PENDAHULUAN
setempat
serta
waktu.
Berdasarkan
Survei
Demografi
dan
Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD
sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas
pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi.
Kematian
perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang
bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan
partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada
pengelolaan konservatif
(1,2)
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif
terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya
proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan
pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan
berat badan janin yang cukup. (2,3,4)
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab
infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang
normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada
janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk
Berdasarkan
Survei
Demografi
dan
Kesehatan
Indonesia
(SDKI)
2002/2003,
angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per
100.000 kelahiran hidup atau dapat dikatakan setiap jamnya terdapat 2 orang ibu
bersalin yang meninggal karena berbagai sebab. Penyebab
adalah
kematian
langsung
kehamilan,
persalinan, dan nifas: misalnya infeksi, eklamsia, perdarahan, emboli air ketuban,
trauma anestesi, trauma operasi, dll. Infeksi yang banyak dialami oleh ibu sebagian
besar merupakan akibat dari adanya komplikasi/penyulit kehamilan seperti febris,
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, dan sebanyak 65% adalah karena ketuban
pecah dini (KPD) yang banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.
Varner (1999) melaporkan insidens PROM (Premature Rupture of the
Membrane) pada ibu hamil di Amerika yaitu sebesar 8-10% dan seperempatnya
terjadi pada kehamilan aterm. Komplikasi PROM akan berdampak baik pada ibu
maupun janin yaitu infeksi ascending berupa chorioamnionitis yang biasanya terjadi
pada PROM > 18 jam.
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam bidang kesehatan
yang
berkaitan
dengan
korioamnionitis sampai
penyulit
sepsis,
kelahiran
serta
prematur
menyebabkan
dan
terjadinya
infeksi
pada
infeksi
ibu yang
tali
pusat,
maka
dalam penatalaksanaan
dan
perawatannya
bahaya
dianjurkan
perawatan
meminimalkan risiko
klien
terjadinya
yang mengalami
infeksi
dapat
ketuban
dilakukan
pecah
dengan
dini
cara
karakteristik
spesimen
vagina
kesehatan
ketuban
pecah dini,
dilakukan
dapat
yaitu
untuk
mengetahui
infeksi. Perawatan
mencegah
yang
komplikasi
ada tidaknya
baik
dan
invasi bakteri
sesuai
dengan
Ketuban Pecah Dini beserta beberapa literature tentang ketuban pecah dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Membran Fetal
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan. Lapisan ini tidak mengandung pembuluh
darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion. Lapisan paling dalam
dan terdekat pada fetus ialah epitelium amniotik. Epitel amniotik mensekresikan kolagen
tipeIII, IV dan glikoprotein non kolagen (laminin, nidogen dan fibronectin) dari membrane
basalis, lapisan amnion disebelahnya.
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis ini
membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh
sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan III) mendominasi dan
membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe
V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara kolagen interstitial dan membrane basalis
epithelial. Tidak ada interposisi dari materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan
konektif amniotic sehingga amnion dapat mempertahankan tensile strength selama stadium
akhir kehamilan normal
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling tebal terdiri dari sel
mesenkimal dan makrofag diantara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk
jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa.
Lapisan intermediate (spongy layer atau zona spongiosa) terletak diantara amnion dan
korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang
memberikan sifat spongy pada gambaran histology. Lapisan ini juga mengandung
nonfibrillar meshwork yang terdiri sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate
ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi.
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength yang
lebih besar. Korion terdiri dari membrane epithelial tipikal dengan polaritas langsung menuju
desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik diantara lapisan korionik dari
membrane fetal (bebas plasenta) mengalami regresi. Dibawah lapisan sitotrofoblas (dekat
janin) merupakan membrane basalis dan jaringan konektif korionik yang kaya akan serat
kolagen.
Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya titik lemah dimana membran akan pecah, observasi harus dilakukan
untuk menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membran yang memicu
terjadinya ketuban pecah dini.
Vintziuleos dalam hipotesisnya memandang bahwa cairan amnion mengandung
materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung terhadap proses infeksi potensial dan
penurunan volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan pasien dalam menghadapi
infeksi.
Penelitian
oleh
borna
et
al
menunjukan
bahwa
pasien
dengan
oligohidramnion (AFI<5) memiliki risiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada
neonatus.
Sebagian besar bukti mengarah bahwa ketuban pecah dini berhubungan dengan
proses biokimia meliputi rusaknya kolagen antar matriks ekstraseluler amnion dan korion dan
programmed cell death pada membran janin dan lapisan uteri maternal (desidua) sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan seperti peregangan membran (membrane stretching)
dan infeksi saluran reproduksi, yang menghasilkan mediator seperti prostaglandin, sitokin
dan hormone protein yang mengatur aktivitas enzim degradasi matriks.
Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan adalah 1000 1500 cc.
Air ketuban berwarna putih kekeruhan, berbau khas amis, dan berasa
manis, reaksinya agak alkalis atau netral, berat jenis 1,008. Komposisinya
terdiri atas 98 % air, sisanya albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel
epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam anorganik. Kadar
protein kira-kira 2,6 gr % per liter terutama sebagai albumin.
Didapatkan lecitin spingomyelin dalam air ketuban amat berguna
untuk mengetahui apakah janin sudah mempunyai paru-paru yang
matang. Sebab peningkatan kadar lecitin pertanda bahwa permukaan
paru-paru diliputi zat surfaktan. Ini merupakan syarat bagi paru-paru
untuk berkembang dan bernapas. Bila persalinan berjalan lama atau ada
gawat janin atau pada letak sungsang akan kita jumpai warna ketuban
keruh kehijau-hijauan, karena telah bercampur dengan mekonium.
Fungsi air ketuban adalah sebagai berikut ; untuk proteksi janin,
mencegah perlengketan janin dengan amnion, agar janin dapat bergerak
dengan bebas, regulasi terhadap panas dan perubahan suhu, meratakan
tekanan intrauterin dan membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah,
Membran
amnion
terssebut
melanjutkan
diri
untuk
menutupi
Rongga amnion berisi liquor amnii (= air ketuban) yaitu cairan jernih
dengan bau yang khas, agak amis, dihasilkan sebagian oleh sel-sel amnion dan
sebagian yang utama berasal dari darah ibu. Jumlah cairan amnion meningkat
dari sekitar 30 mL pada 10 minggu masa gestasi menjadi 350-500 mL pada umur
kehamilan 20 minggu, 1000-1500 mL pada umur kehamilan cukup bulan (37
minggu). Cairan ini terdiri atas 98% air, sisanya terdiri atas garam anorganik
serta bahan organik. Protein ditemukan rata-rata 2.6 gr% per liter, sebagian
besar adalah albumin. Volume cairan amnion bertukar setiap tiga jam. Mulai pada
awal bulan kelima, janin menelan cairan amnionnya sendiri dan diperkirakan ia
minum 500 mL/hari, yaitu sekitar separuh dari jumlah totalnya. Urin janin masuk
ke dalam cairan amnion setiap hari pada bulan kelima tetapi urin ini sebagian
besar adalah air karena plasenta saat itu berfungsi sebagai tempat pertukaran
sisa-sisa metabolisme.
Cairan amnion mempunyai fungsi 1). Melindungi janin terhadap trauma dari
luar; 2). Memungkinkan janin bergerak dengan bebas; 3). Melindungi suhu tubuh
janin; 4). Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus sehingga servix
membuka; 5). Membersihkan jalan lahir jika ketuban pecah dengan cairan
yang steril, dan mempengaruhi keadaan di dalam vagina sehingga bayi kurang
mengalami infeksi.
II.1. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD.
Beberapa
penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti
tanda-tanda persalinan
(1,2,3)
misalnya 1 jam (9,11,12) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam
ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan
servik pada primigravida 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. (10)
Jika pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu (preterm) disebut
sebagai
KPD
preterm
(preterm
premature
rupture
of
membrane)/PPROM
(Bankowskim et al, 2002). Pada pasien ini, ibu mengatakan keluarnya air yang
merupakan air ketuban yang menunjukkan pecahnya selaput ketuban yang tanpa
diikuti tanda-tanda persalinan dengan tidaknya his dan pengeluaran lendir darah yang
merupakan tanda-tanda awal persalinan.
II.2. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang
bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan. (6) Hal yang
menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi
pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %
(3)
sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur. (1)
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan
mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang
kurang bulan.
II.3. Etiologi
Etiologi KPD bersifat multifaktorial, secara garis besar ada 3 hal pokok yang
mempengaruhi terjadinya KPD yaitu: defek selaput/membran amnion, hadirnya
faktor risiko dan faktor proteksi.
1.
10
Faktor Risiko.
Membran amnion tahan terhadap tekanan tinggi dari rongga intrauterin dan
akan ruptur jika dirusak oleh beberapa faktor risiko berikut: infeksi (cervicovaginitis); inkompetensi serviks; riwayat KPD sebelumnya; polihidramnion;
kehamilan multiple; trauma/ proses invasif pada serviks; insersi placenta yang
rendah; Defisiensi nutrisi; sindrom Ehlers Danlos; Stres Psikologis.
Infeksi
merupakan
penyebab
utama
kerusakan
membran.
Isolasi
(daya
regang)
selaput
ketuban,
sehingga
menjadi
faktor
11
atau
neutrophil
elastase
menyebabkan
penurunan
elastisitas
laserasi
sebelumnya
melalui
ostium
uteri
internum
atau
Trauma/ proses invasif pada serviks, bisa akibat jatuh, koitus atau alat-alat.
Pemeriksaan dalam serviks meningkatkan risiko kontaminasi oleh bakteri,
sehingga secara bersamaan juga meningkatkan risiko terjadinya KPD.
Hipotesis ini didukung penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lenihan
(1984). Ia meneliti 349 ibu hamil tanpa komplikasi: 174 orang diambil secara
acak untuk dilakukan pemeriksaan dalam setiap minggu mulai dari usia
kehamilan 37 minggu sampai melahirkan, dan 175 orang sisanya adalah
kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan dalam. Dari 2 kelompok tersebut
didapatkan
kejadian
KPD
lebih tinggi
pada
kelompok yang
dilakukan
pemeriksaan dalam yaitu sebesar 18% sedangkan pada kelompok yang tidak
mendapat pemeriksaan dalam kejadian KPD sebesar 6%.
Stres Psikologis
12
Salah satu sebab KPD adalah ibu hamil mengalami stres, sebab setiap ibu
hamil yang mengalami KPD setelah dianamnesa, sebelumnya menderita stres
yang bermacam-macam diantaranya mengalami stresor psikologis.nmenurut
Lookwod (1999), stres menyebabkan kenaikan hormon kortisol dalam darah.
Keseimbangan Th1 dan Th2 serta fungsi sitokin diatur oleh hormone kortisol.
Stres yang kronis akan menstimuli Th1 untuk melepas IL-2 dan IL-2 akan
memacu sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk melepas Ig G. Stres
dapat menyebabkan Ig G masuk jaringan bersama makrofag dan merusak
jaringan melalui proses Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity
(ADCC).
Penelitian oleh Dalono (2000) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta mendapatkan
stres menyebabkan kenaikan kortisol, IL-2, IL-4, Ig G dan Ig M yang
signifikan, dimana hormon dan sitokin ini sebagai petanda terjadinnya KPD.
3. Faktor Proteksi.
Vagina yang sehat serta serviks yang kompeten merupakan barier infeksi
yang baik.
13
Kadar
crh
(corticotropin
releasing
hormone)
maternal
tinggi
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput
14
korion/amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan
(Mardjono, 1992).
II.4. Diagnosa
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan
diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1.
Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara
tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. (1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga
diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum
ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2.
Inspeksi (15)
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.
3.
4.
Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
15
pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5.
Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan
pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga
urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas
nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7
7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif
palsu.(1,7,8,913) Cairan amnion memiliki rentang pH 7 7.7. Hasil tes
False-negative dan false-positive terjadi pada 5% kasus. False
negative
dapat
terjadi
jika
kebocoran
membran
bersifat
cairan
amnion.
Namun
pemeriksaan
ini
tidak
umum
16
51.b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis. (1,8,9)
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaanini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.(10,12)
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun
pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan
sedehana.
Bila dengan cara di atas ternyata selaput ketuban sudah pecah, maka diambil
ketentuan sebagai berikut:
1. Saat selaput ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis pasti tentang
kapan pecahnya.
2. Kalau anamnesis tidak pasti, maka saat selaput ketuban pecah adalah saat
penderita masuk rumah sakit.
3.
Kalau berdasarkan anamnesis pasti bahwa selaput ketuban sudah pecah lebih
dari 12 jam maka setelah masuk kamar bersalin dievaluasi 2 jam. Bila setelah 12
jam tidak ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi kehamilan (induksi/seksio
sesarea).
17
Selalu ada
Kadang ada
Diagnosis
mungkin
KPD
Demam/menggigil
Uterus menyempit
Nyeri perut
DJJ cepat
Amnionitis
Perdarahan pervaginam
sedikit-sedikit
Cairan vagina berbau
Tidak ada riwayat ketuban
pecah
Cairan vagina berdarah
Vaginitis/
Perdarahan ante
partum
Servisitis
II.5. Komplikasi
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi term, sekitar 70% pasien akan memulai
persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm,
periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia
18
II.6. Penatalaksanaan\
Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca
ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom
distress pernafasan (20 35,4%), hemoraghi intraventrikular (7,5 15,9%), enterokolitis
nekrotikans (0,8 4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason
(celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health
merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 23 minggu,
dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian
kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak
19
Kasus
KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak
akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk
memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi
yang akan memperjelek prognosis janin.(1,2)
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG)
untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada
KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh
20
karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan
waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih
biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada
janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten.(2,3,4,7)
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan
dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
Febris
(>37.6
)
Kortitokosteroi
d
febris
AB
termin
asi
TBJ >
1500
Preterm
TBJ <
1500
KPD
Non febris
Obs. 2x24
jam
Obs. 2x24
jam
febris
Terminasi
AK
sedikit
AK sedikit
Non febris
AK
AK cukup
cukup
kons
ervatkonservat
if
if
febris
Aterm
Non
febris
Obs. 12 jam
21
22
23
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya
mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan
komplikasi lain dari KPD.
persalinan disebut periode latent = L.P = lag period. Makin muda umur kehamilan
makin memanjang L.P-nya. (13)
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan
sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24
jam setelah kulit ketuban pecah,(16,17) bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah
belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, (1) dan bila gagal
dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun
antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap
chorioamnionitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera
setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari
6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung
lebih dari 6 jam.(1,2)
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan
atau ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan
sendirinya.
sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.(10)
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap
keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.
Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi
dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his
24
kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi
dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil
akhiri persalinan dengan seksio sesaria. (7,9)
KPD dengan kehamilan aterm (14)
1.
2.
3.
5.
<
5,
lakukan
pematangan
serviks,
>
pervaginam.
5,
induksi
persalinan,
partus
10,11
tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan
25
Observasi suhu rektal tiap 3 jam, bila meningkat > 370C segera terminasi.
Bila 2x24 jam air ketuban tidak keluar dilakukan USG.. bila air ketuban
cukup kemailan di pertahankan (konservatif), dan apabila sedikit dilakukan
terminasi.
Bila konservatif, maka bila ada demam atau keluar air lagi langsung ke
rumah sakit, dan tidak boleh koitus ataupun manipulasi vagina
Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan mortalitas neonatal berat.
Bila tidak dijumpai infeksi intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan
hingga 34 minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka pasien akan melahirkan dalam
waktu 1 minggu. Klinisi harus memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan
penilaian menyeluruh mengenai keadaan janin melalui monitoring fetal dan
ultrasonografi. Pemberian kortikosteroid pada masa gestasi 24 -28 minggu tidak banyak
bermanfaat.
27
terminasi.
2. Perkiraan berat badan janin < 1500 gr
- Diberikan antibiotika ampicilin 1 gr IV selama 2 jam selanjutnya amoksisilin
-
28
a. Segera kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar air ketuban lagi
b. Tidak boleh koitus
Tidak boleh manipulasi vagina
Sedangkan sikap
29
juga perlu di gali apakah ada tanda-tanda persalinan, seperti adanya darah
bercampur lendir, nyeri perut (kontraksi/his).
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan KPD dapat dilakukan inspekulo dan
pemeriksaan dalam berupa vaginal toucher (VT). Pada inspekulo pasien
diatas tampak cairan merembes dari OUE dan cairan terkumpul pada fornix
posterior. Pada pemeriksaan VT didapatkan CD 1 cm, eff 10%, ketuban (-),
denominator belum jelas, teraba kepala turun H1, tidak teraba bagian kecil
janin atau tali pusat.. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher
perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum
dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam.
Karena pada
Mikroorganisme tersebut
dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan
induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus KPD adalah
pemeriksaan laboratorium dan pemriksaan USG. Pemeriksaan laboratorium
pada kasus KPD diantaranya
ditegakkan
diagnosis
pasti
KPD
maka
dilakukan
30
penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi
pada ibu. Pada pasien diatas umur kehamilan telah mencapai aterm
(>37minggu) sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan berupa induksi
dengan drip oksitosin setelah dilakukan pemeriksaan seperti pelvic score,
CTG dan pemeriksaan laboratorium pendukung lainnya. Pada pasien diatas
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti kenaikan suhu tubuh, leukosit
yang meningkat pada pemeriksaan laboratorium. Pada pasien diatas bayi
lahir spontan setelah dilakukan induksi dengan drip oksitosin, maintenance
pada tetesan 32. Bayi lahir perempuan, A-S 7-9, dengan berat 2800gram.
guna
pemeriksaan
membedakannya
fisik
dapat
dengan
diketahui
his
air
tidak
kencing
pasien.
ada,
kemudian
Dari
hasil
dilakukan
Kehamilan aterm serta lamanya KPD yaitu >12 jam merupakan indikasi
untuk dilakukan terminasi kehamilan guna mencegah terjadinya komplikasi
akibat infeksi atau potensi timbulnya kegawatan pada janin. Dari pemeriksaan
status generalis pasien dan pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan
leukosit darah 6200 /mm3 (dalam rentang normal), hal ini menunjukkan bahwa
31
tidak terjadi infeksi namun antibiotik (ampicillin 1 gram/ 6 jam IV) tetap
diberikan sebagai profilaksis. Pemeriksaan inspekulo untuk melihat keluarnya
cairan ketuban pada OUE tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan dalam (VT) pada
pasien ini dilakukan ketika baru datang di kamar bersalin dan saat his sudah
adekuat untuk mengetahui kemajuan persalinan. Pemeriksaan dalam dilakukan
hanya bila ada indikasi guna meminimalkan risiko terjadinya
infeksi. Monitor
32
Tidak ada komplikasi pada bayi akibat KPD pada kasus ini, dapat dinilai
dari bayi yang lahir tampak sehat dengan Apgar score 7-9 (Vigorous Baby) dan
air ketuban masih jernih walaupun jumlahnya agak sedikit.
BAB V
KESIMPULAN
1. Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada
saat belum inpartu atau selaput ketuban pecah 1 jam kemudian tidak diikuti
tanda-tanda awal persalinan.
2. Kehamilan aterm dengan KPD lebih dari 12 jam harus segera dilakukan
terminasi untuk mencegah terjadinya komplikasi karena pecahnya ketuban
33
4. Pada kasus KPD disertai penyulit lainnya (tali pusat menumbung, letak
sungsang dll) diperlukan perhatian yang lebih.
34
DAFTAR PUSTAKA
Dalono. 2000. Stresor Psikologis pada Kehamilan sebagai Petanda terjadinya KPD di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam Majalah Obstetri dan Ginekologi Vol.10
No.1 Juli 2002. Surabaya: Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fak.Kedokteran
UNAIR RSUD Dr. Soetomo.
Doddy AK, Soesbandoro SDA, Damanik H, Edi PW, Agus T. Ketuban Pecah Dini.
Dalam Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan Ginekologi. Rumah Sakit
Umum Mataram. 2001: hal 21-22.
Verrals, Sylvia. 2002. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan Ed.3. Alih
bahasa: Hartono. Jakarta: EGC.
35
3. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000.
4. Smith .J.F., Premature Rupture of Membranes,
http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2001.
5. Bruce.E., Premature Rupture of Membrane (PROM),
http://www.compleatmother.com/prom.htm, 2002
6. Yancey .M.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or
Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 1999
7.
36