Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


.
Ukuran keberhasilan suatu pelayanan kesehatan tercermin dari
penurunan angka kematian ibu (Maternity Mortality Rate) sampai pada
batas angka terendah yang dapat dicapai sesuai dengan kondisi dan
situasi

setempat

serta

waktu.

Berdasarkan

Survei

Demografi

dan

Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, angka kematian ibu (AKI) di


Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau
setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai
sebab.
Di Rumah Sakit Umum Swadana Sumedang angka morbiditas ibu
dengan ketuban pecah dini mengalami peningkatan pada tiap tahunnya.
Insidensi KPD berkisar 4,5 % sampai 7,6 % dari seluruh kehamilan.
Insidensi di kalangan wanita yang melahirkan bayi prematur berkisar
antara 40 % - 60 % dan angka kematian perinatal bayi prematur
meningkat nyata jika terdapat ketuban pecah dini (KPD). Sedang menurut
De Cherney (2003) kasus KPD mencapai 10,7% dari seluruh kehamilan.
Menurut Oxorn (2003) insidensi terjadinya KPD antara 10% sampai 12%.
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor
tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya
infeksi yang dapat berasal dari vagina dan servik (Prawirohardjo, 2007).
Ketuban pecah dini merupakan salah satu factor penyebab asfiksia
neonatorum dan infeksi. Hipoksia pada janin yang menyebabkan asfiksia
neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran transport gas O2 dari ibu
ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam

menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun


akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara
mendadak karena hal-hal yang diderita pada ibu dalam persalinan.
Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi
dalam rahim terhadap ibu maupun janin yang cukup besar dan potensiil.
Bila persalinan tertunda sampai 24 jam kemungkinan terjadi infeksi
sangat besar (Depkes RI, 1996).
Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan
tindakan yang rinci sehingga dapat menurunkan kejadian persalinan
prematuritas dan infeksi dalam rahim.

Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD
sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas
pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi.

Kematian

perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang
bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan
partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada
pengelolaan konservatif

(1,2)

Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif
terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya
proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan
pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan
berat badan janin yang cukup. (2,3,4)
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab
infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang
normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada
janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk

mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko


terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering
terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang
bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang
disebabkan karena belum masaknya paru. (4)
Protokol pengelolaan yang optimal harus mempertimbangkan 2 hal tersebut di atas
dan faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang
bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus
KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi
mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak
maupun pada ibu.

Berdasarkan

Survei

Demografi

dan

Kesehatan

Indonesia

(SDKI)

2002/2003,

angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per
100.000 kelahiran hidup atau dapat dikatakan setiap jamnya terdapat 2 orang ibu
bersalin yang meninggal karena berbagai sebab. Penyebab
adalah

kematian ibu karena akibat

kematian

langsung dari penyakit penyulit

langsung
kehamilan,

persalinan, dan nifas: misalnya infeksi, eklamsia, perdarahan, emboli air ketuban,
trauma anestesi, trauma operasi, dll. Infeksi yang banyak dialami oleh ibu sebagian
besar merupakan akibat dari adanya komplikasi/penyulit kehamilan seperti febris,

korioamnionitis, infeksi saluran kemih, dan sebanyak 65% adalah karena ketuban
pecah dini (KPD) yang banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.
Varner (1999) melaporkan insidens PROM (Premature Rupture of the
Membrane) pada ibu hamil di Amerika yaitu sebesar 8-10% dan seperempatnya
terjadi pada kehamilan aterm. Komplikasi PROM akan berdampak baik pada ibu
maupun janin yaitu infeksi ascending berupa chorioamnionitis yang biasanya terjadi
pada PROM > 18 jam.
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam bidang kesehatan
yang

berkaitan

dengan

korioamnionitis sampai

penyulit
sepsis,

kelahiran

serta

prematur

menyebabkan

dan

terjadinya

infeksi

pada

infeksi

ibu yang

menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Ketuban


pecah dini kemungkinan besar menimbulkan risiko tinggi infeksi
kompresi

tali

pusat,

maka

dalam penatalaksanaan

dan

perawatannya

bahaya

dianjurkan

untuk pemantauan ibu maupun janin dengan ketat.


Penatalaksanaan
dalam

perawatan

meminimalkan risiko

klien

terjadinya

yang mengalami
infeksi

dapat

ketuban

dilakukan

pecah

dengan

monitor atau pemantauan tanda vital ibu dan janin, evaluasi

dini
cara

karakteristik

cairan ketuban dari tanda-tanda infeksi, minimalkan pemeriksaan dalam, serta


pemeriksaan

spesimen

vagina

yang dapat menyebabkan


standar

kesehatan

ketuban

pecah dini,

dilakukan

dapat
yaitu

untuk

mengetahui

infeksi. Perawatan
mencegah

yang

komplikasi

ada tidaknya
baik

dan

invasi bakteri

sesuai

dengan

utama yang ditimbulkan dari

infeksi baik pada ibu maupun pada bayi apabila tidak

perawatan dengan baik. Berikut ini paparkan sebuah kasus dengan

Ketuban Pecah Dini beserta beberapa literature tentang ketuban pecah dini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Membran Fetal
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan. Lapisan ini tidak mengandung pembuluh
darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion. Lapisan paling dalam
dan terdekat pada fetus ialah epitelium amniotik. Epitel amniotik mensekresikan kolagen
tipeIII, IV dan glikoprotein non kolagen (laminin, nidogen dan fibronectin) dari membrane
basalis, lapisan amnion disebelahnya.
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis ini
membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh
sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan III) mendominasi dan
membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe
V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara kolagen interstitial dan membrane basalis
epithelial. Tidak ada interposisi dari materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan
konektif amniotic sehingga amnion dapat mempertahankan tensile strength selama stadium
akhir kehamilan normal
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling tebal terdiri dari sel
mesenkimal dan makrofag diantara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk
jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa.
Lapisan intermediate (spongy layer atau zona spongiosa) terletak diantara amnion dan
korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang
memberikan sifat spongy pada gambaran histology. Lapisan ini juga mengandung
nonfibrillar meshwork yang terdiri sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate
ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi.
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength yang
lebih besar. Korion terdiri dari membrane epithelial tipikal dengan polaritas langsung menuju
desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik diantara lapisan korionik dari
membrane fetal (bebas plasenta) mengalami regresi. Dibawah lapisan sitotrofoblas (dekat
janin) merupakan membrane basalis dan jaringan konektif korionik yang kaya akan serat
kolagen.
Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya titik lemah dimana membran akan pecah, observasi harus dilakukan

untuk menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membran yang memicu
terjadinya ketuban pecah dini.
Vintziuleos dalam hipotesisnya memandang bahwa cairan amnion mengandung
materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung terhadap proses infeksi potensial dan
penurunan volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan pasien dalam menghadapi
infeksi.

Penelitian

oleh

borna

et

al

menunjukan

bahwa

pasien

dengan

oligohidramnion (AFI<5) memiliki risiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada
neonatus.
Sebagian besar bukti mengarah bahwa ketuban pecah dini berhubungan dengan
proses biokimia meliputi rusaknya kolagen antar matriks ekstraseluler amnion dan korion dan
programmed cell death pada membran janin dan lapisan uteri maternal (desidua) sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan seperti peregangan membran (membrane stretching)
dan infeksi saluran reproduksi, yang menghasilkan mediator seperti prostaglandin, sitokin
dan hormone protein yang mengatur aktivitas enzim degradasi matriks.
Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan adalah 1000 1500 cc.
Air ketuban berwarna putih kekeruhan, berbau khas amis, dan berasa
manis, reaksinya agak alkalis atau netral, berat jenis 1,008. Komposisinya
terdiri atas 98 % air, sisanya albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel
epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam anorganik. Kadar
protein kira-kira 2,6 gr % per liter terutama sebagai albumin.
Didapatkan lecitin spingomyelin dalam air ketuban amat berguna
untuk mengetahui apakah janin sudah mempunyai paru-paru yang
matang. Sebab peningkatan kadar lecitin pertanda bahwa permukaan
paru-paru diliputi zat surfaktan. Ini merupakan syarat bagi paru-paru
untuk berkembang dan bernapas. Bila persalinan berjalan lama atau ada
gawat janin atau pada letak sungsang akan kita jumpai warna ketuban
keruh kehijau-hijauan, karena telah bercampur dengan mekonium.
Fungsi air ketuban adalah sebagai berikut ; untuk proteksi janin,
mencegah perlengketan janin dengan amnion, agar janin dapat bergerak
dengan bebas, regulasi terhadap panas dan perubahan suhu, meratakan
tekanan intrauterin dan membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah,

peredaran air ketuban dengan darah cukup lancar dan perputarannya


cepat, kira-kira 350-500 cc.
Air ketuban bersal dari kencing janin (fetal urin), transudasi dari
darah ibu, sekresi dari epitel amnion, asal campuran (mixed origin). Cara
mengenali air ketuban adalah dengan lakmus, makroskopis, berbau amis,
adanya lanugo dan verniks kaseosa, bercampur mekonium, mikroskopis.
Membran amnion berasal dari ektoderm yang melapisi cavitas amniotica,
merupakan lapisan epitel monoselular dengan ketebalan 0.02-0.05 mm dan
avaskular. Jaringan ikat dibawah epitel ini mengandung kolagen yang padat.
Korion merupakan lapisan epitel tersusun atas sel-sel kuboid dengan ketebalan 210 mm, menempel dan mendapat vaskularisasi dari desidua basalis. Pada umur
kehamilan lanjut, karena fetus yang sedang berkembang bertumbuh besar maka
cavitas amniotica didorong keluar terus-menerus sampai cavitas uteri terisi
sehingga akan terjadi penyatuan amnion dan korion membentuk membran
amniokorion. Struktur membran ini menjadi lebih kuat terhadap kerusakan dan
akan pecah pada saat proses persalinan berlangsung akibat kontraksi uterus.
Amnion aterm berupa membran yang tipis dan transparan (bening) tetapi
sangat kuat, yang dapat dikelupas dari korion sampai daerah insersi funiculus
umbilicalis.

Membran

amnion

terssebut

melanjutkan

diri

untuk

menutupi

funiculus umbilicalis sampai seluruh panjangnya dan kemudian melanjutkan diri


dengan kulit fetus pada umbilicus.

Rongga amnion berisi liquor amnii (= air ketuban) yaitu cairan jernih
dengan bau yang khas, agak amis, dihasilkan sebagian oleh sel-sel amnion dan
sebagian yang utama berasal dari darah ibu. Jumlah cairan amnion meningkat
dari sekitar 30 mL pada 10 minggu masa gestasi menjadi 350-500 mL pada umur
kehamilan 20 minggu, 1000-1500 mL pada umur kehamilan cukup bulan (37
minggu). Cairan ini terdiri atas 98% air, sisanya terdiri atas garam anorganik
serta bahan organik. Protein ditemukan rata-rata 2.6 gr% per liter, sebagian
besar adalah albumin. Volume cairan amnion bertukar setiap tiga jam. Mulai pada
awal bulan kelima, janin menelan cairan amnionnya sendiri dan diperkirakan ia
minum 500 mL/hari, yaitu sekitar separuh dari jumlah totalnya. Urin janin masuk

ke dalam cairan amnion setiap hari pada bulan kelima tetapi urin ini sebagian
besar adalah air karena plasenta saat itu berfungsi sebagai tempat pertukaran
sisa-sisa metabolisme.
Cairan amnion mempunyai fungsi 1). Melindungi janin terhadap trauma dari
luar; 2). Memungkinkan janin bergerak dengan bebas; 3). Melindungi suhu tubuh
janin; 4). Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus sehingga servix
membuka; 5). Membersihkan jalan lahir jika ketuban pecah dengan cairan
yang steril, dan mempengaruhi keadaan di dalam vagina sehingga bayi kurang
mengalami infeksi.

II.1. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD.

Beberapa

penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti
tanda-tanda persalinan

(1,2,3)

, ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu,

misalnya 1 jam (9,11,12) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam
ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan
servik pada primigravida 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. (10)
Jika pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu (preterm) disebut
sebagai

KPD

preterm

(preterm

premature

rupture

of

membrane)/PPROM

(Bankowskim et al, 2002). Pada pasien ini, ibu mengatakan keluarnya air yang
merupakan air ketuban yang menunjukkan pecahnya selaput ketuban yang tanpa
diikuti tanda-tanda persalinan dengan tidaknya his dan pengeluaran lendir darah yang
merupakan tanda-tanda awal persalinan.

II.2. Insidensi

Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang
bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan. (6) Hal yang
menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi
pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %

(3)

sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur. (1)
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan
mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang
kurang bulan.

Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat

komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan


RDS. (4)
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan
yang paling sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan
bervariasi dari 6% hingga 10%, dimana sekitar 20% kasus terjadi
sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10%
pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine
akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang memanjang.
Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan
preterm dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu
minggu lebih dini dari jadwal. 1,2,4,5

II.3. Etiologi
Etiologi KPD bersifat multifaktorial, secara garis besar ada 3 hal pokok yang
mempengaruhi terjadinya KPD yaitu: defek selaput/membran amnion, hadirnya
faktor risiko dan faktor proteksi.
1.

Defek membran amnion.


Lebih dari 50% KPD terjadi ketika ibu hamil beristirahat. Hal ini menjadi
indikator kerusakan membran, kekuatannya berkurang dan akan mudah ruptur
secara spontan. Variasi tingkat elastisitas membran amnion dipengaruhi oleh
kontraksi uterus normal serta gerakan janin akan memberi kontribusi terhadap
penipisan membran. Perubahan biokimia berupa penurunan substansi kolagen

10

juga terjadi sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan (aterm). Pada


peristiwa KPD terjadi penurunan substansi kolagen lebih awal dibanding normal.
Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa membran menjadi lemah dan
mudah ruptur walaupun dalam keadaan istirahat.

Selaput ketuban yang mudah ruptur mungkin memiliki substansi mekanik


yang berbeda dibandingkan selaput ketuban yang normal. Vadillo-Ortega dan
rekannya mengukur kandungan kolagen, kelarutan kolagen dalam asam, aktifitas
degradasi kolagen dan biosintesis kolagen pada 22 pasien dengan selaput
ketuban normal dan 20 pasien dengan KPD pada umur kehamilan 37 minggu.
Didapatkan aktifitas kolagenolitik dan kelarutan kolagen yang lebih tinggi pada
pasien KPD, sintesis kolagen juga lebih sedikit. Kelainan selaput ketuban dapat
ditemukan pada sindrom Ehler Danlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan
ikat oleh karena defek pada sintesa dan struktur kolagen. Manifestasi klinik
biasanya berupa hiperekstensi sendi, kulit mudah memar, luka tidak mudah
sembuh dan tumor subkutan.
2.

Faktor Risiko.
Membran amnion tahan terhadap tekanan tinggi dari rongga intrauterin dan
akan ruptur jika dirusak oleh beberapa faktor risiko berikut: infeksi (cervicovaginitis); inkompetensi serviks; riwayat KPD sebelumnya; polihidramnion;
kehamilan multiple; trauma/ proses invasif pada serviks; insersi placenta yang
rendah; Defisiensi nutrisi; sindrom Ehlers Danlos; Stres Psikologis.

Infeksi

merupakan

penyebab

utama

kerusakan

membran.

Isolasi

mikroorganisme pada kehamilan dengan KPD ternyata menghasilkan enzim


proteolitik yang menyebabkan kerusakan membran tersebut. Mikroorganisme
yang sering terisolasi pada kasus KPD adalah Chlamydia, Mycoplasma, dan
Streptococcus group B.
Infeksi memiliki peranan yang penting sebagai penyebab terjadinya KPD.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa kolonisasi bakteri dapat mengurangi
elastisitas

(daya

regang)

selaput

ketuban,

sehingga

menjadi

faktor

predisposisi terjadinya KPD. Mc.Gregor et al (1987) mendemonstrasikan


ketika membran amnion terpapar oleh bakteri atau enzim kolagenase bakteri,
terjadi penurunan elastisitas membran yang signifikan. Sbarra et al (1987)

11

mengamati pertumbuhan Eschericia coli dan Streptococcus group B pada


permukaan desidual dari membran amnion menyebabkan elastisitas membran
berkurang dibandingkan dengan kontrol (membran yang tidak terinfeksi).
Pada percobaan yang serupa, Schoonmaker et al (1989) membuktikan
membran amnion yang terpapar Streptococcus group B, Staphylococcus
aureus,

atau

neutrophil

elastase

menyebabkan

penurunan

elastisitas

membran secara signifikan sehingga mudah ruptur.

Inkompetensi serviks merupakan suatu kelainan anatomik yang nyata,


disebabkan

laserasi

sebelumnya

melalui

ostium

uteri

internum

atau

merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan


terjadinya dilatasi yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan pecahnya
selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan langsung dari kavum
uteri.

Trauma/ proses invasif pada serviks, bisa akibat jatuh, koitus atau alat-alat.
Pemeriksaan dalam serviks meningkatkan risiko kontaminasi oleh bakteri,
sehingga secara bersamaan juga meningkatkan risiko terjadinya KPD.
Hipotesis ini didukung penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lenihan
(1984). Ia meneliti 349 ibu hamil tanpa komplikasi: 174 orang diambil secara
acak untuk dilakukan pemeriksaan dalam setiap minggu mulai dari usia
kehamilan 37 minggu sampai melahirkan, dan 175 orang sisanya adalah
kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan dalam. Dari 2 kelompok tersebut
didapatkan

kejadian

KPD

lebih tinggi

pada

kelompok yang

dilakukan

pemeriksaan dalam yaitu sebesar 18% sedangkan pada kelompok yang tidak
mendapat pemeriksaan dalam kejadian KPD sebesar 6%.

Defisiensi nutrisi, khususnya vitamin C dianggap sebagai faktor risiko


terjadinya KPD sebab diketahui bahwa vitamin C berperan pada pembentukan
kolagen.

Peningkatan tekanan intrauterin terutama yang bersifat akut mungkin


merupakan penyebab tambahan pada kejadian KPD (mis: polihydramnion,
gemelli, dll) karena tekanan ini akan mengurangi perfusi utero-desidual.

Stres Psikologis

12

Salah satu sebab KPD adalah ibu hamil mengalami stres, sebab setiap ibu
hamil yang mengalami KPD setelah dianamnesa, sebelumnya menderita stres
yang bermacam-macam diantaranya mengalami stresor psikologis.nmenurut
Lookwod (1999), stres menyebabkan kenaikan hormon kortisol dalam darah.
Keseimbangan Th1 dan Th2 serta fungsi sitokin diatur oleh hormone kortisol.
Stres yang kronis akan menstimuli Th1 untuk melepas IL-2 dan IL-2 akan
memacu sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk melepas Ig G. Stres
dapat menyebabkan Ig G masuk jaringan bersama makrofag dan merusak
jaringan melalui proses Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity
(ADCC).
Penelitian oleh Dalono (2000) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta mendapatkan
stres menyebabkan kenaikan kortisol, IL-2, IL-4, Ig G dan Ig M yang
signifikan, dimana hormon dan sitokin ini sebagai petanda terjadinnya KPD.

3. Faktor Proteksi.
Vagina yang sehat serta serviks yang kompeten merupakan barier infeksi
yang baik.

Mukus serviks juga berperan penting sebagai antibakterial dengan

cara mempertahankan pH vagina.

Beberapa etiologi dari ketuban pecah dini antara lain:

Kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)

Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2 - 4x

Tindakan sanggama : tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika


higiene buruk, predisposisi terhadap infeksi

Perdarahan pervaginam : trimester pertama (risiko 2x), trimester


kedua/ketiga (20x)

Bakteriuria : risiko 2x (prevalensi 7%)

Ph vagina di atas 4.5 : risiko 32% (vs. 16%)

Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% (vs. 7%)

Flora vagina abnormal : risiko 2-3x

13

Fibronectin > 50 ng/ml : risiko 83% (vs. 19%)

Kadar

crh

(corticotropin

releasing

hormone)

maternal

tinggi

misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi


persalinan preterm 4,5

Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini


dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan
untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan
faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup
B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu
Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteribakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteribakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi
uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya
selaput ketuban

Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput

14

korion/amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan
(Mardjono, 1992).

II.4. Diagnosa
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan
diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1.

Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara
tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. (1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga
diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum
ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.

2.

Inspeksi (15)
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.

3.

Pemeriksaan dengan spekulum.


pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium
uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan,
penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian
terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul
pada fornik posterior. (1,3,8,9,13,16)

4.

Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan

15

pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5.

Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan
pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga
urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas
nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7
7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif
palsu.(1,7,8,913) Cairan amnion memiliki rentang pH 7 7.7. Hasil tes
False-negative dan false-positive terjadi pada 5% kasus. False
negative

dapat

terjadi

jika

kebocoran

membran

bersifat

intermitten (air ketuban keluar sedikit-sedikit) atau jika air


ketuban bercampur dengan cairan vagina. False positive bisa
disebabkan karena adanya cairan alkali pada vagina seperti
darah, semen (cairan sperma), sabun, atau infeksi.

njeksi indigo carmine intra-amniotic, mengukur kadar glukosa dan


fruktosa cairan amnion dan identifikasi adanya diamine oxidase
pada

cairan

amnion.

Namun

pemeriksaan

ini

tidak

umum

dilakukan karena bersifat invasif, tidak praktis dan mahal jika


akan dipakai rutin pada praktik klinis.

16

51.b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis. (1,8,9)
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaanini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.(10,12)
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun
pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan
sedehana.

Bila dengan cara di atas ternyata selaput ketuban sudah pecah, maka diambil
ketentuan sebagai berikut:
1. Saat selaput ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis pasti tentang
kapan pecahnya.
2. Kalau anamnesis tidak pasti, maka saat selaput ketuban pecah adalah saat
penderita masuk rumah sakit.
3.

Kalau berdasarkan anamnesis pasti bahwa selaput ketuban sudah pecah lebih
dari 12 jam maka setelah masuk kamar bersalin dievaluasi 2 jam. Bila setelah 12
jam tidak ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi kehamilan (induksi/seksio
sesarea).

17

2.4. Diagnosis Banding


Gejala dan Tanda yang

Gejala dan Tanda yang

Selalu ada

Kadang ada

Keluar cairan ketuban

Ketuban pecah tiba-tiba

Diagnosis
mungkin
KPD

Cairan tampak di introitus


Tidak ada his dlm 1 jam
Cairan vagina berbau

Riwayat keluar air

Demam/menggigil

Uterus menyempit

Nyeri perut

DJJ cepat

Amnionitis

Perdarahan pervaginam
sedikit-sedikit
Cairan vagina berbau
Tidak ada riwayat ketuban
pecah
Cairan vagina berdarah

Gatal, keputihan, Nyeri


perut, Disuria

Vaginitis/

Nyeri perut, gerak janin


berkurang, perdarahan
banyak

Perdarahan ante
partum

Servisitis

II.5. Komplikasi
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi term, sekitar 70% pasien akan memulai
persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm,
periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia

18

gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode


latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi
berkisar hanya 4 hari.
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi.
Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi
premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi
premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu
pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat
meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen (Anonim, 2006).
1. Infeksi intrauterine (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterin.
Pada ibu kerentanan terhadap infeksi sangat tinggi dilhat dari gejala klinik
panas, uterus tegang, leukositosis.
2. Prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat hipoksia
(sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
3. Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
4. Distosia (partus kering) sering karena oligohidramnion atau air ketuban habis.
Pada pasien ini sudah terjadi infeksi dimana setelah ketuban pecah ibu menderita panas
dan terjadi peningkatan denyut jantung janin.

II.6. Penatalaksanaan\

Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca
ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom
distress pernafasan (20 35,4%), hemoraghi intraventrikular (7,5 15,9%), enterokolitis
nekrotikans (0,8 4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason
(celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health
merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 23 minggu,
dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian
kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak

19

direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan


amniosentesis.
Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan
memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 2
gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti
pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima hari.
Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat mempertahankna kandungan
selama 3 minggu setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari.
Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun
tidak memperbaiki luaran neonatal. TIdak banyak data yang tersedia mengenai
pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka
panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih
jauh.
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam
mengelola KPD

akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan

mortalitas ibu maupun bayinya. (4)


Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama
masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan,
kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau
menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis.

Kasus

KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak
akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk
memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi
yang akan memperjelek prognosis janin.(1,2)
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG)
untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada
KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh

20

karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan
waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih
biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada
janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten.(2,3,4,7)
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan
dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.

Bagan Alir Penanganan KPD

Febris
(>37.6
)

Kortitokosteroi
d
febris

AB

termin
asi

TBJ >
1500
Preterm

TBJ <
1500

KPD

Non febris

Obs. 2x24
jam

Obs. 2x24
jam

febris

Terminasi
AK
sedikit
AK sedikit

Non febris

AK
AK cukup
cukup
kons
ervatkonservat
if
if

febris
Aterm
Non
febris

Obs. 12 jam
21

22

II.6.1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)


a. Kehamilan Aterm
1. Diberikan antibiotika ampicilin injeksi 1 gram
1. Observasi suhu rectal tiap 3 jam, bila meningkat > 37,60C segera terminasi
2. Bila suhu rectal tidak meningkat ditunggu 12 jam, bila belum ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi.
Yang dimaksud terminasi adalah :
1. Induksi persalinan dengan oksitosin drip 5 unit dalam 500 cc Dextrose 5% dimulai 8
tetes permenit, dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his adekuat maksimal 40
tetes/menit.
2. Seksio sesarea bila syarat oksitosin drip tidak terpenuhi atau drip oksitosin gagal.
3. Induksi persalinan dianggap gagal bila dengan 2 botol drip oksitosin belum ada tandatanda awal persalinan atau bila 12 jam belun keluar dari fase laten dengan tetesan
maksimal.
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan kehamilan aterm yaitu pasien datang
dengan keluhan keluar air dan dilakukan pemerikasaan didapatkan diagnosis KPD,
diberikan injeksi antibiotic ampicilin 1 gr dan didapatkan suhu 380C menunjukkan
adanya komplikasi pada ibu sehingga segera dilakukan terminasi kehamilan. Untuk
mempercepat terminasi kehamilan dilakukan akselerasi oksitosin drip 5 Unit dalam 500
cc D 5% dimulai dengan 8 tetes/menit dinaikkan 4 tetets/30 menit sampi his adekuat. Saat
keadaan ibu febris, his didapatkan 1-2x/10 menit lamanya 15 detik dengan denyut jantung
janin 170x/mnt. Pertimbangan dilakukan akselerasi oksitosin drip karena sudah terjadi
komplikasi ibu panas yang merupakan tanda-tanda infeksi yang dikhawatirkan akan
memberikan komplikasi pada janin sehingga segera dilakukan terminasi. Tetesan
dipertahankan pada tetes oxy ke 28 karena his sudah adekuat dan pembukaan serviks
telah mencapai 8 cm ketuban negative penurunan kepala hodge II+, yang 1 jam kemudian
sudah tampak doran teknus perjol vulka yang menandakan waktunya dilakukan pimpinan
persalinan. Lima belas menit kemudian bayi lahir dengan kondisi baik, lahir plasenta
lengkap dan kontraksi uterus baik tidak ada perdarahan aktif. Kondisi 2 jam postpartum
kondisi ibu dan bayi baik hingga ibu keluar rumah sakit tanggal 15 Januari 2008.

23

Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya
mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan
komplikasi lain dari KPD.

Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari

persalinan disebut periode latent = L.P = lag period. Makin muda umur kehamilan
makin memanjang L.P-nya. (13)
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan
sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24
jam setelah kulit ketuban pecah,(16,17) bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah
belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, (1) dan bila gagal
dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun
antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap
chorioamnionitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera
setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari
6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung
lebih dari 6 jam.(1,2)
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan
atau ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan
sendirinya.

Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek

sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.(10)
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap
keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.
Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi
dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his
24

kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi
dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil
akhiri persalinan dengan seksio sesaria. (7,9)
KPD dengan kehamilan aterm (14)
1.

diberikan antibiotik (injeksi ampisilin 1 gram/6 jam IV,


dilakukan tes terlebih dahulu)

2.

observasi suhu rektal tiap 3 jam, bila meningkat > 37,60C


segera terminasi

3.

bila suhu rektal tidak meningkat di tunggu 12 jam, bila


belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi.
4.

induksi dengan oksitosin. Bila gagal dilakukan


seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol
50 g intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

5.

Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika


dosis tinggi, dan persalinan diakhiri : bila skor
pelvik

<

5,

lakukan

pematangan

serviks,

kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri


persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor
pelvik

>

pervaginam.

5,

induksi

persalinan,

partus

10,11

II.6.2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)


Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai
tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik
yang adekuat sebagai profilaksi (2, 13
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,(15) ditidurkan dalam posisi trendelenberg,
(13,

tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan

kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau


tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. (1,15,12)

25

Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada


penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru,
(5,7,8,9,15)

jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut

muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa


memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan
merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulakan komplikasi-komplikasi yang
kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-kompliksai yang dapat terjadi gawat janin
sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi
intoksikasi.(1,3,4)
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan
sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar
hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya
ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju,
dll. (11,17)
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata
pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka
perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengolahan konservatif
adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi
intrauterin.(3,9.10,11,17)
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari,
pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut
jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya
setiap 6 jam.(3,8)
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara
pasti dapat menurunkan kejadian RDS.(8) The National Institutes of Health (NIH) telah
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 3032 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis
masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg
tiap 12 jam.(11)
26

KPD dengan kehamilan Preterm(14)

Diberikan antibiotik, ampicilin 1 gram/6 jam IV, di tes dahulu dan di


berikan selama 2 hari, dan dilanjutkan amoxycilin 3x500 mg/hr oral selama 3 hari

Untuk maturasi paru janin, diberikan deksametason 10 mg IV 2x/hari, atau


inj. Betametason 12 mg IV 2x/hr

Observasi suhu rektal tiap 3 jam, bila meningkat > 370C segera terminasi.

Bila 2x24 jam air ketuban tidak keluar dilakukan USG.. bila air ketuban
cukup kemailan di pertahankan (konservatif), dan apabila sedikit dilakukan
terminasi.

Bila 2x24 jam air ketuban tetap keluar segera terminasi

Bila konservatif, maka bila ada demam atau keluar air lagi langsung ke
rumah sakit, dan tidak boleh koitus ataupun manipulasi vagina

b. Masa gestasi dibawah 24 minggu.


Sebagian besar pasien akan mengalami persalinan dalam 1 minggu bila terjadi ketuban
pecah dini dengan periode latensi sekitar 6 hari , dan sebagian besar yang lahir biasanya
mengalami banyak masalah seperti penyakit paru kronik, gangguan neurology dan
perkembangan, hidrosefalus dan cerebral palsy. Sekitar 50% janin dengan ketuban pecah
dini pada minggu ke 19 akan mengalami sindrom Potter, 25% pada mereka yang lahir di
minggu ke 22 dan 10% pada mereka yang lahir setelah maa gestasi 26 mingu. Pasien
harus mendapat konseling mengenai manfaat dan risiko penatalaksanaan akan
kemungkinan bayi tidak dapat bertahan secara normal.
c.

Masa gestasi 24 31 minggu

Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan mortalitas neonatal berat.
Bila tidak dijumpai infeksi intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan
hingga 34 minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka pasien akan melahirkan dalam
waktu 1 minggu. Klinisi harus memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan
penilaian menyeluruh mengenai keadaan janin melalui monitoring fetal dan
ultrasonografi. Pemberian kortikosteroid pada masa gestasi 24 -28 minggu tidak banyak
bermanfaat.
27

d. Masa gestasi 32 33 minggu


Biasanya Mengalami masalah dengan maturitas paru-paru, induksi persalinan dan
penanganan bayi premature harus segera direncanakan. Upaya mempertahankan
kehamilan lebih lama setelah maturitas paru akan meningkatkan risiko amnionitis
maternal, kompresi umbilical cord, rawat inap yang makin lama dan infeksi neonatal.
e. Masa gestasi 34 36 minggu
Biasanya klinisi menghindari upaya memperlama kehamilan. Sebuah studi menunjukan
bahwa penatalaksanaan konservatif antara masa gestasi 34 hingga 36 minggu akan
meningkatkan risiko korioamnititis. Walaupun kortikosteroid tidak diindikasikan untuk
kehamilan lewat 34 minggu, pemberian antibiotik tetap dilakukan sebagai profilaksis
infeksi streptococcus group B dan fasilitasi penanganan neonatus perematur harus
disiapkan segera. Ketuban pecah dini preterm atau perterm PROM bukan merupakan
kontraindikasi persalinan pervaginam (Medina & Hill, 2006).

f. KPD dengan kehamilan preterm berdasarkan perkiraan berat janin


1. Perkiraan berat badan janin > 1500 gr
- Diberikan antibiotika ampicilin 1 gr IV selama 2 jam selanjutnya amoksisilin
-

3x500 mg selama 3 hari


Diberikan kortikosteroid untuk merangsang maturasi paru yaitu dexametason

2x19 mg IV selama 24 jam atau betametason 12 mg


Observasi 2x24 jam, bila belum inpartu segera terminasi.
Observasi suhu rectal tiap 3 jam bila kecenderungan meningkat 37,60C, segera

terminasi.
2. Perkiraan berat badan janin < 1500 gr
- Diberikan antibiotika ampicilin 1 gr IV selama 2 jam selanjutnya amoksisilin
-

3x500 mg selama 3 hari


Observasi 2x24 jam, bila belum inpartu segera terminasi.
Observasi suhu rectal tiap 3 jam bila kecenderungan meningkat 37,60C, segera
terminasi.
Bila 2x24 jam air ketuban tidak keluar dilakukan USG
a. Bila jumlah air ketuban cukup kehamilan dilanjutkan (konservatif)
b. Bila jumlah air ketuban sedikit, segera terminasi
Bila 2x24 jam air ketuban masih tetap keluar segera terminasi.
Bila konservatif sebelum penderita pulang diberi nasehat

28

a. Segera kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar air ketuban lagi
b. Tidak boleh koitus
Tidak boleh manipulasi vagina

Ketuban pecah dini merupakan problematika yang sering terjadi dan


sering kali menimbulkan berbagai konsekuensi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi kematian perinatal yang
cukup tinggi.
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus bersikap
aktif terutama pada kehamilan aterm atau harus menunggu sampai terjadi
proses persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, berikutnya
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.

Sedangkan sikap

konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan


dengan harapan tercapainya kematangan paru dan berat badan yang
cukup.
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena
diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn
bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada
indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan
ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan
janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan
tepat. Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium. Dari anamnesis 90% sudah dapat mendiagnosa KPD secara
benar. Pada pasien diatas anamnesis yang dapat digali berupa, penderita
merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara
tiba-tiba dari jalan lahir, Cairan bening dan berbau amis berbau khas, dan
perlu juga diperhatikan warna. Pengeluaran urin dan cairan vagina yang
banyak dapat disalahartikan sebagai ketuban pecah oleh pasien. Jadi dalam
menganamnesa kedua kondisi tersebut harus benar-benar dipastikan cairan
yang keluar tersebut bukan urine (kencing). Ketuban pecah dini merupakan
pecahnya ketuban tanpa diikuti oleh tanda-tanda persalinan, dari anamnesis

29

juga perlu di gali apakah ada tanda-tanda persalinan, seperti adanya darah
bercampur lendir, nyeri perut (kontraksi/his).
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan KPD dapat dilakukan inspekulo dan
pemeriksaan dalam berupa vaginal toucher (VT). Pada inspekulo pasien
diatas tampak cairan merembes dari OUE dan cairan terkumpul pada fornix
posterior. Pada pemeriksaan VT didapatkan CD 1 cm, eff 10%, ketuban (-),
denominator belum jelas, teraba kepala turun H1, tidak teraba bagian kecil
janin atau tali pusat.. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher
perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum
dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam.

Karena pada

waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen


bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
bisa dengan cepat menjadi patogen.

Mikroorganisme tersebut

Pemeriksaan dalam vagina hanya

dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan
induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus KPD adalah
pemeriksaan laboratorium dan pemriksaan USG. Pemeriksaan laboratorium
pada kasus KPD diantaranya

Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus

merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH


air ketuban 7 7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang
positif palsu. Kemudian Mikroskopik tes (tes pakis), dengan meneteskan air
ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis. Pemeriksan USG dimaksudkan untuk
melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat
jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada
penderita oligohidromnion. Pada pasien diatas kedua pemeriksaan penunjang
tidak dilakukan. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam
dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan
anamnesa dan pemeriksaan sedehana.
Setelah

ditegakkan

diagnosis

pasti

KPD

maka

dilakukan

penatalaksanaan. Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang


harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap

30

penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi
pada ibu. Pada pasien diatas umur kehamilan telah mencapai aterm
(>37minggu) sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan berupa induksi
dengan drip oksitosin setelah dilakukan pemeriksaan seperti pelvic score,
CTG dan pemeriksaan laboratorium pendukung lainnya. Pada pasien diatas
tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti kenaikan suhu tubuh, leukosit
yang meningkat pada pemeriksaan laboratorium. Pada pasien diatas bayi
lahir spontan setelah dilakukan induksi dengan drip oksitosin, maintenance
pada tetesan 32. Bayi lahir perempuan, A-S 7-9, dengan berat 2800gram.

Pasien Ny. N, 29 tahun datang ke RSU Mataram tanggal 13/4/2010 pukul


11.00, didiagnosis KPD (ketuban pecah dini) >12 jam berdasarkan hasil
anamnesa dimana pasien mengaku keluar air pervaginam sejak jam 22.30 wita
(1/4/2010), jernih seperti air kencing dan tidak berbau, serta tidak bisa
ditahan. Menanyakan waktu keluarnya air ketuban sangat penting karena akan
mempengaruhi prognosis, komplikasi infeksi dan penanganan, selain itu juga
anamnesis tentang bisa atau tidak menahan keluarnya air tersebut sangat
penting

guna

pemeriksaan

membedakannya
fisik

dapat

dengan

diketahui

his

air
tidak

kencing

pasien.

ada,

kemudian

Dari

hasil

dilakukan

pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 1 cm, penipisan 25%, ketuban


negatif teraba kepala penurunan HI+ denominator belum jelas serta tidak
teraba bag.kecil/ tali pusat janin. Pada kasus ini diagnosis KPD sesuai dengan
batasan KPD yaitu pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum
inpartu. Idealnya diagnosis KPD diambil berdasarkan pemeriksaan yang
lengkap, namun di RSU Mataram diagnosis KPD lebih ditekankan pada hasil
anamnesa dan pemeriksaan dalam, untuk pemeriksaan laboratorium (kertas
lakmus) tidak rutin dilakukan.

Kehamilan aterm serta lamanya KPD yaitu >12 jam merupakan indikasi
untuk dilakukan terminasi kehamilan guna mencegah terjadinya komplikasi
akibat infeksi atau potensi timbulnya kegawatan pada janin. Dari pemeriksaan
status generalis pasien dan pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan
leukosit darah 6200 /mm3 (dalam rentang normal), hal ini menunjukkan bahwa

31

tidak terjadi infeksi namun antibiotik (ampicillin 1 gram/ 6 jam IV) tetap
diberikan sebagai profilaksis. Pemeriksaan inspekulo untuk melihat keluarnya
cairan ketuban pada OUE tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan dalam (VT) pada
pasien ini dilakukan ketika baru datang di kamar bersalin dan saat his sudah
adekuat untuk mengetahui kemajuan persalinan. Pemeriksaan dalam dilakukan
hanya bila ada indikasi guna meminimalkan risiko terjadinya

infeksi. Monitor

untuk mencegah terjadinya infeksi juga dilakukan dengan pengukuran suhu


tubuh tiap 3 jam. Pengukuran suhu sebaiknya dilakuan per rektal namun pada
pasien ini yang diukur adalah suhu aksila karena thermometer rektal tidak
tersedia.
Pada pasien ini terminasi dilakukan dengan drip oksitosin sebab syarat
lahir pervaginam terpenuhi, dengan indikator Pelvic Score 6. Bila syarat
pervaginam tidak terpenuhi atau drip oksitosin dinyatakan gagal, maka pilihan
untuk terminasi dapat dilakukan dengan seksio sesarea. Drip oksitosin 5 IU
dalam 500 cc Dekstrose 5% diberikan sesuai dengan protap RSU Provinsi
Mataram yaitu dimulai 8 tetes/menit dan ditambah 4 tetes tiap setengah jam
sampai his adekuat, tetesan dipertahankan, maksimal 40 tetes/menit. Pada
pasien ini, his adekuat (3-4 kali/ 10 menit selama 35 detik) pada tetesan
20/menit maka tetesan tidak ditambah lagi. Pemberian oksitosin meningkatkan
kontraksi fundus uteri meliputi peningkatan frekuensi, amplitudo dan lamanya
kontraksi. Pemberian infus oksitosin perlu disertai pengawasan yang sungguhsungguh terhadap frekuensi, lama dan kekuatan kontraksi. Pengawasan
dilakukan tiap setengah jam pada saat sebelum penambahan jumlah tetesan
yaitu dengan menilai his selama 10 menit dan mengukur denyut jantung janin.
Pengawasan denyut jantung janin ibu S masih dalam batas normal yaitu 149
kali per menit dan teratur/regular menunjukkan bahwa tidak terjadi gawat
janin. Pengawasan harus diamati secara cermat untuk kemungkinan timbulnya
tetania uteri, tanda-tanda rupture uteri iminens maupun tanda-tanda gawat
janin. Gawat janin dapat terjadi pada saat pemberian infus oksitosin bila
kontraksi uterus menjadi hipertonik dan sangat kerap yang menyebabkan
relaksasi uterus terganggu, hal ini berarti penyaluran darah uterus mengalami
kelainan (Hiperstimulasi). Soloff dkk (1977) telah memperlihatkan bahwa
reseptor oksitosin terletak dalam miometrium. Reseptor ini berlokasi pada
membran plasma sel otot polos dan secara fisiologis merupakan reseptor yang
spesifik untuk oksitosin.

32

Tidak ada komplikasi pada bayi akibat KPD pada kasus ini, dapat dinilai
dari bayi yang lahir tampak sehat dengan Apgar score 7-9 (Vigorous Baby) dan
air ketuban masih jernih walaupun jumlahnya agak sedikit.

BAB V
KESIMPULAN

1. Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada
saat belum inpartu atau selaput ketuban pecah 1 jam kemudian tidak diikuti
tanda-tanda awal persalinan.

2. Kehamilan aterm dengan KPD lebih dari 12 jam harus segera dilakukan
terminasi untuk mencegah terjadinya komplikasi karena pecahnya ketuban

33

3. pada terminasi kehamilan dengan drip oksitosin, pasien harus dobservasi


dengan baik

4. Pada kasus KPD disertai penyulit lainnya (tali pusat menumbung, letak
sungsang dll) diperlukan perhatian yang lebih.

34

DAFTAR PUSTAKA

Dalono. 2000. Stresor Psikologis pada Kehamilan sebagai Petanda terjadinya KPD di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam Majalah Obstetri dan Ginekologi Vol.10
No.1 Juli 2002. Surabaya: Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fak.Kedokteran
UNAIR RSUD Dr. Soetomo.

Dewi P, Irma N, Maria K. Penatalaksanaan Perawatan Inpartu Klien Ketuban Pecah


Dini di Ruang Bersalin RSUD Swadana Sumedang. 2005.

Doddy AK, Soesbandoro SDA, Damanik H, Edi PW, Agus T. Ketuban Pecah Dini.
Dalam Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan Ginekologi. Rumah Sakit
Umum Mataram. 2001: hal 21-22.

Gjoni M. Preterm Premature Rupture of the Membranes. Geneva Foundation for


Medical Education and Research. Available from http://www.bmj.com (Accesed
2009, May 25).

John. J Sciarra. Management of Premature Rupture of the Membanes in Term


Patients. In Gynecology and Obstetrics. Lippincott-Raven Publishers. Chicago.
1997

Prawirohardjo S, Winkjosastro H. Plasenta dan Likuor Amnii. Dalam Ilmu Kandungan.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo. 2006: hal 66-76.

Sadler TW. Selaput-selaput Janin dan Plasenta. Dalam Embriologi Kedokteran


Langmann Ed.7. Alih bahasa: Joko Suyono. Jakarta: EGC. 2000: hal 101-121.

Verrals, Sylvia. 2002. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan Ed.3. Alih
bahasa: Hartono. Jakarta: EGC.

35

1. F. Gary Cunningham, F. Gant N.(et al), alih bahasa, Andry Hartono, Y.


Joko S. .(et al). Obstetri William. Edisi 21. Cetakan pertama. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. p1036-1037.
2. Moeloek, Farid Anfasa. (2003), Standar Pelayanan Medik Obstetri dan
Ginekologi, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta.

3. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000.
4. Smith .J.F., Premature Rupture of Membranes,
http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2001.
5. Bruce.E., Premature Rupture of Membrane (PROM),
http://www.compleatmother.com/prom.htm, 2002
6. Yancey .M.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or
Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 1999
7.

Parry.S, Strauss.J.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam


The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March,
1998.

8. Phupong.V., Prelabour Rupture of Memnranes in Journal of Pediatric,


Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec, 2003, Hal : 25 31
9. Manuaba.I.B.G., Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta
Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal :
221 225.
10.Mokhtar.R., Ketuban Pecah Dini dalam Sinopsis Obsteri, Obstetri
Fisologi Obstetri Patologi I, EGC, Jakarta, 1994, hal : 285 287.
11.Komite Medik RSUP NTB, Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan
medis RSUP NTB, Yogyakarta, 1999, hal : 21-22

36

Anda mungkin juga menyukai