Anda di halaman 1dari 3

Saat Islam dan Komunis Harmonis

Pada suatu masa, karena kesamaan tujuan, Islam dan komunisme


bersatu melawan penindasan.
Oleh: Yudi Anugrah Nugroho
Dibaca: 11654 kali

Haji Misbach.

ISLAM dan Marxisme merupakan dua hal berbeda, bahkan bertentangan.


Islam adalah agama yang ajaranya dapat diterima dan ditolak berdasarkan
iman atau kepercayaan, sedangkan Marxisme sebagai suatu teori ilmiah yang
diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional dan obyektif. Kebenaran
agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang
bersifat hipotesis.
Demikian M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta,
menyampaikan makalahnya pada diskusi Islam dan Marxisme di Serambi
Salihara, 11 Desember 2013.
Menurut sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana,
pertanyaan yang mencuat dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di

Indonesia sering kali berada di seputar: mengapa di daerah Banten dan


Silungkang Sumatera Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim
fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI)?
Paham Marxisme dibawa Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang
datang pada Februari 1913. Dia dipecat oleh Partai Buruh Sosial Demokrat
(SDAP) karena bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang kelak
menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Dia mendirikan Perkumpulan SosialDemokrat Hindia Belanda (ISDV) yang diakui sebagai partai Marxis pertama
di Asia Tenggara. Dialah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam
(SI) Semarang di bawah Semaoen.
Sementara itu, SI sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar,
di bawah pimpinan Tjokroaminoto menjadi organisasi moderat dan
berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil
anggotanya, kata Bonnie. Konflik internal mulai terjadi di dalam
kepengurusan SI. Pembentukan cabang SI yang otonom memperuncing
konflik internal.
Dawam menyebutkan, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto
dan Haji Agus Salim yang memilih kooperatif terhadap pemerintahan
penjajah membuat Haji Misbach bergabung dengan SI Merah yang dibentuk
oleh Semaoen yang setelah mengalami radikalisasi sejak 1919 dan
memisahkan diri dari SI, menjadi PKI pada 1923.
Tjokro-Salim memilih menempuh politik moderat karena ingin menjaga
persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan, kata Dawam.
Menurut Bonnie, perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi
insiden Afdeling B pada 1919, yaitu perlawanan Haji Hasan di Leles Garut
yang menentang pembayaran pajak padi. Peristiwa ini berakibat penangkapan
para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Agus Salim mengambil-alih
kepemimpinan SI dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh
Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunisme.

Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka
mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya
yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme?
Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai
ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya.
Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang
berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran
Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet, ujar Bonnie.
Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang
revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. Dari
situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme, kata Dawam.
Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di
Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan
Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan
Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam
perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib,
menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah
seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk
beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir
gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak,
tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam
pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang
pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar.
Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini
menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis.
Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi
semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. Mereka
bertemu di jalan dan bubar di jalan, pungkas Dawam, karena bukan
persatuan organik antara agama dan ideologi.

Anda mungkin juga menyukai