Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu penyakit
yang ditandai oleh adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh
bronkhitis kronis atau emfisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya
progresif kadang diikuti oleh hiperaktifitas jalan nafas dan kadang kala parsial
reversibel. Tiga gejala utama PPOK meliputi sesak nafas, batuk menahun, dan
batuk berdahak. Namun pada kasus yang ringan tidak menimbulkan gejala
apapun. Beberapa ciri dari PPOK yaitu : biasanya dialami oleh perokok berat,
gejala muncul pada usia 40-an, gejala semakin lama semakin bertambah
buruk, gejala memburuk pada musim hujan / dingin, dan tidak ada
hubungannya dengan alergi (Lawrence, 2002 : 84).
Menurut data World Health Organization (WHO) saat ini ada sekitar
600 juta penderita PPOK di dunia dan 2,75 juta penderita karena penyakit ini.
Di Asia prevalensi terkena PPOK adalah 30-50/10000 perokok pria.
Sedangkan untuk populasi perokok perempuan 18/10000. Data statistik
menunjukkan bahwa 60% dari total populasi Indonesia adalah perokok.
Sekitar 5,7% diantaranya perokok berat yang beresiko terkena PPOK
(Andhika, 2003,1). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) merupakan
masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun
ke atas. Jumlah kasus PPOK ini memiliki kecenderungan untuk meningkat
dimana menurut WHO pada tahun 2020 diperkirakan bahwa PPOK akan
menjadi penyebab ke-3 ketidak mampuan (disability) di dunia (Suradi, 2009).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)

melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai
penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan
menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan
WHO,terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang Lebih dari 3 juta
meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua
kematian secara global. (WHO, 2010)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru paru. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan
penyebab kematian kelima terbesar di Amerika Serikat. Penyakit ini
menyerang lebih dari25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001).Akhir
akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD )atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasuskunjungan
pasien PPOK di instansi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,726.000
memerlukan perawatan dirumah sakit dan 119.000 meninggal selamatahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke
empatsetelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskular .Biaya
yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 Miliyar per tahunnya. World
health organization (WHO) bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK
akan meningkatBerdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995,PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian ke lima
di Indonesia Prevalensi bronkitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun
1995adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan adalah 3 berat. Menurut SKRT tahun 2001 penyakit saluran
napas menduduki peringkat ketiga penyebab ke matian utama di Indonesia
setelah sistem sirku lasi, infeksi dan parasit. Hasil survei penyakit tidak

menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di


Indonesia (JawaBarat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera
Selatan) Pada tahun2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker
paru (30%) dan lainnya(2%) (Depkes RI, 2004)Rata- rata kematian akibat
PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita laki- laki lanjut usia.
Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya sekresimukus bronkus yang berlebihan
dan tampak dengan adanya batuk produktif selama 3 bulan atau lebih, dan
setidaknya berlangsung selama 2 tahun berturut-turut, serta tidak disebabkan
oleh penyakit lain yang mungkin menyebabkan gejala tersebut.
Berdasarkan data pada tahun 2009 didapatkan dengan jumlah kasus
pada bulan Januari-Desember sebanyak 1109 orang, rata-rata per bulan adalah
93 orang. Sedangkan pada tahun 2010 didapatkan kasus PPOK dari bulan
Januari-September sebanyak 1180 orang, dengan rata-rata per bulan 131
orang. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan kasus PPOK dari
tahun ke tahun.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi
genetik dengan lingkungan. Proses terjadinya PPOK membutuhkan rentang
waktu lebih dari 20 - 30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu
yang tidak mempunyai enzim normal, yang mencegah penghancuran jaringan
paru oleh enzim tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan
dan dapat timbul bertahun-tahun sebelum awitan gejala-gejala klinis
kerusakan fungsi paru. PPOK sering terjadi simtomatik selama tahun-tahun
usia baya tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
PPOK memperburuk banyak perubahan fisiologi yang berkaitan dengan
penuaan dan

mengakibatkan obstruksi jalan nafas serta kehilangan daya

kembang elastik pada paru (Suddarth, 2002 : 595).


Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Merokok
merupakan lebih dari 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok

menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami


penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru
obstruksi (Brashers, 2007 : 85 - 86).
Gambaran klinis PPOK ditandai oleh adanya keluhan batuk
berlebihan, produksi sputum dan pernafasan yang pendek. Lebih lanjut akan
terdapat gambaran klinis berupa penurunan berat badan, disfungsi otot-otot
sekelet dan kelainan sistemik yang bersifat potensial. Penurunan berat badan
akibat adanya ketidaksesuaian intake kalori, pada pasien PPOK terjadi
peningkatan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal ini akibat
adanya inflamasi sistemik, hipoksia jaringan dan pemakaian obat-obatan pada
pasien PPOK (Lawrence, 2002 : 85 - 86).
Penderita PPOK merupakan beban dalam

masyarakat atau beban

pemerintah pemelihara kesehatan negara. Gangguan PPOK yang terjadi


karena keterbatasan aktivitas kehidupan dalam segala bentuk, mulai aktivitas
secara jasmaniah sampai pada masalah psikologis. Gangguan kehidupan
sehari-hari termasuk juga kehidupan seksual penderita. Bentuk gangguan
PPOK berupa sesak nafas dalam setiap aktivitas atau keluarnya dahak yang
terus menerus. Sesak nafas yang timbul semula hanya muncul bila penderita
melakukan kegiatan berat. Penyakit ini bersifat progresif dan menimbulkan
kecacatan. Kematian tidak timbul segera tapi kematian timbul perlahan
dengan sisa kehidupan yang diliputi keterbatasan jasmani dan kecacatan.
Jika sudah terserang penyakit PPOK beberapa hal yang dapat
dilakukan sebagai tindakan pencegahan adalah mengurangi paparan kronik
terhadap rokok tembakau. Para perokok dengan bukti awal terbatasnya aliran
udara dapat mengubah penyakit mereka dengan penghentian merokok.
Vaksinasi terhadap penyakit influensa dan pneumucoccal juga bermanfaat
(Lawrence, 2002 : 88).
Untuk dapat menghindari terjadinya kekambuhan PPOK, maka
pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi

dasar yang sangat penting bagi seseorang. Oleh karena itu seseorang harus
memahami dan mengerti tentang cara pencegahan dan kekambuhan PPOK.
Penyakit ini hanya dapat kita cegah dengan berhenti merokok, dan apabila
sudah mengalami kekambuhan penyakit ini hanya dapat dicegah agar
serangan kekambuhan (eksaserbasi)-nya tidak begitu sering. Untuk itu
diperlukan juga peran perawat guna meningkatkan pengetahuan pasien
tentang cara mencegah kekambuhan PPOK. Perawat sebagai pendidik
kesehatan harus mampu memberikan pengertian dan cara-cara mencegah
kekambuhan PPOK seperti halnya perawat memberikan penyuluhan pada
pasien PPOK. Perawat dapat memberikan informasi dengan berbagai cara,
selain penyuluhan, perawat dapat membagikan leaflet maupun brosur tentang
cara-cara pencegahan terjadinya PPOK. Dari tindakan penyuluhan tersebut
diharapkan akan dapat menambah pengetahuan dan sikap yang positif pada
pasien PPOK.
PPOK seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya dapat dicegah dan di
hindari sedini mungkin dengan mengetahui penyebabnya. Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmojo, 2003 : 121). Dalam
hal ini objek yang dimaksud adalah pengetahuan tentang PPOK. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoadmojo, 2003 : 121). Sikap dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmojo, 2003 :
125). Pengetahuan ini dapat menunjang terbentuknya sikap yang positif,
pengetahuan yang baik akan membentuk sikap yang baik, sehingga pada
akhirnya akan melahirkan perilaku yang positif. Diharapkan pengetahuan
yang memadai pada pasien PPOK tentang pencegahan kekambuhan PPOK,
dapat menunjang timbulnya sikap yang baik sehingga perilaku pencegahan
PPOK dapat dilakukan dengan baik pula.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka
perumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan
antara merokok dengan kejadian PPOK di wilayah Puskesmas Sedayu 1?
C. Daftar Masalah
Berdasarkan data register pasien yang berobat ke Puskesmas Sedayu 1
pada 6 bulan terakhir 2013 didapatkan beberapa masalah yang harus
dilakukan perbaikan. Beberapa masalah tersebut antara lain :
1. Asthma Bronkial
2. LBP
3. PPOK
D. Pemilihan Prioritas Masalah
Untuk menentukan prioritas masalah dari daftar masalah yang ada di
Puskesmas Sedayu 1 dilakukan analisa dengan menggunakan teknik matriks.
Tabel 1. Prioritas Masalah

No

1.

Daftar

Masalah
Asthma
Bronkial

Jumlah
(IxTxR

RI

DU

SB

PB

PC

1.152

2.

LBP

288

3.

PPOK

4.320

Dari tabel diatas didapatkan prioritas masalah yang didapatkan dari


daftar masalah di Puskesmas Sedayu 1 berdasarkan peringkat tertinggi sampai
terendah adalah :
1. PPOK
2. Asthma Bronkial
3. LBP
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan kejadian PPOK di
wilayah Puskesmas Sedayu 1.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh merokok terhadap
kejadian PPOK di wilayah Puskesmas Sedayu 1.
b. Untuk mengetahui perbandingan antara merokok dengan

tidak

merokok terhadap kejadian PPOK di wilayah Puskesmas Sedayu 1.


F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Instasi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam upaya program
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat terhadap kejadian PPOK yang
berada pada wilayah Puskesmas Sedayu 1
2. Masyarakat
Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam
peningkatan kualitas kesehatan serta faktor risiko merokok terhadap
kejadian PPOK.
3. Peneliti Lain
Menambah pengetahuan dan pengalaman khusus dalam melakukan
penelitian terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hubungan antara merokok terhadap kejadian PPOK

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI
1. Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000
penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3
banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81
tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas
perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%
perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan
kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan
perokok pasif.
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak
adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39
penderita (84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan
proporsi 63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika
(2009) di RS. Haji Medan pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa dari
132 penderita yang paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok
umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut
penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari
sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok usia 60
tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%.
Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas
(100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan
terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam
Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5%
dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999
dari keseluruhan penyakit paru yang ada.

2. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau
yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga
dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.
Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan

dengan risiko mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002).


Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok
akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor
genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor
risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang
cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response,
artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama
kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih
besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman,
yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya
merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang
merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik
minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia,
debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh
polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan
(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap
rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan
bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan
faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak

adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi (Helmersen, 2002).

3. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan
keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas
antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan
restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang

memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran
udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag
untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi

dengan antiprotease,

sehingga

terjadi kerusakan

jaringan

(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran


gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi,
dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
4. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai
derajat penyakit.

a. Anamnesis
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),
dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun
polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien
merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200),
sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas
terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak
menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala
Sesak
1
2

Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

3
4
5

Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat


Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1
Tingkat
Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa
Menit
Sesak bila mandi atau berpakaian

b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas,
pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena
jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor.
Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

2) Radiologi (foto toraks)


Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun
kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien (GOLD, 2009).
3) Laboratorium darah rutin
4) Analisa gas darah
5) Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat
ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):

Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK


Klasifikasi
Penyakit
PPOK Ringan

Gejala Klinis
-Dengan atau tanpa batuk

Spirometri
-VEP1 80% prediksi
(nilai
normal

-Dengan atau tanpa produksi spirometri)


Sputum
-VEP1/KVP < 70%
-Sesak napas derajat sesak 1
sampai derajat sesak 2
PPOK Sedang
-Dengan atau tanpa batuk
-VEP1/KVP < 70%
-Dengan atau tanpa produksi
-50% VEP1 < 80%
Sputum
prediksi
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat
-Sesak napas derajat sesak 4
-VEP1/KVP < 70%
dan 5
-30% VEP1 < 50%
-Eksaserbasi lebih sering
prediksi
Terjadi
PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak 4
-VEP1/KVP <70%
-VEP1
<
30%
dan 5 dengan gagal napas
Kronik
-Eksaserbasi lebih sering
Terjadi
-Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung
Kanan

prediksi,
atau
-VEP1

<

50%

dengan
gagal napas kronik

5. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma
pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau
gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal
jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).

Tabel

2.3.

Perbedaan

klinis

dan

hasil

pemeriksaan

spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal


jantung kronik
Gagal
Onset usia
Riwayat
Keluarga
Pola sesak
Napas
Ronki
Mengi
Vesikular
Spirometri
Reversibilitas
Pencetus

Jantung

PPOK
> 45 tahun
Tidak ada

Asma Bronkial
Segala usia
Ada

Kronik
Segala usia
Tidak ada

Terus menerus,
bertambah berat
dengan aktivitas
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Melemah
Obstruksi ++
Restriksi +
<
Partikel toksik

Hilang timbul

Timbul pada waktu


aktivitas

+
++
Normal
Obstruksi ++

++
+
Meningkat
Obstruksi +
Restriksi ++
+
Penyakit jantung
kongestif

++
Partikel sensitif

6. PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi

akut

pada

PPOK

berarti

timbulnya

perburukan

dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada


PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit dengan
karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum
yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial
(biasanya karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung,
aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak
tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat,
penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk,
lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium

akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).


Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien
sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler
dkk. (1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien
dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang
rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam
menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah
adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu
PaO265 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata
(Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002)
mendapatkan faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu
rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju
pernapasan yang tinggi.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum
meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut
Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe,
yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II
(eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III
(eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).
7. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko
kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis
respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD,

2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk


eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan
secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan,
ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).
a. Bronkodilator
Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah
short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum
tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti
ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan
klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih
kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari
penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang
mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa
inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara
yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hatihati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor,
karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama
dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI,
2003).

b. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan
terapi

pada

penanganan

eksaserbasi

PPOK.

Dosis

pasti

yang

direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan


risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40
mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut
PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30
mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.
Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik,
tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
c. Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada
(GOLD, 2009):
1) Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu
peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan
peningkatan sesak
2) Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
3) Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan
bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan
bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di
Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II:
Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol
dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid

(PDPI, 2003).
d. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan
utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi,
tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan
gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan
sungkup dengan
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung
kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

e. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi
berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.
Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara
konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%.
Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik,
menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya

rawat inap (GOLD, 2009).

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor
pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah
berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal
napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau
tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain
itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal
jantung kanan (PDPI, 2003).

B. KERANGKA KONSEP

PPOK

NON PPOK

Resistensi Jalan Nafas

Peradangan pada jalan nafas

Merokok
Polusi udara
Hyperresponsive
infeksi

C. HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara perilaku merokok dengan angka kejadian PPOK

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian observasional dengan pendekatan case control. Subyek dalam
penelitian ini diamati sekali saja dan pengukuran terhadap variabel subyek
dilakukan pada saat pemeriksaan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di kecamatan Sedayu. Waktu
penelitian yaitu pada tanggal 13 februari 2014.

C. Populasi dan sampel


Populasi yang akan diteliti yaitu:
1. Populasi Target
Populasi target yang digunakan yaitu pasien PPOK yang kontrol di
Puskesmas Sedayu 1. Sedangkan sampel Non PPOK adalah
masyarakat di daerah kecamatan Sedayu.
2. Populasi Terjangkau
Pasien PPOK yang kontrol di puskesmas Sedayu 1 dan masyarakat
kecamatan sedayu yang berusia 45 tahun.
3. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 40 orang
meliputi 20 orang penderita PPOK dan 20 orang Non PPOK (Murti,
2006).

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria inklusi
a. Kriteria yang harus dipenuhi oleh subyek agar dapat diikutsertakan
dalam penelitian, yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
dan berusia 45 tahun dan atau lebih.
b. Pasien yang telah terdiagnosis PPOK
c. Subjek kontrol tanpa gejala dan riwayat PPOK
2. Kriteria ekslusi
Kriteria yang yang menyebabkan subyek yang telah memenuhi
kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan dalam penelitian yaitu
subyek dengan tuberculosis dan kanker paru

E. Variable Dan Definisi Operatif


1. Jenis Variable
a. Variabel Bebas
Variable bebas dalam penelitian ini adalah perokok aktif, perokok
pasif, dan riwayat merokok.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penderita PPOK dan
kontrol ( Non PPOK ).
c. Variabel perancu

Usia

Jenis rokok

Polutan

Jeniskelamin

2. Definisi Operasional
NO VARIABEL

DEFINISI

KATEGORI

SKALA

Penderita

Pasien penyakit paru kronikTerdiagnosis

Nominal

PPOK

dengan karakteristik adanyaPPOK


hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau
reversibel parsial.

Kontrol
PPOK)

(NonKelompok sampel denganTidak terdiagnosisNominal


karakteristik

tidakPPOK

mempunyai gejala PPOK


dan riwayat penyakit paru
3

Usia

Usia

kronologis 45 tahun

(perhitungan

usia

Nominal

yang

dimulai dari saat kelahiran


seseorang sampai dengan
waktu penghitungan usia).
4

Merokok

Perokok aktif adalah merekaMerokok minimalNominal


yang merokok setiap hari6

bulan,

orang

untuk jangka waktu minimalyang terpapar asap


6 bulan selama hidupnyarokok.
dan masih merokok pada
saat

survey

dilakukan.

Perokok pasif adalah orang


yg terpapar oleh asap rokok.

Polutan

Polutan adalah Zat ataukonsentrasi


bahan

yang

Nominal

dapatpolutan di udara

mengakibatkan pencemaran(CO,CO2,SO,
terhadap lingkungan baikNO).
(Pencemaran Udara, Tanah,
Air, dsb).
6

Hiperesponsif Reaksi

berlebihan,

diinginkan(

tidak

Nominal

menimbulkan

ketidaknyamanan)

dari

system kekebalan tubuh

F. Instrument Penelitian
1. Kuesioner untuk mengetahui karakteristik sampel.
2. Stetoskop merek lintman
3. Rekam medis

G. Cara Pengumpulan Data


1. Langkah- langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data pada
penelitian kali ini adalah sebagai berikut:
a. Perizinan
b. Pengumpulan data primer
1. Responden

mengisi

kuesioner

penelitian

untuk

mendapatkan latar belakang yang sesuai dengan kriteria


sampel.
2. Responden kontrol dilakukan pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Bentuk dada, pergerakan dinding dada, mengunakan
otot bantu pernafasan

b. Palpasi
Fokal fremitus, pergerakan dinding dada
c. Perkusi
Suara paru, batas jantung dan hepar
d. Auskultasi
Suara dasar paru, suara tambahan.
c. Pengumpulan data sekunder
Mencatat penderita PPOK yang di diagnosis oleh dokter
Puskesmas Sedayu 1.

2. Alur Penelitian
Laki-laki dan perempuan usia di atas dan atau 45 tahun

Pengelompokan responden sesuai dengan kriteria inklusi

Pengisian Inform Consent

Non PPOK

PPOK

merokok

Uji pearson

3. Etika Penelitian
Salah satu poin penting dalam etika penelitian adalah inform consent,
yaitu suatu kesepakatan formal dari partisipan penelitian untuk bekerja
sama dalam sebuah studi setelah seluruh sifat penelitian dan peran
partisipasi di dalamnya dijelaskan secara terbuka kepada mereka.
Komponen dasar inform consent adalah kompetensi, kesukarelaan,
informasi lengkap, dan pemahaman di pihak subyek. Dalam keadaan
tertentu, misalnya pada anak-anak atau pada orang dewasa sekalipun,
seringkali mengalami kesulitan mengenai komponene dasar inform
consent tersebut, atau tidak sepenuhnya bisa memahami apa yang akan
terjadi dalam peneltian. Oleh karena iu dalam setting intitusional,
partisipan tidak boleh merasa di paksa untuk menjadi bagian dalam
penelitian.
Semua subyek yang akan diikut sertakan dalm penelitian, diberi
perlakuan yang sama sebagai responden penelitian. Setelah membaca
dan diberikan penjelasan, setiap responden mempunyai hak untuk
menolak atau mengundurkan diri sebagai responden. Seluruh informasi
yang diperoleh dari total responden yang ada, merupakan rahasia yang
harus dijaga oleh peneliti, dari kemungkinan terburuk berupa
penyalahgunaan data oleh oknum-oknum yang bertanggung jawab.
Beberpa proteksi umum tertentu dapat membantu memastikan bahwa
masalah-masalah ini dapat ditangani dengan baik. Pertama, penelitian
universitas atau setting medic harus disetujui oleh sebuah institusional
review board (IRB). Komite ini terdiri dari dosen dan orang-orang non
akademik di masyarakat, dan tujuan mereka adalah memastikan hak-

hak responden dilindungi. Komite semacam itu memunkinkan orangorang

di

luar

untukmenetapkan

penelitia

untuk

melihat

apakah

peneliti

cukup

prosedur

penelitian,

memperdulikan

perlindungan terhadp kesejahteraan dan martabat respondennya.

soal

4. Rencana penelitian
Keterangan

Minggu 1

Perijinan
Penetapan sampel
penelitian

Penandatanganan
persetujuan pasien

Pelaksanaan
program

Pengolahan

data

dan analisis data

Penyusunan
Laporan
Pengiriman
Laporan

Minggu 2

Minggu 3

H. Analisis Data
Analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
hubungan antara merokok dengan angka kejadian PPOK yaitu Analisis
bivariat yaitu uji korelasi Pearson.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sedayu 1,
yaitu desa Argosari dan desa Argomulyo. Sedayu adalah satu kecamatan di
wilayah pemerintahan Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Ibukota Kecamatan Sedayu berada 20 km di
sebelah Barat Laut Ibukota Kabupaten Bantul. Dalam wilayah Kabupaten
Bantul, Kecamatan Sedayu berada di perbatasan wilayah kabupaten,
berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat
dan Sleman di sebelah utara. Batas-batas wilayah Kecamatan Sedayu:
Sebelah Utara

: Kec. Moyudan Kab. Sleman

Sebelah Selatan : Kecaman Pajangan Kab. Bantul


Sebelah Barat

: Kabupaten Kulon Progo

Sebelah Timur

: Kec. Gamping Kab. Sleman

Secara keseluruhan Kecamatan Sedayu berada di dataran rendah


dengan bentangan wilayah yang bervariasi (sekitar 60 % berupa bentangan
yang datar hingga berombak, 15 % berupa bentangan yang berombak hingga
berbukit dan 25 % dari wilayah berupa bentangan berbukit). Ibukota
Kecamatan berada pada ketinggian 87,50 meter diatas permukaan laut.

Sebagaimana wilayah dataran rendah di daerah tropis lainnya, iklim di


wilayah Kecamatan Sedayu tergolong panas. Data monografi menyebutkan
bahwa suhu maksimum di Kecamatan ini tercatat 32,5 C dengan suhu
minimum 24,5 C. Kecamatan Sedayu terdiri atas 4 desa yaitu Desa Argorejo,
Argodadi, Argomulyo dan Argosari.
Lokasi Puskesmas Sedayu I berada di dusun Panggang Desa
Argomulyo. Wilayah kerja Puskesmas Sedayu I terdiri dari dua Desa, yaitu
Argosari dan Argomulyo. Batas-batas wilayah Puskesmas Sedayu I adalah :
Sebelah Utara

: Kec. Moyudan Kab. Sleman

Sebelah Selatan

: Desa Argorejo

Sebelah Timur

: Kec. Gamping Kab. Sleman

Sebelah Barat

: Kabupaten Kulon Progo

Jumlah penduduk di Wilayah kerja Puskesmas Sedayu I pada tahun


2009 berdasarkan data monografi desa tercatat 23.228 jiwa dengan jumlah
Kepala Keluarga (KK) 6.602. Jadi dalam tiap keluarga rata-rata terdiri dari 3
sampai 4 jiwa. Kepadatan penduduk pada tahun 2009 di wilayah kerja
Puskesmas Sedayu I yang terdiri dari 2 (dua) desa adalah sebesar 9 jiwa /
km2. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kerja Puskesmas merupakan daerah
yang tidak terlalu padat.
2. Karakteristik dasar sample
Variabel

PPOK

Non PPOK

Jumlah

Prosentase

Jumlah

Prosentase

Merokok
Ya

18

90%

30%

Tidak

10%

Jumlah

14

70%

20

100%

Aktif
Pasif

20

100%

10%

15%

16,7%

10%

33,3%

13

65%

50%

20

100%

100%

44,4%

83,3%

10

55,6%

16,67%

18

100%

100%

5,55%

16,7%

16,7%

33,3%

14

77,78%

50%

18

100%

100%

20%

5%

Lama Merokok
Perokok Pasif
1-10 tahun
11-20 tahun
> 20 tahun

Jumlah

Jenis Rokok
Filter
Non Filter

jumlah

Jumlah Rokok/tahun
0-200
200-600
>600

Jumlah

Riwayat Alergi

Ya

Tidak
jumlah

16

80%

19

95%

20

100%

20

100%

30%

35%

14

70%

13

65%

20

100%

20

100%

Paparan Polutan
Ya
Tidak

Jumlah

Berdasarkan tabel diatas, sample pasien dibagi menjadi 2 yaitu pasien


PPOK dan non PPOK. Angka kejadian PPOK pada pasien perokok aktif
sebesar 90%, sedangkan pada perokok pasif 10% dan pada pasien tidak
merokok 0%. Angka bukan PPOK diobservasi pada 20 pasien. Diantara 20
pasien tersebut, terdapat perokok aktif sebanyak 30%, perokok pasif 0% dan
bukan perokok sebanyak 70%.
Lama merokok pada pasien PPOK, dengan persentase perokok pasif
sebesar 10%, lama merokok 1-10 tahun 15%, lama merokok 11-20 tahun 10%,
dan lama merokok >20 tahun 65%. Lama merokok pada pasien non PPOK,
dengan persentase perokok pasif 0%, lama merokok 1-10 tahun 16,7%, lama
merokok 11-20 tahun 33,3%, lama merokok >20 tahun sebanyak 50%.
Jenis rokok menggunakan filter pada pasien dengan PPOK sebanyak
44,4% dan non PPOK 83,3%, sedangkan jenis rokok non filter pada pasien
dengan PPOK 55,6% dan non PPOK 16,67%.
Pada sampel PPOK, pasien yang mengonsumsi rokok sejumlah lebih
dari 600 batang pertahun diperoleh prosentase terbesar yaitu sebanyak 14

orang (77,78%), sedangkan yang mengonsumsi rokok 200-600 batang


pertahun sebanyak 3 orang (16,7%), dan yang mengonsumsi rokok kurang
dari 200 batang pertahun mendapatkan jumlah terkecil yaitu 1 orang (5,55%).
Untuk sampel non PPOK, sebanyak 5 orang merokok lebih dari 600 batang
perhari (50%), sedangkan yang merokok 200-600 batang perhari sebanyak 2
orang (33,3%), dan yang merokok kurang dari 200 batang pertahun sebanyak
1 orang (16,7%).
Riwayat alergi pada sampel PPOK didapatkan prosentase sebesar 20%
atau sebanyak 4 orang, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat alergi
sebanyak 16 orang atau 80%. Untuk sampel non PPOK yang mempunyai
riwayat alergi hanya 1 orang (5%) sedangkan sisanya sebanyak 19 orang
(95%) tidak mempunyai riwayat merokok.
Dari 20 sampel PPOK, sebanyak 6 orang (30%) mempunyai riwayat
terkena paparan debu polutan di tempat kerjanya, sedangkan 14 orang (70%)
di tempat kerjanya tidak ada paparan polutan. Sedangkan pada sampel non
PPOK sebanyak 7 orang (35%) terkena paparan debu polutan di tempat kerja,
sisanya sebanyak 13 orang (65%) tidak terpapar polutan.

3. Hubungan merokok dengan kejadian PPOK


Pada penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara merokok
dengan angka kejadian PPOK digunakan uji statistik korelasi.

Tabel . Korelasi Pearson Merokok dengan Angka Kejadian PPOK


PPOK
Merokok

Signifikasi (p)

Koefisien Korelasi (r)

0,000

0,649

Tabel diatas memperlihatkan hasil uji korelasi pearson menggunakan


piranti lunak penghitung data statistik antara merokok dengan angka kejadian
PPOK yang menunjukan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai koefisien
korelasi 0,649. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
merokok dengan angka kejadian PPOK (H0 diterima).

B. Pembahasan
Pada penelitian kami sebanyak 90% sampel PPOK mempunyai
kebiasaan merokok aktif sedangkan 10% merupakan perokok pasif. Pada
kelompok sampel Non PPOK hanya 30% yang merokok. Hal ini menunjukkan
bahwa merokok merupakan salah satu faktor resiko yang yang paling
berkontribusi terhadap kejadian PPOK. Hubungan merokok terhadap kejadian
PPOK terlihat pada table yang menunjukan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05)
dan nilai koefisien korelasi 0,649. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara merokok dengan angka kejadian PPOK (H0 diterima). Hal
ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli yang menyebutkan bahwa merokok
atau terpapar asap rokok dapat meningkatkan angka kejaidan PPOK (Widodo,
2009).
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan peluang
terjadinya PPOK seperti kebiasaan merokok, polusi udara, lingkungan yang
tidak baik, genetik, hiperaktifitas bronkus,daya tahan saluran nafas yang
kurang, dan defisiensi alfa-antitripsin. Diyakini bahwa merokok merupakan
faktor yang paling berkontribusi terhadap berkembangnya PPOK. Hubungan
merokok dengan gangguan kesehatan/ penyakit merupakan hubungan dose
response, lebih lama kebiasaan merokok dijalani, lebih banyak batang rokok
setiap harinya, lebih dalam menghisap asap rokoknya, maka lebih tinggi risiko
untuk mendapatkan penyakit akibat merokok. Separuh dari semua orang yang
merokok berpeluang terjadi kerusakan/ obstruksi saluran nafas dan 10-20
persen nya berkembang secara signifikan menjadi PPOK (Devereux, 2006).
Pada kelompok PPOK jumlah penderita yang merokok selama > 20
tahun adalah 13 orang (65%). Hal ini sesuai dengan suatu penelitian yang
mengatakan bahwa seseorang yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun
berpeluang terkena PPOK (Teramoto, 2007).
Gambaran secara umum bagaimana rokok dapat menyebabkan
kerusakan saluran pernafasan adalah bahwa di dalam asap rokok terdapat

ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang merugikan kesehatan. Bahan
iritan tersebut masuk saluran pernafasan selanjutnya menempel pada silia
(rambut getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut
mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan
yang dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus makin
bertambah banyak dan kondisi ini sangat kondusif untuk tumbuh kuman.
Apabila kondisi tersebut berlanjut maka akan terjadi radang dan
penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas. Besar kecilnya
intensitas dan waktu paparan bahan- bahan iritan dalam asap rokok akan
berpengaruh terhadap kondisi saluran pernafasan. Semakin besar intensitas,
dosis, serta waktu paparan, akan mempercepat terjadinya kerusakan atau
ketidaknormalan pada saluran pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada saluran nafas,
antara lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian
PPOK
Menurut Aditama (2001), besar pajanan asap rokok bersifat
kompleks dan dipengaruhi oleh kuantitas rokok yang dihisap dan pola
penghisapan rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya
hisapan dan lain-lain. Pajanan asap rokok menyebabkan kelainan pada mucosa
saluran nafas, kapasitas ventilasi maupun fungsi sawar alveolar/kapiler .
Menurut Situmeang (2002), merokok adalah suatu kebiasaan yang merugikan
bagi kesehatan karena suatu proses pembakaran massal tembakau yang
menimbulkan polusi udara dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung
dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan. Hal ini didukung
oleh Setyohasi (2006) yang mengatakan bahwa merokok merupakan suatu
kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan semu bagi si perokok, tetapi
dilain pihak menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun bagi
orang-orang di sekitarnya (Setyohadi, 2006). GOLD (2007) berpendapat
bahwa asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.

Pada penelitian ini, jumlah sampel PPOK yang terpapar oleh polutan
sebesar 30%. Berdasarkan hasil penelitian Di pede (2002), polusi udara
mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc, dan debu seperti asap
pembakaran/ pabrik/ tambang. Di meksiko Telez-Rojo, et al, menemukan
bahwa peningkatan materi partikel 10 mcg/m3 dikaitkan dengan peningkatan
penyakit saluran nafas 2,9% dan kematian PPOK 4,1%.
Menurut sinta (2014), seseorang yang lebih sering menghisab rokok
jenis non filter lebih beresiko terkena PPOK 1-2 kali lipat dibandingkan
seseorang yang menghisab rokok jenis filter. Di Indonesia yang paling banyak
dikonsumsi adalah rokok kretek, yaitu sebesar 81,34% (Situmeang, 2002).
Devereux (2006) menjelaskan bahwa merokok kretek merupakan faktor risiko
utama terhadap berkembangnya PPOK, dimana risiko kematian akibat PPOK
akan lebih meningkat pada perokok aktif.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan analisis statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara merokok dengan angka kejadin Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK).
B. Saran
1. Perlu diberikannya penyuluhan kepada masyarakat tentang PPOK dan
berbagai faktor resiko yang dapat mempengaruhi.
2. Perlu diadakan edukasi kepada masyarakat bahwa merokok baik aktif
maupun pasif dapat meningatkan resiko terjadinya PPOK.

Anda mungkin juga menyukai