian mengenai pemanfaatan turbin angin yang mengkonversi energi angin menjadi energi listrik
sudah banyak dilakukan terutama menggunakan turbin HAWT. Masih sedikit yang menggunakan VAWT dikarenakan
efisiensi yang rendah. Indonesia sebagai negara yang potensi energi anginnya melimpah namun dibatasi dengan
karakteristik kecepatan angin yang rendah, sehingga penelitian yang difokuskan pada pemanfaatan VAWT khususnya
tipe rotor Savonius menjadi langkah lebih menguatkan potensi pemanfaatan energi terbaharukan khususnya energi
angin.
2. Kajian Pustaka
Savonius merupakan turbin angin sumbu vertikal (VAWT). Rotor Savonius klasik tidak memungkinkan aliran udara
mengalir diantara blade, dikarenakan antara blade tersebut saling terhubung rapat. Dalam perkembangan penelitianpenelitian selanjutnya konfigurasi dasarnya diubah dengan memberi overlap kecil untuk memungkinkan aliran udara
mengalir diantara masing-masing sisi [6].

Gambar 1. Konfigurasi dasar Savonius [6].


Sebenarnya Savonius mempunyai daya keluaran yang sangat terbatas dan efisiensi yang rendah, namun reliable dan
mudah untuk perawatan. Dibandingkan dengan tipe VAWT yang lain, misalnya Darrieus, koefisien dayanya paling
kecil. Karena kapasitas yang terbatas dan efisiensi yang rendah, penggunaan terbaiknya adalah untuk aplikasi pengisian
batere untuk tele komunikasi dan penerangan rumah. Secara luas Savonius juga digunakan sebagai motor starter bagi
Darrieus karena kelemahan kemampuan Darriues untuk self-starting pada kondisi kecepatan angin tertentu [1].
Meskipun mempunyai banyak kelemahan, penelitian-penelitian turbin Savonius terus berkembang dengan
memodifikasi rotornya. Memodifikasi rotor Ravonius untuk produksi daya rumah tangga dan menghubungkannya
dengan generator dc magnet permanen menggunakan puley dilakukan [9]. Modifikasi dibuat dengan membuat overlap
antara sudu berkisar 7 cm dan diameter sudu 30 cm, sehingga overlap rasio e/d = 0,233. Hasilnya menunjukkan, pada
kecepatan angin rendah, yaitu 0,67 m/det sudah bisa membangkitkan tegangan 7 volt dan arus 190,08 mA. Daya
maksimal yang bisa dibangkitkan pada penelitian ini adalah sekitar 6,2 kW pada kecepatan hembusan angin 5 m/det.
Modifikasi rotor Savonius lainnya yaitu dengan memvariasikan aspect ratio (H/D), namun overlap ratio (e/d) = 0,
dilakukan oleh [5]. Hasil penelitian ini menunjukkan koefisien daya yang lebih optimal untuk rotor Savonius tingkat
tunggal.

E-218

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 2. Tampak atas modifikasi rotor Savonius dengan poros diantara blade [5].
Modifikasi rotor Savonius dengan twist blade [8] menunjukkan potensi rotor twist blade berjalan secara halus, efisiensi
yang lebih tinggi dan kemampuan self starting yang lebih baik dibandingkan rotor sudu konvensional. Namun twist
blade ini mempunyai kendala dalam fabrikasi. Unjuk kerja tipe rotor yang lain adalah rotor Savonius helikal, dimana
koefisien daya akan naik seiring dengan kenaikan overlap sampai batas tertentu [7]. Penelitian turbin Savonius untuk
tingkat ganda menunjukkan hasil bahwa konfigurasi rotor konvensional menunjukkan hasil koefisien power yang lebih
baik dibandingkan konfigurasi rotor modifikasi lainnya [2].
2.2. Dasar teori
Rotor savonius merupakan VAWT yang berputar pelan dibandingkan tipe turbin lain. Speed tip ratio () hanya berkisar
1 dengan efisiensi yang rendah, Cp ~ 0,2. Kondisi ini dapat dilihat di kurva performa beberapa tipe turbin angin
ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3. Performa turbin angin konvensional [10].


Design klasik dari rotor Savonius sederhana seperti di tunjukkan dalam gambar 4. Pergerakkan terjadi karena adanya
perbedaan dorongan antara advancing blade dan returning blade

E-219

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 4. Skema dari rotor Savonius [3]


Dari skema gambar 4, jika rotor mempunyai nilai a dan e sama dengan 0, maka rotor tersebut dinamakan rotor Savonius
konvensional. Dari notasi-notasi pada gambar diatas maka ;
Koefisien kecepatan (speed tip ratio) dirumuskan sebagai [1] :

= . (1)
dengan adalah kecepatan sudut (rad/det), R radius rotor (m), U kecepatan angin (m/det).
Daya mesin P dirumuskan sebagai berikut [3]:
P = Cp R H U3 . (2)
Dengan Cp merupakan koefesien daya
3. Metodologi Penelitian
3.1. Alat yang digunakan
1. Savonius
Rotor Savanius yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan rotor modifikasi dengan jumlah empat blade U,
dengan jumlah advancing blade 2 dan returning blade 2. Bahan yang digunakan dari plat baja 1 mm, tinggi 300 mm
dan diameter 250 mm dengan. Poros diameter 10 mm dari aluminium untuk mendapatkan berat yang relative ringan.
Rotor yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rotor Savonius untuk penelitian


2. Alat yang digunakan
a. Anemometer digital sebagai alat ukur kecepatan angin
b. Tachometer digital sebagai alat ukur putaran rotor turbin
c. Multimeter digital sebagai alat ukur tegangan dan arus
d. Blower sebagai sumber aliran udara skala pengujian di lab.
e. Beban listrik berupa lampu LED 1,4 Ohm
f. Generator DC 24 V sebagai pembangkit listrik
3.2. Prosedur Penelitian
Pengujian skala lab. dilakukan dengan mengkontruksikan turbin Savonius di rangka penyokong, seperti terlihat
pada gambar 4. Sedangkan untuk mendapatkan hembusan angin, digunakan blower kapasitas kecil dan variasi

E-220

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

kecepatan angin dilakukan dengan cara mengatur masukan angin di sisi isap blower. Variasi kecepatan anginnya
diambil 13 m/det, 15 m/det, 17 m/de dan 20 m/det.
Pengujian di tempat terbuka dilakukan di kawasan Pantai selatan Kabupaten Bantul. Daerah ini dipilih karena
kecepatan angin minimal sebagai self starting turbin bisa dicapai. Variasi kecepatan angin dikondisikan dengan
kecepatan hembusan angin pada saat pengujian. Kecepatan angin di kawasan tersebut berkisar antara 3 m/det
sampai 8 m/det.
Beban Listrik Lampu LED
Blower

Rangka Penyangga

Shaft Aluminium

Turbin Savonius

Mini Generator
dengan transmisi

Gambar 4. Kontruksi alat pengujian turbin Savonius


4. Hasil dan Pembahasan
Pengujian skala labortorium ini di lakukan di Lab. Peralatan Industri, Program Diploma Teknik Mesin SV-UGM.
Penggunaan Blower pengganti kecepatan angin menunjukkan hasil yang tidak maksimal pada pembangkitan
tegangan dan arus. Hal ini disebabkan oleh aliran angin hanya terfokus pada satu titik saja. Hal ini berbeda
dibandingkan pengujian di pantai.
Tabel 4.1. Speed Tip Ratio pengujian
Speed Tip
Kecepatan angin Putaran Rotor
Tipe Pengujian
ratio ()
m/det
Rpm
13
142.3
0.143
15
295.2
0.257
Pengujian di
Laboratorium
17
443.9
0.341
20
490.1
0.32
3.8
264.8
1,097
5.6
320
1.337
Pengujian di Pantai
7.1
380.3
0.701
8.6
392.2
0.723
Dari tabel 4.1. dapat dilihat bahwa kecepatan angin yang relative lebih rendah namun dikonversi menjadi kecepatan
rotasi rotor turbin yang hampir sama dengan pengujian Lab. Hal ini disebabkan, kecepatan angin di pantai mampu
diterima oleh semua blade darimanapun arah angin tersebut berhembus. Kondisi ini bisa dilihat dari hasil
penghitungan Speed Tip Ratio, kecepatan angin yang tinggi dari blower relative lebih tinggi dibandingkan
kecepatan angin di pantai, namun konversi menjadi putaran rotor cenderung sama berkisar 200 sampai 400 Rpm.
Pengaruhnya adalah Speed Tip Ratio yang dihasilkan sangat jauh berbeda.
Kondisi pengukuran arus dan tegangan pada masing-masing pengujian memperlihatkan pengujian di Lab. lebih
tinggi baik arus maupun tegangan, hal ini disebabkan pengujian Lab. menghasilkan putaran rotor turbin yang lebih
tinggi., namun memerlukan hembusan angin dari blower yang tinggi pula. Hasil ini diperlihatkan pada Gambar 5.

E-221

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Tegangan dan Arus vs RPM


13,5

0,085

11,5

0,065

9,5

0,045

7,5

0,025
140

Arus ( Amper)

Tegangan (Volt)

15,5

340
Putaran Rotor (Rpm)

Tegangan Uji Pantai

Tegangan Uji Lab

Arus Uji Pantai

Arus Uji Lab.

Gambar 5. Data pengukuran tegangan dan arus pada masing-masing pengujian


Daya dari hasil pengukuran untuk kedua pengujian memperlihatkan semakin tinggi kecepatan angin atau kecepatan
putar rotor maka arus dan tegangan juga semakin tinggi, sehingga daya terukurnya pun juga akan semakin
bertambah. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Daya hasil pengukuran pengujian
Kecepatan angin
m/det

Tipe Pengujian

Pengujian di
Laboratorium

Pengujian di Pantai

Putaran Rotor
Rpm

Daya (Watt)

13

142.3

0.24

15

295.2

0.385

17

443.9

0.877

20

490.1

1.05

3.8

264.8

5.6

320

0.38

7.1

380.3

0.517

8.6

392.2

0.66

Sedangkan penghitungan daya turbin teoritis berdasarkan persamaan 2 tidak bisa diterapkan pada pengujian di
Lab., hal ini disebabkan kecepatan angin dari blower yang tidak dikonversi menjadi putaran rotor turbin secara
maksimal. Perbandingan daya turbin hasil pengukuran dan perhitungan untuk pengujian di pantai dapat dilihat pada
Gambar 7.

Daya (Watt)

Daya Pengujian Pantai


6
4
2
0
3

Kecepatan Angin (m/det)


Daya Pengukuran

Daya Perhitungan

Gambar 7. Grafik daya teoritis dengan pengukuran pengujian di pantai


Dari Gambar 7 dapat dilihat daya pengukuran maksimal 0,66 Watt jauh lebih kecil dari daya teoritis yang bisa
mencapai nilai 5 Watt. Hal ini disebabkan karekter turbin Savonius yang mempunyai efisiensi yang rendah.
E-222

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Meskipun demikian potensi pemanfaatan turbin tipe ini menjadi salah satu potensi pemanfaatan angin kecepatan
rendah untuk digunakan menggerakkan turbin angin Savonius, tidak hanya untuk pembangkitan energi listrik
namun juga penggunaan yang lain.
5. Kesimpulan
Kontruksi dan instalasi turbin angin Savonius yang sangat mudah, sederhana dan murah menjadikan turbin angin
jenis VAWT ini dapat digunakan sebagai alternative pembangkitan energi listrik di Indonesia yang mempunyai
karakter kecepatan angin rendah.
Dafar Pustaka
[1]
[2]

A.R., Jha., Wind Turbine Technology, Boca Rotan Florida, USA : CRC Pres, 2011.
Hussain, H. A. and Goh, Jin Ming, Experimental Investigation of S-Rotor in Open and Bounded Flows,
World Academy of Science, Engineering and Technology no 60, Malaysia, 2011
[3] Jean-Luc Menet and Nachida Bourabaa, Increase in The Savonius Rotors Efficiency Via a Parameter
Investigation, proceeding on European Wind Energy Conference & Exhibition, London, UK, 2004.
[4] Kementerian ESDM, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 2025, Jakarta, 2005.
[5] M.A., Kamoji, S.B. Kedare, S.V., Prabhu, Experimental Investigation on Single stage Modified Savonius
Rotor, Applied Energy,India, 2009, vol 86, no 7-8, pp.1064-1073.
[6] Sanjay W. R.,Shamin, P.,Aditya, K.,Pratik, K., Pankaj, D., Sagar, P., Design and Development of Micro
Savonius Type Vawt, proceeding of 3th Biennial national Conference on Nascent Technologies, Mumbai,
India, 2012
[7] Tapas Bhaumik, Rajat Gupta,Performance Measurement of a Two Bladed Helical Savonius Rotor, proceeding
of 4th International Conference of Fluid Mechanics and Fluid Power, Chennai, India, 2010.
[8] U.K. Saha and M. Jaya Rajkumar, Performance analysis of Savonius Rotor with Twisted Blades, Renewable
Energy 31,2008, p. 1776-1788
[9] Vinay, P.V., Modified Savonius Rotor for Domestic Power Production, J. of Engineering Science and
Technology, Vol 4 No. 7, 2012
[10] Wilson R.E., Lissaman P.B.S. Applied Aerodynamics of wind power machines, Research Applied to National
Needs, GI-41840;1974;Oregon State University

E-223

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Halaman ni dikosongkan

E-224

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Rancang Bangun Mesin Pengupas Lada untuk Meningkatkan Efisiensi Waktu


Pengupasan Lada
Sukanto1), Robert Napitupulu2), Ilham Ary Wahyudie3), Budi Tjahyono4)
Jurusan/Prodi Perawatan dan Perbaikan Mesin, Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung,
Jl. Air Kantung Sungailiat Bangka, Pos : 33211, Phone 0717 93586
Email: sukanto@polman-timah.ac.id 1,2,3)
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Malang,
Email: b_cahjono@yahoo.com 4)
Abstrak
Lada atau merica (Pepper Ningrum L), adalah salah satu rempah penting dan memiliki
berbagai khasiat obat. Proses pengolahan hasil panen lada yang dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat di Propinsi Bangka Belitung pada saat ini masih menggunakan cara tradisional.
Lada yang telah dipetik dimasukkan kedalam karung bersama dengan tangkainya, kemudian
direndam selama 8-14 hari dilanjutkan proses pengupasan dan pencucian kulit lada secara
manual pada kondisi air yang mengalir. Penelitian dengan pendekatan experimental ini
bertujuan merancang suatu mesin yang dapat mengupas biji lada agar proses lebih cepat.
Proses pengupasan kulit secara manual diubah dengan menggunakan mesin pengupas kulit
lada. Proses perendaman direduksi hingga hanya dilakukan 3-4 hari. Mekanisme pengupasan
kulit lada dilakukan dengan sistem rolling yang dilapisi dengan karet. Lubang saluran
pengupasan kulit lada dapat disetel dengan mnggunakan baut penyetel. Mesin pengupas kulit
lada ini dioperasikan dengan menggunakan penggerak sistem motor bakar dengan harapan
dapat dibawa ketempat yang kita inginkan. Proses pengupasan dengan kapasitas rata-rata 30
kg/jam ini dapat mempersingkat waktu keseluruhan pengupasan dan pencucian kulit lada
hingga lebih cepat sekitar 2-3 kali bila dibandingkan dengan proses pengupasan secara
tradisonal.
Kata Kunci : lada, pengerolan, perontokan, pengupasan dan pencucian
Pendahuluan
Lada yang dikenal sebagai rajanya rempah-rempah King of Spice, di Indonesia terutama dihasilkan di Pulau Bangka.
Lada dalam bahasa melayu lokal disebut dengan sahang. Lada atau merica (Pepper Ningrum L), adalah salah satu
rempah penting dan memiliki berbagai khasiat obat. Hasil pengolahan lada ada beberapa jenis yaitu Lada hitam (Black
Pepper), Lada putih (White Pepper), Lada hijau (Green Pepper), Lada jingga (Orange Pepper) dan Lada merah (Red
Pepper). Dari beberapa jenis olahan lada tersebut, yang lebih dikenal hanya Lada hitam (Black Pepper) dan Lada putih
(White Pepper). Untuk hasil olahan lada dari Propinsi Lampung dikenal dengan sebutan lada Black Paper dan hasil
olahan lada dari Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal dengan sebutan Muntok White Pepper. Sebutan tersebut
dikenal karena indonesia merupakan salah satu produsen terbesar didunia [1].
Tanaman lada adalah jenis tanaman merambat dalam keluarga Piperaceae yang dapat tumbuh empat meter dengan
bertopang pada pohon atau tiang. Lada hitam tumbuh di tanah yang tidak terlalu kering atau rentan terhadap banjir,
lembab, dan kaya bahan organik. Tanaman lada dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian kurang dari 3000 kaki di
atas permukaan laut. Tanaman lada diperbanyak dengan stek sekitar 40 sampai 50 cm panjang, diikat ke tiang atau
pohon sebagai tempat merambatnya. Pohon dengan kulit kasar lebih disukai dibandingkan dengan pohon yang berkulit
halus. Tunas dipangkas dua kali setahun. Pada tanah kering tanaman muda membutuhkan penyiraman setiap hari
selama musim kemarau untuk tiga tahun pertama. Tanaman berbuah pada tahun keempat atau kelima dan biasanya terus
berbuah selama tujuh tahun. Satu batang tanaman lada akan menghasilkan 20 sampai 30 rumpun buah. Panen dimulai
segera setelah satu atau dua buah didasar dari rumpun mulai berubah menjadi merah. Apabila terlambat dan buah sudah
matang, buah lada akan kehilangan kepedasannya. Oleh karena itu proses panen lada pada umumnya dilakukan ketika
dalam satu tangkai lada tersebut sudah terdapat lada yang telah masak berwarna kemerahan antara 3-4 butir lada.
Berdasarkan jenisnya lada dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Lada putih, yaitu lada yang dibuat dari merica tua yang dikeringkan dan dikupas kulitnya. Paling banyak
digunakan sebagai bumbu dapur. Cita rasa pedas dan aroma khas bisa diperoleh dengan menambahkan lada jenis
ini, dijual dalam bentuk utuh dan dihaluskan, disangrai sebelum digunakan agar aroma lebih tajam.

E-225

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

b.

c.
d.

e.

Lada hitam, yaitu lada yang diperoleh dari lada yang tidak terlalu tua, dimana setelah dipetik dikeringkan dengan
kulitnya sehingga permukaannya keriput dan kehitaman. Dijual dalam bentuk butiran dan tumbuk. Biasanya
digunakan untuk bumbu olahan daging seperti steak dan hidangan panggang.
Lada merah, yaitu jenis lada berwarna merah, rasanya tidak terlalu pedas dan agak manis. Biasanya digunakan
bersamaan dengan jenis merica pedas, cocok untuk olahan seafood dan dijual bentuk segar dan kering.
Lada hijau, yaitu lada yang diperoleh dari buah lada yang dipetik saat belum terlalu tua dan warnanya masih
kehijauan, dimana buah lada seperti itu didapatkan pada waktu 1520 hari sebelum buah lada matang [2]. Jenis
lada ini biasanya dijual dalam bentuk kering, segar dan direndam dalam larutan bumbu. Lezat untuk bumbu
hidangan ayam atau seafood.
Lada Szechuan, yaitu jenis lada yang memiliki butiran-butiran lebih kecil dari jenis lada yang lain, aroma dan
rasanya tidak terlalu tajam. Merupakan salah satu campuran five spicepowder. Cocok untuk hidangan hidangan
Cina, seperti olahan ayam atau bebek. Dijual dalam bentuk utuh atau tumbuk.

Areal luas perkebunan lada di provinsi Bangka Belitung terhitung sejak 2000 hingga 2009 mengalami penurunan yang
cukup tinggi, karena petani sulit mendapatkan bibit yang berkwalitas, kayu junjung lada, harga jual lada di pasar yang
rendah tidak sesuai biaya pengelolaan yang tinggi. Penurunan luas perkebunan lada ini juga dikarenakan maraknya
penambangan bijih timah dan pembukaan lahan perkebunan sawit secara besar-besaran oleh perusahaan swasta,
sehingga petani sulit mencari lahan untuk bekebun lada. Dalam rangka meningkatkan produksi lada, Badan Pengelolaan
Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Bangka Belitung pada Maret 2012 akan membuat 10 hektare
kebun lada percontohan dalam upaya memancing animo petani mengembangkan kembali komoditas ekspor tersebut.
[3] BP3L akan bekerja sama dengan PT Timah Tbk membuat 10 hektare kebun percontohan tersebut di Kabupaten
Bangka Tengah, sekaligus menambah lima hektare yang sudah dibuat tahun lalu hingga seluruhnya menjadi 15 hektare.
Di Bangka Belitung, pertanaman lada tersebar di enam Kabupaten, yaitu Bangka 6.152 ha, Bangka Tengah 3.365 ha,
Bangka Selatan 13.074 ha, Bangka Barat 6.939 ha, Belitung 7.057 ha, dan Belitung Timur 4.133 ha [4]. Khusus untuk
daerah Bangka Tengah pertanaman lada tersebar di enam kecamatan, yaitu Koba 623,68 ha, Lubuk Besar 575,60 ha,
Pangkalan Baru 84,64 ha, Namang 167,21 ha, Sungai Selan 355,70 ha, dan Simpang Katis 434,36 ha. [5]. Pada 2010
luas perkebunan lada seluas 36 ribu hektare atau meningkat jika dibandingkan 2009 hanya seluas 34 ribu hektare, 2008
luas perkebunan lada 33 hektare, 2007 seluas 35.842,18 hektare, 2006 luas perkebunan lada 40.720,65 hektare.
Terhitung 2010 hingga 2011, luas perkebunan lada kembali mengalami peningkatan seiring gencar sosialisasi, bantuan
dan pembinaan petani lada serta membaiknya harga lada di pasar internasional, nasional dan lokal [3].
Proses pengolahan lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih dikerjakan secara manual dikarenakan
masih sangat minimnya alat atau mesin untuk membantu para petani lada putih dalam proses pengolahan lada
khususnya pengupasan dan pencucian, meskipun sudah terdapat mesin. Berdasarkan hasil survey pada petani lada putih,
dalam proses pengolahan lada putih membutuhkan waktu yang lama, karena kebanyakan masyarakat masih
mengerjakan secara manual untuk proses pengolahan lada putih khususnya pada pengupasan. Proses pengupasan secara
manual didahului dengan proses perendaman buah lada yang telah masak dipanen dalam rentang waktu antara 8-14 hari
[1] dan [6]. Selanjutnya proses pengupasan lada putih secara manual dilakukan dengan cara mengangkat lada keatas
permukaan air kemudian menggesekgesekkan kedua tangan secara terus-menerus pada lada tersebut di atas permukaan
air yang mengalir. Setelah bersih selanjutnya pengeringan dilakukan dengan dijemur pada panas matahari menggunakan
tikar atau lantai yang dicor selama 3-5 hari [1].
Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu mesin pengupas buah lada yang mampu mengupas, mencuci buah lada
sehingga terjadi efisiensi waktu proses pengolahan lada. Dengan adanya teknologi tepat guna berupa mesin pengupas
lada ini diharapkan mampu membantu masyarakat petani lada di Bangka Belitung. Beberapa penilitian terkait dengan
pengolahan lada pernah dilakukan diantaranya penelitian mesin pengupas lada tipe piringan. Mesin ini berkapasitas 6070 kg lada segar/ jam, dengan persentase pengupasan 93,94% tanpa perendaman, dan meningkat menjadi 97,20%
dengan perendaman pada putaran mesin 300 rpm telah dilakukan oleh R. Bambang Djajasukmana[7]. Warna biji lada
hasil pengupasan tanpa perendaman berwarna coklat, dan bila dengan perendaman warnanya agak putih. Sedangkan
untuk lada hijau memiliki karakteristik pengolahan tersendiri, yaitu selain dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah
ladanya juga dipengaruh oleh varietas buah lada ikut menentukan mutu produk akhir lada hijau. Lada setelah dipanen
sebaiknya langsung diolah, hal ini untuk mencegah terjadinya oksidasi zat polifenol oleh enzim polifenolase yang
menyebabkan warna buah lada menjadi coklat, buah lada yang langsung diolah 3-4 jam setelah pemanenan dapat
menghasilkan lada hijau dengan mutu yang baik [8]. Untuk menghindari penurunan mutu buah lada yang tidak
langsung diolah dapat dilakukan perendaman dalam larutan 2% garam dapur selama 12 jam, selain dapat
mempertahankan mutu buah lada, perendaman ini juga berfungsi menarik kotoran yang ikut terbawa saat pemanenan
[9] dan [10].

Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel) yang berkedudukan di Air
Kantung Sungailiat Bangka. Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Pebruari sampai dengan September 2012 ini.
Berbagai peralatan kerja berupa mesin perkakas dan peralatan kerja manufaktur yang terdapat pada Laboratorium

E-226

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Teknik Mekanik Polman Babel telah dipergunakan dalam proses pembuatan mesin daslam penelitian ini. Beberapa
peralatan tersebut diantaranya meliputi mesin bubut, mesin frais, mesin bor, mesin las serta peralatan kerja bangku dan
alat-alat perawatan seperti perkakas tangan berupa kunci-kunci, tang, gergaji tangan danlain-lain. Sedangkan buah lada
yang digunakan sebagai bahan ujicoba untuk diproses dalam penelitian ini berasal dari petani lada yang daerah Namang
Kabupaten Bangka Tengah.
Diagram alir metodologi dalam penelitian ini seperti tampak pada Gambar 1. Diagram alir tersebut telah menjadi acuan
untuk menyelesaian proses penelitian ini. Pertama dimulai dengan pengumpulan data sebagai dasar untuk membuat
konsep dan perancangan mesin. Data permintaan masyarakat yang meliputi karakteristik mesin yang diharapkan
diperoleh dari hasil jajak pendapat dan wawancara ketika kunjungan dilakukan pada petani lada di daerah kabupaten
Bangka Tengah. Perancangan mesin telah berhasil didetail gambarnya selanjutnya dilakukan proses pembuatan
komponen atau sparepart pada unit mesin yang sesuai di laboratorium Mekanik Polman Negeri Bangka Belitung.
Selanjutnya malingsing-masing komponen setelah diperiksa ukuran dan toleransinya dilakukan pemasangan pada mesin
(assembling). Setelah selesai perakitan komponen dilanjutkan dengan uji coba mesin untuk mengetahui tingkat
keberhasilan mesin, bila fungsi mesin sebagai pengupas lada belum tercapai dilakukan proses ulang, yaitu berupa
pengkajian ulang pembuatan konsep dan perancangan mesin. Demikian seterusnya terjadi siklus perbaikan fungsi mesin
hingga diperoleh kondisi mesin paling optimal.
Mulai

Pengumpulan Data

Pembuatan Konsep
Dan Perancangan Mesin

Proses Pemesinan

Assembling
Tidak
Percobaan Alat

Kesimpulan

Selesai
Gambar 1. Diagram alir proses penelitian

Material atau bahan yang digunakan untuk membangun mesin pengupas lada ini serta spesifikasinya disampaikan pada
Tabel 1. Berbagai jenis bahan tersebut ada yang diproses permesinan pada Laboratorium Mekanik Polman Negeri
Babel, seperti pembubutan poros, pengeboran lubang-lubang dudukuan mesin, pengelasan kerangka mesin danlain-lain,
serta ada yang dibeli langsung dipasaran seperti pompa air, bearing, motor bakar, puli-belt, pipa PPC, karet pelapis
bidang gesekan lada danlain-lain. Setelah dilakukan perakitan dan uji jalan maka mesin yang diputuskan sebagai
alternatif solusi dalam pengupasan buah lada ini seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

E-227

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Tabel 1. Nama bahan dan spesifikasinya yang digunakan dalam pembuatan alat pengupas lada,
Sungailiat 2012.
No.
Nama Bahan
Spesifikasi
1.
Poros Pengerol ST 40
Diameter 28 x 550
2.
Rangka Mesin ST 40 propil L 45
Dimensi 450 x 600 x 850
3.
Pelat Hopper, Aluminium
Dimensi 2 x 350 x 500
4.
Pelat Turun Lada, Aluminium
Dimensi 60 x 360 x 700
5,
Pelat dudukan bearing ST 40
Dimensi 3 x 265 x 600
6.
Dinding Karet Pipa PPC
Diameter 205 x 350
7
Pengerol Karet tebal 10 mm
Diameter 185 x 350
8.
Pelat dudukan motor ST 40
Dimensi 40 x 180 x 360
9.
Motor Bakar 2 HP bahan bakar bensin
Dimensi 350 x 400 x 450
10. Pompa air kap. 20-24 L/min
Dimensi 120 x 160 x 200
11. Puli 1 bahan tuangan
Diameter 202 x 25
12. Puli 2 bahan tuangan
Diameter 75 x 25
14. Puli 3 bahan tuangan
Diameter 105 x 25
15.. Bearing 6305
Diameter 25 x 30
16. V-belt Tipe B
B 38 dan B 60
17. Baut-mur M10
M 10 x 10, M10 x 30
18
Batang berulir
inchi x 500

Gambar 2. Bagian-bagian Mesin Pengupas Lada


Mesin pengupas lada ini terdiri atas enam bagian utama, yaitu hopper, penggiling, kerangka mesin, motor penggerak
atau motor bakar, pompa air dan penyaring (Gambar2). Hopper terdiri atas wadah penampung lada dan penyetel
kerenggangan untuk keluaran buah lada. Penggiling terdiri atas silinder yang berlapiskan karet dan papan silinder luar
yang berlapiskan karet juga yang dapat disetel kerenggangannya untuk menyesuaikan pengerolan buah lada yang
E-228

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

dikupas. Kerangka mesin terdiri dari kerangka mesin bagian atas yang menumpu hopper, menumpu sistem penyaring
danlain-lain, sedangkan kerangka mesin bagian bawah menumpu motor bakar, sistem transmisi dan pompa air.
Bagian penyaring terdiri dari pelat peluncur buah lada yang telah terkupas dan kawat ram sebagai fungsi penyaring
kotoran kulit lada. Pompa air berfungsi sebagai pencuci buah lada setelah digiling memiliki bagian berupa baling-baling
pompa dan selang-selang penyaluran air. Pompa air ini dirancang dengan sistem transmisi dari sumber penggerak yang
sama yaitu dari motor bakar menggunakan puli-belt sebagaimana seperti sistem penggiling pada pengupas buah lada.
Hasil dan Perancangan
Mesin pengupas lada metode pengerolan yang telah diselesaikan selanjutnya dilakukan uji coba pengupasan dan
sekaligus pencucian lada. Dalam uji coba mesin ini diberlakukan terhadap dua kriteria buah lada, yaitu buah lada segar
dari tangkai atau batang lada dan buah lada dengan perendaman tiga hari. Tabel 2 berikut menunjukkan hasil uji coba
pengupasan dan pencucian buah lada tanpa dilakukan perendaman atau diterapkan terhadap buah lada segar dari batang
lada, sedangkan tabel 3 menunjukkan hasil uji coba pengupasan dan pencucian buah lada dengan sampel lada yang
diberikan perlakuan berupa perendaman selama tiga hari.
Tabel 2. Hasil Uji Coba Menggunakan Mesin dengan Sampel Tanpa Direndam
PERSENTASI LADA
YANG
TERKELUPAS
SEMPURNA [%]

BERAT LADA
[KG]

WAKTU UJI
COBA
[MIN]

KAPASITAS
MESIN
KG/MIN

1.5

1.58

0.95

56.96

78.24

8.42

1.5

1.42

1.06

63.38

75.46

10.28

1.5

1.60

0.94

56.25

68.68

12.46

1.5

1.52

0.99

59.21

80.28

8.64

1.5

1.34

1.12

67.16

74,20

5.24

1.5

1.32

1.14

68.18

72.46

9.42

1.5

1.46

1.03

61.64

74.48

7.84

1.5

1.62

0.93

55.56

75.64

6.96

1.5

1.54

0.97

58.44

74.16

9.62

RATA-RATA

1.49

1.01

60.75

74.93

8.76

NO.

KAPASITAS
MESIN
KG/JAM

PERSENTASI
LADA YANG
HANCUR [%]

Tabel 3. Hasil Uji Coba Menggunakan Mesin dengan Sampel Direndam selama Tiga Hari

NO.

BERAT LADA
[KG]

WAKTU UJI
COBA
[MIN]

KAPASITAS
MESIN
KG/MIN

KAPASITAS
MESIN
KG/JAM

PERSENTASI LADA
YANG
TERKELUPAS
SEMPURNA [%]

PERSENTASI
LADA YANG
HANCUR
[%]

1.5

1.24

1.21

72.58

87.86

4.60

1.5

1.26

1.19

71.43

89.82

4.86

1.5

1.22

1.23

73.77

85.88

6.84

1.5

1.32

1.14

68.18

86.46

5.64

1.5

1.02

1.47

88.24

89.60

7.12

1.5

1.12

1.34

80.36

88.43

6.64

1.5

1.12

1.34

80.36

83.46

5.24

1.5

1.26

1.19

71.43

90.24

3.82

1.5

1.28

1.17

70.31

85.82

4.46

RATA-RATA

1.20

1.25

75.18

87.51

5.47

Kesimpulan
Pembuatan mesin pengupasan dan pencucian buah lada ini dapat mempercepat proses pengupasan dan pencucian
buah lada yang selama ini dilakukan secara tradisional. Mesin yang buat ini berkapasitas 60-75 kg lada
segar/jam, dengan persentase pengupasan 74,93 % tanpa perendaman, dan meningkat menjadi 87,51 % dengan
perendaman pada putaran mesin 400 rpm. Hasil ini bila dibandingkan dengan proses pengupasan dan pencucian
secara tradisional dapat menghemat waktu hingga 2- 3 kali 100%, dimana untuk kapasitas lada 300 kg, proses
E-229

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

secara tradisional memerlukan waktu antara 8 14 hari sementara proses pengupasan dan pencucian dengan
mesin ini dapat diselesaikan antara 4 - 6 hari. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa proses dengan
menggunakan mesin ini terdapat kerusakan butiran lada yang pecah hingga maksimum 5 9 %, sedangkan
proses tradisional hampir tidak ada lada yang pecah-pecah ataupun rusak.

Ucapan Terimakasih
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dirjen DIKTI
pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terimakasih juga peneliti
sampaikan kepada Direktur Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung selaku Institusi yang telah membantu
mewujudkan penelitian ini melalui penyediaan sarana proses manufacturing komponen-komponen mesin yang dibuat.
Terimakasih tidak lupa juga peneliti sampaikan kepada seluruh tim dalam penelitian serta berbagai pihak yang telah
membantu terselesaikannya penelitian dan artikel ini yang tidak dapat saya utarakan satu-persatu.

Daftar Pustaka
[1].Nanan Nurdjanah, 2006, Perbaikan Mutu Lada Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing di Pasar Dunia,
Perspektif, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, vol. 5 no. 1, pp.13 -25, Bogor,
Juni 2006.
[2] K.V. Peter, Handbook of Herbs and Spices, Woodhead Publishing Limited, pp.640, Cambride, England, 2003.
[3] Zainal Arifin, Bangun 10 ha Kebon Lada, Radar Bangka online, 09 Februari 2012, diakses Februari 2012.
[4].Usman Daras, and D. Pranoto, Kondisi Kritis Lada Putih Bangka Belitung dan Alternatif Pemulihannya, Jurnal
Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, vol.28 no.1, Sukabumi,
2009.
[5] Stepanus Widodo, Rekapitulasi Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Tanaman Tahunan Laporan
Semester 2 Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah, Koba, 2011.
[6] Sri Usmiyati and Nanan Nurjanah, Pengaruh Lama Perendaman dan Cara Pengeringan Terhadap Mutu Lada
Putih, Jurnal Teknik Industri Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian ,
vol. 16, no. 3, pp.91-98, Bogor.
[7]. R. Bambang Djajasukmana, Teknik Pembuatan Alat Pengupas Kulit Lada Tipe Piringan, Buletin Teknik
Pertanian, vol. 15, no. 2, pp. 70-74, Bogor, 2010.
[8] J. Vergeshe, Light on Dehydrated Green Pepper, International Pepper Community Bulletin, vol.16, no.1, pp.28
38.), 1992.
[9] Pruthi, Advance in Sun/Solar Drying and Dehydration of Pepper (Piper nigrum L.) , International Pepper
Community Bulletin, vol.16, no. 4, pp.617, 1992.
[10]. J.Towaha, and Y. Ferry, Prospek Pengembangan Teknologi Pengolahan Lada Hijau di Petani , Perspektif, Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, vol.10, no.1, pp. 2232, Sukabumi, Juni 2011

E-230

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Pengaruh Ukuran Butir Granit Dan Komposisi Berat Epoxy Pada Sifat Mekanik Komposit
Matriks Polimer Granit-Epoxy
Suryo Darmo 1)
Diploma Teknik Mesin, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada1)
Jl. Yacaranda Unit IV Yogyakarta
Telepon (0274) 6491301
E-mail : sur_yadar_ma@yahoo.com.sg1)
Abstrak
Polymer Matrix Composite (PMC) materials are widely used in industrial of machine tools
production because they have good vibration damping properties, thermal stability and good
flexibility geometry in making process. One type of PMC that can be made cheaply and easily is
the mixture of granit powder and epoxy resin. This composite is one of the example of Polymer
Concrete With Epoxy Resin. In this research, epoxy-granite PMC research is conducted by
using of grain size variation of granite +0.149mm / -0.210mm and +0.297mm / -0.420mm, and
of the volume ratio variation of granite to epoxy resin 1:5, 2:5, and 3:5. From the hardness test
is obtained that the minimum hardness is 161,1 RB and the maximum hardness is 175,6 RB.
From the compressive strength test is obtained that the minimum compressive strength is 118,3
kg/mm2 and the maximum compressive strength is 135,9 kg/mm2.
Keywords: epoxy-resin, granite, PMC, polymer concrete.
Kata Kunci : petunjuk penulisan, makalah, Seminar Nasional Teknoin 2012.
Pendahuluan
Bahan komposit PMC sudah terkenal sebagai bahan yang banyak dipakai sebagai bahan konstruksi mesin perkakas
dan CMM (Coordinate Measuring Machine). Hal ini terjadi dikarenakan sifat redaman getaran yang superior yakni
enam hingga sepuluh kali lipat dari yang dimiliki oleh besi cor. Selain itu stabilitas thermal amat mendukung rancang
bangun dan operasi mesin-mesin perkakas (Piratelli-Filho dan Shimabukuro, 2008). Beberapa peneliti seperti Fowler
(1999), Ohama (1977) dan Orak (2000) menunjukkan potensi komposit PMC untuk bahan pembuatan struktur mesin
perkakas presisi.
Meskipun sudah diakui banyak pihak akan keunggulan dari bahan-bahan komposit, bahan ini masih cukup mahal
dan rumit proses pembuatannya. Beberapa paten komersial dari bahan ini misalnya Granitan dari Fritz Studer (Swiss),
Microgranit dari ElbShliff Werkzugmachinen (Jerman) serta produsen lainnya di Amerika dan Eropa. Atas
pertimbangan tersebut, penelitian ini hendak mencoba membuat bahan komposit PMC dari material yang murah serta
mudah proses pengerjaannya. Bahan penyusun seperti granit dan epoksi yang dipakai pada penelitian ini termasuk
bahan yang mudah didapatkan di pasaran. Setelah menguji sifat-sifat mekanik specimen PMC tersebut diharapkan data
pengujian akan memadai untuk pemakaian tepat guna di industri lainnya.
Bahan komposit menggunakan resin epoksi dapat dibuat dalam tiga tipe yaitu komposit FRP (Fiber Reinforced
Plastic), mikrokomposit partikulat dan nanokomposit. Komposit FRP banyak digunakan pada industri dirgantara,
otomotif dan struktur. Mikrokomposit polimer digunakan pada perangkat mesin produksi. Untuk tipe mikrokomposit
dapat menggunakan bahan penguat berupa silika, kalsium karbonat, gelas dan karbida silicon (Ratna, 2007).
Penelitian komposit PMC dengan bahan serbuk granit ternyata tidak sebanyak bahan komposit lainnya. PiratelliFilho dan Shimabukuro (2008) membuat specimen PMC dari granit-epoksi untuk ukuran butir 500 mikron dan
komposisi resin epoksi sebesar 15% dan 20% berat. Hasilnya kekuatan tekan maksimal bahan PMC yang mereka buat
sebesar 114,23 MPa dari komposisi 20% berat epoksi. Angka ini masih di bawah data kekuatan tekan bahan PMC
granit-epoksi komersial yaitu Zainite sebesar 137 MPa. Pada penelitian lainnya, Mendonca et al (2003) mendapatkan
data kekuatan tekan sebesar 90 MPa untuk PMC dengan 15% berat epoksi. Hasil tersebut juga masih lebih rendah dari
yang diharapkan.
Tujuan dari penelitian ini:
Mengetahui kekuatan tekan PMC granit-epoksi.
Mengetahui kekerasan PMC granit-epoksi.
Landasan Teori
Bahan komposit PMC granit-epoksi merupakan bahan yang sangat potensial digunakan untuk konstruksi mesin
perkakas presisi. Hal ini disimpulkan mengingat kemampuan peredaman getaran bahan PMC dapat mencapai delapan
E-231

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

kali lipat dibandingkan dengan besi cor. Kemudian koefisien ekspansi panas bahan komposit PMC cukup rendah
sehingga mampu memberikan stabilitas thermal dan stabilitas dimensi dengan baik. Kedua alasan ini menjadikannya
cocok sebagai bahan teknik yang mampu mengurangi kesalahan dimensi akibat getaran mekanik selama mesin
beroperasi (Mason, 2001). Selain itu komposit PMC masih memiliki beragam keistimewaan lain seperti kekakuan
spesifik yang tinggi dan ketahanan terhadap korosi yang istimewa (Ratna, 2007).
Bahan dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk granit dan resin epoksi. Granit memiliki densitas sebesar
2,6 gram/cm3 dengan modulus elastisitas antara 60 hingga 80 GPa, kekuatan tarik 23 Mpa dan kekuatan tekan antara 65
hingga 150 Mpa (Ashby and Jones, 1988). Bahan resin misalnya Bisphenol-A YD-128 dengan media curing agent
berupa Ancamide 805 memiliki densitas 1,17 gram/cm3 pada temperatur 20oC, kekuatan tarik 61 MPa dan kekuatan
tekan sekitar 83 MPa (Piratelli-Filho dan Shimabukuro, 2008). Epoksi dipilih diantara resin termoset karena dibutuhkan
tekanan yang kecil untuk fabrikasi dibandingkan resin lainnya. Penyusutan epoksi lebih kecil sehingga tegangan sisa
cured product lebih rendah. Resin epoksi juga memiliki sifat mulur yang amat rendah serta tahan terhadap cuaca
(Ratna, 2007) dengan low moisture absorption 0,01% hingga 0,2% dalam 24 jam (Cheremisinoff, 1992, p.107).
Berdasarkan persamaan kinetik difusi Fick, konstanta difusi D (Harris, 2003, p.118) sebesar:
D = [d2/16M2][(M2 M1)/(t21/2 t11/2)]2

(1)

Dengan M1 dan M2 adalah moisture contents pada waktu t1 dan t2 dengan ketebalan spesimen komposit sebesar d.
Ditinjau dengan mekanika perpatahan bahan, resin epoksi memiliki fracture energy (GIc) dibawah 500 J/m2 yang masih
lebih tinggi dari thermosetting polymer lainnya (Chereminoff, 1992, p.129).
Spesimen komposit dengan polimer epoksi dapat dibuat dengan mechanical mixing, casting dan compression moulding.
Pembuatan spesimen komposit cara pertama dimulai dengan mencampur resin epoksi dengan curing agent. Pada saat
curing yaitu sekitar satu jam, bahan serbuk granit dicampur dengan gel resin. Setelah batasan 15 20% berat epoksi,
kekuatan tekan berkurang ketika fraksi volume epoksi bertambah (Mendona et al, 2003). Selanjutnya dapat dilakukan
pengujian sifat sifat-sifat bahan atas spesimen tersebut. Untuk pembuatan spesimen dengan cara kedua secara prinsip
sama dengan cara pertama namun menggunakan tekanan pada proses moulding.
Metode Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
Resin epoksi
Katalis
Serbuk granit
Pipa PVC ukuran diameter
Alat uji kekerasan
Universal testing machine
Penguji pasir pengguncang Ro-Tap.
Jalannya penelitian dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Mengayak serbuk granit dengan alat penguji pasir pengguncang Ro-Tap.
2. Memilih ukuran butir serbuk granit yang akan digunakan untuk penelitian yaitu +0,149mm/-0,210mm dan
+0,297m/-0,420m.
3. Memotong pipa PVC dengan panjang 18mm (3/4) untuk dijadikan cetakan.
4. Melakukan pencampuran 49 cc resin epoksi dengan 1 cc katalis.
5. Melakukan penakaran volume dan melakukan pencampuran serbuk granit dengan resin epoksi yang telah
dicampur dengan katalis. Perbandingan volume campuran serbuk granit dan epoksi adalah 1:5, 2:5, dan 3:5,
masing-masing berjumlah 3 buah untuk setiap ukuran butir serbuk granit.
6. Mencetak campuran serbuk granit dan resin epoksi ke dalam cetakan pipa PVC.
7. Setelah dua hari, campuran yang sudah mengeras dikeluarkan dari cetakan dan dipotong sehingga tingginya
menjadi 9mm, seperti Gambar 1.
8. Spesimen dihaluskan pada kedua permukaannya dengan kertas amplas.
9. Spesimen diuji kekerasannya, menggunakan metode Rockwell B. Pengujian dilakukan pada permukaan atas
dan permukaan bawah, masing-masing tiga kali. Bentuk spesimen hasil uji kekerasan adalah seperti Gambar 2.
10. Spesimen yang telah diuji kekerasannya selanjutnya diuji kekuatan tekannya. Bentuk specimen hasil uji tekan
adalah seperti Gambar 3.
11. Data hasil pengujian dirata-rata dan dimasukkan dalam tabel seperti ditunjukkan pada Tabel 1 hingga Tabel 4.
12. Data hasil pengujian dari Tabel 1 hingga Tabel 4 dibuat grafik seperti ditunjukkan dalam Gambar 4 hingga
Gambar 7.

E-232

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 1. Bentuk dan dimensi specimen

Gambar 2. Spesimen setelah uji kekerasan

Gambar 3. Spesimen setelah uji tekan


Hasil Penelitian
Polymer Matrix Composite dalam penelitian ini mempunnyai komposisi dan perbandingan sebagai berikut :
Untuk ukuran butir granit +0.149mm / -0.210mm, PMC mempunyai perbandingan volume butir granit terhadap
volume epoksi sebesar 1:5, 2:5, 3:5. Demikian juga untuk ukuran butir granit +0.297mm / -0.420mm, PMC mempunyai
perbandingan volume butir granit terhadap volume epoksi sebesar 1:5, 2:5, 3:5.
Dari hasil pengujian kekerasan, didapat data seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 3, kemudian dibuat grafik
hubungan antara kekerasan dan perbandingan volume granit terhadap volume epoksi seperti ditunjukkan pada Gambar
4 dan Gambar 6.
Tabel 1. Harga kekerasan PMC untuk ukuran
butir granit +0.149mm / -0.210mm
No.

Perbandingan
Volume Granit
Terhadap Epoksi

Kekerasan
Rata-rata
(RB)

1:5

174,9

2:5

172,3

3:5

169,1

Tabel 2. Harga kekuatan tekan PMC untuk ukuran


butir granit +0.149mm / -0.210mm
No.

1
2
3

Perbandingan Volume Granit Terhadap

Kekuatan
tekan

Volume Epoksi
1:5
2:5
3:5

(kg/mm2)
132
132,8
126,14

E-233

Kekerasan
RB

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

176
175
174
173
172
171
170
169
168
167
166
0,2

0,4

0,6

Perbandingan volume granit


Gambar 4. Hubungan antara perbandingan volume granit terhadap
volume epoksi dengan harga kekerasan PMC, untuk ukuran
butir granit +0.149mm / -0.210mm.

134
132
130
Kekuatan tekan (kg/mm2)

128
126
124
122
0,2

0,4

0,6

Perbandingan volume granit

Gambar 5. Hubungan antara perbandingan volume granit terhadap


volume epoksi dengan harga kekuatan tekan PMC, untuk
ukuran butir granit +0.149mm / -0.210mm.

Tabel 3. Harga kekerasan PMC untuk ukuran


butir granit +0.297mm / -0.420mm
No.

Perbandingan
Volume Granit
Terhadap Epoksi

Kekerasan
Rata-rata
(RB)

1:5

175,6

2:5

172,4

3:5

161,1

E-234

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Tabel 4. Harga kekuatan tekan PMC untuk ukuran


butir granit +0.297mm / -0.420mm
No.

Perbandingan
Volume Granit

Kekuatan
tekan

Terhadap Epoksi

(kg/mm2)

1:5

135,9

2:5

134

3:5

118,3

180

Kekerasan

175
170
165
160
155
150
0,2

0,4

0,6

Perbandingan volume granit terhadap


Gambar 6. Hubungan antara perbandingan volume granit terhadap
volume epoksi dengan harga kekerasan PMC, untuk ukuran
butir granit +0.297mm / -0.420mm.

140
135

Kekuatan tekan

130
125
120
115
110
105
0,2

0,4

0,6

Perbandingan volume granit terhadap


Gambar 7. Hubungan antara perbandingan volume granit terhadap
volume epoksi dengan harga kekuatan tekan PMC, untuk
ukuran butir granit +0.297mm / -0.420mm.
Kekerasan PMC baik untuk ukuran butir granit +0.149mm / -0.210mm maupun ukuran butir granit +0.297mm / 0.420mm, harganya akan turun bila jumlah butir granit semakin besar. Hal ini terjadi karena ikatan antar butir granit
semakin berkurang akibat semakin kurangnya resin epoksi yang berfungsi sebagai pengikat. Pada perbandingan volume
E-235

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

butir granit terhadap volume resin epoksi besarnya 3 : 5, harga kekerasan pada ukuran butir granit +0.297mm / 0.420mm mengalami penurunan drastis. Penyebab dari harga kekerasan yang rendah ini terjadi akibat semakin
banyaknya porositas akibat ukuran butir granit yang semakin besar dan jumlah butir granit yang semakin besar.
Dari hasil pengujian kekuatan tekan didapat data seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 4, kemudian dibuat
grafik hubungan antara kekuatan tekan dan perbandingan volume granit terhadap volume epoksi seperti ditunjukkan
pada Gambar 5 dan Gambar 7.
Pada ukuran butir granit +0.149mm / -0.210mm, harga kekuatan tekan maksimum tercapai pada perbandingan
volume granit terhadap volume epoksi 2 : 5. Namun demikian harga ini masih di bawah harga kekuatan maksimum
pada ukuran butir granit +0.297mm / -0.420mm. Pada ukuran butir granit +0.297mm / -0.420mm dan pada
perbandingan volume granit terhadap volume epoksi 3 : 5, harga kekuatan tekannya turun drastis bahkan harganya di
bawah kekuatan tekan PMC ukuran butir granit +0.149mm / -0.210mm. Hal ini terjadi karena ikatan antar butir granit
turun dan banyaknya pori-pori yang semakin tinggi.

Daftar Pustaka
[1] Ashby, M.F., Jones, D.R.H.,Engineering Materials, John Wiley & Sons, New York,1988.
[2] Cheremisinoff, Nicholas P., Handbook of Ceramics and Composites Vol. 2, Mechanical Properties and
Speciallty Applications, Marcel Dekker, Inc., 1992.
[3] Fowler D.W., Polymers In Concrete: A Vision For The 21st Century, Cement & Concrete Composites,
Vol.21, No. 5, pp. 449-452, Elsevier B.V., 1999.
[4] Harris, Bryan, Fatigue in Composites, Woodhead Publishing Ltd., 2003.
[5] Mason, F., Bases de maquinas de polimeros fundidos, Revista Maquinas e Metals (Basis of machines with
polymer melts, Machines and Metals Magazine), 2001:4, pp.64-83, 2001.
[6] Mendonca R.M.L., Piratelli-Filho, A., Levi-Neto, F., Particulate Composites for Applications in Precision
Engineering: Obtaining and Mechanical Properties, Proceedings os 2nd COBEF 2003, Uberlandia, MG, Brazil,
2003.
[7] Ohama Y., Recent Progress in Concrete-Polymer Composites, Advanced Cement Based Material, Vol.5,
Issue 2, pp. 31-40, Science Direct, Elsevier B.V, 1997.
[8] Orak S., Investigation of Vibration Damping on Polymer Concrete with Polyester Resin, Cement and
Concrete Research Vol. 30 pp. 171-174, 2000.
[9] Piratelli-Filho, A., Shimabukuro, F., Characterization of Compression Strength of Granite-Epoxy
Composites Using Design of Experiments, Materials Research Vol. 11, No. 4, ISSN 1516-1439, 2008.
[10] Ratna, Debdatta, Epoxy Composites: Impact Resistance and Flame Retardancy, ISBN: 1847350658,
Smithers Rapra Press, 2007.

E-236

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kaji Eksperimental Efek EGR Terhadap Performa Mesin Diesel Direct Injection
Menggunakan Campuran Bahan Bakar Diesel dan Metanol
Stefan Mardikus 1) , Jhonni Rentas Duling 2), Syaiful 3)
Laboratorium Thermofluid, Universitas Diponegoro1,2,3)
Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang
Telepon (024) 7460059
E-mail : stefanmardikus@ymail.com1)
Abstrak
Exhaust gas recirculation menjadi salah satu untuk mengatasi krisis bahan bakar karena dapat
mengurangi konsumsi bahan bakar. Akan tetapi penggunaan EGR memiliki dampak negatif
yaitu meningkatnya emisi soot yang dihasilkan. Upaya untuk mengurangi emisi soot dapat
dilakukan dengan menambahkan metanol pada bahan bakar diesel, sehingga pada penelitian ini
selain bertujuan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar pada mesin diesel juga mengurangi
polusi udara yang diakibatkan salah satunya oleh emisi soot. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa penurunan torsi dan daya terjadi ketika menggunakan EGR untuk
bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel-metanol, sedangkan BSFC menurun ketika
menggunakan EGR. Hal ini berarti bahwa konsumsi bahan bakar berkurang dengan
menurunnya nilai BSFC. Opacity pada penelitian ini menurun ketika tidak menggunakan EGR
bersamaan dengan meningkatnya prosentase metanol 5%, 10% dan 15%. Penggunaan EGR
terhadap nilai opacity berdampak meningkatnya nilai opacity.
Kata Kunci : Metanol, Bahan bakar diesel, EGR, Performa, Opacity.
Pendahuluan
Menipisya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya polusi udara yang mengakibatkan pemanasan global
terjadi karena adanya peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data statistik perkembangan jumlah
kendaraan bermotor tahun 1987-2010, peningkatan kendaraan bermotor dari tahun 2000 sebesar 18.975.344 juta dan
menjadi 76.907.127 juta pada tahun 2010 [1]. Menurut data statistik BP Statistical Review of World Energy, produksi
minyak di Indonesia tahun 2010 berjumlah 986 juta barel per hari dengan konsumsi kebutuhan bahan bakar minyak
berjumlah 1.304 juta barel per hari [2]. Hal inilah yang mengakibatkan krisis bahan bakar terjadi di Indonesia, salah
satunya dikarenakan produksi bahan bakar minyak lebih rendah dari kebutuhan bahan bakar minyak untuk kendaraan
bermotor.
Selain krisis bahan bakar, dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang ada di jalan dianggap sebagai
kontributor utama memburuknya lingkungan. Telah terbukti bahwa polutan dari emisi kendaraan bermotor berdampak
signifikan terhadap sistem ekologi dan kesehatan manusia [3]. Salah satu jenis mesin kendaraan bermotor yang sangat
sesuai untuk transportasi dan kendaraan alat berat adalah mesin diesel. Kontribusinya untuk kesejahteraan ekonomi,
efisiensi pembakaran yang tinggi, kehandalan, fleksibilitas bahan bakar, dan rendahnya konsumsi bahan bakar membuat
diesel banyak digunakan di beberapa negara [4]. Meskipun memiliki beberapa keuntungan tersebut, mesin diesel
memiliki masalah tentang pencemaran udara yang ditandai dengan adanya asap hitam atau gas buang sisa hasil
pemakaran. NOx dan PM (particular matter) merupakan emisi paling tinggi yang dikeluarkan dari hasil sisa
pembakaran mesin diesel dibandingkan HC (hydrocarbon) dan CO (carbonmonoksida) [6]. Menurut peraturan
perundang-undangan Menteri Lingkungan Hidup No.4 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru, maka perlu adanya upaya untuk mereduksi emisi kendaraan bermotor
[6]. Salah satu upaya yang digunakan yaitu dengan memodifikasi mesin dan sistem pembakarannya [7].
Bahan bakar diesel merupakan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui karena terbentuknya
membutuhkan waktu berjuta-juta tahun lamanya. Oleh karena itu, bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar diesel
perlu dikembangkan. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar diesel, akan tetapi penggunaan
bahan bakar biodiesel 100% masih perlu diteliti menyangkut terhadap performa mesin diesel karena perbedaan sifatsifat fisiknya [3]. Hal inilah yang mendorong ditelitinya pengaruh campuran bahan bakar diesel dan metanol terhadap
performa dan emisi mesin diesel. Untuk itu akan dilakukan penelitian terhadap penggunaan metanol sebagai campuran
bahan bakar mesin diesel. Metanol digunakan sebagai aditif campuran bahan bakar yang menyediakan oksigen dan
meningkatkan panas penguapan serta berpotensi mereduksi jumlah NOx dan PM (Particular Matter) [3]. Beberapa
keuntungan metanol diantaranya, rendah viskositas sehingga dapat dengan mudah diinjeksikan, dikabutkan dan

E-237

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

dicampur dengan udara, rendah emisi karena tingginya rasio stokiometri udara dan bahan bakar, serta dapat
meningkatkan efisiensi termal mesin [7].
EGR (Exhaust Gas Recirculation) menjadi salah satu cara untuk mereduksi tingginya emisi NOx yang
ditimbulkan mesin diesel dan mengurangi konsumsi bahan bakar [8]. Metode ini dilakukan dengan mensirkulasikan
sebagian gas buang ke dalam intake manifold yang kemudian bercampur dengan udara sebelum masuk ke dalam ruang
bakar. EGR dapat mereduksi NOx karena temperatur di ruang bakar menurun [9]. Emisi NOx pada mesin diesel
terbentuk pada temperatur tinggi [6]. Metode EGR dibagi menjadi dua, yang pertama Hot EGR dimana sebagian gas
buang disirkulasikan kembali tanpa didinginkan sehingga menyebabkan peningkatan pada suhu intake, yang kedua
Cold EGR dimana sebagian gas buang yang disirkulasikan didinginkan dengan menggunakan heat exchanger yang
menyebabkan penurunan suhu intake [10].
Pada penelitian ini, metode Hot EGR dan campuran bahan bakar diesel dan metanol akan diteliti.

Metodologi
Penelitian ini menggunakan mesin diesel 4 silinder, 4 langkah 2800 cc, dengan menggunakan prosentase
campuran bahan bakar metanol 5%,10%, dan 15% menggunakan EGR. Pada pengujian ini, setiap prosentase campuran
bahan bakar diberi beban penuh dengan 25% katub bukaan gas buang. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik performa dan emisi soot. Penelitian ini menggunakan dynamometer untuk mengukur daya dan torsi mesin,
termokopel tipe-K untuk mengukur temperatur kerja selama pengujian, buret untuk mengukur konsumsi bahan bakar,
manometer pipa U untuk mengukur tekanan dan gas analyzer untuk mengukur emisi soot.
Tabel 1. Spesifikasi mesin diesel
Table 1 Specification of the diesel engine
Engine type
4 cylinder, 4 cycle, OHV, vertical in-line, direct injection
Bore
93 mm
Stroke
102 mm
Compression ratio
18,2 : 1
Compression pressure
31 kg/cm2
Total piston displacement
2,771 cm3
Tabel 2. Sifat bahan bakar diesel dan metanol
Table 2 Properties of diesel fuel and methanol
Property
Diesel Methanol
Cetane number
45
4
Lower heating value (MJ/kg)
45.231 20.27
Density (g/cm3)
0.84
0.79
Viscosity (mm2/s)
2.0
0.59
Oxygen content (% mass)
50
Hydrogen content (% mass)
12,5

Gambar 1. Skema penelitian

E-238

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Diesel engine
Dynamometer
Intake manifold
Exhaust gas recirculation
Open valve EGR
Exhaust gas
Buret
input EGR temperature
output EGR temperature

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

mixture temperature
Exhaust gas temperature
Engine temperature
rpm
load cell
Air manometer
EGR manometer
Smoke meter
Opacity

Hasil dan Pembahasan


Bahan bakar diesel dan setiap prosentase campuran bahan bakar diesel diuji dengan EGR dan Non EGR. EGR
yang diberikan berdasarkan katub bukaan gas buang sebesar 25%. Gambar 2 menunjukan torsi mesin pada kondisi
pembebanan. Karakteristik kurva torsi menurun ketika menggunakan EGR. Nilai maksimum torsi mesin dihasilkan
bahan bakar diesel 100% dan campuran bahan bakar diesel 90% metanol 10% bernilai 182,37 Nm dan 180,97 Nm tanpa
menggunakan EGR. Ketika menggunakan EGR, nilai torsi maksimum dihasilkan campuran bahan bakar diesel 95%
metanol 5% dan diesel 90% metanol 10% bernilai 169,44 Nm dan 169,23 Nm. Hasil ini berpengaruh terhadap nilai
lower heating value, tingginya cetane number pada campuran bahan bakar dan jumlah oksigen yang berdampak pada
karakteristik pembakaran.

200

Torque (Nm)

160

120

80

EGR 25%
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

40

Non EGR
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

0
0

1000

1500

2000

2500

N (rpm)

Gambar 2. Torsi mesin

E-239

3000

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

50

Power (kW)

40

30

20

EGR 25%
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

10

Non EGR
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

0
0

1000

1500

2000

2500

3000

N (rpm)

Gambar 3. Daya mesin


Gambar 3 menunjukan daya mesin pada kondisi pembebanan. Karakteristik kurva daya menurun secara signifikan
ketika menggunakan EGR pada bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel dan metanol. secara khusus nilai
daya ketika menggunakan EGR untuk campuran bahan bakar diesel 95% metanol 5%, diesel 90% metanol 10% dan
diesel 85% metanol 15% bernilai 40,60 kw, 39,67 kw dan 40,22 kw. Fenomena penurunan nilai daya diakibatkan nilai
pembakaran campuran bahan bakar menurun dan menurunnya jumlah oksigen dikarenakan EGR mengurangi
konsentrasi O2 dalam ruang bakar.
0.5
EGR 25%
Full Load
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

BSFC (kg/kw.hr)

0.4

Non EGR
Full Load
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

0.3

0.2

0.1

0.0
0

1500

1600

1700

1800

N (rpm)

Gambar 4. Brake specific fuel consumption pada kondisi beban penuh


Variasi Brake specific fuel consumption ditunjukan pada gambar 4 untuk bahan bakar diesel dan campuran bahan
bakar diesel dan metanol dengan menggunakan EGR dan Non EGR. Penambahan bahan bakar diesel dan peningkatan
prosentase campuran bahan bakar diesel-metanol dengan menggunakan EGR mengakibatkan nilai BSFC menurun
dibandingkan tanpa menggunakan EGR. BSFC yang dihasilkan dengan menggunakan EGR pada campuran bahan bakar
diesel dan metanol 95%-5%, 90%-10%, dan 85%-15% pada rpm 1700 bernilai 0.157 kg/kw.hr, 0,155 kg/kw.hr, dan
0,139 kg/kw.hr.

E-240

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

100
EGR 25%
Full Load
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

Opacity (%)

80

Non EGR
Full Load
Solar100%
Solar95m5
Solar90m10
Solar85m15

60

40

20

0
0

1500

1600

1700

1800

N (rpm)

Gambar 5. Smoke opacity pada beban penuh

Hasil opacity dari bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel-metanol dengan menggunakan EGR dan Non
EGR ditunjukan pada gambar 5. Penggunaan EGR pada bahan bakar diesel dan setiap campuran bahan bakar dieselmetanol mengakibatkan tingginya nilai opacity dibandingkan bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel yang
tidak menggunakan EGR. Tinggiya nilai opacity terjadi pada bahan bakar diesel 100%, diesel 95%-metanol 5%, dan
diesel 90%-metanol 10% yang bernilai 78,96%, 72,16% dan 69,67%. Tingginya nilai opacity dikarenakan kurangnya
nilai oksigen dari penambahan sebagian gas buang yang disirkulasikan.

Kesimpulan
Penggunaan bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel dengan menggunakan EGR mengakibatkan nilai
torsi dan daya menurun jika dibandingkan dengan tidak menggunakan EGR. Hal ini berpengaruh terhadap nilai lower
heating value, tingginya cetane number pada campuran bahan bakar dan jumlah oksigen yang berdampak pada
karakteristik pembakaran.
BSFC berkurang ketika menggunakan EGR tetapi meningkat dengan tidak menggunakan EGR pada campuran
bahan bakar diesel diesel 95%-metanol 5%, diesel 90%-metanol 10%, diesel 85%-metanol 15%. Berkurangnya nilai
BSCF ketika menggunakan EGR berarti mengurangi konsumsi bahan bakar pada mesin utnuk menghasilkan daya.
Penggunaan campuran bahan bakar diesel-metanol mengakibatkan nilai opacity berkurang bersamaan dengan
penambahan prosentase metanol dalam campuran bahan bakar. Tetapi, penggunaan EGR meningkatkan nilai opacity
dari bahan bakar diesel dan campuran bahan bakar diesel-metanol untuk setiap prosentasenya.

Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]

[4]
[5]
[6]
[7]

[8]

Badan pusat statistic, Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2009, 2009.
BP Statistical Review of World Energy June 2011.
Lei Zhu, C.S. Cheung, W.G. Zhang, Zhen Huang,Emissions characteristic of a diesel engine operating on
biodiesel and biodiesel blended with ethanol and methanol, International Journal of the Total Enviroment,
Number 408, ScienceDirect, 2010.
Zhiqiang Guo, Tianrui Li, Combustion and emission characteristic of blends of diesel fuel and methanol to
diesel, International Journal of Fuel, Number 90, ScienceDirect, 2011.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru.
Asif Faiz, Walsh Michael P, Weaver Christopher S,Air Pollution From Motor Vehicles, Standards and
Technologies for Controlling Emissions, The World Bank Washington, D.C, USA, 1996.
Cenk Sayin, Ahmet Necati, Mustafa Canakci, The Influence of operating parameters on the performance and
emissions of a DI diesel engine using methanol-blended-diesel fuel, International Journal of Fuel, Number 89,
ScienceDirect, 2010.
Vinod SinghYadav , Perfomance and emission studies of direct injection C.I. engine in duel fuel mode

E-241

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]

(hydrogen-diesel) with EGR, International Journal of Hydrogen energy, Number 37, ScienceDirect, 2012.
V. Pradeep, R.P. Sharma, Use of HOT EGR for NOx control in a compression ignition engine fuelled with
bio-diesel from Jatropha oil, International Journal of Renewable energy, Number 32, ScienceDirect, 2007.
L. Nirajan, Shinjo, Experimental investigation on the effects of cold and hot EGR using diesel and biodiesel
as fuel, Department of Mechanical Engineering, India.
Mohamed Y.E. Selim, Eect of exhaust gas recirculation on some combustion characteristics of dual fuel
engine, International Journal of Energy Conversion and Management, ScienceDirect, 2003.
Cenk Sayin, Engine performance and exhaust gas emissions of methanol and ethanoldiesel blends,
International Journal of Fuel, Number 89, ScienceDirect, 2010.
Priambodo, Ir. Bambang, Operasi dan Pemeliharaan Mesin Diesel, Jakarta: Erlangga, 1995.
Heywood, John B.L, Internal Combustion Engine Fundamentals,McGraw-Hill, Inc, United States of
America, 1988.
Cengel, Yunus A, Thermodynamics An Engineering Approach, 5th 1ed, McGraw-Hill.
L. Nirajan, Shinjo, Experimental investigation on the effects of cold and hot EGR using diesel and biodiesel
as fuel, Department of Mechanical Engineering, India.
Malcolm Pirnie, Inc, EVALUATION OF THE FATE AND TRANSPORT OF METHANOL IN THE
ENVIRONMENT, January 1999, American Methanol Institute, Oakland, California.

E-242

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Kaji Eksperimental Efek Egr Terhadap Performa Mesin Diesel Direct Injection Menggunakan Bahan Bakar
Campuran Biosolar dan Biodiesel Jatropha
Jhonni Rentas Duling 1) , Stefan Mardikus2) , Syaiful3)
Magister Teknik Mesin Universitas Diponegoro1,2)
Jl.Prof.Sudharto,S.H Tembalang, Semarang Indonesia 50275
Laboratorium Thermofluid, Universitas Diponegoro3)
Jl.Prof.Sudharto,S.H Tembalang, Semarang Indonesia 50275
Telepon 085249558407
E-mail : r3ntas@gmail.com1)
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek Exhaust Gas Recirculation (EGR) type
panas, terhadap performa dan emisi asap pada mesin diesel Isuzu 2,8 liter type 4BJ1 yang
umum digunakan di Indonesia, dengan menggunakan bahan bakar campuran biosolar dan
jatropha biodiesel. Dalam experiment output EGR di tentukan pada temperatur 100C. Selain
itu, juga diberikan variasi dalam beban, rpm, % EGR dan komposisi campuran bahan bakar.
Hasil yang diperoleh, penghematan bahan bakar dengan menggunakan EGR yang terbesar
pada campuran biosolar 80 J20 sebesar 52.11% dan Emisi terendah terjadi pada campuran
biodiesel 70 J30 dengan nilai opacity maksimum pada putaran mesin 1800 rpm sebesar
30.16%.
Kata Kunci : EGR , performa, diesel, jatropha, opacity.
Pendahuluan
Cadangan minyak Indonesia hanya berkisar 4 milyar barrel didasarkan dari data BP Statistical Review of world
June 2012. Produksi minyak rata-rata diperoleh 942 ribu barrel per hari. Sementara itu, konsumsi pada tahun 2012
sudah mencapai 1, 43 juta barrel minyak per hari [1]. Data ini menunjukkan ada deficit produksi minyak rata-rata
sebesar 0,488 juta barrel per hari. Deficit produksi minyak menandakan krisis telah melanda Indonesia.
Dampak krisis yang paling parah adalah di bidang transportasi dan industri karena kedua bidang ini mempunyai
tingkat ketergantungan yang tinggi dengan bahan bakar minyak. Penyebab tingginya tingkat ketergantungan bidang
transportasi dan industri terhadap minyak bumi adalah karena mesin diesel banyak digunakan sebagai penggerak mula
di bidang tersebut. Data statistik jumlah kendaraan dengan mesin diesel yang digunakan di bidang transformasi untuk
jenis bus dan truk diesel berjumlah 6.511.530 unit pada tahun 2008 lalu. Kendaraan jenis ini jumlahnya naik menjadi
6.659.144 unit pada tahun 2009, dengan persentase kenaikan 2, 26% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010
kendaraan jenis ini meningkat jumlahnya menjadi 6.937.898 unit, dengan persentase kenaikan 4, 18% dari tahun
sebelumnya [3]. Data menunjukkan banyaknya kendaraan yang lumpuh di bidang transportasi akibat krisis bahan bakar
apabila bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui untuk mesin diesel tidak dicari dan dikembangkan dengan
segera. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk turut serta mencari solusi permasalahan di bidang transportasi di
Indonesia.
Bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui adalah biodiesel. Biodiesel dibuat dari tanaman sumber pangan
dan tanaman bukan sumber pangan. Biodiesel dari tanaman sumber pangan tidak dikembangkan karena akan
mengganggu ketahanan pangan. Bahan dasar biodiesel dari bahan non pangan adalah mahua, alga, pungamia, biji karet,
jatropha (jarak pagar) dan lain-lainnya [4]. Penelitian ini menggunakan biodiesel jatropha yang mempunyai potensi
besar dikembangkan di Indonesia karena bisa hidup di lahan kritis dan tandus.
Kelebihan biodiesel jatropha dibandingkan solar adalah memiliki rantai hidrokarbon yang sederhana, tidak
mengandung belerang, struktur molekulnya mengandung oksigen, titik nyala yang tinggi, mempunyai sifat pelumasan
yang baik, sehingga menarik untuk diteliti. Kekurangan biodiesel jatropha adalah mempunyai nilai modulus bulk yang
tinggi dan temperatur didih yang tinggi dari solar sehingga memicu terbentuknya emisi nitrogen oxides (NOx) [5].
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan solusi untuk mengurangi emisi NOx [5,6,7,8,9]. Emisi
NOx dikurangi dengan jalan mengsirkulasikan sebagian exhaust gas kembali ke ruang bakar. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya volume udara segar yang dapat masuk ke dalam ruang bakar sehingga temperatur pembakaran bisa turun
menjadi 2000 0 K [6]. Turunnya temperatur ruang bakar akan menghambat terbentuknya emisi NOx. Metode ini disebut
metode exhaust gas recirculation (EGR) [6]. Kekurangan metode EGR ini adalah bila temperatur ruang bakar turun dari
20000 K maka akan memicu terbentuknya emisi jelaga (soot) [9]. Penelitian lain yang dilakukan oleh Alain Meiboon
dan kawan-kawan melaporkan peningkatan temperatur inlet pada tingkat EGR konstan memberikan emisi NOx bisa

E-243

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

positif dan bisa juga negatif tergantung pada temperatur operasi [7]. Penelitian ini akan meneliti lebih dalam efek
peningkatan temperatur pada tingkat EGR konstan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa dan emisi asap (smoke) dari mesin diesel sebelum dan
sesudah menggunakan EGR. Bahan bakar yang digunakan biosolar Pertamina dicampur dengan biodiesel jatropha, data
yang akan ditentukan adalah : daya pengereman, tekanan efektif rata-rata pengereman, konsumsi bahan bakar spesifik,
efisiensi bahan bakar, rasio ekuivalensi udara bahan bakar. efisiensi volumetric, opacity gas buang.
Data sebelum dan sesudah menggunakan EGR akan dianalisis. Dari hasil analisis selanjutnya diperoleh
campuran bahan bakar dan perlakuan yang paling optimum untuk campuran bahan bakar biodiesel sehingga dapat
digunakan dengan baik di mesin diesel.
Manfaat dari penelitian ini adalah ikut serta dalam program pemerintah untuk menjaga lingkungan dengan
mengurangi emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan mengurangi ketergantungan pada energi yang
bersumber dari bahan bakar fosil dengan mengembangkan energi terbarukan yang ramah lingkungan sebagai upaya
untuk mengatasi krisis energi di Indonesia.

Metodologi penelitian

Metode yang digunakan, dalam penelitian ini adalah metode experiment, dengan detail sebagai berikut :
Material Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan beberapa campuran bahan bakar, dengan komposisi dan nilai kalori seperti di
dalam tabel 1.
Tabel 1. Nilai Kalori Bahan Bakar
No.
1.
2.
3.
4.

Nama campuran bahan bakar


Biosolar Murni 100 %
Campuran solar 90% jatropha10%
Campuran solar 80% jatropha 20%)
Campuran solar 70% jatropha 30%)
(Lab. Mesin UNDIP)

Kalori/g
10801.2
10588.0
10368.2
10133.1

Peralatan Penelitian
1. Mesin yang digunakan di dalam penelitian ini, mempunyai spesifikasi seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Mesin
Diesel, OHV, vertical in line,
Direct Injection, 4JB1

Type Mesin
Jumlah silinder
Diameter langkah Volume
silinder
Daya maksimum
Torsi maksimum Tekanan
Kompresi

: 4 silinder
: 93 mm x 102 mm
: 2771 cc
: 59 / 3000 ( kW/rpm).
: 175 /2000 (Nm/rpm).
: 18,2 : 1

2. Alat ukur temperatur (thermocopel) dipasang pada exhaust, pada intake manifold, pada ouput EGR dan pada
intake manifold setelah output EGR.
3. Alat pengukur tekanan manometer dengan plat orifis pada intake dan pada input EGR.
4. Alat pengukur daya dynamometer merek dynomite Land&Sea
5. Alat pengukur emisi Stargas 898 dan Smokemeter OTC 495
6. Proximity sensor RPM
7. Stopwatch

Variabel Penelitian
-

Variabel bebas yaitu


1. Campuran bahan bakar D100, B10D90, B20D80, B30D70
2. Katup input EGR : Bukaan 25%
3. Beban : bukaan katup : 0%, 25%, 50%, 75%, 100%
4. Temperatur EGR : non EGR, 1000 C
5. Putaran mesin diesel :
Pengujian tanpa beban dimulai dari 1500 rpm sampai 2500 rpm.
Pengujian dengan menggunakan beban dimulai dari 1500 rpm sampai 2200 rpm.

E-244

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Variabel terkait yaitu :


1. Temperatur exhaust
2. Temperatur input EGR
3. Temperatur output EGR
4. Temperatur intake manifold
5. Temperatur mesin diesel
6. Temperatur ruangan
7. Tekanan manometer intake manifol
8. Tekanan manometer input EGR
9. Waktu per 30 ml bahan bakar
10. Opacity

Prosedur Pengujian
Pada penelitian ini, pengujian dilakukan dengan beberapa tahapan-tahapan, diantaranya :
1. Pengujian tanpa beban.
Pengujian tanpa beban dilakukan dengan menggunakan variasi putaran mesin dari 2500 rpm sampai dengan
1500 rpm. Pengujian tanpa beban dilakukan dengan menggunakan variasi bukaan EGR 25% pada kondisi
temperatur EGR hot 1000 C. Pengujian tanpa beban dilakukan untuk mengetahui pengaruh performa mesin
diesel, seperti konsumsi bahan bakar, AFR, dan Opacity pada kondisi tanpa pembebanan.

2. Pengujian dengan menggunakan beban.


Pengujian dengan menggunakan beban dilakukan dengan menggunakan variasi putaran mesin dari 2200 rpm
sampai dengan 1500 rpm. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan variasi pembebanan dari 25%, 50%,
75%, 100% dan variasi bukaan EGR 25% pada kondisi temperatur EGR hot 1000 C. Pengujian dengan
menggunakan beban dilakukan untuk mengetahui pengaruh performa mesin diesel, seperti konsumsi bahan
bakar, AFR, dan Opacity pada kondisi pembebanan.

3. Pengujian torsi daya


Pengujian torsi daya dilakukan dengan menjaga putaran mesin pada 3000 rpm dan memberikan pembebanan
secara penuh sampai kondisi mesin tidak stabil. Pengujian ini dilakukan untuk variasi bukaan EGR hot 25%
pada kondisi temperature EGR hot 1000 C.

Gambar 1. Setup Experiment


Hasil yang didiskusikan didasarkan pada efek EGR terhadap kinerja dan karakteristik emisi dari empat jenis
campuran bahan bakar yaitu Biosolar 100%, Biosolar 90 J 10, Biosolar 80 J20 dan Biosolar 70 J30. Mesin diuji pada
bukaan katup EGR 25% dengan beban maksimum pada rentang putaran mesin 900 3000 rpm.

E-245

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Hasil dan pembahasan

Performa Parameter
1. Output Torsi
Dari hasil pengujian dengan beban penuh dan bukaan katup EGR 25% diperoleh hasil seperti pada gambar 2, torsi
dengan menggunakan EGR lebih rendah dari tanpa menggunakan EGR, ini dikarenakan EGR mengakibatkan kadar
oksigen di ruang bakar menjadi berkurang, sehingga bahan bakar yang bisa terbakar juga akan berkurang yang
selanjutnya mengakibatkan torsi yang dihasilkan menjadi turun. Nilai penurunan torsi maksimum akibat penggunaan
EGR untuk setiap komposisi campuran bahan bakar Biosolar 100%, Biosolar 90 J10, Biosolar 80 J20 dan Biosolar 70
J30 dibandingkan dengan nilai torsi maksimum Biosolar 100% non EGR adalah sebesar 16.94%, 12.87%, 11.58%,
11.47%. Penurunan torsi paling tinggi terjadi pada campuran Biosolar 100% dan terendah pada campuran Biosolar 70
J30 ini terjadi karena biodiesel jatropha mengandung oksigen sehingga dapat mengurangi penurunan nilai torsi akibat
efek EGR.
200
180
160

Torque (Nm)

140
120
100
80

EGR
60

Biosolar 100%
Biosolar 70 J30
Biosolar 80 J20
Biosolar 90 J10

40
20

Non EGR
Biosolar 100%
Biosolar 70 J30
Biosolar 80 J20
Biosolar 90 J10

0
0

1000

1500

2000

2500

3000

N (rpm)

Gambar 2. Grafik hubungan Torque vs Rpm


2. Output Daya
Hasil pengujian output daya dapat dilihat pada gambar 3. EGR berpengaruh terhadap penurunan daya pada mesin
dan perubahan karakter putaran daya maksimum. Daya maksimum tertinggi mesin dengan tanpa EGR dihasilkan oleh
campuran biodiesel 100% sebesar 41.64 kW. Daya maksimum terjadi pada putaran 2300 rpm.
45
40
35

Power (kW)

30
25
20
15
EGR
Biosolar 100%
Biosolar 70 J30
Biosolar 80 J20
Biosolar 90 J10

10
5

Non EGR
Biosolar 100%
Biosolar 70 J30
Biosolar 80 J20
Biosolar 90 J10

0
0

1000

1500

2000

2500

3000

N (rpm)

Gambar 3. Grafik hubungan Power vs Rpm


Daya menurun dari daya pada spesifikasi mesin yaitu 59 kW pada putaran 3600 rpm, Hal ini terjadi karena perbedaan
campuran bahan bakar. Penurunan daya maksimum yang disebabkan EGR dan perbedaan campuan bahan bakar dengan
menggunakan campuran biodiesel 90 J10, biodiesel 80 J20 dan biodiesel 70 J30 pada mesin dengan EGR, diperoleh
sebagai berikut : 39.69 kW/2300rpm, 38.59 kW/2200 rpm dan 36.38 kW/2200 rpm. Besar persentase penurunan bila
dibandingkan dengan daya mesin tanpa EGR adalah 4.68%, 7.32% dan 12.63%.

E-246

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

3.

Konsumsi Bahan Bakar Spesifik atau Brake Specific Fuel Consumption (BSFC)
0.35
0.30

BSFC (kg/kw.jam)

0.25
0.20
0.15
0.10

EGR Full Load


Non EGR Full Load
Biosolar 100%
Biosolar 100%
Biosolar 70 J30
Biosolar 70 J30
Biosolar 80 J20
Biosolar 80 J20
Biosolar 90 J10
Biosolar 90 J10

0.05
0.00
0

1500

1600

1700

1800

N (rpm)

Gambar 4. Grafik hubungan BSFC vs Rpm.


Gambar 4 menggambarkan variasi konsumsi bahan bakar spesifik dari campuran bahan bakar biosolar 100%,
biosolar 90 J10, biosolar 80 J20 dan biosolar 70 J30 pada variasi EGR 0 dan bukaan katup 25% dengan pembebanan
penuh. Dari gambar dapat dilihat BSFC campuran bahan bakar dengan EGR lebih rendah dari tanpa EGR, besarnya
penurunan nilai BSFC dengan EGR dibandingkan dengan biosolar 100% tanpa EGR untuk campuran bahan bakar
biosolar 100%, biosolar 90 J10, biosolar 80 J20 dan biosolar 70 J30 adalah sebesar 35.81%, 49.21%, 52.11% dan
35.81%. Data ini menunjukkan terjadi penghematan bahan bakar dengan menggunakan EGR yang terbesar pada
campuran biosolar 80 J20 sebesar 52.11%.

Emisi Parameter

1. Opacity
Pada gambar 5 diperlihatkan perbandingan opacity exhaust gas, dengan berbagai campuran bahan bakar antara
EGR 0 dan EGR bukaan katup 25% pada rentang putaran mesin 1500 1800 rpm.

Gambar 5. Grafik hubungan Opacity vs Rpm.


Opacity asap bahan bakar campuran lebih rendah dibandingkan dengan biodiesel 100% baik pada EGR 0 maupun pada
EGR dengan bukaan katup 25%. Opacity asap dengan EGR bukaan katup 25% lebih rendah dibandingkan opacity asap

E-247

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

dengan EGR 0. Ini berarti EGR dapat menurunkan emisi asap atau smoke dan juga jelaga atau soot. Emisi terendah
terjadi pada campuran biodiesel 70 J30 dengan nilai opacity maksimum pada putaran mesin 1800 rpm sebesar 30.16%.
jika dibandingkan dengan opacity maksimum pada campuran Biosolar 100% tanpa EGR dengan nilai opacity 78.96%.
ini menunjukkan bahwa di dalam biodiesel jatropha, banyak mengandung oksigen sehingga pembakaran bisa terjadi
dengan lebih sempurna.

Kesimpulan
Efek EGR terhadap performa mesin diesel Direct injection menggunakan bahan bakar campuran Biosolar dan
biodiesel jatropha telah dilakukan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Penggunaan EGR mengakibatkan torsi dan daya dari mesin menjadi rendah tapi tidak terlalu signifikan sehingga
EGR masih layak untuk digunakan.
2. Konsumsi bahan bakar spesifik dengan menggunakan EGR menjadi turun sehingga EGR dapat digunakan untuk
menghemat bahan bakar.
3. EGR terbukti efektif untuk menurunkan emisi asap.
Biodiesel jatropha bila dicampur dengan biosolar dengan komposisi sampai 30% jatropha masih layak digunakan
sebagai bahan bakar diesel, walaupun daya nya turun sampai 12.63% jika bandingkan dengan menggunakan Biosolar
100% tanpa EGR, tetapi bila digunakan pada mesin dengan bukaan katup EGR 25% maka emisi asap nya bisa turun
sampai nilai opacity 13.16%.

Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]

British Petroleum, Statistical Review of World Energy, Juni, 2012.


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.
Badan Pusat Statistic, Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2010, 2010.
Ayhan Demirbas, Progress and recent trends in biodiesel fuels International Journal of Energy Conversion and
Management, Elsevier, 2009.
[6] M. Gomaa, A.J. Alimin, K.A. Kamarudin, The effect of EGR rates on NOX and smoke emissions of an IDI diesel
engine fuelled with Jatropha biodiesel blends, International Journal Of Energy And Environment, 2011.
[7] Agrawal, Avinash Kumar, Singh, Srivastava, Effect of EGR on exhaust gas temperature exhaust opacity in
compression ignation engines, Environmental engineering and management, India Institut of Teknology, 2003.
[8] Alain Maiboom_, Xavier Tauzia, Jean-Franc-ois Hetet, Experimental study of various effects of exhaust gas
recirculation (EGR) on combustion and emissions of an automotive direct injection diesel engine, Ecole Centrale
de Nantes, BP 92101, 44321 Nantes Cedex 3, France, 2007.
[9] K. Rajan , K. R. Senthilkumar, Effect of Exhaust Gas Recirculation (EGR) on the Performance and Emission
Characteristics of Diesel Engine with Sunflower Oil Methyl Ester , Jordan Journal of Mechanical and Industrial
Engineering, 2009.
[10] M. Gomaa, AJ Alimin,KA. Kamarudin, Trade-off between NOx Soot and EGR rate fot an IDI diesel engine
fuelled with JB5,World Academy of Science Engineering and Technology, 2010.
[11] Heywood, Dr.John B., Internal combustion engine fundamentals, By Mc.Grew-Hill, 1988.
[12] Society of Automotive Engineers SAE J1667 Recommended Practice, Snap Acceleration Smoke Test Procedure
for Heavy Duty Powered Vehincles, Society of Automotive Engineers Inc.2006.

E-248

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Persiapan Produksi Mobil Pedesaan Berbasis Ikm


(Preparation of Rural Vehicle Productions Small Medium Enterprise Based)
Agus Sentana, Bukti Tarigan, dan Farid Rizayana Mulia
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik - Universitas Pasundan (Unpas)
Jl. Setiabudhi no. 193 Bandung -40153
Telp. : 022-2019352 dan e-mail : agsen_d35x@yahoo.com
Abstrak
Daya saing suatu bangsa tidak lagi ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan
tenaga kerja murah, tetapi lebih ditentukan oleh inovasi, teknologi dan penggunaan
pengetahuan, atau kombinasi ketiganya. Kemampuan menghasilkan, memilih, menyesuaikan
diri (adaptasi), mengkomersialisasikan dan menggunakan pengetahuan sangat penting bagi
keberlanjutan pertumbuhan industri. Kondisi industri nasional yang saat ini sedang menurun
dapat diatasi apabila ada perubahan budaya inovasi pada tiap unit IKM dan secara terusmenerus mengalami perkembangan sehingga kualitas produk dapat bersaing di pasar ekspor
dan domestik. Apabila tingkatan ini tercapai, maka IKM dalam ekonomi dapat berfungsi
seperti ujung tombak bermata dua: disatu mata tombak mampu mengekspor barang
berkualitas dan dimata tombak satunya lagi dapat menangkal penetrasi impor barang sejenis
dari luar negeri. MOBIL PEDESAAN adalah sebuah pre-prototype yang dihasilkan dari
kerjasama penelitian
Material (P3TM-BPPT) dan Design Center Teknik Mesin
FakultasTeknik Universitas Pasundan (Design Center FT-UNPAS). Penelitian yang telah
dilakukan ini bertujuan menghasilkan desain mobil yang diperuntukan masyarakat pedesaan
untuk alat angkut hasil pertanian sekaligus pengolah hasil panennya. Pengolah panen
memanfaatkan putaran mesin mobil pada saat mobil berhenti (stationer). Mesin yang
digunakan Mobil Pedesaan adalah hasil program Riset Unggulan Strategis Nasional
(RUSNAS) di P3TM-BPPT, yang dinamakan RUSNAS ENGINE. Berdasarkan hal tersebut
diatas, maka diusulkan sebuah program kegiatan Pembuatan Prototipe Mobil Pedesaan
Berbasis IKM yang mendorong pemanfaatan hasil penelitian ("Mobil Pedesaan" dan
"Engine Rusnas") kedalam kegiatan industri komponen otomotif. Dalam penelitian ini
dikemukakan mengenai bagaimana Persiapan Produksi Pembuatan Mobil Pedesaan
Berbasis IKM. Kegiatan penelitian tersebut meliputi kegiatan teknis, review design, design
komponen, data base ikm, survey ikm, pemilihan ikm, dan optimalisasi design. Seluruh
kegiatan penelitian direncanakan dengan melibatkan Klaster Otomotif dan IKM komponen
otomotif sehingga diharapkan terjadi peningkatan penguasaan dan pemanfaatan ipteks di
IKM komponen otomotif. Peningkatan ipteks tersebut salah satunya adalah dengan
pembuatan welding jig yang dijadikan alat untuk membuat komponen otomotif swing arm
oleh IKM komponen otomotif.
Kata kunci: Mobil Pedesaan, Klaster Otomotif, IKM, Welding Jig, Swing arm
I. Pendahuluan
Daya saing suatu bangsa tidak lagi ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja murah, tetapi lebih
ditentukan oleh inovasi, teknologi dan penggunaan pengetahuan, atau kombinasi ketiganya. Kemampuan menghasilkan,
memilih, menyesuaikan diri (adaptasi), mengkomersialisasikan dan menggunakan pengetahuan sangat penting bagi
keberlanjutan pertumbuhan industri.
Kondisi industri nasional yang saat ini sedang menurun dapat diatasi apabila ada perubahan budaya inovasi pada tiap
unit IKM dan secara terus-menerus mengalami perkembangan sehingga kualitas produk dapat bersaing di pasar ekspor
dan domestik. Apabila tingkatan ini tercapai, maka IKM dalam ekonomi dapat berfungsi seperti ujung tombak bermata
dua: disatu mata tombak mampu mengekspor barang berkualitas dan dimata tombak satunya lagi dapat menangkal
penetrasi impor barang sejenis dari luar negeri.
Pentingnya industri komponen telah menarik beberapa negara dunia ketiga seperti India, China, Brasil, Thailand,
Taiwan dan Argentina untuk masuk ke dalam persaingan otomotif dunia. Selain sebagai pemasok industri otomotif
induk di negaranya sendiri maupun di negara prinsipal, beberapa negara tersebut juga mengarahkan pasarnya ke negara
lain yang umumnya memiliki pendapatan per kapita rendah. Di beberapa negara dengan pendapatan yang rendah, mobil

E-249

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Kualitas

cenderung akan dipelihara dalam umur yang lama. Keadaan ini merupakan target yang jelas dari pasar industri
komponen.
Untuk menghindari terulangnya kondisi di mana Indonesia akhirnya hanya menjadi ajang perdagangan negara
produsen mobil dan juga untuk mendukung pengembangan industri otomotif dalam negeri, maka sudah saatnya
perhatian mulai dipusatkan dalam pengembangan industri terutama IKM komponen otomotif.
Latar belakang signifikansi dan pentingnya teknologi yang didifusikan bagi pembangunan dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Industri otomotif merupakan industri unggulan nasional
2. Dibutuhkannya kendaraan yang sesuai untuk masyarakat pedesaan
3. Mobil Pedesaan meningkatkan distribusi hasil bumi di pedesaan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan
nasionaL
4. Teknologi yang didifusikan merupakan teknologi untuk penguatan industri otomotif dan otomotif nasional
Industri otomotif merupakan industri unggulan nasional karena:
a. Menyerap tenaga kerja yang signifikan
b. Memiliki rantai nilai yang panjang
c. Memiliki peluang export yang tinggi untuk meningkatkan devisa
d. Pasar nasional, regional dan internasional yang sangat besar
Saat ini mobil produksi yang beredar di Indonesia belum ada yang dikhususkan untuk masyarakat pedesaan. Mobil
pedesaan yang diinginkan oleh masyarakat pedesaan secara umum adalah mobil yang:
1. Harga terjangkau oleh masyarakat pedesaan
2. Mudah dan murah perawatannya
3. Irit bahan bakar
4. Multifungsi
5. Alat tranpostasi hasil bumi
Mobil Pedesaan yang dikembangkan dalam kegiatan yang diusulkan ini diperuntukan bagi angkutan dan distribusi hasil
bumi yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Lebih jauh lagi, kendaraan pedesaan dapat meningkatkan
ketahanan pangan nasional dalam hal meningkatkan pengangkutan dan distribusi hasil pertanian dan perkebunan.
Teknologi yang didifusikan merupakan teknologi untuk penguatan industri otomotif nasional, yaitu:
1. Desain otomotif dan komponen
2. Teknologi manufaktur
3. Teknologi material
4. Teknologi engine
Strategi pengembangan Mobil Pedesaan adalah single platform yang dapat digunakan untuk berbagai jenis mobil.
Platform chassis mobil dirancang sedemikian rupa sehingga:
a. Komponen mobil dapat dibuat oleh IKM
b. Aplikasi chassis dapat digunakan untuk berbagai jenis kendaraan, seperti:
c. Mobil angkut hasil bumi
d. Mobil pengolah hasil bumi
e. Mobil angkutan umum di pedesaan (angdes)
f. Mobil perkebunan (kelapa sawit, coklat, dll.)
g. Mobil fungsi khusus (Mobil untuk berjualan, Mobil angkut sampah, Penyapu Jalan/Street Sweeper, dll.)

Komponen impor
Percepatan difusi & pemanfaatan iptek

Komponen lokal

Waktu
Gambar 1. Gambaran Kualitas komponen lokal dibandingkan
dengan komponen impor

E-250

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Harga

Kondisi industri otomotif, terutama IKM komponen otomotif saat ini sangat memprihatinkan. Industri nasional tidak
mampu memenuhi kebutuhan komponen untuk pabrikan otomotif (OEM/Original Equipment Manufacturer) karena
produk komponen industri lokal kualitasnya rendah, biaya produksinya tinggi serta waktu pengiriman yang tidak tepat.
Hal ini terjadi pula pada komponen penganti (aftermarket/spare part) yang dibanjiri oleh produk impor dari Negara
China, Thailand dan Malaysia. Industri otomotif nasional tidak dapat berkembang tanpa dukungan industri komponen
yang kuat. Hal ini dapat dilihat di India, China dan Malaysia, dimana industri otomotifnya berkembang pesat dengan
berbagai brand lokal yang sudah mulai mendunia. Produk seperti Tata dari India, Cherry dari China dan Proton dari
Malaysia saat ini tengah bersiap-siap memasuki pasar Amerika dan Eropa.

Komponen lokal

Percepatan difusi & pemanfaatan iptek

Komponen impor

Waktu
Gambar 2. Gambaran harga komponen lokal dibandingkan
dengan komponen impor

Salah satu hal yang menyebabkan IKM komponen tidak dapat bersaing adalah tidak adanya kegiatan research and
development (R&D) di IKM. IKM cenderung menjiplak produk yang sedang laku dengan berusaha menekan biaya
produksi namun mengabaikan kualitas. Tidak banyak IKM yang melakukan inovasi yang mampu membuat produk
dengan kualitas tinggi dengan biaya produksi yang rendah, ataupun membuat produk baru.Dana untuk kegiatan R&D
dinilai mahal sehingga diabaikan oleh IKM, padahal perguruan tinggi (PT) seringkali melakukan kegiatan penelitian
yang tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah di IKM. Kurangnya link and match antara PT dan IKM
menyebabkan kegiatan berjalan masing-masing tanpa adanya sinergi yang saling menguntungkan.Sementara itu, di
pedesaan, petani kesulitan dalam mengangkut dan mendistribusikan hasil panennya. Saat ini sarana yang digunakan
oleh petani dalam mengangkut dan mendistribusikan hasil panennya adalah dengan menggunakan mobil niaga berupa
mobil pick-up yang harganya relatif mahal. Belum ada kendaraan yang dikhususkan untuk masyarakat pedesaan,
terutama untuk kebutuhan sarana angkut hasil panen.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Produk IKM komponen otomotif tidak dapat bersaing dengan produk impor, walaupun untuk pasar lokal
b. Industri otomotif nasional sulit berkembang karena industri komponen-nya lemah
c. Tidak ada kegiatan R&D di IKM membuat IKM sulit berkembang
d. Dana untuk kegiatan R&D mahal sehingga diabaikan oleh IKM
e. Belum ada mobil yang dikhususkan bagi masyarakat pedesaan
E. PERSIAPAN BAHAN DAN INSTRUMENTASI KEGIATAN
Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahapan persiapan ini adalah:
Mempersiapkan Gambar Teknik Design Mobil Pedesaan yang sudah dibuat sebelumnya
a. Mempersiapkan dokumen teknis dan dokumen hasil pengujian Mobil Pedesaan yang sudah dilakukan sebelumnya.
b. Meng-install software yang dibutuhkan dan melakukan verifikasi software terhadap kasus-kasus textbook, untuk
mendapatkan keyakinan atas hasil komputasi software (Solidworks)
c. Survey bahan yang akan digunakan untuk kebutuhan pembuatan alat/prototype
d. Survey pendahuluan terhadap IKM di wilayah Bandung

E-251

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 3. Prototipe 1 Mobil Pedesaan


F. PELAKSANA DISAIN/ METODE KEGIATAN
Metoda kegiatan yang diusulkan untuk tahun pertama pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

Persiapan

Review Design
Database IKM

Data Pengujian

Survey IKM

Pemilihan IKM

Design Komponen

Optimalisasi Design

Gambar 4. Metode Penelitian


Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan metode yang diusulkan, dimana kegiatan penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu Kegiatan Teknis, Kegiatan Pengembangan IKM, dan Optimalisasi Design:
1. Kegiatan Teknis
2. Review Design
3. Data Pengujian
4. Desain Komponen
5. Pengembangan IKM
6. Database IKM
7. Survey IKM
8. Pemilihan IKM (belum dilakukan)
9. Optimalisasi Design (belum dilakukan)
Kegiatan dimulai dengan review desain mobil pedesaan yang sudah dibuat dengan kegiatan yang terdiri dari:
Kajian desain
Sketsa alternative desain
Draft desain komponen
Kegiatan berikutnya adalah membuat database IKM komponen otomotif, dimana kegiatannya terdiri dari:
E-252

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9
Survey ke IKM komponen otomotif di Jawa Barat
Pembuatan database
Sosialisasi kegiatan dilakukan kepada seluruh stakeholder klaster komponen otomotif, meliputi kegiatan:
Pemilihan IKM yang terlibat dalam pengembangan Mobil Pedesaan
Managemen pengembangan produk
Workshop pengembangan mobil pedesaan dilakukan oleh tim kerja kepada stakeholder yang terlibat dalam
pengembangan, dengan maksud untuk memberikan arahan kepada IKM yang terlibat dalam tahapan kerja berikutnya.
Diharapkan IKM yang terlibat akan mengikuti kegiatan secara aktif sehingga manfaat dari kegiatan ini dapat dirasakan
oleh IKM baik secara langsung maupun jangka panjang.
Optimalisasi desain dilaksanakan oleh tim kerja dengan maksud untuk menyesuaikan desain terhadap kebutuhan pasar
maupun kondisi atau kemampuan IKM dalam membuat komponen. Optimalisasi desain ini harus dapat dipahami oleh
IKM melalui gambar teknik.
G. TAHAPAN PROSES YANG TELAH DILAKSANAKAN
Data dan analisis yang telah diperoleh sampai saat laporan kemajuan tahap ini diajukan adalah sebagai berikut:
1. Kajian Design
Kajian design merupakan studi tentang design Mobil Pedesaan yang dikembangkan oleh Design Center Teknik Mesin
Unpas dengan BPPT. Mobil ini dirancang menggunakan Engine Rusnas.
Dari hasil kajian ini diperoleh beberapa kekurangan yang akan diupayakan untuk dihindari di desain Mobil Pedesaan
berikutnya, yaitu:
a. Dimensi terlalu besar, tidak bisa masuk gang
b. Power to Weight Ratio terlalu kecil
c. Tidak bisa multifungsi
d. Kurang ringkas.
Kendaraan pedesaan yang diinginkan oleh masyarakat daerah secara umum adalah kendaraan multifungsi yang:
a. Harganya terjangkau oleh masyarakat pedesaan
b. Mudah dan murah perawatannya
c. Irit bahan bakar
d. Multifungsi
Kendaraan multiguna yang dikembangkan dalam kegiatan yang diusulkan ini diperuntukan bagi angkutan dan distribusi
hasil bumi yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat di daerah. Lebih jauh lagi, Kendaraan
multiguna dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional dalam hal meningkatkan pengangkutan dan distribusi hasil
pertanian dan perkebunan.

2. Sketsa Alternatif Design


Beberapa alternative desain dikembangkan untuk berbagai fungsi mobil pedesaan, diantaranya:
a. Mobil angkut hasil pertanian
b. Mobil pengolah hasil pertanian
c. Mobil angkutan umum di pedesaan (angdes)
d. Mobil perkebunan (kelapa sawit, coklat, dll.)
e. Mobil fungsi khusus (Mobil angkut sampah, Penyapu Jalan/Street Sweeper, Puskesmas Keliling, Perpustakaan
Keliling, dll.)
f. Mobil untuk berjualan.

Gambar 5. Angkutan Panen

E-253

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 6. Angkutan Panen

Gambar 7. Angkutan Umum Pedesaan

Gambar 8. Kendaraan Niaga (Berdagang)

3. Database Industri Komponen Otomotif


Kegiatan terdiri dari:
1. Survey IKM Komponen Otomotif di Jawa Barat
2. Pembuatan Database
Kegiatan survey meliputi daerah: Sukabumi, Bogor dan Bandung.
Daerah-daerah diatas merupakan daerah yang memiliki sentra industri komponen otomotif. Database dikembangkan
berdasarkan data-data yang diperoleh selama survey.
Kegiatan sosialisasi Mobil Pedesaan Berbasis IKM meliputi:
o Presentasi dan diskusi kegiatan
o Pemilihan IKM yang terlibat dalam pengembangan Mobil Pedesaan
Presentasi dan diskusi dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu:
IKM komponen otomotif
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat
Kementerian Perindustrian

E-254

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012


ISBN No. 978-979-96964-3-9

Gambar 9. Sosialisasi kegiatan utama


H. KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN
Sesuai dengan metodologi yang dijelaskan diatas (Gambar 4) kegiatan yang dilaksanakan dalam kegiatan ini adalah
sebagai berikut:

1. Pemilihan IKM
Kegiatan ini adalah memilih IKM yang terlibat dalam pengembangan Mobil Pedesaan. IKM yang terlibat terlibat terdiri
dari berbagai industri, diantaranya:
a. Industri produk karet
b. Industri produk plastic
c. Industri produk pemesinan
d. Industri produk komposit
e. Industri produk aksesoris otomotif

2. Optimalisasi Design
Optimalisasi desain dilaksanakan oleh tim kerja dengan maksud untuk menyesuaikan desain terhadap kebutuhan pasar
maupun kondisi atau kemampuan IKM dalam membuat komponen. Optimalisasi desain ini harus dapat dipahami oleh
IKM melalui gambar teknik.
Beberapa kegiatan optimalisasi desain berkaitan dengan
Simulasi Dinamika Chassis Kendaraan
Optimalisasi Desain Frame
Optimalisasi Desain Komponen Suspensi
Optimalisasi desain frame dan komponen-komponen suspensi dilakukan dengan bantuan komputer berbasis Metoda
Elemen Hingga.

I.

HASIL YANG DICAPAI

Dari penelitian persiapan produksi mobil pedesaan berbasis IKM Hasil atau output yang dicapai adalah sebgai berikut
o Welding Jig yang berdasarkan metoda produksi yang ada di IKM dan dapat dijadikan standar di lingkungan IKM
o Swing Arm yang dijadikan komponen untuk mobil pedesaan yang nantinya akan dibuat oleh IKM Otomotif.

Gambar 10. Design Welding jig dan Swing Arm

E-255

Bidang Teknik Mesin


Yogyakarta, 10 November 2012

Gambar 11. Pembuatan Swing Arm dengan Welding Jig

Gambar 12. Swing Arm


DAFTAR PUSTAKA
1) Robinson, J., 1990, Motorcycle Tuning: Chassis, 2nd ed., Redwood Books, Wiltshire
2) Riley, R. Q., 1997, Automotive Design, Year 2010 and Beyond, J. D. Power & Assoc. Pewertrain Seminar,
Michigan
3) Riley, R. Q., 1999, Automobile Ride, Handling, and Suspension Design, with Implications for Low-Mass
Vehicle, www.rqriley.com
4) Rizayana, F., Nurhadi, I., Mahyuddin, A. I., 2000, Multibody Dynamic Analysis and Its Applications in
Vehicle Suspension System, Master Thesis ITB, Bandung
5) Rizayana, F., Nurhadi, I., Supangat, 2001, Analisis Suspensi Lengan Ayun Ganda pada Sepeda Motor
Yamaha GTS 1000 dengan Working Model 3D, TugasAkhirSarjanaJurusanTeknikMesin UNPAS, Bandung
6) Rizayana,
F., Jatmika, A., 2001, Simulasi Main Landing Gear Pesawat Boeing 737-300,
TugasAkhirSarjanaJurusanTeknikMesin UNPAS, Bandung
7) Rizayana, F., Lesmana, B., 2002, Perancangan Awal Chassis Kendaraan Beroda Tiga dengan Layout Satu
Roda di Depan dan DuaRoda di Belakang, TugasAkhirSarjanaJurusanTeknikMesin UNPAS, Bandung
8) Rizayana, F., Rahayu, A., 2002, Perancangan Awal Chassis Kendaraan Beroda Tiga dengan Layout Satu
Roda di Belakang dan Dua Roda di Depan, TugasAkhirSarjanaJurusanTeknikMesin UNPAS, Bandung

E-256

Anda mungkin juga menyukai