Haji Misbach.
Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka
mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya
yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme?
Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai
ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya.
Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang
berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran
Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet, ujar Bonnie.
Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang
revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. Dari
situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme, kata Dawam.
Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di
Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan
Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan
Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam
perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib,
menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah
seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk
beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir
gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak,
tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam
pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang
pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar.
Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini
menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis.
Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi
semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. Mereka
bertemu di jalan dan bubar di jalan, pungkas Dawam, karena bukan
persatuan organik antara agama dan ideologi.