PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu penyakit
yang ditandai oleh adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh
bronkhitis kronis atau emfisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya
progresif kadang diikuti oleh hiperaktifitas jalan nafas dan kadang kala parsial
reversibel. Tiga gejala utama PPOK meliputi sesak nafas, batuk menahun, dan
batuk berdahak. Namun pada kasus yang ringan tidak menimbulkan gejala
apapun. Beberapa ciri dari PPOK yaitu : biasanya dialami oleh perokok berat,
gejala muncul pada usia 40-an, gejala semakin lama semakin bertambah
buruk, gejala memburuk pada musim hujan / dingin, dan tidak ada
hubungannya dengan alergi (Lawrence, 2002 : 84).
Menurut data World Health Organization (WHO) saat ini ada sekitar
600 juta penderita PPOK di dunia dan 2,75 juta penderita karena penyakit ini.
Di Asia prevalensi terkena PPOK adalah 30-50/10000 perokok pria.
Sedangkan untuk populasi perokok perempuan 18/10000. Data statistik
menunjukkan bahwa 60% dari total populasi Indonesia adalah perokok.
Sekitar 5,7% diantaranya perokok berat yang beresiko terkena PPOK
(Andhika, 2003,1). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) merupakan
masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun
ke atas. Jumlah kasus PPOK ini memiliki kecenderungan untuk meningkat
dimana menurut WHO pada tahun 2020 diperkirakan bahwa PPOK akan
menjadi penyebab ke-3 ketidak mampuan (disability) di dunia (Suradi, 2009).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai
penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan
menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan
WHO,terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang Lebih dari 3 juta
meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua
kematian secara global. (WHO, 2010)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru paru. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan
penyebab kematian kelima terbesar di Amerika Serikat. Penyakit ini
menyerang lebih dari25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001).Akhir
akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD )atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasuskunjungan
pasien PPOK di instansi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,726.000
memerlukan perawatan dirumah sakit dan 119.000 meninggal selamatahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke
empatsetelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskular .Biaya
yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 Miliyar per tahunnya. World
health organization (WHO) bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK
akan meningkatBerdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995,PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian ke lima
di Indonesia Prevalensi bronkitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun
1995adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan adalah 3 berat. Menurut SKRT tahun 2001 penyakit saluran
napas menduduki peringkat ketiga penyebab ke matian utama di Indonesia
setelah sistem sirku lasi, infeksi dan parasit. Hasil survei penyakit tidak
dasar yang sangat penting bagi seseorang. Oleh karena itu seseorang harus
memahami dan mengerti tentang cara pencegahan dan kekambuhan PPOK.
Penyakit ini hanya dapat kita cegah dengan berhenti merokok, dan apabila
sudah mengalami kekambuhan penyakit ini hanya dapat dicegah agar
serangan kekambuhan (eksaserbasi)-nya tidak begitu sering. Untuk itu
diperlukan juga peran perawat guna meningkatkan pengetahuan pasien
tentang cara mencegah kekambuhan PPOK. Perawat sebagai pendidik
kesehatan harus mampu memberikan pengertian dan cara-cara mencegah
kekambuhan PPOK seperti halnya perawat memberikan penyuluhan pada
pasien PPOK. Perawat dapat memberikan informasi dengan berbagai cara,
selain penyuluhan, perawat dapat membagikan leaflet maupun brosur tentang
cara-cara pencegahan terjadinya PPOK. Dari tindakan penyuluhan tersebut
diharapkan akan dapat menambah pengetahuan dan sikap yang positif pada
pasien PPOK.
PPOK seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya dapat dicegah dan di
hindari sedini mungkin dengan mengetahui penyebabnya. Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmojo, 2003 : 121). Dalam
hal ini objek yang dimaksud adalah pengetahuan tentang PPOK. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoadmojo, 2003 : 121). Sikap dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmojo, 2003 :
125). Pengetahuan ini dapat menunjang terbentuknya sikap yang positif,
pengetahuan yang baik akan membentuk sikap yang baik, sehingga pada
akhirnya akan melahirkan perilaku yang positif. Diharapkan pengetahuan
yang memadai pada pasien PPOK tentang pencegahan kekambuhan PPOK,
dapat menunjang timbulnya sikap yang baik sehingga perilaku pencegahan
PPOK dapat dilakukan dengan baik pula.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka
perumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan
antara merokok dengan kejadian PPOK di wilayah Puskesmas Sedayu 1?
C. Daftar Masalah
Berdasarkan data register pasien yang berobat ke Puskesmas Sedayu 1
pada 6 bulan terakhir 2013 didapatkan beberapa masalah yang harus
dilakukan perbaikan. Beberapa masalah tersebut antara lain :
1. Asthma Bronkial
2. LBP
3. PPOK
D. Pemilihan Prioritas Masalah
Untuk menentukan prioritas masalah dari daftar masalah yang ada di
Puskesmas Sedayu 1 dilakukan analisa dengan menggunakan teknik matriks.
Tabel 1. Prioritas Masalah
No
1.
Daftar
Masalah
Asthma
Bronkial
Jumlah
(IxTxR
RI
DU
SB
PB
PC
1.152
2.
LBP
288
3.
PPOK
4.320
tidak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR TEORI
1. Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000
penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3
banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81
tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas
perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%
perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan
kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan
perokok pasif.
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak
adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39
penderita (84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan
proporsi 63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika
(2009) di RS. Haji Medan pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa dari
132 penderita yang paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok
umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut
penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari
sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok usia 60
tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%.
Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas
(100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan
terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam
Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5%
dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999
dari keseluruhan penyakit paru yang ada.
2. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau
yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.
Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan
adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi (Helmersen, 2002).
3. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan
keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas
antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran
udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag
untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi
dengan antiprotease,
sehingga
terjadi kerusakan
jaringan
a. Anamnesis
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),
dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun
polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien
merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200),
sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas
terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala
Sesak
1
2
3
4
5
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas,
pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena
jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor.
Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Gejala Klinis
-Dengan atau tanpa batuk
Spirometri
-VEP1 80% prediksi
(nilai
normal
prediksi,
atau
-VEP1
<
50%
dengan
gagal napas kronik
5. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma
pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau
gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal
jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).
Tabel
2.3.
Perbedaan
klinis
dan
hasil
pemeriksaan
Jantung
PPOK
> 45 tahun
Tidak ada
Asma Bronkial
Segala usia
Ada
Kronik
Segala usia
Tidak ada
Terus menerus,
bertambah berat
dengan aktivitas
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Melemah
Obstruksi ++
Restriksi +
<
Partikel toksik
Hilang timbul
+
++
Normal
Obstruksi ++
++
+
Meningkat
Obstruksi +
Restriksi ++
+
Penyakit jantung
kongestif
++
Partikel sensitif
akut
pada
PPOK
berarti
timbulnya
perburukan
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan
terapi
pada
penanganan
eksaserbasi
PPOK.
Dosis
pasti
yang
(PDPI, 2003).
d. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan
utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi,
tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan
gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan
sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung
kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
e. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi
berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.
Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara
konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%.
Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik,
menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor
pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah
berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal
napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau
tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain
itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal
jantung kanan (PDPI, 2003).
B. KERANGKA KONSEP
PPOK
NON PPOK
Merokok
Polusi udara
Hyperresponsive
infeksi
C. HIPOTESIS
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian observasional dengan pendekatan case control. Subyek dalam
penelitian ini diamati sekali saja dan pengukuran terhadap variabel subyek
dilakukan pada saat pemeriksaan.
Usia
Jenis rokok
Polutan
Jeniskelamin
2. Definisi Operasional
NO VARIABEL
DEFINISI
KATEGORI
SKALA
Penderita
Nominal
PPOK
Kontrol
PPOK)
tidakPPOK
Usia
Usia
kronologis 45 tahun
(perhitungan
usia
Nominal
yang
Merokok
bulan,
orang
survey
dilakukan.
Polutan
yang
Nominal
dapatpolutan di udara
mengakibatkan pencemaran(CO,CO2,SO,
terhadap lingkungan baikNO).
(Pencemaran Udara, Tanah,
Air, dsb).
6
Hiperesponsif Reaksi
berlebihan,
diinginkan(
tidak
Nominal
menimbulkan
ketidaknyamanan)
dari
F. Instrument Penelitian
1. Kuesioner untuk mengetahui karakteristik sampel.
2. Stetoskop merek lintman
3. Rekam medis
mengisi
kuesioner
penelitian
untuk
b. Palpasi
Fokal fremitus, pergerakan dinding dada
c. Perkusi
Suara paru, batas jantung dan hepar
d. Auskultasi
Suara dasar paru, suara tambahan.
c. Pengumpulan data sekunder
Mencatat penderita PPOK yang di diagnosis oleh dokter
Puskesmas Sedayu 1.
2. Alur Penelitian
Laki-laki dan perempuan usia di atas dan atau 45 tahun
Non PPOK
PPOK
merokok
Uji pearson
3. Etika Penelitian
Salah satu poin penting dalam etika penelitian adalah inform consent,
yaitu suatu kesepakatan formal dari partisipan penelitian untuk bekerja
sama dalam sebuah studi setelah seluruh sifat penelitian dan peran
partisipasi di dalamnya dijelaskan secara terbuka kepada mereka.
Komponen dasar inform consent adalah kompetensi, kesukarelaan,
informasi lengkap, dan pemahaman di pihak subyek. Dalam keadaan
tertentu, misalnya pada anak-anak atau pada orang dewasa sekalipun,
seringkali mengalami kesulitan mengenai komponene dasar inform
consent tersebut, atau tidak sepenuhnya bisa memahami apa yang akan
terjadi dalam peneltian. Oleh karena iu dalam setting intitusional,
partisipan tidak boleh merasa di paksa untuk menjadi bagian dalam
penelitian.
Semua subyek yang akan diikut sertakan dalm penelitian, diberi
perlakuan yang sama sebagai responden penelitian. Setelah membaca
dan diberikan penjelasan, setiap responden mempunyai hak untuk
menolak atau mengundurkan diri sebagai responden. Seluruh informasi
yang diperoleh dari total responden yang ada, merupakan rahasia yang
harus dijaga oleh peneliti, dari kemungkinan terburuk berupa
penyalahgunaan data oleh oknum-oknum yang bertanggung jawab.
Beberpa proteksi umum tertentu dapat membantu memastikan bahwa
masalah-masalah ini dapat ditangani dengan baik. Pertama, penelitian
universitas atau setting medic harus disetujui oleh sebuah institusional
review board (IRB). Komite ini terdiri dari dosen dan orang-orang non
akademik di masyarakat, dan tujuan mereka adalah memastikan hak-
di
luar
untukmenetapkan
penelitia
untuk
melihat
apakah
peneliti
cukup
prosedur
penelitian,
memperdulikan
soal
4. Rencana penelitian
Keterangan
Minggu 1
Perijinan
Penetapan sampel
penelitian
Penandatanganan
persetujuan pasien
Pelaksanaan
program
Pengolahan
data
Penyusunan
Laporan
Pengiriman
Laporan
Minggu 2
Minggu 3
H. Analisis Data
Analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
hubungan antara merokok dengan angka kejadian PPOK yaitu Analisis
bivariat yaitu uji korelasi Pearson.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sedayu 1,
yaitu desa Argosari dan desa Argomulyo. Sedayu adalah satu kecamatan di
wilayah pemerintahan Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Ibukota Kecamatan Sedayu berada 20 km di
sebelah Barat Laut Ibukota Kabupaten Bantul. Dalam wilayah Kabupaten
Bantul, Kecamatan Sedayu berada di perbatasan wilayah kabupaten,
berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat
dan Sleman di sebelah utara. Batas-batas wilayah Kecamatan Sedayu:
Sebelah Utara
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
: Desa Argorejo
Sebelah Timur
Sebelah Barat
PPOK
Non PPOK
Jumlah
Prosentase
Jumlah
Prosentase
Merokok
Ya
18
90%
30%
Tidak
10%
Jumlah
14
70%
20
100%
Aktif
Pasif
20
100%
10%
15%
16,7%
10%
33,3%
13
65%
50%
20
100%
100%
44,4%
83,3%
10
55,6%
16,67%
18
100%
100%
5,55%
16,7%
16,7%
33,3%
14
77,78%
50%
18
100%
100%
20%
5%
Lama Merokok
Perokok Pasif
1-10 tahun
11-20 tahun
> 20 tahun
Jumlah
Jenis Rokok
Filter
Non Filter
jumlah
Jumlah Rokok/tahun
0-200
200-600
>600
Jumlah
Riwayat Alergi
Ya
Tidak
jumlah
16
80%
19
95%
20
100%
20
100%
30%
35%
14
70%
13
65%
20
100%
20
100%
Paparan Polutan
Ya
Tidak
Jumlah
Signifikasi (p)
0,000
0,649
B. Pembahasan
Pada penelitian kami sebanyak 90% sampel PPOK mempunyai
kebiasaan merokok aktif sedangkan 10% merupakan perokok pasif. Pada
kelompok sampel Non PPOK hanya 30% yang merokok. Hal ini menunjukkan
bahwa merokok merupakan salah satu faktor resiko yang yang paling
berkontribusi terhadap kejadian PPOK. Hubungan merokok terhadap kejadian
PPOK terlihat pada table yang menunjukan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05)
dan nilai koefisien korelasi 0,649. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara merokok dengan angka kejadian PPOK (H0 diterima). Hal
ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli yang menyebutkan bahwa merokok
atau terpapar asap rokok dapat meningkatkan angka kejaidan PPOK (Widodo,
2009).
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan peluang
terjadinya PPOK seperti kebiasaan merokok, polusi udara, lingkungan yang
tidak baik, genetik, hiperaktifitas bronkus,daya tahan saluran nafas yang
kurang, dan defisiensi alfa-antitripsin. Diyakini bahwa merokok merupakan
faktor yang paling berkontribusi terhadap berkembangnya PPOK. Hubungan
merokok dengan gangguan kesehatan/ penyakit merupakan hubungan dose
response, lebih lama kebiasaan merokok dijalani, lebih banyak batang rokok
setiap harinya, lebih dalam menghisap asap rokoknya, maka lebih tinggi risiko
untuk mendapatkan penyakit akibat merokok. Separuh dari semua orang yang
merokok berpeluang terjadi kerusakan/ obstruksi saluran nafas dan 10-20
persen nya berkembang secara signifikan menjadi PPOK (Devereux, 2006).
Pada kelompok PPOK jumlah penderita yang merokok selama > 20
tahun adalah 13 orang (65%). Hal ini sesuai dengan suatu penelitian yang
mengatakan bahwa seseorang yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun
berpeluang terkena PPOK (Teramoto, 2007).
Gambaran secara umum bagaimana rokok dapat menyebabkan
kerusakan saluran pernafasan adalah bahwa di dalam asap rokok terdapat
ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang merugikan kesehatan. Bahan
iritan tersebut masuk saluran pernafasan selanjutnya menempel pada silia
(rambut getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut
mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan
yang dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus makin
bertambah banyak dan kondisi ini sangat kondusif untuk tumbuh kuman.
Apabila kondisi tersebut berlanjut maka akan terjadi radang dan
penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas. Besar kecilnya
intensitas dan waktu paparan bahan- bahan iritan dalam asap rokok akan
berpengaruh terhadap kondisi saluran pernafasan. Semakin besar intensitas,
dosis, serta waktu paparan, akan mempercepat terjadinya kerusakan atau
ketidaknormalan pada saluran pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada saluran nafas,
antara lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian
PPOK
Menurut Aditama (2001), besar pajanan asap rokok bersifat
kompleks dan dipengaruhi oleh kuantitas rokok yang dihisap dan pola
penghisapan rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya
hisapan dan lain-lain. Pajanan asap rokok menyebabkan kelainan pada mucosa
saluran nafas, kapasitas ventilasi maupun fungsi sawar alveolar/kapiler .
Menurut Situmeang (2002), merokok adalah suatu kebiasaan yang merugikan
bagi kesehatan karena suatu proses pembakaran massal tembakau yang
menimbulkan polusi udara dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung
dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan. Hal ini didukung
oleh Setyohasi (2006) yang mengatakan bahwa merokok merupakan suatu
kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan semu bagi si perokok, tetapi
dilain pihak menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun bagi
orang-orang di sekitarnya (Setyohadi, 2006). GOLD (2007) berpendapat
bahwa asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
Pada penelitian ini, jumlah sampel PPOK yang terpapar oleh polutan
sebesar 30%. Berdasarkan hasil penelitian Di pede (2002), polusi udara
mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc, dan debu seperti asap
pembakaran/ pabrik/ tambang. Di meksiko Telez-Rojo, et al, menemukan
bahwa peningkatan materi partikel 10 mcg/m3 dikaitkan dengan peningkatan
penyakit saluran nafas 2,9% dan kematian PPOK 4,1%.
Menurut sinta (2014), seseorang yang lebih sering menghisab rokok
jenis non filter lebih beresiko terkena PPOK 1-2 kali lipat dibandingkan
seseorang yang menghisab rokok jenis filter. Di Indonesia yang paling banyak
dikonsumsi adalah rokok kretek, yaitu sebesar 81,34% (Situmeang, 2002).
Devereux (2006) menjelaskan bahwa merokok kretek merupakan faktor risiko
utama terhadap berkembangnya PPOK, dimana risiko kematian akibat PPOK
akan lebih meningkat pada perokok aktif.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan analisis statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara merokok dengan angka kejadin Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK).
B. Saran
1. Perlu diberikannya penyuluhan kepada masyarakat tentang PPOK dan
berbagai faktor resiko yang dapat mempengaruhi.
2. Perlu diadakan edukasi kepada masyarakat bahwa merokok baik aktif
maupun pasif dapat meningatkan resiko terjadinya PPOK.