A. LATAR BELAKANG
Sebagai sebuah organisasi Islam di Indonesia, Nahdlatul ulama memiliki peran yang
cukup signifikan dalam menentukan arah pemahaman Islam di Indonesia. Dengan jumlah
anggota yang dikaim sebesar 40 juta, segala keputusan dan kebijakan Nahdlatul Ulama
menjadi pijakan, minimal bagi anggotanya dan umat Islam di Indonesia pada umumnya.
Secara garis besar, ada 4 (empat) aspek keislaman yang saat ini menjadi perhatian besar
Nahdlatul Ulama, yaitu aspek aqidah, aspek tasauf aspek politik, dan yang terakhir adalah
aspek fiqh.
Secara tradisional, Nahdlatul Ulama menganut pemahaman fiqh berlandaskan pada
mazhab fiqh Syafii. Hal ini mengharuskan adanya keterikatan Nahdlatul Ulama untuk
mengikuti pandangan mazhab SyafiI dalam keputusan-keputusannya di bidang fiqh
amaliyyah. Hal ini sudah dimainkan dengan baik oleh Nahdlatul Ulama semenjak
keberadaannya pada tahun 1926. Para ulama dari berbagai pesantren menjadi generasi
ulama yang melanjutkan tradisi bermazhab dalam Nahdlatul Ulama. Kurikulum pesantren
memang selalu melestarikan tradisi bermazhab ini. Di tahun-tahun awal kehadiran
Nahdlatul Ulama, tantangan dari kelompok Islam lain yang memiliki pendekatan berbeda
dalam merespon permasalahan fiqh memang cukup sengit. Nahdlatul Ulama selalu
mempertahankan pendekatannya dianutnya dengan suara utuh tanpa tertarik untuk
menjajaki atau mencoba penerapan pendekatan yang lain. Perdebatan-perdebatan seputar
permasalahan dikotomi ijtihad dan taqlid ini terus terjadi antara kelompok modernis
seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam di satu pihak, dengan kelompok tradisionalis
seperti Nahdlatul Ulama di pihak lain dengan pasang-surutnya di decade-dekade
selanjutnya.
Akan tetapi, perdebatan ijtihad versus taqlid ini memulai dimensi baru di tahun 1980an.
Pada decade tersebut, perdebatan tersebut juga terjadi di kalangan internal Nahdlatul
Ulama. Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memiliki pemikiran
progresif sebagai ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama dianggap sebagai katalis. Gus Dur
1
menjadi magnet untuk hadirnya ulama fiqh baru yang memiliki pandangan yang tidak
serta-merta mendukung tradisi fiqh qawly mazhabi. Dengan dukungan (perlindungan)
Gus Dur, ulama fiqh jenis baru ini kemudian berhasil menyisipkan beberapa pandangan
fiqh nya yang tidak mengharamkan ijtihad dalam beberapa keputusan resmi Nahdlatul
Ulama. Titik kulminasinya adalah salah satu putusan Nahdlatul Ulama dalam Munas
Alim Ulama tahun 1992 di Lampung yang membuka peluang melakukan ijtihad bilamana
prosedur-prosedur normal dalam pencarian hukum tidak mampu menemukan solusi
terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
Walaupun sepintas kemenangan sudah di tangan para penganjur ijihad, dalam
prakteknya penggunaan ijtihad ini hampir-hampir tidak pernah terjadi dalam pembahasan
hukum (bahsul masail).
dengan berbagai alasan. Bila dihitung jumlah permasalahan bahsul masail Nahdlatul
Ulama tingkat nasional yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
sejak tahun 1992 sampai 2014, jumlahnya relative sedikit 1 permasalahan yang diputuskan
dengan ijtihad. Bahkan, hampir tidak ada jawaban bahsul masail di tingkat Provinsi
ataupun Kabupaten/Kota yang menggunakan ijtihad. Hal ini menunjukkan keengganan
ulama fiqh di lingkungan Nahdlatul Ulama dalam menerapkan pendekatan ini.
Dalam menyambut muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 pada 1 5 Agustus 2015, pengurus
besar Nahdlatul Ulama, khususnya Lajnah Bahsul Masail, kembali berusaha
mengarahkan penggunaan pendekatan ijtihad dalam pembahasan bahsul masail. Dalam
sebuah pernyataan yang dimuat dalam situs resmi PBNU (nu online), panitia bahsul
masail muktamar ke-33 akan menyelenggarakan sesi khusus untuk menyegarkan kembali
adanya putusan Munas Lampung tahun 1992 yang melegitimasi penggunaan ijtihad
dalam bahsul masail Nahdlatul Ulama. Sesi ini rencananya akan dilangsungkan sebelum
sesi bahsul masail sehingga ara peserta bahsul masail diharapkan berkenan menerapkan
pendekatan ijtihad dalam sesi-sesi bahsul masail di muktamar Nahdlatul Ulama.2
Proses-proses inilah yang menarik untuk diteliti mengingat sampai saat ini kedua kubu
masih bersikukuh pada pandangan masing-masing. Selama ini, ada sinyalemen dari
1 Imam Yahya, Pergeseran Ijtihad dalam Bahtsul Masail NU, (Walisongo Press, Semarang, 2009)
2 Nu online, TAQLID MANHAJI: Ke Depan, Bahtsul Masail Diawali Bahtsul Manahij (Kajian
Methodologi), (Sabtu, 07/02/2015)
2
tradisi bermazhab secara qawly di bidang fiqh. Bila identitas ini bergeser dengan
penerimaan para ulama Nahdlatul Ulama terhadap ijtihad secara luas, banyak hal yang
akan merubah dalam Nahdatul Ulama. Akan tetapi, jika ulama Nahdlatul Ulama tidak
beranjak dari posisi bertaqlid secara qawly, mereka lambat laun akan kehilangan
relevansinya di mata warganya dan umat Islam secara umum. Padahal, fiqh dan hukum
Islam secara umum, selalu memiliki posisi penting dalam kehidupan seorang Muslim.
Identitas seorang Muslim dapat ditentukan dengan komitmennya dalam mematuhi segala
aturan hukum Islam.
D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi
peneliti-peneliti atau siapa saja yang mempunyai minat dalam mendalami serta
mengembangkan pengetahuan di bidang hukum islam indonesia kontemporer,
khususnya teantang metode istinbat hukum islam dan bahsul masail Nahdlatul Ulama.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
Nahdlatul Ulama dan para pelaksana bahsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama
terutama dalam pengembangan dan peningkatan relevansi bahsul masail sebagai
sebuah media interaksi antara Nahdlatul Ulalma dengan warganya.
E. PENELITIAN TERDAHULU
Sebagai sebuah organisasi keislaman yang besar, Nahdlatul Ulama telah menarik minat
banyak peneliti untuk mengkajinya. Penelitian tentang Nahdlatul Ulama banyak
dilakukan oleh kalangan internal, eksternal, dalam dan luar negeri. Aspek
penelitiannyapun beragam, dari pespektif kesejarahan, ajaran, fiqh, politik dan
kemasyarakatan. Dari kalangan internal Nahdlatul Ulama, buku karangan Choirul Anam
di tahun 1984 termasuk penelitian perintis. Penelitian tersebut menyoroti Nahdlatul
Ulama dari perspektif sejarah, ajaran, nilai, dan dinamikanya sampai kembalinya
Nahdlatul Ulama ke Khittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan semata. 3 Secara
lebih spesifik, Martin van Bruinessen merekam bagaimana perkembangan Nahdlatul
3 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Bisma Satu, Surabaya, 1984)
4
Ulama dari perspektif eksternal. Bukunya di tahun 1994 tersebut secara khusus menyoroti
bagaimana Nahdaltul Ulama menempatkan dirinya di hadapan rezim Orde Baru. Buku
tersebut juga mulai menguak adanya wacana-wacana baru terkait pemahaman tokohtokoh Nahdlatul Ulama dalam pendekatan fiqh dan bermazhab. 4 Tiga tahun berselang,
Martin van Bruinessen beserta beberapa pengamat asing lainnya kembali mengkaji
Nahdlatul Ulama yang menurut KH. Abdurrahman Wahid dalam sambutan buku ini
menyatakan bahwa buku ini adalah buku berbahasa asing pertama yang mendiskusikan
Nahdaltul Ulama secara detail dan memberikan gambaran yang menarik tentang
perkembangan Nahdlatul Ulama secara politik maupun moral. 5 Beliau juga menyatakan
buku ini membahas Nahldatul Ulama sebagai sebuah gerakan Islam tradisional. Dua
tahun berselang, LKiS menerbitkan disertasi Greg Fealy tentang kiprah politik Nahdlatul
Ulama di kurun waktu 1952-1967.6 Buku sejenis juga ditulis oleh Robin Bush di tahun
2009 yang mengulas Nahdlatul Ulama dalam pergumulan kekuasaan dalam Islam dan
politik di Indonesia mulai dari era Masjumi sampai dengan era Reformasi.7 Sedangkan
terkait dinamika pemikiran, buku Mujamil Qomar dapat mewakili dinamika pemikiran
dalam Nahdlatul Ulama. Secara khusus, Mujamil Qomar berkesimpulan bahwa telah
banyak tokoh Nahdlatul Ulama yang sudah beranjak dari pemikiran tradisional yang
selama ini menjadi ciri utamanya.8
Selain itu, banyak buku yang mengulas Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari pembahasan
yang lebih luas tentang Islam di Indonesia. Di antaranya adalah Clifford Geertz di tahun
1960 yang membahas tradisi keagamaan di Jawa dimana Nahldatul Ulama disebut
4 Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Makna, (LKiS, Jogjakarta, 1994).
5 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara,
(LKiS, Jogjakarta: 1997).
6Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (LKiS, Jogjakarta, 2003)
7 Robin Bush, Nahldatul Ulam and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia,
(ISEAS, Singapore, 2009)
8 Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Mizan,
Bandung, 2002)
5
sebagai agama kelompok Islam tradisionalis di Jawa.9 Demikian pula Robert Hefner yang
mencoba merangkai peran Islam dalam proses demokratisasi di Indonesia sejak era Orde
Lama sampai dengan era Reformasi dimana Nahdlatul Ulama menjadi salah satu actor
penting.10
Sedangkan yang secara khusus membicarakan bahsul masail Nahdlatul Ulama, ada
beberapa karya yang patut disebutkan. Yang pertama adalah kumpulan tulisan (alm) KH.
MA. Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU selama tiga periode, yang berjudul Nuansa Fiqih
Sosial. Beberapa bab buku ini memberikan ulasan atas urgensi penerapan metode ijtihad
dalam bahsul masail Nahdlatul Ulama walaupun secara terbatas. 11 Selanjutnya, diskusi
yang digulirkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudh ini diteruskan oleh beberapa ulama fiqh
muda dalam Nahdlatul Ulama. Dalam sebuah karya kumpulan tulisan yang disunting oleh
M. Imdadun Rahmat (2002), para ulama fiqh ini mencoba menggali lebih lanjut bentukbentuk untuk mentransformasi paradigma bahsul masail Nahdlatul Ulama. Menariknya,
KH. MA. Sahal Mahfudh pun turut menuliskan kata pengantarnya. 12
Dari kalangan akademisi, disertasi Ahmad Zahro yang diterbitakan oleh LKiS di tahun
2004 membahas bahsul masail semenjak tahu 1926 sampai tahun 1999 dari perspektif
metode dan analisis beberapa hasilnya.13 Dalam disertasi tersebut tidak digambarkan
dinamika internal terkait metode yang digunakan dalam bahsul masail. Di tahun 2009,
Imam Yahya berusaha mengkaji hasil-hasil bahsul masail Nahdlatul Ulama pasca putusan
Munas Lampung tahun 1992 sampai tahun 1997. Dia menyimpulkan bahwa sebagian
besar pembahasan masih menggunakan metode bermahab qawly.14 Beberapa penulis lain
9 Clifford Geertz, Religon of Java, (Chicago University Press, Chicago, 1976).
10 Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia, (Princeton University Press,
Princeton, 2000)
11 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (LKiS: Jogjakarta, 1997)
12 M. Imdadun Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail,
(Lakpsdam, Jakarta: 2002)
13 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (LKiS, Jogjakarta, 2004).
14 Imam Yahya, Pergeseran Ijtihad dalam Bahtsul Masail NU, (Walisongo Press, Semarang, 2009)
6
juga mencoba mengkaji metode bahsul masail Nahdlatul ulama, tetapi sebagai bagian
dari diskusi yang lebih luas. Misalnya, Rifyal Kabah mencoba membandingkan metode
istinbat hukum Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. MB. Hooker juga demikian. Dia
mencoba melacak peran fatwa hukum Islam di Indonesia dalam perubahan social. Di
dalamnya, dia membahas fatwa-fatwa Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis
Ulama Indonesia dengan menyoroti beberapa produk fatwa masing-masing.15 Beberapa
artikel berkala ilmiah juga membahas metode bahsul masail Nahdlatul Ulama, misalnya
artikel A. Kemal Riza yang secara spesifik menelaah dinamika penerapan metode bahsul
masail Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang.16 Demikian pula artikel Vivin Baharu
Sururi yang menceritakan perkembangan metode bahsul masail masail dari awal
kemunculannya di tahun 1926 sampai keputusan Munas Lampng 1992. Dia juga
menceritakan dinamika pasca Munas Lampung dimana terjadi diskusi yang cukup keras
antara kelompok konservatif dan kelompok liberal dalam memahami metode bahsul
masail.17
Dalam perkembangan lainnya, banyak pondok pesantren yang memiliki tradisi bahsul
masail yang kuat seperti pesantren Lirboyo di Kediri, peantren Sidogiri di Pasuruan dan
pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo menerbitkan hasil bahsul masail para santrinya
secara rutin. Yang menarik adalah kumpulan hasil bahsul masail pesantren Salafiyah
Syafiiyah Situbondo yang diberi judul Fiqh Rakyat terbitan LKiS tahun 2000. Dalam
buku tersebut, metode bahsul masail yang digunakan tidak lagi merujuk pada pendekatan
bermazhab secara qawly, tetapi secara manhajy dengan paradigma pemberdayaan dan
keadilan.18
15 MB. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatawa, (ASAA, Sydney,
2003)
16 A. Kemal Riza, Contemporary Fatawa of Nahdlatul Ulama: Between observing the Maddhhab and
Adapting the Context, Journal of Indonesia Islam, 5(1), 2011
17 Vivin Baharu Sururi, Metode Isntinbat Hukum di Lembaga Bahsul Masail NU, Jurnal Bimas Islam,
6(3), 2013, 421-454
18 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (LKiS, Jogjakarta,
2000)
7
F. KERANGKA KONSEPTUAL
Penelitian-penelitian yang sudah disebutkan tentang Nahdlatul Ulama terfokus pada
beberapa aspek:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Terkait dengan bahsul masail yan menjalankan salah fungsi Nahdlatul Ulama sebagai
lembaga fatwa bagi warganya, perlu adanya gambaran akurat dinamika yang
sebenarnya dari proses berlangsungnya bahsul masail tentang metode bahsul masail.
Dari gambaran langsung tersebut, dapat diambil beberapa kecenderungan yang ada
untuk menentukan arah perkembangan metode bahsul masail di masa-masa yang akan
datang. Secara singkat, dapat digambarkan dengan gambar berikut ini:
Dari tiga aspek yang dibutuhkan untuk memahami bahsul masail secara utuh,
beberapa penelitian terdahulu sudah membahas dalam aspek hasil-hasilnya, seperti
karya Ahmad Zahro, MB. Hooker, dan Imam Yahya. Mereka juga membahas metode
bahsul masailnya. Secara khusus, beberapa penelitian juga telah membahasnya
8
dengan lengkap dan teliti, seperti KH. MA. Sahal Mahfudh, M. Imdadun Rahmat dan
Rifyal Kabah. Sedangkan pembahasan terait proses jalannya bahsul masail,
khususnya di tingkat muktamar, musyawarah nasional dan musyawarah besar PBNU
jarang sekali dilakukan. Padahal, melihat dinamika bahsul masail melalui pengamatan
langsung adalah salah satu cara mengetahui dinamika mutakhir bahsul masail di
kalangan Nahdlatul Ulama. Hal ini disebabkan adanya data-data penting yang
kemungkinan luput dari dokumentasi hasil-hasil bahsul masail yang sudah melalui
proses perumusan draf akhir secara berjenjang. Lagipula, dalam muktamar ke-33
yang akan datang ini, pihak panitia pusat, dalam hal ini Lajnah Bahtsul Masail akan
mengawali sesi bahsul masail dengan pembahasan metode bahsul masail manhajy.
Secara rinci, ada tiga aspek yang akan menjadi focus penelitian ini, sebagaiana dalam
gambar berikut ini:
G. KERANGKA TEORI
Penerapan metode manhaji dalam bahsul masail Nahdlatul Ulama dapat diakui telah
menyeret Nahdlatul Ulama ke dalam perdebatan internal yang sukup panjang. Namun
berbeda dengan perdebatan internal Nahdlatul Ulama di bidang politik yang kerap
membawa perpecahan internal yang cukup dalam, perdebatan seputar metode bahsul
masail ini dinamis dan sehat. Meskipun demikian, perdebatan ini tetap saja menimbulkan
keresahan di dalam internal Nahdlatul Ulama. Dalam tradisi Islam yang lain, perdebatan
ini direpresentasikan dengan dikotomi kaum tua dan kaum muda. Kaum tua adalah
yang masih mempertahankan status quo dalam menggunakan metode mazhab qawly
(taqlid) dalam bahsul masail. Di lain pihak, kaum muda adalah mereka yang
9
10
Untuk membuktikan hal ini, teori M. King yang menyuguhkan kerangka untuk
memahami dimensi keberagamaan seseorang. Dalam ulasannya, komitmen dan
keterlibatan seseorang terhadap agamanya dapat dinyatakan dalam 10 (sepuluh) berbagai
bentuk; seseorang Pembenaran keyakinan dan komitmen pribadi, partisipasi dalam
kegiatan jamaah, pengalaman keagamaan pribadi, ikatan pribadi dalam jamaah,
komitment terhadap pencarian intelektual meskipun penuh keraguan, keterbukaan
terhadap tumbuhnya rasa keberagamaan, terikat terhadap dogma, adanya orientasi ke
luar. Perilaku keuangan, dan kemauan membicarakan dan membaca untuk meningkatkan
kualitas keberagamaannya.21 Oleh karenanya, dinamika seputar metode bahsul masail
dalam Nahdlatul Ulama dapat dipahami sebagai bentuk dimensi keberagamaan yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya.
H. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan
temuan-temuan yang tidak cukup hanya didapat dengan menggunakan prosedurprosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi atau pengukuran, tetapi
dengan menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah
laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial, atau hubungan
kekerabatan.22 Melihat sifat penelitian ini maka metode yang akan digunakan adalah
metode kualitatif. Fokus dari jenis penelitian kualitatif, adalah ingin memperoleh
pemahaman yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil direkam kaitannya
dengan problemtika metode dan pelaksanaan bahsul masail di lingkungan Nahdlatul
Ulama.
Untuk memahami secara lebih dalam dan menyeluruh, jelas tidak cukup dengan
hanya melihat adanya hubungan sebab akibat dari beberapa variabel yang diajukan,
melainkan harus digali makna dan pemahaman yang lebih dalam terhadap pandangan
21 Ibid.
22 Anselm Strauss, Juliet M. Corbin, Grounded Theory in Practice, (SAGE Publications, California:
1997), h. 11
11
hidup dan karakter pihak-pihak yang selama ini berkecimpung dalam bahsul masail
Nahdlatul Ulama sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih dalam terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Sehingga, penelitian ini
lebih bersifat induktif, yakni berawal dari hal-hal yang bersifat khusus berdasar pada
temuan-temuan di lapangan menuju kesimpulan umum. Analisis induktif membuat
hubungan
peneliti
dengan
responden
menjadi
eksplisit,
sehingga
dapat
memperhitungkan nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. Teori
mendasar ini dikenal sebagai grounded theory.23
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan 3 (tiga) cara:
Dalam rangka mengumpulkan data lapangan, agar didapatkan keterangan lebih jelas,
detil, dan rinci maka peneliti menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap lokasi penelitian dengan
mencermati fenomena-fenomena yang mengemuka. Di sini, peneliti harus
berinteraksi sosial yang intensif antara peneliti dengan yang diteliti. Dari
observasi ini diharapkan temuan lapangan dapat diidentifikasi. Secara khusus,
observasi akan dilakukan dengan menghadiri pembahasan-pembahasan dalam
bahsul masail fiqhiyah selama berlangsungnya muktamar Nahdlatul Ulama ke-33
pada 1 5 Agustus 2015.
b. Wawancara langsung dan mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat langsung
dengan bahsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama, termasuk meletakkan
setiap individu dalam kerangka yang menyeluruh (holistic setting), tidak diisolasi
dalam variabel-variabel tertentu. Adapun informannya adalah:
1) Para peserta bahsul masail sebagai pelaku utama dan merupakan individu
atau kelompok strategis paling kompeten memberi keterangan dalam
penelitian ini sehingga informasi dapat dieksplorasi secara lebih mendalam.
2) Pengurus lajnah bahsul masail Nahdlatul Ulama sebagai pihak yang
memiliki kebijakan dalam menentukan arah pengembangan bahsul masail di
lingkungan Nahdlatul Ulama.
23 Ina Peters, Too Abstract to Be Feasible? Applying the Grounded Theory Method in Social Movement Research,
GIGA Research Programme: Legitimacy and Efficiency of Political Systems, Paper Work No. 247, May 2014.
12
c. Dokumentasi,
yakni
inventarisasi
dan
menelaah
data
dokumen
yang
Ina Peters, Too Abstract to Be Feasible? Applying the Grounded Theory Method in Social
Movement Research, GIGA Research Programme: Legitimacy and Efficiency of Political
Systems, Paper Work No. 247, May 2014.
MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (LKiS: Jogjakarta, 1997)
M. Imdadun Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul
Masail, (Lakpsdam, Jakarta: 2002)
Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Makna, (LKiS,
Jogjakarta, 1994).
MB. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatawa, (ASAA,
Sydney, 2003)
Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,
(Mizan, Bandung, 2002)
Muneer Fareed, 2001. 'Against ijtihad', The Muslim World, 91(3/4): 355-70.
Nu online, TAQLID MANHAJI: Ke Depan, Bahtsul Masail Diawali Bahtsul Manahij
(Kajian Methodologi), (Sabtu, 07/02/2015)
Robin Bush, Nahldatul Ulam and the Struggle for Power within Islam and Politics in
Indonesia, (ISEAS, Singapore, 2009)
Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia, (Princeton
University Press, Princeton, 2000)
Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (LKiS,
Jogjakarta, 2000)
Talip Kkcan, can religiosity be measured? Dimensions of religious commitment:
Theories Revisited
Vivin Baharu Sururi, Metode Isntinbat Hukum di Lembaga Bahsul Masail NU, Jurnal
Bimas Islam, 6(3), 2013, 421-454
K. JADWAL
No
Kegiatan
Juli
Agustu
s
Alokasi waktu
Septembe Oktobe
r
r
Novembe
r
Desembe
r
Persiapan
a. Pengurusan
izin penelitian
14
b. Penyusunan
instrument
wawancara
Pelaksanaan
a. Proses
Pengumpulan
data
b. Proses
Analisa data
Penyusunan
Laporan
a. Penulisan
BAB I
b. Penulisan
BAB II
c. Penulisan
BAB III
d. Penulisan
BAB IV
e. Penulisan
BAB V
f. Penulisan
BAB VI
g. Review dan
Revisi akhir
Penyusunan hasil
penelitian untuk
berkala
ilmiah
terakreditasi
L. USULAN ANGGARAN
15
No.
1
2
3
4
5
6.
7.
Uraian
Jumlah
banyaknya
Honorarium
5.000.000 3
Asisten Penelitian
2.500.000 2
Tambahan Literatur
5.000.000 25 judul
Transportasi
dan
5.000.000
akomodasi
Penyuntingan
draf
5.000.000
laporan
Diseminasi
Hasil
5.000.000
penelitian
Pencetakan
dan
7.500.000
Penggandaan
Total
Total
15.000.000
5.000.000
7.500.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
7.500.000
50.000.000
M. CV PENELITI
16