Menurut Jeffrey, peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
1.Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang
2.Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin,
akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular.
3.Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan.
4.Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress, operasi.
5.Sering menggunakan bermacam-macam obat-obatan.
6.Adanya faktor keturunan.
(PB PAPDI, 2013)
C. PATOFISIOLOGI
Pada individu yang secara genetik rentan terhadap DM tipe 1, kejadian pemicu
yakni kemungkinan infeksi virus, akan menimbulkan produksi autoantibodi
terhadap sel sel beta pankreas. Destruksi sel beta yang diakibatkan hal tersebut
menyebabkan penurunan sekresi insulin dan akhirnya menyebabkan kekurangan
hormon insulin. Defisiensi insulin mengakibatkan keadaan hiperglikemia,
peningkatan lipolisis (penguraian lemak) dan katabolisme protein. Karakteristik
ini terjadi ketika sel-sel beta yang mengalami destruksi melebihi 90%.
Pada DM tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh satu atau
lebih faktor berikut ini; kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak
tepat di hepar, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik
merupakan hal yang signifikan dan awitan DM dipercepat oleh obesitas serta gaya
hidup sedentari (sering duduk). Stress tambahan dapat menjadi faktor penting
( Kowalak et al., 2012). Secara deskriptif, pada DM tipe 2 terdapat tiga fase urutan
fase yang terjadi secara klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun
terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua,
resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Foster,
2000).
Diabetes gestasional terjadi ketika seorang wanita yang sebelumnya tidak
didiagnosis sebagai penderita DM memperlihatkan tanda-tanda intoleransi
glukosa selama kehamilannya. Hal ini dapat terjadi jika hormon-hormon plasenta
melawan balik kerja insulin sehingga timbul resistensi insulin. Diabetes
dan
mencapai
sasaran,
dilakukan
intervensi
farmakologis
dengan
obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan (PERKENI, 2011).
Pilar penatalaksanaan DM menurut PERKENI terdiri dari edukasi, terapi nutrisi
medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat,
pemantauan glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia
beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh pasien.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
DM secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). Setiap penderita DM sebaiknya mendapat TNM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi. Pembatasan
karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan harus mengandung
karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Gula dalam bumbu diperbolehkan
sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga
yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake). Makan tiga kali sehari untuk
mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari, kalau diperlukan dapat
diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
b) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan makanan yang perlu
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain: daging berlemak dan whole milk. Anjuran konsumsi kolesterol <200
mg/hari.
c) Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.. Sumber protein yang
baik adalah seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu
rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien dengan
nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 gram/KgBB perhari atau
10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
d) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh) garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan
natrium sampai 2400 mg. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur,
vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
e) Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat
adalah 25 g/hari.
f) Pemanis Alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula
alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak
dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada
lemak darah. Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis
aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman.
Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal.
Kebutuhan kalori ini besarnya 25 (perempuan) sampai dengan 30 (laki-laki)
kalori/KgBB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung dari beberapa faktor
seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat
badan ideal (BBI) dilakukan dengan rumus Broca yang dimodifikasi, yaitu
BBI = 90% x (tinggi badan dalam cm 100) x 1 Kg
Bagi pria dengan tinggi badan < 160cm dan perempuan <150cm rumus
dimodifikasi menjadi; BBI= (tinggi badan dalam cm 100) x 1 Kg. Berat
badan normal dikatakan bila BBI 10%, kurus < BBI- 10%, gemuk >BBI
+10% (Priantono dan Sulistianingsih, 2014).
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan seharihari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
a). Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang,
namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti pada orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
sehingga
meningkatkan
ambilan
glukosa
di
perifer.
gangguan
faal
hati.
Pada
pasien
yang
menggunakan
sepsis,
renjatan,
gagal
jantung).
Metformin
dapat
glukosa:
penghambat
glukosidase
alfa
(Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah
makan.
Acarbosemtidak
menimbulkan
efek
samping
defisiensi
insulin
prandial
akan
menimbulkan
c) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixedcombination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien
yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk
kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi
insulin.
G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi akut
Keadaan yang termasuk dalam komplikasi akut DM adalah ketoasidosis diabetik
(KAD) dan Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH). Pada dua keadaan ini kadar
glukosa darah sangat tinggi (pada KAD 300-600 mg/dL, pada SHH 600-1200 mg/dL),
dan pasien biasanya tidak sadarkan diri. Karena angka kematiannya tinggi, pasien
harus segera dibawa ke rumah sakit untuk penanganan yang memadai. Keadaan
hipoglikemia juga termasuk dalam komplikasi akut DM, di mana terjadi penurunan
kadar glukosa darah sampai < 60 mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus
dipikirkan mengalami keadaan hipoglikemia. Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya hipoglikemia misalnya pasien meminum obat terlalu banyak (paling sering
golongan sulfonilurea) atau menyuntik insulin terlalu banyak, atau pasien tidak makan
setelah minum obat atau menyuntik insulin.
Gejala hipoglikemia antara lain banyak berkeringat, berdebar-debar, gemetar, rasa
lapar, pusing, gelisah, dan jika berat, dapat hilang kesadaran sampai koma. Jika pasien
sadar, dapat segera diberikan minuman manis yang mengandung glukosa. Jika
keadaan pasien tidak membaik atau pasien tidak sadarkan diri harus segera dibawa ke
rumah sakit untuk penanganan dan pemantauan selanjutnya (Regina, 2012).
2. Komplikasi kronik
Penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam waktu lama akan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah (angiopati) dan saraf (neuropati).
Pembuluh darah yang dapat mengalami kerusakan dibagi menjadi dua jenis, yakni
pembuluh darah besar (makroangiopati) dan kecil (mikroangiopati) (Regina, 2012).
Mikroangiopati merupakan komplikasi yang terjadi paling dini diikuti dengan
makroangiopati dan neuropati (Priantono dan Sulistianingsih, 2014).
Yang termasuk dalam pembuluh darah besar antara lain; pembuluh darah jantung,
yang jika rusak akan menyebabkan penyakit jantung koroner dan serangan jantung
mendadak. Pembuluh darah tepi, terutama pada tungkai, yang jika rusak akan
menyebabkan luka iskemik pada kaki, serta pada pembuluh darah otak, yang jika
rusak akan dapat menyebabkan stroke dan penyakit serebrovaskuler.
Kerusakan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) misalnya mengenai
pembuluh darah retina (retinopati diabetik) dan dapat menyebabkan kebutaan. Selain
itu, dapat terjadi kerusakan pada pembuluh darah ginjal yang akan menyebabkan
nefropati diabetikum. Gangguan lain yang dapat disebabkan mikroangiopati juga
meliputi gangguan disfungsi ereksi.
Pada neuropati, saraf yang paling sering rusak adalah saraf perifer, yang
menyebabkan perasaan kebas atau baal pada ujung-ujung jari. Karena rasa kebas,
terutama pada kakinya, maka pasien DM sering kali tidak menyadari adanya luka
pada kaki, sehingga meningkatkan risiko menjadi luka yang lebih dalam (ulkus kaki)
dan perlunya melakukan tindakan amputasi. Selain kebas, pasien mungkin juga
mengalami kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, lebih terasa sakit di malam hari
serta kelemahan pada tangan dan kaki. Pada pasien yang mengalami kerusakan saraf
perifer, maka harus diajarkan mengenai perawatan kaki yang memadai sehingga
mengurangi risiko luka dan amputasi (Regina, 2012).
Gambar 1. Manifestasi oral pada DM; mekanisme dan kaitan satu dengan lain (Gandara dan
Morton, 2011)
Pada penderita diabetes, fungsi beberapa sel yang berperan dalam respons
inflamasi seperti neutrofil, monosit, dan makrofag mengalami perubahan. Terdapat
defisiensi fungsi neutrofil yang menyebabkan terhambatnya kemotaksis, fagositosis,
serta perlekatan sel. Sel-sel tersebut merupakan lini awal pertahanan tubuh sehingga
inhibisi fungsinya akan menghambat destruksi bakteri pada bagian pocket gingival
dan meningkatkan destruksi jaringan periodontal. Selain itu, makrofag dan monosit
juga meningkatkan produksi pro-inflammatory cytokine serta mediator-mediator lain
seperti tumor necrosis factor (TNF-). Peningkatan produksi tersebut akan
memperparah destruksi pada sel host. Selain perubahan fungsi sel diatas, pada pasien
diabetes, fibroblas yang merupakan sel reparatif primer pada jaringan periodonsium
tidak dapat berfungsi dengan baik. Selain karena sintesis kolagen yang berkurang,
kolagen yang diproduksi fibroblas rentan terdegradasi oleh enzim matriks
metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat pada pasien diabetes. Selain
itu, pada kondisi hiperglikemik, terjadi pula inhibisi proliferasi osteoblas yang
menurunkan pembentukan tulang serta properti mekanik dari tulang yang baru
terdeposisi sehingga menyebabkan lesi osteolitik. Pada kondisi hiperglikemik, protein
serta molekul matriks mengalami non-enzymatic glycosylation yang menghasilkan
advanced glycation end products (AGEs) pada jaringan, termasuk jaringan
periodonsium. AGEs merupakan rantai utama yang menghubungkan banyak
komplikasi diabetes karena AGEs menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel serta
perubahan pertumbuhan dan proliferasi pembuluh darah kapiler. Akumulasi AGEs
pada pasien diabetes meningkatkan intensitas respons inflamasi monosit dan
makrofag, yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi proinflammatory
cytokine seperti IL-1 dan TNF-. Selain itu, AGEs juga berinteraksi dengan kolagen
dan membuat kolagen lebih sulit diperbaiki bila mengalami kerusakan. Akibatnya,
kolagen pasien diabetes lebih mudah terdegradasi (Indrasari, 2013).
Xerostomia atau mulut kering adalah kondisi yang diakibatkan oleh kurangnya
sekresi saliva atau air liur. Xerostomia pada DM terjadi karena gangguan kongenital
neuropati atau karena adanya kerusakan pada nervus kranial VII (nevus fasialis) dan
nervus kranialis IX (nervus glosofaringeal) yaitu nervus yang menginervasi kelenjar
parotis (69%) yang merupakan sumber penghasil saliva(Kartimah, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
American
Diabetes
Association.
2014.
Diabetes
And
Oral
Health
Problems