Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengertian fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah
yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
Klasifikasi fraktur tulang :

a. Fraktura sepertiga atas muka


b. Fraktura sepertiga tengah muka
1. Fraktura hidung
2. Fraktura maksilari
LeFort I, fraktura maksilari transversa
LeFort II, fraktura piramidal
LeFort III, disjunksi kraniofasial
3. Fraktura zigomatika
4. Fraktura orbital
c. Fraktura sepertiga bawah muka
(fraktura mandibular)

Fraktur Le Fort II yang mengenai kompleks area hidung dan rahang atas.
Fraktur ini dimulai di sutura nasofrontal dan frontomaksillaris, meluas ke posterior di
sepanjang dinding medial orbita melalui tulang ethmoidalis dan sulkus nasolakrimalis.
Tulang sphenoidalis di daerah posterior biasanya mencegah perluasan fraktur ke
dalam kanalis opticus. Selain itu, fraktur terus berlanjut di sepanjang dasar orbita
sampai fisura orbita inferior dan meluas melalui dinding lateral orbital, juga melalui
pertemuan zygomaticofrontal dan arcus zygomaticus. Di dalam rongga hidung,
perluasan fraktur meluas melalui dasar lempeng perpendicolar ethmoid, melewati
volmer, dan pterygoid dari dasar tulang sphenoidalis
Fraktur Le fort II terjadi pada maksila yang meliputi sebagian besar tulang
hidung (nasal bone), tulang maksila, tulang palatum, 2/3 nasal septum, dentoalveolus,

dan pterygoid. Tidak seperti fraktur horizontal pada Le fort I, fraktur Le fort II
berbentuk piramida.

1.2 TUJUAN
- Mengetahui definisi fraktur lefort II
- Mengetahui tanda tanda dan gejala lefort II
- Mengetahui simptom lefort II
- Mengetahui gejala klinis lefort II
- Mengetahui penatalaksanaan lefort II

1.3 RUMUSAN MASALAH


- Bagaimanakah definisi fraktur lefort II ?
- Bagaimanakah tanda tanda dan gejala lefort II ?
- Bagaimankah simptom lefort II ?
- Bagaimanakah gejala klinis lefort II ?
- Bagaimanakah penatalaksanaan lefort II ?

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1

DEFINISI
Fraktur Le fort II terjadi pada maksila yang meliputi sebagian besar tulang hidung

(nasal bone), tulang maksila, tulang palatum, 2/3 nasal septum, dentoalveolus, dan
pterygoid. Tidak seperti fraktur horizontal pada Le fort I, fraktur Le fort II berbentuk
piramida. Fraktur ini meluas dari bagian bawah sutura nasofrontalis melalui tulang
hidung (nasal bone) ke sutura zigomatikum termasuk ke 1/3 orbita inferior. Fraktur
kemudian meluas sepanjang sutura zigomatikum menuju ke pterygoid.
Fraktur Le Fort II yang mengenai kompleks area hidung dan rahang atas dimulai di sutura
nasofrontal dan frontomaksillaris, meluas ke posterior di sepanjang dinding medial orbita
melalui tulang ethmoidalis dan sulkus nasolakrimalis. Tulang sphenoidalis di daerah posterior
biasanya mencegah perluasan fraktur ke dalam kanalis opticus. Selain itu, fraktur terus
berlanjut di sepanjang dasar orbita sampai fisura orbita inferior dan meluas melalui dinding
lateral orbital, juga melalui pertemuan zygomaticofrontal dan arcus zygomaticus. Di dalam
rongga hidung, perluasan fraktur meluas melalui dasar lempeng perpendicolar ethmoid,
melewati volmer, dan pterygoid dari dasar tulang sphenoidalis.

2.2 DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan
klinis dimulai dengan
observasi

dan

kemudian diikuti dengan palpasi pada daerah fraktur. Pada pemeriksaan


ekstraoral dilihat apakah terdapat daerah yang mengalami echymosis, adanya
oedema pada wajah, asimetris hidung, bentuk batang hidung yang menjadi
datar. Pada pemeriksaan intraoral dilihat bagaimana keadaan giginya,
echymosis dan oedema pada vestibulum, echymosis pada bagian palatal,
3

laserasi dan perdarahan mukosa, terbentuknya diastema pada gigi-gigi di


maksila, dan terjadinya maloklusi.
Skeletal wajah juga dipalpasi dengan hati-hati. Dokter mengobservasi
tingkat pergerakan maksila dengan cara melakukan palpasi pada dahi
(forehead), batang hidung (nasal bridge), dan sutura zigomatikum. Palpasi
yang baik daripada arkus zigomatiku dan os zigomatiku akan menunjukkan
ada/tidaknya fraktur, tetapi hal ini dapat juga menunjukkan taktik pada bagian
bawah daripada orbita pada satu sisi. Hal ini juga akan dapat mendeteksi
krepitasi pada nasal kompleks. Fraktur Le Fort II ini memperlihatkan derajat
variasi daripada mobiliti dari fragmenutama. Kadang-kadang letak bagian
fraktur terpendam dan tidak bergerak pada palpasi tapi kadang-kadang juga
tidak dapat bergerak pada palpasi tapi kadang-kadang juga dapat bergerak.
Pemeriksaan hidung dilihat dari perubahan konturnya. Pemeriksaan nasal
septum bertujuan untuk mengetahui apakah ada fraktur atau hematom pada
daerah tersebut.

2. Pemeriksaan Radiografis
Pemeriksaan fraktur secara klinis tidak memberikan informasi yang
detail. Sehingga diperlukan gambaran radiografis untuk melihat keadaan
fraktur yang tidak dapat dilihat secara visual biasa.
Dari gambaran radiuografis terlihat adanya pergeseran atau pemisahan
pada sutura zygomaticomaxillaris atau terputusnya kontinuitas rima orbitalis
inferior di dekat sutura tersebut.

2.3
-

TANDA KLINIS
Edema yang besar dari jaringan lunak di atas daerah 1/3 tengah wajah
Bilateral sirkumorbital ekimosis
Bilateral subconjuctival ekimosis, kadang-kadang terbatas setengah bagian

dalam dari mata


Deformiti yang nyata dari hidung
Datarnya pertengahan wajah tanpa ada hubungan dengan datarnya tulang pipi
Muka yang memanjang
Retroposisi dari insisivus atas
Terganggunya oklusi pada daerah molar (gagging)
Anterior open bite
Depresinya bagian yang lunak dari paltum ke dorsum lidah
Tidak terdapat daerah lunak atau kekacauan dan mobiliti dari os zigomatik dan
lengkungnya
Kadang-kadang tidak terjadi anestesi pada pipi
Kemungkinan terjadi enophthalmos, diplopia dan pergerakan oculair yang
sedikit
Mobiliti dari area piramidal dari pertenghan wajah yang dapat didemonstrasikan
dengan bimanual palpasi diantara palatum dan sutura frontalis
Epistaksis
Kemungkinan serebrospinal fluid rhinorhoe
Suara cracked-up pada waktu diketok perlahan-lahan (retak)

2.4

PENATALAKSANAAN
Dasar-dasar penatalaksanaan fraktur wajah bagian tengah adalah

imobilisasi atau mempertahankan posisi bagian fraktur antara struktur superior yang
utuh dengan mandibula bagian inferior. Tahapan Pelaksanaan fraktur Le Fort II
meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.

Diagnosis
= Pemeriksaan Klinis : Pergeseran fragmen, kegoyangan gigi, palpasi dll.
Radiograf
= Proyeksi panoramic dan waters, CT aksial
Premedikasi
= sedative, anestesi local ( biasanya )
Stabilkan kondisi pasien
= airway, pendarahan, dll
Tindakan reduksi terbuka / pembedahan
Penempatan kembali fragmen fraktur yang telah berubah letak pada

posisinya yang benar, biasanya sebelum fiksasi. Pengawatan transoseus pada tempat

terjadi pemisahan sutura mengarahkan fragmen fraktur dengan tepat. Pelat tulang
kadang diindikasikan untuk keadaan khusus yang memerlukan osteosyntesis
6.
Reduksi tertutup / konservatif pada nasal
7.
Fiksasi skeletal internal / eksternal
Fiksasi kraniomaksilar, kraniomandibular
Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan
Menempatkan fragmen atau unit fraktur ke posisi yang benar dengan
mandibular yang utuh akan mengarahkan fragmen ke anteroposterior (koronal) dan
mediolateral (sagital) sehingga hanya hubungan superior/ inferior yang masih harus
diperbaiki.
Deformitas sisa yang terjadi pada fraktur wajah bagian tengah meliputi
wajah yang tampak lebih panjang dan dish face. Wajah yang panjang bisa dihindari
dengan melakukan reposisi superior yang baik. Dish face diakibatkan karena beberapa
fragmen fraktur bergeser ke posterior atau posterior canting dari aspek superior
segmen fraktur pada waktu imobilisasi. Komplikasi ini sulit dihindari dan perlu
dilakukan koreksi sekunder.
2.4.1
-

Fiksasi skeletal internal


Dilakukan dengan melekatkan kawat suspensi (baja tahan karat, ukuran 0,018

atau 0,2 inchi, 0,45 atau 0,5 mm) pada titik tertentu ditulang bagian superior.
Bagian yang paling sering adalah apertura pirifomis, spina nasalis, tonjolan
malar, arcus zygomaticus dan proccessus zygomaticus ossis frontalis. Dengan
perkecualian pengawatan sirkum zygomatic yang ditempatkan dengan menggunakan
teknik awl atau jarum lurus ganda, penempatan alat ini memerlukan diseksi dan
pembuatan lubang pada tulang.
Fiksasi craniomaxillar terdiri atas perlekatan kawat suspensi pada maxilla (atau
pada alat), sedangkan perlekatan pada mandibula disebut fiksasi craniomandibula.
Apabila mandibula utuh, atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi
craniomandibula lebih dianjurkan dibanding fiksasi craniomaksila, karena pendekatan
ini merupakan perlekatan terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila
yang mengalami fraktur.
Prosedur stabilisasi dengan menggunakan bone graft dan fiksasi internal:
1. Insisi pada bagian paranasal
Untuk insisi jenis ini, ilium lebih sering digunakan sebagai bone graft. Bagian
kortek dari tulang cancellous dihasilakan dari tulang ilium bagain medial yang
6

diinsersi pada ruangan hasil pemotongan sebelumnya. Untuk memfiksasinya,


digunakan titanium berbentuk H atau T terbalik. Fiksasi dari dinding
zigomatikum sampai ke posterior maksila menggunakan titanium berbentuk L.
2. Insisi pada bagian kranial
Tulang yang digunakan sebagai donor adalah tulang kranium itu sendiri. Split
calvaria dapat dihasilkan dan dibentuk sebagai graft untuk dinding
nasofrontal-zygomatic serta dinding anterior dan lateral maksila. Selain itu,
juga dapat diinsersikan pada regio pterygoid. Untuk menstabilisasi pada
bagian nasofrontal, split calvaria ditambahkan dengan penggunaan sekrup
(screw).

2.4.2
-

Fiksasi skeletal eksternal


Tergantung penggunaan headcap yang terbuat dari gips atau frame halo.
Headcap dipasang dengan tempat untuk perlekatan kawat suspensi (heavy

welding rods bekerja dengan baik). Isa Alat halo ditempatkan menempel kranium
dengan menggunakan sekrup yang menembus lembaran tulang kortikal sebelah luar.
Kedua alat tersebut mempunyai manfaat yang nyata : memungkinkan perlekatan
kawat suspensi dalam arah antero posterior, yang tidak bisa dicapai dengan fiksasi
eksternal, yang dapat menangani kasus komplikasi dish face. Peralatan ini juga
dilengkapi dengan sistem untuk aktivasi dengan menggunakan elastik.
Tekanan aktif yang diperlukan untuk mereduksi impaksi atau fraktur yang sudah
lama terjadi bisa dicapai dengan menggunakan kawat yang menyilang pipi ke alat
maksilar, yang diaktifkan dengan elastik. Baik headcap maupun halo tidak tidak
nyaman, dan sukar ditoleransi oleh pasien.
2.4.3
-

Reduksi Terbuka
Peranan reduksi terbuka pada penanganan fraktur wajah bagian tengah tidaklah

sebesar pada fraktur mandibular.


Penatalaksanaan fraktur Le Fort II yaitu dirawat dengan menggunakan arch
bar/alat maksila dan mandibuklar, fiksasi mandibular dan suspensi kraniomandibular
yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik.
Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan .

Perawatan lanjutan
-

Evaluasi jahitan 2 5 hari


Alat MMF ( maksilomandibular fixation ) dilepas 3 8 minggu
Kunjungan berikutnya untuk melihat komplikasi atau deformitas yang mungkin

terjadi postoperative
Memelihara oral hygiene pasien dengan arch bar brusing, mouthwash dan lain
lain.
Evaluasi mobilitas gigi dan segmen
-

Melakukan pemotretan postoperative ( panoramic, CT scan, foto facial )


Uji stabilitas dengan palpasi gigi, gerakan mengunyah santai
Pertimbangan perawatan rujukan endodontic apabila terjadi gigi non vital

Le fort II Osteotomy
Osteotomy adalah operasi bedah untuk memotong tulang menjadi dua bagian
yang diikuti dengan penyusunan kembali bagian-bagian tersebut.
Prosedur Le fort II osteotomy meliputi:
1. Dilakukan pembedahan pada jaringan lunak yaitu dilakukan insisi pada kulit
di bagian paranasalis atau dapat juga insisi pada bagian koronal. Selanjutnya
dilakukan diseksi subperioesteal dengan hati-hati. Hal ini akan menyebabkan
terbukanya akses ke seluruh daerah nasofrontal dan tulang wajah pada regio
infraorbital margin
2. Setelah regio nasofrontral terekspos, dilakukan elevasi pada nasal periosteum
dengan menggunakan elevator periosteal.
3. Pemotongan tulang bagian glabela dilakukan dengan menggunakan bur di
bagian bawah sutura frontonasalis. Proses ini dapat dilanjutkan ke bagian
posterior, yaitu ke tulang ethmoid dan sakus lakrimalis inferior. Pemotongan
selanjutnya

diperluas

melalui

margin

infraorbita

diantara

duktus

nasolakrimalis dan saraf infraorbita.


4. Setelah pemotongan infraorbita selesai, dilakukan insisi intraoral dan diperluas
dengan menggunakan bur yang tajam ke dinding zigomatikum dan untuk
bagian postero-inferior menuju ke pterygoid. Perluasan pemotongan tulang

selesai dilakukan ketika dasar orbita melengkung ke arah superior untuk


membentuk dinding orbita lateral.
5. Pada pterygoid, pemisahan dapat dilakukan dengan menggunakan osteotom
bengkok berukuran kecil yang diletakkan langsung diantara sutura
pterygomaksilari.
6. Nasal septum dan vomer dipisahkan dengan menggunakan Tessier chisel.
Selanjutnya dilakukan proses stabilisasi dan fiksasi internal.
Prosedur stabilisasi dengan menggunakan bone graft dan fiksasi internal:
3. Insisi pada bagian paranasal
Untuk insisi jenis ini, ilium lebih sering digunakan sebagai bone graft. Bagian
kortek dari tulang cancellous dihasilakan dari tulang ilium bagain medial yang
diinsersi pada ruangan hasil pemotongan sebelumnya. Untuk memfiksasinya,
digunakan titanium berbentuk H atau T terbalik. Fiksasi dari dinding
zigomatikum sampai ke posterior maksila menggunakan titanium berbentuk L.
4. Insisi pada bagian kranial
Tulang yang digunakan sebagai donor adalah tulang kranium itu sendiri. Split
calvaria dapat dihasilkan dan dibentuk sebagai graft untuk dinding
nasofrontal-zygomatic serta dinding anterior dan lateral maksila. Selain itu,
juga dapat diinsersikan pada regio pterygoid. Untuk menstabilisasi pada
bagian nasofrontal, split calvaria ditambahkan dengan penggunaan sekrup
(screw).

BAB 3
KESIMPULAN
Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramidal yang ujungnya pada puncak hidung
meluas melalui orbita, garis bawah infraorbita dan antra, dan memisahkan hidung dan
bagian tengah maksila dari dasar cranial.
Adapun simptom dari fraktur ini antara lain pembengkakan wajah, pembengkakan
dan memar disekitar kedua mata, Blood shot eyes (mata kemerah-merahan), rasa sakit
diatas hidung dan wajah, bahkan sampaii terjadinya double vision (melihat ganda).
Pemeriksaan klinis dimulai dengan observasi dan kemudian diikuti dengan palpasi
pada daerah fraktur. Pada pemeriksaan ekstraoral dilihat apakah terdapat daerah yang
mengalami echymosis, adanya oedema pada wajah, asimetris hidung, bentuk batang
hidung yang menjadi datar. Pada pemeriksaan intraoral dilihat bagaimana keadaan
giginya, echymosis dan oedema pada vestibulum, echymosis pada bagian palatal,
laserasi dan perdarahan mukosa, terbentuknya diastema pada gigi-gigi di maksila, dan
terjadinya maloklusi. Skeletal wajah juga dipalpasi dengan hati-hati. Dokter
mengobservasi tingkat pergerakan maksila dengan cara melakukan palpasi pada dahi
(forehead), batang hidung (nasal bridge), dan sutura zigomatikum.
Penatalaksanaan fraktur wajah bagian tengah adalah imobilisasi

atau

mempertahankan posisi bagian fraktur antara struktur superior yang utuh dengan
mandibula bagian inferior, dapat kita lakukan fiksasi skeletal internal, fiksasi skeletal
eksternal atau reduksi terbuka.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg, Alex M, DDS, dkk.

Craniomaxillofacial Reconstructive and

Corrective Bone Surgery: Principles of Internal Fixation Using the AO/ASIF


Technique. 2002. Springer: New York
2. Miloro, Michael. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.
2004. BC Decker Inc: London
3. www.google.ac.id/oral surgery-fracture
4. www.wikipedia.co.id/definisi fraktur

Sumber
11

5. Greenberg, Alex M, DDS, dkk.

Craniomaxillofacial Reconstructive and

Corrective Bone Surgery: Principles of Internal Fixation Using the AO/ASIF


Technique. 2002. Springer: New York

6. Miloro, Michael. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.


2004. BC Decker Inc: London

Le fort II Osteotomy
Osteotomy adalah operasi bedah untuk memotong tulang menjadi dua bagian
yang diikuti dengan penyusunan kembali bagian-bagian tersebut.
Prosedur Le fort II osteotomy meliputi:
7. Dilakukan pembedahan pada jaringan lunak yaitu dilakukan insisi pada kulit
di bagian paranasalis atau dapat juga insisi pada bagian koronal. Selanjutnya
dilakukan diseksi subperioesteal dengan hati-hati. Hal ini akan menyebabkan
terbukanya akses ke seluruh daerah nasofrontal dan tulang wajah pada regio
infraorbital margin
8. Setelah regio nasofrontral terekspos, dilakukan elevasi pada nasal periosteum
dengan menggunakan elevator periosteal.
9. Pemotongan tulang bagian glabela dilakukan dengan menggunakan bur di
bagian bawah sutura frontonasalis. Proses ini dapat dilanjutkan ke bagian
posterior, yaitu ke tulang ethmoid dan sakus lakrimalis inferior. Pemotongan
selanjutnya

diperluas

melalui

margin

infraorbita

diantara

duktus

nasolakrimalis dan saraf infraorbita.


10. Setelah pemotongan infraorbita selesai, dilakukan insisi intraoral dan diperluas
dengan menggunakan bur yang tajam ke dinding zigomatikum dan untuk
bagian postero-inferior menuju ke pterygoid. Perluasan pemotongan tulang
selesai dilakukan ketika dasar orbita melengkung ke arah superior untuk
membentuk dinding orbita lateral.

12

11. Pada pterygoid, pemisahan dapat dilakukan dengan menggunakan osteotom


bengkok berukuran kecil yang diletakkan langsung diantara sutura
pterygomaksilari.
12. Nasal septum dan vomer dipisahkan dengan menggunakan Tessier chisel.
Selanjutnya dilakukan proses stabilisasi dan fiksasi internal.
Prosedur stabilisasi dengan menggunakan bone graft dan fiksasi internal:
5. Insisi pada bagian paranasal
Untuk insisi jenis ini, ilium lebih sering digunakan sebagai bone graft. Bagian
kortek dari tulang cancellous dihasilakan dari tulang ilium bagain medial yang
diinsersi pada ruangan hasil pemotongan sebelumnya. Untuk memfiksasinya,
digunakan titanium berbentuk H atau T terbalik. Fiksasi dari dinding
zigomatikum sampai ke posterior maksila menggunakan titanium berbentuk L.
6. Insisi pada bagian kranial
Tulang yang digunakan sebagai donor adalah tulang kranium itu sendiri. Split
calvaria dapat dihasilkan dan dibentuk sebagai graft untuk dinding
nasofrontal-zygomatic serta dinding anterior dan lateral maksila. Selain itu,
juga dapat diinsersikan pada regio pterygoid. Untuk menstabilisasi pada
bagian nasofrontal, split calvaria ditambahkan dengan penggunaan sekrup
(screw).

13

Anda mungkin juga menyukai