Anda di halaman 1dari 17

BANTUAN HUKUM DI PENGADILAN AGAMA

PENDAHULUAN
Bantuan Hukum sebagai bagian penting dalam pemberian akses terhadap keadilan (access to
justice) menjadi topik yang sangat populer. lni tidak hanya menjadi topik dan isu nasional, tetapi
juga menjadi isu yang hangat di dunia saat ini.
Di dalam Al-Quran dan Hadits secara tegas dijelaskan bahwa memberi pertolongan
(bantuan) antara manusia, dalam semua aspek kehidupan sangat dianjurkan terutama dalam
perkara-perkara kebajikan dan sangat dilarang apabila tolong menolong tersebut dilakukan untuk
mengerjakan kemunkaran dan maksiat kepada Allah SWT, hal ini tertuang dalam Al-Quran
surah al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

...
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dijelaskan pula Rasulullah SAW
bersabda: Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahualaihi wasallam
bersabda: Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mumin dari berbagai kesulitankesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa
yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia
dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia
dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. (H.R.
Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan bahwa tolong menolong atau memberi bantuan antar
sesama itu sangat dianjurkan oleh agama baik pertolongan itu dalam hal-hal yang bersifat
keduniaan maupun dalam hal-hal yang bersifat keukhrawian, hal inilah yang mempengaruhi
pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis maupun secara
keilmuan.
Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke
pengadilan agama sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang terkadang kaku

dan prosedural. Baik dalam tahapan litigasi ataupun non litigasi semuanya harus dilakukan sesuai
dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan
ditolak oleh pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai undangundang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.
Pengadilan juga mempunyai asas aktif memberi bantuan asas ini dicantumkan dalam Pasal
58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 5 ayat 2 UU no.14 Tahun 1970 yang berbunyi:
Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. 1
Pasal 56 UU No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 60B UU No. 50/2009
Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negara
menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.2
Pemerintah lndonesia sendiri memberikan perhatian yang luar biasa akan hal ini.yang
termaktub datam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 memasukkan target yang diberlakukan bagi tiap-tiap
yurisdiksi peradilan perihal jumlah masyarakat miskin dan terpinggirkan yang harus diberi akses
yang lebih baik terhadap pengadilan lndonesia melalui penyediaan layanan informasi,konsultasi
hukum, advis, dan pembuatan surat gugatan dan permohonan pada pos bantuan hukum yang
berada di gedung pengadilan, yang sudah di anggarkan melalui DIPA Makamah Agung.
Begitu juga dengan Mahkamah Agung tidak henti-hentinya melakukan perubahan dalam
upaya meningkatkan pelayanan hukum bagi masyarakat. Setelah kebijakan reformasi birokrasi
dan keterbukaan informasi, kini Mahkamah Agung melakukan terobosan baru memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara
ekonomi sebagaimana diatur dalam SEMA No. 10 Tahun 2010.
1

Pasal 58 (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 5 (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2
Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan dan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan bantuan hukum?
2. Bagaimanakah bantuan hukum yang ada pada Pengadilan Agama?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bantuan Hukum
Persoalan mengenai bantuan hukum dalam artian yang luas yaitu bantuan hukum yang
diberikan oleh advokat dan prosecurer di muka pengadilan, sebenarnya hal seperti ini
bukanlah barang baru bagi kita, masalah demikian sebenarnya sudah cukup lama dikaji
dalam pembelajaran hukum acara pidana maupun perdata atau dalam hubungannya dengan
tugas dan wewenang pengadilan, namun demikian hingga sekarang masalah ini masih tetap
menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut baik dalam konteks dengan penegakan
hukum maupun hak asasi manusia.
Sedangkan mengenai bantuan hukum sebagai suatu konsep, program dan lembaga yang
sekarang ini dikembangkan oleh Negara kita sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah
yang masih baru.
Menurut Adnan Buyung Nasution program bantuan hukum bagi rakyat kecil yang tidak
mampu dan buta akan hukum adalah hal yang relative baru di Negara berkembang.3
Sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum itu, secara konvensional di Negara kita
sejak dahulu bantuan hukum diartikan sebagai bantuan hukum yang diberikan oleh
pembela/pengacara terhadap kliennya baik dalam perkara pidana maupun perdata di muka
persidangan, walaupun istilah ini kurang begitu popular digunakan pada masa lampau bagi
Negara kita. Istilah ini baru dipopularkan sekitar tahun 1964 semenjak dikeluarkannya UU
No. 19/1969 yang secara tegas mengatur tentang permasalahan bantuan hukum.
3

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Negara-Negara Berkembang (Sebuah Kasus di


Indonesia, dalam 5 Tahun Lembaga Bantuan Hukum), (Jakarta: LBH, 1976). hal. 41.

Dalam UUD 1945 tidak dikenal adanya istilah bantuan hukum, akan tetapi dalam
konstitusi RIS dan UUD 1950 dapat ditemui dalam perkataan bantuan hukum kita sekarang.
Dalam pasal 7 ayat (4) konstitusi RIS disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat
bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan, sedangkan pada pasal 7
ayat (4) UUD 1950 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang
sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan yang berkawan
dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut hukum, jadi disini bantuan
hukum berarti pertolongan yang diberikan oleh hakim terhadap seseorang yang tertuduh/para
pihak dalam suatu perkara yang diadilinya.4
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang
berbeda yaitu, Legal Aid dan Legal Assistance. Istilah legal aid biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan beberapa pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa
pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara
secara cuma-cuma/gratis khususnya bagi mereka yang tidak mampu sedangkan pengertian
Legal Assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada
mereka yang tidak mampu, maupun oleh para advokat yang mempergunakan honorarium.
Disamping istilah Legal Aid dan Legal Assistance dikenal pula dengan istilah Legal
Service. Istilah ini Legal Service ini kurang tepat jika diterjemahkan dengan bantuan
hukum, akan tetapi akan lebih tepat diartikan dengan pelayanan hukum.5
Menurut Adnan Buyung Nasution bantuan hukum dalam pengertian yang luas dapat
diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum.
Menurut Adnan upaya dalam bantuan hukum ini mempunyai mempunyai tiga aspek yang
saling berkaitan yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek pengawasan terhadap
mekanisme untuk menjaga agar aturan-aturan itu ditaati dan aspek pendidikan masyarakat
agara aturan tersebut dihayati.6

Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983),


hal. 17.
5
Abdurrahman, Masalah Bantuan Hukum di Indonesia, (Majalah Orientasi No. 3 Tahun Ke II,
1977)
6
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 8-9.

Dari pemikiran Adnan Buyung diatas dapat menangkap setidak-tidaknya dua hal penting
yang berkaitan dengan bantuan hukum dalam pengertian yang luas pertama, ia merupakan
suatu gerakan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga akan menyadari
hak-hak dan kewajiban mereka sebagai manusia dan sebagai warga Negara Republik
Indonesia, kedua bantuan juga berarti usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan hukum
agar hukum dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan mengikuti perubahan keadaan.7
Pengertian bantuan hukum yang ditetapkan oleh Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat
Nasioanal 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan
hukum dan diberikan kepada golongan yang tidak mampu, baik secara perorangan maupun
kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif. Lingkup kegiatannya meliputi
pembelaan perwakilan baik diluar maupun di dalam pengadilan.
Pada tahun 1976 Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung juga merumuskan
pengertian bantuan hukum, sebagai pemberian bantuan kepada pencari keadilan yang tidak
mampu yang sedang menghadapi kesulitan di bidang hukum di luar maupun di muka
pengadilan.
Pengertian yang agak luas tentang bantuan hukum ini pernah juga disampaikan oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KaPolri), pendidikan klinis sebenarnya tidak hanya
terbatas untuk jurusan pidana maupun perdata untuk akhirnya tampil dimuka pengadilan,
tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti Jurusan Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Pemerintahan, Hukum Internasional dan lain-lain, yang memungkinkan
pemberian bantuan hukum diluar pengadilan misalnya dalam soal-soal perumahan di Kantor
Urusan Perumahan (KUP), atau imigrasi atau Departemen Kehakiman, bantuan hukum
kepada seseorang yang menyangkut urusan Internasional di Departemen Luar Negeri bahkan
memberikan bimbingan dan penyuluhan dibidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum
dan lain sebagainya.8
Sementara pengertian bantuan hukum oleh Jaksa Agung RI menyatakan bahwa bantuan
hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasehat hukum
7

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukumhal. 10.


Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum : Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia, 1983),
hal. 22.
8

sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau proses perkaranya


dimuka pengadilan.9
Seminar pembinaan profesi hukum berpendapat bahwa pengertian bantuan hukum
terdiri bantuan hukum diluar pengadilan. Pemberian bantuan hukum didalam pengadilan
menimbulkan masalah verpilichte procurusstelling yang berarti hak dan kewajiban
mendapatkan bantuan hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani
sebagai berikut:
1. Mewajibkan pengadilan untuk menunjukkan secara langsung atau melalui organisasi
profesi advokat untuk mendampingi/mewakili setiap orang yang berurusan di muka
pengadilan.
2. Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum untuk memberikan bantuan hukum
tersebut diatas.
Menurut Clerence J Dias menyatakan bahwa bantuan hukum adalah segala bentuk
pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di dalam masyarakat dengan
maksud untuk menjamin agar tidak seorangpun di dalam masyarakat yang akan terampas
haknya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukan (atau kalau perlu juga
untuk memperoleh wakil kuasa yang akan membela kepentingannya dimuka pengadilan)
oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang cukup.10
Meskipun perumusan tentang bantuan hukum yang tlah dikemukakan diatas sifatnya
beraneka ragam namun dari kesemuanya itu terdapat beberapa kesamaan prinsip yang secara
keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bantuan hukum adalah merupakan suatu hak, jadi bantuan hukum merupakan sesuatu
yang dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya dan pemenuhannya
itu merupakan suatu kewajiban.
2. Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan yang bersifat professional yang berarti
untuk melakukan pekerjaan yang dimaksud diperlukan suatu pendidikan khusus dan
keahlian khusus, keahlian yang demikian adalah berupa keterampilan untuk

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukumhal. 23.


Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asassi Manusia, (Jember,
Mandar Maju, 1994), hal. 10.
10

mempergunakan dan menerapkan suatu ketentuan hukum in abstracto ke dalam kasuskasus tertentu.
3. Bantuan hukum merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa kepada orang yang
memerlukannya, jasa tersebut dapat berupa pemikiran atau perbuatan tertentu berupa
bantuan dalam mempertahankan hak, memenuhi kewajiban hukum tertentu.
4. Bantuan hukum diberikan untuk semua aspek kehidupan, karena hukum mengatur
manusia sejak ia lahir sampai ia meninggal dunia maka bantuan itu pun harus diberikan
mencakup seluruh aspek kehidupan tersebut. Pemberian jasa ini dapat dilakukan dalam
membantu pembuatan kontrak-kontrak sampai mempertahankan dimuka pengadilan,
pemikiran apa yang dilakukan dalam lalu lintas hukum dan sebagainya sehingga sifatnya
menjadi sangat luas sekali.
B. Dasar Hukum Pemberian Bantuan Hukum
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pada Perubahan Kedua dalam Pasal 28D ayat (1)
dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Negara sudah semakin peka terhadap hak-hak dasar warga negara untuk mendapat
perlindungan hukum, ternyata dengan keluarnya UU Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu
UU No. 48 Tahun 2009 sebagai penyempurnaan UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya,
ditegaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum (Pasal 56 ayat (1)), bahkan ada lembaga hukum yang dianggap baru yaitu lahirnya
Pos Bantuan Hukum (Pasal 57 ayat (1)) yang harus ada disetiap pengadilan. Pos bantuan
hukum ini disediakan untuk masyarakat yang kurang mampu dalam pemahaman beracara di
pengadilan, sedangkan sebelumnya telah ada lembaga hukum yang menyediakan akses bagi
pencari keadilan bagi yang tidak mampu dari segi material bayar biaya proses di pengadilan
yaitu prodeo.
Secara kongkrit Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 jo. Pasal 60B ayat (2) UU No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, bahwa Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu, dengan demikian sejak berlakunya UU ini, maka akses bagi pencari keadilan yang
tidak mampu untuk mendapatkan keadilan semangkin terbuka.11
11

Marjohan Syam, Aplikasi Bantuan Hukum Bagi Pencari Keadilan yang Tidak Mampu, Artikel
pada Badilag. hal. 2.

Jadi yang menjadi dasar pemberian bantuan hukum tersebut ialah Undang-Undang dan
peraturan lainya sebagai berikut:12
1.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

2.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.
14 Tahun1985 tentang Mahkamah Agung;

3.

Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang


No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

4.
5.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;


HIR (Herzien Inlandsch Rechlement) Stb. 1941 No. 44 dan RBg (Rechtglement
Buitengewesten) Stb. 1927 No. 227;

6.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

7.

Qanun Prov. Nanggro Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariah;

8.

Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma;

9.

Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan


Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan; dan

10. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.


C. Jenis-Jenis Bantuan Hukum
Adapun jenis-jenis bantuan hukum yang difasilitasi oleh Negara, dalam hal ini
Mahkamah Agung sebagai pengawas sekaligus penyusun dalam membentuk Pedoman
Bantuan Hukum sebagaimana yang tertuang di dalam SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai
Pedoman Bantuan Hukum bagi Pengadilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata
Usaha, yang dikhususkan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomis dalam mencari
keadilan itu terbagi menjadi dua bagian:
1)

Bantuan hukum di lingkungan Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara,
bantuan hukum yang diberikan dalam Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah berupa dibentuknya Pos Bantuan Hukum yang memberikan layanan
bantuan hukum oleh Advokat Piket, berupa untuk pengisian formulir permohonan
bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum,

12

Ibid,. hal. 3

memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan
rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat.13
2) Bantuan hukum di lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini ada tiga bentuk bantuan
hukum yang diberikan oleh Pengadilan Agama, yaitu:
a) Prodeo, adalah proses berperkara di Pengadilan secara Cuma-Cuma dengan dibiayai
oleh Negara melalui DIPA Pengadilan.
b) Sidang Keliling, adalah siding yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktuwaktu oleh Pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi
diluar tempat kedudukan pengadilan.
c) Pos Bantuan Hukum, adalah memberikan layanan bantuan hukum oleh Advokat Piket
berupa pemberian informasi tentang bagaimana mendapatkan layanan jasa bantuan
hukum, konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan/permohonan dan khusus di
Mahkamah Syariyyah disediakan Advokat pendamping secara cuma-cuma untuk
membela kepentingan tersangka/terdakwa dalam hal terdakwa tidak mampu
membiayai sendiri penasehat hukumnya. 14
D. Bantuan Hukum di Pengadilan agama
Pelaksanaan Bantuan Hukum di pengadilan Agama meliputi tiga hal, yaitu (1)
pelaksanaan sidang keliling, (2) pembebasan biaya perkara (prodeo), dan (3) Pos bantuan
Hukum di pengadilan. Hal ini dijelaskan secara eksplisit oleh Surat Edaran Mahkamah
Agung N0. 10/2010 tentang Bantuan Hukum. SEMA ini merupakan sikap peka terhadap
persoalan masyarakat di bidang hukum dan juga respon positif terhadap beberapa UndangUndang. Dalam Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 56 (2)
jo. Pasal 60B (2) N0. 50/2009tentang Peradilan Agama dinyatakan : Negara menanggung
biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Kemudian Pasal 60C N0. 10/2009
jo. Pasal 57 (1) UU N0. 48/2009 menyebutkan: Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos
bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan
hukum.

13

Lihat Pasal 1 ayat (3) Lampiran A, SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum.
14
Lihat Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) Lampiran B, SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang
Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

Kemudian setelah itu, pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum. Meski banyak kalangan yang pesimis mengenai
efektivitasnya, namun upaya memenuhi access to justice tetap sangat diperlukan dalam
rangka mengatasi persoalan bantuan hukum dan memberikan bantuan hukum secara optimal
bagi rakyat miskin.
Salah satu bentuk respon positif saat ini adalah Badan Peradilan Agama ( Badilag)
Mahkamah Agung Republik Indonesia merumuskan tiga kebijakan penting yang berkaitan
dengan access to justice , yaitu pembebasan biaya perkara (prodeo), sidang keliling, dan pos
bantuan hukum (posbakum).
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya
untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan
melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan membutuhkan akses terhadap
keadilan (access to justice) dan kesamaan dihadapan hukum (equality before the law).
Jaminan atas hak konstitusi tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai,
sehingga dibentuk Undang-undang tentang bantuan hukum yang dijadikan dasar untuk
menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk
mendapatkan akses keadilan (access to justice) dan kesamaan dihadapan hukum.
Data penting mengenai peran Pengadilan Agama dalam program access to justice dirilis
oleh sebuah hasil survey yang diadakan atas kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Family
Court of Australia dan Indonesia Australia Legal Depelopment Facilities (IALDF). Tujuan
utama penelitian ini adalah untuk melihat tingkat kepuasan warga masyarakat yang
menggunakan Pengadilan Agama dalam menangani urusan hukum keluarga mereka. Studi
ini juga berupaya mengetahui apakah ada kelompok-kelompok masyarakat khususnya yang
hidup di bawah garis kemiskinan, yang tidak dapat atau tidak bersedia mengakses layanan
Pengadilan Agama untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga mereka,
dan bila memang ada, untuk kemudian mencari tahu penyebabnya.
Dari hasil penelitian di atas terungkap beberapa penemuan penting. Setidaknya ada 5
(lima) temuan utama dari penelitian yang kemudian dipublikasikan oleh cate Sumner dalam
buku Providing Justice to The Justice Seeker; A Report on the Indonesian Religious Court
Access and Equity Study, sebagai berikut :

1. Terdapat tingkat kepuasan yang tinggi diantara para pengguna Pengadilan Agama (70 %)
atas pelayanan yang diberikan. Mereka mengatakan akan kembali ke pengadilan agama,
jika nanti mempunyai masalah hukum yang sama ;
2. Kelompok termiskin dari masyarakat Indonesia menghadapi kendala yang signifikan
dalam membawa perkara hukum keluarga mereka ke pengadilan ;
3. Terdapat siklus perkawinan dan perceraian ilegal bagi perempuan Kepala keluarga
(kelompok yang di survey) yang hidup di bawah garis kemiskinan ;
4. Bagi masyarakat miskin, kendala utama dalam mengakses pengadilan agama adalah
masalah keuangan yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi dari dan
ke pengadilan ;
5. Kendala lainnya bagi masyarakat miskin dalam mengakses pengadilan agama adalah
kurangnya kejelasan informasi bagi mereka yang belum melek aksara.
Berdasarkan temuan tersebut direkomendasikan kepada pengadilan agama untuk
meningkatkan akses terhadap keadilan dan pelayanan publik dengan mengutamakan
peningkatan anggaran prodeo, pelaksanaan sidang keliling dan penyediaan pos bantuan
hukum.
Dari keterangan yang sudah disinggung diatas, maka bantuan hukum di Pengadilan
Agama yang merupakan program Justice for All ada tiga macam, yaitu:
a)

Penanganan perkara prodeo


Peraturan perundang-undangan menyatakan dengan tegas bahwa pembayaran biaya
perkara merupakan syarat imperatif yang memaksa. Konsekuensinya apabila Penggugat
belum membayar lunas biaya perkara, maka gugatan tersebut tidak bisa diproses lebih
lanjut oleh pengadilan. Namun demikian, undang-undang juga mengatur tentang
pemberian ijin berperkara tanpa biaya (free of charge) bagi mereka yang tidak mampu.
Hal itu seperti diatur pada Pasal 237 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yang
kemudian dikukuhkan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 jo.
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Alasan dasar pemberian ijin berperkara secara
prodeo adalah karena alasan kemanusiaan, keadilan umum dan pemberian hak dan
kesempatan bagi orang miskin untuk memperhatikan hak dan kepentingannya di
pengadilan secara cuma-cuma, dan Implementasinya pelayanan perkara secara cumacuma (prodeo) bagi masyarakat miskin.
Sesungguhnya, jauh sebelum lahirnya Undang-Undang dan SEMA tersebut,
Pengadilan Agama telah memberikan pelayanan perkara prodeo dalam rangka
memberikan pelayanan dan bantuan hukum kepada masyarakat. Kemudian pemberian

layanan prodeo ini mengalami peningkatan setelah dipublikasikannya penelitian yang


dilakukan oleh Cate Sumner. Mahkamah Agung kemudian memberikan respon cepat atas
temuan dan rekomendasi penelitian diatas. Anggaran untuk fasilitas prodeo ditingkatkan.
Peningkatan anggaran untuk sidang keliling dan perkara prodeo ini memberikan peran
penting dalam meningkatkan akses terhadap keadilan dan bantuan hukum bagi orangorang miskin dan mereka yang tinggal di wilayah terpenci.
Penyerapan anggaran prodeo memang telatif kecil. Hal ini disebabkan masyarakat
mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan pengajuan perkara secara prodeo.
Salah satu syarat utama adalah SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Berdasarkan
pantauan di lapangan, ditemukan banyak masyarakat menghadapi kendala mendapatkan
SKTM, mereka mengeluarkan biaya yang lumayan besar untuk mendapatkannya. Biaya
yang mereka keluarkan untuk mengurus SKTM bias jadi lebih besar daripada mereka
membayar langsungbiaya perkara. Selain itu, masyarakat menghadapi masalah psikologis.
Mereka merasa malu menggunakan layanan prodeo yang notebene fasilitas bagi orang
yang tidak mampu atau miskin.
b) Sidang keliling
Sidang keliling, adalah sidang pengadilan yang dilaksanakan di luar gedung
pengadilan yang diperuntukan bagi masyarakat yang mengalami hambatan untuk datang
ke kantor pengadilan karena alasan jarak, transportasi dan biaya.
Secara historis, sama halnya dengan penanganan perkara prodeo, sidang keliling
sudah dilaksanakan oleh Pengadilan Agama jauh sebelum berlakunya one roof system,
untuk mendekatkan keadilan dan pencari keadilan. Hal ini disebabkan karena menurut
peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa disetiap kabupaten terdapat Pengadilan
Negeri maka perlu ada Pengadilan Agama. Disamping itu sebagai wujud komitmen
kelembagaan Peradilan Agama untuk mewujudkan gagasan keadilan sosial, hak untuk
memperoleh keadilan bidang hukum keluarga, bagi masyarakat Indonesia yang meyoritas
beragama Islam apabila terjadi sengketa.
Pelaksanaan siding keliling mendapat respon positif dari para pencari keadilan. Dari
data pelaksanaan siding keliling dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan
penyelesaian perkara yang sangat berarti.

Salah satu bentuk program justice for all ialah apa yang telah dilakukan Peradilan
Agama bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri melaksanakan Istbat Nikah
(Pengesahan Nikah) di kantor Perwakilan Republik Indonesia yang bertempat di
Kinabalu, Sabah, Malaysia, untuk pertama kalinya pada tanggal 20 s/d. 24 Juni. Siding
keliling ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi
WNI/TKI yang berada di luar negeri dan juga untuk memberikan akses terhadap keadilan
yang seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia.
c)

Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM)


Berbeda dengan layanan siding keliling dan prodeo, posbakum merupakan sesuatu
yang baru untuk diterapkan di Pengadilan Agama. Keberadaannya baru ada sejak lahirnya
Undang-Undang N0. 50/2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 7/1989
tentang Peradilan Agama. Sebagai pranata baru di Peradilan Agama, Posbakum
merupakan implementasi Pasal 60 (c) Undang-undang No. 50 Tahun 2009
yang

mewajibkan

pembentukan

pos

bantuan

hukum

pada

setiap

Pengadilan Agama / Mahkamah Syariyah untuk pencari keadilan yang


tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum, terutama yang tidak
mampu membayar jasa advokat.

Tiga fasilitas Justice for All yang disediakan oleh Pengadilan Agama menampilkan
karakter yang berbeda. Siding keliling dimaksudkan untuk melayani mereka yang tinggal
di pedesaan dan tempat terpencil. Fasilitas prodeo dimaksudkan untuk meringankan
beban orang-orang miskin yang tidak mampu untuk membayar uang perkara. Sementara
di sisi lain, Posbakum dimaksudkan untuk memberikan layanan berupa pemberian
nasehat hukum, konseling dan pembuatan gugatan bagi mereka yang tidak tahu mengenai
masalah hukum dan tidak mampu membayar pengacara untuk menyelesaikan persoalan
hukum keluarga mereka. Posbakum untuk Mahkamah Syariyah memungkinkan untuk
menyediakan layanan pendampingan khusus dalam perkara jinayat.
Adapun jenis jasa hukum yang diberikan pada Posbakum di pengadilan Agama
adalah pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan.
Khusus untuk perkara jinayat di mahkamah syariyah, seperti di Pengadilan Negeri,
dimungkinkan juga penyediaan advokat pendamping secara cuma-cuma untuk membela
penerima jasa bantuan hukum di persidangan.

Sedangkan pemberi jasa bantuan hukum yang bertugas di Posbakum adalah pihak
luar pengadilan (advokat, sarjana hukum dan sarjana syariah) yang berasal dari
organisasi bantuan hukum dari unsur asosiasi profesi advokat, perguruan tinggi dan LSM
yang terikat dengan nota kesepahaman oleh pengadilan-pengadilan agama setempat.
Pasca lahirnya UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum, pelaksanaan Posbakum
tidak lagi dilakukan oleh pengadilan Agama. Menurut Pasal 6 UU tersebut, pemberian
bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh Menteri Hukum
dan HAM dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Undang-undang tersebut baru
bias diterapkan secara efektif pada tahun 2013. Pada tahun 2012, pelaksanaan Posbakum
masih dilakukan oleh pengadilan Agama karena sebelum UU tersebut lahir, pemerintah
telah menganggarkan pelaksanaannya yakni untuk 66 Pengadilan Agama.
Ditjen Badilag sendiri sangat mendukung terbentuknya UU No. 16/2011 tersebut.
Persoalan anggaran Posbakum akan dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM tidak
menjadi masalah, yang terpenting layanan Posbakum ini tetap ada.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa pemberian bantuan hukum terdapat
tiga macam bentuk bantuan hukum kepada pencari keadilan yang kurang/tidak mampu
dan syarat-syarat teknis pemberian bantuan itu sebenarnya telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut.
1) Pemberian bantuan beracara oleh advokat dengan Cuma-Cuma, diatur dalam PP No.
83 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (2) UU No. 18 Tahun
2003 yang pada intinya menentukan bahwa yang berhak memberi bantuan hukum
secara Cuma-Cuma itu ialah Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum.
Syarat-syaratnya ialah :
a) Pencari keadilan mengajukan permohonan tertulis kepada Advokat atau Organisasi
Advokat atau melalui Lembaga Bantuan Hukum.
b) Permohonan tersebut sekurang-kurangnya memuat :
1) nama, alamat, dan pekerjaan pemohon, dan
2) uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.
c) Melampiran surat keterangan tidak mampu dari Lurah/desa dan Kecamatan tempat
pemohon tinggal.
Pencari keadilan yang tidak bila menulis atau tidak pandai menyusun redaksi
permohonan, dapat mengajukan secara lisan yang dibantu oleh Advokat atau petugas
untuk itu dan dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh pemohon dan

Advokat atau petugas pada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Permohonan yang diajukan langsung kepada Advokat harus ada tembusannya kepada
Organisasi Advokat yang bersangkutan.
Pengertian Lembaga Bantuan Hukum dalam Pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa yang
dimaksud Lembaga Bantuan Hukum itu adalah lembaga yang memberikan bantuan
hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran honorarium.
2) Pemberian bantuan perkara prodeo mengacu kepada Pasal 237, 238 dan 239 HIR/273,
274 dan 275 RBg bagi pihak yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat
diizinkan berperkara tanpa biaya, dan ketentuan dalam Buku II edisi 2009 dengan
prosedur dan tatacara sebagai berikut:
a) Penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
permohonan untuk berperkara dengan cuma-cuma bersamaan surat gugatannya;
b) Permohonan untuk mendapatkan gugatan tanpa biaya tersebut dilampirkan dengan
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa, Banjar, Nagari atau Gampong;
c) Permohonan yang tersebut huruf b didaftarkan dalam daftar khusus untuk itu dan
atas dasar permohonan tersebut Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan PMH
untuk persidangan insidentil;
d) Setelah diperiksa permohonan melalui sidang insidentil, maka Majelis Hakim
mengeluarkan penetapan menerima atau menolak;
e) Apabila permohonan diterima, maka gugatan didaftarkan dalam register induk
perkara gugatan, dan jika permohonan prodeo ditolak maka yang pihak tersebut
diperintahkan untuk membayar biaya perkara;
f) Seandainya pihak yang ditolak prodeonya itu tidak membayar biaya perkara, maka
dibuat dalam catatan register khusus tersebut bahwa yang bersangkutan tidak
membayar biaya alias tidak jadi berperkara dan dengan demikian tidak diregister
dalam register induk gugatan;
g) Dan bila pihak Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara (diluar
perkara bidang perkawinan), maka ia dapat mengajukan permohonan dengan
cuma-cuma bersamaan dengan jawaban persidangan perkaranya;
h) Majelis hakim setelah mendengar tanggapan pihak lawan tentang permohonan
prodeo itu, mengeluarkan penetapan diterima atau ditolak;
Permohonan prodeo juga dapat diajukan pada pengadilan tingkat banding dengan
prosedur sebagai berikut :
a) Permohonan izin beracara secara prodeo disampaikan ke Pengadilan Agama yang
memutus perkara disertai dengan Surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa,
Banjar, Nagari, Gampong;
b) Permohonan didaftarkan didalam daftar yang tersedia untuk itu;
c) Dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak didaftar tersebut, Hakim yang ditunjuk
memerintahkan Panitera untuk memanggil kedua belah pihak mengahadiri

pemeriksaan, dan panggilan kepada lawan dilampirkan salinan surat permohonan


tersebut;
d) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara;
e) Dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari setelah pemeriksaan, Berita Acara dilampiri
permohonan izin beracara prodeo dan Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa atau
setingkat, harus sudah dikirim ke PTA bersama bundel A;
f) Berdasarkan Berita Acara PTA memeriksa permohonan tersebut dan hasilnya
dituangkan dalam penetapan yang salinannya disampaikan ke Pengadilan Agama;
g) Pengadilan Agama setelah menerima penetapan yang mengabulkan prodeo
tersebut dari PTA, memproses lebih lanjut seperti biasa permohonan banding yang
diajukan calon Pembanding;
Permohonan prodeo pada tingkat kasasi dapat diajukan dengan prosedur sebagai
berikut :
a) Permohonan diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua PA dengan
dengan dilampiri Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa atau
setingkat Kepala Desa;
b) Permohonan beracara secara prodeo dan keterangan tidak mampu dari serta berkas
perkara dan surat terkait dikirim ke Mahkamah Agung.
3) Pelaksanaan sidang keliling
Sidang Pengadilan Agama pada prinsipnya dilangsungkan di diruang siding yang
telah ditentukan diruang kantor Pengadilan Agama yang berkedudukan diibu kota
Kabupaten/Kota.
Ketentuan sidang tersebut dapat dilakukan diluar ruang sidang dimaksud dan harus
menenuhi deqorum, tempat persidangan ini disebut sidang ditempat atau sidang
setempat mirip seperti majelis hakim melakukan dessente yang dalam lingkungan
Peradilan Agama disebut sidang keliling.
Pelaksanaan

sidang

keliling

dilingkungan

Peradilan

Agama

agar

tidak

dipermasalahkan oleh orang tertentu harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


a) Dilaksanakan diruang sidang yang telah dibangun untuk itu (setting plaat), artinya
ruang sidang sudah deqorum dimana ada meja/kursi Hakim Majelis, meja/kursi
PP, burung garuda dan bendera merah putih plus bendera dharmma yucti.
b) Majelis hakim memakai baju toga sedangkan panitera pengganti/panitera sidang
memakai jas hitam;
c) Apabila tidak ada ruang sidang khusus (setting plaat), tetapi memakai ruang apa
saja yang dianggap layak dijadikan ruang sidang, maka harus dipenuhi hal-hal
sebagai berikut :
1) Majelis Hakim mengeluarkan penetapan bahwa persidangan perkara
No................... Penggugat ............... Tergugat ................... akan dilaksanakan
di................................. sampai perkara putus;

2) Ruang yang dipakai untuk sidang tersebut diusahakan agar mencapai


deqorum, harus dilengkapi pada saat itu dengan peralatan ruang siding seperti
pada huruf a diatas;
3) Biaya pemanggilan, pemberitahuan, teguran, dll harus berdasarkan radius
yang dibuat Ketua Pengadilan Agama dari tempat sidang keliling tersebut.
KESIMPULAN
1. Secara umum, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum (UU No. 16 Tahun 2011).
Bentuk bantuan hukum yang dijamin negara terdapat dalam Undang-Undang ada tiga
macam, yaitu (1) Memperoleh jasa advokat untuk beracara di Pengadilan dengan cumacuma, (2) Berperkara di Pengadilan dengan prodeo (cuma-cuma), dan (3) Penyediaan tempat
sidang ditempat (sidang keliling).
2. Pelaksanaan bantuan hukum di lingkungan Pengadilan Agama terdapat tiga macam bantuan
hukum sebagaimana diatas. Pelaksanaan program sidang keliling, perkara prodeo dan
bantuan hukum memerankan peran yang sangat penting dalam pemberian akses terhadap
keadilan (acces to justice) bagi masyarakat. Ketiga program tersebut dapat dinikmati oleh
masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di wilayah terpencil. Masyarakat yang buta akan
masalah-masalah hukum dan tidak mampu membayar pengacara juga dapat dibantu dengan
pemberian layanan Posbakum. Bagi mereka yang mengingingkan jasa bantuan hukum di
Lingkungan pengadilan Agama maka harus melakukan mekanisme yang sudah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai